LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif
Kasus Posisi Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengkritisi penerapan pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dalam pengajuan permohonan gugatan sengketa Pilkada Aceh ke Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut terkait syarat selisih suara minimal di bawah 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada. Yusril mengatakan, Pasal 158 UU Pilkada tidak bisa diberlakukan untuk Aceh. Sebab, Aceh memiliki aturan main sendiri untuk pemilihan kepala daerah. Yaitu pada Pasal 74 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam Pasal 158 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Serentak dijelaskan soal syarat gugatan sengketa Pilkada. Khusus konteks Aceh dengan penduduk sekitar 5 juta, maka pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. Hal tersebut diatur lebih lanjut Dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 7 juga dijelaskan bahwa persentase selisih suara dihitung dari suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara sah tahap akhir. Sementara penyelesaian sengketa Pilkada Aceh merujuk Pasal 74 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam ayat (1) pasal tersebut dijelaskan Peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota berhak mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan KIP. Kemudian di ayat (2) Pasal 74 UUPA menjelaskan, Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan. Pada ayat (3) Pasal 74 UUPA yang berbunyi, keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Yusril berpendapat bahwa jika mengacu pada pasal 74 UUPA maka tidak ada ambang batas persentasi minimal untuk syarat mengajukan sengketa hasil pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU 10 tahun 2016 dan Peraturan MK No 1 tahun 2016. terdapat lex spesialis atau hukum yang bersifat khusus dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memperbolehkan pengajuan gugatan ke MK tersebut.
JARINGAN SURVEI INISIATIF Alamat : Jln. T. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Telepon : (0651) 6303 146 Email : js.inisiatif@gmail.com, Website : www.jsthopi.org
2
Sehingga yusril berkesimpulan bahwa karena tidak ada ketentuan mengenai persentase perselisihan yang dapat diajukan dalam UUPA, maka UUPA dianggap sebagai lex specialist (ketentuan khusus) sedangkan UU pilkada adalah Lex Generalis (Ketentuan umum). Logika hukum lain yang digunakan Yusril adalah pada tahapan pencalonan menggunakan mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 UUPA. Dengan demikian maka penyelesaian sengketa juga harus merujuk kepada UUPA. KIP Aceh sendiri telah memplenokan hasil suara pilkada yang berlangsung di 23 kabupaten dan kota di Aceh. Pasangan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah unggul dengan 898.710 suara. Disusul Muzakir Manaf-TA Khalid dengan mendulang 766.427 suara. Keduanya selisih 132.283 suara atau sekira 5 persen. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada Muzakir Manaf tidak bisa mengajukan permohonan penyelesaian sengketa perselisihan suara. Berdasarkan hal tersebut maka tim kuasa hukum Muzakir –TA Khalid sedang menelaah kemungkinan untuk melakukan uji materiil terhadap ketentuan persentase pengajuan syarat penyelesaian sengketa hasil perselisihan suara kepada MK. Dikarenakan tidak ada syarat persentase tersebut dalam UUPA.
Permasalahan Hukum Berdasarkan uraian diatas, maka kajian ini akan menfokuskan pada permasalahan hukum yang dirumuskan menjadi pertanyaan hukum, yaitu : 1. Ketentuan apakah yang digunakan dalam penyelesaian sengketa Perselisihan hasil Pemilihan pada Pilkada Aceh Tahun 2017? 2. Apakah Ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur persentase selisih suara dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa Perselisihan hasil Pemilihan pada Pilkada Aceh Tahun 2017 ?
