PRODUK
K a j i a n T E M AT I K
©
JARINGAN SURVEY INISIATIF
FAKTOR KEMENANGAN
PARTAI ACEH
PADA PILKADA WALIKOTA & WAKIL WALIKOTA LHOKSEUMAWE TAHUN 2017 COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2017 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
DAFTAR ISI WRITERS BISMA YADHI PUTRA Editor Aryos Nivada Design & Layout Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT
ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF
PENDAHULUAN
3
FAKTOR KEMENANGAN SUADI YAHYA
8
PERSONALISASI POLITIK SUADI YAHYA
10
KETIADAAN TOKOH ALTERNATIF
14
KESIMPULAN
15
rJARINGAN SURVEY INISIATIF
Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
PENDAHULUAN
S
EJATINYA, sistem politik apa pun menghendaki adanya kepemimpinan. Dalam teori dan praktiknya, tidak ada sistem politik yang menihilkan aspek kepemimpinan dalam pengelolaan organisasi politik yang misi pamungkasnya adalah mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki. Memang keinginan organisasi politik diwujudkan bersama oleh para anggota yang terlibat, namun upaya tersebut membutuhkan pemimpin gerakan yang padanya melekat suatu wewenang untuk memutuskan tindakantindakan sah di dalam prosesnya.
A
kan tetapi, ada sejumlah distingsi unik mengenai pemimpin dari sistem-sistem politik tersebut. Satu di antaranya adalah soal bagaimana baiknya seorang pemimpin diangkat; apakah lewat warisan sedarah secara turun temurun, lewat penunjukan oleh sekelompok orang (elite), atau ditentukan dengan suara mayoritas warga. Di era politik modern, yang terakhir itu dilihat sebagai metode paling ideal. Semakin banyak negara yang menerapkannya. Dan, sudah cukup banyak kajian ilmiah mengenainya dibuat, yang mana di di dalamnya berisi temuan-temuan
JSI
pelaksanaan mekanisme tersebut, kritik untuk perbaikan, maupun anjuran agar negara-negara nondemokrasi segera mempraktikkannya. Demokrasi memiliki mekanisme pengangkatan pemimpin yang melibatkan kehendak publik. Siapa yang mendapatkan suara publik paling banyak di dalam pemilu maka ia akan menjadi pemimpin. Mekanisme politik ini telah dibakukan oleh demokrasi. Para ahli politik kontemporer telah mengkajinya dan mereka menyimpulkan mekanisme tersebut adalah yang paling baik guna memciptakan kedekatan atau keterwakilan yang kental antara pemimpin dengan warga negara.
www.jsithopi.org
3
JSI
4
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
Akan tetapi, yang paling penting dan menarik dikaji dalam demokrasi yang sudah berjalan bukanlah mekanismenya, melainkan faktor-faktor apa saja yang membuat seorang tokoh bisa menang dalam mekanisme tersebut. Jawaban dangkal yang bisa diberikan tanpa melalui riset yang terukur adalah “karena ia memperoleh suara terbanyak�. Tentu ini tidak menjawab apa-apa, sebab yang perlu ditelusuri adalah jawaban dari pertanyaan: bagaimana ia bisa memperoleh suara terbanyak; apa yang membuatnya bisa disukai mayoritas pemberi suara; apa yang ada padanya sebagai modal untuk menang; atau langkah-langkah (strategi) apa yang ia lakukan sehingga capaian tersebut bisa diperoleh? Per t anyaan-pertanyaan tersebut tidak akan ditemui jawabannya tanpa melakukan riset. Khususnya, riset yang terukur dan cermat untuk menghasilkan penjelasan yang objektif. Sementara itu, temuan riset mengenai faktor-faktor kemenangan seorang tokoh dalam prosesi elektoral bukan hanya manfaatnya terbatas bagi pemenang dan para pemain di dalamnya, melainkan www.jsithopi.org
bermanfaat pula bagi pembangunan demokrasi dari waktu ke waktu. Pasalnya, ada banyak dinamika di balik kemenangan tokoh-tokoh politik dalam pemilu yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri, seperti intiminasi, praktik politik uang, dan sebagainya. Demokrasi yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak ingin bersikap demokratis gampang ditemu dalam kompetisi meraih kekuasaan. Kadang demi kekuasaan, segala cara ditempuh untuk meraihnya. Hal-hal tidak sehat seperti ini perlu diungkap untuk perbaikan di pelaksanaan pemilu yang selanjutnya. Sebaliknya, hal-hal positif dari kemenangan seorang sosok, misalnya karena prestasi, integritas personal, kedekatan dengan warga dalam jumlah yang banyak, atau program-program kerja konkret yang menarik, harus dipertahankan dengan dikembangkan. Gambarannya, apabila banyak tokoh berprestasi dan tidak koruptif dalam sebuah pemilu, semakin baik bagi warga dan menifestasi demokrasi substansial.
