Nadya Shifani, SMA Fatih Bilingual School, Seminar Demokrasi, Pemilihan Duta Demokrasi, Sayembara Me

Page 1

Artikel 1 (Juara I) “DEMOKRASI PRESTASI TOREHAN PEMUDA BUMI PERTIWI” Nadya Shifani SMA Fatih Bilingual School Putri Banda Aceh

Dalam kubah waktu yang tak berbilang, Indonesia negeri dengan logam mulia terus saja dipersulit dengan ruang hampa ideologinya. Berpegang teguh pada sistem demokrasi yang tak bertuan menjadikan negeri ini kacau di bibir takdir kesesatan. Seperti yang dipintakan oleh Moh.Yamin “Bangsa adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan, prinsip, dan cita-cita yang sama dan terikat di dalam satu tanah air pertumpahan darah”. Lantas, Indonesia yang terdiri dari populasi rakyat yang tak berbilang jumlahnya terus dihantui dengan demonstrasi dan petisi di opera politik. Jika kita kaji lebih lanjut, timbul suatu kecurigaan kenapa hal ini dapat terjadi jika benar adanya kesamaan cita-cita di bangsa ini ? Bukan hal yang bisa dipertaruhkan hanya dengan membalikkan sebelah tangan. Setelah bangsa ini dapat menghela nafas dengan bebas, piagam Magna Charta akhirnya tersematkan pada semua pola pikir rakyat Indonesia. Piagam yang berujar kekuatan suatu bangsa terdapat pada demos (rakyat), dan dalam kurun waktu membuat semua bertunduk dihadapan sistem demokrasi. Rakyat yang pada hakikinya menjadi pelaksana sistem ini berbalik menjadi seonggok individual yang berhak untuk bersuara tapi tak pernah didengar, yang berhak untuk beraspirasi tapi tak pernah tersampaikan, dan yang berhak untuk berkuasa terus saja dikuasai. Rajutan misteri terkuak, bahwasanya rakyat yang terus bungkam ternyata dikendalikan dengan sekumpulan jiwa yang selalu haus akan kehadiran kekuasaan. Para politikus itu terus saja menggerogoti hak rakyat. Pemuda yang menjadi perekat bilik kekuatan Indonesia meringis atas kebutaan jalannya. Tentu saja, faktor penghancur sistem demokrasi negara Indonesia tidaklah hanya menjadi dongeng penghibur, melainkan petaka menggarap harapan. Lingkaran penjerumus Meski telah dilekatkan kitab suci di atas ubun-ubunnya, berjanji atas realisasi janji-janjinya dan menggenggam teguh semua rakyat Indonesia yang berharap tetap menjadikan mereka kaum yang tak bertuhan. Rakyat yang diberikan hak untuk bersuara, diam seribu kata di hadapan kerajaan tak beriman. Ironisnya, timbul sepatah ujar yang sangat menyakitkan “tak peduli akan janji, yang penting kursinya !” Sebuah janji yang telah tersematkan dahulu di bangsa ini membutakan segala penjuru hidup dengan sebuah otoriter mutlak. Memang benar halnya, sebuah negara berasas demokrasi menyeterukan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi. Lalu, dapatkah sistem ini dapat terus tertenun di hadapan sang saka merah putih jika rakyat telah diperdaya oleh kaum rakus tak bernama itu ? tentu sepatah “TIDAK” yang akan 1


terpinta. Demonstrasi, gerakan anti korupsi, dan feminisme terus menghiasi panggung politik Indonesia. Fungsi masyarakat yang deliberatif untuk mengawasi pemimpin mereka juga tidak diindahkan. Lingkaran penjeremus inilah yang perlahan mengunyah ganas demokrasi panutan rakyat Indonesia. Bukan hanya dari rakyat Indonesia, tetapi semua khalayak dunia memandang lara negeri pertiwi ini.

