Edisi 17/Tahun VI/Oktober 2010

Page 1

Foto : Dimas

Edisi 17/Tahun VI/Oktober 2010

Dukuh Kali Jeruk, Sleman, Yogjakarta

Masih ada gotongroyong Mbangun Deso di sini

Halaman

10

Berbagai kearifan lokal masih hidup di sana. Salah satunya adalah mbangun ndeso yang dilakukan warga secara sukarela tanpa dibayar, tanpa paksaan, penuh iklas, demi majunya desa dan demi kesatuan serta persatuan warga Dukuh Kali Jeruk.

Wawancara

Halaman

Antropolog Universitas Andalas Prof. Dr. der Soz. Nursyirwan Effendi

Sebagai negara yang sarat akan ragam budaya, seharusnya banyak pelajaran yang bisa kita gali dari nilai luhur para pendahulu bangsa ini. Mulai dari petuah dan nasehat tentang kehidupan bermasyarakat, sampai pada pemerintahan sederhana yang mengedepankan musyawarah dan asas kekeluargaan dalam pelaksanaannya.

4

l a k dengan o L n Kearifa

Merawat Tertib Sosial

Setiap komunitas di Indonesia mengembangkan beragam kelembagaan sosial sesuai tuntutan lingkungan dan dinamika sosial politik. Selain sebagai salah satu strategi adaptasi dalam bermasyarakat, kearifan lokal itu juga menjadi ciri suatu masyarakat yang penting dalam pemberdayaan dan pembangunan sosial. Dalam bidang hukum misalnya, kearifan lokal dalam bentuk hukum adat bisa memperkaya sistem hukum dan peraturan bahkan menjadi bagian penting dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Tak hanya itu, keberadaan hukum adat dan kearifan lokal secara natural memiliki nilai rekat sosial yang bisa diterima mayoritas kelompok dalam masyarakat Indonesia yang memiliki sistem nilai dan kebudayaan majemuk. Hukum lokal, sebenarnya mengandungi substansi nilai kearifan. Aturan lokal yang dimuat dalam hukum lokal, merupakan benteng terakhir dari degradasi nilai kearifan. Namun, hukum lokal yang ditujukan untuk penciptaan tertib sosial di wilayah lokal tidak bisa dipandang hanya sebagai wilayah sosial dan budaya belaka. Penghargan

terhadap kearifan lokal dalam konteks tertib sosial harus dimaknai kemampuan dan kemandirian rakyat untuk mengelola hubungan kehidupan agar lebih harmonis. Namun apakah kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dewasa ini masih tetap dipertahankan menjadi pedoman berperilaku bagi masyarakat pendukungnya? Memang beberapa kearifan lokal masih berlaku, namun sebagian lagi tidak diketahui karena tidak diwariskan kepada generasi penerus. Akhirnya kearifan lokal itu hilang dan tidak lagi menjadi pedoman perilaku sehari-hari. Di era otonomi daerah, banyak kebijakan pemerintah yang dapat dibuat berdasarkan kondisi masyarakat masing-masing wilayah. Hal itu dilakukan agar implementasi kebijakan bisa sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Paling tidak ada tiga hal yang mendorong upaya merawat tradisi lokal dalam konteks kebijakan, pertama, unsur budaya lokal mempunyai legitimasi tradisional di kalangan masyarakat. Kedua, unsur budaya secara simbolis merupakan bentuk komunikasi yang paling berharga dari penduduk setempat. Dan

ketiga, unsur budaya mempunyai aneka fungsi dan menjadi sarana paling berguna untuk perubahan sosial yang lebih baik dan bisa diterima oleh warga setempat. Namun demikian perlu dipahami bahwa mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada kebijakan pemerintah sangat bergantung pada bagaimana pemerintah memposisikan kebijakan dalam melaksanakan amanat dan tanggung jawab yang diberikan rakyat. Perubahan paradigma jelas diperlukan agar masyarakat bisa memahami dan mengelola tertib sosial. Pemerintah adalah pelayan rakyat, oleh karena itu diperlukan pemahaman menyeluruh atas kebutuhan dan kemauan rakyat. Berbekal pemahaman ini pula setiap rumusan kebijakan bisa dijabarkan dalam sebuah aturan rinci (tata tertib/peraturan) yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah. Dan, hal yang terpenting adalah harus ada keinginan sungguh-sungguh (political will) untuk mengadakan perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat dan membuka ruang bagi masyarakat untuk mengaksesnya dan mengetahuinya. (m)


2

Beranda

www.bipnewsroom.info

Edisi 17

Tahun VI Oktober 2010

Kearifan Lokal, Bekal Hadapi Globalisasi Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, globalisasi akan terus bergulir. Semua negara di dunia akan terkena dampaknya, baik dampak positif maupun negatif. Bagi negara-negara maju yang lebih siap, globalisasi merupakan berkah. Mereka akan menuai banyak keuntungan dari gerakan menuju ‘satu dunia’ ini. Akan tetapi bagi negara-negara berkembang yang tidak siap, globalisasi bisa menjadi bencana. Ketidakmampuan bersaing dengan negaranegara maju membuat mereka cenderung menjadi pihak yang tereksploitasi, alih-alih berperan menjadi pemain di pentas global. Berbagai tesis ‘seram’ terkait globalisasi memang terus bermunculan. Salah satunya, apapun yang tidak kompetitif diramalkan akan tergilas oleh tren global yang mengagungkan kompetisi. Hal itu terjadi karena globalisasi dinilai hanya ramah pada pihak yang berdaya saing tinggi, namun cenderung abai terhadap pihak yang lemah. Pengisapan yang kuat terhadap yang lemah, atas nama persaingan, akan mendapatkan legitimasi dan diamini seluruh warga dunia sebagai sebuah keniscayaan. Kendati baru sebatas tesis akan tetapi tidak ada salahnya kita mewaspadainya secara seksama, karena bukan tak mungkin tesis tersebut akan menjadi kenyataan. Kita memahami, pada saat ini eksklusifisme negara dan otoritas organisasi regional dalam memproteksi pihak yang lemah cenderung semakin berkurang. Sebagai entitas yang mengagungkan batas wilayah, negara dan organisasi regional pun secara internal terancam oleh munculnya entitas nirwilayah yang mengarah ke gerakan ‘satu dunia’. Uni Eropa adalah contoh bagaimana batas-batas teritorial bukan lagi hal signifikan dalam hubungan antarnegara. Mereka kini telah menggunakan wilayah yang sama, Eropa, dan mata uang tunggal, Euro. Bukan tidak mungkin ke depan mereka akan membentuk satu pemerintahan bersama. World Trade Organization (WTO), di sisi lain, telah melahirkan konsep ekonomi dunia yang tak lagi terikat pada batas teritorial suatu negara. Harga komoditas

Paket Internet Kecamatan Kami dari Kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan mohon informasi mengenai adanya kemungkinan bahwa dalam satu wilayah kecamatan mendapatkan paket bantuan internet dari Kementerian Kominfo. Mohon informasi dan bantuan dari Kementerian Kominfo dan mohon saran langkah apa yang harus kami lakukan untuk dapat memperoleh bantuan tersebut. Demikian permohonan kami, atas perhatian dan perkenannya, saya mengucapkan terima kasih. Salma Afriel via bip@depkominfo.go.id

Pemprov Gorontalo Tidak Jual Taman Nasional

desain: ahas/danang foto: bf-m, danag

Maraknya isu bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov)

Gorontalo menjual Taman Nasional Nani Wartabone secara khusus telah dibantah Gubernur Gusnar Ismail. Gubernur menegaskan bahwa Undang-Undang telah mengatur kegiatan pertambangan harus memenuhi berbagai persyaratan yaitu AMDAL, Izin Bupati, Rekomendasi Gubernur, hasil kajian, dan izin pinjam pakai dari Kehutanan. Fakta yang terjadi adalah kegiatan penambangan tanpa izin. Pertambangan tanpa izin ini jelas salah dan tidak memberikan konstribusi kepada negara. Ke depan pihaknya akan mengembangkan Sistem Pemetaan Lingkungan Hidup Gorontalo secara komprehensif agar hal-hal semacam ini bisa dihindari. Tanthy Balihristi via bip@depkominfo.go.id

Sarang Walet di Manado Usaha sarang burung walet akhir-akhir ini mulai menjamur di Kota Manado. Hampir seluruh wilayah kota tak pernah

perdagangan di pasar internasional pun menjadi Sebagaimana diketahui, selain memiliki acuan harga pasar di setiap negara, di belahan sumber daya alam dalam jumlah nyaris tak dunia manapun. terbatas, Indonesia juga merupakan negara Sebagai fenomena mondial, globalisasi tidak paling heterogen di dunia. Setiap suku memiliki pernah memandang siap atau tidaknya suatu sistem budaya, tata nilai, adat-istiadat dan negara, tidak pula menunggu. Ibarat kereta cepat kebiasaan sendiri-sendiri beserta seluruh produk yang berangkat tepat waktu, globalisasi tidak budaya yang dihasilkannya. Jika bisa dikelola akan peduli apakah seluruh penumpang telah secara baik dengan manajemen global, namun terangkut, atau masih ada tetap mempertahankan yang tertinggal di stasiun. ciri lokalitas yang ada, Bangsa Indonesia Kita tentu tidak ingin keunggulan sumberdaya harus berbesar hati, menjadi salah satu di antara dan keanekaragaman karena memiliki potensi penumpang yang tertinggal budaya lokal yang dimiliki itu. Maka tak ada pilihan bagi sumberdaya yang sangat luar suku-suku bangsa di kita selain menghadapinya Indonesia dapat dijadikan biasa, dan itu merupakan dengan kekuatan sendiri, bekal untuk menghadapi keunggulan komparatif dengan potensi yang kita era globalisasi. yang dapat dijadikan bekal miliki sendiri. Kita menyadari, untuk meningkatkan Kita boleh saja cemas era global memang keunggulan kompetitif. terhadap makin menguatnya membutuhkan pola tren globalisasi, akan tetapi pikir global, akan tetapi tidak boleh pasrah dan secara paradoks juga membiarkan begitu saja menjadi korban membutuhkan produk lokal sebagai pengungkit globalisasi. Selama memiliki keyakinan untuk daya saing bangsa. Oleh karena itu, jangan tampil menjadi pemain di pentas global, kita pernah meremehkan potensi lokal yang tersedia pasti dapat melakukannya. Bangsa Indonesia merata di seluruh wilayah Tanah Air. Aneka harus berbesar hati, karena memiliki potensi produk budaya, baik yang berujud benda sumberdaya yang sangat luar biasa, dan itu (tangible) maupun yang nirbenda (intangible) merupakan keunggulan komparatif yang dapat termasuk adat-istiadat, norma, tata nilai dan dijadikan bekal untuk meningkatkan keunggulan kepercayaan, haruslah dijaga dengan seksama kompetitif. karena dapat dijadikan bekal penting untuk Sebuah negara akan menjadi pemain menghadapi globalisasi. utama di era global jika mampu mewujudkan Sejarah membuktikan, negara-negara yang pepatah think and act globally atau berpikir dan sukses bermain di pentas global ternyata bukan bertindak global. Namun bagi Indonesia, sangat negara yang menganut faham global secara berat untuk bisa melakukan keduanya secara membabi-buta, melainkan negara yang aktif simultan. Persoalannya bukan pada ketiadaan melakukan perlawanan budaya (counter-culture) sumberdaya, akan tetapi pada ketidakmampuan dengan cara menguatkan identitas lokal atau mengorganisasikan keunggulan sumberdaya yang kita sebut dengan kearifan lokal. Kearifan yang dimiliki secara sistematis. Yang bisa lokal mereka kembangkan, mereka kenalkan dilakukan Indonesia adalah think globally act secara proaktif kepada warga dunia, sehingga locally, berpikir global kendati bertindak di akhirnya diterima sebagai bagian dari budaya tingkat lokal. Pada titik inilah kearifan lokal (local global. Dengan cara itulah mereka bisa menjadi wisdom) akan menjadi kunci bagi Indonesia pemain, bukan sekadar penonton globalisasi. (g). untuk membuka pintu menuju pentas global.