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
Usai keluar dari konflik berkepanjangan, Aceh sudah menyelenggarakan tiga kali pilkada, yakni pada tahun 2006, 2012, dan yang terakhir adalah Pilkada 2017—yang diselenggarakan bulan Februari lalu. Beberapa analis politik lokal membuat riset mengenai faktor-faktor apa saja yang membuat kandidat gubernur dan wakil gubernur di ketiga pilkada tersebut bisa meraih suara terbanyak. Untuk lingkup kabupaten/kota pun tidak sepi dari analisis-analisis. Di Kota Lhokseumawe pilkada juga sudah diselenggarakan sebanyak tiga kali. dengan dua yang terakhir dimenangi oleh Partai Aceh yang mengusung Suaidi Yahya. Menarik mencermati faktor-faktor apa sajakah yang membuat Suaidi Yahya bisa menang kembali pada pilkada tempo hari. Alasannya adalah karena selama lima tahun awal kepemimpinannya banyak muncul kritik yang bersumber dari orang-orang yang kecewa dengan kinerja pemkot di bawah kekuasaannya.. Di media-media, sejumlah kritik dilayangkan terkait persoalan infrastruktur, pengelolaan anggaran kota, kemiskinan, atau sempitnya lapangan kerja. Namun di tengah kekecewaan yang terus tumbuh itu, juga kekecewaan terhadap partai pengusungnya, Suaidi Yahya bisa memenangi kembali pilkada.Menjadi penting untuk menyelidiki mengapa ia bisa menang kembali.
JSI
Memang kita bisa memaparkan sejumlah kemungkinan-kemungkinan seperti “jumlah orang yang bersimpati masih lebih banyak dari yang kecewa”, “Partai Aceh masih kuat”, atau “belum ada tokoh yang memiliki kekuatan sepadan”. Akan tetapi riset politik tidak bisa dibangun lewat asumsi-asumsi. Ia harus disusun dengan menyelidiki kenyataan-kenyataan yang berserakan di lapangan. Melalui penelitian ini dapat pula diperoleh kesimpulan apakah kemenangan tersebut dilatari oleh karisma personal tokoh atau justru karena pengaruh Partai Aceh semata seperti Pilkada 2012 silam. Saat itu, di tengah euforia publik terhadap Partai Aceh yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah cukup besar, siapa pun tokoh yang diusung berpotensi menang. Sebab publik melihat partainya, bukan sosoknya. Kuatnya pengaruh sosok berkorelasi dengan kesulitan tokoh-tokoh pesaing muncul dengan kekuatan signifikan. Penelitian ini akan mengungkap persoalan tersebut.
www.jsithopi.org
5
JSI
6
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
Landasan Teoritis Ketika sebuah partai politik dan tokoh yang diusungnya dalam prosesi elektoral bercita-cita untuk memenangkan persaingan, salah satu aspek yang mutlak perlu diperhatikan adalah “citra�. Citra terhadap sosok dan lembagai membentuk perspesi yang dijadikan landasan untuk membuat keputusan pemberian suara. Sebagaimana lazimnya produk yang diproduksi sebuah pabrik, orang-orang akan memilih untuk membeli produk tersebut setelah mereka memiliki persepsi positif mengenainya. Begitu pula sebaliknya. Ketika modal politik dibicarakan dalam lingkup pemengan pemilu, citra termasuk salah satunya. Meski pembangunan citra (image building) juga memerlukan modal uang. Menurut Firmanzah, di tengah-tengah persaingan politik yang semakin intens, kehadiran modal politik akan menentukan sampai seberapa jauh dan lama persaingan politik akan berlangsung. Dalam hal ini, pihak yang memiliki modal politik relatif lebih besar dibandingkan dengan pesaingnya akan diuntungkan. Begitu juga sebaliknya, pihak yang memiliki modal politik jauh lebih kecil akan kesulitan untuk bisa bersaing apalagi memenangkan kompetisi politik. Dengan demikian, menjadi penting bagi politisi maupun partai politik untuk meningkatkan kapasitas untuk memperbesar modal politik yang dimiliki.1 1 Firmanzah, 2010, Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009, Jakarta: YOI.