3
Bagaimana Regulasi penyelesaian sengketa Perselisihan hasil Pemilihan pada Pilkada Aceh Tahun 2017? Sebagai daerah yang memiliki kewenangan khusus, penyelenggara Pilkada Aceh diatur oleh UUPA yang pengaturannya lebih lanjut diatur oleh Qanun Aceh. Hal tersebut sebagaimana terangkum dalam Pasal 73 UUPA : Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 diatur lebih lanjut dengan qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan, dalam pasal 74 UUPA telah diatur pengaturan mengenai mekanisme tersebut : Ayat (1), Peserta pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota berhak mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan yang ditetapkan oleh KIP. Ayat (2), Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah hasil pemilihan ditetapkan. Ayat (3, Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (4), Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan. Ayat (5), Mahkamah Agung menyampaikan putusan sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada: a. KIP; b. pasangan calon; c. DPRA/DPRK; d. Gubernur/bupati/walikota; dan e. partai politik atau gabungan partai politik, partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal, atau gabungan partai politik dengan partai politik lokal yang mengajukan calon. Ayat (6), Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) bersifat final dan mengikat. Berdasarkan Pasal 74 UUPA, maka dijelaskan bahwa Peserta Pilkada dapat mengajukan keberatan terhadap hasil pemilihan hanya kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 3 hari sejak ditetapkan hasil pemilihan. Keberatan tersebut hanya terhadap hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Dari rumusan pasal tersebut UUPA secara tegas mengatakan bahwa yang berwenang mengadili adalah MA dan tidak memberikan opsi kepada lembaga peradilan lain yang berwenang mengadili.
4
Ketentuan tersebut berbeda pada Qanun Pilkada Aceh tahun 2017. Dalam Pasal 83 Qanun Aceh Nomor 12 tahun 2016 Tentang Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, Serta walikota dan wakil walikota, rumusan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan tetap sama dengan Pasal 74 UUPA, akan tetapi dalam Qanun tidak menyebutkan lembaga peradilan tertentu yang berwenang mengadili. Berbeda dengan UUPA yang tegas menyatakan bahwa perselisihan hasil pemilihan diajukan kepada mahkamah Agung. Berikut bunyi pasal 83 Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 : Ayat (1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Lembaga Peradilan yang berwenang dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah penetapan hasil pemilihan. Ayat (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Ayat (3) Lembaga Peradilan yang berwenang memutuskan sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan. (4) Putusan Lembaga Peradilan yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat. Mengapa ketentuan dalam Qanun Pilkada Aceh terkait penyelesaian sengketa berbeda dengan UUPA? Disinilah perlu dipahami bahwa Qanun Pilkada menyerahkan kepada lembaga peradilan yang berwenang maka harus dilihat kepada aturan peraturan perundang undangan lain yang lebih tinggi atau setara yang mengatur pelaksanaan Pilkada tahun 2017. Disinilah Qanun Pilkada Aceh berupaya melakukan harmonisasi dengan UU Pilkada dikarenakan mekanisme tahapan Pilkada 2017 yang tidak hanya berbeda pelaksanaannya namun juga dilaksanakan secara serentak di 101 daerah di Indonesia. Pada Pilkada 2017 yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa Pilkada adalah Mahkamah Konstitusi (“MK�), yakni khususnya sengketa hasil Pilkada, bukan lagi Mahkamah Agung (“MA�). Wewenang MK ini ada sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Wewenang MK untuk menangani sengketa hasil Pilkada ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang. Dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 157 ayat (1), (2), dan (3) UU 10 Tahun 2016 yang berbunyi: (1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. (2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
5
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. (4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi. (5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. (6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara. (7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. (8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan. (9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat. (10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, terjadi pengalihan mengenai lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan hasil sengketa Pilkada langsung, dimana sengketa hasil Pilkada diselesaikan oleh Badan Peradilan Khusus. Namun demikian, badan peradilan khusus apa yang dimaksud, Pasal 157 UU Pilkada tidak menentukan secara limitatif. Pasal 157 ayat (2) UU 10 tahun 2016 hanya menentukan bahwa badan peradilan khusus tersebut akan dibentuk sebelum pelaksanaan pilkada serentak nasional. pelaksanaan pilkada serentak nasional adalah tahun 2027. Hal itu dipertegas dengan tterbit UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan tentang pengalihan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK. Pasal 236C berbunyi “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UndangUndang ini diundangkan.� Qanun Pilkada Aceh telah menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepada lembaga Peradilan yang berwenang. Berdasarkan uraian diatas yang berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan adalah MK. Meski pada dasarnya sengketa hasil Pilkada diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus sebagaimana diatur UU Pilkada. Namun, untuk sementara dalam rangka agar tidak terjadi kekosongan hukum, segala sengketa hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Dengan demikian MA sejak berlakunya UU Pilkada tidak lagi berwenang menyelesaikan sengketa Perselisihan hasil Pilkada.