lepas dari aktifitas bisnis yang menjanjikan tersebut. Sayangnya, banyak usaha tersebut yang berada dipemukiman warga serta menimbulkan keresahan. Padahal, menurut aturan usaha seperti itu harus berada minimal 500 meter dari pemukiman. Banyaknya usaha sarang burung walet di kota Manado tidak dibarengi dengan kontribusi yang diberikan sektor usaha tersebut. Buktinya, tidak sesenpun uang hasil usaha tersebut yang masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Manado. Padahal, pendapatan yang dihasilkan dari usaha itu mencapai miliaran rupiah. Selain itu banyak usaha sarang burung walet yang tidak memenuhi syarat karena berada di kawasan pemukiman penduduk. Salah satu kelemahan Pemerintah Kota (Pemkot) Manado sehingga tidak bisa mengambil tindakan tegas, karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang keberadaan usaha tersebut. Oleh karena itu Pemkot Manado akan melakukan kajian terkait hal tersebut. Bahkan, dalam waktu dekat segera dibentuk tim

pengkaji untuk dibuatkan Perda. Awi v ia bip@depkominfo.go.id

Salut Kominfo Saya salut dengan upaya Menteri Kominfo Tifatul Sembiring untuk memblokir situs porno di internet. Saya dukung 100% perlawanan terhadap pornografi. Memblokir situs tersebut dijamin tindakan asusila di Indonesia akan berkurang secara tidak langsung. Pornografi sangat berpengaruh buruk pada generasi muda jaman sekarang.Kita boleh saja tahu tentang hal berbau

porno tapi itu jika dan hanya sebagai pengetahuan. Apabila hal itu digunakan sebagai ajang coba-coba dan ada rasa ingin melakukannya. Hal ini benar harus diblokir, jadi dengan adanya upaya ini saya benar-benar merasa sangat setuju. Semoga ini untuk selamanya Namun saya berharap, Kominfo juga bisa memfungsikan diri agar bisa mengikuti isu yang terjadi di kalangan masyarakat. Sehingga setiap kejadian buruk yang merugikan masyarakat bisa dihindari. Adrianto Amril via bip@depkominfo.go.id

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh Badan Informasi Publik KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Freddy H. Tulung (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Bambang Wiswalujo (Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Supomo (Sekretaris Badan Informasi Publik); Ismail Cawidu (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Isa Anshary (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Gati Gayatri (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Dimas Aditya Nugraha. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Lukman Hakim; Selamatta Sembiring; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Lida Noor Meitania; Karina Listya; Elvira Indasari N; Taofik Rauf; Doni Setiawan. Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Yaan Yoku (Jayapura). Desain/Ilustrasi: D. Ananta Hari Soedibyo (TA); Farida Dewi Maharani, Danang Firmansyah. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


Edisi 17

Tahun VI Oktober 2010

3

Utama

www.bipnewsroom.info

Pemerintahan Nagari Sumatera Barat :

Bulan Madu Hukum Formal dan Kearifan Lokal

Saat ini tidak ada lagi urusan adat dan budaya masyarakat yang rumit dan berbelit. Pasalnya banyak terobosan bisa dikembangkan, salah satunya adalah peraturan nagari (perna). Sebuah upaya memformalkan sebagian ketentuan adat untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Banyak inovasi dan terobosan yang dilakukan di masa otonomi daerah. Tak jarang dalam bidang hukum, banyak peraturan baru digagas dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya Rancangan Peraturan Nagari Lawang, Kec. Matur, Kab. Agam, Sumatera Barat. Raperna Lawang itu muncul untuk mengantisipasi konflik tanah di antara warga. ”Ada masalah perbatasan tanah dengan nagari sebelah. Jaman nenek moyang kami, batasnya hanya satu pohon bambu. Setelah tiga generasi, bambunya meluas dan beranak pinak, menggeser batas. Tak sekadar itu saja, tapi juga siapa yang berhak mengambil hasil bambu,” tutur Jamal Datuk Lelo Ameh (39), Wali Nagari Lawang. Kendati masih berbentuk rancangan dan baru akan disahkan akhir November mendatang dalam Rapat Badan Musyawarah Nagari, Rancangan Perna itu mampu menyelesaikan beberapa masalah tanah ulayat yang dialami warga. “Kami selesaikan dengan kekeluargaan, antar ninik mamak (paman dari keluarga perempuan atau biasanya pihak yang disegani dan menjadi

pemimpin suku – red) duduk bersama. Musyawarah untuk mufakat,” lanjut Jamal Datuk Lelo Ameh. Akomodasi Hukum Adat Belajar dari berbagai kasus yang ada, warga pun sepakat mengajukan aturan baku yang mampu menyelesaikan beragam masalah masyarakat. Salah satunya adalah Peraturan Nagari Nomor 5 Tahun 2010 tentang Harta Ulayat. ”Kami menginginkan agar masalah tanah ulayat ini tidak langsung ke pengadi lan, agar bisa diselesaikan di tingkat suku atau kaum saja dengan kekeluargaan,” tegas Datok Lelo. Dalam hukum adat, kasus tanah anak kemenakan di ulayat nagari yang sebetulnya adalah tanah pusako tinggi yang dimiliki oleh kaum suku. Sebagai bentuk penyelesaian, menurut Datok Lelo, 33 ninik mamak dari 4 suku yang ada di Nagari Lawang, diminta membuat ranji (garis keturunan kepemilikan tanah ulayat -red). Kemudian menentukan hak-hak dari kepemilikan tanah ulayat serta bentuk penyelesaiannya jika ada kasus. “Nanti ada 33 ranji yang kami dapat, diakomodir untuk menjadi Perna. Untuk

mendapat kekuatan hukum, Perna ini kami laporkan ke pemerintah daerah,” jelas Datuk Lelo. Kikis Hambatan Investasi Sejak kebijakan otonomi daerah berlangsung pada 1999 lalu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menetapkan Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Kehadiran perda itu jelas mengangkat nilai budaya dan norma adat sebagai sistem berkehidupan masyarakat setempat. ”Kami di Minangkabau ini, ibarat sebuah pemerintahan kecil. Kami sejak dulu punya sistem pemerintahan sendiri, mulai dari pengangkatan pemimpin masyarakat, aset wilayah, bahkan hukum dan norma-norma adat. Sayangnya sudah puluhan tahun hanya sebagai simbol budaya saja. Kini dibangkitkan kembali,” jelas Jamal Datuk Lelo Ameh. Ta k h a n y a m a s a l a h antar warga, ketika terjadi permasalahan dengan investor sektor wisata yang akan menanamkan modal di Nagari Lawang, rancangan pernah itu pun cukup mujarab

menyelesaikan masalah yang ada. Datuk Lelo mengatakan, tiap nagari (pemerintahan setingkat kelurahan – red) diberi kewenangan untuk membuat aturan yang sesuai dengan perlakuan adat yang berlaku pada masyarakat tersebut. “Karena meski berasal dari ranah yang sama, masingmasing mempunyai norma yang terkadang berbeda jauh dalam penerapannya,” kata dia seraya menjelaskan bahwa Nagari Lawang merupakan daerah tujuan wisata dan kerap menggelar hajatan gantole tingkat internasional. Antisipasi Globalisasi Pemerintahan nagari, menurut salah satu anggota tim perumus, Prof Dr. der Soz. Nursyirwan Effendi, diharapkan agar menjadi sebuah nagari yang modern. Paduan antara kehidupan masyarakat hukum adat yang bisa mengantisipasi, mengadopsi, serta merespons perkembangan kekinian. “Perna itulah wujud dari sinergi adat dan respon kekinian. Menyelesaikan secara kekeluargaan namun tetap pada sebuah koridor yang sah secara

perundangan,” jelas Antropolog Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat itu. Menurut Nursyirwan, masyarakat yang berdiam di lingkungan tersebut menjamin keberlangsungan pelaksanaan Perna. “Mulai dari para pemimpin nagari yang mengayomi peraturan, kepala suku yang menjaga kerukunan keluarga besar, sampai dengan warga yang memutuskan untuk menerima serta menggunakan Perna sebagai aturan yang digunakan untuk menjaga keharmonisan bermasyarakat,” jelas Nursyirwan. Namun demikian, Nursyirwan mengingatkan agar ke depan pemimpin nagari harus lebih cakap dan menguasai pemahaman adat dan budaya sampai urusan manajemen antarlembaga adat. ”Bagaimana menggunakan kewenangan juga penting. Ini tentang bagaimana memahami peraturan yang ada. Kembali ke nagari secara kelembagaan sudah tuntas. Soal tinggal bagaimana eksekusinya. Banyak faktor. SDM, regulasi, momentum, fasilitas, infrastruktur. Tidak langsung serta merta,” tandasnya. (dimasnugraha@depkominfo.go.id)


4

Utama

www.bipnewsroom.info

Edisi 17

Tahun VI Oktober 2010

Antropolog Universitas Andalas

Prof. Dr. der Soz. Nursyirwan Effendi

Gelorakan Pendidikan Adat di Ruang Publik Sebagai negara yang sarat akan ragam budaya, seharusnya banyak pelajaran yang bisa kita gali dari nilai luhur para pendahulu bangsa ini. Mulai dari petuah dan nasehat tentang kehidupan bermasyarakat, sampai pada pemerintahan sederhana yang mengedepankan musyawarah dan asas kekeluargaan dalam pelaksanaannya. Namun demikian, ternyata tak banyak yang tahu penerapan kearifan nilai budayabudaya lokal tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, masyarakat dunia mulai mengadopsi kearifan lokal (local wisdom) sebagai alternatif penyelesaian masalah di masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia? Reporter Komunika, Dimas Aditya Nugraha mewawancarai Antropolog Prof. Dr. der Soz. Nursyirwan Effendi di kampus FISIP Universitas Andalas (Unand), beberapa waktu lalu. Berikut petikannya :

Tidak boleh menebang hutan, tidak boleh memanfaatkan hutan yang menyebabkan hutan menjadi rusak. Tentu ada sanksi. Dan itu tergantung masyarakat setempat. Ada yang disidang, dikucilkan, dan sanksi lainnya. Tapi yang paling kuat dalam local wisdom tadi adalah sanksi religi. Semisal siapa yang mengambil hasil hutan, nanti anaknya kena kudis. Siapa yang ambil ikan di sini, nanti akan sakit perut dan kemudian mati. Walaupun tidak terbukti. Tapi orang tidak mau ambil resiko. Tidak ada berpikir rasional.

