komunika khusus harkitnas 2008

Page 1


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

desain: dw,m, ahas foto: bf, dw,fgs, net

Menggagas Kebangkitan Internasional Ketika dr Soetomo bersama para tokoh lainnya mendirikan organisasi pergerakan nasional, mereka menghadapi common enemy atau ‘musuh bersama’ yakni imperialisme dan kolonialisme. Tekad menumbangkan penjajahan serta merebut kemerdekaan Indonesia menjadi roh perjuangan saat itu, dimana semua organisasi pergerakan nasional memiliki komitmen kuat untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, kendati mereka terpecah-pecah dalam perkumpulan-perkumpulan yang berciri sektarian, semangat untuk bergerak dalam skala nasional tetap kuat dan solid. Penjajahan adalah the main issue yang mampu memantik kesadaran sekaligus menyatukan anak bangsa untuk bersama-sama bangkit melakukan perlawanan. Sedangkan nasionalisme dipegang sebagai general identity, yang menjembatani elemen-elemen primordialisme untuk berpadu menjadi satu kekuatan kebangsaan melawan penjajahan. Hasilnya sangat fantastis, hanya butuh waktu 37 tahun sejak Boedi Oetomo didirikan, kolonialisme berhasil diruntuhkan dan negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan. Saat kemerdekaan Indonesia tercapai, kebangkitan nasional mencapai titik kulminasi. Sejak itu, tak ada lagi momen kebangkitan nasional sehebat rintisan dr Soetomo dan kawan-kawan. Belakangan ini pernah muncul wacana tentang kebangkitan nasional kedua, ketiga dan seterusnya, akan tetapi semua lebih berupa jargon daripada aktivitas nyata. Mengapa kini sulit membangkitkan elemen-elemen bangsa untuk bersatu-padu secara nasional seperti masa lalu? Salah satu alasannya adalah karena kita tidak lagi menghadapi common enemy sebagai pengikat ghirah kebangsaan. Secara internal, Indonesia tidak lagi memiliki ‘musuh besar’ yang menuntut totalitas persatuan fisik dan mental bangsa untuk menghadapinya. Pasca proklamasi kemerdekaan, pembangunan, pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan memang menjadi tugas anak bangsa untuk bersama-sama menuntaskannya. Akan tetapi tugas bukanlah ‘musuh’, dan keduanya harus dibedakan secara nyata. Namun secara eksternal, bangsa Indonesia memiliki common enemy bernama “sisi buruk globalisasi.” Kendati bagi negara-negara maju globalisasi

dianggap sebagai berkah, namun bagi Indonesia— yang lebih sering menjadi objek daripada subjek globalisasi—lebih dirasakan sebagai bencana. Globalisasi beserta gerakan neoliberalisme dan kapitalisme global yang berdiri di belakangnya, bisa menjadi kekuatan yang sangat mengisap, terutama bagi negara-negara yang kemampuan bersaingnya di tingkat dunia sangat rendah.

Sepanjang bangsa kita mampu menjaga optimisme, kebangkitan internasional pasti dapat diwujudkan Sebagai negara yang masih menggantang daya saingnya, Indonesia perlu melawan sisi buruk globalisasi tersebut. Bukan dengan berhadapan vis-a-vis secara frontal, akan tetapi dengan bangkit menyusun kekuatan agar peran Indonesia diperhitungkan di tingkat dunia. Tekad untuk bangkit menjadi pemegang peran perubahan dunia inilah yang disebut sebagai kebangkitan internasional. Beberapa negara di Asia seperti China, India dan Korea, sukses melaksanakan kebangkitan internasional ini. Sekarang, mereka muncul sebagai kekuatan baru yang eksistensinya sangat diperhitungkan di tingkat global, bukan saja di bidang ekonomi namun juga iptek, sosial dan politik. Ke depan, jika ingin maju, Indonesia harus mampu melakukan hal semacam itu. Sepanjang bangsa kita mampu menjaga optimisme, kebangkitan internasional pasti dapat diwujudkan. Optimisme sangat penting, karena akan memunculkan kepercayaan diri. Bangsa yang percaya diri pasti memiliki harapan positif tentang apapun. Harapan akan memunculkan kegemaran untuk berikhtiar. Kegemaran ikhtiar akan melahirkan kreativitas. Kreativitas menimbulkan inovasi. Inovasi adalah kata kunci dari produktivitas. Dan produkti-

Perayaan 100 tahun Harkitnas diharapkan bisa menjadi tonggak agar masyarakat bisa lebih bersatu, kompak, siap melangkah bersama dan bekerja keras dengan kepercayaan dan optimisme serta berpikiran positif. Melalui perayaan ini tidak berarti pemerintah tidak peduli terhadap kondisi riil di masyarakat, karena perayaan ini diharapkan bisa menemukan visi baru untuk bisa melangkah lebih baik lagi. Presiden saat jamuan makan siang dengan pimpinan media massa nasional di Istana Negara Jakarta, Senin (5/05).

Peringatan seabad kebangkitan nasional harus kita jadikan momentum. Tidak hanya untuk melihat perjalanan sejarah bangsa selama 100 tahun akan tetapi juga sekaligus kita memajukan, mendorong, dan mengambil momentum 100 tahun kedepan ini untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju, Mensesneg Hatta Rajasa dalam keterangan persnya Presiden SBY menerima panitia Peringatan 100 Tahun Harkitnas, di Kantor Presiden, Senin (5/5).

Keadilan dan kesetaran gender di Indonesia harus dapat direalisasikan dalam wujud nyata, baik bagi peran dan fungsi kaum perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perempuan merupakan aset negara, bukan beban. Kita beri kesempatan potensi yang ada pada kaum perempuan agar dapat terakomodasi melalui pendidikan, perlindungan, pencegahan trafiking. Oleh karena itu, kata Meutia, kepentingan perempuan dalam pembangunan harus terakomodasi dengan baik supaya perempuan bisa menyelesaikan fungsinya di masyarakat. Kami berharap perempuan Indonesia bisa lebih percaya diri dalam menyongsong 100 tahun kebangkitan nasional Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Dr Meutia Hatta Swasono, dalam pertemuan Badan Koordinasi Hubungan (Bakohumas) di kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Jakarta, beberapa waktu lalu.

2

vitas dalam jangka panjang akan melahirkan competitiveness atau kemampuan untuk bersaing. Setidaknya ada tiga hukum dasar yang sangat menentukan kemampuan bersaing bangsa Indonesia di abad globalisasi ini: Pertama, kecepatan. Kecepatan akan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara radikal. Pendidikan dan keterampilan, bagaimanapun, akan menjadi kunci utama pembuka gerbang dunia global. Belajar dari masa lalu, kebangkitan nasional dipelopori oleh orang-orang terpelajar. Kebangkitan internasional pun hanya bisa terjadi jika motor penggeraknya adalah orang-orang cerdik pandai. Maka tak ada strategi yang lebih tepat bagi bangsa ini, selain menyekolahkan generasi muda hingga jenjang pendidikan tertinggi. Kedua, jaringan atau network. Ke depan bangsa Indonesia harus mampu menjalin kerjasama, terbuka, inklusif dan rajin berkomunikasi dengan bangsa lain baik secara bilateral maupun multilateral. Jaringan antarnegara yang terbentuk akan berfungsi sebagai enabler, yang mempermudah bangsa Indonesia mengambil posisi dan kesempatan untuk ikut andil dalam perubahan-perubahan penting yang terjadi di tingkat dunia. Ketiga, efisiensi. Kemampuan meminimalkan cost dan memaksimalkan benefit menjadi kunci keberhasilan bangsa Indonesia untuk dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hanya bangsa yang efisien yang mampu bertahan dari ‘serbuan’ neoliberalisme dan kapitalisme global. Sementara bangsa yang boros akan menjadi bulanbulanan kekuatan multinasional yang kini beroperasi hampir di semua negara di dunia. Akan tetapi, ketiga elemen di atas tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan kekompakan, bersatu serta siap melangkah bersama dan bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kini saatnya bangsa Indonesia menyusun strategi untuk kembali bangkit pada tataran yang lebih luas, di tingkat internasional, sembari meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perbaikan internal di segala bidang. Memang bukan pekerjaan mudah, namun jika tidak dimulai sekarang, selamanya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa marginal. (g)

Bulan Mei tahun ini merupakan satu abad kebangkitan nasional, momentum ini bisa dikumandangkan ke mana-ma-na dengan isi kedaulatan ekonomi, hankam, politik, diplomasi, dan kedaulatan pendidikan mungkin akan menjadi lain kondisi bangsa ini Kita perlu bangkitkan kembali bahwa kita ini cucu Pangeran Diponegoro, cucu Panglima Polim, cucu Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan cucu Patih Gadjah Mada. Mereka adalah harimau-harimau bangsa. Kalau anak harimau tetap harimau begitu juga cucu, cicit harimau tetap harimau tetapi lebih muda. Kalau kita ini punya nenek harimau tetapi sekarang kita ini menjadi kelinci atau marmut. Ini yang tidak boleh kita teruskan. Untuk mengubah kondisi bangsa Indonesia agar lebih maju perlu kebangkitan nasional jilid II. Amien Rais, pada Forum Diskusi kebangsaan di Universitas Stikubank di Semarang, Kamis (10/4).

Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Prof. Dr. Moh Nuh, DEA (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Dr. Suprawoto, SH. M.Si. (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Drs. Bambang Wiswalujo, M.P.A.(Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Drs. Supomo, M.M. (Sekretaris Badan Informasi Publik); Drs. Ismail Cawidu, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); H. Agus Salim Hussein, S.E. (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Drs. Sofyan Tanjung, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Drs. Sugito. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Dra. Fauziah; Drs. Selamatta Sembiring, M.Si.; Drs. M. Abduh Sandiah; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Dimas Aditya Nugraha, S.Sos; Hendra Budi Kusnawan, S.S; Koresponden Daerah: Amiruddin (Banda Aceh), Arifianto (Yogyakarta), Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Leonard Rompas. Desain: D. Ananta Hari Soedibyo. Pracetak: Farida Dewi Maharani, Amd.Graf, S.E. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: komunika@bipnewsroom.info. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Tantangan Globalisasi Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antarnegara, bahkan nasionalisme sebuah negara. Dengan kata lain, sikap nasionalisme membutuhkan sebuah kebijakan dalam melihat segala kekurangan yang masih kita miliki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekaligus kemauan untuk terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional.Pertanyaannya, bagaimana Indonesia kini dapat memainkan peran dan ikut mewarnai era globalisasi? Dalam setiap era, selalu ada sisi-sisi negatif atau ancaman lain yang menyertai. Percepatan dalam dunia modern dapat berdampak negatif terhadap generasi muda dengan berbagai akulturasi budaya dan nilai-nilai dari barat menawarkan godaan serta tawaran yang dapat merusak cita-cita generasi muda dalam perjuangan panjang mencapai sukses. Dilihat dari sejarah, sumber daya alam dan manusia, serta nilai-nilai yang dimilikinya, Indonesia merupakan bangsa yang sebenarnya sudah me-

Faris (7), bocah sekolah dasar di kawasan Jakarta Timur itu termangu memandangi kapal boat yang terparkir di Lapangan Monas, Jakarta. Ia tak bisa membayangkan bahwa kapal itu akan dipakai di Jakarta, kecuali kalau banjir besar terjadi seperti beberapa waktu lalu. "Kapal itu, untuk anak-anak yang tinggal di sepanjang sungai di Kalimantan dan anak-anak di pulau-pulau Maluku. Namanya Kapal Pintar," kata Ani Yudhoyono, ibu negara Indonesia. Memang program ini bagian dari program Indonesia Pintar yang ditujukan untuk menjangkau seluruh anak Indonesia dengan buku. “Program yang merupakan pengembangan dari perpustakaan keliling yang dilengkapi dengan fasilitas yang lebih canggih itu diluncurkan oleh para isteri anggota Kabinet Indonesia Bersatu yang tergabung dalam Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu (Sikib). Mereka yang aktif di Sikib itu turut menjadi tutor Mobil Pintar yang bertugas membantu anak-anak membaca, mengikuti permainan dan berbagai program yang bersifat mendidik. Terdorong oleh keinginan memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat melalui peningkatan minat baca serta penguasaan teknologi komunikasi dan informasi tanpa meninggalkan budaya setempat maka Ibu Ani bersama para istri menteri Kabinet Indonesia Bersatu membentuk Mobil Pintar yang ternyata memperoleh sambutan positif dari masyarakat, pemerintah dan kalangan pengusaha. Ketua Penyelenggara Peringatan Seabad

menuhi syarat untuk bangkit sejak lama. Antara Ideologi dan Praksis Nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai penggerak bangsa Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya. Di titik inilah cita nasionalisme diharapkan untuk bermetamorfosis saat globalisasi memaksa individu melepaskan diri dari keterikatannya dengan negara bangsa. Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi. James G. Kellas (1998) menegaskan bahwa sebagai sebuah ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai sebuah bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Nasionalisme bisa pula dipandang sebagai mental masyarakat yang dibangun dari sejumlah perasaan dan ide-ide yang mendorong suatu masyarakat untuk memiliki sense of belonging. Dalam Kebangkitan Nasional pada dasarnya terdapat transformasi ide atau gagasan dari cara pan-

