PRODUK
K a j i a n T E M AT I K JARINGAN SURVEY INISIATIF
REFLEKSI
PARTISIPASI PEREMPUAN DI PILKADA ACEH COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2017 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
©
DAFTAR ISI WRITERS ARYOS NIVADA
PENDAHULUAN
3
PERJALANAN PARTISIPASI PEREMPUAN
4
HAMBATAN & TANTANGAN
9
PENELITI JSI
Editor & Layout Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT
ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF
JALAN KE DEPAN
rJARINGAN SURVEY INISIATIF
Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com
11
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
JSI
PENDAHULUAN Perempuan dan politik tidak pernah bisa dipisahkan disetiap pesta demokrasi. Benar adanya karena melalui instrumen pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada), pemilihan legislatif (Pileg), dan pemilihan presiden (Pilpres) mereka terlibat langsung. Partisipasi perempuan selalu memiliki nilai tertentu dalam dinamika politik dan demokrasi. Ini pulalah yang selalu menjadi diskursus yang menarik untuk menjadi bahan perbincangan para peminat Pilkada, Pileg ataupun Pilpres. Maka tulisan ini menjadi salah satu bagian dari dikursus itu sebagai bentuk kontribusi bagi urung rembuk perjalanan partisipasi perempuan dalam pesta demokrasi di Aceh, khususnya melalui Pilkada dalam masa 3 periode terakhir.
P
artisipasi perempuan dalam politik lokal di Aceh dapat dilihat dari dua aspek besar. Pertama, partisipasi sebagai kandidat Pilkada, terutama sebagai calon bupati/wakil bupati ataupun calon walikota/ wakil walikota (kami tidak menyebut gubernur/wakil gubernur karena sejauh ini belum pernah ada kandidat perempuan). Kedua, adalah partisipasi sebagai pemilih, karena bagaimanapun suara perempuan selalu strategis dalam menentukan pilihan-pilihan dan menjadi peta sasaran dari target yang diperhitungkan untuk dijangkau oleh kandidat Pilkada. Ini belum termasuk partisipasi perempuan sebagai penyelenggara, baik sebagai Komisi Independen Pemilihan (KIP) ataupun Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih, juga disebut Panwaslu) beserta turunannya. Jadi tulisan ini terbatas pada pembahasan partisipasi perempuan sebagai kandidat Pilkada dan partisipasi perempuan sebagai peserta pemilihan saja.
www.jsithopi.org
3
JSI
4
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
PERJALANAN PARTISIPASI PEREMPUAN DI PILKADA ACEH Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimakPilkada Aceh tahun 2006 mencatat bahwa partisipasi perempuan sebagai kandidat adalah sebesar 1,93 %, sedangkan di Pilkada 2012 jumlahnya meningkat menjadi 7,82 % dan tahun 2017 lalu mencapai 6,25 % (Gambar 1). Tahun 2006 misalnya, dari sebanyak 260 orang calon kepala daerah yang mendaftar ke KIP, dengan 130 pasang calon tersebut, secara umum lebih didominasi oleh laki-laki dibandingkan perempuan.
www.jsithopi.org
Pilkada pertama setelah damainya Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini mungkin masih menjadi penyebab partisipasi perempuan belum begitu signifikan. Apalagi mengingat juga masa-masa kelam konflik masih menjadi bayangbayang, sehingga mungkin agak sedikit menyurutkan langkah kaum hawa untuk memberanikan diri maju sebagai calon kandidat dalam Pilkada Aceh pada tahun 2006 itu.