Edukasi yang hambar Setelah bersua tentang kekuasaan, faktor lain yang meruntuhkan demokrasi negeri ini adalah latar edukasinya yang begitu hambar. Demos (rakyat) yang terus bungkam merasa dirinya dihalangi oleh tirai yang mengurung mereka tak bersuara. Para elite politik tidak dapat terus dipersalahkan dengan kerakusannya. Rakyat yang menutur edukasi yang rendah menjadi faktor lain pendukung runtuhnya demokrasi Indonesia. Rakyat yang ingin bersuara di depan panggung politik mutakhir merasa malu akan dirinya sendiri karena latar edukasi yang rendah. Program dana pembantu yang diluncurkan ke sekolah-sekolah terus saja tersendat di tengah jalan tanpa ada alasan yang jelas. Perkara ini menunjuk para elite politik sebagai pelaku sebenarnya. Rasa ketidakpercayaan antara kratos (pemerintah) dan demos (rakyat) inilah yang membuat kerapuhan sistem demokrasi Indonesia. Baik dari rakyat yang tidak mampu mengapresiasi edukasi yang disediakan ataupun pemerintah yang menyantap dana edukasi rakyat masih menjadi tanda tanya besar sistem demokrasi Indonesia. Pandangan demokrasi yang begitu buruk menggerakkan hati masyarakat Indonesia untuk memperbaikinya. Tirai yang membutakan jalan pikir pemuda Indonesia bukanlah halangan untuk terus maju. Ditikam dalam kamar gelap politik atas kekuasaan tak beradab menjadi inovasi tersendiri bagi pembangun bangsa untuk beraspirasi. Rakyat yang seharusnya dihitung tapi tak pernah diperhitungkan. Konsensus yang menjadi tolak ukur disamarkan menjadi suatu aspek yang abstrak. Seandainya, pemuda Indonesia mempunyai daya untuk merealisasikan torehan dari harapan mereka‌

Penerapan demokrasi prestasi Tak dapat disebut dengan angka tunggal, pretasi anak bangsa Indonesia selalu menghujani berkah negeri pertiwi. Tak sejalan dengan harapan, pengorbanan pikiran mereka dipandang sebelah mata. Edukasi yang hambar tak ada hubungannya dalam kasus ini. Faktor itu perlahan sirna, menunjukkan bahwa benar para elite politik yang menyantap edukasi negeri. Lihat saja, mutiara negeri yang menghadiahkan kilau prestasi hanya dihargai dalam sekian detik di mata publik. Sedangkan, aksi buas mereka dalam budaya korupsi mengukir cerminan Indonesia di mata dunia tiap jutaan menit. Andaikan masih ada daya mengubahnya, akan kami bangun sebuah panutan demokrasi prestasi. Situasi dimana bukan hanya yang berkuasa yang dapat bersuara di suatu konsensus, melainkan pembangun bangsa yang berpotensi dapat menyulap semua kebengisan para penguasa. Metode pertama yang dapat dilakukan adalah mengubah sudut pandang pemerintah untuk menghargai jasa rakyatnya. Setelah metode ini 2


berhasil, yang dimaksudkan demokrasi prestasi adalah suatu sistem demokrasi dimana pemuda ataupun rakyat Indonesia yang mempunyai potensi akan dirabah dengan penghargaan. Negara maju telah menggalakkan sistem ini, karena potensi Indonesia yang begitu gemilang bukanlah suatu hambatan untuk menerapkan sistem ini walau Indonesia sendiri merupakan negara berkembang. Layaknya negara adikuasa, pemerintah mengaliri prestasi pemudanya dengan penghargaan IG Nobel. Prestasi dan pengorbanan pemuda yang dihargai akan mengubah pandangan mereka atas fungsi emansipatif suatu konsensus korektif di negeri Indonesia. Sebab para pemuda ingin dihargai, sebab para pemuda ingin setiap aspirasinya dimaknai.