Kebangkitan Nasional Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu, Murniati Widodo memaparkan, saat ini mobil pintar telah tersebar di berbagai kawasan di Indonesia, mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, Bali, Nusa Tenggara, hingga Maluku dan Papua. �Seluruh rangkaian acara ini berlandaskan konsep SIKIB yang memiliki visi dan misi Indonesia Sejahtera, serta diimplementasikan dalam program Indonesia Pintar, Indonesia Sehat, Indonesia Hijau, Indonesia Kreatif, dan Indonesia Peduli,� kata Murniati Widodo, dalam jumpa pers di Departemen Komunikasi dan Informatika, Senin (28/4). Motor, Kapal, dan Rumah Pintar “Saat ini, kata Ibu Ani, Mobil Pintar telah berkembang menjadi Motor Pintar --untuk menjangkau anak-anak yang tinggal di gang-gang sempit--, Rumah Pintar --agar pendidikan dapat berkesinambungan--, Kapal Pintar --untuk anakanak yang tinggal di sepanjang sungai-sungai besar di Indonesia-- dan Mobil Sehat --untuk penyuluhan kesehatan ibu dan anak. "Diawali dengan enam mobil yang beroperasi di DKI Jakarta, saat ini Mobil Pintar telah mencapai seluruh penjuru Indonesia," kata Ibu Negara yang hari itu didampingi oleh Ibu Mufidah Jusuf Kalla, pada acara puncak peringatan seabad Kebangkitan Nasional yang bertema Bersama Menuju Indonesia Sejahtera di Monas, Jakarta awal Mei lalu. Dijelaskan pula bahwa dalam Mobil Pintar, anakanak tidak hanya dapat menemukan buku-buku bacaan, namun juga komputer dan peralatan audio-visual yang akan menghubungkan mereka dengan "dunia" luar. Ada pula Rumah Pintar, lanjut Ibu Ani, dibentuk

dang lama ke arah cara pandang baru atas dasar konsep negara dan bangsa. Hanya dengan jiwa yang sudah bangkit, kita akan mampu mengatasi berbagai persoalan lainnya. Nasionalisme Indonesia harus diakui tak bisa lagi bisa muncul sebagai perangkai identitas nasional seperti pada awal terbentuknya kesadaran merdeka. Secara operasional, hal-hal yang bersifat normatif itu patut dituangkan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kondisi kekinian. Percepatan kehadiran sikap nasionalisme baru mutlak tak bisa ditawar lagi. Sebuah ide dan praktik yang mengombinasikan berbagai aspek seperti penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebijakan, self-correction, pemikiran kritis dan sikap sebagai bagian dari pembentukan kultur nasional . Jika hal itu dikembangkan akan bisa menghimpun berbagai aspek kehidupan nasional seperti norma dan identitas nasional guna menghadapi berbagai persoalan pembangunan nasional yang kian rumit di masa datang. Generasi muda kiranya dapat memahami, bahwa perjuangan untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan, bukan melalui jalan pintas melainkan atas dasar perjuangan panjang melalui kreativitas dan ketekunan. Sebagaimana dibuktikan para pelopor yang tidak mau terjebak dalam pusaran arus sejarah melainkan membentuk sejarah itu sendiri dengan kedua tangannya.

>>nasionalisme

baru mutlak tak bisa ditawar lagi. Kombinasikan penguasaan iptek, kebijakan, dan pemikiran kritis...

lliustrasi:myth

Banyak peristiwa penting terjadi dalam kurun waktu berselang: mulai Proklamasi sebagai awal terpenting berdirinya bangsa, hingga berbagai prestasi, ancaman, dan tantangan yang membayangi langkah Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Arti kebangkitan memperoleh bentuk berbeda ketika semuanya berada dalam situasi komunitas global. Dimana perkembangan teknologi sedemikan pesat, pada banyak pihak turut mengkhawatirkan bahwa generasi muda saat ini mulai luntur nilai nasionalismenya.

(mth@bipnewsroom.info)

karena ada usulan dari masyarakat agar forum belajar itu bersifat permanen. Mobil Pintar biasanya berada di suatu daerah selama tiga hingga enam bulan sebelum kemudian berpindah ke daerah yang lain. Itulah sebabnya Ibu Ani meminta anakanak yang belum pernah memanfaatkan fasilitas Mobil Pintar untuk bersabar. Apresiasi PBB Sejak diresmikan tahun 2005 mobil pintar menyebarkan kegemaran membaca terhadap anakanak. Dilengkapi dengan perpustakaan mini didalamnya anak - anak bebas memilih segala jenis buku bacaan tanpa dipungut bayaran alias gratis dan ternyata kegiatan yang diadakan Mobil Pintar tidak cuma baca, ada serentetan aktivitas yang tersedia. Tak cuma menyediakan buku bacaan, Mobil Pintar juga punya program. Setelah anak - anak ini membaca akan lanjut ke sentra berikutnya, yaitu belajar komputer. Tapi ada syaratnya, mereka harus mengulang apa yang sudah dibaca. Asyiknya semua pelajaran dikemas dengan nuansa bermain. Tidak heran kedatangan Mobil Pintar setiap Selasa dan Jum'at ke daerah ini selalu ditunggu. Kegiatan atau sentra di Rumah Pintar tidak jauh beda dari Mobil Pintar. Anak - anak bisa membaca di perpustakaan Rumah Pintar yang punya koleksi sekitar 6000 buku lalu ada sentra bermain dan sentra panggung, komputer dan griya. Tidak hanya anak - anak, orang dewasa pun boleh ikut semuanya tanpa dipungut bayaran. Ide pembuatan Mobil Pintar -- yang telah memperoleh apresiasi dari PBB -- berawal dari keluhan anak-anak di sejumlah daerah di Indonesia yang mengaku selalu kesulitan memperoleh bukubuku bacaan.

3


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Nasionalisme merupakan salah satu bentuk tawaran kompromi dalam suatu masyarakat yang heterogen, untuk hidup bersama, berdampingan, dan bersatu tanpa mengurangi atau mendegradasi nilai dan keyakinan masing-masing pihak.

Perbedaan agama adalah perbedaan yang sangat prinsip dan azasi, sehingga tidak bisa dikompromikan. Corak kehidupan beragama yang tampak di permukaan menunjukkan setiap agama yang ada masing-masing memiliki norma dan batas yang jelas satu sama lain. Interpretasi setiap agama terdapat pada masing-masing agama dalam memperjuangkan ajaran yang diyakininya. Keyakinan akan kebenaran agama dan semua a j a r a n n y a , mengharuskan pemeluk suatu a g a m a mengamalkannya dalam kehidupan mereka, baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, dan ini menurut kepercayaannya

>> Sepanjang

bangsa kita mampu menjaga optimisme, kebangkitan internasional pasti dapat diwujudkan

Di negeri ini, singkatan dan akronim memang dapat lahir kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja. Dari institusi atau lembaga resmi, baik swasta maupun pemerintah, sampai geng-geng anak muda, dan bahkan secara individual; semua bisa memunculkan suatu singkatan dan akronim. Lebih hebat lagi, singkatan dan akronim tersebut semakin membanjir ketika reformasi digulirkan dan ketika ‘budaya kirim ‘SMS’ melalui handphone semakin merakyat. Biasanya orang membuat akronim agar mudah diingat, gampang dihafal atau diucapkan, dan enak

>>

Bahasa memang akan terus tumbuh dan berkembang. Tetapi, kalau akronim terus diproduksi, beranakpinak, serta terus membanjir; justru akan merusak bahasa, dan memunculkan berbagai persoalan dalam pemakaian bahasa.

4

didengar. Tetapi ada pula yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas (misalnya di lingkungan ketentaraan dan kepolisian). Juga ada yang membuat akronim untuk menciptaklan efek propaganda; seperti dalam dunia perpolitikan, misalnya dalam PILKADA. Penggunaan akronim namapun kini semakin digemari tokoh masyarakat dan para politikus. Lihat saja dalam Pilkada yang diselenggarakan di daerahdaerah. Para pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur, atau calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota; mereka berkreasi membuat akronim.

merupakan tindakan mulia yang bisa mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. Jika hal ini dilakukan tanpa menghiraukan orang lain yang berbeda keyakinan, maka kemungkinan terjadi benturan antara pemeluk agama yang berbeda. Agama memiliki posisi universal, artinya satu agama bisa dianut oleh bangsa mana saja, tidak dibatasi oleh batas wilayah atau geografis suatu Negara. Sementara nasionalisme memiliki batas wilayah Negara, sehingga semangatnya sangat terikat antara Negara dan warga negaranya. Nasionalisme merupakan salah satu bentuk tawaran kompromi unsur-unsur dalam suatu masyarakat yang heterogen, karena berbeda suku, berbeda adat istiadat, berbeda golongan, berbeda budaya, dan berbeda agama. Kompromi untuk hidup bersama, berdampingan, dan bersatu tanpa mengurangi atau mendegradasi keyakinan masingmasing agama di satu wilayah yang terorganisir dalam wadah sebuah Negara. Tatanan yang dibangun kemudian disepakati dan komitmen untuk menjadikannya sebagai norma yang dijalankannya secara konsekwen dalam kehidupan bersama. Kesepakatan dan kompromi ini dilakukan dengan tujuan agar tercipta kedamaian, keharmonisan, kerukunan, serta terhindar dari permusuhan, konflik dan pertikaian. Kata kunci kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat yang heterogen adalah kesepakatan dan kompromi. Untuk mencapai kesepakatan dalam kondisi masyarakat seperti ini harus ada faktor memberi dan menerima, take and give. Tidak boleh ada unsur yang dominan atau pemaksaan keinginan dari satu kelompok atas kelompok yang lain.

Tetapi, jangan lupa ada juga yang membuat akronim hanya sekedar untuk bergurau, mengejek, atau membuat lucu. Misalnya “Gunawan”, diartikan ‘Gundul Menawan”; “Gatot”, diartikan ‘Gagal Total’; haji “Abidin”, diartikan Haji ‘Atas Biaya Dinas’; Pujakesuma, artinya ‘Putra Jawa Kelahiran Sumatera’; dan masih seabrek lagi akronim yang aneh-aneh ! Membuat singkatan dan akronim juga bermacam-macam caranya. Ada yang berupa kumpulan atau gabungan huruf awal, seperti DPR, MPR, SMU, KTP, dan sebagainya. Ada akronim yang terbentuk dari gabungan huruf dan suku kata, seperti AKABRI, BAPPENAS, IWAPI, dan sebagainya. Ada pula yang mempergunakan ‘angka’ dalam akronim, seperti P2U, BP3I, P3, dan sebagainya. Sepertnya m e m b u a t singkatan tidak ada pedomannya, selain siapapun, dimanapun, dan kapanpun singkatan dan akronim dapat dilahirkan; ternyata bagaimana cara membentuk singkatan dan akronim juga ‘semau gue’, seenaknya sendiri sajalah ! foto: fouri gs/b

Selintas nasionalisme memiliki makna yang sangat kontradiktif dengan pengertian keragaman agama. Karena nasionalisme memiliki konotasi pengertian kesamaan pemahaman, yakni sama dalam satu kebangsaan yang mengikat berdasarkan konvensi atau kesepakatan. Kesepakatan dari berbagai unsur dalam suatu lingkup masyarakat yang boleh jadi sangat heterogen untuk bernaung di bawah satu semangat, yakni semangat nasionalisme atau rasa kebangsaan. Berbeda dengan agama, diyakini sebagai sesuatu yang datang dari Tuhan dan disakralkan, bukan hasil dari suatu konvensi atau kesepakatan.

