Edisi Khusus Ketahanan Pangan

Page 1


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

desain: dw,m, ahas foto: bf, dw, PR, net

Diversifikasi, Kunci Ketahanan Pangan Mengapa ‘kerawanan pangan’ masih terjadi di Indonesia, negara agraris paling subur di dunia? Pertanyaan sederhana itu terasa menohok perasaan. Sayang, hampir semua orang tidak mengetahui jawabannya secara pasti. Kendati berbagai teori dikemukaan, analisis dipaparkan, seminar, diskusi, dan simposium diselenggarakan, akan tetapi seiring pergantian tahun, kasus ‘kerawanan pangan’ masih saja terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Apakah kita benar-benar mengalami kerawanan pangan dalam arti sesungguhnya? Sejatinya tidak. Kita hanya kekurangan beras, sementara ketersediaan jagung, singkong, sagu, ubi dan bahan makanan lain di luar beras masih cukup berlimpah. Namun karena pola konsumsi sebagian besar masyarakat terlalu “beras-sentris”, keberadaan bahan makanan yang beraneka ragam itu sering hanya dipandang sebelah mata. Penyederhanaan kata “pangan” menjadi “beras”, membuat orang sering keliru dalam menarik kesim-pulan. Kerawanan pangan dianggap telah terjadi, ketika ada beberapa keluarga mengkonsumsi makanan pokok selain beras. Saat sebagian warga Gunung Kidul, Yogyakarta, makan tiwul (nasi berbahan baku singkong), orang langsung menafsirkan telah terjadi kerawanan pangan di sana. Padahal secara historis, sebagian masyarakat Gunung Kidul makanan pokoknya memang tiwul. Ketika bahan makanan pokok diidentikkan dengan beras, ketahanan pangan pun sering dipan-

dang secara sempit, yakni hanya dikaitkan dengan kemampuan masyarakat dalam menyediakan beras secara swasembada. Dengan bahasa yang lebih sederhana, swasembada beras adalah prasyarat terjadinya ketahanan pangan. Tanpa swasembada beras, ketahanan pangan sulit diwujudkan. Begitulah sesat logika yang selama ini terjadi. Ironisnya, swasembada beras telah menjadi kenangan indah masa lalu. Keberhasilan yang pernah diraih Indonesia pada tahun 1984, tampaknya akan sulit terulang. Semakin menciutnya sawah akibat alih fungsi lahan menjadi fasilitas umum dan permukiman, serta semakin banyaknya petani yang banting stir ke pertanian non-padi karena menanam padi dinilai tidak menguntungkan, setidaknya dapat dijadikan alasan. Oleh karena itu, kita perlu mencari jurus lain yang lebih realistis untuk mempertahankan ketahanan pangan (bukan hanya ‘ketahanan beras’). Salah satunya adalah dengan mempraktekkan kembali diversifikasi pangan yang dulu pernah dilakukan nenek-moyang secara turun-temurun. Bahan pangan seperti jagung, singkong, sagu, ubi jalar, talas, perlu dipromosikan kembali sebagai makanan pokok pengganti beras, sehingga ketergantungan terhadap beras secara gradual dapat terus dikurangi. Menanam secara multikultur dan pola konsumsi makanan pokok secara bervariasi adalah cara terbaik untuk mewujudkan ketahanan pangan. Lebih-le-

bih, setiap daerah memiliki karakteristik klimatologi dan topografi tanah yang bervariasi, dimana warga setempat dapat menanam bahan makanan pokok yang berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan masing-masing. Dengan cara demikian, tersedia lumbung hidup yang dapat mensuplai kebutuhan pangan warga setempat secara berkesinambungan. Saatnya kini membuang jauh anggapan keliru bahwa makan baru dianggap makan jika makan nasi. Makan sejatinya adalah persoalan budaya, sehingga kebiasaan kitalah yang menuntun apa yang kita santap. Kita bisa menganggap apa saja—singkong, sagu, jagung, beras, ubi—sebagai makanan pokok, sama seperti orang Barat yang menganggap gandum atau kentang sebagai makanan pokok mereka. Menggantungkan diri pada satu jenis bahan makanan, sama halnya dengan membiarkan krisis pangan mengintip di depan mata. Seperti diingatkan Food Agricultural Organization (FAO), pola konsumsi makanan pokok yang seragam, dalam jangka panjang akan membuat ketahanan pangan suatu negara mengalami deklinasi, sehingga krisis pangan gampang terjadi. Jelas bahwa kunci ketahanan pangan sejatinya ada pada diri kita sendiri. Mau krisis pangan atau tidak, tergantung kemauan kita untuk menerima makanan selain beras yang harus kita konsumsi sebagai makanan pokok sehari-hari. (g)

Indonesia Kaya Indonesia sebenarnya memiliki sumber pangan yang luar biasa, yakni sagu. Seorang peneliti asal Jepang mencatat, dari dua juta hektar hutan sagu di dunia, satu juta hektar hutan di antaranya ada di Indonesia. Namun, setiap tahun lebih dari separuh sagu rusak di hutan karena pohonnya tua dan tumbang tanpa terambil manfaatnya. Ini adalah bukti betapa kita belum memanfaatkan potensi sumber pangan lain selain beras. Siswono Yudohusodo Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia

Mandiri dan Berdaulat Indonesia perlu mempertimbangkan menuju kedaulatan pangan. Dalam jangka pendek, kebijakan stabilisasi harga pangan untuk mencapai ketahanan pangan dilakukan melalui kebijakan insentif untuk peningkatan produksi maupun kebijakan perdagangan dengan disertai pengamanan dari berbagai modus moral hazard seperti spekulasi, penimbunan, penyelundupan, dan kartel importir. Untuk jangka panjang, perlu grand design kebijakan untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan nasional, regional dan lokal berbasiskan sumberdaya dan keunggulan daerah. Jika dilakulan reformasi ekonomi berbasiskan kepada kebutuhan nyata rakyat dan keragaman daerah, kemungkinan kita akan bisa lebih berdaulat dan mandiri. Tapi itu tergantung kepada

2

Acara Dialog Publik mengenai Ketahanan Pangan, (17/04) di Departemen Komunikasi dan Informatika, pembicara antara lain: Siswono Yudhohusodo (Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), Gunarjo (Direktur Bina Pasar Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Depdag), Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS (Kepala Badan Ketahanan Pangan, Deptan), Didin S. Damanhuri (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB), dengan moderator Ir. Sukemi. (foto: dok.bip.)

kepemimpinan nasional, apakah mampu mengelola secara cerdas dua kepentingan sekaligus antara demokrasi politik dan reformasi ekonomi secara substansial. Didin S. Damanhuri Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajeman IPB

Gaplek Bukan Rawan Pangan Kadang saya suka merasa heran dengan pemberitaan di media lokal ataupun nasional. Terlalu mudah mendefinisikan rawan pangan dan kelaparan. Makan gaplek dibilang kelaparan. Gaplek sama dengan makanan alternatif terakhir jika tidak ada makanan lain. Lha banyak

juga di daerah Jawa Tengah yang makanan sehariharinya gaplek. Dan itu berlangsung terus menerus. Bukan karena gak ada uang buat beli beras, tapi ya memang makanannya gaplek. Yang penting kan sesuai dengan kebutuhan gizinya. Makan gaplek tambah lauk ikan dan ada sayur, berarti kan sehat juga. Endang P.W Petugas Penyuluh Pertanian Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun

Suara Publika yang berisi pertanyaan, komentar atau opini singkat bisa dikirim melalui faksimil ke redaksi atau alamat email: komunika@bipnewsroom.info

Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Pengarah: Prof. Dr. Moh Nuh, DEA (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Dr. Suprawoto, SH. M.Si. (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Drs. Bambang Wiswalujo, M.P.A.(Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Drs. Supomo, M.M. (Sekretaris Badan Informasi); Drs. Ismail Cawidu, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); H. Agus Salim Hussein, S.E. (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Drs. Sofyan Tanjung, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Drs. Sugito. Redaktur Pelaksana: M. Taufiq Hidayat. Redaksi: Dra. Fauziah; Drs. Selamatta Sembiring, M.Si.; Drs. M. Abduh Sandiah; Mardianto Soemaryo. Reporter: Suminto Yuliarso; Dimas Aditya Nugraha, S.Sos; Hendra Budi Kusnawan, S.S; Koresponden Daerah: Amiruddin (Banda Aceh), Arifianto (Yogyakarta), Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Leonard Rompas. Desain: D. Ananta Hari Soedibyo. Pracetak: Farida Dewi Maharani, Amd.Graf, S.E. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 email: komunika@bipnewsroom.info. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi KomunikA dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Pangan Semakin Panas Melonjaknya harga pangan dunia saat ini membuat sejumlah negara kelabakan menghadapinya. Ketakutan akan krisis pangan menghantui sejumlah negara. China tiba-tiba melarang ekspor beras dan menaikkan stok beras mereka dari 32 juta ton menjadi 40 juta ton. Vietnam mengenakan pajak ekspor tinggi untuk beras dan mengerem arus keluarnya sebesar 1 juta ton. India pun ancang-ancang menghapus pajak impor beras dengan harapan akan ada arus masuk guna mengantisipasi krisis pangan negeri yang berpenduduk lebih dari satu milyar jiwa itu. Padahal negeri ini tidak pernah mengimpor beras selama 10 tahun terakhir ini, dan mengenakan pajak 70% atas impor beras. Sejak lima tahun lalu, para pengamat sudah mengibar bendera kuning mengenai tingginya harga pangan dunia ini. Pemicu terbesarnya adalah kebijakan program pengembangan bahan bakar nabati biofuel dan biodiesel. Selain itu meningkatnya konsumsi daging dan susu di dunia juga memberi andil pada peningkatan kebutuhan pangan berbahan baku jagung dan kedelai. Bagaimana Indonesia? Banyak pengamat merasa pesimis mengenai ketahanan pangan Indonesia di tengah ‘mengamuknya’ harga pangan sejagad, termasuk wakil rakyat. Anggota Komisi IV DPR Marjono mengatakan di Brebes, Jateng, Indonesia kemungkinan akan dilanda kekurangan pangan. Pertimbangannya, produksi padi di sejumlah sentra produksi beras menurun akibat antara lain banjir. Ia mendorong pemerintah untuk menambah alokasi anggaran peningkatan produksi pertanian, guna mengantisipasi ancaman krisis pangan.

Pesimisme itu secara positif dapat ditanggapi sebagai keprihatinan serta peringatan akan kemungkinan krisis pangan yang akan kita alami mengingat sejumlah bahan pangan penting masih kita impor dalam jumlah tertentu, seperti beras, kedele, terigu. Namun ada kecenderungan angka impor beras kita makin turun hingga tahun lalu.

Perkuat Stok Pangan Sama seperti halnya Vietnam, China maupun India, Indonesia juga berusaha memperkuat cadangan pangannya mengantisipasi kemungkinan krisis akibat tingginya harga di luar negeri serta kemungkinan menyusutnya produksi akibat banjir dan sebagainya. Namun pemerintah meyakinkan bahwa tingkat produksi beras belum menunjukkan lampu kuning, bahkan bersiap menghadapi panen raya mendatang. Indonesia menghadapi dilema. Di satu pihak,

Gampang-Gampang Swasembada Bila hari-hari ini banyak diberitakan masalah mahalnya harga komoditas pangan di tanah air, salah satu akar masalahnya ada pada ketidakmampuan Indonesia untuk memproduksi bahan pangan dalam jumlah yang memadai untuk penduduknya. "Lihat saja grafik perbandingan konsumsi yang tidak seimbang. Dari tahun ke tahun selalu muncul ketidakimbangan karena peningkatan jumlah penduduk," tutur Penasehat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Siswono Yudhohusodo. Memang, jika mengandaikan pertumbuhan jumlah penduduk sebesar 1,66 persen per tahun, pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia—yang sekarang sekitar 230 juta—akan menjadi 288 juta. Peningkatan jumlah penduduk pastilah akan diikuti dengan peningkatan jumlah kebutuhan pangan. Menimbang Kebijakan Masa Lalu Indonesia pernah swasembada. Di tahun 80-an hal itu, manajemen perberasan waktu itu bertumpu pada empat hal. Pertama, perencanaan, ketika itu manajemen beras ditetapkan sebagai salah satu prioritas kebijakan pemerintah. Kedua, pelaksanaan program melalui sejumlah instrumen seperti: penyuluhan dan pemberdayaan petani (Bimas), intensifikasi faktor-faktor produksi (pembangunan pabrik pupuk domestik, kontrol ketat atas distribusi pupuk, optimalisasi Kredit Usaha Tani (KUT) dan Koperasi Unit Desa (KUD), pembangunan irigasi, serta penyediaan benih padi unggul dengan harga murah. Ketiga pengawasan dan pengendalian yang dijalankan oleh Bulog sebagai institusi pengendali harga pangan dimaksimalkan. Peran produsen pupuk domestik pun dioptimasikan apalagi BUMN yang ada di hampir setiap provinsi. Keempat, melakukan koordinasi berbagai kebijakan dan program dengan baik. Peran kementerian tidak saling tumpang tindih dan semuanya berpusat dalam komando Presiden. Hasilnya, pada tahun 1969 Indonesia hanya memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, tetapi di tahun 1984, saat swasembada beras dicapai, tercatat 25,8 juta ton. Sehingga pemerintah saat itu memberikan buah tangan, yaitu gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secara gotong royong dan sukarela oleh petani Indonesia untuk disumbangkan kepada warga yang mengalami kelaparan, khususnya di Afrika. Namun, keberhasilan itu tidak dapat dinikmati berlama-lama. Kegagalan Revolusi Hijau atau revolusi pangan seperti di negara-negara lain juga menimpa Indonesia. Swasembada pangan hanya berlangsung hingga tahun 1989. Dan hingga kini, Indonesia terpaksa kembali mengimpor beras. Belum lagi resesi global menjelang! Tentunya ini adalah masalah bersama yang harus dihadapi bersama-sama semua lapisan masyarakat. Tak Ada Impor "Zero import, itulah yang dinamakan swasembada," tegas Kaman Nainggolan, Kepala Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Akan tetapi berkaca dari kecenderungan di dunia, definisi swasembada adalah apabila bahan yang diimpor tidak lebih dari 10% dari hasil produksi nasional. "Beras kita sudah swasembada, on trend. Kalau kedelai masih 60% kita impor. Target 2011 swasembada. Gula 2009 ini kita targetkan swasembada. Daging 2010," imbuh Kaman. Akan tetapi, swasembada pangan akan semakin sulit dicapai dan ketergantungan pada impor akan semakin menjadi-jadi. Namun, Salman Darajat, staf Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Aceh Timur punya resep sederhana untuk mencapai swasembada. Pertama, peningkatan pasokan (produksi) dan penurunan permintaan (konsumsi) pangan. "Dapat dilakukan melalui ekstensifikasi atau perluasan area tanam, dengan arah pengembangan di luar Jawa serta intensifikasi pertanian termasuk penggunaan teknologi untuk menemukan bibit unggul, dan pengurangan kehilangan hasil saat panen dan pascapanen," ungkap Salman. Kedua, lanjut Salman, diversifikasi pangan. Dominasi ketergantungan pada satu jenis pangan secara bertahap perlu dikurangi, "tapi perlu diusut lebih lanjut untuk mengetahui pola distribusi dan tingkat konsumsi hingga ke level rumah tangga supaya tidak menimbulkan gejolak," pungkasnya. (g/m)