Pembentukan CIVIL SOCIETY (Masyarakat Madani) Civil society adalah sebuah sistem yang berpegang teguh bahwa rakyat adalah penguasa otoriter mutlak. Bukan berarti, rakyat dapat melakukannya segalanya terlepas dari genggaman tangan pemerintah. Seperti yang dikatakan Pierre Rosanvallon, di dalam Counter-Democracy: Politics in an Age of Distrust (2008), menyebut kekuatan rakyat ini sebagai demokrasi tandingan (counter democracy). Kekuatan ini tidak dibangun melalui institusi partai, tetapi di dalam kekuatan kelompok-kelompok masyarakat itu sendiri. Ini hanya bisa dicapai dengan mengintensifkan fungsi surveillance warga atas penguasa, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, dan menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa. Kekuatan rakyat yang tersirat dalam asas ini meliputi kebebasan pers, media massa, dan right to speak (hak untuk bicara). Dengan harapan, pers yang ditelaah menjadi wadah penampungan aspirasi rakyat dapat aktif kembali dalam perannya dan terbebas dari cekaman kekuasaan yang berdosa. Setelah era reformasi yang bergema, sistem multipartai menggeser hebat hak para peranan pers dalam bersosialisasi. Metode yang dapat digalakkan demi perwujudan sistem civil society ini adalah pengaktifan kembali stasiun radio dalam penyiaran kabar, dan media massa seperti koran dan surat kabar maupun komunitas virtual dalam pelantun melodi aspirasi rakyat. Cekaman yang membuat rakyat menyembunyikan suara mereka dapat tersalur melalui pengaktifan kembali media ini dan secara tidak langsung melahirkan kembali hak publik yang telah sirna. Keterbukaan informasi tak nyaman lagi bagi para elite politik busuk karena kekuatan informasi demos yang kian dahsyat. Inilah kekuatan dahsyat komunitas virtual seperti WikiLeaks, yang mampu menelanjangi konsensus busuk lintas negara. Kecanggihan zaman digital yang menitis jiwa pemuda akan dengan mudah membuat metode ini sukses. Tentu saja, metode yang telah dirancangkan walau seribu tahun lamanya tidak akan berjalan jika pemerintah terus mengubur sejarah Indonesia. Indonesia adalah negeri yang kaya bergelimang budaya dan suku meruntun damai. Tapi bukan berarti, tatapan sang penguasa hanya terpojok pada kota yang metropolitan. Lihat saja, negeri penghuni pantai timur Sumatera yang disebut-sebut sebagai “Bumi Rapa-i� . Pemudanya diam tapi berteriak dalam dada. Kalanya, bumi Aceh adalah negeri 3


pemegang kekuasaan mutakhir dan dengan segenap lekuk harapan membentuk suatu negara yang bukan bagian Indonesia. Lalu disebutkan, salah satu dari mereka mengajak bumi Seulanga ini dalam sendi “nusantara”nya. Keinginan persaudaraan yang kuat dengan mudahnya membuat Aceh untuk bergabung sebagai Indonesia sampai tempo kini. Rangkain letupan senjata dan bau busuk mayat tak terkubur itu dengan indahnya masih menggeliat di setiap hirup nafas masyarakat Aceh. Masa DOM (Daerah Operasi Militer) yang menjadi balasan. Opera mayat tertonton dimana-mana membuat suatu perlawanan Gerakan Aceh Merdeka. Rakyat yang terus bungkam ingin merakit sebuah kebenaran tapi dengan dosa ditindasidan disiksa tanpa iman. “kami ingin merdeka, hanya merdeka… kemerdekaan beraspirasi!” Lantunan kata itu yang terujar dari rakyat Aceh. Tanpa teori penjelas, mereka yang telah meronta tetap saja tak di dengar layaknya berbincang dengan kaum tuli. Rakyat Sidoarjo yang masih dikunyah dalam panasnya lumpur lapindo meronta meminta tolong. Tapi, tetap saja ! tidak di diperhitungkan.. Indonesia terus mengubur segala sejarah di depan mata rakyat. Kami hanya berharap Indonesia kembali menjadi negara yang satu. Seperti yang dilantunkan Robert Fross dalam puisinya “walau terpisah kita di timur ataupun di barat suatu saat titik akan mempertemukan kita… disaat kita dipertemukan berarti kita harus menghadapi dunia bersama.” Sama halnya dengan Indonesia yang terdiri dari banyak suku, tak peduli timur atau barat saat Indonesia tengah diguyur bencana, hal yang dapat kita lakukan hanya membenahinya bersama. Dikala demokrasi Indonesia yang benar-benar hancur. Siapkanlah para bunga bangsa untuk mengeluarkan aspirasi mereka, mengubah dunia pancasila dengan prestasinya. Kamar gelap politik tak akan terpatri karena demokasi prestasi. Demokrasi adalah sebuah paradoks, di mana pandangan kekuasaan oleh rakyat (demos) justru adalah lukisan muram rakyat yang memiliki kekuasaan, tetapi tak ada yang memberi mereka hak untuk menggunakannya. Pengaktifan kembali stasiun radio dan kebebasan pers, wujudkanlah hak kami tuk bersuara ! Pembangun bangsa Indonesia di masa mendatang hanya perlu prestasi yang dihargai dan hak untuk didengar…

4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.