www.jsithopi.org
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
Membangun citra politik bukan hal yang mudah karena tidak semua faktor dapat memengaruhi atau dikontrol oleh partai politik. Banyak sekali faktor yang dapat memengaruhi citra yang dipersepsikan oleh masyarakat di luar kontrol partai politik. Faktor seperti pesaing politik dapat ‘mengganggu’ usaha suatu partai politik dalam menciptakan citra positif. Dalam iklim persaingan, masing-masing partai politik berusaha menanamkan kesan positif kepada masyarakat. Kenyataan ini membuat banyak sekali citra yang harus direkam dalam benak masing-masing individu, sehingga menyulitkan mereka untuk mengingat citra apa yang ingin diciptakan oleh suatu partai politik. Komunikasi politik adalah hal yang terus-menerus harus dilakukan partai politik dan tokoh untuk membangun citra politik. Komunikasi politik di sini dilihat sebagai usaha terus-menerus untuk melakukan komunikasi dialogis dengan masyarakat. Komunikasi politik tidak hanya terjadi sewaktu periode kampanye politik, melainkan juga melekat pada pemberitaan dan publikasi atas apa saja yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh pihak yang bersangkutan. Tujuan utamanya adalah menciptakan kesamaan pemahaman politik antara partai dan tokoh politik dengan masyarakat. Di sini diharapkan di antara keduanya bisa saling memahami satu sama lain. 2 Masalahnya, terkadang upaya membangun citra politik mendorong terjadinya deparpolisasi yang dengan demikian posisi tokoh berada di atas partai politik yang mengusungnya. Dalam kajian ilmu politik, hal ini disebut dengan “personalisasi politik”. 2 Firmanzah, 2008, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, Jakarta: YOI.
JSI
Gejala deparpolisasi juga sekaligus menegaskan fenomena yang disebut sebagai personalisasi politik. Figur politik atau kandidat menjadi lebih penting dari partai politik. Ideologi dan cleavages sosial tidak lagi memadai untuk menjelaskan perilaku memilih. Gejala yang merupakan konsekuensi logis dari modernisasi kampanye politik. Bagi publik, figur dianggap sebagai representasi gagasan dan partai politik tidak lagi menjadi satu institusi yang penting untuk menyalurkan pilihan politik. Dalam kata lain, perhatian publik tersedot pada diskusi tentang “siapa”, bukan “apa” dan “bagaimana” platform politik yang diusung oleh kandidat maupun partai politik. Rekam jejak kandidat berujung pada besaran popularitas kandidat akan menjadi faktor determinan dalam angka keterpilihannya. Orang berada di atas gagasan. Citra individu melampaui substansi. 3 Personalisasi politik menciptakan arena politik yang monopolistik manakala tokoh-tokoh lain yang hendak ikut berkompetisi tidak sangat memersonalisasikan dirinya untuk membangun status kompetitor yang kompetitif. Jadi, dapat saja satu atau dua kandidat yang lebih unggul secara personal dibandingkan dengan yang lainnya. Penciptaan monopoli politik ini bukannya hanya melibatkan kekuatan internal para pemain politik. Pubik pun berusaha diyakinkan bahwa monopoli tersebut adalah buah dari masih kuatnya kecintaan masyarakat pada tokoh yang bersangkutan.