Kearifan lokal konon banyak ditinggalkan masyarakat. Mengapa? Secara antropologis, local wisdom merupakan bagian dari alternatif cara berpikir menyelesaikan masalah dengan budaya. Namun harus dipahami, local wisdom bukan segala-galanya. Praktek budaya dalam masyarakat itu berbedabeda. Ada yang keras, semisal Baduy dalam, tidak boleh pakai ini dan itu. Dalam antropologi disebut morse. Ada juga yang tidak begitu keras, folkways namanya. Adat selalu punya sanksi. Tapi ada satu alternatif di mana persoalan-persoalan itu bisa diatasi dengan cara yang sangat moderat tapi berhasil. Itulah local wisdom. Kearifan lokal itu adalah hasil cipta karsa mandiri dari masyarakat lokal. Tidak ada gurunya. Misal mengapa ada tradisi rimbo larangan (rimba larangan - red) di Sijunjung, Sumatera Barat? Tidak ada yang ngajarin. Kementerian Kehutanan tidak pernah ada program rimbo larangan. Tapi masyarakat sendiri yang menghasilkan. Kenapa dia menghasilkan local wisdom seperti itu? Karena dia merasa bahwa untuk bisa mengatasi persoalan lingkungan adalah dengan cara melarang orang menggunakan lahan hutan demi kepentingan ekonomi, itulah yang terbaik.

Bagaimana eksistensi kearifan lokal di tengah masyarakat? Mayoritas luntur, karena ada penetrasi globalisasi. Yang tersisa hanya Baduy dalam saja. Namun saat ini ada gejala orang kembali ke kearifan lokal. Karena solusi-solusi praktis dan ilmiah, seringkali tidak dapat menyelesaikan masalah. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogya akan ada world conference mengenai local wisdom November 9-14. Para ahli baik dari dalam maupun luar negeri akan bicara tentang kearifan lokal yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dilihat dari teknologi, politik, dan sebagainya. Bisa diakses di wisdom.ugm.ac.id. Seminar ini mencoba menggali kearifan lokal dari para ahli yang muncul di masyarakat dan bisa diadopsi untuk menyelesaikan masalah global.

Lantas ? Harus ada sanksi. Local wisdom dalam konteks tadi, sama juga dengan aturan adat.

Contoh kongkret? Tahu kincir angin? Itu teknologi. Mengapa kincir diganti menjadi besi? Kearifan lokal berpikir sesuai dengan budaya setempat. Kayu adalah bagian yang sangat cocok untuk lingkungan ekologis. Kayu mudah sekali digantinya. Kalau besi, perlu tukang, perlu mekanik. Kalau kayu, bisa siapapun yang mengganti. Ini kearifan lokal, kemampuan masyarakat setempat dalam menggunakan bahan yang ada di sekitar mereka. Cara berpikir menurut

budaya dan kemampuan mereka. Kincir air umumnya dipakai untuk menumbuk tepung beras dan gabah. Tidak dibutuhkan mesin dan tenaga manusia. Bagaimana menggunakan kincir, dengan air. Pakai air kan tidak merusak lingkungan. Jadi bagaimana diadposi saat ini. Teknologi yang tidak merusak lingkungan. Jadi substansi kearifan lokal yang dibangun oleh masyarakt setempat, itulah yang akan diambil oleh global untuk menyelesaikan solusi-solusi pada masalah di tingkat global. Bagaimana membuat dingin kompresor, tapi tidak merusak lingkungan. Bagaimana membuat mesinnya tentu ada pekerjaan tersendiri. Tapi bahwa kita bisa membuat teknologi yang ramah lingkungan adalah pesan yang disampaikan oleh kearifan lokal. Tidak hanya prinsip saja, tapi sudah ada contohnya. Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia saat ini? Kalau dulu antara teori dan praktek, masih sesuai. Tapi sekarang, prakteknya tidak demikian. Sebagai contoh, di Sumatera Barat dulu, kalau orang berbuat tidak baik, semisal asusila atau melanggar ketentuan adat, maka dia diusir dari nagari (pemerintahan lokal setingkat kelurahan – red). Sekarang tidak ada lagi. Sekarang orang jauh lebih toleran, jadi mencukupkan diri dengan penyelesaian di tingkat keluarga. Karena mereka tetap masih punya rasa malu. Daripada malu satu kampung, lebih baik malu satu keluarga. Kemudian sanksi terhadap pelanggaran yang ada, juga tidak banyak dijalankan. Karena wibawa pemimpin lokal sudah mulai menurun. Sekarang, kalau ada anak muda pacaran, dibiarkan saja. Padahal, dulu, malu sekali. Apa sebabnya? Sejak 1980-an telah banyak pengaruh luar yang bisa membuka cakrawala masyarakat desa untuk menerima hal yang lebih rasional. Bagi adat tentu hal ini tidak bagus, tapi bagi perkembangan keilmuan, ini kan sebuah perubahan. Bisa saja

positif bagi yang bersangkutan. Lantas, lemah karena dua hal, pertama bagi adat itu sendiri. Kedua adalah melemahkan kepemimpinan. Jadi sistem kepemimpinannya digoyang. Adanya hutan yang tidak boleh digarap untuk kepentingan komersial karena merupakan wilayah adat, tapi sekarang, malah jadi lebih rasional. Digunakan, asal dibagi. Ini kan bahaya. Jadi ada sebagian daerah yang justru melemahkan kepemimpinannya. Sanksi-sanksinya pun menjadi lebih tidak menimbulkan resistensi, semisal dia mencuri tidak perlu harus dimasukkan ke penjara atau di muka kaum a d a t . Ta p i c u k u p d e n g a n memberi pelajaran, kamu merantau sajalah. Daripada di kampung kamu tidak berguna, lebih baik merantau sajalah. Menarik rambut dalam tepung, tapi tepung tidak berserak. Masalahnya terangkat, tapi orangnya tidak hancur. Tidak ada pendidikan budaya lintas generasi? Ini masalah pendidikan. Sebagai contoh, di minang tidak banyak anak muda yang tahu paribahasa karena tidak digelorakan pendidikan adat di ruang publik. Mustinya ada. Di beberapa daerah di kampung-kampung Sumatera Barat masih ditemui pendidikan budaya secara informal. Misal kemanakan berjalan dengan pamannya (mamak). Sambil berjalan diajarinya kemenakannya itu tentang tata krama. Misal kalau sedang makan, harus demikian dan demikian, jangan demikian dan demikian. Tapi sekarang sulit, karena saat ini kemenakan dengan mamak, jarang sekali jalan seiring. Apa yang harus dilakukan? Sebenarnya UU Otonomi Daerah telah membuka seluasluasnya kepada daerah-daerah untuk menggunakan kembali lembaga lokal yang dulu pernah ada dalam masyarakatnya. Menghidupkan kembali fungsi adat dan budaya setempat dalam hal pemerintahan. Daerah-daerah yang merespon

dengan baik semangat tersebut, Aceh, Manado, Sumbar, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan sebagainya. Sejak tahun 2000, Sumatera Barat telah mencanangkan �Kembali ke Pemerintahan Nagari�. Bukan berarti kembali ke masa lalu. Tapi mencoba untuk menempatkan kembali posisi nagari dalam sistem sosial, politik, dan kehidupan seharihari orang Minang. Kehidupan budaya orang Minang harus dikembalikan ke posisinya. Dan lembaga hukum adat yang bisa melingkupi hal tersebut adalah pemerintahan nagari. Bagaimana bisa demikian? Satu nagari terdiri dari satu suku, satu hukum adat. Bayangkan, satu nagari dengan satu kesatuan adat yang tentram, karena memutuskan diri menjadi desa, maka dia harus terpecah menjadi 3-5 desa. Akhirnya satu nagari bisa terdiri dari beberapa kepala desa. Nah masyarakat mau mengacu ke siapa. Dulu kami terpaksa melebur sejumlah jorong (dusun) untuk menjadi desa atau kelurahan. Hal ini ibarat mencabik-cabik kertas masyarakat Minangkabau. Bayangkan, satu nagari bisa pecah karena harus menjadi kelurahan atau desa. Akibatnya peran adat yang dulu menjadi lembaga tertinggi dalam nagari, tidak berfungsi apa-apa. Padahal dengan adat urusan menjadi lebih efektif karena selesai dengan kekeluargaan dan tuntutan untuk melaksanakannya berasal dari kemauan warga itu sendiri. Tak perlu paksaan. Hanya ada musyawarah. Siapa penengahnya, tentu orang yang berkompeten atau disegani di lingkungan tersebut. Tidak terlalu susah mengubahnya? Secara teoritis tidak susah. Hanya mengubah UU. Yang sulit adalah mencoba memahami kembali budaya dan adat yang dulu pernah ada. Karena kearifan lokal ini tidak bisa diciptakan tiba-tiba. Melalui proses cipta karsa yang panjang. (dimasnugraha@depkominfo.go.id)


7

Tabloid Tempel

Edisi 17 Tahun VI Oktober 2010

Diterbitkan oleh :

BADAN INFORMASI PUBLIK

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

SBW, Koperasi Sukses dengan Konsep Kearifan Lokal

Heny Yuli Lestari, Ketua II Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita Kota Malang : Yunus, Peraih Hadiah Nobel pernah belajar dari sini

Apa yang anda bayangkan ketika mendengar kata “arisan Ibu-ibu” ? Ngobrol, juga gosip barangkali, dan makanmakan. Hampir sebagian dari kita mengidentikkan arisan dengan hal-hal tersebut. Tapi siapa sangka jika kemudian ada kegiatan arisan di Malang yang mampu memunculkan wadah yang telah menjadi sebuah koperasi yang solid dengan Konsep Kearifan Lokal, yakni Konsep Tanggung Renteng. Koperasi ini telah bertahan sejak lebih dari 30 tahun lalu. Dari jumlah belasan anggota, kini koperasi tersebut telah berkembang menjadi sebuah koperasi dengan jumlah anggota hampir 6.000 orang dan perputaran uang terus meningkat. Makin banyak anggota yang dapat meningkatkan usahanya. Koperasi ini juga punya Waserda Swalayan, menyediakan pinjaman untuk pendidikan anak, pelayanan kesehatan dan psikologi maupun asuransi kesehatan. Yunus dari Bangladesh peraih hadiah Nobel pernah ke sini untuk studi kearifan lokal guna membangun perekonomian rakyat.