tingginya harga beras dunia merangsang aktivitas ekspor agar dapat meningkatkan pendapatan negara maupun rakyat. Di pihak lain, kita perlu meningkatkan stok pilling guna menjaga kemungkinan yang terburuk. Perum Bulog didorong untuk membeli beras rakyat, selain untuk cadangan pangan juga agar petani menikmati kenaikan harga beras itu, yaitu dengan menaikkan harga gabah, yang dinikmati langsung petani. Para pengamat mengatakan bila harga beras yang dinaikkan, maka hanya pedagangtengkulak yang menikmatinya. Direktur Bina Pasar dan Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Gunaryo mengatakan Tim Stabilisasi Harga Bahan Pokok mengusulkan pelarangan ekspor beras guna keamanan cadangan dalam negeri. Bulog masih mengantongi sisa ijin impor tahun lalu sebesar 200 ribu ton, guna berjaga-jaga. Namun bila digunakan, harga di luar sangat tinggi hingga menguras kantong negara. Tidak ada jalan lain kecuali menggenjot produksi sendiri. Bulog berjanji akan menaikkan target pengadaan beras tahun ini hingga 2,8 juta ton atau naik 64% dibandingkan tahun lalu. Hingga Maret lalu Bulog baru mengumpulkan 150 ribu ton dari kontrak sebesar 250 ribu ton. Bulog dengan 46.000 titik distribusinya siap menyalurkan bahan pangan bilamana keadaan mendesak. Departemen Pertanian memproyeksikan produksi padi nasional tahun 2008 mencapai 61 juta ton, tahun 2009 64,2 juta ton, tahun 2010 menjadi 67,3 juta, 2011 menjadi 70,7 juta dan 2012 diharapkan mencapai 74,2 juta ton. Pemerintah Akan Lindungi ‘Pesta’ kenaikan harga pangan akan dinikmati para produsen besar, eksportir, serta petani. Pihak yang kerepotan atas kenaikan itu, terutama masyarakat miskin yang berpendapatan kecil akan dilindungi pemerintah antara lain dengan memberikan subsidi. Untuk minyak goreng pemerintah menyediakan dana subsidi Rp500 milyar kepada 19,2 juta penduduk miskin. Kedelai, sebagai bahan pangan pokok lainnya akan mendapatkan subsidi Rp1.000 per kilogram, lewat 115.000 perajin tempe-tahu. Ketergantungan akan kedelai impor masih merepotkan pemerintah, sehingga diharapkan Departemen Pertanian lewat program intensifikasi dan ekstensifikasinya mampu mendorong produksi selama tiga musim tanam tahun ini sekitar 800 ribu ton atau naik 200 ribu ton dibanding tahun lalu. Kebutuhan akan kedelai dalam negeri sekitar 1,7 juta ton/tahun sedangkan produksi nasional baru mencapai 600-700 ribu ton/tahun. Guna mencukupi kebutuhan impor mencapai 1,2 juta ton, di mana 90% tergantung pada Amerika Serikat. Pemerintah sendiri tengah menjajagi kemungkinan impor kedelai dari Brasilia karena mutunya bagus, di samping dari Amerika Serikat sekarang ini. Menteri Pertanian Anton Apriyantono menawarkan kerjasama untuk mengembangkan estate kedelai di Indonesia tetapi pihak Brasil belum mengiyakannya. Lahan yang masih memungkinkan untuk perluasan pertanaman kedelai adalah daerah Kalimantan dan Papua. Pemerintah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, April lalu menyatakan niat untuk menambah sawah baru seluas 1.000 hektar. Suara mengenai perlunya pengembangan rice field atau soybean field di Kalimantan sudah diwacanakan sejak awal tahun 1980-an. Pengamat ekonomi sekaligus anggota DPR almarhum Rahmat Mulyomiseno waktu itu melontarkan wacana tersebut, namun belum ada respons dari berbagai pihak. Sudah waktunya wacana itu dieksekusikan saat ini, apalagi dalam era otonomi ini, banyak peluang dapat diambil pemerintah kabupaten. Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, sebagai contoh, memilih produk jagung sebagai andalan pertama produksi agro mereka. Ratusan hektar lahan disiapkan, dan produksinya terserap habis di tingkat lokal serta daerah tetangganya, Singkawang. (ji)

>>

Kenaikan harga beras kualitas medium di Asia mencapai 52%, sehingga pantas bila sejumlah negara bersiap-siap menghadapinya.Pada awal April harga tingkat dunia sudah mencapai 700 dolar AS/ton, dan diperkirakan mencapai 850 dolar AS/ton pada Mei mendatang.

3


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Masalahnya bukan tidak ada bahan pangan, hanya belum tahu. Jangan sampai sesal kemudian sebab tiada guna. Semua ada di sekitar kita. Bagi kebanyakan orang, kata “Garut” mungkin dikaitkan dengan nama sebuah kota di Jawa Barat. Atau penganan manis nan legit dari kawasan yang sama. Tapi di Madiun, Jawa Timur, garut satu ini adalah salah satu bahan pangan alternatif yang tengah dikembangkan sejajar dengan beras sebagai sumber karbohidrat. Di Desa Dagangan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, garut adalah sejenis tanaman umbi-umbian. Tumbuhan monokotil yang biasa hidup di pekarangan dan bawah pohon rindang ini, telah diolah menjadi emping yang nilai keekonomiannya terus merangkak naik. Adalah H. Djan’im Romli (76), petani yang pada 1983 tak puas dengan hasil panennya. Selalu kalah besar dengan biaya produksi yang mesti dikeluarkan. Hingga akhirnya, tanah miliknya seluas satu hektar coba-coba ditanami garut. “Karena garut biasanya tumbuh liar tanpa perawatan. Syukursyukur umbinya bisa dimakan. Anak saya, Alia, yang pertama kali coba-coba,” kata Badriyah (59), istri Djan’im.

>>

Umbi Garut (latin: Maranta arundaneceae L). Biasa juga disebut larut, arerut, angkrik, jelarut, nggarut. Di kalangan masyarakat Batak Karo dikenal sebagai sagu banban. Sementara orang Nias menyebutnya sakundara. Orang Minangkabau menyebutnya sagu arut.

Coba-coba Tahan Lama Pertama kali membuat emping garut bukanlah hal yang mudah. Ia harus melalui serangkaian ujicoba di dapur pribadinya untuk membuatnya enak tapi tahan lama. Berawal dari pengolahan tradisional sederhana dengan cara direbus, dipotong tipis membujur, dikeringkan, kemudian baru digoreng. Hingga kemudian ditemukan cara baru: menumbuk garut dengan palu besi agar tipis merata, baru dikeringkan dan digoreng. Ada pula upaya coba-coba dengan menambahkan margarin pada minyak penggorengan. “Terakhir, uji coba yang dilakukan Universitas Gajah Mada (UGM) menyebutkan emping garut bisa tahan sampai setahun,” kata Badriyah.

Kerja keras, kesabaran, dan kreatifitas keluarga H Djan’im dan Badriyah akhirnya membuahkan hasil. Mereka bisa menyekolahkan tiga dari empat anaknya hingga lulus bangku kuliah. Tak hanya itu, warga sekitar tempat tinggalnya pun mendapat tuah dari emping garut. “Sekarang saya punya 25 pegawai dan menjadi pengepul dari warga sekitar yang juga turut menanam dan mengolah garut,” kata penerima penghargaan Parama Bhoga Nugraha pada tahun 1999 atas upaya meningkatkan citra pangan Indonesia, memberdayakan masyarakat, sekaligus memajukan pangan secara nasional itu, sumringah. Kini, masyarakat Dagangan telah banyak memanfaatkan garut sebagai produk olahan. Bahkan, produk olahannya semakin meluas ke berbagai daerah di antaranya Malang, Nganjuk, Ponorogo, Magetan, Jawa Barat, dan Lampung. Terakhir, emping garut juga dinobatkan sebagai produk unggulan kedua tingkat nasional. Tak Perlu Takut Kelaparan Umbi-umbian yang banyak terdapat di sekitar kita, seperti garut, menurut Kepala Bidang Rawan Pangan, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Dr Ardi Jayawinata bisa dimanfaatkan sebagai produk pangan alternatif selain makanan kudapan. “Kita selalu menganggap, karbohidrat ya nasi. Jadinya kalau tidak makan nasi dianggap tidak makan. Padahal, banyak umbi-umbian yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan pokok sumber karbohidrat,” kata dia saat ditemui KomunikA di kantornya. Ardi menambahkan bahwa tak kurang dari 70 lebih jenis umbi-umbian tersebar di seluruh Indonesia. Dan semua umbi-umbian tersebut,

lanjut doktor bidang ketahanan pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, sudah dikenal penduduk lokal sebagai bahan pangan substitusi. “Sebenarnya untuk masyarakat desa jarang ada orang kelaparan. Mereka dengan mudah menemukan umbi-umbian. Tapi kan masalahnya, pandangan masyarakat kita, kalau tidak makan beras (nasi-red), ya berarti rawan pangan. Memang ada kasus, baik juga untuk kritik ke dalam,” kata Ardi menjelaskan. Faktor kearifan lokal, disebut Ardi telah membuat umbi-umbian ini dikenal sebagai pangan tradisional. “Kalau soal ketersediaan, kita banyak. Asal mau menggalinya. Nah daya beli ini yang banyak didorong oleh pemerintah melalui beragam program,” kata dia. Sayang seribu sayang memang, tak banyak yang tahu potensi tanaman yang satu ini. Konon, ia hanya masyhur sebagai tanaman pengganggu bagi tanaman singkong. Hingga keberadaannya tak banyak diinginkan, hanya sebatas mamanfaatkan daunnya untuk makanan ternak. Padahal produk olahan umbi garut sangat bernilai potensial. Ya, mungkin itu pekerjaan rumah untuk kita semua. Lebih menggali potensi lokal yang banyak tersebar di sekitar kita. Bukan masalah tak ada, tapi hanya belum tahu. Jangan sampai bilur penyesalan menggantikan potensi umbi garut yang sedemikian besar ketika tidak diolah. (dimas@bipnewsroom.info)

Kesempatan Dalam "Pangan Lama"

>>

Pada tahun 1964 Indonesia mengalami krisis pangan hebat, antara lain disebabkan masih rendahnya produksi beras pada waktu itu, kemudian deraan musim kering berkepanjangan serta hama tikus yang merajalela di sentra produksi padi di Jabar, Jateng serta Jatim.

>>

Di sebagian daerah di Sulawesi pada waktu itu mengkonsumsi pisang sebagai makanan pokok. Papua serta Maluku dengan sagunya, dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya kemudian, seiring dengan pulihnya kondisi kekurangan pangan serta meningkatnya pendapatan rakyat, diversifikasi pangan kian sulit diwujudkan.

4

Usaha mengurangi ketergantungan terhadap beras sebenarnya telah dilancarkan sejak puluhan tahun silam. Pada tahun 1964 Indonesia mengalami krisis pangan hebat, antara lain disebabkan masih rendahnya produksi beras pada waktu itu, kemudian deraan musim kering berkepanjangan serta hama tikus yang merajalela di sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penderita busung lapar pun meningkat dari minggu ke minggu, hingga bantuan pangan mengalir guna mencukupi kebutuhan rakyat. Di kala itu masuk dari Amerika Serikat bahan pangan yang diberi nama bulgur, berupa biji-bijian warna coklat yang ditanak guna memenuhi kebutuhan karbohidrat rakyat. Kendati rasanya tidak enak, bahan itu terserap habis. Presiden Soekarno pada waktu itu menganjurkan penggalian kembali bahan pangan tradisional masing-masing, serta kemungkinan pemanfaatan bahan sumber karbo hidrat lainnya seperti singkong (ketela pohon), jagung, ubi jalar, uwi, suweg, gembili-gembolo, atau sagu. Ketergantungan akan beras sebenarnya mulai terasa pada waktu itu, di mana sejumlah penduduk daerah yang memiliki diet khas seperti Madura, Gorontalo, Flores dengan jagungnya, kemudian penduduk Pegunungan Kendeng di sisi selatan Jawa Tengah, Jawa Timur memiliki makanan pokok gaplek (singkong) kering yang diolah menjadi thiwul serta gogik. Di sebagian daerah di Sulawesi pada waktu itu mengkonsumsi pisang sebagai makanan pokok. Papua serta Maluku dengan sagunya, dan sebagainya. Namun, seiring dengan pulihnya kondisi kekurangan pangan serta meningkatnya pendapatan rakyat, diversifikasi pangan kian sulit diwujudkan. Beras lantas menjadi andalan dan menjadi indikator utama simbol kemakmuran penduduk yang berdiam di bumi Indonesia.