3 Jokowi dan Personalisasi Politik”, Sinar Harapan, 31/8/2013.
www.jsithopi.org
7
JSI
8
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
FAKTOR FAKTOR KEMENANGAN SUADI YAHYA Pasangan Suaidi Yahya-Yusuf yang didukung oleh Partai Aceh berhasil memenangkan Pilkada Kota Lhokseumawe 2017 dengan meraih 31.652 suara atau 39,6 persen. Pasangan ini mengalahkan empat pasangan lainnya. Lantas, apa sajakah faktor yang membuat Suaidi Yahya bisa mempertahankan kursi jabatannya untuk lima tahun lagi? Jelas ada sejumlah perubahan situasi politik di balik kemenangan Suaidi Yahya pada Pilkada 2012 dengan kemenangan di Pilkada 2017. Pada Pilkada 2012 silam kemenangannya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor booming Partai Aceh (PA). Saat itu, PA adalah partai yang sangat mendominasi arena politik lokal. Tidak berlebihan ketika sejumlah analis politik menyimpulkan bahwa PA adalah kekuatan politik yang paling mampu memobilisasi massa dengan jumlah cukup besar saat itu. Sejumlah isu “dimainkan� guna membangun fanatisme yang begitu kental pada setiap pendukungnya, terutama di masyarakat pedesaan yang notabene menderita dampak konflik paling parah di masa silam. Riuh rendah kampanye PA menjelang Pilkada 2012 menunjukkan bagaimana organisasi membangkitkan popularitas individu-individu yang dinaikkannya ke atas panggung kompetisi. Tidak berlebihan pula dengan opini-opini yang menyatakan bahwa siapa pun yang diusung PA dalam situasi booming luar biasa saat itu pasti akan menang, terutama para tokoh yang maju sebagai calon kepala daerah di wilyah pesisir utara dan timur Aceh. Alhasil kandidat-kandidat PA di wilayah tersebut bisa menang dengan
www.jsithopi.org
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
jumlah suara signifikan. Dominasi tersebut pun faktanya tidak hanya berhasil menaikkan tokoh-tokoh mantan kombatan GAM ke tampuk kekuasaan, melainkan pula tokohtokoh non-GAM yang maju memperebutkan kursi legislator daerah. Sebelum masuk ke tahap penetapan keputusan pencalonan, tentu di internal PA terjadi semacam “kompetisi tertutup” di antara sesama anggota, terutama mantan elite GAM, untuk meraih kesempatan diusung partai dalam pilkada. Suaidi Yahya berhasil naik ke permukaan setidaknya karena dua faktor. Faktor Pertama, ia pernah menjadi Wakil Wali Kota Lhokseumawe di masa kepemimpinan Wali Kota Munir Usman. Pertimbangannya di sini adalah ia dianggap sebagai tokoh mantan kombatan di Lhokseumawe yang lebih banyak memiliki pengetahuan mengenai pemerintahan karena sudah berpengalaman menjalani seluk-beluk birokrasi. Di samping itu, ada peyakinan politik yang dilakukan Suaidi Yahya bahwa pembagian “kue kekuasaan” yang selama ia menjabat dinikmati oleh para petinggi PA dan kader-kader “pemburu proyek” akan dialokasikan lebih besar apabila ia memperoleh kursi “Lhokseumawe 1”. Permainan pengaruh yang dilakukan Suaidi Yahya berhasil sepenuhnya dalam hal ini. Tatkala ia berhasil membangikan “kue kekuasaan” yang lebih besar, maka pada Pilkada 2017 Suaidi Yahya tidak menghadapi kendala besar untuk membuat PA kembali memutuskan untuk mengusungnya. Seleksi tidak dilakukan lagi. Seleksi hanya dilakukan untuk memutuskan siapa yang layak mendampingi Suaidi Yahya. Dalam hal ini, muncul tiga nama: Husaini Pom, M Yusuf, dan Syahrul Amani. Dalam seleksi ini, posisi Suaidi Yahya adalah menyerahkan segala keputusan pada partai. Hasil akhirnya Suaidi
JSI