6

“Konsepnya sederhana saja, Anda bayangkan ada sebuah wadah arisan. Pada suatu saat ada seorang ibu yang tidak dapat menghadiri arisan. Lalu apa yang dilakukan anggota arisan yang hadir? Tentu saja memberikan talangan (pinjaman) untuk membayar iuran arisan ibu yang tidak hadir itu, sehingga arisan bisa tetap berlangsung, Tolong menolong kepada anggota masyarakat lain seperti ini sudah biasa terjadi, Inilah awal mula konsep tanggung renteng yang berasal dari konsep kearifan lokal di koperasi kami,” kata Heny Yuli Lestari, ibu dengan tiga anak, Ketua II Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita (SBW), Kota Malang, Jawa Timur. Konsep tanggung renteng ini tercetus dari Ibu Mursia Zafril Ilyas yang beserta teman-teman istri dokter bergabung membuat sebuah wadah arisan pada tahun 1976. Setiap ada arisan, ada-ada saja permasalahan yang dibicarakan “Pada umumnya masalahnya adalah mengenai keuangan, seperti saat tahun ajaran baru tiba atau masalah mendesak lainnya, Atas dasar kebutuhan keuangan tersebut, Ibu Ilyas mengajak meningkatkan perkumpulan itu menjadi perkumpulan simpan pinjam. Dengan ketekunan dan keyakinan kegiatan ini terus bekembang, sehingga akhirnya ibu-ibu sepakat membentuk wadah Setia Bhakti Wanita (SBW), yang sesuai dengan keadaannya saat awal itu baru dapat berbentuk pra koperasi, Pra koperasi ini juga terus berkembang, sehingga pada tahun 1977 Ibu Mursia Zafril Ilyas mengajak kawan-kawannya sesama anggota untuk meningkatkan perkumpulan

pra koperasi ini menjadi koperasi. Para anggota menyambut baik, maka berdirilah Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita (SBW) yang beralamat di Jl. Trunojoyo, Malang. Teruji dengan baik Ibu Heny Yuli Lestari menjelaskan, dibanding pembiayaan pinjaman secara konvensioal, nilai risiko sistem tanggung renteng ini dapat ditekan dalam batas minimal. “Apabila bank-bank konvensional dengan peminjam modal secara perorangan, nilai kredit macetnya bisa sampai dua persen, maka dengan sistim tanggung renteng ini nilainya bisa ditekan hingga nol persen,” jelas wanita asal Madiun itu. Bagaimana mekanismenya ? Pola tanggung renteng ini berbasis kekerabatan dan tolong-menolong antar kelompok. Tiap kelompok terdiri dari dua orang sampai 40 orang, Idealnya 10 atau 15 orang. Setiap kelompok dipimpin oleh penanggung jawab. Sampai saat ini telah ada 189 kelompok. Prinsip dari keanggotaan adalah kebersamaan, disiplin dan mengutamakan musyawarah. “Kami memberikan modal tidak dengan melihat jenis usaha apa yang digeluti anggota, semisal permodalan kepada kerajinan ukir dan lain sebagainya, tapi melihat dari kedekatan hubungan tiap-tiap anggota atau wilayah di mana para anggota bermukim, Jadi tak heran apabila dalam sebuah kelompok, tiap anggotanya memiliki bidang usaha yang berbeda,” tutur Sri Wahyuni, Kordinator Usaha SBW Malang menjelaskan. Dengan cara ini, lanjutnya, apabila terjadi kesulitan terhadap usaha yang digeluti seorang

anggota, maka anggota lain dengan mudah dapat membantu anggota lainnya yang kesulitan. “Bisa dibayangkan, kita hidup bertetangga, tentu saja apabila tetangga ada kesulitan atau musibah, sudah selayaknya kita bantu. Itu sudah menjadi budaya dalam masyarakat kita untuk saling tolong. Demikian juga dengan sistem tanggung renteng dalam koperasi ini, karena tiap kelompok memilih sendiri anggotanya, kemudian mengenal dengan dekat satu sama lain melalui pertemuan rutin yang mereka sepakati, maka hubungan sesama anggota kelompok sangatlah dekat,” kata Sri Wahyuni. Meski demikian diakui bukan berarti kredit yang diberikan tidak pernah macet. “Pasti ada beberapa kelompok yang memiliki kesulitan, Namanya usaha, juga seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Namun inilah kekuatan sistem tanggung renteng dibandingkan dengan peminjam modal secara perseorangan. Kalau dalam sistem konvensional, begitui usaha peminjam modal ambruk, pasti pengembalian pinjaman pun akan berhenti dan macet. Jadi berbeda dengan tanggung renteng, Meskipun ada permasalahan dalam usaha anggota, tapi pengembalian pinjaman sekalipun tersendat pasti akan tetap berjalan, sebab setiap kelompok memiliki tanggung jawab kepada anggota yang lain,, karena mereka yang merekrut dan mensurvei. Untuk menyelesaikan masalah anggotanya maka mereka bermusyawarah buat menyelesaikan masalah anggotanya,” tambah Sri Wahyuni. Di samping itu, pengurus koperasi-pun tidak hanya diam

dan menunggu permasalahan anggotanya diselesaikan kelompoknya.“Kami juga membantu anggota yang memiliki masalah dalam kelompoknya, seperti menjawal ulang pengembalian pinjaman sehingga anggota tidak merasa terbebani dalam menyelesaikan pinjamannya, sampai usaha mereka bisa bangkit lagi,” tambah Sekretaris II SBW Malang, Heny Yunis Lestari melanjutkan penjelasan Sri Wahyuni. Tidak melulu mencari untung Hingga saat ini Koperasi SBW telah memiliki jumlah anggota yang cukup besar, hampir mencapai 6.000 orang. Bersamaan dengan itu pengurus juga menjaring keinginan-keinginan anggota, misalnya mendirikan warung serba ada (waserda) yang belakangan telah berkembang menjadi swalayan untuk melayani kebutuhan sehari-hari Ibu-ibu, sehingga tidak perlu belanja ke supermarket lagi. Lagi pula daripada belanja di supermarket tentunya anggota koperasi akan memilih belanja di swalayan koperasi sendiri, karena tiap tahun juga akan mendapatkan sisa hasil usaha tahunan,” ujar Heny sambil tersenyum. Selain itu Koperasi. SBW juga melayani kebutuhan anggotanya dalam bidang kesehatan jasmani dan rohani. Anggota dapat memeriksakan kesehatan ke klinik kesehatan dan psikologi karena SBW telah mengadakan kerja sama dengan sembilan dokter dan klinik di Kota Malang; kemudian dengan menyisihkan uang sebanyak Rp 1.000,- setiap hari anggota juga diikutkan dalam asuransi kesehatan sebagai

jaminan di kala sewaktu-waktu memerlukan pengobatan. Kepedulian lainnya adalah, santunan kematian yang diambil 5 % dari prosentase Sisa Hasil Usaha (SHU) setiap tahun, untuk anggota meninggal. Selain itu pendidikan anak-anak anggotanya juga diperhatikan dengan dana pendidikan. Sudah banyak anak anggota yang berhasil lulus kuliah dengan biaya hasil usaha mereka dengan modal pinjaman Koperasi SBW sehingga dapat membiayai kuliah anaknya. “Seringkali ada guyonan di antara anggota bila ada anak anggota koperasi yang sudah berhasil lulus kuliah. Mereka menyebut anak mereka sudah lulus dengan “sarjana SBW”,”. ucap Heni sambil tertawa terkekeh-kekeh menahan lucu. Di samping itu semua, pengurus juga mementingkan peningkatan kualitas SDM anggota dan pengurus dengan mengikuti seminar ataupun pelatihan, misalnya bekerja sama dengan Dekopin dan sekolahsekolah kejuruan. Tempat pendiri Grameen Bank belajar Konsep tanggung renteng ataupun sistem sosial ekonomi lainnya yang berawal dari sebuah konsep sederhana, tolong menolong, sebuah kearifan lokal masyarakat kita, ternyata malah sudah diakui oleh dunia. Seorang enterpreneur sosial dari Bangladesh, Muhammad Yunus, telah membuktikannya melalui sebuah bank yang bernama Grameen Bank, sehingga ia juga terpilih sebagai peraih Hadiah Nobel. Sejak itu Yunus diundang berceramah ke berbagai pelosok dunia, malahan termasuk di hadapan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhono di Istana Merdeka, Jakarta. “Saya sempat terkejut ketika Muhammad Yunus mendapat penghargaan sebagai entrepreneur sosial,” Heni berujar dengan kagum ”Beliau pernah berkunjung pada tahun 70-an di Malang, Mungkin konsep Grameen Bank yang dibawanya dan diterapkan di Bangladesh salah satunya juga berasal dari konsep tanggung renteng dari sini juga, meskipun dalam pelaksanaannya mungkin sedikit berbeda, ” ucapnya yakin. “Negara akan kuat kalau kita membangun bangsa ini secara berama-sama. Konsep tanggung renteng yang berlandaskan tolong menolong ini merupakan sebuah kearifan lokal yang sebetulnya sudah tertanam lama dalam kehidupan masyarakat kita," kata Heny. Ya, kearifan lokal ternyata mampu meningkatkan perekonomian dan kehidupan masyarakat seperti yang dibuktikan oleh Koperasi SBW Malang. (DNF/IR).


detik.com

8

Nilai Luhur Kearifan Lokal

flickr.com

Indonesia punya segudang kearifan lokal yang berkembang dan telah bertahan puluhan tahun, bahkan ratusan tahun dan ada yang telah menjadi suatu budaya di masyarakat dalam suatu daerah. Dalam kehidupan masyarakat di sebagian besar daerah Indonesia terdapat nilai-nilai sosial yang membentuk kearifan lokal ini, sehngga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Ambil contoh, gotong royong, kekeluargaan, musyawarah untuk mencapai mufakat, dan tepa selira atau yang lebih dikenal sebagai toleransi. Sesungguhnya adanya budaya ini tak bisa dilepaskan dari nilainilai religi yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga secara tidak sadar nilai-nilai ini makin melekat dan terus terpelihara hingga turun temurun. Tidak heran, di beberapa daerah, nilai-nilai kearifan lokal ini dijalankan tak semata-mata untuk menjaga keharmonisan hubungan antarmanusia, tetapi juga menjadi bentuk pengabdian manusia kepada Sang Maha Pencipta. Hutan Berbasis Kearifan Lokal Suku Dayak Iban Kehidupan komunitas adat suku Dayak Iban di Kampung Sungai Utik Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, adalah satu contoh begitu kuatnya nilai kearifan lokal. Masyarakat di kampung ini telah secara turun temurun hidup rukun dan damai dengan memanfaatkan kekayaan alam hutan sekitar namun tetap melindungi dan melestarikannya kembali. Menjadi luar biasa lagi kearifan tradisional masyarakatnya mampu menjadi benteng kokoh hutan dari ulah perambahan dan penebangan liar. Di tengah maraknya eksploitasi dan konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan atau apapun namanya, suku Dayak Iban Sungai Utik mampu memegang teguh aturan adat, bahkan hingga menolak tawaran investor untuk mengeksploitasi hutan adatnya. Masyarakat punya keyakinan kuat bahwa hutan dan alam sekitarnya adalah pemberian Sang Maha Pencipta untuk kehidupan mereka sehingga pemanfaatannya telah ditentukan melalui aturan adat yang dipercayai secara turun temurun. Ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai Utik yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 hektare di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini tidak terlepas dari peran Rumah Panjang, tempat tinggal keluarga besar, sebagai identitas dan pengikat solidaritas warga. Rumah Panjang punya peranan besar dalam mengontrol akses maupun kepemilikan lahan baik antar warga, maupun antar desa. Di bawah pimpinan kolektif dari Tuai Adat, Kepala Kampung dan