Beras Sintetis Pada tahun 1964 itu pula ada usaha membuat bahan pangan pengganti beras dengan memanfaatkan tepung tapioka, kedelai, jagung, dan sebagainya. Hasilnya adalah beras sintetik yang disebut beras Tekad, singkatan dari Tela dan Kedelai. Wujudnya adalah bahan mirip beras, yang oleh sebagian rakyat dianggap sulit memasaknya karena lengket dan rasanya tawar. Bahan yang dibuat di Jawa Timur itu gagal diterima, bukan hanya karena masalah selera, tapi harga bahan plus ongkos produksinya lebih tinggi daripada beras yang harus digantikannya. Presiden Soeharto pada masa berikutnya berusaha memenuhi kebutuhan pangan, terutama beras dengan meningkatkan produksi antara lain melalui beragam program pembangunan berbasis pertanian diantaranya Bimas dan Inmas. Pada masa itu pula dikenalkan beras jenis PB IV dan PB V yang memiliki masa produksi yang sangat singkat yaitu tiga bulan, dibandingkan jenis konvensional yang memakan waktu lima hingga enam bulan. Produksi massal itu menunjukkan titik terang, kebutuhan pangan dalam negeri terpenuhi. Pemerintah pun terpacu untuk mengembangkan jenis beras sendiri dan mencari bibit unggul, karena PB IV dan PB V dianggap kurang enak rasanya. Usaha pemerintah pada waktu itu sangat berhasil sehingga untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, Indonesia berswasembada beras, sehingga Presiden Soeharto mendapat penghargaan FAO pada tahun 1985 di Roma. Akan tetapi, Presiden RI ke 2 ini juga menganjurkan diversifikasi pangan. Menjelang mundurnya pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengingatkan kembali pentingnya menggali kembali bahan pangan tradisional dahulu. Ia menunjuk perlunya membuat bahan itu dapat diterima orang di jaman sekarang, dengan mengambil contoh

membuat thiwul atau gogik instan. Bahan semacam itu sudah tersedia di supermarket, tapi secara kuantitasnya belum mampu menggeser peran beras, selain sekadar menjadi makanan ringan dan camilan. Menggali yang Terlupakan Banyak bahan pangan yang dulu dimanfaatkan oleh nenek moyang kita kini mulai dilirik kembali, namun umumnya bukan untuk keperluan diversifikasi pangan, melainkan guna meningkatkan nilai ekonomisnya. Tapioka atau tepung ketela pohon mulai banyak dipakai campuran mie, terutama akibat krisis ekonomi tahun 1997 lalu, di mana harga tepung terigu yang masih tergantung impor meroket. Tepung garut/kirut, atau arrow root, adalah salah satu sumber protein yang banyak dimanfaatkan nenek moyang mulai dilupakan, tersihir pesona beras. Bahan ini dulu terpuruk di semak-semak dan hutan belukar belaka. Namun belakangan, tepung garut dimanfaatkan untuk campuran biskuit bayi, cookies balita, oleh sebuah perusahaan makanan bayi terkenal. Selain itu sejumlah warga mengolah garut menjadi kripik yang bernilai ekonomis tinggi. Ubi juga mulai diolah dan dimanfaatkan untuk mie, roti, es krim dan sebagainya guna mendapatkan nilai ekonomis yang tinggi. Namun dari segala usaha itu, memang tidak mudah mengubah selera makan tiap-tiap orang sehingga diversifikasi pangan sesungguhnya sebuah pekerjaan besar yang di sana terkandung distribusi kesejahteraan, pemuasan akan selera, faktor psikologis, gaya hidup serta nilai ekonomisnya. Persoalannya sederhana: ketiadaan cara berpikir yang proporsional dalam menyikapi bahan makanan lain selain beras. (ji)


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

untuk membuat aneka makanan seperti kue kering, roti, kerupuk, mie, makanan bayi, dodol, kue black forest, brownies dan beberapa jenis makanan lain. Selain itu ternyata pati yang diberikan air lebih Ardi selalu mengeluhkan semakin mahal dan banyak tersebut dapat digunakan sebagai pemsemakin sulit dijangkaunya harga terigu. Bagi Ardi buat lem. dan beberapa karyawannya terigu merupakan nyawa usahanya. “Makin sulit mencari keuntungan dari Produksi Massal berjualan roti, harga bahan utamanya selalu naik, Untuk produksi skala kecil tepung dan daya beli masyarakat juga turun”, keluh Ardi. ganyong bisa diproduksi perorangan Untuk tetap bertahan Ardi mengakali dengan karena prosesnya relatif mudah. membuat kue buatannya dengan ukuran lebih kecil Pati ganyong diperoleh dan tetap dijual dengan harga yang sama, “ter- dari hasil ekstraksi umbi paksa menyusutkan ukuran hasil produksi”, tambah ganyong melalui pencuArdi. cian, pengupasan, peSebenarnya permasalahan itu tidak hanya dike- marutan, penyaringluhkan oleh Ardi semata, masih banyak pengusaha an, perendaman, home industry kue yang mengeluhkan, bahkan pengeringan, pengperusahanan besar dan perorangan. gilingan dan pengaHampir semua jenis makanan yang kita jumpai yakan. berbahan dasar tepung, dan setiap tahun konsumsi Memang tidak banyak yang tepung terigu terus bertambah. Untuk data tahun memproduksi tepung gayong sendiri, selain karena 2007 saja kebutuhan akan tepung terigu sudah belum banyak dikenal, Badan Bimbingan Masyamencapai 4,5 juta ton/tahun. Dan bahan utama rakat dan Ketahanan Pangan Pemerintah Kabupembuatan tepung terigu adalah gandum, sedang- paten Ciamis lebih mendorong kepada produksi kan kita tidak memproduksi gandum. Bahkan, saat massal yang nantinya dapat menggantikan posisi ini kita tidak hanya mengimpor gandum tetapi juga tepung terigu. “Setidaknya mengurangi impor tesudah mengimpor langsung tepung terigu dari Aus- rigu dan gandum”, jelas Maman Sukmana, Kasubid tralia, Sri Langka, Cina dan India. Pengembangan Konsumsi, Badan Bimas dan KetaDon’t worry to be happy, saat ini tanaman gan- hanan Pangan Ciamis. yong siap menggoyang terigu, melepas keterDalam masa percobaan yang dinilai sukses oleh gantungan terhadap pihak luar. Tanaman ganyong Maman, saat ini pabrik pengembangan tepung gaatau ganyol (bahasa sunda) atau arrowroot (latin) nyong yang berada di Desa Sindanglaya, Kecaadalah sejenis umbi-umbian yang mengandung ba- matan Panjalu, Ciamis, Jawa Barat telah mampu nyak karbohidrat. Untuk kebiasaan lama, umbi ga- mensuplai sebuah perusahaan makanan olahan nyong ini dimanfaatkan sebagai makanan cemilan sebanyak 4 ton per bulan. Oleh pihak perusahan dengan cara direbus atau dikukus, konon kan- itu tepung ganyong ini digunakan untuk produk dungan karbohidratnya dan seratnya tinggi. makanan bayi. Hasil olahan pati ganyong bisa dimanfaatkan “Sejauh ini tidak ada yang bisa mengeluh de-

ngan rasa, mereka tidak bisa merasakan bahan baku terigu atau ganyong”, jelas Maman. Ini menandakan ganyong sudah menyamai rasa hasil olahan terigu. Target pemerintah memang lebih luas, yaitu nasional, sehingga tidak hanya memberdayakan masyarakat setempat untuk memproduksi sendiri tetapi memberdayakan lahan kosong mereka untuk ditanami tanaman ganyong dan akan diproduksi masal untuk memenuhi kebutuhan nasional. Bahkan mereka bercita-cita tepung ganyong dapat diekspor. Untuk saat ini tepung ganyong diprioritaskan untuk bahan baku makanan, tapi kelak dan sedang berjalan berbagai penelitian pemanfaatan tanaman ganyong untuk industri farmasi. Bergaul Dengan Ganyong Beda cerita dengan Wiwin, staf Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Ciamis. Wanita cantik ini memegang amanah untuk mengetahui produk makanan apa saja yang bahan bakunya dapat digantikan dengan ganyong. “Itu tugas mudah dan menyenangkan”, ungkapnya. Memang, Wiwin hanya perlu mendatangi pembuat kue. "Saya biasa membawa beberapa kantong tepung ganyong esoknya tinggal menunggu laporan," jelasnya. Tapi ternyata tidak hanya laporan saja dikirim, kuenya pun juga ikut bisa dinikmati. Cara lain yang di gunakan Wiwin adalah dengan mengadakan lomba masak dengan bahan baku tepung ganyong. “Kita sediakan bahannya terserah peserta akan mengelolanya menjadi apa”, jelas Wiwin. Ternyata ibu-ibu sangat antusias, hasilnya berbagai macam kue dan hasilnyapun lumayan enak. Sudah ada beberapa home industry kue di Ciamis yang mulai menggunakan tepung ganyong sebagai bahan bakunya, dan harganya memang jauh dibawah tepung terigu yang berbahan baku gandum hasil impor. Dan memang terasa, goyangan tepung ganyong perlahan bisa menyaingi tepung berbahan baku impor.

>>

Tanaman ganyong atau ganyol (bahasa sunda) atau arrowroot (latin) adalah sejenis umbi-umbian yang mengandung banyak karbohidrat

>>

Pati ganyong diperoleh dari hasil ekstraksi umbi ganyong melalui proses pencucian, pengupasan, pemarutan, penyaringan, perendaman, pengeringan, penggiling, dan terakhir pengayakan, supaya halus.

(faridadewi@bipnewsroom.info)

Jurus Ampuh Ampuh Waluh dan Telo Membuka usaha makanan saat ini memang harus bersaing ketat. Apalagi bisa dikatakan pasar sudah jenuh dengan aneka jajanan instan. Tentu pilihan membuat makanan yang khas akan terkendala dengan ketersediaan bahan baku. Adalah Didik Supriyadi, SE, pemilik gerai penganan Bakpao Waluh di Malang, Jawa Timur telah menyiasati dengan cerdas. Pilihan Didik memang tepat. Hasil rintisan tiga tahun lalu atas waluh atau labu yang cukup banyak terdapat di sekitar tempat tinggalnya akhirnya membuahkan hasil. Waluh dijadikannya aneka jajanan mulai dari cake waluh, bakpao waluh, ice cream waluh, dan keripik waluh, bahkan juice dari waluh. Tampilan penganan ditata rapi di gerai yang berada di Jalan Raya Randu Agung, Singosari, Malang, Jawa Timur memang sangat menggugah cita rasa. Wajah bakpao lebih “ayu” dengan warna agak kekuningan. Ada beberapa jenis jajanan yang dibuat Didik dari bahan waluh, tapi bakpao waluh merupakan produk kue yang ditonjolkannya. Bahkan bakpao waluh yang dipopulerkan hampir setahun sedang diupayakan hak patennya. Ini dilakukan seiring permintaan pasar yang terus berkembang, selain upayanya yang ingin menjadi pengusaha profesional. Genjot Harga Petani Awalnya Didik membuat keripik ketela (ubi jalar). Usaha ubi tampaknya kurang berkembang, Didik lalu beralih membuat keripik waluh. Ternyata penjualan keripik waluh cepat berkembang. Dalam seminggu bisa menghabiskan waluh rata-rata 2 kwintal. Kini dengan aneka jajanan waluh, Didik dibantu isterinya, Hana menghabiskan waluh minimal 1 ton sebulan. Bantuan isterinya, membuat usaha Didik bisa

berkembang. Mungkin lantaran latar belakang pendidikan ekonomi yang ditempuh Hana. Meski waluh termasuk tanaman semusim tapi bisa disimpan sampai 6 bulan. Oleh karena itu, saat petani waluh di Singosari panen, Didik membeli waluh sebanyak-banyaknya sampai diperkirakan bisa habis ketika panen waluh berikutnya tiba lagi. Dengan kian majunya usaha jajanan waluh, harga waluh dari petani jadi terdongkrak. Padahal dulunya per kwintal waluh hanya Rp20.000, sekarang Didik membelinya dari petani Rp75 ribu per kwintal. “Dengan berkembangnya usaha ini, pendapatan petani waluh ikut naik, “ imbuh Hana ikut bangga. Paduan Bisnis dan Riset Jauh hari sebelumnya terobosan juga dikembangkan Ir. Unggul Abinowo, MS, MBA. Aktivis Kontak Tani Andalan Nasional dari Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur itu merasa peduli dan prihatin terhadap kondisi pangan yang tergantung dari luar negeri. Tanpa banyak bicara ia berhasil melakukan terobosan baru dengan membuat Bakpao Telo. Bakpao yang semula bahan bakunya dari terigu dan merupakan jajanan orang Tionghoa, kini diproduksi dengan bahan baku terigu dicampur ketela atau ubi jalar, dan semua kalangan masyarakat menyenangi. “Pembuatan Bakpao telo dikerjakan bersama LIPI dengan menggunakan bahan baku ketelo 60% dan terigu 40%”, kata Unggul Abinowo di Caf’e Sentra Pemasaran Agribisnis Terpadu (SPAD) yang terletak sebelah kanan jalan raya perbatasan Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang. SPAD dibangunnya pula untuk

mengatasi kesulitan pemasaran hasil-hasil pertanian beserta olahannya, sehingga memperoleh nilai tambah bagi petani di pedesaan yang hidupnya cukup memprihatinkan. Menurut Unggul, harga ubi jalar di pasar Rp450 per kilogram, sedangkan terigu Rp2.000 per kilogram. Dengan adanya subtitusi bahan baku terigu untuk mengolah bakpao tidak kalah bahkan lebih kenyal, sehingga banyak pengunjung yang datang ke Kompleks SPAD ikut membeli berbagai produk tersebut. Dari bahan baku ubi jalar tersebut di samping bakpao juga dibuat berbagai jenis pengolahan di antaranya mie telo, jahe telo, kripik telo dan lainlain. “Kami pernah memperoleh pesanan 10.000 ton tepung telo untuk diekspor ke Korsel”, ujar Unggul dengan bangga. SPAD yang dikelolanya pun juga membina petani magang dan Usaha Kecil Menengah. Di samping dapat menghemat devisa, usaha agribisnis ini dapat menampung tenaga kerja 150 orang baik yang bekerja di lahan usaha tani (on farm) maupun pemasaran dan pengolahan.

>>

Waluh dijadikan aneka jajanan mulai dari cake waluh, bakpao waluh, ice cream waluh, dan untuk minuman pun dibuatlah juice waluh, juga keripik waluh.

(mth@bipnewsroom.info)

5


PBB menyatakan bahwa perdamaian dunia terancam akibat kenaikan harga-harga bahan makanan yang terjadi di banyak negara. Menurut perhitungan PBB, sampai di awal tahun ini, secara global kenaikan harga makanan mencapai 35 persen. Dampak kenaikan ini sangat dirasakan oleh masyarakat di negara-negara berkembang, ketika sekitar 60 persen pendapatan mereka habis untuk membeli kebutuhan makanan, sedangkan di negara-negara maju, hanya 10-20 persen saja. "Secara alamiah, orang tidak akan berdiam diri untuk mati kelaparan. Mereka akan bereaksi," kata Jacques Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO). Untuk itu ia mengingatkan agar segera dicari jalan keluar dan dilakukan langkah-langkah cepat untuk mengatasi kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Diouf mengungkapkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan meroketnya harga makanan. Misalnya, harga benih jagung yang naik 36 persen dan harga benih gandum yang naik 72 persen. Sementara harga pupuk juga melonjak sampai 59 persen dan harga pakan naik 62 persen. Disamping itu, banyak analis yang menyatakan bahwa faktor kenaikan harga minyak dunia, sangat berpengaruh signifikan terhadap gejolak naiknya harga pangan dan berujung pada krisis pangan dunia. Siap Hadapi Ancaman Indonesia pun tak luput dari prediksi FAO sebagai negara yang rawan krisis pangan. Dalam pandangan Didin S. Damanhuri, ekonom asal Institut Pertanian Bogor, kerawanan itu adalah bukti nyata belum mandiri dan tidak berdaulatnya pangan nasional. "Ini disebabkan oleh berbagai faktor. Baik warisan produk kebijakan masa lalu dan dampak perkembangan kontemporer," ungkap Didin dalam Dialog Publik di Departemen Komunikasi dan Informastika, pertengahan April lalu. Akan tetapi, Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (BKP Deptan), Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS, menjamin bahwa Indonesia bebas dari krisis pangan. Dalam Dialog Publik tentang Ketahanan Pangan itu pula terungkap bahwa sebenarnya Indonesia adalah negara yang memiliki surplus ketersediaan beras. "Kini BKP Deptan sudah menggerakkan para petani daerah untuk melakukan diversifikasi pangan dengan mulai memperkuat konsumsi pangan lokal, seperti nasi jagung, tepung ganyong, bakpao ubi, sagu dan