6
Apakah Ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur persentase selisih suara dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa Perselisihan hasil Pemilihan pada Pilkada Aceh Tahun 2017 ? Pada pilkada serentak tahun 2017, terjadi perubahan mendasar terhadap syarat pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara. Yaitu dengan penetapan besaran persentase selisih suara tahap akhir yang masing masing besaran persentase dtentukan berdasarkan jumlah penduduk. Ada yang 2 persen, 1 persen, 1,5 persen dan 0,5 persen. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 7. dijelaskan bahwa persentase selisih suara dihitung dari suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara sah tahap akhir. Untuk Aceh sendiri dengan jumlah penduduk lebih kurang lima juta, maka pada sengketa hasil pemilihan berlaku ketentuan pasal 158 ayat (1) huruf b UU 10 tahun 2016 : “Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi; Ketentuan ini pada dasarnya dapat diberlakukan pada penyelesaian sengketa Pilkada Aceh karena dalam rumusan pasal 74 UUPA tidak diatur secara khusus mengenai besaran persentase syarat pengajuan permohonan perselisihan kepada lembaga yang berwenang. Andaikata dalam UUPA diatur mengenai besaran persentase tersebut maka barulah ketentuan tersebut dapat dikatakan bersifat khusus (lex specialis). Selama tidak diatur besaran persentase secara khusus maka berlaku ketentuan yang berlaku umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 199 UU 10 tahun 2016 pada Bab Ketentuan Lain Lain yaitu: Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri. Pandangan bahwa mekanisme tahapan pilkada Aceh lainnya mengacu kepada UUPA sedangkan sengketa kenapa tidak mengacu kepada UU Khusus adalah tidak tepat. Sebab pelaksanaan Pilkada Aceh pada dasarnya selain mengacu kepada UUPA juga berpedoman kepada peraturan Perundang undangan yang berlaku secara nasional, sepanjang tidak diatur secara spesifik dalam UU Khusus. Misal pada ketentuan pencalonan syarat dukungan calon independen dimana di Aceh diatur secara spesifik sebanyak 3 persen dari jumlah penduduk yang tersebar di 50 persen kab.kota (Untuk pemilihan Gubernur) dan 50 % Kecamatan (Untuk pemilihan Bupati & Walikota) . Sebaliknya di dalam Pasal 41 UU No.10 Tahun 2016 jumlah dukungan bagi calon perseorangan dikaitkan dengan jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih tetap suatu wilayah. UUPA mengatur besaran flat 3 persen jumlah dukungan sedangkan di UU Pilkada pengaturan minimal dukungan bervariasi tergantung jumlah penduduk. Maka karena dua peraturan mengatur hal yang sama yang digunakan adalah ketentuan yang bersifat khusus.
7
Contoh Lex Specialis Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (Manan, 2004:56), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu: (1)
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
(2)
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
(3)
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis..
contoh aturan pada pelaksanaanya Pilkada Aceh dimana berlaku Asas Lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. (1) Ketentuan dukungan bagi calon perseorangan, dimana di dalam Pasal 68 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa calon perseorangan harus memperoleh dukungan paling sedikit 3% dari jumlah penduduk yang tersebar disekurang-kurangnya 50% dari jumlah kab/kota untuk pemilihan Gubernur/wakil Gubernur, dan 50% dari jumlah kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Sebaliknya di dalam Pasal 41 UU No.10 Tahun 2016 jumlah dukungan bagi calon perseorangan dikaitkan dengan jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih tetap suatu wilayah. Poin (a) menyebutkan propinsi yang jumlah penduduknya 2.000.000, maka syarat dukungannya paling sedikit 10%, jika antara 2.000.000 sampai 6.000.000, maka syarat dukungannya 8.5%, dst. (2) Ketentuan syarat bagi calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; Pada pasal 67 ayat (2) huruf e yang menyatakan bahwa calon Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota harus berumur, sekurang-kurangnya 30 tahun. Sementara UU No.10 Tahun 2016, pasal 7 huruf e, menyebutkan bahwa untuk calon Gubernur/Wakil Gubernur berusia sekurangkurangnya 30 tahun, sedangkan untuk calon Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/wakil Walikota harus berusia paling rendah 25 tahun.