Imam Budidarmawan Prasodjo Pengamat Sosial dan Pengelola Yayasan Nurani Dunia

Prinsip Gotong-royong Spontan dan Sukarela

Temenggung serta dibantu para hulubalangnya, semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan Rumah Panjang. Karena dituangkan dalam aturan dan hukum adat, masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sejak zaman nenek moyang selalu tertib menjaga hutan. Masyarakat mengharapkan hutan utuh dan normal karena jadi tempat mengambil kebutuhan sehari-hari. Sayur dan ikan selalu ada dan tersedia. Masyarakat juga memiliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan. Namun yang paling penting lagi adalah tutupan hutan menuju ke Taman Nasional Betung Karihun (TNBK) juga diberi tanda, sehingga tidak akan berbenturan dengan hukum. TNBK berada di perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Identitas kampung memang sangat ditentukan oleh keberadaan rumah adat, dalam hal ini Rumah Panjang, karena itulah, masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sangat membanggakan keaslian dan ketuaan Rumah Panjang-nya. Kampung Sungai Utik terletak di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat, bersama-sama dengan dua kampung lainnya, Kampung Mungguk dan Kampung Lauk Rugun. Kecamatan Embaloh Hulu, berbatasan dengan Serawak Malaysia di bagian Utara dan Barat, Kecamatan Putussibau di bagian timur, dan Kecamatan Batang Lupar di bagian selatan. Sedangkan Kabupaten Kapuas Hulu berbatasan dengan Serawak di bagian Utara, Kalimantan Timur di bagian Timur, Kabupaten Sintang di bagian Selatan dan Barat. Kawasan hutan Sungai Utik kaya akan beragam jenis pepohonan dan satwa liar. Bermacam jenis meranti, kapur, ladan, gerunggang atau bahan pembuat sirap atap, kempas, jelutung, dan beragam jenis rotan dan damar. Suku Dayak memanfaatkannya untuk bahan bangunan, bahan pembuat sampan, tikar, dan kayu bakar. Jenis-jenis kayu di kawasan hutan Sungai Utik merupakan jenis komersial yang laku dijual. Kawasan hutan di Sungai Utik masih banyak dihuni oleh jenis-jenis rusa, kijang, babi hutan, kura-kura, labi-labi,

macan dahan, beruang, dan ular, termasuk beragam jenis burung dan ikan. “Pemalas” Berbuah Hutan Lestari Serupa dengan masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, warga desa Rhee Loka Kecamatan Rhee Kabupaten Sumbawa punya tradisi yang ditaati dan dipatuhi secara turun temurun. Masyarakat Rhee Loka memiliki tradisi di mana setiap rumah tangga wajib menanam 10 hingga 12 pohon setiap sebelum dimulainya musim penghujan. Secara logika ini dimaksudkan agar ketika musim hujan tiba, kampung Rhee tak akan kebanjiran, namun secara hukum adat peraturan ini adalah hukum Tuhan karena masyarakat telah memanfaatkan hasil alam, sehingga harus menggantinya dan tetap melestarikan alam beserta hasilnya. Luar biasanya lagi, bagi warga yang tidak mengindahkan tradisi ini akan dicap sebagai “pemalas”. Cap ini menjadi persoalan, khususnya jika si warga seorang bujangan, karena seorang lelaki Rhee yang dianggap pemalas kemungkinan tak akan bisa memperoleh pasangan hidup. “Semua warga ingin meningkatkan tingkat hidup, dan hal itu mustahil terjadi jika seorang wanita Rhee menikah dengan seorang pemalas”. Selain persoalan “cap”, alasan praktis lain mengapa penduduk desa di Rhee Loka rajin melestarikan hutan yang tersisa dan mengembalikan tanah yang mengalami degradasi, karena kesadaran warga bahwa hutan penting sebagai sumber kehidupan. Menurut mereka hutan turut memelihara aliran dan kualitas air, sehingga dengan mengelola hutan akan selalu memberi mereka kebutuhan yang diinginkan. Di samping masyarakat Dayak Iban Sungai Utik dan Rhee Loka Sumbawa, yang mampu memupuk nilai-nilai kearifan dengan memperhatikan keseimbangan alam, masih banyak bentukbentuk kearifan tradisional lainnya tersebar di pelosok nusantara ini yang bertahan dan mampu menciptakan keseimbangan kehidupan bermasyarakat.

Keseharian masyarakat tidak bisa dilepaskan dari gotongroyong sebagai sifat dasar bangsa Indonesia. Mulai dari sistem pertanian secara bersama, acara kenduri, membangun rumah, dan beragam kegiatan kemasyarakatan lain. Bahkan Bung Karno pernah menyatakan bahwa jika Pancasila diperas menjadi Ekasila, maka ekasila itu adalah gotong-royong. Apakah semangat gotong-royong itu masih menjiwai bangsa ini? Berikut wawancara dengan Imam B. Prasodjo.

Lantas apa keunikan kita? Kita akan sangat unggul dalam bidang kultural. Kita punya ragam kekayaan budaya yang luar biasa. Kerajinan kayu, tembikar, batik dan banyak lagi. Ini semua bisa jadi keunggulan ekonomi. Kenapa kita tidak membuat sekolah kejuruan di bidang ini? Ambil contoh SMK khusus batik. Siapa yang tidak kenal kecantikan batik kita?. Tenaga pengajar pun kita tidak akan sulit. Atau daerah lain punya budaya lain, Asmat misalnya. Ini kita perkuat.

Semangat gotong royong dulu sangat kuat, bagaimana saat ini? Di beberapa daerah nilai ini masih terlihat dan ini kita patut bersyukur. Ini modal daerah untuk bisa bertarung maju dan berkembang seperti Jakarta, Surabaya atau daerah maju lainnya. Kita bisa lihat gerakan-gerakan masyarakat di Purwakarta, yang secara mandiri berkorban tenaga bahkan materi dalam membangun jalan daerah. Ada yang nyumbang batu, pasir, bahkan semen. Ini kan luar biasa! Padahal jalan tanggung jawab pemerintah, tapi mereka tidak mau menunggu proses birokrasi. Spontan dan sukarela.

Jadi kita bisa optimistis? Kembali lagi bahwa semuanya harus didasari keinginan untuk membangun bukan mencari keuntungan. Nah, caranya untuk kita jangan pesimistis namun tetap optimistis. Masyarakat harus mampu melakukan inisiatif sendiri kemudian jangan bergantung sama bantuan atau apa pun yang berbau birokrasi. (tr/dan)

Berarti masih ada? Sangat punya. Tapi nilai gotong royong memang harus kita kuatkan orientasinya benar-benar untuk membangun kepentingan masyarakat, bukan proyek. Semuanya harus didasari keinginan untuk membangun bukan mencari keuntungan. Karena ketika halhal seperti ini di nilai secara materi, maka nilai-nilai gotong royong masyarakat yang kuat akan lunntur karena nominal uang. Berarti harus dikuatkan dengan pendidikan? Ini yang penting. Sekolahsekolah saat ini jangan lagi hanya mengembangkan competitive advantage tapi juga comparative advantage. Artinya kita harus secara cerdas mengidentifikasi apa keunikan yang kita miliki untuk bisa bertarung di tingkat nasional bahkan internasional. Jika sudah mengenal potensi tersebut, kita akan punya track sendiri untuk maju, tidak bersaing pada track yang sama dengan lainnya. Contohnya kita akan susah bersaing dengan Jepang dalam hal pembuatan mobil, karena mereka sudah ahli. Jadi jangan bersaing di track yang sama.

(tr dari berbagai sumber/IR

5


Edisi 17

9

Opini

Tahun VI Oktober 2010

Kearifan Lokal

Ismet Rauf Wartawan Senior Drama Musikal Kidung Kemakmuran dengan tokoh sentral Dewi Sri dipagelarkan di Gedung Kesenian Jakarta baru-baru ini. Drama ini menyampaikan pesan pentingnya memelihara alam semesta, karena itu manusia harus selalu menyesuaikan diri dengan irama gerak alam semesta, dan manusia harus selalu mengupayakan keseimbangan hubungan agar tercapai kemakmuran dan perdamaian.

Yang menarik sekali pada masa seperti sekarang ini adalah bahwa drama musikal ini berlatar cerita kearifan lokal, dengan tokoh sentral adalah Dewi Sri, sang legenda dalam cerita wayang, yang mampu membawa masyarakat keluar d a ri ke se n g sa ra a n me n u j u

kemakmuran. Dewi Sulastri, penggagas drama musikal ini, mengatakan, Dewi Sri tak ubahnya sebagai lambang etos kerja untuk mengubah nasib melalui kerja keras, menolong diri sendiri dan kehidupan bersama. Rasa-rasanya kearifan lokal melalui tokoh wayang Dewi Sri seperti itu masih tetap relevan sampai sekarang, apalagi ketika kita masih terus berusaha meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan bangsa. Negeri ini kaya raya dengan kearifan-kearifan lokal yang sudah terbukti manjur sebagai pedoman hidup perorangan, kelompok, maupun bangsa, sehingga banyak di antaranya masih digunakan sampai sekarang, seperti gotongroyong, hidup damai dan rukun, kebersamaan, menjaga kelestarian alam, menjaga kelestarian hutan, pola tanam yang tidak menanam padi terus-menerus, subak, sasi laut, mbangun deso, tenggang renteng, pecalang, yang beberapa di antaranya ditulis secara khusus dalam KOMUNIKA nomor ini. Dalam perkembangan terakhir, menarik pula bahwa kearifan lokal berupa gotongroyong digunakan sebagai andalan dalam program Desa Sejahtera yang dimulai dengan peresmian Desa Hargotirto di Kulon Progo, Yogyakarta, sebagai model Desa Sejahtera di tanah air oleh Ibu Ani Yudhono baru-baru ini. Dalam program ini, pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat setempat bergotongroyong memberdayakan desa sesuai potensinya masing-masing untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar cukup pangan, sandang dan papan, serta mendapat fasilitas kesehatan, pendidikan dan air bersih.