Yahya berpasangan dengan Yusuf pada Pilwalkot Lhokseumawe 2017. Faktor kedua, Suaidi Yahya adalah salah seorang tokoh penting GAM. Ia adalah mantan petinggi GAM di wilayah Aceh Utara. Pada saat menjadi anggota GAM, ia pernah menjabat sebagai kepala polisi GAM Daerah Pase II Aceh Utara, wakil gubernur GAM Wilayah Pase Aceh Utara, dan perwakilan GAM untuk Aceh Monitoring Mission (AMM) wilayah Aceh Utara dan Lhokseumawe.4 Artinya, ia bukan anggota GAM biasa di wilayah gerilyanya. Sebagaimana umumnya hukum pengaruh posisi, siapa pun yang menempati posisi-posisi strategis tentu memiliki pengaruh; dan dengan demikian ada orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Namun dalam konteks keterkenalan di arena publik, sebenarnya Suaidi Yahya tidak begitu populer di lingkungan publik luas sebelum ia dideklarasikan sebagai calon wali kota untuk pertama kalinya. Meski sebelumnya ia telah menjabat sebagai wakil wali kota. Mayoritas pendukung fanatik PA lebih tahu partai politiknya yang hendak berkompetisi, bukan sosok hendak yang dimajukan. Maka ketika nama Suaidi Yahya diumumkan, dalam waktu yang cukup singkat ia menjadi cukup populer. Pengaruh partai politik yang menaikkan citra tokoh. Booming Suaidi Yahya ketika itu adalah buah dari booming PA. Memang Suaidi Yahya memiliki pengaruh (kuat) di lingkungan GAM. Akan tetapi apabila PA mengusung tokoh lain, bahkan yang lebih tidak populer dibanding dirinya sekalipun, kemungkinan besar tetap akan menang. Dalam wawancara yang penulis lakukan, seorang aktor pemenangan Suaidi Yahya dengan agak tendensius mengatakan, “Kandidat yang diusung PA tetap akan menang walaupun tidak melakukan kampanye sama sekali”. 4 https://id.wikipedia.org/wiki/Suaidi_Yahya
www.jsithopi.org
9
JSI
10
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
PERSONALISASI POLITIK SUADI YAHYA
Selama periode awal kepemimpinannya, Suaidi Yahya mulai membangun pengaruh personalnya. Artinya, ia mencoba melipatgandakan modal politiknya lewat kekuasaan eksekutif yang sedang dikuasai. Dalam konteks ini, dapat dilihat ia hendak maju dengan kekuatan personal (sebagai petahana) dan pengaruh PA di masyarakat pada Pilkada 2017. Suaidi Yahya lantas maju dengan mesin politik yang dibuatnya sendiri dan mesin politik yang disediakan PA. Selama kepemimpinannya, Suaidi Yahya banyak merangkul berbagai pihak. Tidak hanya yang berstatus mantan kombatan GAM, tetapi juga aktivis, kontraktor, pebisnis, hingga awak media. Senjata utama dalam pembangunan pengaruh personalnya adalah www.jsithopi.org
dengan membagi-bagikan proyek pemerintah, baik yang berskala kecil hingga besar. Pada lingkup masyarakat yang lebih luas, ia aktif memberi bantuan-bantuan sosial macam modal usaha, mesin jahit, alat tangkap ikut, serta program-program lain yang dapat menunjang industri rumah tangga. Program-program bantuan usaha secara ideal memang hal yang harus dibuat dan dilaksanakan oleh sebuah pemerintahan, tetapi di dalam sistem demokrasi secara pragmatis dapat berguna untuk meraih simpati publik agar suara pada pemilu bisa didapatkan. Salah satu program sosial rezim Suaidi Yahya untuk membangun citra positif adalah program “Seribu Kampung Nelayan, Mandiri, Tangguh, Indah, dan Maju� (Sekaya Maritim). Program ini diberitakan dengan
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
positif oleh media-media, terutama soal keberhasilan Suaidi Yahya untuk melobi pemerintah pusat sehingga dapat membawa pulang anggaran pembangunan. Melalui program tersebut telah dilakukan pembangunan infrastruktur di dua desa seperti drainase, MCK, jalan, tempat pembuangan sampah, gedung pertemuan nelayan, dan lainnya. Begitu pula bantuan alat kerja seperti puluhan mesin boat, keramba jaring apung, alat pengolah tepung ikan dan lainnya, termasuk satu unit mobil penerang nelayan. 5 Artinya, distribusi “kue kekuasaan� yang dilakukan tidak terisolasi pada satu kelompok saja. Ia ingin didukung oleh kekuatan dari lintas elemen. Terutama sekali elemen yang paling penting dalam pemberian dukungan adalah organisasi-organisasi kepemudaan. Memang organisasi-organisasi partisan yang mendukungnya tidak semua membuat deklarasi dukungan di ruang publik. Akan tetapi para pemimpinnya memiliki keterikatan personal dengan Suaidi Yahya dan dukungan terhadapnya disetujui oleh mayoritas anggota. Organisasi-organisasi ini biasanya menjadikan dukungan tersebut sebagai suatu investasi. Maksudnya, ketika pada kemudian hari tokoh yang diusung menang, mereka berharap kepentingan-kepentingan yang diajukan akan dipenuhi oleh tokoh tersebut. Jadi, dalam relasi 5 Serambi Indonesia, 25/8/2016