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
Lain lagi pada Pilkada 2012, merujuk dari data yang dilansir Media Center KIP Aceh mengungkapkan bahwa terdapat tujuh orang calon kepala daerah dari kaum perempuan. Dari tujuh calon kepala daerah perempuan tersebut, tiga diantaranya mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mereka itu adalah, (1) Dra. Yulinar Ahmad sebagai calon Bupati Aceh Utara, (2) Hj. Soraya Hasbi mencalonkan diri sebagai Walikota Langsa, dan (3) Sri Wahyuni, S.Hi terdata sebagai calon Bupati Bener Meriah. Tidak sebatas di posisi bupati atau orang nomor satu saja, dilevel wakil kepala daerah juga perempuan ikut andil secara nyata. Terdapat 4 orang sebagai calon wakil kepala daerah di tingkat kabupaten/ kota. Nama-namanya adalah sebagai berikut; (1) Illiza Sa’aduddin Djamal mencalonkan diri sebagai wakil walikota di Kota Banda Aceh, (2) Lindawati mencalonkan diri sebagai wakil walikota di Kota Banda Aceh (3) Nuraini Maida sebagai calon wakil bupati Aceh Utara, serta (4) Nurhayati Sahali calon bupati Gayo Lues. Tak pelak Keempat calon wakil walikota dan wakil bupati itu mewarnai kontestasi sehingga menjadikan Pilkada di Aceh semakin semarak. Menariknyanya. Ada dua hal yang dapat dilihat dari fenomena kontetasi perempuan di tataran demokrasi lokal Aceh. Pertama, dari 4 orang calon wakil kepala daerah perempuan, hanya satu yang berhasil memenangkan pertarungan demokrasi itu. Tercatat Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai wakil walikota Banda Aceh yang terpilih sebagai pendamping Mawardi Nurdin sebagai walikota Banda Aceh untuk periode 20062012. Sementara 3 lainnya belum berhasil dengan sukses. Kedua, pemilih perempuan dibeberapa kabupaten/kota yang memiliki calon perempuan, baik sebagai walikota/ wakil walikota atau bupati/wakil bupati tidak serta merta sepenuhnya pemilih perempuan juga memilih kandidat berdasarkan preferensi kesamaan kelamin. Perempuan ternyata tidak otomatis memilih perempuan juga sebagai pemimpinnya.
JSI
Jadi memang kompetisi Pilkada Aceh sepertinya tidak punya pengaruh signifikan apakah calon dari kalangan perempuan atau kalangan laki-laki yang akan berhasil sebagai pemenang, tetapi kelihatannya lebih kepada bagaimana merebut hati pemilih secara optimal. Jadi semakin baik komunikasi serta jangkuan kandidat terhadap pemilih, acapkali juga berpengaruh besar terhadap peluangnya dalam memenangkan kompetisi Pilkada itu. Ada yang menarik dalam perjalanan Pilkada Aceh 2012 tersebut. Pada tahap pendaftaran awal hanya terdapat 7 orang kandidat perempuan, namun berikutnya bertambah menjadi 9 orang. Penambahan 2 orang kandidat perempuan ini karena mereka menggantikan posisi suaminya yang gagal dalam tahap pencalonan. Kedua kandidat perempuan itu adalah calon bupati Aceh Timur yaitu Sukiyawati yang menggantikan posisi suaminya Azman Usmanuddin karena tersangkut masalah hukum. Satu lagi dari Kabupaten Aceh Singkil muncul nama Cut Khairana yang maju menggantikan suaminya Ali Hasmi karena gagal dalam uji mampu baca Al Quran. Kemudian peta berubah lagi, dimana dalam perjalanan yang awalnya Yulinar Ahmad sebagai calon bupati Aceh Utara ternyata gagal dikarenakan tidak lolos verifikasi. Jadi memang kompetisi Pilkada Aceh sepertinya tidak punya pengaruh signifikan apakah calon dari kalangan perempuan atau kalangan laki-laki yang akan berhasil sebagai pemenang, tetapi kelihatannya lebih kepada bagaimana merebut hati pemilih secara optimal. Jadi semakin baik komunikasi serta jangkuan kandidat terhadap pemilih, acapkali juga berpengaruh besar terhadap peluangnya dalam memenangkan kompetisi Pilkada itu.