www.bipnewsroom.info

Lima pilar dalam program program menganekaragamkan Desa Sejahtera berdasarkan pangan dan mengurangi gotongroyong yang dimotori ketergantungan pada beras,” katanya. Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) ini adalah Buku-buku bacaan terutama sekali yang diperuntukkan Indonesia Sehat, Indonesia P e d u l i , I n d o n e s i a P i n t a r, buat anak-anak sekolah, Indonesia Hijau dan Indonesia sejatinya dapat digunakan Kreatif. untuk menyebarluaskan dan Di tengah maraknya masalah melestarikan budaya lokal termasuk kearifan-kearifan kelistrikan di tanah air, menarik pula kabar dari dua buah dusun lokalnya. Sayangnya inipun tertinggal di Kabupaten Cianjur, dapat dikatakan sangat minim, Jawa Barat, yakni Kasepuhan sebagaimana diprihatinkan oleh Cipta Gelar dan Cibuluh, bahwa Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Setya Dharma masyarakat desa itu mampu mandiri dalam pengadaan energi Madjid. Kurang sekali minat listrik melalui pembangkit listrik penulis dan penerbit untuk hal tenaga mikro hidro (PLTMH). ini, katanya, padahal buku-buku “Kami bergotongroyong seperti itu perlu disediakan buat membiayai, mengelola dan generasi muda untuk menjaga merawatnya,” kelestarian kata seorang, nilai-nilai tokoh adat di positif bangsa Negeri Dusun Cipta kita. ini kaya raya Gelar. dengan kearifanN a m u n Wakil Menteri kearifan lokal yang d e m i k i a n Pendidikan sudah terbukti manjur bersamaan Nasional, sebagai pedoman dengan masih Fasli Djalal, tetap hidupnya mengatakan, hidup perorangam, kearifan-kearifan buku seperti kelompok, maupun lokal seperti itu dapat bangsa, sehingga itu, terdapat membangun banyak di antaranya pula tendensi pemahaman masih digunakan luas sebaliknya soal nilai dan sampai sekarang akibat berbagai tradisi suatu sebab mulai dari daerah. akibat kebijakan pemerintah Banyak yang sendiri di masa dengan sinis lalu sampai kepada akibat mengatakan kearifan lokal pengaruh modernisasi dan sebagai warisan yang tak sesuai globalisasi dari sikap individualistis lagi untuk masa sekarang. sampai kepada berkurangnya Apakah itu benar ? Nyatanya Jepang, Korea dan India rasa malu termasuk untuk melakukan penyelewengan. misalnya, yang telah menjadi Kebijakan pangan pemerintah negara maju dalam industri, dahulu yang mengajarkan perdagangan, ilmu pengetahuan seluruh masyarakat Indonesia dan teknologi dan lain-lain, masih dengan erat memegang mengkonsumsi beras misalnya, juga dipandang Sekretaris Dewan nilai-nilai lokalnya termasuk Ketahahanan Pangan, Ahmad kearifan-kearifan lokalnya. Suryana, perlu diluruskan kembali Tetap diperlukan usaha kepada kearifan lokal dalam terus-menerus secara bersamasama untuk kelestarian dan pangan.” Yang tak biasa dengan beras, kembali siapkan pangan didayagunakannya kearifan lokal seperti ubi jalar, ubi kayu, lokal kita. (IR) jagung, sagu, sejalan dengan

Kearifan Lokal Dan ‘Simbol' Yang Hilang Arli Aditya Parikesit Peneliti pada Pusat Kajian Multi Disipliner Bioinformatika, Universitas Leipzig, Jerman. Dan Brown adalah seorang pengarang yang sangat kontroversial. Ketiga buku novel karangannya, yaitu Da Vinci Code, Angels and Demons, dan The Lost Symbol, telah menjadi best seller dan buah bibir dimana-mana. Brown menulis trilogi tersebut, berdasarkan riset yang sangat serius, dan semua organisasi, ritual, maupun setting historis di novel tersebut adalah berdasarkan fakta di lapangan. Terlepas dari penafsiran Brown yang kontroversial mengenai Holly Grail, The Ancient Mystery, Apotheosis, Noetic Science atau istilah-istilah lainnya, trilogi tersebut telah mengajarkan kita satu hal yang penting. Ternyata, kebudayaan barat yang terkenal sangat rasional juga menyimpan kearifan yang bersifat spiritual. Trilogi tersebut mengungkapkan, bahwa ilmuwan-ilmuwan terkenal dari barat, seperti Isaac Newton, Albert Einstein, ataupun Descartes ternyata adalah para spiritualis/ mistikus tulen. Bagaimana detail dari semuanya, bisa dibaca pada trilogi Brown. Namun, pada

intinya, menurut penafsiran Brown, kebudayaan barat bisa mencapai kemajuan yang spektakuler sekarang ini, bukan sekedar karena pengetahuan rasional. Namun juga karena mereka berpegang teguh pada tradisi spiritual/mistik yang bersifat holistik. Kisah diatas tentu bukan sesuatu yang asing di asia. Tiga bangsa Asia Timur, yaitu Jepang, China, dan Korea, telah lama menggabungkan tradisi spiritualitas mereka yang kaya, dengan kemajuan sains modern. Semua gedung bertingkat di Hong Kong, walaupun dibangun dengan sains modern, ternyata didesain berdasarkan prinsip Feng Shui. Jepang selalu menggabungkan manajemen modern mereka, dengan prinsip Kaizen, yang mereka warisi dari jaman Samurai. Berkat ‘perkawinan antara tradisi rasional dan intuitif tersebut, mereka bisa mencerap kemajuan. Kaum Muslimin di jaman para Khalifah juga demikian. Dokter paling hebat di masa itu, yaitu Ibn Sina, ternyata pada paruh akhir hidupnya menjadi seorang Sufi. Demikian juga Al Farabi dan Al Ghazali. Di era Khalifah, Baghdad dan Kordoba menjadi tempat bercampur baurnya berbagai falsafah yang bersifat rasional ataupun intutif/spiritual. Bagaimana dengan kita di Indonesia? Apakah kita juga memiliki tradisi serupa, seperti kebudayaan

lain? Ternyata iya. Sila pertama pada Pancasila, yaitu ‘KeTuhanan yang Maha Esa’ merupakan sesuatu pernyataan yang menunjukkan tradisi spiritualitas bangsa Indonesia. Terlepas apa penafsiran setiap agama terhadap sila pertama, Pancasila sudah memberitahukan kepada kita, bahwa dasar negara kita memiliki pondasi spiritualitas yang sangat kuat. Setiap daerah di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, memiliki tradisi spiritual yang luar biasa. Sebagai contoh: Aceh merupakan daerah yang terkenal dengan Hamzah Fansuri, seorang sufi terkenal. Jawa merupakan tempat asal usul dari Wali Songo. Sementara Bali merupakan salah satu pusat spiritualitas Hindu, dan Flores merupakan tempat yang menghasilkan banyak biarawan Katholik. Singkat kata, jika kita melihat, bahwa peradaban Barat dan Asia Timur menjadi maju karena menggabungkan sains modern dengan kearifan lokal, bukankah hal yang sama juga dapat kita lakukan? Bukankah dengan menggabungkan apa yang rasional dan intutif/holistik, akan membawa kita kepada ‘menguasai seluruh keadaan’ versi Imam Ghazali? Adapun, selain kita mengadopsi sains barat, ada baiknya kita mulai berefleksi kedalam, dan melihat tradisi kearifan lokal kita sendiri. Mari kita mulai bersama-sama menemukan ‘simbol yang hilang’ pada budaya masing-masing!


10

www.bipnewsroom.info

Daerah

Kibar Daerah Dukuh Kali Jeruk, Sleman, Jogjakarta

mbangun deso di sini

Semua dilakukan warga dengan sukarela tanpa meminta imbalan uang sedikitpun. Untuk ini ibu-ibu juga mengambil bagian dalam setiap kegiatan, dengan menyediakan makanan dan minuman.

dan tenaganya dicurahkan demi kemajuan desanya, dengan mengandalkan gotongroyong . Setiap selapan sekali (35 hari) yang jatuh pada Minggu Wage, selalu diadakan pertemuan rutin di rumah Pak Dukuh setempat untuk membahas kegiatan gotongroyong warga dalam berbagai macam kegiatan. Pertemuan ini juga dihadiri oleh kelompok tani, kelompok ternak, kelompok perikanan dan kelompok koperasi. Gotong royong mbangun deso yang diadakan meliputi berbagai keperluan warga dan desa seperti : membuat atau

mengaspal jalan, membersihkan makam,mencabuti rumput di sepanjang jalan, membuang sampah/ daun yang menyumbat aliran irigasi,membangun rumah warga yang tak mampu. Semua dilakukan warga dengan sukarela tanpa meminta imbalan uang sedikitpun. Untuk ini ibu-ibu juga mengambil bagian dalam setiap kegiatan, dengan menyediakan makanan dan minuman. Dalam setiap kegiatan, kepala desa selalu ikut terjun langsung misalnya pada waktu mengaspal jalan atau membuat jalan. Sementara itu bahanbahan bangunan seperti pasir dan krakal/batu kecil-kecil diambil langsung dari sungai, warga dan kepala desa saling bantu mengambil dari sungai satu sama lainnya, sedangkan aspal didapat dari bantuan gratis pemerintah. Apa kesan Pak Unggul Mulwohadi (62 tahun), orang kota yang dulu bekerja di Bappeda Jogjakarta, beragama Katholik dan sejak pensiun menjadi warga Dukuh Kali Jeruk 2 ? Saat ini ia beralih profesi menjadi petani pepaya Amerika di dukuh ini. Luas lahan pepayanya sekitar 5 hektar. Ia mengatakan mudah berbaur dengan warga lainnya di dukuh ini walaupun agamanya berbeda. Ia selalu ikut setiap ada kegiatan gotong royong mbangun deso. Mulai dari mencabut rumput, mengambil pasir di kali, membersihkan irigasi dan membangun rumah warga serta pertemuan selapanan. Semua dilakukan secara sukarela tanpa paksaan. Apalagi jika ada warga yang meninggal beragama lain, semua warga desa ikut membantu, ada yang menggali tanah, ikut tahlilan dan sebagainya, katanya. Itulah cermin dari Dukuh Kali Jeruk, Sleman, Yogyakarta, yang masih hidup dengan kearifan-kearifan lokal. Bersih Sendang Budaya Masyarakat Poka, Ceper, Klaten Di Desa Tegal Duwur, Ceper Klaten, Jawa Tengah, terdapat dua buah sendang yang berdempetan yaitu Sendang Lanang (laki-laki) dan Sendang Wedok (perempuan). Warga setempat menyebutnya Sendang Sinongko atau Poka karena terletak di Poka. Masyarakat setempat meyakini, sendang tersebut membawa berkah karena airnya selalu berlimpah dan mengairi sawah serta tanaman yang ada di sekitarnya seperti padi, tembakau, tanaman polowijo, cengkeh dan lainnya. Setiap setahun sekali, masyarakat Desa Poka membersihkan sampah yang mengotori sendang dan membuat ritual di sendang tersebut dalam kegiatan yang

Tahun VI Oktober 2010

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusantara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik Kibar Daerah dan Lintas Daerah, silahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail: komunika@bipnewsroom.info atau bip@depkominfo.go.id

