DAFTAR ISI SALAM REDAKSI: .................3
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA:
EDITORIAL
KPA Dukung RUU Reforma Agraria ............... 39
Mengembangkan Pertanian Agroekologi Pada Petani: ........... 4-7 Saat ini fokus dunia internasional adalah menjaga lahan produktif pangan agar tidak hilang dan sekaligus melestarikan ekosistem keberagaman hayati, agar tidak punah akibat dari perkembangan pertanian modern. Hal ini sebagai tanda bahwa pertanian monokultur skala luas dan agrokimia akan digantikan dengan sistem agroekologi.
Janji Redistribusi Lahan Jokowi Wajib Direformulasi ............. 41-42
SOSOK:
Rudi Casrudi ........... 44-46 Belajar Bertani Sampai Ke Negeri Sakura.
BERITA AGRARIA
Membangun Agroekologi untuk Pertanian Pangan Yang Berkelanjutan. Wawancara Eksklusif Syamsul Asinar Radjam ........ 8-10
DUNIA DALAM KPA: ............... 16-28
RESENSI:
Saat ini, The Will (kehendak) untuk memperbaiki atau membangun di negara kita seolah tidak pernah habis, dari level internasional, nasional hingga lokal yang diusung beragam aktor.
........... 47-49
LINTAS PERISTIWA: .................29-38
Sumber Foto: Dokumen KPA dan media online Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atasdukungan dari Ford Foundation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan, baik berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi. Tulisan yang dimuat akan menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email : kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi.
Salam Reforma Agraria sejati Pada edisi ke-13, Suara Pembaruan Agraria kali ini, redaksi akan memuat isu-isu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Dalam Editorial mengulas tentang sistem agroekologi, suatu sistem pertanian yang memberdayakan petani untuk mengolah tanah secara alami dengan menjaga keseimbangan ekosistem. Dalam rubrik Berita Agraria, Suara Pembaruan Agraria mengangkat beberapa topik aktual dalam bentuk Opini dan wawancara eksklusif. Di edisi ke-13 kali ini juga, memuat perkembangan kegiatan organisasi KPA yang ditampilkan dalam rubrik Dunia Dalam KPA, diantaranya: workshop lanjutan Konfrensi Nasional Reforma Agraria: Jalan Baru Reforma Agraria, Liputan Laporan Akhir Tahun dengan tema KPA Dorong Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria, Pertemuan ILC di Thailand dan dua agenda diskusi jumatan KPA. Pada rubrik Lintas Peristiwa menyajikan rangkaian beragam peristiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: konflik agraria di Barito, Pembunuhan berencana terhadap Serikat Tani Tebo, Tiga Petani Banyuwangi Dikriminalisasi, Tiga Nelayan Ujungkulon Dibebaskan dan Warga Morowali Minta Desa Lee Dikeluarkan dari Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam edisi ini Redaksi Suara Pembaruan Agraria juga mengulas Dinamika Kebijakan Agraria, KNPA Usulkan Unit Penyelesaian Konflik Kepada Menteri Sekertaris Kabinet, KPA dukung RUU Reforma Agraria, KPA Menolak Liberalisasi Sumber Agraria, KPA juga menyikapi agenda Jokowi yang ingin melakukan distribusi 9 juta hektar tanah dan masukan Rukun Tani Indonesia kepada Pemerintahan Jokowi untuk menyetop impor beras. Dalam rubrik Sosok, KPA mengangkat sosok Rudi Casrudi yang merupakan Ketua Rukun Tani Indonesia yang berhasil mengembangkan metode SRI pada tanaman padi. Di bagian akhir, kami juga mengangkat Resensi Buku “The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan Indonesia. Harapannya, buletin ini dapat hadir mencukupi kebutuhan akan informasi aktual dan pelajaran penting apa yang dapat dimaknai dari setiap kejadian. Semoga tiap rangkaian kata dapat dijadikan modal bagi perluasan kesadaran dan pengetahuan bagi pembesaran gerakan Reforma Agraria di Indonesia.
Tiada Demokrasi Tanpa REFORMA AGRARIA Sejati
Edisi : XIII / Des - Feb 2015 Penanggung Jawab Iwan Nurdin Pemimpin Redaksi Dewi Kartika
Dewan Redaksi Galih Andreanto, Andria Perangin-angin, Jarwosusilo, Cahaya Rosalina, DD Shineba, Untung S, Yusriansyah, Roy Silalahi, Diana, Acik Andini, Adang Satria, Andree MP Fotografer Dep.Kampanye dan Kajian Seknas KPA tata letak Jarwo Alamat Redaksi Kompleks Liga Mas Indah Jl. Pancoran Indah I Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telp 021-7984540 Fax 021-7993834 Email : kpa@kpa.or.id
-Seknas KPASUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
3
EDITORIAL
Mengembangkan Pertanian Agroekologi Pada Petani
B
eberapa tahun belakangan dunia sedang diramaikan dengan istilah pertanian berkelanjutan atau yang dikenal dengan mengembangkan dunia pertanian agroekologis. Munculnya wacana agroekologis, sebagai akibat dari gagalnya pengembangan pertanian konvensional yang berorientasi kepada pengembangan jenis tanaman monokultur skala luas dan penggunaan pupuk kimia serta pestisida dalam jumlah besar. Di Indonesia, perluasaan lahan pertanian perkebunan dengan jenis tanaman monokultur bukan hanya merusak keanekaragaman hayati, tetapi lebih memberikan efek negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Rakyat petani yang semula dengan leluasa bercocok tanam di tanahnya, secara tiba-tiba dikriminalisasi oleh aparat negara karena selembar kertas berupa Hak Guna Usaha (HGU) yang dipegang oleh perusahaan untuk mendirikan perkebunan. Tidak dijaminnya hak petani atas tanah oleh negera melahirkan pertentangan klaim antara warga yang sudah tinggal, menetap dan mengolah tanah secara turun-temurun dengan pihak perusahaan bermodal besar. Ujung pertentangan klaim ini mengakibatkan meletusnya konflik agraria. Dalam hal penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida (agrokimia) di dunia pertanian mengakibatkan kerusakan terhadap unsur hara tanah dan hilangnya sebagian besar mikro organisme yang dibutuhkan tanaman. Alhasil, terjadi kemerosotan kualitas dan kuantitas produksi pertanian serta menyebabkan tanah menjadi tandus.
4
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
EDITORIAL Selain itu, pengembangan pertanian agrokimia menyebabkan ketergantungan petani terhadap bahan-bahan kimia untuk mengolah lahan pertaniannya. Ketergantungan ini terjadi karena petani tidak mampu membuat pupuk alami yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan pupuk. Mereka melakukan monopoli pupuk dan mengatur harga pupuk dengan cara membatasi jumlah pupuk yang beredar di pasar. Saat ini fokus dunia internasional adalah menjaga lahan produktif pangan agar tidak hilang dan sekaligus melestarikan ekosistem keberagaman hayati, agar tidak punah akibat dari perkembangan pertanian modern. Hal ini sebagai tanda bahwa pertanian monokultur skala luas dan agrokimia akan digantikan dengan sistem agroekologi. Rusaknya Lahan Pertanian dan Hutan di Indonesia Pada masa Orde baru, pemerintah dikala itu melakukan modernisasi pertanian sesuai dengan perkembangan sistem pertanian dunia. Pertanain monokultur skala besar dilakukan, yaitu menanam padi untuk swasembada pangan. Pemerintah memaksa petani untuk menanam padi dengan jumlah besar, kemudian untuk mendukung produktifitas pertanian, baik kualitas maupun kuantitas maka dikembangkan agrokimia dengan membangun pabrik pupuk. Modernisasi pertanian di era Orde Baru hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomis beras. Pemerintah memberikan perhatian yang besar untuk peningkatan jumlah produksi padi. Namun dalam perjalanannya, dampak pasca pertanian monokultur skala luas dan agrokimia baru terasa sekarang. Ada dua dampak yang dikembangkan sistem pertanian era Orde Baru, pertama perubahan cara bertanam petani. Peru-
Memasuki era 90-an Pemerintahan Orde Baru memfokuskan pembangunan ke arah perindustrian. Pembangunan perindustrian dipusatkan di Pulau Jawa yang merupakan lahan subur untuk pertanian. bahan ini menyebabkan, hilangnya budaya bertani yang disertai deskilling. Petani tidak mempunyai kemampuan bertani seperti membuat pupuk alami, pestisida alami maupun membuat bibit tanaman. Petani menjadi bergantung kepada perusahaan pertanian untuk penyediaan pupuk, pestisida dan bibit, walau sebenarnya alam sekitar mereka sudah menyediakan semuanya. Kedua, rusaknya tanah pertanain yang diakibatkan bahan kimia dan terganggunya ekosistem. Menurut para ahli pertanian, pupuk kimia yang diberikan kepada tanaman mengalami residu, artinya tanaman tidak mampu menyerap semua bahan kimia yang ada pada pupuk sehingga menghasilkan sisa. Sisa bahan kimia yang tidak diserap oleh tanaman jika terkena air dan bercampur dengan tanah akan menyebabkan tanah mengeras. Tingginya kandungan kimia di dalam pupuk maupun pestisida menyebabkan organisme, seperti cacing yang dibutuhkan tanah mati. Kedua hal ini yang menyebabkan kesuburan tanah jauh merosot sehingga kualitas dan kuantitas produksi tanaman menurun. Selain itu, sistem pertanian monokultur skala luas menyebabkan populasi salah satu hama
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
5
EDITORIAL
[ Lahan pekarangan yang dimanfaatkan sebagai demplot tanaman ]
tanaman meledak karena makanan yang melimpah. Peningkatan populasi ini memberikan resiko gagal panen menjadi besar. Memasuki era 90-an Pemerintahan Orde Baru memfokuskan pembangunan ke arah perindustrian. Pembangunan perindustrian dipusatkan di Pulau Jawa yang merupakan lahan subur untuk pertanian. Dampaknya adalah meledaknya masyarakat urban diperkotaan akibat porak-porandanya ekonomi pertanian di desa. Petani yang kehilangan skill untuk bertani, ditambah lahan untuk pertanian semakin sempit karena pembangunan infrastruktur guna mendukung industrialisasi, membuat petani mengkonversi mata pencahariannya. Ada yang menjadi buruh murah di perkotaan, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan sebagian besar bekerja di sektor informal non-pertanian. Memasuki era reformasi, sistem pertanian ada sedikit perubahan. Untuk sis-
6
tem pertanian perkebunan monokultur yang merampas tanah rakyat semakin masif. Era reformasi, ekspansi perkebunan sawit yang paling dominan. Berdasarkan data Sawit Watch, perluasan sawit sampai saat ini telah mencapai 13 juta hektar. Dari catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia mengalami kerusakan hutan 1,7 juta hektar per tahunnya akibat aktifitas perkebunan, khususnya kelapa sawit. Tidak mengherankan jika lembaga masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat konflik agraria setiap tahunnya terbesar di kawasan perkebunan. Begitu juga catatan BPS, 2013, yang mengatakan terjadi penurunan jumlah petani sebanyak 5 juta. Muaranya ada pada sistem penguasaan dan pegelolaan lahan yang hanya menjadikan masyarakat pertanian sebagai objek dalam pembangunan. Pada era reformasi, yaitu awal ta-
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
EDITORIAL hun 2000, mulai dikembangkan pertanian organik. Namun sifatnya masih komersil, jadi petani tetap membeli pupuk, bibit dan pestisida dari perusahaan pertanian karena tidak berdaya untuk membuat pupuk dan pestisida alami. Tetapi pada 2010 Indonesia mulai mengenal sistem agroekologi untuk memberdayakan petani dan melawan rezim pertanian organik yang komersil. Muliakan Petani Kehidupan petani di negeri ini sangat lekat dengan kemiskinan, bodoh, tidak berdaya dan kelompok masyarakat kelas bawah. Banyak hal yang menjadikan mereka demikian, mulai dari tidak punya lahan atau hanya berlahan sempit, minimnya bantuan pemerintah dalam bentuk modal, teknologi maupun pengetahuan, sampai modernisasi dipaksa ke dalam kehidupan mereka. Pengembangan agroekologi merupakan salah satu jawaban yang harus dilakukan pemerintah. Agroekologi merupakan pertanian yang menjaga kelestarian ekologis dengan memberdayakan petani. Petani diberikan lahan untuk digarap kemudian diajarkan pengetahuan tentang pertanian alami, seperti membuat pupuk dan pestisida dari bahan alami yang ada di sekitar mereka. Teknologi yang digunakan juga harus sederhana. Agroekologi memiliki tiga tujuan, yaitu menata dimensi kehidupan soial, dimensi ekologis dan dimensi ekonomis. Dalam menata dimensi kehidupan sosial maka tanah untuk petani harus diberikan, walau rata-rata lahan yang digunakan pada pertainan Agroekologi tidak begitu luas karena bukan pertanian komersil. Agroekologis bersifat memberdayakan petani, menjaga keberagaman ekosistem, mengembangkan pengetahuan petani lokal dalam bercocok tanam dan mengembangkan keberagaman jenis tanaman dalam lahan per-
tanian. Jadi hal yang utama dalam dimensi kehidupan sosial adalah jaminan lahan bagi petani dan ini sesuai dengan UUPA 1960 yang reforma agraria bercorak populis. Untuk menjaga agar ekosistem dalam pertanian tidak rusak maka petani harus dibekali pengetahuan jenis-jenis tanaman yang bermanfaat untuk mendukung pertaniannya secara alami. Agroekologi lebih mengutamakan kemandirian petani untuk membuat bibit, pupuk, pestisida sendiri secara alami. Dengan demikian petani mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian alamnya. Jika salah satu populasi dari ekosistem tersebut terganggu maka bisa berpengaruh kepada produksi pertanian. Agroekologi sangat bertantangan dengan pertanian monokultur yang bersifat komersil dan agrokimia karena sifatnya yang merusak. Bukan berarti agroekologi tidak memperhatikan nilai ekonomi dalam kehidupan petani. Namun konsep utama arkeologi terletak kepada pemenuhuan kebutuhan pokok petani, jika hal tersebut sudah terpenuhi maka hasil pertanian yang lainnya bisa disimpan. Pada kenyataannya secara ekonomis, petani tidak mengeluarkan biaya produksi yang sangat besar karena mereka tidak membeli bibit, pupuk dan pestisida. Biaya produksi yang rendah akan menghasilkan biaya jual yang tidak mahal. Pemerintah hanya perlu menjamin bahwa produk lokal bisa menembus pasar internasional. Selama ini pemerintah tidak pernah membuka akses pasar kepada petani sehingga tergantung kepada tengkulak yang membeli barangnya dengan harga yang ditetapkan oleh tengkulak itu sendiri.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
7
BERITA AGRARIA Wawancara Eksklusif
Syamsul Asinar Radjam
Membangun Agroekologi untuk Pertanian Pangan Yang Berkelanjutan.