Banjir akronim mengacaukan bahasa Bahasa memang akan terus tumbuh dan berkembang. Kosa kata juga akan terus bertambah. Demikian juga, singkatan dan akronim pasti akan terus bertambah. Akronim memang diperlukan. Tetapi, kalau akronim terus diproduksi, beranak-pinak, serta terus membanjir; justru akan

Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, adat-istiadat, dan agama, sehingga termasuk masyarakat majemuk. Mereka hidup tersebar dalam ribuan pulau. Persebaran penduduk di pulau-pulau tersebut tidak merata. Ada pulau yang relatif kecil dengan penduduk yang sangat padat, seperti Pulau Jawa dan yang luasnya hanya sekitar 6,89% dihuni oleh penduduk 59,99%. Sebaliknya, Pulau Irian yang luasnya 21,99% dihuni hanya oleh 0,92 penduduk Indonesia. Di samping keberanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya persebaran penduduk, bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai mayoritas. Persebaran penganut agama-agama di antara pulau-pulau tersebut juga tidak merata. Penganut agama Islam mayoritas di pulau-pulau Sumatera, Jawa Madura, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, dan pulau-pulau di Maluku Utara. Agama Kristen mayoritas di Pulau Irian, Katolik di Flores, dan Hindu di Pulau Bali. Keanekaragaman suku, bahasa, adat-istadat, dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus diterima sebagai suatu kekayaan bangsa Indonesia. Namun kemajemukan atau keanekaragaman juga dapat mengundang kerawanan-kerawanan yang dapat memunculkan berbagai konflik kepentingan antara kelompokkelompok yang berbeda-beda tersebut jika tidak dikelola secara baik. Karena adanya keyakinan pada semua pemeluk agama terutama Islam dan Kristen bahwa mengajak manusia lain untuk meyakini agamanya adalah tugas suci. Maka muncullah kegiatan dakwah dan missi. Kalau masing-masing agama berhadapan dalam posisi seperti ini niscaya konflik-konflik pun tidak bisa dihindari lagi. Agama yang diakui sebagai problem of ultimate concern artinya suatu problema yang mengenai kepentingan yang mutlak, sehingga bagi seorang yang sudah demikian dalam keterikatannya kepada agama yang dianutnya, ia akan berani

merusak bahasa, dan memunculkan berbagai persoalan dalam pemakaian bahasa. Menciptakan akronim, berarti menciptakan kosa kata baru. Kalau kosa kata baru terus membanjir, kamus bahasa Indonesia akan cepat usang. Banyaknya akronim juga akan mempersulit pembelajaran bahasa Indonesia, bukan hanya bagi orang asing, tetapi juga bagi pelajar di Indonesia sendiri. Karena bukan saja akronim sering berubah pengertian, tetapi akronim juga sering ‘tumpang tindih’. PBB, bisa berarti Partai Bulan Bintang, bisa juga diartikan Pajak Bumi dan Bangunan, dan juga bisa bermakna Perserikatan Bangsa-Bangsa. PMK, bisa berarti Pemadam Kebakaran, tetapi juga bisa berarti Penyakit Mulut dan Kuku. Belum lagi akronim yang muncul dan hanya diketahui segelintir orang. Jenis ini biasanya diciptakan oleh geng-geng anak muda, dan dituliskan di didinding atau tembok-tembok secara sembarangan. Repotnya, media massa yang secara intensif menerpa masyarakat, disadari atau tidak ternyata juga rajin menyodorkan berbagai akronim itu. Bahkan banyak media massa yang memunculkan akronim tanpa menyertakaan kepanjangannya, masyarakat dianggap sudah tahu semua ! Walhasil, kerancuan berbahasa semakin menyebar melalui media massa. Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak turis asing yang sering pusing tujuh keliling ketika menemui singkatan dan akronim yang begitu menjamur di negeri ini. Lebih jauh lagi, bahasa Indonesia yang baku menjadi semakin tercemar dan kehilangan kewibawaannya. Tertib berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak harus menunggu aba-aba atau peraturan dari pemerintah; tetapi dapat dimulai dari diri kita masing-masing sebagai perwujudan kecintaan kita terhadap bangsa ini, salah satu perwujudan nasionalisme kita. (nino.s)


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Penulis

Salah satu filosofi paedagogis yang terus menerus harus kita perdalam maknannya adalah bahwa, pendidikan harus beranjak dari kenyataan bahwa ma-nusia bukan sekadar sum-berdaya, melainkan suatu keutuhan eksistensial de-ngan berbagai potensi dan tendensi untuk ber-kembang menjadi pribadi yang utuh dan mandiri. Maka upaya pendidikan harus ditujukan untuk pembentukan dan pengembangan manusia seu-tuhnya, bukan sekadar pengembangannya sebagai sumber daya. Dosen PPKn FPIPS IKIP PGRI Kediri

Cita Masyarakat Demokratis Semenjak reformasi bergulir pada pertengahan 1998, hingga saat ini serta merta lahir berbagai momentum penting dalam kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Afan Gaffar (1999) menyebutnya bangsa Indonesia tengah menjalani proses transisi menuju demokrasi. Namun, sayangnya keadaan itu belum sepenuhnya terwujud hingga kini, 10 tahun reformasi berjalan. Harus diakui bahwa sebagian besar masyarakat kita masih sangat asing dengan demokrasi. Sehingga banyak kalangan kemudian menilai bahwa reformasi telah salah arah, bahkan dengan munculnya berbagai masalah dalam penerapan otonomi daerah, dikatakan “mozaik” Indonesia kini mengalami keretakan, terjadi dis-harmoni, bahkan terancam dis-integrasi. Mengamati berbagai peristiwa khususnya yang terjadi dalam berbagai event bertajuk demokratisasi dan HAM di daerah-daerah (misal kasus pemilihan Kepala Daerah), kita merasakan adanya sesuatu yang salah dalam mengartikan demokrasi, bahkan terkesan untuk mencapai demokrasi itu harus dibayar dengan amat mahal. Makna HAM atau demokrasi kemudian terdegradasi atau terdistorsi, yang nampak kemudian adalah societal terorism amuk massa, dan sejenisnya yang mengatasnamakan massa, kepentingan rakyat, aspirasi bawah, yang kemudian berujung pada penghancuran sendi-sendi supremasi hukum. Setiap kelompok masyarakat menanggapi masalah-masalah yang muncul itu dengan perspektif sektarianisme bahkan dari sudut pandang kepentingan yang sangat subyektif. Kaum elite (ulama, birokrat, politisi, bahkan ilmuwan) yang pada masa lalu dapat dijadikan panutan, bahkan sangat dominan menentukan arah perjalanan bangsa, tidak lagi begitu sekarang ini. Sehingga yang terjadi, dialog dan diskusi untuk mencari kesamaan visi justru menjadi sangat sulit dilakukan di alam yang bertajuk reformasi sekarang ini. Gambaran diatas menunjukkan betapa kompleks dan panjangnya permasalahan yang kita hadapi dalam rangka transisi menuju demokrasi. Meski demikian kita tidak harus pesimis dapat memulai sesuatu dalam keadaan seperti sekarang. Secara konseptual-normatif kita harus memulai melakukan tiga hal (Azra, 2001), yaitu: mereformasi perangkat legal sistem politik, pemberdayaan lembaga-lembaga politik, dan pengembangan budaya politik yang demokratis. Reformasi perangkat sistem politik dan pemberdayaan lembaga politik dilakukan pada tataran kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, sedangkan pengembangan kultur atau budaya politik dilakukan di semua segmen masyarakat. Upaya pengembangan budaya politik yang demokratis ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Penyadaran Warga Negara Pendidikan Kewarganegaraan adalah istilah yang digunakan dalam UU No. 20/2003. Ada pula istilah lain yang memiliki kesamaan, misalnya civic, Civic Education, Citizenship, Citizenship Education, dan lainnya. Bagi sebagian ahli, pendidikan kewarganegaraan diidentikkan dengan pendidikan demokrasi, pendidikan HAM (human rights education) dan pendidikan kewargaan negara (citizenship education). Meskipun berbeda dalam istilah namun substansi materi dari masing-masing relatif sama. Kompetensi dasar yang diharapkan berkisar pada tiga hal, yaitu: civics knowledge atau pengetahuan ke-

warganegaraan, civics dispositions yaitu sikap kewarganegaraan, dan civics skills yaitu kemampuan mengartikulasi ketrampilan kewarganegaraan. Civics knowledge berisi pengetahuan tentang sistem pemerintahan, demokrasi, dan HAM. Civics dispositions berisi materi tentang kerukunan, kebersamaan, toleransi, dan lainnya. Sementara civics skills berisi materi mengenai kemampuan berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah, dan lainnya. Menurut Azyumardi Azra (2001), pendidikan kewarganegaraan secara substantif tidak saja mendidik generasi muda menjadi warganegara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah pendidikan kewargaan negara, melainkan juga membangun kesiapan warganegara menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi pendidikan kewarganegaraan secara subtantif lebih luas cakupannya tidak hanya pendidikan hak dan kewajiban warganegara. Menakar Pendidikan Kewarganegaraan? UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 pasal 37 menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar menengah hingga pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan kewarganegaraan. Meski sesungguhnya bukan suatu hal yang sama sekali baru. Sejarah pendidikan politik bangsa, serta pendidikan demokrasi melalui jalur pendidikan di Indonesia sesungguhnya sudah sejak lama. Tahun 1957 kita mengenal civics, kemudian disusul Manipol-USDEK pada tahun 1960-an, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Civis dan Hukum, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Kewiraan, dan yang terakhir Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Jika usaha-usaha untuk melakukan pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM sudah cukup lama kita lakukan melalui jalur pendidikan, lalu mengapa justru pada saat reformasi bergulir kita tidak melihat hasil dari usaha pendidikan itu? Apakah ada yang salah atau keliru dalam proses pendidikan pada masa lalu itu? Jika dirunut, pendidikan kewarganegaraan dan mata pelajaran lain di sekolah pada masa lalu sesuai dengan konsep pengembangan kurikulumnya terlalu berorienstasi pada materi (subject matter) dan pendekatannya dalam pembelajaran sangat berpihak pada tujuan (goal oriented). Akibatnya kreatifitas guru dalam pengembangan materi dan inovasi dalam pembelajaran sangat kurang. Keadaan tersebut telah kita sadari, sebagaimana dikemukakan dalam GBHN Tap. No.IV/ 1999 pada kondisi umum: “Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. ...". Pendidikan Kewarganegaraan di masa datang sesuai dengan era demokrasi yang berkeadaban, harus melakukan perubahan mendasar, khususnya dalam hal pendekatan (approach) yang digunakan dalam PBM. Pendidikan Kewarganegaraan harus keluar dari pendidikan sistem bank (banking system education) yang melahirkan budaya bisu (silent culture). Menurut Paulo Freire pendidikan sistem bank adalah sistem pendidikan yang sangat rigid, otoriter dan doktriner, yang diutamakan hanyalah proses pengajaran (transfer of knowledge). Bahkan pendidikan sistem bank ini sangat besar kemungkinan dijadikan kendaraan politik penguasa, sarana indoktrinasi, dan pemasungan kreatifitas berpikir manusia. Oleh karena itu, di masa mendatang pendidikan kewarganegaraan harus melakukan perubahan paradigma pembelajaran. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut: pertama, pengelolaan lingkungan belajar haruslah demokratis, kedua, materi-materi atau bahan kajian tidak hanya diajarkan secara verbalistik, melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh peserta didik, ketiga, sistem pembelajaran, pendekatan dan strategi pembela-