www.jsithopi.org
5
JSI
6
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
Ada yang menarik dalam perjalanan Pilkada Aceh 2012 tersebut. Pada tahap pendaftaran awal hanya terdapat 7 orang kandidat perempuan, namun berikutnya bertambah menjadi 9 orang. Penambahan 2 orang kandidat perempuan ini karena mereka menggantikan posisi suaminya yang gagal dalam tahap pencalonan. Kedua kandidat perempuan itu adalah calon bupati Aceh Timur yaitu Sukiyawati yang menggantikan posisi suaminya Azman Usmanuddin karena tersangkut masalah hukum. Satu lagi dari Kabupaten Aceh Singkil muncul nama Cut Khairana yang maju menggantikan suaminya Ali Hasmi karena gagal dalam uji mampu baca Al Quran. Kemudian peta berubah lagi, dimana dalam perjalanan yang awalnya Yulinar Ahmad sebagai calon bupati Aceh Utara ternyata gagal dikarenakan tidak lolos verifikasi. Pilkada Aceh 2012, sepertinya menjadi pertaruhan penting partisipasi perempuan sebagai calon kandidat Pilkada. Mengingat pertambahan yang signifikan dari Pilkada Aceh tahun 2006 yang hanya sebesar 1,93 % menjadi 7,83 % di Pilkada Aceh 2012. Artinya secara persentase jumlah ini meningkat sebesar 5,90 %, sebuah angka yang penting untuk dicermati (Gambar 2). Pertambahan ini merefleksikan betapa perempuan sesungguhnya juga memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam hal partisipasi politik lewat Pilkada, terutama sebagai calon kandidat. Hal ini selaras dengan apa yang diupayakan oleh para pegiat demokrasi diberbagai negara, sebagaimana Deklarasi Meksiko 1975 tentang Kesetaraan Perempuan (Equality of Women) dalam urusan politik. Deklarasi ini menyebutkan bahwa perempuan adalah aktor vital dalam upaya mempromosikan kedamaian dunia www.jsithopi.org
dalam berbagai sektor, mulai dari keluarga, komunitas masyarakat dan partisipasi dalam politik. Negara kita Indonesia menjadi salah satu dari 101 negara yang turut meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menjadi landasan legal dalam pelaksanaan hak-hak perempuan untuk pemenuhan standar hak asasi manusia yang didalamnya termasuk hak perempuan. Pada momentum Pilkada Aceh 2017, rupanya cerita partisipasi perempuan mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2006. Melihat persentase selisihnya sekitar 1,57 % (Gambar 3), persentase yang cukup tipis. Data membuktikan bahwa terdapat 5 orang yang maju sebagai calon kandidat Pilkada, baik di posisi nomor satu atau dua. Dimulai pertama dari Afriadawati posisi wakil bupati Simeulue yang diusung oleh PBB, Partai Hanura, Partai Aceh, dan Partai Gerindra. Statusnya menjadi pemenang, walaupun di posisi wakil. Kedua adalah sosok Hj. Syamsinar yang mencalonkan sebagai wakil bupati Aceh Barat Daya. Partai pengusungnya meliputi PDIP, Partai Golkar, PPP, Partai Hanura, dan PBB. Ketiga yaitu Hj. Illiza Sa’aduddin Djamal yang diusung dari partai politik Demokrat, Partai Aceh, PKS, PPP, dan Partai Damai Aceh. Selanjutnya keempat di Lhokseumawe ikut serta kandidat perempuan bernama Hj. Maisyuri, SE., M.Si, diusung oleh Partai Nasional Demokrat dan PKB. Terakhir, kelima adalah sosok anggota DPRA yang maju mencalonkan diri sebagai walikota Langsa yaitu Hj. Yuniar, SP, M.Si yang diusung oleh partai nasional Golkar dan PAN.