S
ampai saat ini Indonesia masih menyimpan berbagai masalah mengenai agraria. Penguasaan, kepemilikan, pemanfaatan lahan, sampai tenik pertanian yang ramah lingkungan untuk generasi mendatang masih belum terselesaikan. Modernisasi pertanian pada era Orde Baru menempuh dua cara, pertama menghidupkan kembali pertanian monokultur skala luas dan menjadikan petani sebagai buruh perkebunan, sama seperti zaman kolonial. Kedua adalah menggunakan pestisida dan pupuk kimia yang menyebabkan petani tergantung kepada agrokimia. Beberapa tahun belakangan ini Indonesia mulai mengenal pertanian agroekologi. Sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tidak mengedepankan ekonomi semata. Untuk memperdalam pengetahuan tentang agroekologi dan kondisi pertanian akibat agrokimia, tim Suara Pembaruan Agraria (SPA) melakukan wawancara eksklusif dengan Syamsul Asinar Radjam. Pria kelahiran Prabumuli, 16 Desember 1977 sudah memulai agroekologi sejak awal 2013. Setelah lulus dari Asian Rural Institut di Jepang (2011), dia membangun agroekologi di desa Cijapun, Sukabumi. Lahan terlantar yang dulunya tandus sekarang sudah mulai berproduksi dengan agroekologi. Saat ini pria yang akrab disapa Bung Syam aktif di Institute Agroekologi Indonesia. Berikut hasil wawancara tim SPA dengan Bung Syam:
8
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
BERITA AGRARIA Apa yang menyebabkan kerusakan lahan di Indonesia? Kerusakan lahan pertanian di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Era revolusi hijau yang mengandalkan pestisida, pupuk kimia, serta pertanian monokultur skala luas berakhir, zaman orde baru mewariskan kondisi lahan pertanian yang tandus, kritis dan tidak produktif. Warisan lainnya adalah hilangnya pengetahuan lokal yang sangat menunjang keberlangsungan produksi pangan di Indonesia. Dalam spektrum lebih luas, terjadi kemorosotan ekosistem ekonomi pertanian yang berdampak kepada degradasi lingkungan, penurunan produksi pangan dan kehancuran produksi pertanian secara umum. Seberapa Besar kerusakan yang terjadi di sektor pertanian? Besarnya kerusakan bisa kita lihat dari peningkatan penggunaan dan kebutuhan pupuk kimia serta pemakaian pestisida yang semakin masif. Penggunaan bahan kimia secara berlebihan pada pertanian menjadi bukti terganggunya keseimbangan ekosistem pertanian. Penggunaan insektisida secara terus menerus mengakibatkan hama semakin kebal dan menjadi makin berkembang lebih masif hingga menyebabkan kerugian di bidang pertanian lebih serius. Teknik pertanian apa yang dapat mengembalikan ekosistem? Ada sebuah sistem pertanian yang mensyarakatkan kesimbangan ekosistem. Konsep ini dirumuskan sebagai konsep agroekologi, yaitu penerapan pengetahuanpengetahuan ekologi ke dalam desain pengelolaan pertanian. Konsep agroekologi memiliki beberapa keunggulan, seperti
daur nitrogen (salah satu unsur hara yang dibutuhkan tanaman) berlangsung secara alami dan hanya membutuhkan sedikit asupan dari luar. Kemudian sistem proteksi tanaman dari hama juga berlangsung secara alami sehingga membuat tanaman menjadi lebih kuat. Beberapa praktek pertanian tradisonal telah menunjukkan kaidah-kaidah agroekologi. Meski demikian, agroekologi bukan sekadar pengetahuan yang berasal dari masa lalu atau pengetahuan tradisional. Agroekologi menerapkan pendekatan menyeluruh terhadap pengembangan sistem pertanian dan produksi pangan yang didasarkan pada pengetahuan tradisional, pengalaman lokal, dan metode bertani yang diperkaya dengan pengetahuan ilmiah modern. Pertanian di Indonesia harus bisa bertransformasi dari corak pertanian tradisional yang bersifat subsisten maupun pertanian konvensional yang sarat penggunaan bahan kimia sistesis menuju corak pertanian agroekologi. Bagaimana menjalankan pertanian agroekologi di kehidupan petani yang sudah sangat tergantung dengan kimia? Seharusnya ada gerakan yang mengkampanyekan kembali pertanian agroekologis, baik pemerintah maupun kelompok masyarakat seperti organisasi tani atau lembaga sipil masyarakat. Kemudian mengajak petani mengenali sumbersumber daya alam yang ada di tingkat lokal, seperti bahan baku pembuatan pupuk yang alami, pembuatan pakan alami, pestisida yang alami dan tidak kalah penting adalah pengembangan benih lokal yang sudah teruji. Kegiatan ini harus didukung oleh pengembangan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan serta pendampingan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
9
BERITA AGRARIA petani sehingga tidak menjadi kagiatan program semata. Di sisi lain, perlu juga dilakukan pengembangan kearifan lokal di bidang pertanian menjadi pengetahuan ilmiah berbasis pertanian praktis. Apakah ada contoh wilayah di Indonesia yang sudah memulai pertanian agroekologi? Banyak. Di antaranya yang dilakukan oleh Rukun Tani Indonesia (RTI) di Gunung Kidul. Rudi Casrudi, Ketua RTI bersama kawan-kawan petani di sana telah berhasil mengembangkan padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI). Pengembangannya sama sekali tidak menggunakan bahan kimia, semua terbuat dari bahan alami. Kedua adalah di kebun Cijapun, kebun kecil yang saya kelola. Pada awalnya lahan kebun ini merupakan lahan tandus yang terbengkalai. Kemudian melalui pendekatan agroekologi, perbukitan tandus tersebut sudah ditumbuhi hutan kemiri yang dipadukan dengan kakao, dan beberapa petak sawah yang dikelola secara agroekologi, dengan memanfaatkan sebesar mungkin bahan-bahan yang ada di alam, baik untuk pupuk, pestisida, maupun mikro-organisme lokal. Lahan yang semula tandus menjadi hijau. Kesuburan alami kembali membaik. Lahan tandus dan terlantar bahkan nyaris tanpa vegetasi, tapi sekarang mulai berproduksi.
Pemerintah harus mengurangi dan bila perlu menghentikan impor pestisida kimiawi, membangun bank benih lokal di desa-desa hingga tercipta kemandirian benih di tingkat desa. Pemerintah juga harus membangun infrastruktur pertanian yang meningkatkan daya dukung lingkungan. Bagaimana masa depan sistem pertanian agroekologis untuk menjawab persoalan di bidang pertanian? Di antara beberapa prinsip agroekologi, paling tidak ada dua hal yang bisa menjawab persoalan ini. Pertama keberlanjutan dan kedua keberagaman. Kedua prinsip ini menjamin pemenuhan komoditas pangan, jika dibandingkan pertanian konvensional yang nilai keberlanjutannya rendah.(AGP)
Apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini? Pembangunan di sektor pertanian mesti mengedepankan pendekatan agroekologis. Artinya, pembangunan pertanian bukan hanya sekedar mengejar peningkatan produktifitas komoditi. Pemulihan ekosistem juga mesti diutamakan.
10
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
BERITA AGRARIA
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
11
BERITA AGRARIA
Membangun Sistem Pertanian Pekarangan Sebagai Tradisi Pertanian Keluarga yang Menghargai, Menjamin dan Melindungi Keberlanjutan Alam. Oleh Nissa Wargadipura
Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yaitu warung hidup dan apotik hidup, menambah pendapatan keluarga, memberikan keindahan lingkugan tempat tinggal, juga mampu dijadikan asset berharga bagi pengembangan usaha tani skala rumah tangga. Oleh karena itu dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan, pekarangan dapat dijadikan basis usaha pertanian tanaman sayuran dan tanaman obat dalam rangka memberdayakan sumber daya keluarga, serta meningkatkan kedaulatan pangan dan kecukupan gizi yang sehat, alami dengan system bertani yang sangat ramah lingkungan.
P
elaksanaan pertanian berkelanjutan bersumber dari tradisi pertanian keluarga yang menghargai, menjamin dan melindungi keberlanjutan alam untuk mewujudkan kembali budaya pertanian sebagai kehidupan. Oleh karena itu, diistilahkan sebagai “Pertanian Berkelanjutan berbasis masyarakat�, ini untuk membedakannya dengan konsep "Pertanian Organik Berhaluan Agribisnis". Pertanian berkelanjutan merupakan tulang punggung bagi terwujudnya kedaulatan pangan, yang menggabungkan berbagai komponen seperti pengetahuan ekologis (proses-proses natural dan saling berkaitan yang terjadi di alam), kemampuan manusia untuk mendesain sistim produksi
12
semisal pertanian dan peternakan, pemanfaatan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta kesadaran untuk bekerjasama dengan budaya dan lingkungan setempat. Pengelolaan pertanian berkelanjutan telah berhasil dilakukan di Pesantren Ekologi Ath Thaariq, dengan mengoptimalkan areal kebun kecil dengan luas kurang lebih 0,25 ha yang dikelola bersama oleh anggota pesantren sebanyak 25 orang. Areal ini telah berhasil memenuhi kebutuhan gizi keluarga Ath Thaariq disamping sekaligus untuk keindahan (estetika). Pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga secara cukup, berkualitas, bergizi, dan aman secara teratur. Dengan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
BERITA AGRARIA
biaya murah dan pengawasan mudah, kebun ini dapat menjadi sarana mengatasi kelangkaan pangan keluarga kami. Areal ini kami sebut sebagai areal “pekarangan rumah�, karena tempat kami berkebun ada dilingkungan tempat kami tinggal. Dengan system produksi tanaman pertanian di pekarangan dapat mendukung usaha kedaulatan pangan. Lahan pekaranganpun telah dapat dikembangkan sebagai apotik hidup dengan menanami tanaman obat keluarga (TOGA) dan gizi dengan menanam berbagai kacang– kacangan, buah-buahan dan sayuran. Demi mengendalikan dan mencegah adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman, pesantren menanam beragam jenis tanaman. Tindakan ini pun mempermudah keluarga untuk mendapatkan akses makanan sehat dengan mengembangkan system bertani organik, sekaligus berperan pula dalam pelestarian lingkungan berupa kesejukan, kesegaran, keindahan, biodiversitas, bahkan
membantu memitigasi gas rumah kaca (produk intangible). Berdasarkan pengalaman yang terus dilakukan oleh Pesantren Ath Thaariq, jenis tanaman hortikultura yang ditanam adalah mulai dari sayuran, buah-buahan, sampai obat-obatan. Dengan umur tanam yang pendek, gampang diurus (tidak memerlukan waktu yang khusus), bergizi tinggi, jenis tanaman yang cukup banyak, mampu ditanam secara berkala dapat dimanfaatkan dalam mencukupi kebutuhan keluarga Pekarangan Pesantren Ath Thaariq mampu memenuhi sebuah gerakan berbentuk intensifikasi pekarangan sebagai warung hidup, yaitu pekarangan yang memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai berikut : a. Sumber vitamin Sumber Vitamin yang diperlukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh. kebutuhan vitamin sangat penting
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
13
BERITA AGRARIA artinya bagi tubuh manusia. Kekurangan vitamin dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Sering terjadi di dalam masyarakat kita adalah kekurangan vitamin A dan C. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan buta senja dan xerophtholmia. Akibat yang sangat serius adalah kebutaan dan tidak dapat disembuhkan lagi. Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan gusi berdarah. Jika kekurangan vitamin C pada masa kanak-kanak, pertumbuhan gigi geligi akan terganggu. Pada tingkat yang ringan memberikan gejala pada jaringan gusi, bisa dijumpai pada anak-anak pra sekolah. Kebutuhan akan vitamin A dan C dapat dipenuhi dari sayur-sayuran. Beberapa jenis sayaur-sayuran yang kaya akan vitamin A (5.000 – 18.000 SI) adalah bayam, sawi, kankung, kacang panjang, kecipir, katuk, dan kemangi. Sementara beberapa jenis sayuran yang banyak mengandung vitamin C (50 – 275 mg) adalah katuk, lobak, bayam, petsai, oyong, dan cabai hijau besar.