sebagainya," tegas Kaman. Penasehat HKTI, Ir. Siswono Yudhohusodo bahkan menggelorakan semangat bahwa Indonesia sudah seharusnya bisa mendapat manfaat dari hasil-hasil pertanian serta produk budidaya lainnya. "Lahan yang subur dan alam yang berlimpah menjamin semuanya,hanya sayangnya rakyat Indonesia tidak mengolahnya dengan baik," ungkap Siswono. Kemiskinan dan Akses Pangan Tak berlebihan kiranya jika pemerintah senantiasa berupaya mengembangkan program diversifikasi pangan dan hasil pertanian berbasis pada masyarakat. Sebut saja Program Desa Mandiri Pangan yang berintikan pemberdayaan potensi pangan lokal. Lantas, jika masalah ketersediaan bukan menjadi masalah, lantas mengapa Indonesia diisukan ikut terseret krisis pangan dunia sebagaimana dilansir FAO? Kaman Nainggolan menengarai hal itu karena adanya indikator yang berbeda dari melihat masalah ketahanan pangan di Indonesia, "FAO menggunakan basis individu sementara pemerintah berbasis keluarga. Akan tetapi indikator ini memang tak masalah berbeda. Masalahnya justru pada masih adanya warga miskin dan akses terhadap pangan," jelas Kaman. Realitasnya, meski ada satu-dua kasus rawan pangan yang diekspose media massa, sebenarnya hal itu bukan berarti mereka tak bisa makan. Bukan lantaran krisis atau tidak tersedianya pangan, melainkan karena kemiskinan sehingga tidak mampu memilih dan memilah makanan yang bergizi cukup. "Jika dirunut, terdapat 14 variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan diantaranya: produksi lokal, pangan domestik, buta huruf, pendapatan, kesehatan ibu, pengetahuan perempuan, dan itu semua saling berkaitan," jelas Kaman. Melalui kampanye dan pendampingan di Desa Mandiri Pangan itulah, pihaknya menurut Kaman akan memberdayakan masyarakat agar terbebas dari rawan pangan dan tidak miskin lagi. Dana Bergulir Mandiri Dana yang diberikan kepada Desa Mandiri Pangan sebesar 80 juta, berupa dana bergulir. "Tahun pertama, adalah tahun persiapan. Mereka tak diberi dana tapi didorong untuk mengembangkan diversifikasi pangan berdasar potensi lokal," tegas Kaman. Tahun berikutnya, tahun kedua, adalah pertumbuhan. Disini mulai dilihat adakah perubahan dalam desa itu. "Baru di tahun ketiga kami memberikan bantuan bergulir yang dikelola kelompok. Tahun keempat stop, bapak tidak ada bantuan jadi harus bisa sendiri," jelas Kaman panjang lebar. Hasilnya cukup menggembirakan, di Kecamatan Bubulan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur misalnya, ada yang men-

K

alau disuruh memilih, seluruh warga desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, pasti akan mantap menjawab, tidak mau menjadikan desanya sebagai Desa Mandiri Pangan (Desa Mapan). Betapa tidak, kriteria utama penerima bantuan dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebesar Rp80 juta adalah sekitar 30% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Siapa mau dicap sebagai kawasan miskin, begitu pikir warga Dlingo. Meski realitasnya ada warga yang tak bisa mengumpulkan Rp150 ribu per bulannya. Sehingga tak bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Wajar, siapa juga yang mau jadi warga miskin. Saat ini, menurut data BPS 2006, tercatat 825 desa yang berkategori layak “menyandang predikat” sebagai Desa Mapan. Bahkan di Desa Muntuk yang berpenghuni sekitar 2 ribu kepala keluarga (KK) masih terdapat 1.628 KK atau 80% yang tergolong keluarga miskin. Wilayahnya pun juga kekurangan air sehingga mempersulit tumbuhnya berbagai jenis tanaman pangan. Ditambah dengan gempa bumi yang menghancurkan hampir seluruh bangunan, desa ini berkategori wajib untuk diprioritaskan menerima bantuan Desa Mapan 2006. “Kalau di KTP (kartu tanda penduduk-red) memang kerjanya petani. Tapi musiman, kalau ada hujan saja. Air di sini sulit, tanahnya pun tak produktif. Sulit nanamnya. Penduduk banyak yang beralih ke kerajinan,” jelas Kelik Subagyo (34) Lurah Desa Muntuk ketika ditemui KomunikA. Dikelola Warga Jumlah bantuan BKP ini memang jauh dari angka cukup untuk mampu mengangkat 1628 KK dari kemiskinan. Sulit membantu ketertinggalan sebuah desa dari ketidakmampuan memenuhi kebutuh-

dirikan warung dengan membayar bunga 1,5 % per bulan dari pinjaman bergulir. "Nah, ketika mereka berdaya secara ekonomi, perlahan masalah pangan juga akan mengikuti. Itu harapan kami," imbuh Kaman Nainggolan. Hal senada juga dijelaskan Ir. Gayatri, Kepala Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan (BBMKP), Provinsi Jawa Tengah. Menurutnya, program mandiri pangan di daerahnya sudah ditindaklanjuti oleh Gubernur untuk dilaksanakan di tingkat kabupaten. "Gubernur mendorong agar kabupaten juga menambahi dana dari APBD agar pelaksanaan program ini terlaksana dengan merata. Kita pun juga perlu pemerintah kabupaten terus mendukung program ini," tutur Gayatri. Diversifikasi Yang Mandul? Program diversifikasi pangan, lewat Desa Mandiri Pangan atau semacamnya memang harus senantiasa menjadi prioritas pemerintah, terutama di daerah, apalagi Indonesia sangat kaya dengan tradisi diversifikasi pangan. Di Maluku dan Papua sudah lama terdengar mempunyai tradisi makanan pokok sagu dan ubi. Namun, sayangnya saat ini hanya 30% penduduk Maluku dan Papua saja yang masih mengonsumsi sagu dan ubi, sebagian besar malah sudah mengonsumsi beras. "Hal itu bisa terjadi lantaran anggapan umum yang semakin dipopulerkan media massa, bahwa kalau orang Indonesia tidak makan nasi, belum dinamakan makan, perutnya belum puas!” cetus Kaman Nainggolan (lihat juga Wawancara halaman 8, red.). Orang Maluku dan orang Mentawai dulu makan sagu sebagai makanan pokok. Semuanya memang sudah berubah kini. Masyarakat menganggap nasi lebih berbudaya dibanding ubi, sagu, maupun jagung. Akibatnya, bangsa Indonesia yang sudah tidak mampu lagi swasembada beras, terpaksa harus mengimpor beras dalam jumlah besar. "Bicara ketahanan pangan, perlu disadari bahwa kita terlalu berat konsentrasi pada beras. Akibatnya produk pangan lain tak diperhatikan. Di Magelang saya juga melihat ada seisi satu desa makan tiwul, toh sehat-sehat tak bisa dikatakan mereka tertinggal. Saya kira kita perlu kembangkan diversifikasi pangan," tegas Siswono berulang kali dalam setiap kesempatan. Lebih lanjut Siswono menegaskan bahwa jika tidak bisa mengurai ketergantungan terhadap beras bisa jadi identitas sebagai importir beras akan tetap melekat sampai kapan pun. Dan tengara FAO pun akan menemukan muara pembenarannya. Komitmen Kebijakan Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau daya beli masyarakat. Penganekaragaman pangan merupakan suatu hal yang harus ditingkatkan sejalan dengan teknologi pengolahan, yang bertujuan menciptakan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Dalam mewujudkan ketahanan pangan, masyarakat bisa ber-

an pangan. Tapi warga desa Muntuk bukan warga yang mudah putus asa. Empat tahun waktu yang diberikan pemerintah untuk mengelola dana tersebut secara mandiri dengan dibantu oleh seorang pendamping program dipandang cukup untuk menuntaskan masalah pangan. “Kita buat survei kecil-kecilan untuk semua warga. Saya sampai malu nanyanya, ngorek rumah tangga orang. Bapak beli baju berapa kali setahun, uang belanjanya berapa, lauknya apa. Tapi ya harus gitu. Akhirnya dapat 40 kk yang akan mendapat prioritas. Warga pun sepakat, karena kasat mata saja mereka miskin,” ungkap Joko Widodo, petugas pendamping dari BKP untuk membantu pelaksanaan Desa Mapan di Desa Muntuk. Setelahnya, dibentuklah lima buah Kelompok Mandiri Pangan (KMP) yang bergerak di bidang yang berbeda, kerajinan; perikanan; pengolahan; perdagangan; dan peternakan. Jenis usahanya disesuaikan dengan keadaan alam dan potensi desa. Untuk pengelolaannya dibentuk lembaga keuangan desa KMP yang akan mengatur bantuan dana tersebut yang berupa pinjaman bergulir dengan bunga lunak sebesar 0,5% pada tahun pertama dan 1% pada tahun berikutnya. Menurut Widodo, pada awalnya warga mengajukkan angka nominal yang cukup tinggi dalam pengajuan proposal bisnis mereka. Namun, berdasarkan kesepakatan dan survey kelayakan bisnis, angka kredit yang digelontorkan rata-rata Rp.700 ribu – Rp.5 juta. Dan tentu saja, bantuan yang diberikan tak hanya sebatas modal saja. Pun juga dengan pembinaan, pelatihan, dan penyuluhan dari instansi terkait. Simak saja pengakuan Emi (34), yang mendapat bantuan kredit Rp3 juta. Dalam dua tahun, berawal dari sebuah kolam lele seluas 36 m2, kini ia memiliki 11 kolam dengan luas keseluruhan 3540 m2. “Soal pangan, ada penyuluhan dari dinas terkait. Pun kadang ada bantuan bibit. Ada lagi soal sulitnya air. Sekarang alhamdulillah terselesaikan,” kata pengurus KMP perikanan Desa Muntuk ini menjelaskan. Ada juga Jariyah (28), yang juga mendapat pinjaman Rp3 juta pada tahun kedua penyelenggaraan Desa Mapan. Saat ini, ia telah memiliki seribu ekor burung puyuh dari sebelumnya hanya 500 ekor yang didapatnya dari dana pinjaman tahun sebelumnya.


peran dalam arti luas, misalnya melaksanakan produksi, perdagangan dan distribusi pangan, menyelenggarakan cadangan pangan serta melakukan pencegahan dan penanggulangan masalah pangan. Ketahanan pangan diwujudkan pula melalui pengembangan sumber daya manusia dan kerjasama internasional. Bagi 60 persen penduduk Indonesia di perdesaan, kebutuhan pangannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan (food insecurity). Beberapa daerah di Jawa Tengah misalnya, ada yang mempunyai tradisi makanan lokal dari jagung. Mereka mempertahankan identitas makanan lokal jagung," kita mendorong untuk mempertahankan tradisi makan jagung, karena sangat sesuai dengan program diversifikasi pangan yang sedang digalakkan Badan Ketahanan Pangan," imbuh Ir. Poedji Widodo, MS dari Badan Bimbingan Massal Ketahanan Pangan Jawa Tengah. Persoalan kebijakan dan political will memang sangat krusial. "Ketika tidak ada kebijakan pangan yang tepat maka kita tergiring menjadi pemakan roti yang bahannya gandum. Bahan yang tak bisa diproduksi di dalam negeri sendiri," terang Siswono Yudhohusodo. Kisah dari Magelang menunjukkan bagaimana keterpaduan kebijakan dan kebutuhan masyarakat. Menurut Poedji Widodo, setelah Magelang mendapat dana stimulan dari APBN 80 juta rupiah, ditambah kucuran dana APBD 100 juta rupiah, masyarakat pun sudah bisa berubah. Akan tetapi, mene-

rapkan kebijakan di lapangan memang tak mudah. "Kita senantiasa berhadapan dengan perilaku masyarakat yang menganggap bahwa produk pangan tertentu sangat tidak layak dan hanya menjadi milik orang miskin saja," kata Kepala Bagian Humas Setda Kabupaten Malang, Drs. Kukuh Banendro. Akhirnya apa yang terjadi, ketika pemerintah berupaya menggalakkan pangan alternatif yang terjadi adalah resistensi dari masyarakat. Bahkan ada yang sekadar membuatnya sebagai oleh-oleh saja, bukan menjadi pengganti beras. Sekali lagi, setiap daerah di Indonesia memiliki makanan pokok lokal yang kandungan karbohidratnya tak kalah dengan beras. Akan tetapi beras masih tetap jadi primadona. Jagung, sagu, singkong, ubi jalar, dan kentang mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Tak hanya itu, talas dan pisang pun tak kalah lezatnya bila pandai mengolahnya. Apalagi jika ditambah makanan penyerta dan pelengkap yang pas, hidangan tersebut tak kalah enak atau mungkin juga mengalahkan popularitas nasi. "Kita bisa memulainya dari keluarga kita dulu, makan singkong dan lain, kita malah berdosa kalau tak manfaatkan

produktivitas kita di rumah, cake itu buat bahan singkong, saya kasih tahu akhirnya biasa," cerita Kaman Nainggolan. Memang semuanya bermula dari kebiasaan. Akan tetapi mengubah kebiasaan itu bukan hal yang mudah. Sekalipun untuk memperoleh pangan alternatif kita hanya cukup menggapainya tak perlu repot-repot mengimpor dari berbagai negara lain di belahan dunia. Dan orang yang hidup di Indonesia memang tidak perlu takut untuk tidak dapat makan. Potensi di sekitar kita sangat banyak. Tinggal memanfaatkan saja potensi lokal yang ada. Ibarat cukup menggapai saja sudah bisa mendapatkannya, tak perlu bersusah payah mengeluarkan sumber daya yang tidak seimbang untuk mendapatkan gizi yang cukup buat tubuh. Dan akhirnya, dalam kertahan pangan, pemerintah bukan aktor tunggal. Apalagi Peran masyarakat juga besar untuk menjadi konsumen yang cerdas dengan tidak sekadar tergantung dengan satu jenis produk saja. Tak jauh-jauh, itu semua ada di sekitar kita. viddy a. daery/mth

Perekonomian Boediono.

Orang bilang tanah kita tanah surga, batang kayu dan batu jadi tanaman.

