Artikel 44 “PERSPEKTIF TENTANG DEMOKRASI & KENAIKAN BBM BERSUBSIDI� Nuraiyan SMAN 9 Tunas Bangsa Banda Aceh
Hai para sahabat semuanya, para generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas nantinya. Bagaimana pendapat para sahabat tentang kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Negeri Indonesia kita ini? Saya sendiri miris mendengar ketika BBM sudah resmi dinaikkan dari Rp 6.500.00,- menjadi Rp 8.500.00,-. Dulu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), harga bensin Rp 4.500.00,-, dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) menaikkan BBM Rp 2.000.00,sehingga menjadi Rp 6.500.00,-. Saya melihat tidak begitu banyak yang komplain akan kenaikan BBM saat itu. Mungkin karena harganya tidak terlalu tinggi. Dan ketika Bapak Joko Widodo sudah dilantik menjadi Presiden, beliau menaikkan BBM sebesar Rp 2.000.00,- hingga menjadi Rp 8.500.00,- Nominal yang sangat tinggi di mata para masyarakat miskin dan awam. Mengapa saya katakan miskin dan awam? Bagi masyarakat miskin sudah jelas tidak terlalu sanggup memenuhi kebutuhannya dalam berkendaraan. Apalagi bagi tukang becak, bensin menjadi subjek utama untuk proses pekerjaan mereka. Apa kata mereka? Apa kata orang-orang lain yang rejekinya terbatas!? Dan bagi orang awam, mereka berkomentar dengan cara spontan, yang mengandung kata-kata tidak bermoral. Karena terbatasnya pengetahuan dan informasi yang mereka miliki, maka terbataslah rasa pengertian yang mereka tampilkan. Ketika saya melewati jln. T. Umar Setui, Banda Aceh pada hari Selasa (18/11/2014) kemarin, saya melihat warga-warga Banda Aceh yang dikawani oleh rombongan Polisi dengan berjalan kaki, dengan spontannya mereka mengeluarkan rasa keluh mereka, mereka berdemonstrasi di sepanjang jalan Banda Aceh. Ternyata ketika saya menganalisis, banyak sekali masyarakat yang tidak setuju akan kenaikan BBM saat ini. Karena bukan hanya tukang becak yang memerlukan banyak bensin, bagi siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, dan pekerja-pekerja lainnya juga membutuhkan bensin yang banyak ketika jarak rumah dengan tempat pendidikan dan pekerjaan mereka jauh. Saya pernah menonton acara Kick Andy di stasiun Metro TV, saya mendengar pembicaraan Rhenald Kasali, seorang penulis buku yang sudah terkenal di Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM adalah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia. Untuk memperbarui Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Alasan pemerintah akan menaikkan harga BBM supaya masyarakat Indonesia bisa lebih irit dan hemat, dan para geng motor tidak menggunakan kendaraan dengan berlebihan atau over, serta bisa berkurangnya polusi, sehingga angka kemiskinan di Indonesia berkurang dan 121
pada akhirnya tidak ada lagi rakyat Indonesia yang miskin. Juga angka-angka kematian karena kecelakaan juga berkurang. Menurut analisa saya, itu suatu tujuan yang baik. Tetapi saya setuju akan komentar dari Dewan Pembina Partai Demokrat, Dede Yusuf, menilai, “Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak kreatif dalam mencari sumber-sumber pemasukan negara guna memenuhi janji-janji politiknya saat kampanye pada Pilpres 2014. Seharusnya, kata dia, Pemerintah mencari dulu berbagai alternatif lain sebelum menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Pemerintah seolah mentok habis ide mencari cara memenuhi janji-janji politik, akibatnya cari jalan pintas menaikkan harga BBM. Ini jelas tergesa-gesa, pepatah Sunda mengatakan, 'ulah gagabah kudu asak jeujeuhan', artinya dalam membuat keputusan harus dengan pertimbangan matang, tidak tergesa-gesa" kata politisi Partai Demokrat, Dede Yusuf, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (20/11/2014). Jika pemerintah kreatif, menurut dia, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menggenjot pendapatan negara. Pendapatan itu nantinya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan seperti yang diinginkan pemerintah. "Misalnya, dengan cara menaikkan cukai rokok, nilainya hampir setara dengan efisiensi subsidi BBM, selain menyehatkan keuangan negara, juga menyehatkan masyarakat," ujar mantan Wakil Gubernur Jawa Barat ini. Menurut Ketua Komisi IX DPR ini, ketergesaan pemerintah dapat dilihat jelas dari belum siapnya langkah-langkah antisipasi terhadap gejolak sosial dampak akibat kebijakan tersebut. Tiga kartu Jokowi, yakni Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera, menurut Dede, belum cukup. "Bahkan, (kartu itu) simpang siur sumber pendanaan serta penerapannya," ujar Dede. Langkah terburu-buru pemerintah, lanjut dia, tampak juga dalam pemilihan waktu pengumuman yang berbarengan dengan negosiasi penetapan upah minimum buruh di berbagai wilayah Indonesia. Dede meyakini, hal tersebut akan mempengaruhi besaran nilai Komponen Hidup Layak (KHL) yang sedang dinegosiasikan buruh dengan pemerintah daerah serta pengusaha. "Harga BBM yang naik sebesar Rp 2.000.00,- ini otomatis akan melemahkan daya beli buruh, secara otomatis pula akan menempatkan buruh yang selama ini rentan miskin menjadi golongan miskin. Dengan demikian, menambah jumlah masyarakat miskin," ucap dia. Dede menerangkan, pihaknya telah memanggil perwakilan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) belum lama ini guna mendengarkan penolakan kaum buruh terhadap kenaikan harga BBM. "Mereka keberatan dengan kenaikan harga BBM, bahkan mereka ancam akan lakukan mogok nasional di semua sektor," katanya.” (Penulis: Ihsanuddin, Editor: Fidel Ali Permana) JAKARTA, KOMPAS.com. Jika dikembalikan pada mekanisme hakiki demokrasi yang menjadikan suara mayoritas rakyat sebagai pijakan untuk menjalankan kebijakan penguasa, sejatinya membuat sikap Penguasa tunduk menuruti suara mayoritas rakyat yang menolak BBM Naik. Namun apa yang dilakukan Penguasa negeri ini, justru sebaliknya, mereka tetap ngotot dengan kehendaknya sendiri. Apa yang dilakukan para Penguasa hari ini adalah bukti ‘konsistensi” demokrasi, dimana “konsistensi” demokrasi adalah sikapnya yang akan senantiasa 122