JSI
tersebut ada kontrak politik yang disepakati bersama. Di samping itu, yang dibangun Suaidi Yahya selama kepemimpinannya adalah citra personal sebagai sosok pemimpin yang islami. Ini ditindaklanjuti dengan membuat sejumlah imbauan atau kebijakan seperti larangan duduk mengangkang bagi perempuan yang berboncengan di sepeda motor atau larangan merokok bagi perempuan di muka umum. Kendati memunculkan perdebatan, tetap ada kelompok masyarakat yang setuju dengan dua kebijakan tersebut. Dari hal-hal tersebut, tampak Suaidi Yahya cukup cermat membaca peluang untuk upaya image building. Inilah mengapa kemudian ketika kekecewaan masyarakat terhadap PA meluas karena bermacam penyebab, ia telah memiliki back up, yakni citra personal dan mesin politik personal yang dibangunnya dari dukungan lintas elemen sosial. Alhasil ketika tokoh paling penting di PA saat ini kalah dalam Pilgub 2017, yakni Muzakkir Manaf, dukungan untuk Suaidi Yahya masih besar. Komparasi ini lebih menarik apabila diseret sedikit jauh ke belakang, yakni bagaimana eksistensi kekuatan-kekuatan pendukung Suaidi Yahya berkipwww.jsithopi.org
11
JSI
12
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
rah dalam Pilpres 2014. Di Aceh, PA berkoalisi dengan Partai Gerindra dan PKS untuk memenangkan pasangan capres/cawapres Prabowo-Hatta. Di Lhokseumawe, pasangan Prabowo-Hatta meraih 34.616 suara, unggul signifikan atas pasangan Jokowi-JK dengan perolehan 19.296 suara. Memang tidak semua pendukung Prabowo-Hatta mengalihkan dukungan politik secara linier dalam Pilkada Lhokseumawe 2017. Bagi pengurus, kader, dan simpatisan Gerindra dan PKS, memang suara banyak tersalurkan ke Suaidi Yahya. Akan tetapi massa mengambang yang memberikan suara kepada PrabowoHatta dan tidak terikat dengan partai-partai politik pengusungnya terpecah. Sebagian mendukung Suaidi Yahya, lainnya berafiliasi dengan kandidat lain. Artinya, para pemilih yang tidak setuju dengan pasangan Jokowi-JK bukan berarti akan setuju dengan pasangan Suaidi Yahya-Nazaruddin. Ini menampakkan dukungan politik di pilpres tidak pasti akan linier di dalam pilkada. Terdapat pemilih yang tidak setuju pada Jokowi-JK tetapi juga tidak setuju dengan Suaidi Yahya-Yusuf. Ditambah lagi, tidak terjadi perpecahan politik dalam pencalonan Suaidi Yahya yang membuat satu atau beberapa tokoh penting di PA ikut mencalonkan diri dalam Pilwalkot www.jsithopi.org
Lhokseumawe 2017. Sementara di level persaingan pilgub sejumlah tokoh-tokoh mantan kombatan GAM keluar dari PA untuk maju sendiri-sendiri. Artinya, suara PA untuk Suaidi Yahya bulat. Berbeda dengan pilgub, di mana beberapa tokoh kuat di PA keluar dari partai untuk mencalonkan dirinya lewat jalur lain. Memang, menjelang hari H pemungutan suara terjadi riak konflik di internal tim sukses Suaidi Yahya dari elemen PA, namun akhirnya itu bisa diredam sehingga soliditas dukungan untuknya bisa dijaga. Akan tetapi, dukungan warga terhadap Suaidi Yahya sebenarnya mengalami kemerosotan dibanding Pilkada 2012 silam. Ini diakibatkan tumbuhnya kekecewaan warga selama periode awal kepemimpinannya. Suaidi Yahya banyak dikritik karena sejumlah permasalahan yang terjadi. Pertama, banyak infrastruktur publik yang rusak atau tidak berfungsi baik. Peroalan ini ditambah dengan pembangunan infrastruktur yang dinilai asalasalan, seperti pembuatan gorong-gorong yang besar tapi masih menyebabkan banjir, kondisi jalan yang berlubang, dan sebagainya. Kedua, persoalan anggaran. Kasus terakhir yang sempat membuat heboh adalah soal kosongnya kas daerah. Ditambah lagi dengan membengkaknya utang Pemkot
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