zat besi antara lain bayam, kacang panjang, kecipir, lobak, kangkung, katuk, kemangi, petsai, sawi, cabai, dan wortel. c. Sumber Penganekaragaman (Diversivikasi) Makanan Penganekaragaman (diversifikasi) makanan pada dasarnya menekankan pada konsumsi makanan yang bervariasi. Membiasakan berfikir dan bertindak dalam memilih bahan makanan atas dasar pedoman 4 sehat 5 sempurna, termasuk didalamnya sayuran penting dilakukan. Oleh karena itu penanaman pekarangan
b. Sumber Mineral Mineral menempati sekitar 4 % dari total berat tubuh manusia. Berdasarkan macamnya, unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia adalah unsur K, Na, Ca, Mg, P, S dan Cl sbagai mineral makro, serta unsure Fe, Cu, Co, Se, Zn, Cr dan Mo sebagai mineral mikro. Mineral yang berkaitan erat dengan sayuran serta apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan masalah kesehatan adalah zat besi (Fe). Kekurangan Fe menimbulkan animea gizi yang dapat mengakibatkan produktifitas dan daya konsentrasi berkurang. Sayuran yang mengandung vitamin C berperan meningkatkan absorpsi Fe dalam usus. Jenis sayuran yang banyak mengandung
14
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
BERITA AGRARIA dengan aneka jenis sayuran akan merupakan sumber penganekaragaman makanan. d. Sarana Kesehatan Produk sayuran kaya akan zat gizi yang dibutuhkan untuk perbaikan gizi keluarga dan sarana kesehatan masyarakat. Kampanye dengan moto “kembali ke alam� mengisyaratkan pentingnya menggunakan makanan alami, termasuk sayuran. Usaha intensifikasi pekarangan secara kontinu dengan budidaya sayuran merupakan penunjang utama tingkat konsumsi sayuran, perbaikan kualitas hidup, dan peningkatan pendapatan. Pengalaman penting dari apa yang kami lakukan, di lahan pekarangan, dapat dijadikan asset berharga bagi pengembangan usaha tani skala rumah tangga. Kini pemanfaatan lahan menjadi basis usaha pertanian yang mampu memberdayakan sumber daya keluarga dalam kegiatan menjual tanaman herbal bersifat rajangan kering, yang dijual secara online. Pesantren Ath Thaariq berusaha untuk memberikan contoh bagi lingkungan, dimana seluruh pemenuhan keluarga, terutama pangan, diproduksi sendiri, sehingga pangan bisa terpenuhi, mandiri dan tidak tergantung pada pasar dan bantuan. Areal terbatas dikelola secara optimal dan terencana sehingga dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi seluruh anggota di Pesantren Ath Thaariq. Dengan adanya pemanfaatan lahan pekarangan yang dilakukan oleh Pesantren Ath Thaariq, sangat banyak mengurangi pengeluaran belanja bulanan dan memberdayakan para anggotanya. Sehingga dalam mencukupi kebutuhan pangan, gizi dan nutrisi keluarga tidak menjadi beban.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
15
DUNIA DALAM KPA
Workshop KNRA: Jalan Baru Gerakan Reforma Agraria
[ Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN, Ferry Mursidan Baldan dalam Workshop KNRA 4-5 Desember 2014 ]
U
ntuk merealisasikan rekomendasi KNRA (Konferensi Nasional Reforma Agraria) dan merespon dinamika kebijakan serta gerakan agraria terkini, maka lembaga yang tergabung dalam KNRA melakukan workshop. Workshop ini menjadi ajang konsolidasi nasional untuk memperkuat gerakan reforma agraria diseluruh wilayah Indonesia. Pemerintahan baru Indonesia diharapkan mampu dan mau menjalankan Reforma Agraria. Sudah barang tentu diperlukan rumusan baru Reforma Agraria untuk menyelesaikan pelbagai problematika Agraria di republik ini.
16
Kegiatan yang berlangsung 4-5 Desember 2014 di Hotel Cemara ini bertujuan untuk merumuskan langkah baru untuk medorong pemerintah menjalankan agenda reforma agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan 36 lembaga lainnya hadir dalam acara ini. Dalam acara tersebut dihadiri juga oleh Menteri Agraria Ferry Mursydan Baldan, dan Dewan Pakar KPA Noer Fauzi. Mereka hadir sebagai pembicara dalam workshop yang bertemakan “Konsultasi Nasional Buku Putih dan Perumusan Roadmap Jalan Baru Gerakan Reforma Agraria�.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA
Adapun tujuan dalam workshop ini adalah: (1) Mereview hasil KNRA, (2) Mengkonsultasikan dan memfinalisasi buku putih RA, (3) Merumuskan pelembagaan Komite Nasional Pembaruan Agraria, (4) Merumuskan penulisan roadmap jalan baru gerakan reforma agraria, dan (5) Merumuskan tindak lanjut agenda konsolidasi nasional dan wilayah. Selain itu, Ketua Organizing Committee (OC) Konfrensi Naional Reforma Agraria (KNRA), Usep Setiawan, menegaskan tujuan pokok workshop ini diadakan untuk melakukan review terhadap hasil KNRA dan finalisasi buku putih reforma agraria. Kemudian pada hari kedua peserta workshop menyusun rencana tindak lanjut. Buku putih tersebut akan menjadi pola gerakan baru dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam perjuangan reforma agraria.
Berbagai pihak yang hadir dalam workshop tersebut turut memberikan masukan. Menurut Edi Sutrisno dari Tuk Indonesia, “Menteri Agraria harus segera melakukan pendataan ulang terhadap semua ijin pengelolaan sumber agraria yang diberikan kepada perusahaan. Semua aktivitas perusahaan yang tidak sesuai ijin sebaiknya diberikan sanksi yang berat, dengan mencabut ijin dan menutup perusahaan tersebut�, ucap Gun. Pelaksanaan Reforma Agraria memang memerlukan proses yang panjang. Mulai dari melakukan pendataan, inventarisir dan kemudian melakukan redistribusi. Namun hal pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan format baru pelaksanaan Reforma Agraria dan membenahi peraturan perundang-undangan sektoral yang tumpang tindih.(YD).
[ Sekjend KPA Iwan Nurdin, Menteri ATR/Kepala BPN Ferry Mursidan Baldan dan Dewan Pakar KPA Noer Fauzi Rachman ]
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
17
DUNIA DALAM KPA
Laporan Akhir Tahun KPA 2014
[ Penyampaian laporan akhir tahun KPA 2014 ]
K
onsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaksanakan diskusi dan merilis Catatan Akhir Tahun 2014 KPA: Membenahi Masalah Agraria–Prioritas Kerja Jokowi-JK bertempat di Cikini, Jakarta Selatan, Pada 23 Desember 2014. Diskusi ini dipandu oleh Wimar Witoelar (Yayasan Perspektif Baru) dan diisi oleh Iwan Nurdin (Sekjend KPA), Masinton Pasaribu (Komisi III DPR RI), Dianto Bachriadi (Komnas HAM), dan Eva Bande (Aktivis Agraria yang dikriminalisasi dan diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo) sebagai narasumber. Selain rekan-rekan jaringan seperti Bina Desa, HuMA, Epistema, JKPP, Repdem, dan lain-lain, acara ini juga dihadiri oleh rekan-rekan media seperti, Kompas, Antara, Mongabay, CNN Indonesia, Greeners, Varia, dan beberapa media lainnya. Dalam acara peluncuran catatan akhir tahun, KPA, mencatat bahwa konflik agraria tertinggi terjadi di sektor infrastruktur, yang dibahas oleh Iwan Nurdin. Menurutnya secara langsung ataupun tidak merupakan meluasnya konflik agraria di sektor infrastruktur akibat dari semakin meluasnya
18
proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dianto Bachriadi dalam diskusi ini menyebutkan, pemerintahan Jokowi-JK butuh unit khusus penyelesaian konflik agraria. Dalam kerja-kerjanya unit khusus ini langsung di bawah komando Presiden dan salah satu agendanya adalah mendata subyek reform. Sementara itu, Masinton Pasaribu mengungkapkan, pemerintahan Jokowi-JK di tahun 2015 tidak melibatkan TNI/Polri dari permasalahan agraria, dan menyarankan penyelesaian konflika agraria secara radikal dengan menjalankan reforma agraria. Eva Bande, sebagai aktivis yang pernah menjadi korban kriminalisasi, mengungkapkan testimoninya, mengenai aktivitas perjuangannya yang berdampak pada dijebloskan Eva ke dalam penjara. Dia juga menyampaikan kesan-kesannya sebagai orang pertama yang diberi grasi untuk kasus agraria, serta harapannya agar rekan-rekan sesama pejuang agraria diberi perlakuan yang sama seperti dirinya.CR.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA KPA Mengadakan Lokalatih Penyelesaian Konflik Agraria di Kawasan Hutan
[ Lokakarya penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan ]
M
enyambut Peraturan Bersama No.79/2014; PB.3/MENHUT-II/2014; 17.PRT/M/2014; 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan, yang diterbitkan pada 17 Oktober 2014 lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama jaringannya menggelar lokalatih multi pihak dengan tema “Penyelesaian Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Kawasan Hutan�. Acara ini berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan pada 26-27 Januari 2015. Peserta terdiri dari anggota KPA, baik KPA Wialyah maupun serikat tani, perwakilan masyarakat, perwakilan pemerintah daerah yang meliputi Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, serta jarigan nasional. Lokalatih ini bertujuan untuk membangun pemahaman yang lebih baik dan mendalam tentang masalah agraria di level regional dan nasional. Selama ini banyak
orang menganggap masalah agraria hanyalah masalah pertanian, dampak sosial, politik, ekonomi dan budaya luput dari perhatian. Dengan diadakannya lokalatih ini maka tingkat kesadaran dalam pemahaman tentang konsep reforma agraria secara umum, bisa terbangun. Selain itu, kapasitas masyarakat akan menjadi lebih baik lagi sehingga kesiapan untuk mengembangkan kerja sama antara masyarakat sipil (organisasi petani) dan pemerintah bisa dibangun. Dalam acara tersebut dibahas tentang pelaksanaan reforma agaria di daerah serta merumuskan model-model pembaruan agraria di kawasan hutan. Secara lebih khusus, peserta yang hadir membahas, mendorong penyelesaian masalah tenurial dan agraria dalam rangka impelementasi Peraturan Bersama empat kementrian.CR.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
19
DUNIA DALAM KPA KNPA Dorong Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria
[ Perwakilan KNPA diterima Menseskab Andi Wijayanto ]
M
eningkatnya konflik agraria dari setiap tahunnya mengharuskan hal ini menjadi salah satu fokus Permerintahan Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, selama sepuluh tahun, mulai 2004 sampai penghujung 2014 sudah terjadi 1.520 konflik agraria yang melibatkan 977.103 KK dan luasan konflik mencapai 6.541.951 hektar. Sedikitnya 1.350 orang yang ditahan, 553 mengalami luka tembak, 110 ditembak aparat dan 85 orang yang tewas karena konflik agraria. Melihat kondisi dan situasi agraria yang terus memanas karena tanah-tanah warga terus dirampas dan keterlibatan TNI/Polri semakin nyata di lapangan, maka
20
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengusulkan kepada Menteri Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto, supaya Presiden Jokowi segara membentuk Unit Kerja Penyelesaian Konflik Agraria yang langsung di bawah Presiden. Tugasnya adalah menyelesaikan konflik-konflik agraria masa lalu, termasuk yang berpotensi menjadi konflik agraria struktural. Unit kerja ini bertanggung jawab langsung kepada presiden dan menjadi mitra kementerian maupun lembaga negara dalam meneyelsaikan konflik agraria. Rombongan KNPA yang dipimpin oleh Konsorsium Pembaruan Agraia (KPA) ini
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA disambut Menteri Sekretaris Kabinet, Andi Widjanjanto, pada 27 Januari 2014, pukul 15.00 WIB di Kementerian Sekretaris Kabinet Indonesia. Dalam pertemuan itu Noer Fauzi Rahman yang merupakan Dewan Pakar KPA, memaparkan kepada Bapak Menteri bahwa “jika Presiden Jokowi ingin memerdekakan rakyat maka inilah saatnya”. Ada ribuan orang yang dikriminalisasi karena mempertahankan haknya atas tanah dan ada jutaan orang yang tanahnya telah dirampas oleh korporasi. Noer Fauzi juga menambahkan, “selama ini negara abstain dalam kehidupan petani. Di sadari atau tidak, negara telah menjadi penindas petani”. “Selain itu jika Jokowi ingin menjadikan Indonesia berdaulat dalam bidang pangan maka inilah kesempatan Jokowi, yaitu menjalankan reforma agraria sejati, tutup Noer fauzi”.