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
JSI
www.jsithopi.org
7
JSI
8
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
Kalau kita pelajari track record (rekam jejak) dari mereka semua Kalau kita pelajari track record (rekam jejak) dari mereka semua , perempuan yang ikut serta mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah memiliki latar belakang politik yang bagus. Mulai sebagai incumbent (petahana), anggota dewan, dan lain-lain. Akan tetapi sekali lagi dapat ditegaskan bahwa tidak otomatis setiap calon perempuan juga di ikuti dengan dipilih seluruhnya oleh pemilih perempuan. Disinilah salah satu aspek penting untuk dicermati, terutama terkait dengan motif atau faktor-faktor penyebabnya. Bahasan ini akan diuraikan kemudian. Bila kita telusuri data dari Komisi Pemilihan Umum ternyata tingkat partisipasi perempuan yang ikut serta di Pilkada mengalami naik turun. Terlihat pada tabulasi data tingkat partisipasi perempuan se-
www.jsithopi.org
bagai calon kandidat Pilkada Aceh dari tahun 2006, 2012 dan 2017. Berbeda halnya dalam partisipasi sebagai pemilih. Ditinjau dari data Komisi Pemilihan Umum ditemukan jumlah pemilih perempuan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Untuk tahun 2006. Penulis tidak mendapatkan data valid mengenai persentase pemilih perempuan dan laki laki. tahun 2012 Pemilih perempuan sebanyak 1.635.874, kemudian pelaksanan Pilkada Aceh 2017 mengalami kenaikan lagi sebesar 1.746.619 orang (Tabel 4). Faktor mendasar kenaikan itu, dikarenakan kenaikan daftar pemilih seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
JSI
Hambatan dan Tantangan Perempuan di Panggung Politik
Kembali menjawab pertanyaan di paragraf sebelumnya, mengapa jumlah pemilih perempuan yang terlibat di Pilkada Aceh cukup besar, tetapi tidak berkorelasi signifikan terhadap dukungan politik bagi perempuan juga?. Agaknya jawaban berikut ini dapat memberikan informasi penting bagi kita. Pada refleksi Pilkada Aceh 2017 terhadap ruang partisipasi perempuan, Balai Syura Ureung Inong Aceh bekerjasama dengan Internasional Republican Institute (4 Maret 2017) berhasil mengungkap suatu fakta bahwa pilihan-pilihan perempuan terutama yang sudah berkeluarga, masih kuatnya pengaruh suami dan pengaruh lingkungan yang membentuknya.
Maka wajarlah saja, pilihanpilihan politik perempuan cenderung tidak serta merta memberikan pilihan pada kaumnya juga. Tentu saja banyak hal lainnya yang membuat minimnya partisipasi politik perempuan. Menurut Samsul Bahri (26/10/2016, klikkabar.com) dalam tulisannya mengatakan, realitas kondisi kehidupan perempuan Aceh menjelang Pilkada sering dijadikan alat politik para kaum laki-laki. Perempuan sering dijadikan tameng dalam menyusun kekuatan massa menjelang Pilkada berlangsung. Keterlibatan perempuan dalam ranah politik hanya sebatas kelengkapan persyaratan semata.
www.jsithopi.org
9
JSI
10
KAJIAN TEMATIK • TAHUN 2017
Penyebab lainnya menurut Ratnalia Indriasari (wawancara, 28/05/2017), kurangnya kehadiran partisipasi perempuan di Pilkada Aceh dikarenakan mereka masih kurang percaya diri. Hal ini disebabkan kapasitas personal mereka yang masih kurang, modalitas sosial, jaringan, dan finansial yang lemah membuat di Pilkada Aceh 2017 sangat sedikit perempuan yang maju. Namun jika ditelusuri lebih dalam lagi, Samsidar, aktivis perempuan (wawancara, 28/05/2017) menyatakan masih mengakarnya dibenak kalangan perempuan itu sendiri, bahwa standar perempuan yang didukung terlalu tinggi. Bisa dibilang harus lebih hebat berkali-kali dari kaum laki-laki. Hal lainnya, masih adanya doktrin kuat perempuan tidak dibenarkan memilih pemimpin perempuan, karena pemimpin itu harus laki-laki. Masih menurut Samsidar, faktor penyebab berikutnya adalah kekecewaan dari kaum perempuan terhadap kaumnya sendiri, dikarenakan ketika kaum perempuan diberikan kesempatan memimpin faktanya tidak memperjuangkan kaumnya sendiri. Mereka lebih nyaman untuk merealisasikan kebutuhan dirinya sendiri daripada kaumnya, itulah kenapa hadir kekecewaan dikalangan mereka. Bahkan muncul bahasa begini �oh, begitu model pemimpin perempuan, tidak memperjuangkan kaumnya sendiri�.