Lhokseumawe yang harus dibayar dengan mengutang lagi pada pihak lain. Di sini, pemilih yang kritis melihat ada ketidakcakapan pemkot di bawah kepemimpinan Suaidi Yahya dalam mengelola dan menggunakan anggaran kota dengan baik. Kejengahan publik dalam hal ini semakin memuncak manakala mereka menangkap sinyal adanya konflik DPRK Lhokseumawe dengan pihak Pemkot. Meski mayoritas kursi di DPRK Lhokseumawe saat ini dikuasai PA, yakni 10 dari 25 kursi, sejumlah anggota dewan melancarkan kritik tajam mengenai penggunaan (eksekusi) anggaran oleh Pemkot. Ketiga, sempitnya lapangan pekerjaan. Pertumbuhan lapangan kerja baru di Lhokseumawe cukup lamban sementara setiap bulannya usia angkatan kerja terus bertambah. Sementara itu, pemkot terus mendorong naiknya angka konsumsi guna merengkuh lebih banyak pendapatan di tengah kepelikan tersebut. Alhasil kemiskinan tumbuh subur di tengah situasi demikian. Persoalan ini yang paling sensitif di antara isu-isu lain yang dimainkan semua lawan politiknya dalam pilkada, untuk men-
JSI
jatuhnya kepercayaan atau kesukaan populasi pemilih padanya. Sembari itu, kekecewaan terhadap PA juga naik. Indikasi paling nyata dari ini adalah dengan kalahnya Muzakkir Manaf pada Pilkada 2017. Secara institusional, PA dapat dikatakan kehilangan banyak simpatisan karena mereka kecewa dengan kondisi sosial-politik selama partai tersebut mendominasi politik lokal Aceh. Sekali lagi, meski penggunaan isu-isu di atas dan penyebarluasan kritik pedas terhadap PA terbukti ampuh dalam semakin mengentalkan kekecewaan terhadap pemerintahan Suaidi Yahya, faktanya ia masih mampu unggul atas pesaing-pesaingnya.
www.jsithopi.org
13
JSI
14
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
KETIADAAN TOKOH ALTERNATIF KUAT sebelum Munir Usman-Suaidi Yahya. Namun, pergantian ini bukannya semakin memperkuat kubu Sofyan yang mengimbau para pendukungnya mengalihkan dukungan untuk Rahmatsyah. Alhasil, hasil yang diperoleh kubu Rahmatsyah sama dengan pilkada yang diikuti sebelumnya, yakni kalah telak dari Suaidi Yahya. Ini mengindikasikan bahwa Rahmatsyah memang populer, tetapi ia tidak mempunyai kekuatan politik yang mengakar. Salah satu faktor sudah disebutkan di atas, yakni karena ia masih ditopang oleh dukungan penuh PA, yang dipadukan dengan dukungan dari pihak-pihak non-PA yang dirangkulnya sendiri lewat sumber-sumber kekuasaan. Faktor lain yang cukup penting adalah meski para kompetitornya memainkan isu-isu utama di atas untuk memerosotkan elektabilitas Suaidi Yahya, mereka tidak cukup mampu hadir sebagai pesaing yang kompetitif. Belum ada tokoh politik yang memiliki pengaruh kuat yang luas untuk menyaingi kekuatan petahana yang sudah mengakar di lapangan sosial. Memang Sofyan adalah orang pertama yang mendeklarasikan diri akan maju dalam bursa Pilwalkot Lhokseumawe 2017, akan tetapi ia kemudian dinyatakan gugur karena tidak lolos psikotes. Padahal, Sofyan terhitung cukup mampu menyita perhatian publik dalam waktu cepat dan sembari itu ia terus menggalang dukungan, terutama pada masyarakat di kawasan Kecamatan Muara Dua. Pencalonan Sofyan kemudian diganti dengan Rahmatsyah, tokoh yang pernah menduduki kursi Wali Kota Lhokseumawe www.jsithopi.org
Begitupula dengan pasanganpasangan calon yang lain, yang sebenarnya bahkan tidak kompetitif hanya untuk berhadapan dengan Rahmatsyah. Artinya, meski lima tahun pertama kepemimpinan Suaidi Yahya banyak masalah dan isu potensial yang selalu digunakan untuk mengkritiknya, tidak ada satu pun tokoh yang bisa membesarkan diri dengan isu-isu tersebut. Katakanlah Sofyan lolos verifikasi, akan tetapi bukan berarti ia secara niscaya akan kompetitif dengan segera. Sebab, Sofyan pada faktanya belum populer secara meluas. Di lingkungan para aktivis ia memang cukup dikenal. Namun demikian dikenal dan didukung oleh sejumlah segmen pemilih saja tidaklah cukup untuk memenangkan perebutan kursi kekuasaan. Pada akhirnya, Suaidi Yahya hanya diterpa kritik-kritik, tetapi tidak diterpa tekanan dari komptitor politik potensial. Inilah yang membuatnya tetap bergeming meski sejumlah tiang penyangga kekuatannya berhasil dirobohkan. Suaidi Yahya sangat diuntungkan dengan lingkungan persaingan politik yang belum mampu memunculkan tokoh-tokoh politik yang kompetitif.