Menaggapi usulan tersebut, Andi Widjajanto mengatakan bahwa saat ini presiden ingin menjalankan pembangunan infrastruktur tanpa ada konflik. Beban konflik agraria pada era sebelumnya memang sangat besar namun untuk era sekarang konflik agraria tidak boleh semakin parah. Di penghujung pertemuan tersebut Andi setuju, jika Unit kerja penyelesaian konflik agraria dibentuk maka jangan sampai menjadi berlawanan dengan kementerian yang sudah dibentuk oleh Presiden, tetapi harus sinergis dalam menyesaikan konflik agraria. Adapun anggota KNPA yang datang adalah KPA, IHCS, API, SPI, Bina Desa, Sawit Watch dan Solidaritas Perempuan. Hadir juga pejuang agraria, Eva Bande, korban kriminalisasi yang mendapat amnesti dari Jokowi.AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
21
DUNIA DALAM KPA Konsolidasi KPA Jawa Barat Penyikapan Peraturan Bersama 4 Menteri
[ Konsolidasi KPA Jabar-Banten di Sekretariat SEPETAK Karawang ]
K
onsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terus melakukan konsolidasi untuk mendorong reforma agraria. Salah satu konflik yang terbesar di tanah jawa ini berada di sektor Hutan, dengan durasi konflik agraria yang sangat lama. Faktor utama yang menyebabkan berlarut-larutnya konflik ini adalah lambatnya penetapan tapal batas hak kelola masyarakat. Acara konsolidasi KPA Jawa Barat ini berlangsung di Sekretariat Sekerikat Petani Karawang (Sepetak), Karawang. Tujuan utama konsolidasi ini adalah untuk merapatkan barisan dalam rangka menagih janji Jokowi untuk melakukan redistribusi tanah dan jaminan keadilan agraria di 2015. Dalam pertemuan tersebut diputuskan, serikat tani yang ada di Jawa Barat akan melakukan penguatan organisasi rakyat. Hal ini dikarenakan gerakan rakyat untuk mendorong reforma agraria sudah semakin kehilangan arah. Kebanyakan
22
organisasi rakyat memperjuangkan hak atas tanahnya berbasiskan konflik wilayah. Lemahnya solidaritas antar pejuang agraria merupakan salah satu bukti nyata yang sedang terjadi saat ini. Selain itu KPA Jawa Barat akan melakukan pelatihan mengenai pemahaman tentang reforma agraria, termasuk pekembangan politik hukum ditingkat nasional. Banyak peristiwa kriminalisasi di lapangan dikarenakan pengetahuan tentang UU, Peraturan Pemerintah, SKB Menteri yang menyangkut agraria sangat minim di masyarakat. Acara yang diadakan pada 20 Desember 2014 dihadiri oleh KPA Jawa Barat, Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Karawang (Sepetak), Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS), Jaringan Kekerabatan Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan perwakilan Ujung Kulon, Banten yang sedang berkonflik dengan Taman Nasional Ujungkulon.AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA Diskusi Jumatan:
Ibu-ibu Petani Kulonbambang Kembangkan Pertanian Holtikultura
T
ema diskusi Jumatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 12 Desember 2014, adalah “Peran Perempuan Dalam Gerakan Reforma Agraria dan Membangun Pertanian Holtikultura”. Diskusi yang
mempunyai peran ganda yaitu mengurus masalah domestik rumah tangga mereka dan ikut dalam rapat-rapat gerakan tani.
[Pemanfaatan lahan pekarangan secara organik oleh keluarga petani Kulonbambang ]
berlangsung di kantor KPA ini, diawali dengan menonton film tentang perjuangan dan peran perempuan dalam merebut hak atas tanah di Kulonbambang, Blitar. Dewi Kartika, Wakil Sekjend KPA mengatakan “diskusi yang diawali dengan pemutaran film ini sebenarnya bertujuan untuk menceritakan peran perempuan yang berhasil merebut hak atas tanah dari PT Sari Bumi Kawi”. Perjuangan kaum hawa ini tentu saja bersama-sama dengan kaum adam tidak bisa dilupakan begitu saja. Dalam masa perjuangan ibu-ibu ini
Salah satu adegan film tersebut adalah menampilkan cara ibu-ibu memulai pertanian organik yang telah hilang. Budaya pertanian ini hilang karena selama empat (4) generasi warga Kulonbambang menjadi buruh tani di PT SBK. Petani hanya memiliki kemampuan untuk mengurus cengkeh yang selama ini diajarkan oleh pihak perkebunan. Salah seorang tim yang ikut mengajarkan pertanian hultikultura ini adalah Syamsul Asinar Radjam. Dia mengajarkan pertanian organik bukan hanya kepada ibu-ibu saja, tetapi kepada anak-anak
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
23
DUNIA DALAM KPA
[ Penebaran benih tanaman di Demplot ]
petani yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Menurutnya budaya pertanian yang sudah hilang di petani Kulonbambang harus dikenalkan kepada anak-anak petani sejak dini. Hal ini untuk mengingatkan mereka akan perjuangan panjang orang tuanya dalam memperebutkan hak atas tanah dan memberikan percaya diri kepada mereka sebagai anak petani. Setelah berhasil mendapatkan tanah secara sah dari pemerintah pada 5 Oktober 2011, maka mereka mulai menata pengelolaan lahan pertanian yang ada dipekarangan mereka. Menurut Dewi, pengelolaan pekarangan menjadi lahan pertanian kecil bisa mengurangi tingkat konsumtif ibu-ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti sayur-sayuran.
24
Pengelolaan lahan pekarangan ini juga masih dalam rangka uji coba Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA). Selain KPA, lembaga yang mendukung aktivitas pertanian Holtikultura ini adalah Institute Women’s Empowerment (IWE). Jika percobaan ini berhasil maka akan menjadi sebuah model pengembangan pertanian holtikultura yang bisa dicontoh oleh ibu-ibu petani lainnya. Bagi masyarakat yang ingin mengcopy film berjudul “Dari Wong Persil Menjadi Petani Merdeka: Menuju Desa Maju Reforma Agraria� bisa datang ke kantor Seknas KPA di jalan Komplek Liga Mas Indah Jl. Pancoran Indah I Blok E3 No.1 Pancoran, Jakarta Selatan.AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA
KPA Membahas UU Desa Bersama Masyarakat Sipil Lainnya
[ Lokakarya Nasional “Tantangan Masyarakat Adat dan Pembaharuan Agraria dalam Pelaksanaan Putusan MK 35 dan UU Desa” ]
D
alam Lokakarya Nasional “Tantangan Masyarakat Adat dan Pembaharuan Agraria dalam Pelaksanaan Putusan MK 35 dan UU Desa” yang diadakan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) dan The Asian Foundation pada 3 Februari 2015 di Grand Hotel Kemang. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai lembaga yang concern terhadap permasalahan agraria mencoba membahas UndangUndang desa bersama masyarakat sipil (civil society) lainnya. Sekjen KPA, Iwan Nurdin mengatakan bahwa perlu melihat fungsi
UU Desa dalam memperkuat hubungan desa dengan kota terkait desa sebagai lahan pertanian dan kota sebagai lahan industri. Undang-Undang Desa hendaknya bisa menjadi perangkat yang mendorong terjadinya pembaruan agraria. Harapannya, Rancangan Undang-Undang Desa ini bisa menciptakan hubungan pertanian dan industri sekaligus relasi desa dengan kota yang saling menguatkan. Iwan juga mengatakan, selama ini masyarakat dan pemerintahan desa tidak diberi wewenang dalam mengatur wilayah dan masyarakatnya.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
25
DUNIA DALAM KPA �Apalagi menentukan wilayah mereka atas dasar ulayat untuk diakui negara sehingga sumber-sumber agraria, khususnya tanah, tambang, dan pertanian, dieksploitasi pemerintah di luar desa dan pengusaha dengan dalih investasi dan pembangunan. Undang-undang Desa harus mendorong transformasi pedesaan melalui pembaruan agraria. Menurut Iwan, UU Desa diharapkan juga mengatasi persoalan tumpang tindih dalam penentuan wilayah definitif antara kawasan hutan dan wilayah desa. Berdasarkan data peta desa dan peta kawasan hutan Kementerian Kehutanan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, dari 70.429 desa di Indonesia, sekitar 37 persennya memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.
26
Kondisi ini sangat rawan menimbulkan konflik agraria. Masyarakat yang bertahun-tahun mendiami wilayah desa justru dituding sebagai perambah kawasan hutan. Untuk itu, implementasi UU Desa harus menjamin pembentukan Panitia Reforma Agraria yang mayoritas anggotanya harus organisasi petani/nelayan setempat yang nantinya mampu menekan jumlah pengangguran.AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DUNIA DALAM KPA
Pertemuan Anggota SC ILC Asia 2015 di Bangkok
[ Pertemuan ILC di Bangkok, Thailand ]
P
ertemuan Asia Steering Committee of International Land Coalition (ASC of ILC) pada 19 – 20 Februari 2015 di Bangkok, Thailand. Ini merupakan pertemuan ASC ILC ke-3 untuk periode kepengurusan 2013 – 2015. Pertemuan sebelumnya diadakan di Denpasar, Bali. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai Organisasi Tuan Rumah untuk ILC Asia kembali menjadi penyelenggara dari pertemuan rutin ILC untuk tingkat Asia ini. Hadir dalam pertemuan adalah Anggota SC Asia, yakni: Rowshan Jahan dari ALRD (Bangladesh), Don Marquez dari ANGOC (Philipina), Iwan Nurdin dari KPA (Indonesia), Dewi Kartika dari KPA (Indonesia), Dave de Vera dari PAFID (Philipina), dan Rohini
Reddy dari SARRA (India). Pertemuan ini juga dihadiri oleh Regional Center Unit (RCU) ILC Asia, yakni Erpan Faryadi sebagai Asia Regional Facilitator (ARF) dan Anna Briliante sebagai Program Information Officer (PIO). Pertemuan rutin Anggota SC Asia ini untuk membahas beberapa agenda penting, baik di ILC Asia maupun ILC pusat (Roma), diantaranya; Membahas hasil dan keputusan penting dalam Pertemuan Anggota ILC se-Asia pada Oktober 2015 di India dan Pertemuan Anggota Dewan ILC pada Desember 2015 di Roma, Italia; Membahas dan menyepakati rencana kerja ILC Asia termasuk program kerja para Anggota ILC di Asia; Membahas persiapan pertemuan global ILC yang akan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
27
LINTAS PERISTIWA dihadiri oleh seluruh anggota ILC dari Asia, Amerika dan Afrika yang rencananya akan dilaksanakan pada April 2015 di Afrika. Menurut Dewi Kartika, agenda penting lainnya melakukan refleksi dan evaluasi atas satu tahun kinerja dari RCU ILC Asia yang dijalankan oleh Erpan Faryadi selaku ARF untuk ILC Asia, termasuk terhadap KPA sebagai Organisasi Tuan Rumah ILC Asia. Dalam pertemuan ini, KPA juga menyampaikan pentingnya menempatkan pemerintahan ILC Asia yang dipimpin oleh para Anggota ASC, pada tingkatan kerjakerja yang sifatnya lebih strategis sebagai satu koalisi gerakan masyarakat sipil untuk mendorong penguatan hak-hak masyarakat sipil (petani, masyarakat adat, perempuan) atas tanah, serta soal kewenangan Anggota SC terkait keputusan-keputusan tingkat regional yang berkaitan dengan pemerintahan ILC Asia.
kerjasama terkait isu ketahanan pangan dan akses tanah, baik di tingkat regional (Asia) maupun nasional (tingkat negara). Pertemuan ILC dengan perwakilan UN-Habitat Asia menghasilkan kesepakatan untuk mendorong rencana pertemuan tingkat regional tentang sistem tata kelola pertanahan di kota-kota yang tengah berkembang. Rencananya kegiatan bersama ini akan diselenggarakan di Indonesia, mengingat UN-Habitat juga tengah bekerja di beberapa site kota yang dikategorikan sebagai ‘kota kedua’, yang tengah berkembang pesat, seperti Bandung dan Surabaya. UN-Habitat selama ini memang lebih fokus di isu perkotaan, namun dalam tiga tahun terkahir ini mulai memperhatikan isu pedesaan dalam kaitannya dengan masalah tenurial desa-kota.DK.
