4 minute read
Api dan Nasib Aku bagi Tuanku
Oleh: Siti Nurlaela
“Ah ... apa kakek sudah makan ya hari ini?”sambil memperhatikan kakek yang sedang meringkuk kedinginan di tempat tidurnya, aku menatap sendu dan khawatir. Bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja selama ini? Rasanya ingin kupeluk ia agar tubuhnya yang ringkih itu tidak terlalu tersiksa oleh hari-hari dinginnya dua tahun terakhir ini.
Advertisement
Dulu ketika nenek masih ada, setiap pagi nenek akan menyeduh teh mawar untuk kakek di atas meja usang yang usianya mungkin sudah setua kakek. Setiap minggu, kami berkebun di pekarangan depan rumah, bersenang senang dengan rumput hijau dan tanah basah yang menyentuh kulitku, tubuhku kotor tapi hatiku senang. Itu tidak masalah, lagipula kakek akan membersihkan tubuhku. Setiap hari aku merasa hidup, melihat warna kebahagian menyentuh setiap kalbuku, menjadi sahabat kakek untuk waktu yang lama .
Sebenarnya aku iri, aku ingin menjadi manusia ketiga di sana, harusnya kami bisa duduk bertiga menyeduh teh nenek. Aku juga ingin mengoceh, bukan hanya melihat tawa yang tidak bisa kulakukan. Tapi sepertinya kakek dan nenek bahagia walau hanya tinggal berdua. Mungkin inilah takdirku, aku hanya bisa menjaga tubuhku agar jika sewaktu-waktu dipakai maka aku bisa memberikan kenyamanan untuk kakek yang begitu lemah dimakan usia, dan jika kakek sehat aku bisa melihatnya tetap tertawa sampai sekarang.
Rumah kayu yang sudah reyot ini tiap kali kupijak alasnya berontak menjerit kesakitan dan selalu saja berteriak agar aku tidak menginjak bagian memarnya yang sepertinya hampir patah,
“Hei, bukannya sudah kubilang jangan injak aku di situ, ya!,” ucap si alas kayu yang marah karena tidak tahan dengan beban hidup puluhan tahunnya
“Apa? Inikan sudah menjadi takdirmu! Kamu hanya bisa mengeluh ya, seharusnya kamu terima saja, Tua!” kubalas ia dengan nada mengejek karena aku merasa derajatku lebih tinggi dibanding dirinya. Senyum bangga yang sedang kuperlihatkan itu mungkin saja langsung dihadapan wajahnya. Aku sadar walau tempatku di bawah, namun dia lebih di bawahku lagi. Jadi, aku harus merasa sombong, itu adalah realita yang harusnya ia sadari.
“Kau memang ya, selalu saja merasa dirimu itu unggul dibandingkan aku yang hanya digunakan sebagai pijakanmu!”
“Ah! Tentu saja, mengapa tidak? Akulah yang selalu membuat kakek nyaman di manapun ia berada, akulah yang ia butuhkan.”
“Tapi aku salah, jelas terbukti sudah sekarang yang kulihat, kakek hanya terbaring lemah merindukan masa lalunya. Ya Tuhan, aku bisa apa?.”
Pertama kali aku bertemu mereka ialah saat nenek yang melihatku sendirian terpajang di rumahku dulu. Tempat tinggalku di atas. Walau takdirku di bawah kaki manusia, tampilanku sangat klasik dan kuno. Warna kulitku yang sawo matang membuat binar suram di ruangan gelap usang itu menjadi seperti berlian di tengah samudera lautan, membuat mata nenek hanya tertuju padaku dibandingkan kawan-kawanku di belakang yang usianya lebih tua dibandingkan diriku yang baru saja dipoles kemarin siang. Malam itu, akhirnya aku punya tempat tinggal baru yang lebih jelek dibandingkan tempat tinggalku sebelumnya yang usang. Tidak ada yang spesial dari tempat tinggalku sekarang, hanya saja sekarang setiap hari aku diberi kasih sayang oleh kakek yang menganggapku sebagai hadiah terindah dari nenek. Ia tidak akan membiarkan satu titik debu pun menyentuhku.
Jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Tiga jam telah berlalu .Waktuku hanya kupakai untuk mengamati kakek. Akhirnya kakek beranjak bangun juga dari tempat tidur usangnya. Ia langsung mengambil piring untuk makan sambil menatap foto nenek yang sedang tersenyum memetik tomat. Foto itu terpajang di depan kamar. Sebenarnya aku tidak heran karena ia telah melihatnya ratusan kali setiap pagi, mungkin agar ia tidak melupakan wajah nenek suatu hari nanti.
“Andaikan kakek tahu aku selalu berada di dekatnya, aku bisa menjadi sahabat diammu yang dititipkan nenek untuk menjagamu, Kek. Aku sudah ditakdirkan untuk muncul di kehidupan kalian, menemani hari-hari tua yang terus dimakan waktu.”
Tiba-tiba saja aku kaget karena melihat kakek berdiri tepat di hadapanku, menatapku lama, kemudian berjongkok sambil tangannya meraih kepalaku dan mengelusku perlahan. Setelah sekian lama akhirnya kami pergi keluar, tapi ini aneh, aku hanya ditaruh di plastik gelap.
“Kek, kita mau kemana?”ucapku lirih sambil menahan tubuhku yang saling berbenturan karena terguncang- guncang di dalam tempat sempit itu.
Brukk, badanku seperti terlempar di tempat antah-berantah. Apa yang terjadi? Aku tidak dapat melihat sekelilingku. Kakek, kita ada di mana? Mengapa di sini sunyi sekali?
Aku ingin bertanya padamu, Kek. Tapi apa dayaku diciptakan tanpa bibir yang dapat berteriak, tangan yang dapat menggenggam, dan kaki yang dapat mengejarmu sekarang. Tidak apa-apa jika kakek membuangku. Aku tahu inilah akhir yang akan didapat oleh kaumku. Tapi apa artiku bagimu, Kek. Apa aku hanya sebatas hadiah dari orang terkasihmu? Apakah aku kenangan sedih yang ingin kau buang agar tak teringat kekasihmu?.
Selesai
Penulis merupakan peserta terpilih dalam kompetisi penulisan majalah Komunikasi UM 2022
Film Merindu Cahaya De Amstel (MCDA) merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Arumi E yang kemudian dialih wahanakan menjadi sebuah film. Film MCDA mengisahkan perjalanan religi setiap tokoh dan keterkaitannya dengan kehidupan perempuan. Konflik demi konflik dalam film MCDA disusun dengan sangat rapi dan serba ada, mulai dari konflik keluarga, sahabat, hingga percintaan yang dibalut dengan kisah religi serta konflik sosial yang sangat relate dengan isu kekerasan, toxic relationship saat ini
Kisah cinta antara Nico dan Khodijah menjadi bumbu manis sebagai ciri khas film roman
Indonesia, namun kisah dibalik bersatunya
Nico dan Khodijah mengisahkan cerita yang sangat haru dan pahit khususnya bagi kaum perempuan. Film MCDA sekaan menunjukkan bahwa perempuan sangat rawan menjadi objek kejahatan. Mengapa demikian?
Opening scene pertama film ini menyajikan tokoh Kamala yang sedang menaiki transportasi umum dengan posisi berdiri, lalu lelaki asing di sebelah Kamala sedang berusaha merobek tasnya untuk mencuri dompet Kamala. Bersyukur
Kamala selamat dari perampok tersebut dibantu oleh Khadijah, di bus itulah mereka pertama kali bertemu dan saling mengenal. Kamal memiliki seorang sahabat bernama Sarah. Persahabat
Sarah dan Kamala sedikit renggang karena tingkah Sarah yang sulit dinasihati oleh Kamala terkait laki laki dan Sarah merasa Kamala terlalu ikut campur dengan kehidupan pribadi Sarah.
Lalu apa yang terjadi pada Sarah? Sarah menjadi korban abusive dari pacarnya yang merupakan orang asing di Eropa. Tidak sampai disitu saja kekerasan yang dialami oleh perempuan nampaknya pernah terjadi pada setiap tokohnya.
Marien Venhooven merupakan warga asli
Belanda dan sedang menempuh kuliah Sastra
Indonesia, wanita dengan kehidupan serba bebas mulai dari sex, alkoholisme, dan narkoba