Bukan Tanpa Masalah Program Desa Mapan memang baru berjalan kurang dari 2 tahun di desa Muntuk. Bukannya tanpa kegagalan, masih ada saja masalah pemasaran produk, bibit, teknologi pengemasan. “Saat ini, kendala utama yang muncul adalah sulitnya pemasaran hasil produksi. Pasarnya belum terbuka luas. Belum lagi bahan baku yang mahal diitambah tengkulak yang berkeliaran. Butuh bantuan banyak pihak,” ungkap Ketua Lembaga Keuangan KMP Desa Muntuk, Lilik Wigiono (30). Memang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama cukup berat. Tak cukup hanya satu program dan satu instansi saja yang harus mengentaskan kemiskinan di Desa Muntuk ataupun desa-desa lainnya di seluruh Indonesia. Kini, 60 orang kepala keluarga di desa Muntuk sudah bergabung dalam pinjaman lunak Program Desa Mapan. Ada pula program pengentasan kemiskinan serupa dari instansi pemerintahan lainnya. Tak kurang dari enam program bergerak di Desa Muntuk. Mulai Community Development Mengentaskan Kemiskinan (CDMK) Pemkab Bantul; PUAD Departemen Pertanian; AKSK dari Dinas Sosial Kabupaten Bantul; PEKM dari BKKBN; PNPM dari Depdagri; dan program dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi. Semua bekerja bahu membahu mengembangkan inisiatif warga masyarakat lokal. (dimas@komunika.web.id)

Kini Indonesia tidak lagi seindah yang digambarkan dalam lagu yang populer di tahun 70-an itu. Resesi Amerika Serikat dinilai banyak pihak bukan tidak mungkin akan menciptakan resesi global dan pada akhirnya menghancurkan stabilitas pangan. Lalu apa yang harus dan sudah dilakukan oleh pemerintah? Beberapa waktu silam, 27 Januari 2008, mantan presiden RI ke-2 HM. Soeharto mangkat. Banyak kisah dan wacana yang bermunculan mengiringi kepergian the smiling general. Menariknya ada yang mengungkit peran "Bapak Pembangunan" itu di bidang pertanian. Dalam liputan di berbagai media elektonik ada yang mengungkapkan bagaimana pembangunan berbagai waduk, irigasi, dan pabrik pupuk untuk mencapai swasembada beras. Hingga puncaknya pada tahun 1984 Indonesia pun dapat mewujudkan swasembada beras dan mendapat pengakuan lembaga pangan dunia, FAO pada tanggal 14 November 1985. Perbincangan perihal ketahanan pangan seringkali dikaitkan kembali dengan kisah sukses swasembada beras di tahun 80-an itu. Padahal, situasi dan kondisi nasional, regional, bahkan dunia internasional telah jauh berbeda. Apakah pemerintah tak melakukan sesuatu? Antisipasi Krisis Ketika tanda-tanda kenaikan minyak dunia dan dampaknya terhadap harga pangan mulai terlihat, pemerintah sudah mempersiapkan paket kebijakan stabilitas pangan. Sejak awal, instabilitas harga pangan bisa diprediksi sebagai dampak resesi Amerika Serikat. Dalam dari Sidang Kabinet Terbatas di Departemen Pertanian pertengahan Januari lalu, Presiden Yudhoyono menekankan kembali pentingnya stabilitas harga bahan pangan dan kesejahteraan petani. Presiden mengatakan pemerintah akan selalu memprioritaskan ketahanan pangan pada tahun 2008.“Langkah-langkah yang dilakukan tahun lalu yang berhasil untuk menambah produksi beras sejumlah 2 juta ton, akan terus dilanjutkan sehingga terdapat stok beras dan menambah produksi beras di seluruh Indonesia untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga negara Indonesia,” jelas Presiden Yudhoyono. Di dalam sidang tersebut juga dibahas pengembangkan infrastruktur bidang pertanian. Presiden berharap Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum dan pemerintah daerah dapat melakukan sinkronisasi pembangunan irigasi, waduk, serta lumbung untuk meningkatkan ketahanan pangan. Selain itu, Presiden juga menggarisbawahi pentingnya penyaluran kredit bagi usaha pertanian. “Kita harus memberikan bantuan subsidi pupuk dan benih kepada para petani sehingga mereka bisa meningkatkan hasil produksi. Juga bantuan langsung apabila ada kegagalan panen,” jelas Presiden. Untuk lebih menjamin terlaksananya paket kebijakan stabilitas pangan yang dicanangkan, Presiden juga menjaring masukan dari dunia usaha. Dalam dialog yang digelar di Istana Presiden akhir Januari, Presiden menekankan perlunya sinergi antara paket kebijakan pemerintah tentang pangan dengan pengusaha. Pada kesempatan lain, Menko Perekonomian Boediono juga senantiasa menyebut beberapa paket kebijakan pengamanan bahan pangan. “Beberapa kemungkinan menghilangkan beban-beban perpajakan, bea masuk, tata niaga yang menghambat. Ini semua akan kita hilangkan,” ujar Menko

Stabilisasi Harga Pangan Dari kawasan Lapangan Banteng, setiap seminggu sekali para pemegang kebijakan yang berkaitan dengan pangan berkumpul. Mereka membahas berbagai kebijakan untuk mendukung upaya stabilisasi harga pangan. Secara makro, pemerintah pun menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp13,7 triliun. Stimulus itu berasal dari penambahan belanja, karena tambahan subsidi pangan Rp 3,6 triliun dan berkurangnya penerimaan negara akibat kebijakan membebaskan bea masuk dan pajak yang ditanggung pemerintah Rp10,1 triliun. Sementara itu kebijakan subsidi juga tetap diambil. Subsidi pangan yang terdiri dari subsidi beras bagi rakyat miskin Rp2,6 triliun, operasi pasar minyak goreng Rp0,5 triliun dan bantuan langsung bagi perajin tempe dan tahu Rp0,5 triliun. Departemen Keuangan pun mengeluarkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK), antara lain penurunan besaran pajak penghasilan (PPh) impor kedelai, gandum dan tepung terigu, dari 2,5% menjadi 0,5%. Selain itu juga penetapan jenis barang ekspor tertentu dan besaran tarif pungutan ekspor untuk produk kelapa sawit, CPO, dan turunannya, yaitu dari 10% menjadi 15%. Ini berlaku bila harga di pasar dunia di atas US$ 1.100 per ton. Pada bulan Februari, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan untuk memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga Rp25 triliun. Rincian pemotongan subsidi terdiri dari subsidi khusus tiga jenis produksi BBM seperti premium, minyak tanah dan minyak solar Rp10 triliun. Juga termasuk penghematan subsidi BBM di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp10 triliun. Sedangkan untuk menambah anggaran stabilisasi harga kebutuhan pokok, akan ada potensi tambahan dari pendapatan pertambangan umum serta minyak dan gas sebesar Rp5 triliun. Tak Sekadar Janji Langkah antisipatif berupa paket kebijakan untuk menciptakan stabilisasi pangan yang diumumkan oleh pemerintah mendapatkan tanggapan beragam. Banyak yang menilainya sebagai langkah yang menjanjikan, tapi banyak juga yang menilai hanya sebagai kebijakan yang bersifat menghibur saja? Menurut Kepala Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Adiningsih, pemerintah harus berkaca dari pengalaman sebelumnya, ketika berbagai paket kebijakan yang diluncurkan selalu mandek dalam pelaksanaannya. “Pengalaman selama ini telah banyak mengajari kita, paket kebijakan sudah banyak yang diluncurkan tapi dampaknya belum kelihatan,” ujar Sri Adiningsih. Berbagai langkah tersebut dinilai Sri Adiningsih cukup menjanjikan karena dapat meminimalisir beban masyarakat. Namun, keseriusan pemerintah dipertanyakan mengingat selama ini paket tersebut hanya dibuat sebatas wacana.“Stabilitas harga pangan harus disikapi secara hati-hati, karena dapat menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Belum lagi masalah kebocoran yang biasanya juga terjadi jika ada berbagai subsidi, termasuk menentukan siapa penerimanya, bisa salah sasaran,” kata Adiningsih. Ia pun memberi contoh paket kebijakan revitalisasi pertanian yang masih tidak jelas sasarannya. Padahal, jika paket yang diluncurkan pemerintah itu berhasil, ketahanan pangan nasional akan lebih kuat, sehingga masalah stabilisasi pangan dapat dihindari. Pada akhirnya, menurut Sri Adiningsih, pemerintah juga harus memberikan jaminan pasar dalam bentuk kepastian harga dan pem-belian produk, kebijakan yang kompetitif dan yang paling penting konsistensi dalam implementasi paket kebijakan. (Gilang Permadi dari berbagai sumber)


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

K

asus gizi buruk ramai di liputan media seolah menggugah memori kolektif bangsa ini. Bagaimana tidak, Indonesia pernah dikenal pernah berswasembada beras pada akhir 90-an. Apakah sudah separah itu tingkat ketahanan pangan bangsa ini? Apa penyebabnya dan bagaimana langkah pemerintah mengatasi hal itu? Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP), Departemen Pertanian (Deptan), Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS mengurainya panjang lebar dalam wawancara dengan KomunikA di kantornya, kawasan Ragunan beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya :

Indonesia rawan pangan. Menurut Anda? Pertama kita pahamkan dulu ke masyarakat tentang arti ketahanan pangan. Tak hanya sebatas ketersedian pangan saja. Menurut FAO, ada tiga dimensi. Pertama adalah ketersediaan pangan, bisa diproduksi dalam negeri ataupun kekurangannya diimpor dari luar negeri. Tapi karena Indonesia menganut asas kemandirian pangan, kita dorong sebanyak-banyaknya dipenuhi dari dalam negeri. Kecuali jika kita tidak bisa produksi. Kan , tidak ada negara yang bisa memenuhi semuanya sendirian. Kita bukan jagoan. Amerika saja masih mengimpor daging sapi dan gula. Pastinya semua negara akan take and give. Kedua adalah masalah distribusi. Untuk menyebarkan pangan secara merata. Nah, di Indonesia itu unik juga, ada lebih dari 17.000 pulau. Kalau distribusi tidak baik, ya susah juga. Misal panen di Jawa, tapi di daerah Timur sulit, tapi karena alur distribusi kurang bagus, ya susah juga. Ada masalah pengangkutan, kondisi jalan, dan sebagainya. Kompleks. Ketiga adalah aksesibilitas atau konsumsi. Akses itu ada akses fisik dan yang terutama adalah daya beli. Kita gak bisa bilang menyediakan pangan yang murah. Itu salah. Yang menyediakan pangan itu kan petani, mereka juga rakyat miskin. Bahkan lebih miskin dari pengrajin tempe. Nah petani kita ada 21 juta keluarga. Kalau dihitung dengan istri dan tiga anak, berarti ada lebih dari 100 juta kalangan petani dan mereka itu juga rakyat miskin. Hanya saja mereka itu silent majority, diam saja. Apa yang mau saya katakan adalah kita harus menimbang-nimbang. Nah kalau kita menuntut pangan yang murah, petani itu lebih baik menjadi tukang batu di kota-kota. Sebaliknya kalau mahal, juga sulit diakses. Harus ada kebijakan yang mengakomodir itu semua. Banyak opini berkembang mengenai kebijakan pemerintah yang kurang memihak para petani? Hal itu mungkin ada benarnya. Tapi kami dari Deptan semangatnya adalah meningkatkan produktivitas. Jika produksi meningkat maka harga jadi tidak terlalu tinggi. Dalam kebijakan pangan strategis kami coba prioritaskan ketersediaan lima bahan pangan yaitu beras, kedelai, jagung, gula, dan daging sapi. Kebijakan seperti apa? Misalnya seperti kebijakan subsidi pupuk. Memang dananya di Departemen Keuangan, keluar dari Deptan, tapi tidak masalah. Intinya untuk upaya mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian. Budget untuk agriculture. Ada juga dana yang di dalam Deptan, misal subsidi bibit padi, kedelai, jagung. Ada lagi subsidi kredit seperti gula dan peternakan.

8

Selain Subsidi? Ada yang namanya KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) bayar suku bunganya 8% per tahun untuk petani tebu, nontebu 7% per tahun. Subsidi bunganya bisa sampai Rp500 miliar. Yang paling ampuh kan subsidi input, kalau output terlalu mahal. Kemudian kebijakan tentang pengaturan harga gabah. Kebijakannya diatur dalam Inpres No 3/2007, harga pembelian pemerintah (HPP). Jadi

harga minimal Rp2 ribu, lalu beras minimal Rp. 4 ribu. Tapi jangan disalah persepsikan bahwa pemerintah semua yang membeli. Jangan salah kaprah. Kalau begitu mana ada uangnya. Nah kalau harga pasar di bawah Rp2 ribu, Bulog diwajibkan membeli dengan standar kualitas yang telah ditetapkan. Kalau gabahnya basah, tentulah harganya di bawah Rp2 ribu. Ini fair bussiness. Tapi kebanyakan rakyat juga sudah tahu, jadi dikeringkan dulu.

Ada kendala? Kita bicara fakta, luas tanah petani kita ratarata hanya 0,21 hektar per petani. Sedangkan areal nonsawah seperti tegalan dan ladang hanya 0,51 hektar. Hal itulah yang membuat kendala produksi dan kesejahteraan petani. Bagaimana mau

sejahtera dengan luas tanah sekecil itu. Saya selalu katakan, minimal harus ada 2 hektar untuk seorang petani. Solusinya? Ya, harus didorong keluar Jawa.

Keluar Jawa? Ya, harus ada variabel transmigrasi. Ingat, produksi padi kita itu 60% di Jawa. Sehat atau tidak sehat. Logikanya, Papua dan Irjabar masih kekurangan penduduk. Saya sudah pernah ke Kalimantan Barat, di sana dibangun irigasi yang sangat bagus, tapi tidak ada penduduknya. Transmigran balik lagi ke daerah asal. Mereka bilang, sulit air, hanya mengandalkan air hujan. Sekolah juga belum ada. Nah, Pekerjaan Umum (PU) harus masuk di sana, bangun infrastruktur. Lihat, dua variabel saja sudah rumit. Masalah pangan ini tidak semata masalah Deptan, kompleks dan butuh dorongan banyak pihak. Rawan pangan identik dengan beras? Salah itu. Menurut ahli gizi yang dinamakan rawan pangan adalah tidak mencapai minimal 70% kalori kebutuhan badan yang idealnya 2000 kalori. Dan itu berlangsung dua bulan atau lebih, hingga efeknya turun berat badan serta busung lapar. Kami tidak menampik bahwa kelompok itu memang ada, angkanya 2,5% dari total penduduk. Di tahun 2006 jumlahnya 5 jutaan, sekarang turun 4,1 juta. Dari dulu memang ada. Pemerintah juga senantiasa mengupayakan pengurangannya. Cuma masalahnya orang seringkali melihat satu kejadian sebagai kasus besar. Mohon maaf, bila ada kasus orang makan nasi aking, mungkin saja itu adalah the poorest of the poor. Orang miskin kita kan ada 16,58%. Tapi secara umum, peta hunger reduction FAO 2006, progress Indonesia bagus sekali. Kita strong progress. Ini FAO yang menilai, tapi kita malah saling menyalahkan.

menyebutkan demikian. Dan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan makro, semisal alokasi anggaran, pengaturan secara nasional. Begitu kita menyentuh lokalitas, itu kewenangan daerah. Kalau ada persoalan itu tanggung jawab bupati atau walikota, yang lebih spesifik. Kalau ada di beberapa kabupaten, baru gubernur koordinasi. Di tingkat nasional jika tak jalan, boleh menteri jadi terdakwa. Seperti misalnya ada Askeskin, pemerintah sudah mengalokasikan, tinggal pemerintah daerah yang koordinir. Sistemnya sudah jelas.

Upaya stabilisasi harga pangan? Stabilitas harus ada stok yang kuat. Tentu tidak semua komoditi kita harus punya. Kita hormati pasar juga. Kita coba hidupkan lumbung-lumbung desa. Dana Alokasi Khusus juga bisa dibuat untuk

hal itu. Mendorong ketersediaan pangan strategis.