jaran yang dikembangkan adalah sistem interaktifpartisipatif. Berkenaan dengan lingkungan belajar demokratis sebagaimana disyaratkan diatas, sejalan dengan konsepsi school based management yang saat ini tengah dikembangkan di sekolah-sekolah, dapat pula dicoba disandingkan dengan model school based democracy educations atau pendidikan demokrasi berbasis sekolah sebagai salah satu alternatif. Sedangkan untuk dapat melakukan syarat kedua dan ketiga, sebagaimana pengalaman kita di Tahun 1957 kita masa lalu dalam setiap kali mengenal civics, kemudian perubahan kurikulum, tidisusul Manipol-USDEK dak hanya memerlukan sopada tahun 1960-an, sialisasi tetapi juga superPendidikan Kewargaan visi agar para guru termotiNegara, Pendidikan Civis vasi untuk mau serta merdan Hukum, Pendidikan ta meneraplkannya di keMoral Pancasila, Pendidikan las-kelas. Kewiraan, dan yang terakhir Hal lain yang perlu kita Pendidikan Pancasila dan kaji juga adalah kesalahan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa lalu yang menganggap pendidikan demokrasi sebagai isolated subject, atau sebagai mata pelajaran yang terisolasi. Pendidikan demokrasi harus dilaksanakan dan dikaitkan dengan banyak matapelajaran lain, dan dengan banyak halhal lain di kelas/sekolah. Pendidikan demokrasi dapat juga dikaitkan dengan mata pelajaran sejarah, ekonomi, dan lainnya, serta dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Jika syarat dan hal-hal sebagaimana disebutkan di atas dapat dipenuhi dalam pengelolaan pendidikan demokrasi di negara kita, tidak mustahil “masyarakat madani” yang kita impikan itu akan dapat diwujudkan. Karena pengembangan “civil society” atau masyarakat madani sangat erat kaitannya dengan proses demokratisasi. Pendidikan demokrasi akan memperluas fungsi dan optimalisasi peran setiap warganegara. Pada akhirnya setiap warganegara akan dapat belajar demokrasi melalui praktek kehidupan yang demokratis, dan membangun tatanan demokrasi yang lebih baik di masa mendatang (learning democracy, in democracy, and for democracy). Proses menuju demokrasi berkedaban (civilitized democracy) masih panjang dan berliku. Untuk itu diperlukan komitmen semua pihak, tidak hanya lembaga pendidikan yang terbebani membentuk budaya politik demokratis. Karena masih “jauh panggang dari api” praktek demokrasi kita hingga saat ini, maka para aktor elite demokrat dari kalangan elite politik sangat diharapkan dalam bertutur dan bertindak mengedepankan moralitas politik bukan akrobat politik yang tidak berkeadaban.*

>>

foto: fouri gs/b

Suryanto

5


S

aat menjadi keynote speaker dalam seminar “Best Practises untuk Keberhasilan E-Government di Indonesia” di Auditorium Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, 2 April 2008 lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof. M. Nuh, DEA mengungkapkan kegalauannya: Mengapa Indonesia, bangsa yang besar, peranannya di tingkat dunia begitu kecil? Penyebabnya ternyata hanya satu: bangsa kita kurang optimistis! Ketidakyakinan bahwa kita memiliki kemampuan untuk bangkit, menyebabkan bangsa ini kehilangan daya saing di abad global ini. Padahal, menurut M Nuh, Indonesia memiliki segala yang dibutuhkan sebuah negara untuk bersaing di tataran internasional. “Penduduk kita banyak, wilayah luas, SDM walaupun tidak bisa dikatakan mumpuni namun cukup, SDA sangat kaya. Apa lagi? Hanya sikap optimistis yang sangat kurang dari bangsa ini.” Soal kemampuan bangsa untuk bangkit, M Nuh menyatakan tak perlu diragukan. “Tahun 1998, income kita hanya $400, sekarang antara $1.600–1.800. Itu kenaikan yang luar biasa, hampir empat kali lipat. Ternyata kita bisa melakukan itu. Karena itu jangan pesimistis, karena sikap pesimistis akan merusak kemampuan kita untuk membangun dan bersaing,” pesannya. Sikap optimistis, menurut Menkominfo, harus dikembangkan karena akan memunculkan kepercayaan diri.

Orang yang percaya diri pasti memiliki harapan positif, yang melahirkan kegemaran untuk berikhtiar. Kegemaran ikhtiar melahirkan kreativitas dan inovasi. Inovasi adalah kata kunci dari produktivitas. Sedangkan produktivitas dalam jangka panjang akan melahirkan kemampuan untuk bersaing. “Oleh karena itu, untuk bisa menjadi bangsa yang berperan besar di dunia, sikap optimistis harus ditegakkan setiap saat.” Sebaliknya, sikap pesimistis adalah “penyakit” yang membuat bangsa Indonesia tidak mampu bersaing di tingkat global. “Sikap pesimistis akan melahirkan sindrom rendah diri, yang selanjutnya akan menimbulkan keputusasaan. Dan orang yang putus asa sejatinya adalah orang yang secara mental sudah mati. Bagaimana bisa orang yang sudah mati disuruh bersaing?” ujarnya sete-

"

Tugas pemerintah adalah membangun kesadaran masyarakat agar mengerti bahwa mereka berada pada situasi yang tidak menguntungkan, mereka perlu keluar dari situasi itu, dengan menggugah kemauan dan kemampuan mereka sendiri.

ngah bercanda. Menjelang peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, apa yang disampaikan Menkominfo terasa penting. Untuk bangkit menghadapi berbagai permasalahan, bangsa Indonesia memang harus membuang jauh-jauh mentalitas yang menghambat daya saing bangsa, termasuk di antaranya sikap pesimistis. Mentalitas Negatif Bangkit dari berbagai masalah yang dihadapi bangsa memang membutuhkan tekad kuat dan perubahan sikap mental luar biasa. Akan tetapi harus diakui, tidak semua orang bi-sa melakukan perubahan mental secara drastis semacam itu. Mengapa? Karena—seperti disindir SH Alatas dalam bukunya “Mitos Pribumi Malas”—karakteristik pola pikir sebagian besar orang Indonesia masih didominasi oleh mentalitas ne-

gatif seperti narimo ing pandum (menerima apa adanya— Red), pasrah, pasif dan malas. Padahal mentalitas semacam itu sangat menurunkan etos kerja, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas. Sayang, tak banyak yang menyadari bahwa mentalitas negatif yang membuat etos kerja menjadi melempem adalah masalah serius. Profesor Sri Widodo, staf pengajar pascasarjana Universitas Gadjah Mada menyatakan, kentalnya pengaruh sistem kepercayaan dan adat istiadat, membuat sikap aktif dan etos kerja yang tinggi kurang mendapat tempat di hati sebagian masyarakat Indonesia. Bahkan di beberapa daerah, keduanya dianggap sebagai penyebab munculnya bibit materialisme. “Orangtua kita dari kecil sudah mengajarkan agar kita hidup sederhana, narimo ing pandum (menerima apa adanya—Red), tidak rakus, tidak mengejar materi, dan sebagainya. Di satu sisi itu sangat baik, akan tetapi di sisi lain, jika disikapi secara berlebihan, ajaran itu akan menghasilkan generasi yang pasif dan tidak produktif,” ujarnya saat ditemui komunika di Sekolah Pascasarjana UGM beberapa waktu lalu. Sri mencontohkan, hingga kini masih banyak anggota masyarakat yang menganut falsafah bahwa hidup tidak perlu ngoyo (kerja keras--Red), karena dengan bersantai-santai saja orang sudah bisa makan. “Dulu, mentalitas semacam itu bisa dimaklumi. Tapi ke depan, di tengah kerasnya persaingan dunia, harus dibuang jauh-jauh. Sebab jika tidak, selamanya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa marjinal yang selalu tertinggal dari bangsa lain,” katanya. Sri Widodo mengakui, mengubah mind set masyarakat dari yang semula cenderung bermental negatif menjadi positif memang pekerjaan yang amat sulit. Namun jika itu bisa di-lakukan, hasilnya akan luar biasa. “Karena sejatinya perubahan dalam diri atau inner change-lah yang menjadi unifying factor (faktor pemandu--Red) terjadinya perubahan tingkah laku. Oleh karena itu, untuk menghasilkan bangsa yang berdaya saing tinggi pasca peringatan 100 Tahun Harkitnas ini, terlebih dahulu harus mampu mengubah pola pikir masyarakat secara mendasar,” kata pria berambut putih ini. Salah satu yang mendesak untuk “digusur” dari pikiran masyarakat kita, menurut dosen Filsafat Ilmu ini, adalah persepsi bahwa orang tak perlu bekerja keras dan keyakinan bahwa sikap aktif dan agresif dalam berkarya dan berusaha adalah sesuatu yang tidak baik. “Ini harus diluruskan, karena hanya dengan kerja keras produktivitas bisa ditingkatkan, dan produktivitas yang tinggi adalah kunci kemakmuran suatu bangsa. Sedangkan sikap aktif dan agresif dalam berusaha dan berkarya, dalam batas-batas tertentu justru sangat diperlukan. Fakta menunjukkan, sikap pasif justru menimbulkan kemalasan dan kepasrahan, yang jelas-jelas akan membuat produktivitas seseorang menjadi turun,” imbuhnya.

Sri optimistis, jika pola pikir masyarakat bisa diubah secara mendasar dengan menekankan pengembangan mentalitas positif dan membuang mentalitas negatif, maka etos kerja akan meningkat. Meningkatnya etos kerja akan meningkatkan produktivitas bangsa. Dengan produktivitas yang tinggi bangsa Indonesia akan memiliki daya saing, sehingga bisa ‘berbicara’ lebih banyak baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. “Inilah sebenarnya hakikat makna kebangkitan nasional di jaman sekarang,” pungkasnya. Kalau Mau, Pasti Bisa! Pertanyaan yang sering mengemuka terkait dengan makna kebangkitan nasional adalah, mampukah kita bangkit dari kubangan berbagai persoalan yang melingkupi bangsa ini? Jawabannya, kalau mau pasti bisa! Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk membuktikan bahwa manusia yang sudah terpuruk hingga titik nadir pun bisa bangkit kembali dan membangun dirinya sejajar dengan manusia lain di dunia. Jepang adalah contoh paling nyata dari kebangkitan sebuah bangsa. Pada tahun 1945 negara ini luluh-lantak oleh bom atom Sekutu. Namun kurang dari 10 tahun kemudian, Jepang sudah mampu mengembalikan kondisi negara seperti semula dan bahkan mampu menempatkan dirinya


sejajar dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, baik di bidang politik, ekonomi, militer maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. “Kepercayaan diri dan semangat kerja bangsa Jepang sangat luar biasa, itulah modal utama bangsa ini untuk bangkit dan bersaing dengan bangsa lain,” kata Ageng Setyawan, doktor lulusan Ishikawa Prefectural University, Jepang, saat ditemui komunika di Jogjakarta. Di dalam negeri kita bisa melihat kegigihan warga Kasongan, Bantul Jogjakarta, untuk bangkit dari kehancuran fisik dan mental pasca gempa bumi hebat Mei 2006 lalu. Dua bulan setelah gempa, industri keramik Kasongan sudah kembali menggeliat. “Kehancuran akibat gempa masih ada, namun semangat kami untuk kembali berproduksi berhasil mengembalikan citra Kasongan sebagai pusat keramik dalam waktu yang relatif singkat,” kata Kasiadi, salah seorang pengrajin keramik saat ditemui komunika di Kasongan beberapa waktu lalu. Kita juga menyaksikan semangat pantang menyerah para penggiat UKM saat badai krisis ekonomi menghantam Indonesia. “Banyak UKM yang justru bangkit pada saat industri-industri berskala besar bertumbangan dihantam krisis,” ujar Dewi Utari, dari Community Development RS Bethesda Jogjakarta kepada komunika. Satu hal yang bisa dipelajari dari contoh-contoh di atas, kebangkitan

bangsa dalam menghadapi masalah sangat tergantung dari kemauan mereka untuk bangkit. Dan kemauan itu diwujudkan dalam langkah nyata dengan dorongan semangat dan etos kerja yang tinggi. “Tanpa semangat dan etos kerja, kebangkitan hanya sekadar wacana,” imbuh Ageng. Pemberdayaan Menuju Kebangkitan Sementara itu Profesor Mudiyono, juga dari UGM, menyatakan peringatan Harkitnas tidak akan menghasilkan perubahan signifikan terhadap kehidupan bangsa, tanpa dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. “Yang penting bukan peringatannya, namun langkah konkret kita untuk menciptakan penyadaran secara nasional bahwa bangsa ini sedang menghadapi permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan bersama. Caranya tentu saja dengan mengajak si empunya masalah (masyarakat—Red) untuk bangkit menghadapi masalah mereka sendiri,” ujarnya. Karena itu, perlu ada tabulasi secara seksama, masalahmasalah apa yang seharusnya dijadikan prioritas untuk “dilawan”, dan mana yang bisa dikesampingkan. “Dengan tabulasi yang jelas, kita bisa menentukan masalah apa yang paling mendesak untuk diatasi. Misalnya, jika pada tahun ini masalah yang paling krusial adalah krisis BBM, maka masyarakat harus diajak bangkit dari krisis BBM. Ajak mereka ngomong, bagaimana sebaiknya cara mereka menyelesaikan permasalahan itu dengan sumberdaya dan kemampuan yang mereka miliki,” imbuhnya. Alternatif pemecahan masalah juga harus diberikan secara opsional, karena peran pemerintah dalam hal ini bu-

