Artikel 3 (Juara III)
“PEMILU JANTUNGNYA DEMOKRASI� Muhammad Rizky SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh
Berbicara tentang demokrasi, masyarakat dewasa ini tampaknya kurang memahami akan pengertian demokrasi yang berupa prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri. Pada dasarnya, demokrasi memiliki 3 elemen, yakni; perwakilan (pemerintah), partisipasi (rakyat), dan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Idealnya seperti berikut, rakyat memilih perwakilan mereka dalam pemilu, dan ketika perwakilan tersebut telah terpilih, maka harus terdapat akuntabilitas antara perwakilan dan rakyat ketika ia (perwakilan terpilih) berada di pemerintahan. Namun mengapa suara rakyat dalam pemilu dibutuhkan, pertanyaan ini mengingatkan penulis akan Revolusi Perancis pada tahun 1792. Pada tahun tersebut, rakyat Perancis berjuang untuk menggulingkan kekuasaan pemerintahan Raja Louis ke-16 yang melakukan ketidakadilan terhadap mereka. Ketidakadilan ini hadir dalam berbagai rupa bentuk. Namun hal yang paling utama yang dapat kita lihat kembali adalah, rakyat sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan oleh Raja. Hasilnya, keputusan dan kebijakan tersebut hanya memberatkan kehidupan rakyat Perancis, namun di lain sisi malah menguntungkan bagi kelangsungan hidup golongan bangsawan Perancis. Ketidakadilan, kekuasaan yang otoriter, mewarnai hari kelam di bumi Perancis pada tahun 1792, serta mengawali pemberontakan oleh rakyatnya, yang sekarang telah melahirkan paham demokrasi bagi kehidupan kita. Dan berdasarkan ulasan tersebut, alasan mengapa rakyat memiliki suara dalam pemilu, agar rakyat juga terlibat dalam pemerintahan, dan di kemudian hari, pemerintahan yang terpilih akan bertanggungjawab (akuntabilitas), baik terhadap para pemilih mereka maupun yang tidak (merujuk kepada prinsip demokrasi, mayoritas mewakili seluruh masyarakat). Mengapa pemerintah memiliki pertanggungjawaban kepada rakyat? Karena sumber kekuasaan pemerintah datang dari setiap suara rakyat di pemilu itu sendiri. Rakyat berhak untuk memilih, juga berhak untuk dipilih. Dari kalimat terakhir, tentu dibutuhkan media untuk menyalurkan ide tersebut. Jawabannya adalah pemilu. Pemilu muncul ke permukaan, sebagai sarana pelaksana demokrasi itu sendiri. Maka benarlah apabila dikatakan oleh khalayak umum, bahwasannya pemilu adalah jantung dari pelaksanaan demokrasi. Sekarang mari kita tinjau pelaksanaan pemilu di ranah tercinta Indonesia ini. Pemilu telah memaksa pemerintah mengalokasikan dana sejumlah 20 triliun rupiah dari APBN pada pemilu 2014 silam. Angka ini tidaklah kecil mengingat APBN Indonesia yang berbatas. Apakah pemilu sebenarnya efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai Negara demokratik? Jawaban yang seharusnya adalah iya, karena pemilu satu-satunya jalan bagi seluruh unsur demokrasi untuk hadir dalam kehidupan Negara yang berasaz demokrasi. 9
Namun ada baiknya untuk kita agar tidak bersikap naif. Melihat kenyataan, realita, dan fakta yang terjadi di pemerintahan dan masyarakat kita masa kini, sepertinya demokrasi masih belum berjalan dengan mulus di Negara ini. Pemimpin yang tidak bertanggungjawab kepada rakyat yang telah memilih mereka, dibuktikan dengan belum terciptanya kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat Indonesia. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang seakan telah melekat sebagai budaya dan juga tren di kalangan elit Pejabat Negara. Rakyat yang masih saja termakan suapan politisi di kampanye-kampanye selama masa pemilu berlangsung, memilih dengan mata buta, hanya berorientasi pada uang yang mereka tawarkan daripada kualitas yang mereka suguhkan. Bagaimana kita dapat menyebut pemilu memperkuat nilai-nilai demokrasi di Negara kita, ketika hal-hal seperti yang telah penulis sebutkan di atas, masih terus terjadi dan menjadi fenomena biasa untuk ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Indonesia memang Negara dengan paham demokrasi, tapi apa kita sudah benar-benar menjadi bagian dari Negara yang berlandaskan paham yang acap