Masih ada gotong royong Sawah yang menghijau serta tanaman tembakau yang siap dipetik merupakan pemandangan yang indah sepanjang jalan beraspal menuju Dukuh Kali Jeruk, Sleman, Jogjakarta. Dukuh Kalijeruk itu terdiri dari Dukuh Kali Jeruk I dan Dukuh Kali Jeruk II. Penduduknya berjumlah sekitar 600 orang, menganut berbagai agama dan kepercayaan. Desa ini tenang, aman dan damai. Berbagai kearifan lokal masih hidup di sana. Salah satunya adalah mbangun ndeso yang dilakukan warga secara sukarela tanpa dibayar, tanpa paksaan, penuh iklas, demi majunya desa dan demi kesatuan serta persatuan warga Dukuh Kali Jeruk. Gotong royong membangun desa ini masih kental melekat pada masyarakat mulai masa nenek moyang mereka dahulu sampai sekarang ini. Tak bergeser budayanya. Seiring dengan kemajuan jaman, adat istiadat ini tetap dijalankan oleh warga Dukuh Kali Jeruk, sementara dukuhdukuh lainnya yang tersebar di jogjakarta, umumnya sudah tidak melakukannya lagi. Semua tenaga yang terpakai selalu dibayar dengan uang. Tapi warga Dukuh Kali Jeruk tak pernah menghitung tenaga dengan uang. Kekerabatan dan kerukunan warga menjadi modal yang utama. Menurut Kepala Desa Kali Jeruk, Widodo Martani (42 tahun) yang sudah dua kali mendapat kepercayaan warganya untuk menjadi kepala desa, perhatian

Edisi 17

Nangroe Aceh Darussalam

Jawa Tengah

biasa disebut bersih sendang yang selalu dilakukan setiap setahun sekali. Tepatnya akhir Desember setiap habis Sholat Jum’at pada bulan Suro. Dengan bersih sendang, diharapkan air sendang akan berlimpah dan memberikan keberkahan kepada tanaman yang diairi serta keberkahan rejeki kepada penduduk sekitar. Bersih sendang ini sudah menjadi tradisi masyarakat Klaten, konon sejak dahulu kala. Ribuan orang datang menyaksikan. Banyak juga yang pulang kampung untuk ikut acara ini. Sendang ini sangat berarti bagi mereka terutama petani karena dapat menghidupi para petani. Dalam acara bersih sendang, berbagai acara diadakan antara lain pengajian, memotong kambing dengan jumlah sekitar 20 ekor, kemudian memasak bareng dan masakannya dimakan bersama-sama oleh masyarakat yang datang menghadiri acara tersebut. Bupati Klaten, Sunarno SE selalu menghadiri acara tersebut dengan memberikan sambutan dan memberikan wejangan kepada masyarakat. Dulatif (60 tahun), penduduk Desa Santren, Srebegan, Ceper, seorangpetani sekitar Desa Poka, selalu datang mengikuti bersih sendang dengan ikut membersihkan sendang dari daun-daun yang mengotori sendang tersebut. ” Ya , s a y a b e r g a b u n g membersihkan sendang karena sudah tradisi dari jaman dulu, jadi sekarang tinggal meneruskan tradisi itu”, katanya. Di samping itu ia juga datang untuk memanjatkan doa/tahlilan memohon kepada Allah agar sendang tersebut berlimpah airnya dan dapat mengairi sawah-sawah serta tanaman lainnya. Nenek Patun (70 tahun) penduduk Desa Njagalan, Ceper, Klaten, selalu mengikuti bersih sendang yang diadakan setiap setahun. Ia menggambarkan, saat bersih sendang lebih ramai dari suasana Lebaran. Penduduk Klaten datang beramai-ramai menghadiri acara tersebut. ”Kulo mboten pernah ninggal acara beseh sendang, kulo tumut ngresii sendang supados saged ngalap berkah saking ingkang moho kuwaos, sebab sendang puniko tempat panguripan masyarakat deso mriki (saya tidak pernah absen acara bersih sendang karena sendang ini merupakan tempat penghidupan masyarakat desa),” demikian nenek Patun. (wiwiek/IR)

Jogjakarta

Lintas Daerah Nangroe Aceh Darussalam

TMMD KE-85 di Aceh Kegiatan TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD) ke-85 di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) serentak dilaksanakan di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bireun, Aceh Barat Daya dan Nagan Raya, pada 13 Oktober 2010. Kasdam Iskandar Muda Brigjen TNI Tandu Wibowo dalam rakor persiapan TMMD di Makodam Iskandar Muda, Banda Aceh, Kamis (7/10), mengatakan TNI membantu kepolisian dan pemda dalam rangka mempercepat akselerasi pembangunan di pedesaan terutama pembangunan yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat di pedesaan. Kegiatan yang dilaksanakan pada TMMD ke-85 ini antara lain pembangunan jalan tembus sepanjang 2.000 meter, jembatan darurat, dan pembangunan dua rumah dhuafa di tiga kabupaten, serta pembangunan saluran air. “Ada juga pembangunan sarana olahraga, pengobatan gratis, pemutaran film, penyuluhan wawasan kebangsaan serta ceramah bimbingan mental juga merupakan bagian dari kegiatan TMMD ke-85,” kata Tandu Wibowo. Ketua DPRD Kabupaten Nagan Raya, Juragan, menyampaikan dukungannya dengan membantu sepenuhnya kegiatan TMMD di Kabupaten Nagan Raya yang telah seminggu mengalami musibah banjir dan akan mengajukan Anggaran Bantuan Tambahan ( ABT ) jika diperlukan. (nining) Jawa Tengah

Dukungan Sistem Sosial Entaskan Kemiskinan Wakil Bupati Kebumen Djuwarni mengatakan sejalan dengan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan PNPM Mandiri pihaknya berupaya mendorong terciptanya perangkat sistem sosial yang bersifat dinamis. “Sistem sosial yang dibangun PNPM Mandiri Perdesaan memungkinkan warga desa memperoleh peningkatan kapasitas tidak hanya dalam bentuk kursus dan pelatihan, tetapi juga pembiasaan cara berpikir dan bertindak bagi warga desa ketika mereka menjalankan perannya masingmasing dalam melaksanakan sebuah proses pembangunan desa yang bersifat partisipatif,” kata Djuwarni, Kamis (7/10) saat meresmikan Gedung PAUD/Kelompok bermain “Kencana” Desa Kuwarisan Kecamatan Kutowinangun. Gedung PAUD tersebut merupakan hasil kegiatan PNPM Mandiri perdesaan tahun 2010 Kecamatan Kutowinangun dengan total dana Rp 183 juta rupiah lebih. “Gedung ini dibiayai dana BLM PNPM Mandiri Perdesaan Rp 157,4 juta. Selain itu swadaya masyarakat sebesar Rp 26,3 juta. Sehingga total sebesar Rp 183,7 juta dengan tanah hibah,” kata Camat Kutowinangun Edi Purwoko. Pada tahun 2010, Kab. Kebumen menerima 3 (tiga) jenis PNPM Mandiri Perdesaan, yaitu PNPM Mandiri Perdesaan Reguler, Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP), dan PNPM Mandiri Perdesaan Pola Khusus Penanganan Dampak Krisis, dengan total BLM sebesar Rp 61,3 Miliar.(Rin)

Katakan Tidak

!

pada Narkoba


Edisi 17

Tahun VI Oktober 2010

Kementerian Perumahan Rakyat Bebaskan IMB Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kementerian Perumahan R a k y a t m u l a i 2 0 11 a k a n membebaskan pembayaran Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) berupa rumah kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah. “Jadi mulai tahun 2011 nanti IMB ini digratiskan atau dibebaskan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, hal ini berlaku bagi pengembang yang membangun rumah sejahtera baik tapak maupun rumah susun dapat digratiskan,” ujar Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Manoarfa, usai pembukaan Musda Asosiasi Pengusaha Perumahan Seluruh Indonesia (APERSI) di Surabaya, Rabu (6/10). Menpera memastikan

11

Lintas Lembaga

rencana itu sudah disetujui, dan dalam waktu dekat Peraturan Mendagri soal pembebasan biaya IMB segera diterbitkan. Suharso berharap peraturan itu juga dibarengi dengan sanksi bagi kepala daerah yang membangkang, misalnya lewat pemberian disinsentif anggaran. Misalnya lima tahun pertama diberi diskon 50 persen, lima tahun kedua 25 persen, dan lima tahun ketiga baru dikenakan penuh atau 100 persen. Dia

mengatakan biaya dari IMB jumlahnya tidak seberapa bagi Pendapatan Asli Daerah. “Kalau setiap rumah dikenakan biaya Rp5 juta dan rumah yang dibangun hanya 300 unit, maka setiap tahun pendapatan daerah hanya Rp1,5 miliar. Bandingkan jika IMB gratis dan banyak pengembang berlomba membangun rumah baru, maka pendapatan daerah dari BPHTB dan PBB akan jauh lebih besar,” paparnya. (pca/j)

www.bipnewsroom.info

Papua dan para Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bappeda Kabupaten/Kota Provinsi Papua.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan, sebanyak 138 kabupaten/kota saat ini sudah berkomitmen untuk menghapus restribusi terhadap kapal penangkap ikan di pelabuhan yang dikelola oleh pemerintah daerah. “Penghapusan restribusi tersebut dinilai akan meringankan para nelayan yang mencari ikan melalui pelabuhan itu,” kata Direktur Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP Herianto Marwoto pada acara diskusi dengan wartawan perikanan di Jakarta, Kamis (7/10).

Menurutnya, bagi pemerintah daerah kabupaten/kota yang telah melaksanakan pencabutan restribusi maka selanjutnya akan mendapatkan kompensasi dari pemerintah pusat (KKP). Selain itu, pencabutan restribusi adalah sejalan dengan Undang Undang Perpajakan dan Undang Undang Perikanan. Selama ini restribusi pemerintah daerah banyak yang salah penggunaannya. Contohnya ada daerah yang memungut restribusi dari kapal ikan di pelabuhan lalu uangnya masuk ke kas daerah. Tapi oleh daerah penggunaan uang tersebut dimasukan ke kas Dinas Sosial, untuk dana bantuan sosial seperti bantuan saat paceklik, seharusnya dana tersebut digunakan untuk pengembangan usaha nelayan. Marwoto menambahkan, seperti di Propinsi Jawa Tengah termasuk daerah penghasil restribusi terbesar yaitu sekitar Rp2 miliar. Tapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini belum menghapus restribusi bagi nelayan dan kapal penangkap ikan di pelabuhan. , melainkan hanya menurunkan besarannya saja. (Bhr)

Sebagai negara paling heterogen di dunia, Indonesia sejatinya sangat kaya potensi lokal. Bukan hanya sebatas kekayaan kuliner seperti sate Madura, namun juga aneka ragam kesenian, budaya, adat-istiadat, beserta seluruh produk dan pernik-pernik khas yang menyertainya. Sayang, tak banyak yang berpikir bahwa itu merupakan keunggulan komparatif yang tak tertandingi oleh negara manapun di dunia. Sebaliknya, kita justru sering merasa rendah diri jika berhadapan dengan produk budaya dari luar. Atau lebih ironis lagi, kita memilih membuang budaya sendiri dan menggantinya dengan budaya asing yang kita anggap lebih tinggi. Kita sering terbalik, think locally act globally, berpikir lokal namun bertingkahlaku global. Kita tidak memiliki keyakinan bahwa apa yang kita miliki cukup untuk bekal hidup di abad global. Kita memilih bertindak sebagaimana

masyarakat dunia, dan menganggap yang datang dari luar sebagai patron sekaligus ukuran seberapa kosmopolitan diri kita. Kita sering berpikir bahwa kita baru akan diakui sebagai warga dunia jika telah menanggalkan baju lokalitas dan kemudian berbusana mondial. Sesat pikir semacam inilah yang membuat kita senantiasa menjadi penonton globalisasi, tanpa pernah sekalipun mampu tampil menjadi pemain. Kita lupa bahwa orangorang yang sukses di era globalisasi bukanlah orang yang ikut arus dan tenggelam bersamanya, akan tetapi orang-orang yang mampu melawan arus dengan menegakkan ciri lokalitas yang dimilikinya. Jika penjual sate Madura bisa eksis di Den Haag dengan dagangan lokalnya, mengapa kita memandang rendah potensi lokal yang kita miliki? (gun).