Pertemuan ILC Asia dengan FAO dan UNHabitat Di sela-sela pertemuan ASC, secara terpisah dilakukan pula pertemuan Anggota ILC Asia dengan Food and Agriculture Organization (FAO) Asia dan UN-Habitat Asia, yang berkantor pusat di Bangkok. Selama ini FAO dan UN-Habitat merupakan mitra dari ILC. Pertemuan ILC dan FAO, selain menyampaikan perkembangan isu tanah dan pangan di berbagai negara di Asia, pertemuan ini juga membahas kemungkinan
28
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
LINTAS PERISTIWA
Konflik di Kabupaten Barito
P
ada 14 Januari 2015 di desa Kemawen, Kecamatan Montalat, Kabupaten Barito Utara, sebanyak 27 orang ditangkap oleh pihak aparat Kepolisian Resort Barito Utara karena mempertahankan tanah adatnya dari PT. Berjaya Agro Kalimantan (BAK). Luas lahan yang diklaim oleh masyarakat Barito adalah 4.500 Ha. Ini merupakan puncak dari konflik yang terjadi antara masyarakat di Kemawen dengan PT BAK. Konflik yang berlangsung sejak 2005, di mulai dari Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan Bupati Barito Utara kepada PT. BAK. Atas nama HGU perusahaan membuka kebun sawit seluas 20.000 hektar yang salah satunya berada di kawasan hutan adat milik warga Desa Kemawen. Menurut catatan warga, PT. BAK telah merusak hutan adat seluas 4.500 Ha untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Faktanya, PT BAK belum memenuhi aspek legalitas Hak Guna Usaha (HGU) untuk membuka perkebunan di dalam kawasan hutan produksi. Bedasarkan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2009, PT BAK masuk dalam daftar perusahaan perkebunan yang merugikan negara karena tidak membayar pajak kepada Negara. Namun pada kenyataannya Pemerintah, baik daerah maupun pusat tidak memberi sanksi kepada PT. BAK dan membiarkannya beraktivitas. Selama berjalannya konflik ini masyarakat Desa Kemawen melakukan berbagai pertemuan yang mengidentifikasi beberapa pelanggaran PT BAK, diantaranya: PT BAK bekerja di luar ijin, PT BAK melakukan pelanggaran terhadap beberapa kali kesepaktan, PT BAK Melakukan Pelanggaran adat istiadat sebagaimana yang telah pernah di akuinya di Desa Kamawen, Melakukan kegiatan penggarapan lahan seluas 20.000 ha tanpa HGU, Melakukan perambahan hutan diluar ijin, Pengrusakan lingkungan, Termasuk praktek Illegal Logging bekerja sama dengan PT. WIJAYA BANGUN PERSADA selaku pemegang Izin Pemanfaatan
Kayu (IPK), di lokasi perluasan areal perkebunan PT. BAK. Hingga puncaknya, masyarakat Kamawen menuntut pengembalian tanah adatnya yang dirampas oleh PT. BAK. Aksi penuntutan ini, diawali dengan menutup jalan masuk PT BAK pada 10 Januari 2015, dan dilanjutkan pada 11 Januari 2015 dengan melakukan ritual adat “Hinting Pali�, sebagai bentuk pengakuan secara adat bahwa areal tersebut masih bersengketa dan belum ada penyelesaian antara warga Desa Kemawen dengan PT BAK. Di lokasi aksi, masyarakat memutuskan untuk bermalam sampai mediasi bersama pihak perusahaan dan Bupati Barito Utara dilakukan. Sengan kondisi seperti itu akhirnya warga Masyarakat Kamawen mengajukan tuntutan kepada PT BAK pertama diminta untuk memperlihatkan status legal perijinan perkebunan sawit PT BAK kepada masyarakat desa, kedua Masyakat desa meminta PT BAK keluar dari desa dan berhenti beroperasi apabila tidak bisa menunjukan status legal perijinan perkebunan sawit miliknya, ketiga Apabila PT BAK bisa menunjukkan status legal perijinannya maka masyarakat desa meminta kepada PT BAK untuk memberikan plasma seluas 20% dari luas areal PT BAK kepada Masyarakat Desa. Berharap mediasi akan berlangsung, pihak aparat malah membubarkan masa dan menangkap tokoh masyarakat. Dari 27 orang yang ditangkap berikut beberapa nama yang berhasil diidentifikasi: Hison, Wardiman, Giat Kiraban, Dahem, Mudin, Pio, Hari, Polo, Tolen.AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
29
LINTAS PERISTIWA Konflik Agraria: Pejuang Agraria Tebo Tewas Mengenaskan
[ Alm. Indra Pelani, korban meninggal akibat pengeroyokan tim keamanan PT. WKS ]
T
idak ada yang menyangka kalau panen raya Serikat Tani Tebo (STT) pada 27 Februari 2015 menjadi berita duka. Seorang pejuang agraria, Indra Pelani (23) meninggal secara mengenaskan setelah dianiaya oleh security PT Wira Karya Sakti (WKS) dan Unit Reaksi Cepat (URC) WKS. Indra bersama Nick Karim (Walhi Jambi) menuju lokasi perayaan panen dihadang oleh petugas keamanan PT. WKS. Indra yang menanyakan maksud dan tujuan security PT WKS melakukan penghadangan langsung dianiaya.
30
Sementara itu Nick Karim yang sempat menyelamatkan diri meminta bantuan ke Dusun Pelayang Tebat, Desa Lubuk Mandarsah. Setelah mendapat bantuan Nick bersama penduduk kembali ke lokasi namun di tempat penganiayaan Indra dan pasukan URC WKS tidak ada. Setelah hilang selama 17 jam, akhirnya jasad Indra ditemukan sekitar 7 km dari camp districk 8. Jasad Indra ditemukan dengan kondisi penuh luka memar di seluruh tubuh, bekas sayatan, tanda tusukan benda tajam, pukulan benda tumpul, keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat. Atas kejadian yang menimpa Indra, pengurus STT, maka Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Aliansi Petani Indonesia (API) menyatakan sikap: (1) Mengutuk keras pembunuhan yang dilakukan oleh security PT. WKS. Indra diduga kuat dibunuh dengan terencana, mengingat selama ini korban adalah tokoh kunci dalam memperjuangkan pengembalian tanah rakyat yang dirampas; (2) Menuntut Kepolisian RI agar mengusut kasus ini hingga tuntas, menangkap pelaku dan menjelaskan secara transparan kepada publik terkait penanganan kasus ini sesuai dengan hukum yang berlaku; (3) Menolak pernyataan pihak PT. WKS bahwa kejadian ini adalah kesalahpahaman yang berujung kekerasan. Bahkan, kami mengecam PT. WKS yang berupaya mengalihkan tanggungjawab, bahwa kejadian ini adalah kesalahan prosedur dari perusahaan sekuriti yang mereka sewa; (4) Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk mencabut
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
LINTAS PERISTIWA
[ Aksi Serikat Tani Tebo yang menuntut keadilan untuk Indra Pelani di Polda Jambi]
izin HTI PT. WKS di Provinsi Jambi dan mengembalikan tanah rakyat yang dirampas; (5) Mendesak pemerintahan Jokowi-JK segera membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria untuk menyelesaikan konflikkonflik agraria di tanah air, baik warisan masa lalu maupun yang baru terjadi; (6) Mendesak pemerintahan Jokowi-JK segera menjalankan agenda reforma agraria. Mengingat konflik agraria yang terjadi selama ini adalah akibat peruntukkan tanah yang lebih diprioritaskan kepada pengusaha kehutanan, perkebunan dan pertambangan dibandingkan memberikan pengakuan dan perlindungan tanah rakyat. Konflik agraria antara PT. Wira Karya Sakti (WKS) dengan petani Jambi sudah terjadi sejak dikeluarkannya Surat Menteri Kehutanan No. 1198/Menhut-IV /1997, pada 7 Oktober 1997. Atas dasar Surat Menteri tersebut pada 1997, lahan masyarakat secara sepihak dimasukkan kedalam izin area HTI
PT WKS untuk tanaman akasia dan ecaliptus. Sedikitnya 10.000 hektar tanah masyarakat Lubuk Mandarsah dirampas oleh perusahaan PT. WKS. Tahun 2007, petani Desa Mandarsah yang akan melangsungkan panen raya digusur oleh PT. WKS dengan menggunakan alat berat. Akhirnya terjadi chaos antara Petani yang mempertahankan tanahnya dengan PT WKS yang menggusur tanah warga. Atas kejadian tersebut ada 12 alat berat, 1 mobil milik PT.WKS terbakar dan ada 9 orang yang dikriminalisasi (Tateng, Rohmadon, Iwan, Dedy, Abdul Rojak, yusep, Thamrin, Atang, cecep ) dengan hukuman 15 bulan penjara. Pada November 2011 konflik agraria terjadi di Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dalam konflik ini satu orang petani yang tergabung dalam Persatuan Petani Jambi (PPJ) tewas karena kepalanya ditembak oleh Aprat Negara. Korban yang tewas karena mempertahankan haknya atas tanah adalah Ahmad Adam (45).AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
31
LINTAS PERISTIWA
Tiga Nelayan Ujungkulon Dibebaskan www.bantuanhukum.or.id
[ Ketiga nelayan Ujugkulon yang divonis bebas Damo, Misdan dan Rahmat]
K
riminalisasi terhadap rakyat kecil seakan hal yang lumrah dalam negara ini. Dengan mudahnya para elit dan pemilik modal mempidanakan masyarakat yang tidak paham aturan dan hukum yang berlaku yang diakibatkan oleh kurangnya tingkat pendidikan serta sosialisasi oleh pemerintah ataupun pejabat berwenang terkait aturan tersebut. Damo, Misdan dan Rahmat merupakan tiga orang warga Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten yang dianggap oleh pihak Badan Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) mencuri 4 ekor udang di kawasan konservasi laut TNUK pada 3 Oktober 2014 lalu. Padahal ketiganya tidak tahu tentang batas antara laut konservasi dan laut bebas. Pihak BTNUK tidak pernah melakukan sosialisasi dan tidak
32
membuat rambu-rambu yang menyatakan batas kawasan konservasi. Pada sidang perdana yang digelar pada November 2014 lalu, ketiganya didakwa dengan UU No.5/1990 tentang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 33, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketiganya 4 bulan penjara dengan denda Rp 500.000. Gerakan sosial masyarakat melakukan aksi untuk memberikan dukungan terhadap Damo, Misdan, dan Rahmat. Adapun Lembaga sosial masyarakat yang tergabung dalam tim advokasi rakyat Ujungkulon adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Gerakan Reforma
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
LINTAS PERISTIWA
[ Penyambutan atas vonis bebas ketiga nelayan Ujungkulon di PN Pandeglang ]
Agraria (AGRA), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Keluarga Mahasiswa Cibaliung (Kumaung), Sajogyo Institute, Jalak Muda, dan KIARA. Dalam kasus ini, BTNUK atas nama konservasi laut telah berusaha meniadakan hak masyarakat atas sumber agraria di wilayah laut. Ini merupakan penyelewengan terhadap UUD pasal 33 ayat, yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat�. Harusnya kepentingan konservasi tidaklah berbenturan dalam kepentingan warga negara dalam upaya mencari penghidupan karena mereka secara turuntemurun telah mencari nafkah di kawasan tersebut tanpa merusak lingkungan. Para nelayan yang mencari ikan masih menggunakan alat-alat tradisional seperti, kapal kecil, jaring, maupun pancing. Berdasarkan UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, menegaskan bahwa hukum
nasional hanya berlaku bagi warga yang berasal dari luar daerah konservasi tersebut. Kalau masih dalam kawasan tersebut hanya berlaku hukum adat sehingga tidak bisa dipidanakan. Pengkatagorian pelanggaran adalah tindakan yang merusak kawasan laut dan ekosistem di dalamnya. Atas hukum tersebut Sidang Putusan yang dipimpin Hakim Ketua Yunto Safaliro, hakim anggota Imelda Merlin A Sani dan Raden Nurhayati dan dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Septiana dan Kuasa hukum terdakwa dari LBH Jakarta Hendra Supriatna, memutuskan bahwa ketiga terdakwa tersebut tidak bersalah dan dibebaskan. Bukti-bukti yang disampaikan oleh JPU tidak bisa dibuktikan karena barang bukti berupa udang dan ikan bukan binatang yang dilindungi. Selain itu pihak Taman Nasional Ujungkulon belum pernah mensosialisasikan soal batas wilayah sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menjerat ketiga nelayan tersebut.AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
33
LINTAS PERISTIWA Pembangunan Bandara Kulon Berpotensi Konflik Agraria
[Gambar : Master plan Bandara Kulon Progo]
L
onjakan penumpang di Bandara Adi Sucipto hampir lima juta orang per tahun menjadi alasan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membangun bandara baru. Rencananya, jika proyek pembangunan ini rampung maka bandara Adi Sucipto akan dijadikan bandara penerbangan VIP dan militer. Pembangunan bandara yang diperkirakan akan memakan biaya hingga tujuh trilyun rupiah. Pembangunan bandara yang ditangani Angkasa Pura I (AP I) akan rampung dalam kurun waktu tiga tahun. Dana pembangunan ini menggunakan dana korporasi sehingga dicurigai peruntukkannya bukan untuk masyarakat luas.