Hal menarik untuk menjadi pemimpin perempuan di Aceh, standar kriterianya terlalu tinggi, bahwa untuk menjadi pemimpin perempuan haruslah seperti ulama atau negarawan. Patut di cermati juga, kendala lain dihadapi kaum perempuan yaitu perilaku elit politik dari kalangan kaum laki-laki ketika menerapkan money politic. Maka berefek kepada kaum perempuan, dikarenakan tidak sanggup mengimbangi praktek itu sebab keterbatasan finansial. Patut dicatat kaum perempuan cenderung tidak mengedepankan praktek money politic, namun lebih menggunakan cara elegan dan non kecurangan. Mirisnya lagi mesin partai politik tidak serius memperjuangkan kaum perempuan untuk menduduki jabatan tertentu sehingga tidak maksimal dalam bekerja yang berujung kekalahan kaum perempuan di Pilkada.
Syamsidar (Aktivis Perempuan Aceh)
www.jsithopi.org
KAJIAN TEMATIK • Tahun 2017
JALAN KE DEPAN Mengakhiri tulisan ini, penulis mencoba memberikan beberapa usulan sebagai solusi untuk membangun jalan kedepan bagi kaum perempuan lebih baik di pentas politik. Solusi keterlibatan perempuan di arena politik praktis yang paling penting adalah membangun kesadaran dalam diri perempuan itu sendiri melalui pendidikan politik dan pendampingan yang intensif. Selain itu sangat dibutuhkan penguatan kapasitas perempuan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan partai politik, organisasi masyarakat, dan pemerintah sendiri. Tentunya orientasi perencanaan dan penganggaran harus pro kepada pengembangan kapasitas perempuan atau kader perempuan, baik di partai politik ataupun melalui organisasi lainnya. Diperlukan juga peran pemerintah yang lebih peduli dengan kebijakan dan kegiatan yang berfokus kepada penguatan kapasitas perempuan Aceh. Sebenarnya, Aceh punya pengalaman emas bagaimana peran perempuan dalam pentas politik kemasyarakatan. Dari kepemimpinan seorang panglima perang di darat, laksamana di laut, sampai kepada kesultanan dibawah kendali ratu (sulta-
JSI
nah). Fakta sejarah ini adalah modal bagi Aceh yang dapat dibaca sebagai kesetaraan laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu hal yang patut menjadi sumber kegaduhan. Namun pun demikian, kenyataan hari ini tentu tidak serupa dengan apa yang telah berlaku dimasa dulu. Pelajaran kesetaraan inilah mestinya mendapatkan posisinya yang berimbang untuk dikemukakan kembali pada zaman kini. Inilah tantangan kita, perempuan dan laki-laki. Perlu kita pahami semua, bahwa keterlibatan perempuan sangat penting dalam ranah politik dengan tujuan merealisasikan hak-hak kaum perempuan, sekaligus memberikan peran yang seimbang dengan kapasitas mereka masing-masing. Harus dipahami, bahwa keterlibatan perempuan dalam ranah politik bukan untuk menjatuhkan kaum laki-laki akan tetapi keterlibatan perempuan adalah melahirkan persamaan hak dan kedudukan yang setara dengan kodratnya. Maksud persamaan hak disini adalah antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan bukan berarti mengubah kodrat, fungsi, peran, dan gendernya sebagai seorang perempuan. Jadi begitulah harapannya.
www.jsithopi.org
11