8
Contoh Lex posterior Dalam hukum dikenal asas lex posterior derogat legi priori yaitu aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas ini antara lain bermaksud mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada saat aturan hukum baru mulai berlaku. berikut contoh aturan pada pelaksanaanya Pilkada Aceh dimana berlaku Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru dikarenakan hukum dalam aturan lama tidak mengatur secara spesifik terkait aspek yang sama. (1) Ketentauan tentang verifikasi faktual dukungan KTP bagi calon perseorangan dilakukan dengan cara sensus, sebagaimana diatur dalam UU Pilkada nasional, sementara dalam Qanun No.5 Tahun 2012 tidak menyebutkan secara spesifik tentang mekanisme verifikasi apakah secara sensus dan atau sampling. maka digunakan mekanisme sensus dalam proses verifikasi dukungan KTP. (2) Ketentuan tentang pelaksanaan kampanye, dimana di dalam UUPA tidak ada pengaturan tentang kampanye, maka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Qanun dengan berpedoman kepada kepada UU No.10 Tahun 2016. (3) Ketentuan tentang dana kampanye, dimana hal tersebut tidak diatur secara khusus di dalam UUPA, namun terdapat dalam UU No.10 Tahun 2016. Misalnya di dalam Qanun sumbangan bersumber dari partai politik dan pihak lain yang tidak mengikat. Sementara dalam UU No.10 Tahun 2016, sumbangan dana kampanye bersumber dari partai politik, sumbangan pasangan calon, dan pihak lain. Sementara dalam UU Pilkada nasional batasan maksimal dari perorangan adalah Rp.75 juta, dan Rp.750 juta dari badan hukum. maka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dengan Qanun dengan berpedoman kepada kepada UU No.10 Tahun 2016 (4) Ketentuan tentang masa kampanye, dalam UUPA tidak ditentukan secara spesifik berapa hari masa kampanye, sementara di dalam UU Pilkada pada Pasal 67 ayat (1) dilaksanakan 3 (tiga) hari setelah penetapan pasangan calon sampai dengan dimulainya masa tenang. Ketentuan tersebut diatur pada PKPU No.7 Tahun 2016 tentang Tahapan, Jadwal dan Program Pilkada dilaksanakan sejak 28 Oktober 2016 – 11 Februari 2017 (3 bulan).
9
KONKLUSI HUKUM (1) Ketentuan persentase besaran selisih suara sebagaimana diatur oleh rumusan pasal 158 UU plkada dapat saja tidak berlaku, dengan catatan, apabila sengketa perselisihan hasil pilkada aceh diajukan kepada mahkamah agung. Selama penyesaiain perselisihan hasil pemilihan dillakukan diluar lembaga peradilan yang diatur oleh pasal 74 UUPA yaitu Mahkamah Agung, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan badan peradilan yang mengatur mekanisme beracara pada lingkup peradilan tersebut. Dikarenakan penyelesaian sengketa pilkada telah dialihkan dari mahkamah Agung kepada Mahkamah konstitusi sampai dibentuknya Badan Peradilan khusus, maka berlaku ketentuan beracara yang diatur oleh Mahkamah konstitusi. (2) Qanun Pilkada Aceh telah menyerahkan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepada lembaga Peradilan yang berwenang. Sesuai Pasal 157 UU 10 Tahun 2016, Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Dengan demikian ketentuan pasal 74 UUPA tidak dapat diterapkan dalam Pilkada serentak tahun 2017. (3) Pasal 74 UUPA tidak menjadi lex specialist daripada Pasal 158 UU Pilkada, dikarenakan dalam UUPA tidak mengatur hal spesifik terkait besaran persentase selisih suara sebagai syarat pengajuan perselisihan hasil pemilihan. Dengan demikian yang berlaku adalah Asas lex posterior yang mewajibkan penggunaaan hukum yang baru. Asas lex posterior dianut oleh UU pilkada pada pasal 199, dimana disebutkan bahwa : Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.