34
Dalam proses pembangunan bandara ini tidak terlepas dari pro kontra. Pihak yang pro pembangunan berpendapat bahwasanya dengan pembangunan bandara akan mempercepat peningkatan perekonomian masyarakat DIY secara lebih merata. Mereka beranggapan kalau selama ini perekonomian DIY lebih terpusat di bagian utara, timur dan tengah, sedangkan di bagian selatan hanya menjadi kawasan pertanian dan nelayan. Harapan mereka, dengan pembangunan bandara di di wilayah Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo turut membantu pemerataan perekonomian masyarakat di seluruh DIY. Sedangkan bagi kelompok yang
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
LINTAS PERISTIWA kontra pembangunan bandara mengatakan bahwa pembangunan bandara tersebut hanyalah program MP3EI, sebagai jalan masuk investor asing yang nantinya akan memonopoli perekonomian di negara ini. Selain itu sampai saat ini permasalahan lahan belum menemukan titik terang karena dengan adanya wacana pembangunan bandara maka akan terjadi penggusuran terhadap warga. “persoalannya bukan sekedar ganti rugi, tetapi warga Kulonprogo
tidak mau menjual tanahnya karena ada nilai luhur yang diturunkan secara turuntemurun. Selain itu, di Desa Palihan juga terdapat situs bersejarah yang akan ikut digusur ketika proyek pembangunan bandara dilaksanakan. Masyarakat di sana menganggap situs tersebut merupakan bagian dari warisan leluhur yang harus dijaga dan dirawat.AMP.
Tiga Petani Banyuwangi Dikriminalisasi
T
iga petani yang tergabung dalam Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) dikriminalisasi oleh Polisi. Sulak, 45 tahun, Usman (60), dan Djali (50) ditetapkan sebagai tersangka atas pengeroyokan lima petugas keamanan PT Wongrejo dan dijerat pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan. Sebanyak 12 polisi dikerahkan untuk menangkap ketiga petani tersebut di Kampung Bongkoran, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian pada 17 Januari 2015 pukul 02.30 WIB disertai dengan intimidasi. Salah seorang istri dari petani dikalungi celurit oleh seseorang yang ikut dalam rombongan. Penangkapan ini berawal dari bentrokan yang terjadi pada 28 September 2014. Saat itu terjadi bentrokan antara petani yang mempertahankan tanahnya dari PT Wongsorejo yang ingin membuldozer
lahan garapan mereka. Kejadian ini langsung dilaporkan oleh Sulak, Usman dan Djali namun tidak ada tanggapan dari Polres, bahkan laporan petani dianggap tidak cukup bukti. Akhirnya petani OPWB melaporkan ke Polda Jawa Timur, tetapi yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap ketiga petani tersebut. Konflik agraria di Wongsorejo terjadi sejak dikeluarkannya Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Wongsorejo pada 1980 untuk mengelola tanaman randu. Namun HGU seluas 603 hektar ini telah habis pada 2012. Rakyat Wongsorejo meminta lahan tersebut seluas 220 hektar untuk pemukiman dan lahan pertanian. Sayangnya Pemerintah Banyuwangi menolak permintaan tersebut karena ingin membangun kawasan industri. Pemerintah Banyuwangi hanya memberikan tanah seluas 60 hektar. Petani yang sudah hidup sejak 1950 di tanah tersebut tetap mempertahankan haknya atas tanah. Untuk mengkerdilkan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
35
LINTAS PERISTIWA
[ Aksi Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) ]
gerakan petani yang mempertahankan tanahnya, maka ketiga tokoh gerakan OPWB dikriminalisasi. Hal ini terbukti dengan berita acara yang direkayasa oleh pihak kepolisian. Kejadian ini
36
telah dilaporkan kepada Devisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri dan Komnas Ham. Di lahan yang sedang berkonflik, ada 287 KK yang masih berjuang untuk mencari keadilan hak atas tanah.AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
LINTAS PERISTIWA
Desa Lee Minta Dikeluarkan dari HGU Perkebunan Sawit
[ Lokasi lahan PTPN XIN yang sekarang PT. Synergy Perkebunan Nusantara ](SPN) ]
P
erusahaan PT. Synergy Perkebunan Nusantara (SPN) yang dulunya bernama PT. Perkebunan Rakyat XIV (PTPN XIV) tengah melakukan penggusuran terhadap warga Desa Lee, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Pihak perusahaan menganggap masyarakat telah mengganggu aktifitas produksi perusahaan karena “berkehidupan� di kawasan Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan memiliki tujuh (7) risalah untuk bisa menduduki wilayah tersebut, yaitunya pertama, tanah yang dimohon untuk HGU adalah tanah negara. Kedua, tanah tersebut belum mempunyai status hak/sertifikat oleh pemohon yang
bersangkutan dan tidak dalam keadaan bersengketa. Ketiga, permohonan itu tidak ada keberatan dari pihak lain. Keempat, di atas tanah tersebut tidak terdapat tiangtiang instalasi listrik. Kelima, di atas tanah tersebut tidak terdapat bangunan apapun. Keenam, di desa yang bersangkutan masih cukup persediaan tanah untuk bercocok tanam bagi penduduk setempat. Ketujuh, di atas tanah tersebut tidak terdapat kuburan umum. Akan tetapi setelah dilakukan pengecekan lokasi, banyak data yang telah dimanipulasi oleh perusahaan. Almida Batulapa, Kepala Desa Lee, menegaskan bahwa, “Tanah yang dimohon untuk HGU
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
37
LINTAS PERISTIWA PTPN XIV adalah tanah masyarakat Desa Lee yang terdiri dari perkampungan, persawahan, perkebunan, kandang desa, bekas kampung tua, dan sumber air minum. Tanah tersebut sudah berstatus kepemilikan masyarakat sejak lama. Bahkan, di atas tanah HGU PTPN XIV berdiri ‘‘tiang instalasi listrik” Terbitnya Surat Keputusan HGU PTPN XIV 27 Januari 2009 di wilayah Desa Lee, Kasingoli dan Desa Gontara, Kecamatan Mori Atas, Kabupaten Morowali Utara dengan luas HGU 1.895 hektar telah melegitimasi pihak perusahaan untuk melakukan penggusuran terhadap warga desa yang berada di kawasan HGU. Seperti yang terjadi pada Rabu, 7 Januari 2015, perusahaan melakukan penggusuran lokasi kandang dan pekuburan tua. Keesokan harinya mereka menebang kayu di lokasi sumber air bersih masyarakat. Sehingga pada sabtu siang, 10 Januari 2015, sekitar tiga puluhan warga mendatangi perkebunan sawit PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (PT. SPN). Masyarakat meminta perusahaan menghentikan aktivitas tersebut dikarenakan belum adanya kejelasan hak masyarakat terkait HGU PTPN XIV. Masyarakat Desa Lee sudah mengadukan keresahan mereka pada sejumlah institusi berwenang seperti Menteri Sekretariat Negara, Menteri Lingkungan
38
Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sulteng, Kepala BPN Sulteng, DPRD Sulteng, Bupati Morowali, Bupati Morowali Utara, DPRD Morowali Utara, BPN Morowali, Kapolres Morowali, Ketua Tim Penyelesian Sengketa Tanah Kabupaten Morowali Utara, hingga Danramil di Kecamatan Mori Atas. Akan tetapi pengaduan mereka tidak mendapat tanggapan berarti dari para pejabat tersebut. Para pejabat terkait tidak memperlihatkan keberpihakannya kepada masyarakat, bahkan Guslan, Kepala Sub Bagian Pertanahan, sekaligus wakil sekertaris tim sengketa lahan Kabupaten Morowali Utara, menjelaskan, “pada waktu pertemuan di kantor Kecamatan Mori Atas di Tomata, ia menyampaikan kepada masyarakat agar memahami secara benar tentang HGU”. Sebab, sertifikat HGU merupakan legitimasi dari pemerintah terhadap wilayah yang dimohonkan pihak perusahaan. Padahal masyarakat sudah memperlihatkan bukti kepemilikan akan lahan tersebut, akan tetapi belum ada tindakan serius dari pemerintah pusat maupun daerah yang terkait permasalahan ini untuk segera menyelesaikannya.AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA
KPA Dukung RUU Reforma Agraria
K
onsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendukung Rancangan Undang-undang (RUU) Reforma Agraria karena urgensinya mengenai perubahan struktur kepemilikan tanah, jaminan hak rakyat atas sumbersumber agraria dan penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh. RUU Reforma Agraria harus merujuk kepada UUPA 1960 yang memilih cara populis dalam mengelola agraria, khususnya tanah. Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA, mengatakan saat ini banyak UU yang telah melemahkan UUPA 1960 dan kabarnya RUU Pertanahan tengah diusulkan akan menggantikan UUPA 1960. Situasi ini bisa terjadi karena pemahaman tentang agraria dipersempit mengenai tanah saja. Padahal agraria menyangkut tanah, air, udara dan isi perut bumi. Rancangan Undang-undang Reforma Agraria harus menjabarkan perintah UUPA 1960 untuk mengatur pengelolaan dan menjamin hak rakyat atas sumber agraria. Secara jelas, UUPA 1960 merupakan turunan dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan negara untuk memakmurkan rakyat Indonesia. Di tengah-tengah terjadinya tumpang-tindih hukum dan kuatnya ego sektoral dalam mengelola sumber agraria, dorongan untuk merubah UUPA 1960 juga sangat kuat. Pada akhir Desember dan awal Januari dorongan untuk merevisi UUPA 1960 sangat kencang yang didalangi oleh kaum liberalis. Mereka ingin mengukuhkan konsepkonsep liberal di Indonesia walau pada faktanya di lapangan sumber agraria sudah
terjual kepemilik modal. Dengan alasan yang beraneka ragam, mulai dari UUPA 1960 yang dinilai sudah tidak up to date, adanya pengikisan hak masyarakat adat, bahkan ada yang menyatakan penyebab konflik agraria dikarenakan UUPA 1960. Mengenai konflik agraria, sebenarnya dikarenakan UUPA 1960 tidak pernah dijalankan semenjak Soeharto berkuasa sampai saat ini. Para pakar hukum malah melakukan pelemahan terhadap UUPA 1960 dengan melahirkan UU sektoral dan bertentangan dengan semangat UUPA 1960 yang anti kolonialisme dan imprealisme. AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
39
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA
KPA Tolak Liberalisasi Sumber Agraria
A
wal 2015 berbagai RUU diusulkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015-2019. Di antaranya adalah RUU Pertanahan, RUU Reforma Agraria dan Revisi UUPA 1960. Melihat urgensinya RUU Reforma Agraria merupakan yang paling krusial untuk masuk ke dalam prolegnas 2015-2019. Namun sangat disayangkan RUU Reforma agraria tidak masuk menjadi dalam prolegnas. Memang disayangkan RUU Reforma Agraria tidak masuk ke dalam prolegnas, padahal jaminan hukum untuk menjalankan reforma agraria sesuai dengan UUPA 1960 sangat diperlukan. Penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria sejati seharusnya bisa diatur dalan RUU tersebut. Berkebalikan dari RUU Reforma Agraria, RUU Pertanahan yang banyak mendapat protes dari masyarakat karna dicurigai dalam tataran pelaksanaanya akan menggantikan semangat UUPA 1960 masuk ke dalam prolegnas. Walau dalam naskah akademik RUU Pertanahan mengaskan bahwa RUU Pertanahan tidak akan mengganti UUPA 1960, tetapi melangkapi kekurangan UUPA 1960 di sektor pertanahan, banyak kelompok aktivis
40
agraria meragukan hal tersebut. Keraguan ini muncul karena sampai saat ini kemuan politik pemerintah dalam menjalankan reforma agraria sejati tidak ada. Dalam revisi UUPA 1960 sangat besar kemungkinan akan dimanfaatkan kelompok liberal untuk merombak isinya. Perombakan yang dilakukan oleh DPR akan merubah semangat UUPA 1960 yang merupakan terjemahan langsung UUD 1945, pasal 33 ayat 3 menjadi semangat liberal. Dengan demikian sumber agraria secara de facto dan de jure sudah sah untuk di perdagangkan. Walau upaya memasukkan UUPA 1960 dalam prolegnas gagal, hal ini menunjukkan kekuatan kelompok liberal semakin masif. Usulan untuk merevisi UUPA 1960 bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Permasalahan agraria harus menjadi prioritas pemerintahan Jokowi-JK mengingat konflik agraria yang terus meningkat dan meluas, bahkan korbannya telah banyak yang berjatuhan. Satu-satunya solusi adalah menjalankan reforma agraria sejati sehingga hak kelola rakyat atas sumber agraria terjamin. AGP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA
Janji Redistribusi Lahan Jokowi Wajib di Reformulasi
U