kan sebagai agen penyelesaian masalah, namun lebih sebagai fasilitator dan enabler. Sedangkan agen penyelesaian masalahnya adalah masyarakat sendiri. “Tugas pemerintah adalah membangun kesadaran masyarakat agar mengerti bahwa mereka berada pada situasi yang tidak menguntungkan, mereka perlu keluar dari situasi itu, dengan menggugah kemauan dan kemampuan mereka sendiri. Inilah yang disebut dengan empowerment atau pemberdayaan berbasis masyarakat,” katanya. Ia melihat, model pemberdayaan masyarakat yang selama ini diterapkan belum tepat. “Perencanaan masih terlalu topdown, sehingga masyarakat cenderung lebih diposisikan sebagai objek ketimbang subjek. Sementara pemerintah cenderung berperan sebagai “pemberes” aneka persoalan, yang sejatinya hanya masyarakat sendiri yang mengetahui jalan keluar pemecahannya. Pemerintah juga kurang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam penyusunan kebijakan program pemberdayaan, sehingga sering kurang tepat sasaran,” kritik Mudiyono. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin bangkit dari keterpurukan, pemerintah harus mampu menentukan apa yang menjadi sumber keterpurukan itu. Selanjutnya memberdayakan masyarakat untuk mengerahkan sumber daya yang mereka miliki, sehingga secara bersama-sama bisa mengambil peranan dalam porsinya masing-masing untuk menghadapi sumber masalah tersebut. Mengutip kata bijak dari pakar empowerment Lao Tsu, Mudiyono mengingatkan bahwa untuk memberdayakan masyarakat sebelumnya perlu memahami mereka secara menyeluruh. “Pergilah kepada mereka, tinggallah bersama mereka, belajarlah dari mereka. Mulailah kegiatan dari apa yang mereka kerjakan, kembangkanlah apa yang mereka miliki, tetapi berlakulah sebagai pemimpin yang baik. Jika tugastugas telah terselesaikan, dan pekerjaan telah disempurnakan, biarlah mereka sendiri yang akan mencatat, ‘kami telah melaksanakannya sendiri.’” (gunarjo@bipnewsroom.info)


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Gubernur Sulawesi Tengah, Mayjen (Pur) HB Paliudju:

Kebangkitan Nasional seharusnya dapat diterjemahkan dalam konteks pembangunan masa kini dan masa datang. Terutama dalam menggantisipasi arus globalisasi dan arus informasi. “Sudah barang tentu membutuhkan kebijakan pembangunan yang tepat, berkelanjutan, dan dinamis,” tegas Gubernur Sulawesi Tengah, HB Paliudju. Bagi Palidju, membangun Indonesia dapat dilakukan dengan membangun daerah. Banyaknya perbedaan dalam penafsiran atas otonomi daerah dapat dipecahkan melalui pelaksanaan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. "Satu hal penting semua itu dilaksanakan secara sinergi, tidak terkotak-kotak, bahkan semua pihak dilibatkan baik pusat maupun di daerah," ungkapnya. Koresponden komunika dari Palu, Sulawesi Tengah, Supardi Ibrahim, meminta pokok-pokok pikiran Gubernur Sulawesi Tengah Mayjen (Pur) H.B. Paliudju, yang dituliskan kembali dalam bentuk wawancara sebagai berikut:

Bagaimana membumikan kembali era kebangkitan nasional di masa sekarang? Saya melihat peringatan satu abad kebangkitan nasional adalah sebuah momentum. Momentum yang menuntut kita merefleksikan kembali nilai-nilai dan semangat yang pernah dibangkitkan kaum muda dari berbagai daerah, berbagai etnis dengan rasa, paham, dan semangat kebangsaan. Kemanusiaan mereka bangkit untuk melawan penindasan dengan satu tekad mendirikan negara kesatuan yang dapat dijadikan sarana membangun suatu masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Dewasa ini menurut saya akan lebih tepat diarahkan pada penguatan daerah untuk membangun Indonesia. Dengan kata lain membangun Indonesia seharusnya dimulai dari membangun daerah dengan dilandasi oleh semangat nasionalisme Indonesia. Banyak yang bilang nasionalisme bangsa ini mulai luntur, menurut anda? Nasionalisme maujud apabila kita memiliki kebersamaan sebagai satu bangsa. Ada tiga isu yang cukup hangat dan aktual di tengah masyarakat, yaitu kemiskinan, kualitas sumber daya manusia, dan demokratisasi. Tiga isu itu mungkin yang membuat seolah-olah nasionalisme kita luntur. Ini yang harus menjadi perhatian kita bersama. Muaranya adalah membangun masyarakat yang aman, damai dan tentram, sejahtera, saling toleransi, saling menghargai serta menjunjung tinggi hak azasi manusia. Bukankah kemiskinan sudah menjadi masalah global? Betul itu, kemiskinan fenomena klasik yang begitu akrab dengan kehidupan manusia. Memiliki dimensi yang luas dan sangat kompleks. Kehadirannya menyita banyak perhatian dan energi dari masyarakat yang merasakannya. Setiap bangsa, setiap pemerintahan telah pernah berurusan dengan kemiskinan. Ini tantangan dunia. World Bank mengajak semua komponen masyarakat global untuk Working Together to Reduce Poverty . Demikian pula dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johanesburg Afrika Selatan, Agustus 2002, juga menyepakati kemiskinan sebagai agenda prioritas pembangunan berkelanjutan.

8

Ada yang mengaitkan kemiskinan dengan kualitas sumber daya manusia? Hal itu memang telah menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah. Kualitas sumber daya manusia sangat terkait dengan pendidikan dan kesehatan. Karena itulah diperlukan fokus pembangunan manusia yang lebih ditujukan untuk perbaikan dan penyelesaian persoalan mendasar tersebut. Pendiri bangsa ini pun sangat menyadari pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Fenomena dan persoalan kemiskinan,

sumber daya manusia dan demokratisasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang kuat, maju dan mandiri. Oleh sebab itu peringatan satu abad kebangkitan nasional, bisa jadi momentum untuk memberi penguatan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam menata Indonesia ke depan. Maksudnya? Jika merujuk pendapat presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, government of, by, and for the people. Pemerintahan yang dibuat oleh rakyat, dilaksanakan pula oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Bisa jadi ide itu menunjukkan bahwa persoalan pemerintahan demokratis yang merupakan manifestasi kebebasan rakyat dapat diwujudkan akan memberikan tempat dan ruang yang besar dalam upaya mewujudkan partisipasi warga masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penataan ulang terhadap pranata–pranata ekonomi dan politik. Maksudnya agar kelompok–kelompok marjinal memiliki akses bagi kelangsungan hidup mereka yang lebih baik dan lebih sejahtera. Kearifan lokal yang banyak terkandung dalam sistem nilai pranata sosial masyarakat bisa dijadikan sumber energi, asalkan mengikis habis unsur–unsur “ketidakadilan” yang mungkin masih ada. Membuka akses kelompok marjinal dan bangkitkan kearifan lokal. Bagaimana? Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan nuansa Otonomi merupakan langkah penting dan relevan mengingat Pemerintah Daerah menempati posisi strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini jelas bahwa penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hakekat pemberian otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Menurut anda apakah itu semua kunci agar bangsa ini bangkit? Tepat sekali. Hal yang perlu dilakukan adalah mengungkap dan memahami adanya diferensiasi politik, ekonomi, jender dan diferensiasi sosial lainnya yang ada dalam tatanan masyarakat Indonesia masa kini. Tinggal bagaimana mengubah energi potensi diferensiasi yang bersifat horizontal maupun vertikal itu untuk membentuk bangsa Indonesia yang lebih kuat. Semua itu dapat dipecahkan melalui pelaksanaan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, serta dilaksanakan secara bersinergi, tidak terkotak- kotak. Semua pihak dilibatkan baik pusat maupun di daerah. Kita semua, baik ilmuwan maupun praktisi, untuk secara sungguh-sungguh mencermati, menyimak dan menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran praktis, sekaligus juga mengkaji pada tataran teoritis dan konseptual. (supardi@bipnewsroom.info)


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Momen Wujudkan Cita-Cita Bangsa Hampir 63 tahun Indonesia Merdeka, ternyata cita-cita bangsa yang ditetapkan sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 belum tercapai, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Cita-cita bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 itu adalah dasar dari berdirinya bangsa ini, jadi perjuangan menuju cita-cita bangsa itu harus ditekankan. Di masa lampau, Kebangkitan Nasional lebih dimaknai pada lepasnya Indonesia dari cengkeraman kolonialisme. Saat ini, kita harus memaknainya bagaimana agar bangsa ini segera lepas dari kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan sosial. Seratus tahun kebangkitan nasional seharusnya diterjemahkan sebagai soal bagaimana bangsa ini semakin adil dan sejahtera. Fadjroel Rachman, Budayawan

Saatnya Generasi Muda Bangkit Saat ini adalah waktu yang penting sekali bahwa Indonesia harus benar-benar bangkit. Selama bertahun-tahun, mungkin peringatan seperti ini hanya menjadi uraian kata-kata saja, namun di tengah kondisi bangsa yang kian memprihatinkan, jelas sekali bahwa kebangkitan itu sangat dibutuhkan. Menurut saya, saat ini ada terlalu banyak masalah, yang membuat Indonesia semakin merasa tidak berbudaya, sehingga terjadi semacam krisis kebudayaan. Orang menjadi semakin tidak percaya kepada berbagai hal, sementara korupsi semakin tinggi, meski juga ada upaya untuk menumpasnya. Kita harus melihat kepentingan negara ini secara bersama, untuk kemudian segera bangkit dan memutuskan seperti apa wajah Indonesia ke depan. Saat ini adalah momen yang tepat bagi para generasi muda untuk tampil bersuara, memastikan Indonesia ke depan itu harus seperti apa. Mira Lesmana, Produser Film

Bersatu Menuju Indonesia Jaya China dan India sedang bangkit. Mereka diperhitungkan dunia! Kita jangan ter-tidur! Ini kesempatan kita! Ini saatnya bangkit! Bangkit menuju kejayaan. Seratus tahun yang lalu kita bangkit melepaskan diri dari penjajah, kini saatnya kita bangkit melepaskan diri dari ikatan kemiskinan, keterpurukan, sekat pemisah, benih perpecahan dan pikiran negatif. Sebagai satu bangsa, kini saatnya kita semua, terutama generasi muda, bersa-

Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA, Menteri Komunikasi dan Informatika

Kebangkitan Teknologi Informasi dan Komunikasi TAHUN 2008 ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (HarkITnas). Tak terasa telah berusia satu abad atau seratus tahun. Disadari, sebagai sebuah tonggak perjalanan bangsa, peringatan HarkITnas harus terus menerus dikumandangkan dan dilakukan revitalisasi sesuai dengan masanya, karena itulah tak berlebihan jika momentum satu abad HarkITnas ini juga harus bisa diberikan makna lebih, tidak hanya sebatas pada memperingatinya secara seremonial. Bagi Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), momentum satu abad ini akan dimaknai sebagai Hari Kebangkitan IT (Information Technology). Itu sebabnya, secara sengaja kependekan Hari Kebangkitan Nasional ditulis dengan huruf kapital pada kata IT, yang harus dimaknai pula sebagai hari kebang-

tu, bergandengtangan, bangkit, bahu membahu, melangkah dan melangkah menuju Indonesia yang jaya. Prof. Yohanes Surya, Ph.D, Ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia