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
JSI
KESIMPULAN Mengakhiri tulisan ini, penulis mencoba Banyak orang memprediksi kejatuhan PA secara signifikan akan terjadi pada Pilkada 2022 mendatang. Tanda-tandanya kemerosotannya sudah terlihat dari beberapa kali prosesi elektoral digelar. Namun dengan catatan, apabila kepala-kepala daerah yang diusung PA gagal memperbaiki kekurangan-kekurangan di periode selanjutnya dan menambah daftar permasalahan baru yang membuat kekecewaan makin menggunung. Akan tetapi, kelompok-kelompok penekan yang tidak setuju dengan kepemimpinan Suaidi Yahya bisa meraih simpati publik yang luas hanya dengan membiarkan isu beredar dengan sendirinya, tanpa adanya suatu upaya yang tersistematis untuk memajukan tokoh alternatif yang berintegritas dan kapabel. Tidak hadirnya tokoh alternatif yang kuat adalah kegagalan masyarakat yang kecewa itu sendiri. Publik yang kecewa terus mereproduksi kritik-kritik berbasis realitas tetapi lupa menyepakati siapa tokoh yang layak menggantikan Suaidi Yahya, lalu setelah itu diperkuat dengan bermacam modal politik baik itu modal sosial, finansial, citra, dan sebagainya. Selain itu, di tengah tidak adanya tokoh yang mampu meng-counter
attack dominasi Suaidi Yahya, pesaing yang muncul relatif banyak sehingga memecah suara tokoh terkompetitif di urutan kedua. Tampak bahwa para pesaing Suaidi Yahya tidak melakukan kalkulasi politik yang cermat sehingga bisa dilihat hasilnya di mana mereka memperoleh suara yang sangat timpang dari perolehan suara Suaidi Yahya. Umpamanya empat pasangan kandidat lainnya menyatukan kekuatan, kemungkinan besar persaingan menjadi kompetitif. Hanya saja tentu tidak mudah membangun kesepakatan seperti itu di tengah ambisi berkuasa yang kuat dan tidak dibarengi kalkulasi politik yang cermat. Bagi PA sendiri, Pilkada 2017 adalah kesempatan terakhir mereka mengusung Suaidi Yahya. Artinya, pada pilkada selanjutnya ia harus memunculkan sosok lain yang bisa saja belum memiliki daya tarik personal. Situasi ini memberi ruang bagi tokoh pesaing untuk merebut pengaruh. Ditambah lagi apabila PA gagal memproteksi citranya, melemahkan kepercayaan secara institusional dan ketidakpopuleran personal tokoh yang diusung bisa saja membuat PA kalah dalam pemilihan wali kota dan wakil wali kota untuk pertama kalinya.
www.jsithopi.org
15
JSI
16
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
SARAN Dari uraian di atas, ada beberapa saran yang dapat penulis ajukan. Saran-sarannya ditujukan kepada dua pihak, yakni bagi PA dan kelompok pengontrol/penekan pemerintah. Saran untuk PA 1. Faktor kekuatan institusional bisa tidak memberi dampak signifikan lagi pada pilkada selanjutnya apabila kepercayaan publik PA telah jatuh secara signifikan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perbaikan citra partai dengan langkah-langkah yang konstruktif dan efektif. 2. Pengusungan calon wali kota ke depannya sebaiknya tidak lagi melulu harus mantan kombatan GAM. PA harus membuka diri untuk tokoh-tokoh non-GAM yang potensial dan dari persepsi publik yang ditangkap memiliki kapabilitas untuk menjalankan roda pemerintahan. Saran untuk oposisi PA 1. Deklarasi sebagai bakal calon wali kota yang akan bersaing dengan kandidat dari PA sebaiknya dilakukan jauh-jauh hari sehingga dimiliki waktu yang banyak untuk membangun popularitas dan meraih simpati publik dalam skala yang luas. 2. Untuk melahirkan figur yang kompetitif, kerja-kerja politik harus sudah mulai dilakukan ketika pemerintah yang baru mulai bekerja. Sosok yang diupayakan memiliki kekuatan yang mengakar harus terlibat aktif dalam kegiatan mengontrol pemerintah, yang utamanya dimanifestasikan dengan memublikasi pandangan-pandangan kritis di media massa.
* Bisma Yadhi Putra, Alumnus Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: bisma.ypolitik@gmail.com.
www.jsithopi.org