ntuk menepati janji kampanye terkait reforma agrarian, Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas. Rapat yang dilaksanakan pada 27 Februari 2014 dihadiri oleh: Siti Nurbaya Bakar (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Ferry Mursyidan Baldan (Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional), Amran Sulaiman (Menteri Pertanian), Marwan Jafar (Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi), Pratikno (Menteri Sekretaris Negara), dan Andi Widjajanto (Sekretaris Kabinet). Rapat tersebut mambahas distribusi tanah seluas 9 juta hektar, sesuai dengan janji Nawacita. Seusai rapat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan tanah yang akan dibagikan berasal dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan yang ada di bawah otoritas Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tanah-tanah tersebut akan dilepas menjadi tanah bagi petani, serta pengakuan dan penghormatan hak ulayat masyarakat hukum adat. Distribusi ini diharapkan akan menambah luas kepemilikan lahan masyarakat dari 0,8 hektar menjadi 2 hektar. Menteri pertanian juga mengatakan bahwa pemerintah berencana membangun pabrik gula yang membutuhkan lahan yang cukup besar yaitu, seluas 500 ribu hektar dengan jumlah pabrik gula 10 unit dengan kapasitas 10.000-12.000 ton. Kemudian masih dibutuhkan 500 ribu hektar lagi untuk food estate yang rencananya dibangun di Kalimantan serta 1 juta hektar lagi direncanakan untuk membangun pabrik
perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Jadi total lahan yang dibutuhkan 2 juta hektar. Untuk itu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai lembaga yang concern dan selalu mendorong pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria, menilai bahwa banyak hal yang harus diperhatikan terkait realisasi janji Jokowi ini. Pertama, petani tak bertanah dan petani kecil (petani gurem) terbanyak berada di Jawa, Bali, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sementara alokasi tanah yang dibicarakan oleh pemerintahan Jokowi adalah tanah Kawasan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) yang notabene berada di luar Jawa. Tidak mengherankan jika titik tekan pemerintah adalah program transmigrasi. Jika program redistribusi tanah ini dititikberatkan melalui program transmigrasi, maka pemerintahan JokowiJK harus mengingat bahwa kegagalan program transmigrasi adalah karena pemerintah enggan menyelesaikan masalah agraria, khusus di Pulau Jawa memilih menyelesaikannya dengan cara memindahkan penduduk keluar pulau. Kedua, Pemerintahan Jokowi-JK harus menata struktur agraria di Pulau Jawa dengan menata ulang penguasan dan pemilikan tanah di Jawa, yang selama ini dikuasai dan dikelola oleh Perhutani, PTPN dan perkebunan swasta. Di Pulau Jawa 2,7 juta hektar tanah dikuasai Perhutani dan ada 650.000 Hak Guna Usaha (HGU) yang harus dikonversi menjadi koperasi-koperasi rakyat secara kolektif ataupun Badan Usaha
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
41
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA
Dalam pandangan kami, konsep food estate akan membuka kembali pembelokan arah dan tujuan redistribusi tanah yang sejati kepada petani menjadi program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan menggabungkan program transmigrasi. Milik Desa (Bumdes). Upaya penataan ulang ini penting dilakukan segera, terutama di tanah-tanah kawasan Perhutani, PTPN dan perkebunan swasta. Izin maupun konsesi yang diberikan kepada korporasi tersebut telah mengakibatkan konflik agraria, tumpang tindih klaim dengan masyarakat dan kondisi kemiskinan di pedesaan. Hal ini sebagai akibat dari hilangnya akses rakyat terhadap tanah serta sumber agraria lainnya. Penataan ini akan jauh lebih berhasil dan bermanfaat bagi kelangsungan hidup keluarga petani pedesaan. Ketiga, KPA juga menilai bahwa pemilihan objek pembaruan agraria yang mengutamakan Hutan Produksi Konversi maupun Areal Penggunaan Lain (APL), menandakan bahwa pemerintahan JokowiJK tidak melihat bahwa persoalan agraria selama ini adalah akibat pemberian izin dan konsesi di masa lalu kepada korporasi. Pemberian ini telah menyebabkan konflik agraria berkepanjangan. Oleh karena itu, Pemerintah wajib meredistribusikan tanahtanah masyarakat yang dirampas. Dengan begitu izin HTI, HPH dan HGU perkebunan seharusnya menjadi prioritas upaya penataan pemerintah.
42
Terakhir, dalam siarannya, pemerintah juga menyebutkan akan mengalokasikan tanah tersebut untuk digunakan sebagai perkebunan tebu, sawit dan kedelai. Dalam pandangan kami, konsep food estate akan membuka kembali pembelokan arah dan tujuan redistribusi tanah yang sejati kepada petani menjadi program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dengan menggabungkan program transmigrasi. Ini tentu mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya, bahkan sejak masa Orde Baru. Sudah selayaknya pemerintahan Jokowi-JK mendorong agar pelaksanaan redistribusi lahan bekerjasama dengan organisasi petani dan mendorong transformasi petani dan pertanian nasional dimiliki dan diusahakan oleh badan usaha koperasi yang dimiliki petani sebagaimana amanat UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Maka dari itu KPA memberi masukan kepada pemerintahan JokowiJK untuk mencontoh yang telah dilakukan dan terbukti sukses di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Pemerintah harus mampu merangkul organisasi tani dalam menjalankan redistribusi tanah karena tanpa adanya partisipasi rakyat sehingga terhindar dari resiko gagal.AMP.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA
Stop Impor: Jokowi Harus Meredistribusikan Tanah Untuk Persawahan
S
ampai saat ini Menteri Pertanian belum melakukan gebrakan untuk menangani masalah pangan di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada April s/d Agustus 2014 Indonesia melakukan impor beras sebanyak 676.227 ton dengan biaya mencapai ratusan miliar. Angka impor ini tentu tidak wajar mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki kesuburan tanah cukup bagus. Sepanjang 2014 Indonesia mengimpor beras dari lima negara, yaitu Vietnam, Thailand, Myanmar, India dan Pakistan. Ada beberapa faktor yang mengakibatkan Indonesia menjadi pengimpor beras, pertama adalah ahli fungsi lahan pertanian berbasiskan tanaman pangan menjadi perumahan, infrastruktur dan pabrik. Tidak terjaminnya ekonomi rumah tangga petani skala kecil, khususnya di desa-desa membuat petani menjual tanahnya dan mencari pekerjaan lain untuk bertahan hidup. Kedua, pembukaan lahanlahan baru untuk pertanian tidak untuk pengembangan pangan industri pangan, tetapi industri perkebunan komersil seperti sawit, karet. Untuk sawit saja ekspansinya sudah mencapai 7,8 juta hektar pada 2008 (data Sawit Watch). Luasnya ekspansi perkebunan sawit dikarenakan investasi yang masuk ke Indonesia di sektor perkebunan sawit tidak ada batasnya. Bahkan perluasaan perkebunan sawit ini telah menjadikan ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria dan kerusakan alam
yang hebat, akibat dari pembabatan hutan untuk perkebunan sawit. Untuk menanggulangi impor pada beras sebenarnya tidak sulit. Untuk menutupi impor beras sebesar 676.227 ton maka pemerintah Jokowi-JK hanya perlu mencetak sawah seluas 150.272,6 hektar. Hasil panen petani dari satu (1) hektar sawah adalah sebesar 4,5 ton yang selama satu (1) tahun tiga (3) kali panen. Jadi jika ditotal maka jumlah beras yang dihasilkan selama satu tahun adalah 2.030.853,6 ton. Dengan demikian Indonesia dalam satu tahun sudah surplus beras. Jika dibandingkan dengan luas sawit yang mencapai 7,8 juta hektar maka luas untuk mencetak sawah 150.272,6 hektar sangat kecil. Atas dasar kondisi di atas, Ketua Rukun Tani Indonesia menyerukan kepada Pemerintahan Jokowi-JK agar: (1) Memerintahkan Kementerian Agraria, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan dan Kementerian lainnya yang berkaitan untuk melakukan redistribusi tanah dalam rangka mencetak sawah agar impor pangan pada beras dapat dihentikan; (2) Menjamin pasar produksi pertanian yang sehat dengan mengurangi impor dan meningkatkan produksi pertanian sehingga kebutuhan pangan (beras) tercukupi, bahkan memungkinkan swasembada pangan (beras); (3) Mengembangkan Teknologi pertanian organik dalam pengolahan pertanian, khusunya pertanian padi sehingga petanipetani di Indonesia tidak ketergantungan terhadap pupuk kimia.RCR.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
43
SOSOK
BELAJAR BERTANI SAMPAI KE NEGERI SAKURA. Rudi Casrudi lahir di Brebes, 5 Sepetember 1975 dan saat ini menjabat sebagai Ketua Rukun Tani Indonesia (RTI). Organisasi RTI berada di desa Pundungsari, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta yang beranggotakan petani. Bung Rudi bersama petani lainnya memiliki lahan pertanian yang sempit dengan kondisi lahan yang tidak lagi subur akibat kebijakan revolusi hijau pada era Orde Baru. Program ini menyebabkan petani ketergantungan pada pestisida dan pupuk kimia. Akibatnya tanah rusak, air tercemar, biaya produksi di sektor pertanian menjadi mahal dan hilangnya budaya bertani yang ditandai dengan hilangnya bibitbibit lokal, digantikan dengan bibit hibrida. Atas kondisi tersebut, Rudi dan petani lainnya berjuang untuk memperbaiki unsur organisme dalam tanah. Mereka percaya unsur tanah, bibit, lingkungan memiliki interaksi simbiosis ekologis yang penting terhadap tumbuh kembang tanaman. Bagaimana mereka memulainya Pribahasa “tak ada rotan akarpun jadi� adalah moto mereka. Berbekal skill pengalaman belajar pada petani organic di Garut dan berguru pada Mbah Suko, Siwi, Mbah Kahar di lereng Merapi akhrinya Rudi dan kawan lainnya bertekad untuk mempelopori pembuatan pupuk organik untuk petani di Semin. Mereka memulai dengan pembuatan materi dasar membuat bakteri, Micro Organism Local (MOL), Indigeneous Micro Organism (IMO). Bahan yang digunakan pun bermacammacam ada yang dari kotoran hewan dalam tembolok, buah-buahan dan sayuran. Matrial untuk pembuatan micro organisme tidak sulit untuk ditemui karena banyak di lingkungan sekitar. Langkah selanjutnya kami membuat kompos, bokashi, dan beberapa jenis tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pestisida nabati yang kami aplikasikan pada tanah dan tumbuhan. Lalu kami memilih tanaman yang akan kami jadikan percontohan. Pilihan kami jatuh
44
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
SOSOK pada tanaman padi. Dengan pertimbangan tanaman padi adalah tanaman terpenting dalam lingkungan kami. Dari hasil pertama percontohan, tanaman berkembang dengan baik, jumlah “anakan padi� meningkat dan hasil panen meningkat. Dalam pertemuan-pertemuan rutin yang dilakukan oleh petani, perlahan-lahan Rudi memperkenalkan metode tanaman padi baru dengan menanam padi sebatang atau System of Rice Intensification (SRI). Teknik ini ditemukan oleh seorang biarawan Jesuit Perancis bernama De Laulanies ketika bertugas, di Madagaskar. Metode ini lebih didasarkan pada cara bertanam yang lebih baik, sesuai dengan kebutuhan tanaman itu sendiri dan sama sekali bukan didasarkan pada penambahan input pertanian, seperti pupuk, pestisida, bibit unggul dan semacam nya. Semangat dari metode ini adalah anti terhadap green revolution karena minat petani terhadap metode ini juga tinggi. Akhirnya Rudi dan lainnya membuat pelatihan metode Sytem of Rice Intensification (SRI). Mereka mengawal prinsip-prinsip dasar metdode SRI ini yaitu bibit muda (9-14 hari), cara tanam, minim air dan jarak tanam. [ Praktek pertanian di Asian Rural Institut Jepang ] Hasilnya peningkatan produksi berlipat sampai 100 %. Awalnya hanya mendapatkan 4,58 ton per hektar sekarang setelah menggunakan metode tanam padi SRI menjadi 10 ton per hektar. Artinya ada kenaikan 2 kali lipat dari cara tanam konvensional yang selama ini dipakai oleh petani. Tujuan awal kegiatan ini adalah agar kaum tani tidak tergantung terhadap pupuk kimia dan pestisida. Sekarang mereka memastikan rumput, jerami untuk makanan ternak dan kotoran ternak dijadikan pupuk kandang yang diolah menjadi kompos, bokashi. Pupuk ini dikembalikan ke lahan sebagai pupuk dasar untuk memperbaiki lapisan atas tanah. Belajar bertani ke negeri Sakura Rudi merasa, dia dan kawan lainnya belum bisa mengganti kerusakan ekologis yang telah terjadi. Tapi mereka merupakan pelopor untuk menyudahi pertanian kimia yang merusak. Untuk menambah pengetahuan tentang pertanian yang menggunakan bahan organik maka Rudi melanjutkan studinya ke Jepang. Atas rekomendasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) akhirnya Rudi berangkat ke Rural Leaders Training Course, Asian Rural Institut (ARI), Japan. Rudi belajar selama sembilan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
45
SOSOK bulan, dari Maret s/d Desember 2014. Di Jepang, Rudi hidup dalam komunitas yang berasal dari benua Afrika, Asia, Eropa, Amerika, America Latin. Di sana mereka bertukar pikiran untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam dunia pertanian. Sehari-hari Rudi bekerja untuk merencanakan, merawat, memanen tanaman dan memasaknya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Selama 9 bulan Rudi menempuh pelajaran sebanyak 2020 jam.