(Jul)

Kementerian Kesehatan Rencana Aksi Daerah untuk Percepatan MDGs 2015 Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk percepatan pencapaian MDGs, hendaknya dapat dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Perda atau menjadi dokumen resmi yang ditandatangani oleh Gubernur, Bupati atau Walikota sebagai pencerminan komitmen pemerintah kepada rakyat. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, dalam pidatonya yang dibacakan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Ratna Rosita, pada pertemuan penyusunan rencana aksi daerah percepatan target MDGs di Jayapura, Papua, Rabu (29/9). Lebih lanjut dikatakan, di era desentralisasi sekarang, tanggung jawab pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, menurut Menkes, pembangunan harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan arah pembangunan kesehatan yang sinkron antara pusat dan daerah, walaupun dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan keadaan lokal dan kearifan lokal. Pertemuan dihadiri oleh Gubernur Provinsi Papua, Pejabat Eselon I, II lingkungan Kementerian Kesehatan, Bapenas, para Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Direktur RSUD provinsi

Kementerian Kelautan dan Perikanan Komitmen 138 Kabupaten/ Kota Hapus Retribusi Pelabuhan Ikan

Wajah Kita

Lokal, Mengapa Tidak! Suatu ketika, saat berkunjung ke Sampang, Madura, Jatim, saya dan kawan-kawan berniat mencari makan. Segera saja terlintas menu yang menurut saya sangat erat hubungannya dengan kata Madura, yakni sate. Pikiran saya, kalau sate Madura yang pernah saya cicipi di Jakarta enak, di pusatnya (Madura) pasti sangat enak, meminjam istilah Bondan Winarno, mak nyus! Ternyata, mencari sate Madura di kota Sampang tak semudah yang saya kira. Hanya ada dua penjual, itupun bukan orang Madura melainkan orang Jawa asal Ponorogo. Sungguh ajaib, ternyata mencari sate Madura di Madura jauh lebih susah daripada di luar Madura! Tersohor di daerah lain adalah bukti bahwa penjual sate Madura sangat intens menjaga popularitas

dagangannya. Uniknya, mereka tidak mengembangkan ‘makanan asli Madura’ itu di tempat asalnya, namun justru memasarkannya di tempat lain dengan ‘nama generik’ yang sama. Kawan saya di Radio Nederland pernah berujar, di kota Den Haag ada juga warung sate Madura. Dus, jika dihitung-hitung, jumlah penjual sate Madura yang ada di luar Madura lebih banyak beribu kali lipat dibanding yang ada di Madura sendiri. Fenomena di atas sejatinya mirip dengan McDonald (McD) dan Kentucky Fried Chicken (KFC). Di negara kelahirannya, AS, restoran McD dan KFC jumlahnya cuma ada beberapa gelintir, namun nama dua restoran cepat saji ini merajai gerai-gerai makanan (food court) di seluruh dunia. Coba anda cari, negara mana yang tidak ada McD dan KFC-nya?

Saya yakin jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Think globally act locally, berpikir global meskipun bertindak di tingkat lokal. Itulah yang dilakukan para penjual sate Madura, dan tentu juragan McD dan KFC. Mereka mengangkat makanan bercitarasa lokal—tradisional, namun memasarkannya melewati batas teritorial kelokalannya. Sate Madura mungkin tidak populer di tempat kelahirannya, namun sangat terkenal di Medan, Jakarta, Surabaya, B a l i k p a p a n , M a k a s s a r, Ambon, Jayapura, bahkan Kualalumpur, Singapura dan Den Haag. Sementara McD dan KFC, kendati di negara asalnya sering diledek dengan sebutan junk food, namun di belahan bumi lain makanan ini justru meraup penjualan dan jumlah laba sangat tinggi.


12

Edisi 17

Tahun VI Oktober 2010

www.bipnewsroom.info

Pecalang

Foto : flickr.com - balilogue

Pengabdian Seumur Hidup I Gede Ngurah (35) pria berperawakan tinggi besar, muka sangar, rambut gondrong, memilih menjadi pecalang di tempat kelahirannya Desa Kubu Tambahan, Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Singaraja, Bali. Bagi dia, pecalang merupakan pengabdian luar biasa yang harus datang dari hati nurani. “Awalnya saya ditawari untuk menjadi pecalang, kemudian saya pertimbangkan baik-baik, lalu saya putuskan untuk menjadi pecalang,” ujarnya ketika ditanya awalnya menjadi pecalang. Setelah menyatakan bersedia, proses selanjutnya ada upacara adat desa untuk angkat sumpah mengabdi seumur hidup. Kemudian setelah diangkat sumpah, seorang pecalang diberikan atribut pecalang yakni kadutan (seperti keris, senjata khas Bali), pakaian adat lengkap (sarung, baju merah hitam, baju putih hitam) dan udeng (ikat kepala khas Bali). Pecalang adalah petugas keamanan tradisional di Bali, yang sampai kini terus dipertahankan sebagai salah satu budaya Bali dan terus berfungsi dengan baik. Masyarakat Bali sangat menghormati pecalang. Tugas utamanya adalah melindungi masyarakat, menjaga keamanan dan ketertiban termasuk saat upacara-upacara adat dan hari raya yang jumlahnya demikian banyak di Pulau Dewata, daerah

tujuan wisata utama Indonesia. Kalau Hari Raya Nyepi misalnya, ketika seluruh warga Bali tak boleh keluar rumah dan mengadakan ritual di rumah masing-masing, demikian juga wistawan asing tak boleh keluar dari penginapannya, maka hanya pecalang yang tetap dibolehkan melaksanakan tugas di jalanjalan, di pasar-pasar, di pinggir laut dan sebagainya. Pecalang memberi peringatan pada orang yang berada di luar rumah, sehingga dapat dikatakan sesuai dengan ajaran Hindu Bali, tidak ada yang keluar pada hari raya itu. Kalaupun saat Nyepi misalnya bila ada yang sakit atau melahirkan, pecalang akan mengeluarkan surat keterangan dan mengantar hingga ke rumah sakit atau pecalang menjemput dokter dan mengantar dokter ke rumah orang yang sakit atau akan melahirkan itu. Demikian pula saat nyepi itu ada yang meninggal, pecalang-lah yang mengurus. Maka kehadiran dan peranan pecalang adalah juga salah satu obyek yang menarik wisatawan, sehingga selalu saja ada wisatawan yang ingin berfoto atau disorot dengan camera bersama pecalang. Untuk pelaksanaan tugastugasnya ini, pecalang yang merupakan satuan keamanan tradisional selalu mempunyai

kerjasama yang baik dengan pihak kepolisian sebagai alat negara. Di sini ada batasan tugas yang jelas antara tugas pecalang dengan tugas polisi. Misal ada upacara adat dari banjar hingga ke laut, pecalang bertugas mengawal jalannya upacara adat dari sejak awal hingga akhir, pecalang juga berbaur dengan warga, sementara polisi bertugas mengamankan jalan raya, misalnya di persimpangan jalan. Gede mengatakan, menjalankan tugas sebagai pecalang, banyak suka dukanya, malahan menurut kebanyakan orang lebih banyak dukanya, namun tugas ini harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Dukanya antara lain adalah pecalang itu tidak digaji. Ia mendapat penghasilan bila menjalankan tugas menjaga keamanan, itupun besarannya tidak ditentukan, diberikan secara sukarela. Namun bila tidak sedang bertugas, pecalang dapat saja melakukan usaha lain seperti berdagang atau bertani. “Yang penting jika menjadi pecalang, tidak boleh keluar dari desa tempat di mana ia bertugas, karena panggilan tugas pecalang tidak ada jadwal yang jelas, sewaktu-waktu dapat dipanggil, nah kalau ia (pecalang) sedang tidak ada di tempat, jadi repot,” ungkapnya.

Kemudian kalau seseorang sudah merasa lelah untuk menjadi pecalang, baik Ketua Pecalang maupun klien adat sebetulnya dapat memperbolehkan berhenti, namun ada semacam peraturan tidak tertulis dengan Sang Pencipta Sang Hyang Widha Wasa, yang membuat seseorang tidak mau berhenti sebagai pecalang. Itulah yang dimaksud dengan pengabdian seumur hidup. Pemahaman ini makin diyakini oleh para pecalang dan masyarakat Bali umumnya, karena pernah terjadi kejadiankejadian yang memberi pelajaran janganlah berhenti sebagai pecalang karena ini adalah pengabdian seumur hidup. Salah satu yang senantiasa diingat Ngurah adalah kejadian yang dialami seseorang (sebut saja A) yang berhenti sebagai pecalang. A sering sekali pergi keluar desa karena ada keperluan, sehingga tidak pernah datang bila ada acara di mana ia harus bertugas. Ketua Pecalang sudah memberikan teguran, namun tidak pernah diindahkan, sementara untuk mengatakan ingin berhenti kepada Ketua Pecalang, yang bersangkutan tidak berani.

Masalahnya adalah A tahu bahwa untuk berhenti haruslah melaksanakan ritual keagamaan Hindu Bali yang diadakan di pura dan menyampaikan permintaan berhenti langsung kepada Yang Maha Kuasa. Barulah kemudian A akhirnya tetap memutuskan mundur sebagai pecalang dan berarti ia harus mengikuti ritual keagamaan Hindu Bali di pura. Dalam acara ini, seluruh pecalang dikumpulkan dan A mengucapkankan kepada Sang Hyang Widha Wasa bahwa ia akan berhenti sebagai pecalang. Tapi apa yang terjadi beberapa hari kemudian ? Tanpa sebab yang jelas, A kemudian jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Berbagai pengalaman dialami pecalang seperti Ngurah, termasuk perlakuan istimewa yang biasa diterimanya. “Bila sedang mengendarakan kendaraan bermotor dan tidak membawa SIM, polisi memberi toleransi dengan tidak memberikan tilang, karena kami selalu bekerjasama,” katanya terkekeh. (RN/IR).


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.