Ada yang bilang kita bisa ekspor? Beras kita tahun 2007 naik 4,8% dari 2006. Kalau dihitung masih surplus. Tahun ini angka ramalan BPS juga naik 58,72 juta ton gabah, kalau dihitung sekitar 32 juta ton beras. Yang kita makan hanya 31 juta ton beras. Belum lagi ada stok, masih surplus kita. Apalagi untuk rakyat miskin ada Raskin, yang dapat 19,1 juta KK. Meski masih banyak keluhan kualitas? Itu soal lain lagi. Itu masalah teknis, nanti yang bicara Bulog. Kita bicara saat ini, sudah ada kebijakannya. Kalau soal implementasi, ya memang harus ditingkatkan. Agar kalau ada yang tanya, “bikin dong kebijakan�. Ya ini sudah ada. Implementasinya ya sabarlah, apalagi sekarang masa otonomi. Harus cerdas koordinasi ke daerah. Gak bisa instruksional. Butuh kesepahaman dengan daerah. Apa pesan untuk pemerintah daerah ? Pemerintah harus rajin-rajin datang ke desa menengok, mendorong pembangunan pertanian perdesaan. Untuk mewujudkan hal tersebut harus mendorong infrastruktur ke pedesaan. Jangan digerecokin bilang uangnya gak ada. Ada! DAK (Dana Alokasi Khusus, red) 21 triliun untuk 451 kabupaten kota pada 2008 dan terus kontinyu. Tolong itu dimanfaatkan. Saya minta dipadatkaryakan, jangan dikontrak-kontrak. Karena uangnya akan berputar di desa itu juga. Dan pastinya juga lebih hemat. Kuncinya adalah job generation. Satu juta satu tahun pekerjaan, gak susah itu. Di sanalah sumber

Tingkat lokal apakah ada data? Di desa-desa sumber kemiskinan, ya ada kasus juga, walau di sana adalah produksi pangan. Tapi karena rawan daya beli. Terlebih cita rasa lidah kita lebih banyak beras. Padahal singkong banyak serta murah. Karena itu kita buat Desa Mandiri Pangan. Supaya dipahamkan masyarakat, produksi sebenarnya meningkat. Ada 70 jenis umbiumbian. Orang desa mudah kok berubahnya, soal pangan. Cita rasa? Ya, cara berpikir kita dipengaruhi lidah yang menilai makan singkong itu hina. Masalah mind set aja. Kadang pers membentuk mind set tersebut di kalangan masyarakat. Ini yang harus diubah. Kalau masyarakat makan singkong, jangan diejek. Ini masalah budaya. Rakyat Madura itu makan jagung, kenapa pula dipromosikan makan nasi. Seperti di kampung Cirendeu sejak 1924 sudah makan ampas singkong. Coba apa kata orang kota, kelaparan mereka. Silakan cek apakah ada yang kena gizi buruk. Tidak ada, karena memang gizinya cukup. Banyak tersedia dan harganya murah. Melalui Desa Mandiri Pangan (Mapan), kami mencoba mengubah mind set bahwa pangan tidak harus beras. Sekarang 825 desa yang dikembangkan untuk empat tahun.

Bagaimana peran pemerintah daerah? Sangat krusial. Seharusnya ini tanggung jawab pemda. Bukankah UU tentang otonomi daerah

pengangguran karena tidak ada pekerjaan. Bangun infrastruktur, mulai dari perairan dan air minum, dan terus bergulir. (dimas@bipnewsroom.info)

Kepala Badan Ketahanan Pangan

Dr. Ir. Kaman Nainggolan, MS


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Perkampungan ini terletak di puncak bukit, semakin ke bawah perumahan kian padat. Satu rumah dengan yang lainnya seolah saling menempel. Saking padatnya, untuk menelusuri jalanan di kampung ini jauh lebih mudah dengan berjalan kaki. Selain banyak gang kecil, kontur jalannya pun naik turun. Kampung Cirendeu ternyata mulai banyak dikunjungi banyak orang dari berbagai kalangan, karena mempunyai keunikan sendiri. Perkampungan adat Cirendeu terdiri dari 1 RW dan 5 RT dengan luas area perkampungan sekitar 2 hektar. Dengan jumlah penduduk sekitar 500 jiwa ini memiliki 2 agama, yaitu Islam dan kepercayaan adat. “Meski berbeda kami tetap dapat hidup berdampingan”, ucap Rokayah (46). Rokayah adalah istri dari Ketua RW 10, Kampung Cirendeu, kelurahan Lewihgajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat. Kampungnya Rasi Dalam kehidupan sehari-hari warga adat mereka tidak memakan jenis padi-padian. Menurut tokoh Kampung Cirendeu dan juga kepala RT 03, Widia (45) sebenarnya tidak ada pantangan itu halal atau haram, hanya memang warga adat tidak berminat untuk mencicipi jenis nasi ataupun ketan. Bahkan sejak lahirpun mereka tidak pernah dikenali dengan jenis padi-padian, mereka cukup diberikan tepung terigu yang dicampur dengan air dan susu. Menurut Widia, dahulu dimasa penjajahan bangsa Belanda warga kampung ini sempat merasakan kesulitan mencari beras. Harga beras diluar jangkauan daya beli masyarakat setempat, dan kemudian timbul inisiatif warga untuk menggantikan bahan pokok tersebut dengan olahan singkong. “Masa itu telah berlangsung kurang lebih 4 generasi dimulai sekitar tahun 1924”, jelas Widia. Dan sekarang ke dua cucunya pun masih diturunkan untuk memakan rasi, dan dia berharap kebiasaan ini dapat terus di jaga oleh anak-cucu hingga cicitnya nanti. Rasi adalah sebutan untuk hasil olahan berbahan dasar singkong yang menggantikan beras. Meski Widia bukan salah satu petani singkong namun dia sangat mengerti benar cara pembuatannya, ya karena memang setiap rumah bisa

Desa Mangli, Kecamatan Kali Angkrik, Kabupaten Magelang merupakan salah satu desa di Jawa Tengah yang dijadikan sebagai lokasi program mandiri pangan. Mangli terletak di lereng gunung Sumbing. Lebih dari 1.200 meter di atas permukaaan laut. Dari Magelang, perjalanan banyak melewati tanjakan dan tikungan. Pepohonan meski jarang tetapi banyak pemandangan hamparan tanaman jagung dan sayur mayur di antara perbukitan. Dan jagung memang merupakan makanan pokok warga desa Mangli. Menurut data tahun 2007, desa ini memiliki 484 KK dan dari jumlah ini sebanyak 62%-nya warga miskin. Oleh karena itulah maka desa ini masuk program mandiri pangan. Menurut Survey Ramah Tangga tahun 2007, 99% warga desa Mangli makanan pokoknya nasi jagung. Mayoritas warga bekerja sebagai petani dan buruh tani. Namun, lebih banyak buruh taninya karena untuk bisa disebut sebagai petani harus minimal memiliki lahan tanah seluas 0,2 ha. Untuk dapat mencapai tingkat kemandirian, pelaksanakan program mandiri pangan harus dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu persiapan, penumbuhan, pengembangan dan tahap kemandirian. Memulai Dari Pendataan Dalam tahap persiapan kegiatan yang dilakukan di desa Mangli adalah pendataan, untuk menemukan Data Dasar Rumah Tangga (DDRT) dan Survey Rumah Tangga (SRT). Kegiatan yang dilaksanakan bulan Maret –September 2007

memproduksi sendiri kebutuhan mereka, cukup dikupas, giling, kemudian memisahkan ampas dan Rasi. Nah, ampas inilah yang nantinya manjadi rasi. Setelah ampas di jemur maka perlu sekali lagi digiling atau ditumbuk. Hasil ampas tumbukan bisa disimpan hingga 2-3 bulan. "kalo mo dimasak, tinggal tambahin air dan masak seperti nasi," jelas Widia. Kebiasaan memakan rasi inilah yang akhirnya membuat desa ini menjadi mandiri, mereka tidak tergantung pada harga beras yang semakin hari semakin mencekik kaum marjinal. Ketika orang dibingungkan dengan harga beras, warga kampung Cirendeu tidak tergubris sama sekali. Hal itu sama sekali tidak mempengaruhi kehidupan mereka, toh makanan pokok mereka tetap aman, bahkan sisa produksi lainnya dapat menambah penghasilan warga. Memang dulu warga hanya mengolah singkong untuk rasi, namun sekarang mereka bisa memanfaatkan sisa olahan singkong tersebut menjadi produk produk makanan lainnya. “Kami tidak khawatir kelaparan, bahan makanan pokok kami tersedia dan makanan cemilan selalu ada”, ucap Widia. Membangun Desa Mandiri Secara ekonomis penduduk kampung adat masuk dalam kategori ekonomi menengah. Rumah mereka sebagian besar sudah cukup baik, dan bentuknya pun tidak kalah dengan perumahan di komplek-komplek. Tetapi memang tidak terstruktur rapi layaknya komplek. Setidaknya ini menunjukkan bahwa mereka bukan tidak mampu membeli nasi untuk kebutuhan mereka, tetapi memang sudah menjadi adat kebiasan mereka. Jenis pekerjaan penduduk sebagian besar adalah para petani dan peternak, mereka hidup dari lahan leluhur mereka di atas gunung. Sekitar 40 hektar digunakan untuk berkebun singkong dan untuk sawah sendiri hanya 10 haktar. Disanalah mereka menghabiskan setengah hari mereka dengan berkebun singkong. Selama ini mereka mampu memanen 5.160 kwintal per tahun. Di pagi hari mereka akan pergi ke kebun. Ketika sore datang lebih banyak suasana santai mengolah hasil singkong menjadi berbagai produk makanan. “Kami berhasil menghasilkan 27 produk jenis makanan dengan bahan baku utama singkong, mulai dari daun, umbi hingga kulit umbi dapat kami

membukukan bahwa terdapat 62% warga desa miskin. "Lantas mereka ikut kelompok Participation Rural Appraisal (PRA), yakni kelompok yang dibentuk berdasarkan partisipasi murni masyarakat. Guna memastikan program desa mandiri pangan berdasarkan apa yang diinginkan masyarakat. Bukan dari atas ke bawah," jelas Lurah Mangli, Juwandi. Dan terbentuklah kisah kelompok dengan latar belakang sama, "sama-sama orang Mangli, samasama orang miskin, sama-sama petani yang butuh kesejahteraan dan kemandirian," imbuh Juwandi. Kelompok yang ada pada tahun pertama adalah Sido Mukti dengan budidaya domba, Argo Sejati dengan budidaya kambing, Sumber Makmur dengan budidaya Strawberi dan kelinci, Sido Makmur dengan budidaya domba, Sukadamai dengan budidaya domba, Sumber Sejahtera dengan budidaya domba, Sido Mulyo dengan budidaya domba. Peran Pendamping Pertemuan rutin kelompok dilakukan setiap 35 hari (selapanan) sekali. Didampingi Tim Pangan De-

kelola”, ucap Rokayah. Imas (47) ibu dari 2 anak merupakan salah satu yang bisa memanfaatkan umbi singkong. Setiap hari suaminya pergi ke kebun, sedangkan Imas bekerja dirumah membuat kerupuk talas, rengginang, kecimpring dan beberapa jenis makanan kelolaan lainnya. Produk buatan Imas memang belum dipasarkan secara massal, distribusinya hanya untuk kalangan kampung Cirendeu atau kampung sebelah. Lumayan jika ada hajatan dikampungnya, selain itu juga produknya ikut dalam beberapa pameran makanan baik di tingkat propinsi atau nasional. Setiap harinya Imas mampu menghasilkan 20 kantung jenis keripik-keripikan, harganya pun relatif murah. Untuk 1 kantong ukuran seperempat itu berkisar 2000 rupiah. Meskipun bahan dasarnya sama, rasanya bisa berbeda. Usaha ini sudah dijalankan selama 10 tahun. “lumayan bisa untuk biaya sekolah anak”, ucapnya. Kampung ini telah berhasil membuat diversifikasi pangan dari singkong, dan selama empat periode ini tidak ada terjadi kasus kelaparan, busung lapar maupun kekurangan gizi. Kebutuhan gizi mereka dipenuhi dengan lauk pauk. Kaum adat percaya rasi membuat mereka kuat, kaum prianya saja mampu mengangkat beban hingga 1 kwintal dari atas gunung hingga ke perkampungan mereka, usia meninggal merekapun karena mereka sudah tua. Rasi juga dipercaya mampu mencegah penyakit diabetes, “jarang sekali ada kasus warga sini meninggal di usia remaja karena sakit”, ungkap Widia. (faridadewi@bipnewsroom.info)

sa, Lembaga Keuangan Desa dan Pendamping. Mereka mendampingi perencanaan, pelaksanan dan evaluasi. Setiap persoalan dibicarakan secara musyawarah. "Kalau dulu bantuan langsung diserahkan ke rumah. Kelompok masa itu bukan kelompok seperti sekarang ini. Kambing dibagi per rumah bukan disatukan dalam satu kandang seperti sekarang ini. Yang membeli kambing kelompok, yang milih kelompok tetapi diikuti oleh Pendamping, Tim Pangan Desa dan LKD," jelas Juwandi. Memang, dengan pendampingan bisa dilihat hasilnya. Untuk peningkatan konsumsi pangan olahan saja telah terbentuk pula tiga kelompok aktivitas wanita yakni kelompok Maju Jaya, Maju Makmur dan Maju Mulyo. Produk yang dihasilkan adalah kripik daun strawberi, kripik jombor dengan tepungnya tepung jagung. "Target kami tahun ini sebenarnya bagaimana masyarakat miskin bisa makan yang bergizi dan berimbang dulu. Nanti diharapkan berkemnbang kreatifitas baru lagi," jelas Juwandi. Memang warga Desa Mangli akan berbenah, bahkan ada rencana menjadikan wilayah desa Mangli menjadi obyek wisata di lereng Gunung Sumbing, yang kini road map-nya sudah jadi. (sugito@bipnewsroom.info)