[Peserta pelatihan Asian Rural Institut (ARI) yang berasal dari negara Amerika latin Asia, Afrika dan Eropa]
Perserta pelatihan juga dipertemukan dengan petani dari berbagai kelompok yang ratarata terlibat dalam gerakan organik di Jepang. Observation Trip serta belajar beberapa kasus lingkungan yang menggegerkan dunia seperti kasus Asia Copper Mine, Minamata Disease adalah pelajaran yang sangat berharga bagi Rudi. Menurut Rudi kerusakan ekosistem akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida telah terjadi diseluruh belahan bumi ini. Reporoduksi organisme lokal dengan berbagai macam teknik bisa menjadi jawaban penting atas kerusakan ekosistem dihadapi saat ini.JW.
46
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
RESENSI
The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di Indonesia Penulis Penerbit Penerjemah ISBN Tebal
: Tania Murray Li : Marjin Kiri : Herry Santoso Pujo Semedi : 978-979-1260-15-2 : 536 + xii hlm
“Kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak tahu dan tidak akan mengetahui apa yang sedang kalian lakukan”.
S
aat ini, The Will (kehendak) untuk memperbaiki atau membangun di negara kita seolah tidak pernah habis, dari level internasional, nasional hingga lokal yang diusung beragam aktor. Tania Li menguraikan bahwa proses ini sesungguhnya telah berjalan lebih dari dua abad di Nusantara. Bahwa hasilnya tidak banyak merubah kondisi masyarakat, bahkan dalam kenyataannya menjadi lebih buruk. Tentu penting mengulas benarkah kehendak (the will) tersebut salah dalam implementasi atau sejak awal salah dalam mendiagnosa masyarakat yang akan di-improve. Buku ini dengan apik menggunakan kerangka Michel Foucault tentang governmentality (kepengaturan) yang ringkasnya merupakan “pengarahan
perilaku” yang bekerja dengan mangarahkan minat, membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan. Dalam hal memperbaiki kehidupan masyarakat, kepengaturan memerlukan sebuah rasionalitas yang khas yaitu “jalan paling tepat untuk menata kehidupan manusia” dalam rangka mencapai “ serangkaian hasil akhir yang spesifik” dan diraih melalui “berbagai taktik multibentuk” (hal 9-10). Kepengaturan sendiri bukan barang baru, mulai dari yang bersifat berlebihan karena kekuasaan yang despotik, “kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak berhak”, hingga pengaturan dikarenakan
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
47
RESENSI atas klaim akan adanya ilmu pengetahuan yang sempurna (“Kalian tidak boleh berbuat begini karena kalian tidak tahu dan tidak akan mengetahui apa yang sedang kalian lakukan�). Dari titik ini, Li memulai mendeskripsikan secara singkat dimulainya serangkaian kepengaturan pada masa kolonial yang bersekutu dengan klaim kesempurnaan ilmu pengetahuan hingga masa orde baru, pada Bab satu. Guru Besar Anthropologi Universitas Toronto Canada ini mengambil lokasi utama penelitian dan kajian di Sulawesi Tengah, khususnya di Poso, Tentena dan Taman Nasional Lore Lindu. Guru besar tersebut memberikan gambaran panjang tentang intervensi kepengaturan dalam wilayah ini. Intervensi kepengaturan pertama wilayah ini dimulai sejak zaman kolonial ketika politik etis digalakkan. Di mulai dengan usaha menertibkan penduduk dengan mendorong penduduk pegunungan yang dianggap terbelakang dengan menjadikan mereka sebagai pemeluk agama kristen dan meninggalkan agama nenek moyang. Kepengaturan ini mempunyai tujuan memperbaiki masyarakat untuk dapat masuk dan berubah menjadi penduduk yang bertata tertib, bersahabat dengan lingkungan sekitar. Caranya melindungi hutan dari penggunaan dan penyalahgunaan tanah seperti ladang berpindah serta meningkatkan produktifitas pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap penggundulan hutan akibat perladangan berpindah yang dilakukan penduduk telah memicu dilakukannya pemindahan penduduk dari lokasi Dusun Berlereng ke Lembah Palu yang lebih padat penduduk untuk membangun sawah dengan cara tangan besi. Proyek tersebut mengalami
48
kegagalan yang mengenaskan akibat wabah penyakit. Ternyata, pada masa Orde Baru proyek-proyek yang dilaksanakan di masa kolonial banyak diulang kembali. Intervensi Orba bisa dikatakan tidak ada sisi perbedaan dengan masa kolonial yakni proses pemindahan penduduk, pembentukan tapal batas kawasan hutan dan non hutan dan intensifikasi pertanian. Bahkan, proyek pemindahan penduduk dari luar pulau juga dilakukan yang membawa masuk orang Jawa dan Bali ke Sulawesi Tengah melalui program transmigrasi. Untuk mempermudah kepengaturan, pemerintah menyebut mereka sebagai “masyarakat terasing�. Sebuah proyek yang menempatkan masyarakat pegunungan sebagai manusia yang serba kekurangan dan butuh bimbingan. Lagi-lagi proyek-proyek ini mengalami banyak kegagalan ketimbang keberhasilan. Akibat-akibat yang nyata yang telah diterima masyarakat pegunungan berupa kehilangan akses tanah yang nyata dari penduduk sekitar akibat pengambil alihan negara atas nama hukum dan proyek-proyek pemerintah maupun dari proses perubahan cara pandang masyarakat terhadap tanah yang telah menjadikannya sebagai komoditas yang diperjualbelikan yang kemudian menghasilkan pembentukan beragam identitas di wilayah pegunungan Sulawesi Tengah yang memicu ketegangan sosial. Kemudian buku ini semakin masuk kedalam penelitian proyek-proyek teknis yang hendak mengubah perilaku masyarakat yang hidup dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang dianggap mengancam keaneka ragaman hayati dan lingkungan hidup secara keseluruhan. Serangkaian pendidikan dan usaha kolaborasi dilakukan untuk merubah perilaku dan tatacara
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
RESENSI bertani masyarakat yang ditujukan untuk menjauhkan masyarakat dari sentuhan langsung dengan Taman Nasional. Nampaklah, bahwa kepengaturan mulai dilakukan juga secara intensif tidak saja oleh pemerintah namun juga oleh lembagalembaga donor internasional dan LSM yang oleh Li dikelompokkan dengan istilah wali masyarakat. Kegagalan demi kegagalan tersebut telah menimbulkan sejumlah kekecewaan dan perlawanan masyarakat. Mereka kemudian berniat mengembalikan kembali klaim mereka atas sumber daya khususnya tanah yang telah diambil alih dari mereka atas nama pengaturan yang dilakukan pemerintah. Proses perlawanan masyarakat oleh masyarakat melalui Forum Petani Merdeka yang didukung oleh aktivis yang tergabung dalam Yayasan Tanah Merdeka diurai secara lengkap oleh Li. Proses perjuangan pengembalian klaim atas tanah di dalam taman nasional itu sendiri telah banyak menimbulkan perdebatan dan pertentangan diantara sesama aktivis dan pemerintah karena wilayah taman nasional itu sendiri yang mengandung makna pelestarian lingkungan dan identitas masyarakat adat yang dilekatkan kepada FPM. Apa yang dibahas oleh Li, adalah pendalaman dan kritik dari banyak konsep usaha perbaikan kepada masyarakat yang selama ini dijalankan sejak era lalu yang mengutamakan pendekatan atas ke bawah (top down). Kehendak memperbaiki saat ini yang mengklaim sebagai perbaikan yang mengutamakan pendekatan partisipatif, kolaboratif dan berbasis masyarakat yang tidak dapat dijalankan secara baik karena tidak bersungguh-sungguh menjalankan secara teknis top-down.
Menurut Li, selama ini ada dua pertentangan mendasar di dalam kehendak untuk memperbaiki, yaitu kontradiksi antara meluas dan mendalamnya penetrasi kapitalisme di tengah masyarakat justru mengalami dampak negatif dari proses kapitalisme tersebut. Kedua adalah cara perancangan program perbaikan yang mempertegas batas antara para ahli dan wali masyarakat dengan masyarakat yang hendak diperbaiki. Buku ini memberi informasi dan analisa yang kaya, tidak saja dalam perubahan agraria masyarakat di pegunungan Sulawesi Tengah yang masuk kedalam Taman Nasional Lore Lindu. Perjalanan kapitalisme yang diterapkan telah menyebabkan terjadinya penghilangan kepemilikan dan pengusiran. Buku ini juga mengulas perubahan etnographis yang dihasilkannya, hal ini menguatkan banyak hipotesis yang telah diajukan selama ini bahwa kekerasan dan konflik horizontal banyak dipicu oleh krisis agraria yang tengah berlangsung di lapangan. Dalam kesimpulan buku ini, Li Menguraikan secara jelas sumber ketimpangan politik ekonomi dan upaya perbaikan masyarakat yang selama ini dijalankan.IW.
SUARA PEMBARUAN AGRARIA / EDISI XIII/ Desember-Februari 2015
49