kali di promosikan oleh Amerika Serikat ini? Menurut penulis, ada dua faktor utama yang melatarbelakangi masalah diatas. Satu, kurangnya kepedulian masyarakat terhadap pemilu (angka golput pada pemilu 2014 mencapai 29%, naik dibandingkan pada tahun 2009 dan 2004). Dua, tidak munculnya pemimpin yang berkredibilitas untuk memimpin. Namun, terlepas dari faktor kredibilitas para kandidat, seharusnya masyarakat tetap saja ikut berpartisipasi, karena rakyat seharusnya bisa, memilih kandidat yang setidaknya lebih baik dibandingkan kandidat lainnya yang tersedia. Mungkin ada benarnya, saat ini Negara kita masih kekurangan pemimpin yang selalu diidamkan, namun izinkanlah penulis mengutip sebuah kalimat dari seorang tokoh bangsa, Bapak Anies Baswedan, “Negara ini hancur bukan karena terdapat banyak orang jahat di dalamnya, namun karena orang baik hanya diam dan mendiamkan�, kita tidak butuh lagi masyarakat yang hanya bisa menyalahkan pemerintah yang tidak berakuntabilitas, tapi kita butuh mereka yang mau berbuat demi kebaikan bangsa ini. Perwakilan datang dari masyarakat, rakyat biasa. Ini berarti, tidak ada alasan bagi seorang pun untuk tidak berusaha dan mengajukan diri mereka di pemilihan umum. Daripada hanya terus mengoceh tentang pemerintahnya sendiri, mengapa tidak kita saja yang menjadi perwakilan rakyat di pemerintahan, apabila memang dirasa cukup atau bahkan melebihi kredibilitas mereka yang sekarang sedang memimpin di pemerintahan, bukankah begitu? Berdasarkan seluruh ulasan di atas, adapun hal yang pembaca dapat simpulkan adalah; demokrasi tidak akan berjalan ketika pemerintah gagal mewakili rakyat mereka dengan seharusnya. Namun demokrasi juga tidak akan berjalan ketika rakyat terus-terusan menghujat pemerintahan yang telah terpilih, apalagi yang terpilih secara demokratis, terpilih oleh mayoritas rakyat. Hidup Indonesia! Hidup demokrasi Indonesia! Benar bahwasanya paham demokrasi telah mendarah daging di Negara dengan 17.000 pulau ini. Maka marilah kita lanjutkan kelangsungan mimpi dan cita-cita pendiri bangsa terdahulu, mengapa? Karena itulah ciri dan khas dari Negara yang kita cintai ini. Jayalah Indonesia, kan kujunjung demokrasi hingga akhir hayatku! 10
Pada saat ini, penulis masih duduk di bangku sekolah tingkat menengah atas. Hal yang berkaitan dengan demokrasi yang terjadi di lingkungan penulis, salah satunya adalah Pemilihan Ketua OSIS. Alhamdulillah, di sekolah tempat penulis belajar, Pemilihan tersebut telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga dapat dikatakan Ketua OSIS yang terpilih, terpilih secara demokratis, karena seluruh elemen sekolah ikut serta dalam pemilihan. Namun, hal ini tidak terjadi pada seluruh sekolah di kawasan penulis tinggal, yakni Kota Banda Aceh. Sebagai contoh, ketika penulis masih berada di jenjang pendidikan tingkat menengah pertama. Pada saat Pemilihan Ketua OSIS, memang siswa tetap ikut memilih, hanya saja, tidak seluruh siswa dari sekolah tersebut diminta suara sahnya. Hanya beberapa orang yang ikut dalam pemilihan tersebut, sebagai contoh, perangkat kelas saja yang memilih calon Ketua OSIS. Hal ini persis seperti apa yang diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu untuk mewakili rakyat di masing-masing provinsi, dalam hal memilih perwakilan di Pilkada. Tentu kebijakan ini dan kejadian di sekolah lama penulis ini sangat disayangkan. Apakah perangkat kelas merupakan perwakilan kelas yang sah? Apakah mereka benar-benar dapat mewakili keinginan dari seluruh siswa-siswi yang ada? Hal inilah yang ingin penulis tindaklanjuti, dengan cara pendekatan melalui Kepala Sekolah dan guru-guru di sekolah-sekolah yang memiliki masalah serupa. Karena melalui Pemilihan Ketua OSIS yang dilaksanakan secara menyeluruhlah akan berdampak baik untuk siswa, mengajarkan untuk berpartisipasi dalam pemilu, melatih ketajaman berpikir siswa akan pemimpin yang mereka rasa baik untuk dipilih. Dan untuk alasan itulah, narasi ini penulis tulis, dengan tujuan untuk menghidupkan semangat hidup berdemokrasi di masyarakat Indonesia, di setiap lapisannya.
11