Lebih Arif dan Cerdas “Hari Kebangkitan Nasional” adalah hasil dari mitologisasi sejarah ketika sebuah event dikeluarkan dari konteksnya dan diberi makna yang sesuai dengan keprihatinan sosial-kultural masa kini. Sebenarnya peristiwa yang dirayakan ini adalah wakil yang otentik dari zamannya, sebab kelahiran organisasi modern yang pertama, Budi Utomo, adalah pantulan akan hasrat “kemajuan”. Hasrat ini tumbuh sebagai cita-cita nasionalisme trans-etnis yang anti kolonial dan dirumuskan Pembukaan UUD sebagai tugas negara untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tetapi sampai kini kehidupan bangsa masih jauh dari “cerdas” maka bagi saya peringatan “Hari Kebangkitan Nasional” adalah peneguhan tekad ke arah terwujudnya “kehidupan bangsa yang cerdas”, yang mengharuskan setiap tindakan tidak saja dianggap “benar” dan “adil” tetapi juga arif dan cerdas. Nasionalisme adalah renungan yang diperjuangkan untuk mendapatkan suatu komunitas yang diidealkan. Dengan landasan inilah negara-bangsa berhasil diperjuangkan, tetapi sejak keberhasilan itu berbagai corak konflik dan krisis harus dilewati dan sekian ancaman dan rayuan dari luar mesti dilalui. Maknanya tidak berubah tetapi perwujudan nasionalisme harus mengalami peralihan. Sekarang nasionalisme mestilah diwujudkan dalam kecintaan pada lingkungan hidup, kejujuran dalam kehidupan sosial, toleransi terhadap pluralitas sosial-kultural, tanggungjawab akan keutuhan negara dan masyarakat serta kesiapan intelektual menghadapi globalisasi berbagai aspek kehidupan. Prof. Dr.Taufik Abdullah, Sejarawan dan peneliti LIPI

Lebih Arif dan Cerdas Kalau kita lihat akhir-akhir ini, sepertinya semangat kebangsaan generasi muda berkurang. Banyak anak muda terbawa menyalahgunakan narkoba, sehingga mereka menjadi manusia yang tidak peduli terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Selain soal narkoba, beberapa penelitian menunjukkan, saat ini kehidupan seksual seakan-akan tidak lagi memerhatikan norma agama dan budaya bangsa sehingga mengakibatkan makin banyak anak muda tertular HIV/AIDS. Fakta-fakta ini merupakan hal yang memprihatinkan. Kita membutuhkan pemimpin dan role model, yang percaya bahwa pembangunan bangsa tidak hanya dilakukan secara fisik, tapi juga mental dan intelektual. Di sinilah saatnya tokoh generasi muda kembali menghidupkan semangat kebangsaan yang utuh. Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

kitan di bidang IT atau TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi, -Red). Tidak berlebihan memang jika Depkominfo mengartikan HarkITnas, sebagai kebangkitan TIK, karena memang tahun 2008 ini, semua kegiatan besar memiliki bilangan binner 01, bilangan yang erat kaitannya dengan teknologi informasi. Tengok saja bersamaan dengan 100 tahun HarkITnas, kita juga memperingati 10 tahun reformasi, dan 10 windu Soempah Pemoeda, semuanya bermuara pada bilangan binner. Memang di awal dikumandangkannya Harkitnas, 20 Mei 1908, mempertanyakan penguasaan di bidang TIK belumlah relevan, karena bangsa kita saat itu, masih berkutat pada urusan bagaimana lepas dari penjajahan untuk menggapai kemerdekaan. Kemudian setelah itu, pada saat dikumandangkannya Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928, kita juga memang masih belum menyentuh persoalan penguasaan teknologi, karena memang upaya untuk membentuk sebuah bangsa masih dibutuhkan upaya dalam menyatukan visi dan misi berkait dengan pemahaman tanah air, bangsa, dan bahasa, yakni Indonesia. Dimana titik temu dari dua peristiwa itu --Kebangkitan Nasional dan Soempah Pemoeda-- puncaknya adalah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kini, setelah satu abad Kebangkitan Nasional itu disuarakan, persatuan dan kesatuan sudah terwujud dalam sebuah kemerdekaan, rasanya perlu kita memberikan makna lebih luas dan strategis lagi berkait dengan peringatan HarkITnas, yakni kebangkitan di bidang TIK. Diakui, perjalanan kehidupan suatu bangsa biasanya ditandai oleh kebangkitan atas kesadaran kaum muda dalam mengubah kehidupan masa depan yang lebih baik, maju, adil dan lebih sejahtera. Kita ketahui, para pemuda saat itu yang bergabung pada perkumpulan Boedhi Oetomo (20 Mei 1908), menegaskan kesadarannya tentang arti penting dalam usaha mewujudkan suatu kehidupan berbangsa yang bebas dari penderitaan, mandiri, dan berdaulat, untuk menjadi bangsa yang berdiri sejajar dengan bangsa lainnya di dunia. Pada titik inilah kiranya tepat apa yang ingin dimaknai oleh Depkominfo berkait dengan peringatan satu abad HarkITnas ini, dengan menekankan pada penguasaan di bidang teknologi, khususnya bidang TIK. Tim PPI Depkominfo

9


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Ada banyak hal yang perlu dikoreksi, guna meAdji Subela nyikapi perubahan perPemerhati adaban dunia yang begitu Masalah Sosial cepat. Salah satunya adadan Budaya lah perlu mengubah paradigma kita mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Modal utama untuk berubah adalah kejujuran terhadap kekurangan kita, kemudian diikuti kemauan keras untuk mengubahnya menjadi paradigma baru guna mengubah pola pikir dan pola tindak kita. Ini bukan tugas pemerintah saja, tapi seluruh komponen bangsa didasari kesadaran penuh untuk mengubah nasib bangsa. Perlu komitmen baru bangsa ini untuk berubah secara bersama-sama. Penulis

The Ugly Indonesian Sulit dibantah, kita menjadi salah satu negeri terbesar tingkat korupsinya. Pada tahun 2000 diadakan jajak pendapat The Transparency International terhadap 99 negara di dunia. Hasilnya Indonesia menjadi negara ketiga paling korup bersama Azerbaijan, Nigeria dan Kamerun, dengan Corruption Perception Index 1,7. Peringkat ini paling ren-

krat. Tidak mudah bagi suatu bangsa untuk sadar dan mengubah perilakunya. John Naisbitt mengingatkan perlunya ada perubahan mindset untuk berubah. Tekanan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini demikian berat. Suatu bangsa yang mengalami tekanan itu, menurut J. Huizinga, maka ada 3 (tiga) jalan untuk mencapai keinginan hidup indah yaitu: (1) melarikan diri dari kenyataan; (2) dengan sadar bekerja untuk memperbaiki keadaan, sehingga ketakutan hidup diganti dengan keberanian dan harapan baru; dan (3) lewat impian (Darsiti Soeratman, Kehidupan Keraton Surakarta 1830-1939, 2000, dalam Kongres Kebudayaan (1918- 2003), Nunus Soepardi, 2007). Jebakan Paradigma Lama Bangsa kita nampaknya masih terjebak dalam paradigma lama, di mana kita hidup dalam negeri yang subur makmur tata tentrem kerta raharja. Suatu petunjuk cita-cita bangsa oleh nenek moyang yang kita anggap sebagai kenyataan, bahwa negeri kita ini telah subur makmur, given dari Yang Maha Kuasa. Kesuburan tanah air, disikapi sebagai hadiah alam yang harus dinikmati, dihabiskan. Belum ada kesadaran untuk mengelola dan

>> Sikap hidup gotong-royong disikapi sebagai saling menggantungkan, kurang memperkuat kemampuan pribadi untuk bertahan dan berjuang untuk meningkatkan kualitas hidup.

10

dah jauh di bawah negara-negara Asia lainnya seperti RRC, India, dan Vietnam. Hasil jajak pendapat internasional tahun 2005 oleh biro konsultasi Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan, Indonesia merupakan negara Asia yang paling menderita akibat korupsi, dan mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang terburuk di kawasan ini. Peringkat pertama yang paling baik kondisinya diraih Singapura, disusul Hongkong pada urutan kedua, kemudian Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, Thailand, China, India, Filipina dan Vietnam. Itu menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan investor asing kepada kita masih rendah sekali, selagi kita masih memerlukan investor untuk membangun. Sejak tahun 2001 paling tidak ada 10 perusahaan besar yang menutup usahanya di Indonesia dan memilih negara lain seperti Malaysia serta China sebagai tempat usaha baru mereka karena keamanan dan kenyamanan berusaha lebih terjamin. Akibatnya ribuan tenaga buruh menganggur, memberi beban tambahan kepada negara. Birokrasi perizinan juga menjadi masalah berat, bukan hanya bagi investor asing tapi juga pengusaha lokal. Jajak pendapat sebuah media nasional menunjukkan 53% responden menyatakan tidak puas akan hal itu. Kinerja para pelaksana atau penggerak birokrasi dari pusat hingga daerah dinilai masih buruk, masalah disiplin menjadi persoalan besar, produktivitas dan profesionalismenya rendah. Sejumlah 65% responden menyatakan tidak puas bila berurusan dengan birokrasi pemerintah. Sebanyak 53% responden mengatakan, memerlukan waktu terlalu lama untuk mendapatkan pelayanan biro-

mencari sumber baru, karena belum mengalami kesengsaraan hebat akibat merosotnya kuantitas dan kualitas sumber daya alam. Sikap hidup gotong-royong disikapi sebagai saling menggantungkan, kurang memperkuat kemampuan pribadi untuk bertahan dan berjuang untuk meningkatkan kualitas hidup. Ketergantungan energi kita kepada minyak bumi telah membius kita selama lebih dari tiga dekade, dan pada saat krisis energi memuncak kita tetap percaya akan surga minyak bumi masih bisa kita nikmati. Kita sulit melepaskan ketergantungan padanya. Romantisme terhadap kejayaan masa lalu dapat dianggap sebagai pelarian dari kenyataan seperti yang dikatakan J. Huizinga. Ketika negara-negara tetangga sudah berbenah diri dan bekerja meningkatkan daya saingnya, kita terninabobokkan kejayaan Majapahit, Sriwijaya dan sebagainya, tanpa mengaktualisasikannya pada kekinian. Di dunia politik, romantisme revolusi serta dikotomi Marxisme melawan kapitalisme masih menjadi acuan padahal kedua-dua ideologi itu telah usang. Aktualisasi reformasi mewujud menjadi pertentangan horisontal dan vertikal, kekerasan sosial, dan ancaman desintegrasi menghantui semangat Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi. Kebangkitan Kebudayaan Kebudayaan, jelas menempati posisi strategis, inspirator untuk perubahan-perubahan. Dalam sejarah nasional kita, Boedi Oetomo dikenal sebagai titik awal Kebangkitan Nasional. Banyak orang menilai gerakan itu masih bersifat lokal Jawa.

Pada tahun 1918 diadakan Kongres Kebudayaan I. Walaupun nama kongres itu masih memakai nama Congress voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling atau Kongres Untuk Pengembangan Kebudayaan Jawa, di dalamnya muncul desakan untuk pengkajian kebudayaan bangsa Indonesia dalam membangun bangsa, dikemukakan justru oleh peserta Belanda A. Muhlenfeld. Ini sejalan dengan KRT dr. Radjiman Wediodiningrat. Pada Kongres Kebudayaan tahun 1921 keinginan untuk diadakannya pembentukan dan pengembangan kebudayan nasional Indonesia semakin meningkat dan pada Kongres Kebudayaan 1924 semakin mengental keinginan tersebut (Nunus Soepardi, Kongres Kebudayaan 1918-2003, 2007). Kini kita punya karya besar yaitu Kongres Kebudayaan tanggal 20 hingga 22 Oktober 2003 di Bukittinggi, Sumbar, ditandai dengan tiga sub-tema besar yaitu Lokalitas, Nasionalitas dan Globalitas: Identitas dan Krisis Budaya, Perubahan dan Pemberdayaan. Diawali oleh temu budaya daerah di 25 kota, temu regional di empat kota dan pra kongres di Bali, kongres itu menghasilkan 18 rekomendasi. Hasilnya adalah modal besar kita yang telah menengarai berbagai persoalan bangsa seperti menggali kearifan lokal mendukung perlindungan hak tradisional, seni tradisi membutuhkan kepakaran dan manajerial untuk masuk industri budaya, reposisi-reinterpretasi adat-tradisi yang punya potensi integrasi dan desintegrasi, perlindungan hukum atas lingkungan hidup dan kekayaannya. Kemudian juga pemahaman multikultural melalui pendidikan dalam arti luas, pendidikan nasional perlu membentuk kesadaran budaya, mencegah disintegrasi sosial dan kekerasan. Kongres me-rekomendasi perhatian kritis atas tayangan/publikasi merusak budi pekerti, mengatasi masalah sosial seperti narkoba, alkoholisme, nikotin, pornografi. Perlu penekanan paham kekeluargaan sebagai landasan ekonomi mutualistis mencegah korupsi, ketidakadilan, konflik dan kekerasan, tidak hanya mengejar pertumbuhan, membangun ekonomi kerakyatan, mandiri, pemberdayaan desa dan reorientasi pasar. Nilai sakral tempat ibadah tidak dicemari kegiatan desakralisasi, pemuka agama didesak mencegah manipulasi agama sebagai alat pertentangan. Selain itu perlu membangun lembaga untuk keluar dari krisis, perlu eksperimen lokal, semangat kedermawanan guna memajukan iptek serta seni tanpa mengurangi kemandirian. Salah satu rekomendasi yang sudah terwujud adalah adanya Departemen Kebudayaan walaupun masih disatukan dengan pariwisata. Tujuannya adalah untuk menjamin pemeliharaan warisan budaya bangsa dan pengembangannya. Kongres juga menganjurkan pengembangan dan pembakuan Bahasa Indonesia sebagai wujud disiplin dan daya cipta berbahasa. Pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dan perlu adanya Kongres Kebudayaan tiap lima tahun sekali. Tampak ada beberapa rekomendasi yang sudah terlaksana namun sejumlah masalah masih berjalan di tempat. Kita memerlukan gerakan budaya baru guna mempercepat akselerasi perubahan itu. Perlu ada rumusan-rumusan aktual baru, barangkali lewat Kongres Kebudayaan baru sesuai tuntutan. Prof Sarbini Somawinata secara ekstrem mengatakan perlu ‘revolusi kebudayaan’. Revolusi perlu diterjemahkan sebagai komitmen kita pada bangsa dan negara untuk segera berubah total, diawali dengan gerakan penyadaran lewat kerja besar kita sebagai seorang warga negara. *