9


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Kemasan Boleh Diatur

>>

10

Biar Lebih Popular Soal kemasan, juga menjadi perhatian pengelola Bakpao Waluh di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Diakui Didik masalah packaging harus bagus, "menarik dan bisa bersaing juga popular di masyarakat," katanya mengutip buku-buku kisah kewirausahaan yang sukses. Tak berlebihan jika Didik selalu menjajaki sebelum memasarkan produk waluhnya. " cukup bagus meski belum masuk ke pasar-pasar swalayan. Ia masih menjajaki, tapi kalau persyaratannya tidak sulit dan cukup prospektif, ia akan mencobanya juga. Tapi sekarang, suami isteri Didik dan Hana lebih konsentrasi untuk menangani jajanan waluh lain yang kini terus dipopulerkan seperti bakpao dan cake waluh. Didik dan Hana sebelumnya sama-sama karyawan di Gresik. Didik di pabrik semen Gresik sedangkan Hana bekerja di pabrik pupuk Gresik. Tempat tinggal tetap di Singosari Malang, sehingga setiap hari harus nglaju (pergi-pulang) Singosari-Gresik. Didik yang ingin berwiraswasta akhirnya keluar dan mulai menikmati asyiknya berwiraswasta. Ia pun turut membina dan mendukung UKM di daerahnya. Dalam bisnis makanan ini, istrinya hanya sekadar membantu karena masih berstatus pegawai di pabrik pupuk Gresik. Tapi melihat usaha suaminya yang sangat memerlukan orang kepercayaan dalam kualitas produk, maka Hana pun berhenti dari pabrik pupuk Gresik.“Tugas dia yang utama sekarang kontrol kualitas produk,“ papar Didik. Sebelumnya Hana sempat berpikir panjang meskipun suaminya sudah menekuni pembuatan keripik waluh. Setelah melalui kajian yang tidak singkat, akhirnya Hana merasa mantap mengembangkan usaha jajanan berbahan waluh. Hana melihat hasil tanaman waluh di daerahnya cukup banyak. Boleh dikatakan salah satu produk pertanian di Singosari yang tak sulit didapat. Labu kuning yang matang selama ini hanya dibikin kolak oleh masyarakat, yang masih agak mudah kadang dibuat sayur. Nilai gizinya juga bagus. Hana lantas berpikir, sangat disayangkan kalau labu atau waluh cuma itu kegunaannya. “Saya sebetulnya memang ingin buka usaha yang bahan bakunya tidak sulit didapat, dan usaha itu kalau bisa punya kekhasan. Saya melihat waluh bisa dibuat macam-macam,“ papar ibu dari 2 putri itu. Harus Tahan Lama Jajanan waluh terutama cake waluh bisa tahan sampai seminggu, bakpao sampai lima hari tanpa pengawet. Urusan manajemen ditangani suaminya tapi soal kualitas produk, Hana yang bertanggung jawab. Pasangan pengusaha ini selalu melangkah dengan target dan sama-sama berupaya menempa diri untuk kreatif sesuai tanggung jawab masingmasing. Dalam rasa, misalnya, tentu saja Hana yang harus banyak uji coba. Mau bakpao rasa coklat, rasa kacang, atau dengan isi yang lain, Hana-lah yang terus mempraktikkan di dapur. Sementara soal tampilan termasuk kemasan, pemasaran, merupakan bidang garap suaminya yang terus mengamati perkembangan pasar. Selain soal rasa, menurut Didik, orang akan tertarik kalau didukung tampilan atau kemasannya bagus pula. Dalam pemasaran, letak tokonya pun dipandang cukup menunjang karena berada di jalur

arus lalu-lintas Malang Surabaya. Orang-orang Surabaya yang usai menghabiskan akhir pekannya di Malang, kalau pulang pasti melewati Singosari dan membeli oleh-oleh khas Malang. Karena itu Sabtu dan Minggu merupakan hari ramai pembeli. Mencoba ekspansi ke daerah lain dengan produk jajanan waluh sudah menjadi angan-angan Hana dan Didik. Ia sudah mulai memasarkan produknya ke daerah-daerah sekitar seperti Sidoarjo, dan Surabaya. Sedangkan Jakarta baru dijajaki ketika berlangsung pameran UKM pertengahan Oktober lalu. Hasilnya cukup menjanjikan. Jajanan waluh termasuk makanan lain khas Malang seperti keripik laris manis dibeli pengunjung. Dalam waktu sekejap, 500 biji bakpao waluh yang harganya Rp 2500 terjual. Hana pun segera kontak ke Malang karena masih banyak yang tanya dan esok hari pun bakpao itu datang lagi. Rajin Pameran Bagi Hana, sering usahanya ikut pameran untuk menjajaki bagaimana produknya bisa diterima masyarakat di daerah lain. Usahanya pun tak sia-sia, produknya memang mendapatkan perhatian dari masyarakat ibukota. Dalam usaha jajanan serba waluh yang termasuk produk khas tak sedikit juga tantangannya.

Menurut Didik bukan saja soal manajemen yang harus profesional, dan produk yang berkualitas, tapi juga menyangkut image. Bahkan image yang sudah “membudaya” itu menjadi tantangan berat. Pemerintah pun juga terus memfasilitasi, sebagaimana dikatakan Direktur Bina Pasar Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Gunaryo, "kita punya agenda tahunan pameran yang bisa diikuti pengusaha berbasis ekonomi kreatif. Ini merupakan upaya kita untuk memajukan pangan alternatif Indonesia mampu berdiri setara dengan makanan asing yang kini banyak beredar di Indonesia. Ada pula Festival Kuliner Lokal yang akan digelar di pada 20 Mei 2008 di Hotel Grand Indonesia." Lantas, Gunaryo mendeskripsikan bagaimanan usaha camilan singkong keju “Tela-tela” dari Jogja, yang hanya diberi bungkus ala fast food dari luar negeri dan dijual di "rombong" modern. "Omset sebulannya sudah mencapai 2 milyar rupiah," ceritanya. Memang kemasan indah dan mentereng sangat perlu diberikan pada produk lokal, sehingga akan lebih kelihatan bergengsi dan disukai oleh konsumen Indonesia yang masih suka dengan budaya kemasan. (mth@bipnewsroom.info)

Belajar Tafsir Mimpi dari Nabi Yusuf TIBA-TIBA saja kita seolah terhenyak ketika para pedagang tempe menggelar unjuk rasa di depan istana, menuntut penurunan harga kacang kedelai, awal tahun ini. Kita tidak sadar bahwa makanan favorit dan harian itu ternyata sebagian besar adalah hasil impor. Ke mana para petani kita, ke mana hasil dari gerakan swasembada pangan selama ini? Pertanyaannya? Kenapa harga kedelai tibatiba saja naik sedemikian tinggi, hingga para pengrajin tempe harus menggelar demo di depan istana. Jawabnya saat itu, selain memang harga kedelai di pasar internasional naik, juga karena ada sebagian negara sedang mengembangkan pengganti energi fosil dengan energi bio yang berasal dari kacang-kacangan, seperti jagung, kedelai, juga kelapa sawit. Waktu bergulir, kini diketahui, di tingkat internasional, persoalan pangan memang menghadapi ancaman nyata. Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan, kelangkaan pangan dan mahalnya harga telah menciptakan keadaan darurat di banyak negara. Dirjen FAO, Jacques Diouf menyatakan, stok pangan dunia makin kritis. Setali tiga uang dengan Dominique-Khan, Direktur Pelaksana IMF yang mengemukakan bahwa krisis pangan dunia bisa memicu perang. Haiti dan Bangladesh adalah salah satu contoh nyata pernyataan Dominique itu, kenaikan harga makanan telah memicu kerusuhan sosial dan memakan korban tewas. Bahkan parlemen Haiti memecat sang perdana menteri. Di Bangladesh, militer mengambil alih pengamanan pangan dan menekan rakyat agar mengurangi konsumsi beras dan mulai makan kentang sebagai pengganti nasi. Tentu bukan hanya peperangan yang akan menghantui krisis pangan, di negara-negara miskin kenaikan harga pangan tidak saja membuat perut kosong, tapi juga turut membuat kosong ruang kelas. Hal itu terjadi karena para orangtua meminta anak-anak mereka bekerja, sehingga membuat beberapa siswa tak bersekolah lagi. Peringatan itu datang dari Unicef, Badan PBB untuk Anak-anak. Veronique Taveau, juru bicara Unicef mengatakan, harga pangan yang mahal menyebabkan keluarga mengalami keku-rangan anggaran, yang selanjutnya membuat pengurangan anggaran pendidikan. Keluarga akhirnya memutuskan menghentikan pendidikan anak-anak mereka.

Dikatakan Taveau, Unicef sangat prihatin soal harga-harga pangan yang meningkat. Keadaan itu terutama terjadi di negara miskin, di mana 75 persen dari total pendapatan dialokasikan untuk pangan. Di negara-negara maju, hanya sekitar 15 persen pendapatan yang dialokasikan untuk pangan. Jubir Program Pangan Dunia PBB (WFP), Christiane Berthiaume, juga mengatakan, pengurangan jumlah siswa sudah terjadi di Nepal. Pasalnya, kedua negara sumber impor pangan Nepal, yakni Cina dan India ini telah mengurangi pasokan pangan ke Nepal. Di Kamboja, WFP terpaksa menghentikan penyediaan makanan gratis di sekolah-sekolah karena pemasok makanan telah mengakhiri kontrak kerja. Para pemasok lebih memilih menjual pangan ke tempat lain dengan harga yang lebih tinggi. Masalah pangan memang telah menjadi isu global karena telah memicu beragam protes dan kerusuhan. Bank Dunia mengatakan, harga pangan yang meningkat dua kali lipat berpotensi menjerembabkan 100 juta warga dunia ke dalam kemiskinan, terutama di negara berkembang. Itulah kenyataan-kenyataan yang terjadi. Bagaimana dengan Indonesia? Benarkah ketika saat ini berlimpahan bahan pangan atau beras akan mengekspor beras. Saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak mundur ke belakang, melihat sejarah Nabi Yusuf, yang menafsirkan mimpi rajanya, Al Azis tentang ancaman masa peceklik yang bakal datang di zaman itu. Konon, mimpi sang raja berkisah tentang tujuh ekor sapi betina yang gemukgemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Oleh Nabi Yusuf, mimpi itu ditafsirkan sebagai akan datang tujuh tahun masa kejayaan (panen) dan setelah itu akan datang tujuh tahun masa sulit (paceklik), karena itu disarankan untuk melakukan penyimpanan dari hasil panennya itu agar di masa sulit rakyat masih tetap hidup dan mampu mempertahankan diri. Sekarang kita tahu kelangkaan pangan akan menjadi persoalan internasional. Ancamannya pun nyata disampaikan akan memicu peperangan serta kosongnya ruang belajar. Akankah kita tidak melakukan sesuatu terhadap ancaman itu. Mumpung kita masih tidak terlalu kesulitan pangan, bahkan surplus, selayaknyalah dipikirkan untuk menyimpan dalam ”lumbung-lumbung”, agar kita kelak dapat mempertahankan hidup. (sukemi)

foto:bankdata,bf

Dalam sebuah bincang-bincang informal usai rapat koordinasi, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Ardiansyah menyuguhkan penganan kering dalam sebuah toples plastik berpita. "Silahkan dicoba, anda semua mungkin tak menyangka jika produk makanan kecil itu terbuat dari tepung singkong," jelas Ardiansyah mempersilahkan tamunya. Benar juga, sekilas tak ada bedanya kue kering itu dengan produk kue pabrikan yang berbahan baku tepung terigu. Rasanya pun tak jauh beda, "cuma saya masih mencari jalan agar tidak terasa lengket ketika di lidah dan mengemas produk Cirendeu ini agar bisa bersaing dengan produk pabrikan di pasar," ungkap Ardiansyah mantap. Kemasan memang penting di era imagogologi ini. Setiap produk akan dilihat sejauh mana menarik atau tidak. Tak ayal banyak produsen yang menggerojok dana miliaran rupiah untuk riset kemasan produk dan mengiklankan produk itu supaya lebih nancap di benak konsumen.


e d i s i khusus

www.bipnewsroom.info email: komunika@bipnewsroom.info

Rapat Singkong Para Pejabat Mak-nyuss.

Ada yang unik dalam rapat – rapat para pejabat di lingkungan Departemen Pertanian Republik Indonesia. Kalau biasanya sajian rapat, baik berupa snack ataupun makanan berat, dipilihkan berupa makanan siap saji ataupun makanan modern, tidak demikian dengan rapat yang digelar di instansi ini. Di lembaga yang bertanggungjawab pada dunia pertanian dan pangan ini, makanan yang disajikan semua berasal dari potensi pangan lokal, khas Indonesia. Semua berasal dari olahan 70an umbiumbian lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Jadi tak heran, menu yang disajikan saat rapat ke rapat sangat bervariasi. Ada yang terlihat kekhasannya semisal tiwul, ataupun olahan yang sudah tersamar laiknya panganan pada umumnya. Ada yang berwujud mie bendo, hasil olahan tepung singkong, atau ada juga pizza singkong. Belum lagi nasinya yang khas dari nasi singkong dan cemilan berupa emping garut. Ditambah lagi lauk ikan ataupun tahu tempe. Wah, wah tak ada bedanya dengan makanan sehari-hari. Tak percaya? Tanya saja Presiden Yudhoyono. Ia pun seringkali mendapat suguhan nasi singkong ataupun produk olahan lainnya ketika rapat tentang permasalahan pangan Indonesia. Rasanya?

Pangan Kreatif? Ya, yang berada di balik terciptanya ide kreatif penyajian pangan lokal tersebut adalah Bidang Konsumsi Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP), Departemen Pertanian (Deptan). Menurut Sri Wulan, Kepala Bidang Konsumsi Pangan BKP, menu sajian ini sudah berjalan sejak 2004 lalu. Berawal dari banyaknya produk olahan dan bahan pangan dari dapur uji BKP untuk disosialisasikan kepada masyarakat melalui posyandu. Terbersit ide bahwa seharusnya Deptan mensosialisasikan program pangan substitusi beras tak hanya sebatas wacana saja. Pun harus memberi contoh dengan memulai penggunaan produk lokal substitusi di lingkungannya. “Dibilang kreatif, ya tidak juga. Makanan ini sebenarnya sudah ada di masyarakat. Misal nasi singkong. Di desa Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat, nasi singkong sudah jadi makanan pokok, budaya. Mereka bilang kalau masih makan nasi berarti masih dijajah. Begitu. Olahan lain kita kembangkan di dapur uji,” kata Sri Wulan sumringah. Kelebihan “katering pangan lokal”, kata ibu berdarah Sunda ini, selain ikut mensosialisasaikan beragam jenis panganan khas Indonesia, juga bisa menjadi alternatif menu sehat. Bagaimana tidak, setiap kalori panganan dihitung dan disesuaikan dengan kebutuhan asupan gizi para penikmatnya. Begini, sederhananya. Dalam sehari, untuk hidup sehat seorang manusia membutuhkan ratarata 2000 kalori sebagai asupan gizi. Lengkap karbohidrat, protein, dan vitamin. Kandungan tersebut didapat dari sumber pangan yang beragam. Sebut saja, sumber karbohidrat yang tak semata didapat dari beras saja, bisa dari kentang, singkong, jagung, dan banyak umbian lain. Lain lagi sumber protein yang tak melulu dari daging dan ikan, pun juga dari tahu, tempe, dan sumber

lainnya. “Dalam makanan itu intinya harus ada triguna makanan. Ada zat penjaga, zat pembangun, dan zat pengatur. Tiga itu harus ada. Dan sumbernya sangat beragam. Kami buat list apa saja yang bisa jadi diversivikasi kandungannya,” lanjut Sri. Umbi-umbian bisa diolah menjadi beragam bentuk. Mulai dari nasi, tepung, emping, dan sebagainya. Dari bahan-bahan dasar tersebut bisa dibuat lagi menjadi aneka panganan yang bercitarasa dan bergizi tinggi. Sebut saja singkong. Panganan yang sudah merakyat ini bisa dibuat menjadi beragam penganan, mulai dari bahan dasar semisal tepung, hingga menjadi produk olahan semisal kue-kue kering. Kandungan gizi tak kalah, namun berharga murah meriah. “Entah kenapa ya, orang Indonesia itu kalau dengar singkong tuh rasanya hina banget. Padahal, sama saja. Untuk menyiasatinya, kita sering ganti nama, menyamarkan singkongnya. Misal tepung cassava, mie bendo, dan sebagainya. Baru mau makan. Padahal singkong-singkong juga” kata Sri tertawa. Sosialisasi Kuliner Lokal Pemerintah sendiri bukannya tanpa upaya dalam mensosialisasikan aneka ragam sumber pangan lokal ini kepada masyarakat. Coba saja rambah desadesa di mana banyak umbi-umbian tumbuh. Selain karena kreativitas warganya, sosialisasi melalui para aktivis Posyandu/PKK juga marak dilakukan. Mulai dari “seminar” gizi keluarga, sampai “workshop” tata cara pembuatan kue dari bahan pangan lokal. Menyajikan hasil uji dapur yang dilakukan BKP dengan Yayasan Kuliner Indonesia. Tak hanya itu, terkadang, resep hasil uji tersebut dibukukan dan dibagikan kepada aktivis Posyandu/PKK untuk nantinya dapat dipraktekan kepada keluarganya. Jadi jangan kira bahwa para pejabat negara, bahkan Presiden Yudhoyono tidak pernah makan singkong. Lha, hampir setiap rapat suguhannya pangan olahan dari singkong. Ya, singkong yang dianggap tak modern itu. Jadi, masih nganggap singkong makanan kelas bawah? (dimas@bipnewsroom.info)