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Seandainya seluruh daerah di tanah air berkomitmen seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), mungkin tidak ada lagi terdengar berita seorang siswa bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar uang sekolah. Pasalnya dalam lima tahun terakhir ini, para orang tua di kabupaten terluas di Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) itu tidak dipusingkan lagi memikirkan biaya sekolah anak mereka. Menuju ke Musi Banyu Asin (MUBA), yang berjarak 2 jam perjalanan dari pusat kota Palembang, kita akan melewati lahan-lahan kebun kelapa sawit dan deretan pohon-pohon karet yang telah menjadi penghidupan masyarakat asli di sana selama puluhan tahun. Udaranya lebih bersih dan lebih hangat daripada kota Jakarta. Kabupaten ini dihuni oleh penduduknya yang berjumlah 473.795 jiwa di wilayahnya seluas 14. 265,96 KM2. “Keadaan topografi di Kabupaten MUBA ini memang kurang menguntungkan. Karena hampir 69% itu adalah daerah dataran rendah. Mengakibatkan cost nya juga jadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang dataran tinggi,” ungkap Yusri Efendi, Sekda Kabupaten MUBA. Sejak dilantiknya Bupati MUBA, Alex Nurdin pada bulan Januari yang lalu, MUBA sibuk berbenah diri. Beberapa skala prioritas programnya adalah meningkatkan kualitas pendidikan berwawasan kebangsaan dan berkualitas global yang terjangkau bagi masyarakat serta menyiapkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan kemajuan zaman, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, serta misi-misi prioritas lainnya. Dan SMART (Sejahtera, Mandiri, Adil, Religius, dan Terdepan), adalah visi dan misi program pembangunannya untuk Kabupaten MUBA hingga tahun 2012 mendatang. Cermin Pemda Lain Program pembangunan selalu berangkat dari berbagai potensi daerah yang dimiliki. Begitu pula

halnya dengan Kabupaten MUBA yang berada di Sumatera Selatan. Sebuah daerah bersumber daya alam dengan potensi energi primernya yang merupakan daya tarik kuat bagi masuknya penanaman modal/investasi untuk meningkatkan perekonomian daerah. Kabupaten MUBA hanyalah sebagian kecil yang juga memiliki cadangan sumber daya alam minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Sungguh sebuah bentuk dukungan yang sangat berarti untuk anggaran pendapatan daerah ini. “Dana yang sebagian besar di MUBA ini adalah dari bagi hasil minyak bumi dan gas. Kami menyadari bahwa minyak dan gas ini adalah sumber daya yang tidak terbarukan, artinya pada suatu saat nanti pasti akan habis. Ini yang selalu menjadi problem bagi daerah-daerah penghasil sumber daya alam ini. Bagaimana seandainya kalau sudah tidak menghasilkan lagi? Pada waktu itu kami pikirkan, maka tidak ada pilihan lain bahwa kami harus menginvestasikan dalam bidang sumber daya manusianya. Maka, bagaimanapun juga, prioritas pertamanya adalah bidang pendidikan. Tapi investasi ini memang memerlukan dana yang cukup besar. Sementara hasilnya akan bisa kita lihat dalam jangka waktu yang cukup panjang,” papar Yusri yang saat itu tampil sebagai wakil dari pihak Kabupaten MUBA, menyambut kedatangan pihak Direktorat Dikdasmen dan beberapa wartawan dari berbagai media massa dalam rangka kunjungan ke daerah. Gratis Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, segera memberlakukan wajib belajar 15 tahun, setelah sebelumnya sukses menerapkan wajib belajar 12 tahun dengan menggratiskan biaya pendidikan dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA). “Mulai Agustus 2007 Pemkab Musi Banyuasin akan mencanangkan wajib belajar 15 tahun. Selama ini di Musi Banyuasin telah menerapkan wajib belajar 12 tahun, sehingga nantinya pendidikan sejak dari SD, SMP sampai SMA tidak dipungut biaya," kata Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin, Jumat (6/7). Pada tahun ini, kata Alex, pemerintah daerah

Naga Bonar Seorang pencopet yang menjadi jendral. Ia mendapatkan kesempatan menyebut dirinya seorang jenderal di pasukan kemerdekaan Indonesia. Ketika itu pasukan pendudukan Jepang mundur pada tahun 1945 dan Belanda berusaha kembali menguasai daerah yang ditinggalkan tersebut. Pada awalnya semua itu dilakukan hanya sekadar untuk mendapatkan kemewahan hidup sebagai seorang jenderal, akan tetapi pada akhirnya dia menjadi tentara yang sesungguhnya, dan memimpin kemenangan Indonesia dalam peperangan. Banyak yang mengatakan film itu mengingatkan orang akan sentimen dan nostalgia keBatak-an Indonesia. Menjelang akhir 90-an, ketika pertama kali film besutan sutradara MT Risyaf itu diputar di bioskop, jujur saya tidak bisa memahami keseluruhan arti film itu. Ketika itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagi kebanyakan anak seusia saya, hal-hal lucu dalam film itu saja yang jadi perhatian. Paling saya ingat adalah kalimat, “Bujang sudah kularang kau bertempur. Bertempur pulak lagi. Matilah kau sekarang dimakan cacing!” Bagi masyarakat Batak, nama “Bujang” tidak akan diberikan kepada anak siapa pun. Apalagi laki-laki. Tak berlebihan jika banyak yang merasa nama ini adalah penghinaan terhadap orang Batak, karena arti dari kata itu sangat kasar. Nilai kekasarannya sama dengan menyebut “mati Kau!”. Terlepas dari beragam kekasaran dan bebe-

rapa bagian yang tampak janggal. Kini di tahun 2008, hampir 20 tahun kemudian. Film olahan cerita Asrul Sani itu dikemas kembali. Direstorasi, karena film seluloidnya sudah banyak bagian yang rusak termakan oleh usia dan kesalahan penyimpanan. Sebuah kondisi yang sangat menyedihkan. Cermin dari bagaimana dokumentasi kita atas karyakarya terbaik anak bangsa. Padahal film itu berhasil menyabet Piala Citra FFI 1987 untuk kategori film terbaik. Konon, untuk merestorasi film Nagabonar, dibutuhkan biaya sekitar 3 milyar. Menurut penggagasnya, selama ini film dalam bentuk compact disk sudah sulit didapatkan di pasar. Kalaupun ada kualitasnya pun tidak cukup menyegarkan buat mata melihatnya. Konon pula, film yang dirilis tahun 1987 itu juga di-re-mastering untuk menyemangati bangsa ini dalam satu abad kebangkitan nasional. Keprihatinan terhadap kondisi perfilman nasional yang kurang memberikan nilai pendidikan dan nilai moral bagi kalangan masyarakat mungkin mendorong upaya mereka ulang film Naga Bonar. Film yang sarat dengan nilai perjuangan bangsa meski dikemas dalam bentuk komedi. Tapi benarkah dibutuhkan re-mastering berbiaya besar untuk mengembalikan nuansa perjuangan film itu di masa kini? Tentu penggagasnya tidak bermaksud menyindir betapa besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangkitkan semangat bangsa ini dibandingkan dengan memproduksi film asal denganbiaya sepertiganya tapi tak memberikan nilai tambah atas pencerdasan bangsa ini. Alih-alih menunjukkan bahwa betapa pentingnya dokumentasi atas karya terbaik bangsa, karena

juga membuka pendidikan diploma tiga (D3) bekerja sama dengan Universitas Sriwijaya, Politeknik Negeri Bandung, dan Nanyang University Singapura. Progam D3 dengan program studi akuntansi, manajemen informatika dan teknik informatika tersebut akan menerima 100 mahasiswa dan diperuntukan bagi masyarakat yang kurang mampu tetapi memiliki kecerdasan tinggi. “Mereka yang diterima wajib tinggal di asrama. Semua biaya pendidikan, makan dan kebutuhan pendidikannya ditanggung Pemkab Musi Banyuasin,” ujarnya. Adapun alokasi siswanya, 80 persen untuk warga Musi Banyuasin dan 20 persen dari siswa luar. Salah satu syaratnya, siswa harus memiliki kemampuan bahasa Inggris atau nilai TOEFL sekitar 400. Selain itu, lulusan politeknik diwajibkan bekerja di Sumatera Selatan selama dua tahun. Dengan pola pendidikan tersebut diharapkan kualitas lulusannya dapat dipertanggungjawabkan. “Pendidikan adalah investasi masa depan yang harus ditingkatkan,“ ujarnya.

>>sekolah gratis

merupakan hal biasa saja. Semua bupati bisa melakukannya, asalkan ada komitmen itu

Mulai dari TK, SMP hingga SMA baik negeri maupun swasta, termasuk sekolah berbasis agama Islam, semuanya gratis. Jadi, anak-anak usia sekolah di daerah kaya minyak dan gas (migas) di Sumsel itu, dijamin dapat mengantongi ijazah SMA. Soalnya, Pemkab Muba telah menerapkan wajib belajar 12 tahun. ''Sebenarnya, sekolah gratis itu merupakan hal biasa-biasa saja. Semua bupati bisa melakukannya, asalkan memang benar-benar ada komitmen untuk itu. Jadi, bukan soal daerah itu kaya atau miskin, Sebab, daerah miskin seperti Jembrana di Bali juga bisa menerapkan sekolah gratis,'' ujar Bupati Muba Alex Noerdin beberapa waktu lalu.

pada akhirnya biaya untuk mengembalikan sesuatu yang rusak akan sangat jauh lebih besar. Naga Bonar adalah salah satu contoh nyata bagaimana nasionalisme bangsa ini dikemas dan disajikan dalam bentuk yang populer: film. Tetapi, ironisnya untuk mengemas dan menyajikan "nasionalisme" itu di masa kini sangat dibutuhkan biaya yang cukup besar. Tentu kita boleh berwacana ada yang salah dengan perjalanan nasionalisme kita. Rasa senasib seperti semasa pergerakan dan kemerdekaan kian menipis. Persatuan nasional yang dibangun dengan susah payah dalam perkembangannya menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Tanpa revitalisasi nasionalisme sulit dibayangkan seperti apa masa depan Indonesia. Ibarat tubuh tanpa roh. Tetapi kehadiran Naga Bonar versi re-mastering juga seolah janggal. Sejanggal nasionalisme dadakan yang kini sangat marak terjadi. Nasionalisme kedaerahan. Nasionalisme kesukuan. Nasionalisme religius. Nasionalisme partai. Nasionalisme kelompok. Nasionalisme orang kaya. Nasionalisme orang miskin. Dan beragam wajah nasionalisme lain yang membuat para pendiri republik tiba-tiba menjadi asing di negeri sendiri. Bisa jadi semua itu karena nasionalisme baru dipahami sebatas semangat kepentingan sesaat. Bisa jadi karena nasionalisme belum dijadikan sebagai prinsip hidup yang mendorong untuk mengatasi beragam masalah bangsa dalam kemajemukannya. Bisa jadi pula nasionalisme belum menjadi motivasi untuk membangun negeri dan merebut peluang di era globalisasi. Dari pada bermain dengan berbagai kemungkinan dan mencari jawab yang pada akhirnya sering menunjuk orang lain sebagai kambing hitam. Lebih baik kita mulai dari diri sendiri. Tak perlu ja(mth) di Naga Bonar kedua dan seterusnya.

11


Sembilan tahun lalu, Rubiyem (61) bukanlah siapa-siapa. Ia hanya ibu rumahtangga yang seharihari lebih sering termenung ketimbang berkarya. Semenjak suaminya di-PHK, ibu tiga anak ini memang sering meratapi nasib hidupnya yang seolah tak putus dirundung malang. Namun siapa sangka, pada tahun 2008, orang justru mengenal perempuan warga Srandakan, Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta ini sebagai pengusaha sukses. Kebangkitan Rubiyem dari keterpurukan mungkin bisa menjadi inspirasi untuk bangkit dari aneka permasalahan yang melanda anak bangsa saat ini.

Rubiyem bukan pemain sulap, kendati bagi beberapa orang keberhasilannya bangkit dari keterpurukan ‘hanya’ dalam waktu sembilan tahun mungkin seperti sim salabim. “Jangan salah, orang memang cenderung hanya melihat hasil akhirnya, bukan prosesnya. Padahal untuk bisa seperti sekarang ini, saya bekerja sangat keras siang-malam,” katanya kepada wartawan, belum lama ini. Selepas suaminya di-PHK dari pabrik kulit pada tahun 1999, ekonomi keluarganya boleh dikata pontang-panting. Sekadar untuk makan saja, nenek tujuh cucu ini terpaksa harus menjadi tukang cuci di rumah para tetangganya. Sementara suaminya mencari tambahan penghasilan sebagai buruh serabutan di terminal Giwangan. Kendati demikian, pendapatan mereka berdua tak cukup untuk makan dan kebutuhan rumahtangga lainnya. Rubiyem pun memutar otak untuk mencari tambahan penghasilan. “Alhamdulilah, pada saat sengsara, kreativitas saya justru muncul. Tiba-tiba terbersit

dalam pikiran saya untuk mencoba memproduksi peralatan rumah tangga. Uniknya, ide itu justru muncul saat krisis ekonomi sedang hebat-hebatnya melanda Indonesia sehingga banyak perusahaan bangkrut,” kenangnya. Ide dan Kegigihan Rubiyem mengaku mendapat ilham membuat peralatan rumahtangga seperti cetakan kue, susuk penggorengan, panci pengukus, serok, tutup gelas, tatakan, dan sebagainya, lantaran merasa kesulitan saat mencari barang-barang serupa di pasar Bantul. “Dari situ saya melihat peluang. Saya kemudian cari utangan ke bank, lalu mencoba memproduksi sendiri bersama suami dan saudara-saudara. Ketika saya pasarkan, ternyata laku keras, sampai-sampai saya kebanjiran order. Hanya butuh waktu satu tahun, omset saya sudah bertambah sepuluh kali lipat,” ujar Rubiyem yang kini punya beberapa rumah dan mobil mewah di Jogjakarta. Kini, perusahaannya memproduksi 200 jenis lebih alat rumahtangga dengan omset puluhan juta rupiah per hari. Pangsa pasarnya bukan hanya di wilayah Jogja dan sekitarnya, tapi sudah merambah ke provinsi lain bahkan hingga ke luar Jawa. Jika dulu pada saat memulai usaha ia hanya memiliki karyawan dua orang, kini karyawannya sudah mencapai 40 orang. “Bahkan jika dihitung dengan warga seki-

tar yang ikut mengerjakan produksi dengan sistem plasma, jumlahnya mencapai 150 orang. Mereka mengambil bahan di rumah saya, mengembalikan dalam bentuk produk jadi, dan mendapatkan upah sesuai jumlah barang yang mereka produksi,” urainya. Bagi-bagi Rejeki Ia memang punya prinsip, keuntungan yang ia dapatkan sebisa mungkin harus ikut dinikmati orang-orang di kanan kirinya, terutama mereka yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. “Saya pernah merasakan bagaimana sengsaranya jadi orang miskin, jadi sedapat mungkin saya harus membantu mereka. Tapi saya tidak mau bagi-bagi uang seperti pemerintah membagi SLT-BLT, itu tidak mendidik. Saya lebih baik kasih pancing, bukan ikan. Mereka saya kasih pekerjaan, dan mereka bisa hidup dari upah pekerjaan itu,” imbuhnya. Ditanya resep keberhasilannya, Rubiyem bilang kuncinya adalah kejelian membaca peluang, kemauan dan kerja keras. “Saya yakin, semua orang bisa sukses, asal pintar memanfaatkan kesempatan dan mau bekerja keras. Masalahnya, tak banyak orang yang mau rekoso (hidup susah--Red) seperti saya. Maunya serba instan, langsung sukses, mana bisa seperti itu. Sukses tidak jatuh dari langit, tapi buah dari usaha dan kerja keras.” Cerita dari Mataram Usaha kerajinan alat-alat rumah tangga juga bisa ditemukan di lebih dari separuh rumah warga Lingkungan Monjok Kebon Jaya – Mataram. Maka tidak heran, kalau masuk kampung tersebut, di beberapa sudut suara gaduh akan terdengar karena perajin tengah menatah, memukul dan membelah kaleng. Hasil kerajinan ini tersebar di toko-toko penjual alat rumah tangga di Kota Mataram, bahkan yang berbahan aluminium sudah sampai Pulau Sumbawa dan Bali. Peralatan yang berasal dari kaleng-kaleng bekas, memang tidak lagi dipakai untuk membuat alat-alat yang lebih besar mengingat pengerjaannya rumit. “Biasanya kalau alat yang besar, seperti dandang, oven, loyang dan lainnya, sudah dipakai aluminium sebagai bahannya,” kata H. Mahir, perajin lainnya yang kini memakai aluminium. Dulu, ketika ia memulai kegiatannya sebagai perajin, ia juga mengawalinya dengan kaleng-kaleng bekas sama seperti perajin lainnya. Perajin-perajin ini tidak pernah belajar khusus membuat alatalat rumah tangga melainkan karena sering melihat dan belajar sendiri-sendiri. Alat-alat rumah tangga dari kaleng-kaleng bekas, lebih banyak dibuat menjadi parutan kelapa, sendok, serokan, alat bakar sate dan alat-alat rumah tangga sederhana. Dengan harga yang cukup terjangkau antara Rp 600Rp 2 ribu, alat dapur dari kaleng bekas bisa didapat di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Bertais, Pasar Kebon Roek, Pasar Pagesangan, Pasar Perumnas, Pasar Cemara dan sebagainya. Soal bahan, Jumilah mengaku, tidak pernah kekurangan mengingat kaleng-kaleng bekas selalu saja ada. Lewat beberapa pemulung yang sudah menjadi langganan, perajin di Monjok tidak perlu bersusah-susah mencari kaleng bekas, tapi menunggu saja bahan tersebut diantar. Ternyata, selain kaleng bekas dan aluminium, plat koran pun banyak dicari perajin di sini. “Plat koran juga bagus untuk membuat alatalat rumah tangga, khususnya sendok dan serokan,” kata Ayulan yang juga menekuni usaha alat-alat rumah tangga ini. Manfaatkan Barang Bekas Di rumah sangat sederhana milik Jumilah (45), terdengar suara gaduh. Rupanya ia tengah menata parutan kelapa dari kaleng bekas. Sementara itu anaknya Sarianti (22), pun sedang menata serokan yang dipesan pelanggannya di beberapa pasar tradisional di Mataram. Disamping menata pesanan, ibu dan anak ini, tengah mengerjakan pesanan

lainnya beberapa kodi alat pembakar ikan dan sate. Di bagian kiri rumahnya terdapat kayukayu bekas peti dan bambu-bambu yang jumlahnya menumpuk. Demikian pula di bagian lain rumahnya, kaleng-kaleng bekas berbagai merk dan produk seperti makanan, minuman, cat, oli dan lainnya, terlihat memenuhi ruangan. Pekerjaan yang ditekuni Jumliah ini merupakan warisan turun temurun orang tuanya yang asli Monjok. Tanpa pernah mengenyam pendidikan yang layak, ia bersama anaknya menggeluti kerajinan alat rumah tangga dari kaleng bekas tersebut untuk bisa bertahan hidup. Bersyukurlah ia karena bahan baku kerajinan ini berupa kaleng bekas tidak pernah habis. Setiap hari ia tetap membuatnya meskipun tidak ada permintaan. “Untuk stok,” ungkapnya. Namun, ketika ada pesanan, ia akan kembali sibuk terlebih jika pemulung sedang tidak datang menawarkannya kaleng bekas. Kaleng bekas jenis apa saja, bagi Jumilah, bisa dibuat apa saja. Di jari-jari perempuan rajin ini terlihat ada bekas luka di sana sini akibat tergores kaleng saat memotong dan mengguntingnya. “Yang paling sulit pengerjaannya saat harus menggunting, mengiris dan meratakan kaleng sebelum dibuat,” ujarnya. Kaleng-kaleng bekas tersebut ia beli dengan harga antara Rp 150-Rp 500 per biji. Nantinya setelah jadi, sebuah kaleng bekas tadi akan ia jual dengan harga antara Rp 6001.000 per biji. Ia tidak membutuhkan bahan tambahan lain kecuali paku untuk serokan dan sendok, serta kayu atau bambu untuk gagangnya. Semua memakai teknik melipat rapi agar ujung-ujungnya tidak tajam. Cukup lumayan untuk bisa hidup bersama keluarganya, tentunya ia harus bersusah payah dan bekerja keras agar bisa menghasilkan sebanyak-banyaknya setiap hari. Bahkan ia harus terjaga sebelum Shalat Subuh kemudian bekerja hingga pukul 12 malam, istirahat hanya untuk makan dan Shalat. “Kalau jam kerjanya seperti itu, sehari saya bisa buat 40 parutan kelapa,” kata Jumilah. Ia bekerja keras untuk mendapatkan keuntungan Rp 10 ribu hingga Rp 16 ribu sehari jika ada pesanan dua kodi atau 40 biji barang kerajinannya. Namun sayang, ungkapnya, tidak setiap hari ia bisa melakukan pekerjaan tersebut tanpa ada order sebelumnya. Padahal, sejak suaminya terserang stroke setahun lalu dan kini tak lagi bisa membantunya, pekerjaan orderan tersebut sangat diperlukan untuk membiayai keluarganya. Pekerjaannya terbilang berat karena sejak awal ia harus membersihkan kaleng-kaleng bekas tersebut sebelum dibuat menjadi alat rumah tangga. Semua pekerjaan ini ia kerjakan bersama anak perempuannya hingga memotong dan menghaluskan bambu dan kayu . Beruntung ia tidak harus mengeluarkan biaya tambahan untuk ongkos angkutan, mengingat para pelanggannya akan datang sendiri mengambil pesanan alat rumah tangga tersebut di rumah. Meski demikian, untuk kelancaran penjualan tidak jarang ia atau anaknya mendatangi satu pasar ke pasar lainnya untuk menjual sendiri hasil kerajinannya. Jamilah, H. Mahir dan Rubiyem memang dari sono-nya terlahir bukan sebagai orang pemalas, “Kalau saja dulu saya malas, hanya pasrah kepada nasib, mungkin sampai sekarang saya sekeluarga masih jadi kere (orang miskin-Red),” katanya terkekeh. Ia sadar bahwa nasib seseorang tak akan berubah jika orang yang bersangkutan tidak mau mengubah sendiri nasibnya. Ia pun ‘mereformasi’ pola pikirnya setelah mempelajari kiprah orang-orang sukses di sekitarnya. “Ternyata keberhasilan hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang aktif dan suka bekerja keras, bukan mereka yang santai dan hidup berleha-leha,” imbuhnya. Rubiyem berhasil memaknai peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dengan caranya sendiri. Bagaimana dengan anda? (gunarjo@bipnewsroom.info)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.