Tempe Suatu ketika, Soekarno berpesan kepada bangsa Indonesia agar jangan menjadi “bangsa tempe.” Tempe, dalam bahasa Soekarno, adalah kata yang berkonotasi dengan orang kecil: yang serba kekurangan, rendah dan lemah. Singkat kata, tempe adalah simbol ketidakberdayaan. Oleh karena itu, “bangsa tempe” adalah bangsa yang ringkih, pasrah dan nurut seperti kerbau dicocok hidungnya. Siapa mau jadi bangsa demikian? Mengapa tempe saat itu dihargai demikian rendah? Tempe identik dengan makanan dari, oleh dan untuk rakyat jelata yang hidupnya selalu dilingkupi duka nestapa, sehingga mengingatkan pada bangsa yang menderita. Mungkin karena itulah Soekarno tidak ingin bangsa ini hanya bisa makan tempe, kiasan dari hidup sengsara selamanya. Tapi toh demikian, pesan Soekarno tak membuat masyarakat jadi anti tempe. Buktinya dari jaman orla, orba sampai or-or berikutnya, tempe tetap saja menjadi makanan favorit. Orang-orang tampaknya tak peduli, apakah dengan makan tempe mereka akan menjadi bangsa tempe atau tidak. Atau karena mereka tahu, dari dulu bangsa kita yang sebagian besar suka tempe, ya hidupnya begitu-begitu saja. Yang jelas, dalam daftar menu sebagian besar masyarakat akar rumput, tempe adalah sebuah conditio sine qua non: sesuatu yang pasti dan harus ada. Pelesetan tagline sebuah majalah: tempe, enak dibacem dan perlu. Enak dimakan karena ham-pir semua orang doyan. Perlu karena tempe di pasaran telah menjadi

keniscayaan: menghilang se-hari saja orang-orang ributnya bukan kepalang. Tapi benar kok, tempe adalah “intermediate menu”, atau “menu antara” bagi mereka yang tak mampu beli daging dan yang ogah makan tanpa lauk. Harganya yang murah dan rasanya yang lezat, membuat tempe enak di kantong, enak di lidah (meminjam tagline sebuah iklan televisi). Hampir semua orang sepakat, harga tempe (dulu) memang murah. Sebagai perbandingan, uang Rp50 ribu, hanya bisa digunakan untuk membeli sekilo daging sapi. Namun dengan uang yang sama, seorang ibu bisa membeli tempe yang jumlahnya cukup untuk dimakan satu RT! Rasa tempe juga sangat bersaing, karena bisa dimasak dalam berbagai versi, digoreng, dibacem, dioseng-oseng, dibuat kripik, semua oke. Bagi para nutrisionis, tempe adalah keajaiban. Nilai gizinya yang sangat tinggi, membuat tempe tampil sebagai satu-satunya sumber protein nabati pesaing protein hewani. Tak heran jika tempe sering dikatakan bisa dijadikan senjata sakti untuk melawan defisiensi dan kwashiorkor alias kekurangan gizi akut. Di sisi lain, tempe juga rendah kolesterol, sehingga tak membuat para pemakannya kena asam urat atawa jantungan. Sayangnya, kendati banyak orang mengaku suka dan mengetahui manfaat tempe, tak banyak yang menyadari bahwa sejatinya kita tak lagi mandiri dalam memproduksi tempe. Buktinya, bahan baku tempe yakni kedelai, sudah lama impor dari Jepang, Amerika dan negara Asia lainnya. Sedangkan kedelai dalam negeri menghilang karena jarang yang mau menanam. Alasannya masuk akal:

menanam kedelai dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan menanam tanaman pangan lain. Atau mungkin bangsa kita sudah ketularan virus konsumtif: membeli lebih enak daripada repot-repot menanam? Kalau yang terakhir ini yang terjadi, wah, celakalah kita. Bisa-bisa nanti kita “dijajah” bangsa asing melalui kedelai. Bagaimana tidak? Jika sebagian besar orang Indonesia sudah tempe minded, tiba-tiba dilakukan embargo ekspor kedelai ke Indonesia, pasti banyak orang kelimpungan. Bukan hanya importir yang teriak-teriak karena kehilangan laba, tukang gorengan pun akan meringis diomeli langganan penggemar tempe. Sementara ibu-ibu rumahtangga harus menyediakan uang belanja ekstra untuk membeli tempe yang harganya meroket. Tak ada jalan lain, kita memang harus kembali menanam kedelai agar ketersediaan bahan baku tempe bisa terpenuhi tanpa harus mengimpor dari luar negeri. Sebab, jika impor kedelai seret, harga tempe pasti akan meroket. Kalau tempe mahal, kedudukannya sebagai menu antara akan luntur. Tidak lucu juga kalau harga tempe setara dengan daging. Atau kita memang mau mencoba tidak menjadi “bangsa tempe” dalam arti sesungguhnya? (gun)

11


Seribu Cara Olah Pangan Ada banyak jalan ke Roma, akan tetapi lebih banyak cara lagi untuk menyajikan makanan yang bergizi bagi keluarga kita. Bahan bakunya pun tak perlu mahal. Semua ada di sekitar kita. Tinggal bagaimana mau memanfaatkannya.

Indonesia, mempunyai sejarah panjang sejak zaman prasejarah sebagai “lumbung pangan”. Di Asia Tenggara, sebagian kawasan Indonesia dikenal orang asing sebagai “Zabaj”. Istilah yang diadopsi dari kata “jawawut” yang berarti padi-padian. Sebuah ungkapan untuk menisbatkan kekayaan padi yang berlimpah. Naskah laporan perjalanan pedagang China YingYai Sheng Lan dan naskah kuno seperti Negarakertagama, atau laporan sastra Arab kuno seperti Al-Ajaibul Hind maupun Sinbad Si Pelaut, juga mengisahkan Negeri Zabaj yang indah bagai surga, kaya “jawawut” dan indah pemandangannya. Melimpah Tak Diolah Tetapi tak hanya padi saja yang berlimpah. Ada banyak potensi pangan lain yang berlimpah. Di Kepulauan Kai, Maluku Tenggara, misalnya. Masyarakat makan jagung atau embal -singkong yang diolah secara tradisionalsebagai makanan pokok. Bagi orang Maluku Tenggara, ketika belum makan ikan yang kaya protein, serasa belum makan. Maklum, di sana ikan melimpah. Masyarakat biasa makan ikan tiga kali sehari. Daging sapi kurang laku di sana. Bahkan, orang harus pesan kalau ingin makan daging. Baru kalau pesanan sudah cukup, maka seekor sapi disembelih untuk dijual di pasar. Lain lagi di Nusa Tenggara Timur, karena tanahnya yang relatif tandus, pada akhirnya tanaman yang bisa hidup adalah tanaman keras. "Kita disini berupaya mengolah jagung untuk menjadi makanan utama masyarakat Uel," kata Set Malelak, dosen yang telah bertahun-tahun mendampingi Komunitas Uel, Kupang Nusa Tenggara Timur untuk mengembangkan produk unggulan jagung. Dan mereka pun bangga dengan hasil tersebut. Hal senada juga diungkap Vedy Rudiyanto, pegawai Badan Ketahan Pangan Provinsi Jawa Tengah yang menjadi pendamping di Desa Mangli, Kecamatan Kali Angkrik, Kabupaten Magelang. “Orang Mangli tidak malu makanannya jagung,malah bangga, karena toh terbukti orang desa Mangli tinggi-tinggi dan gagah, dan banyak yang berusia 70 tahun masih kuat mencangkul dan menggendong beban berat," cetus Vedy yang mengaku orang asli Mangli. Bermula Dari Budaya Kepala Desa Mangli, Juwandi, juga menjamin bahwa budaya makan jagung di desanya mempunyai kekuatan tradisional, yaitu kebiasaan tahan lapar. "Penduduk saya, kalau makan jagung bisa rosa-rosa, pak! Kalau kita dikasih makan nasi nanti 3 jam sudah lapar lagi, sedangkan kalau makan nasi jagung bisa tahan sampai 12 jam belum terasa lapar!” katanya. Memang, dari kebiasaan akan timbul kesadaran dan membentuk tradisi yang kuat. tak terkecuali terhadap pangan ini. Makan adalah bagian penting dalam budaya suatu bangsa. Budaya makan terdiri dari dua komponen utama yakni komponen idea berupa pandangan serta etika, dan komponen fisik yang terdiri dari pengaturan ruang, piranti, serta makanan.

Tetapi, pernyataan bahwa perut pribumi Indonesia hanya bisa makan nasi adalah pernyataan yang agak menyesatkan. Seharusnya, mereka yang mempertahankan kebudayaan tradisionalnya, termasuk kebudayaan pangan, haruslah dihormati. Di berbagai pelosok Indonesia, kenyataannya nasi bukanlah makanan pokok. Namun pergeseran budaya makan bisa terjadi. Baik karena interaksi sosial akibat persentuhan budaya dengan budaya-budaya lain. Atau pula karena kebutuhan adaptasi atas situasi dan kondisi yang ada dan pada gilirannya menurunkan sikap penerimaan atau penolakan atas budaya makan dan pangannya. Perlu Pendekatan Lokal Menurut Vedy, disamping bisa memanfaatkan jagung untuk makanan lokal, produksi jagung yang berlimpah di Mangli juga dibisniskan dengan dijadikan tepung jagung. Sedangkan produk Mangli lainnya yaitu strowberi, selain dijual, daunnya juga diolah menjadi keripik daun strowberi. Tetapi, menurut Vedy, perlu tim pendamping desa yang ulet dan sabar memabntu memberdayakan petani dan peternak. "Karena kalau para pendamping lalai, terkadang para penduduk desa itu menjual kambing domba bantuan pemerintah," ungkapnya sambil mengelus dada. Set Malelak pun juga menerapkan pendekatan yang sama dan sebangun. "Kita berikan mereka cara dan teknik mengolah jagung, sehingga bisa merasakan manfaatnya menanam jagung, baru bisa melihat sendiri hasilnya," tutur Set. Set Malelak bolehlah disebut sebagai salah seorang manusia “langka” di NTT. Ia meninggalkan kehidupannya yang relatif mapan di Kupang dan memilih tinggal bersama sekitar 1.600 penduduk Dusun Uel. Kebetulan istrinya, pendeta Adriana Tanggela, juga bisa mendampinginya berkarir di dusun itu. Dusun Uel bukan daerah subur. Kekeringan kerap melanda kawasan ini. Warga desanya juga miskin dan umumnya bermata pencarian sebagai buruh bangunan atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Tak heran, rata-rata tingkat pendidikan warga desa ini hanya sampai sekolah dasar. Untuk mengubah perilaku masyarakat Dusun Uel, cerita Set, dia memerlukan waktu tak kurang dari enam tahun. Penduduk dusun ini berasal dari empat suku, yakni Rote, Alor, Sabu, dan Flores. Mereka umumnya bertemperamen keras, bersikap masa bodoh, relatif pemalas, susah diatur, dan sangat suka pesta. “Saya pelajari keseluruhan perilaku mereka. Saya ikut mereka ke kebun, ke laut, ke sawah, ke tempat pesta, dan tempat pertemuan mereka. Saya ingin tahu bagaimana sesungguhnya karakter mereka, untuk menentukan bagaimana cara mengubah perilaku mereka. Ini saya sebut rekayasa sosial, “kata Set, saat ditemui di Kupang beberapa waktu lalu. Melihat kesuksesan hasil kebun mereka, warga pun makin percaya Set memang bermaksud baik. Mereka lalu memberi dia gelar “dosen desa”.

Peluang Bisnis Di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sudah lama ada satu lembaga yang mampu membisniskan bahan pangan alternatif yakni ubi. Padahal di seluruh dunia, ubi jalar memang “menderita” pelecehan karena selalu dianggap sebagai bahan pangan murahan. Republik Rakyat Cina sebagai negara penghasil ubi jalar terbesar di dunia, hanya menggunakan separuh produksinya untuk makanan ternak babi mereka. Sementara Indonesia menduduki posisi nomor dua, paling tidak juga berlaku sama Padahal langkah maju telah terjadi di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, sebuah restoran khusus menjual berbagai makanan dari ubi jalar. Di samping di tempat asalnya di tepi jalan raya, perusahaan ini juga telah mengembangkan sebuah restoran baru yang diberi nama “Warung Daun”. Di salah satu dindingnya tertulis “Republik Telo”. Semula, rumah makan ini mengawali usahanya dengan memasarkan bakpao yang dibuat dari ubi jalar. Sukses mereka memasarkan bakpao telo kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan berbagai produk lainnya dari bahan baku yang sama. Hampir semuanya berwarna ungu karena bahan bakunya dari ubi jalar yang berwarna ungu. Mereka sangat kreatif menciptakan berbagai kue. Dalam bentuk kering hadir pula kripik ubi jalar. Juga ada es krim dan jus dari ubijalar. Pada tahap berikutnya mereka mengembangkan mi yang dibuat dari ubi jalar. Warna mie-nya juga ungu. Tidak ada bedanya dengan mie goreng enak lainnya. Belakangan ini juga telah dibuat bakpia telo yang malah langsung mendapat penghargaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jajanan tradisional terbaik. Ubi jalar yang dibudidayakan dalam skala industri oleh perusahaan ini semuanya berwarna ungu. Karena itu, semua produk derivatifnya pun berwarna ungu. Bukan saja ungu merupakan warna yang lebih cantik, tetapi ubi jalar ungu juga mengandung Vitamin A lebih banyak, sehingga bermanfaat bagi kesehatan mata kita. Sama dengan bayam merah yang lebih bagus dibanding bayam hijau. Menurut Futuris Alvin Toffler dalam bukunya, Gelombang Ketiga (Third Wave, 1980), dalam pertanian Gelombang Ketiga, petani menerapkan teknologi Gelombang (Peradaban) Ketiga, dalam hal ini adalah bioteknologi dan rekayasa genetika. Itu sebabnya, pertaniannya pun disebut pertanian berbasis bioteknologi (biotechnology- based agriculture). Terkait dengan pertanian Gelombang Ketiga, daya saing petani pun dapat dipacu dengan pemanfaatan teknologi dan kecerdasan untuk mengelola potensi secara kreatif viddy dan mth


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.