Artikel 7 “WAJAH BARU PANGGUNG DEMOKRASI SEBAGAI PANGGUNG SANDIWARA” Muhammad Mufti Syahreza SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh
Merujuk pada dasar demokrasi, demokrasi berasal dari kata yunani, “Demos” yang berarti rakyat dan “Kratos” yang berarti kekuasaan. Secara bahasa demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat atau disebut juga pemerintahan rakyat. Maksud dari pemerintahan rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Jadi, demokrasi adalah sebuah bentuk sistem pemerintahan dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah. Atau dengan kata lain, demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah di negara tersebut. Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia yang pada dasarnya mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut, terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu: yang pertama adalah pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya dalam pemilihan wakil-wakil untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil. Dan yang kedua adalah pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama. Menurut salah satu tokoh paham islam, demokrasi adalah wadah masyarakat untuk memilih seseorang untuk mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang tidak mereka kehendaki. Mereka juga berhak meminta pertanggung jawaban penguasa jika pemimpin tersebut bersalah. Merekapun mempunyai hak untuk memecatnya jika menyeleweng. Mereka juga boleh menuntut untuk tidak dibawa ke sebuah sistem ekonomi, sosial, budaya, atau sistem politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Proses demokrasi memuat hal-hal yang mendukung terlaksananya demokrasi itu sendiri. Salah satunya adalah pola pikir kita sebagai rakyat yang masih sangat minim akan pengetahuan tentang proses demokrasi. Lantas apakah pengertian demokrasi hanya sebatas apa yang telah diutarakan di atas? Jawaban yang tepatnya adalah tidak. Proses demokrasi memuat satu hal penting yang terlahir secara sendirinya dan berbentuk turunan demokrasi, yaitu kemampuan akal pikiran manusia tentang berdemokrasi. Hal inilah yang sering disebut sebagai budaya demokrasi. Selanjutnya muncul pertanyaan lain, apakah yang dimaksud dengan budaya demokrasi tersebut? Jika kita melihat dari pengertian kata budaya secara harfiah, budaya berasal dari kata budi (akal) dan daya (kemampuan). Maka budaya adalah 23
kemampuan akal manusia. Dengan kata lain, budaya demokrasi adalah kemampuan akal manusia dalam berdemokrasi. Secara utuh pengertian budaya demokrasi dapat dilihat dari tiga sudut. Yang pertama adalah budaya demokrasi formal, yaitu suatu sistem pemerintahan yang hanya dilihat dari ada atau tidaknya lembaga politik demokrasi seperti perwakilan rakyat. Yang kedua adalah budaya demokrasi wajah (permukaan), yaitu demokrasi yang hanya tampak dari luar, sedangkan di dalamnya tidak ada unsur demokrasi sama sekali. Yang ketiga, budaya demokrasi substantif, yaitu demokrasi yang memberikan kesempatan (hak suara) untuk menentukan kebijakan kepada seluruh golongan masyarakat tanpa memandang kedudukan atau apapun dengan tujuan menjalankan agenda kerakyatan. Budaya Demokrasi pada intinya adalah budaya yang menomorsatukan kepentingan masyarakat dalam pembuatan keputusan mengenai kebijakan negara. Budaya demokrasi dalam pelaksanaannya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan budaya demokrasi adalah sebagai berikut : - Demokrasi memberikan peluang untuk terciptanya perubahan dalam pemerintahan dengan tidak menggunakan kekerasan. - Terjadinya pemindahan kekuasaan yang dapat terlaksana melalui pemilihan umum. - Masyarakat diberikan kebebasan untuk berpartisipasi sehingga memunculkan rasa memiliki terhadap negara. -
Dan adapun beberapa kekurangannya adalah : Masyarakat dapat salah dalam menentukan pilihan dikarenakan isu-isu politik. Kefokusan pemerintah berkurang terhadap tata laksana pemerintahan ketika menjelang pemilu berikutnya.
Pada dasarnya hal yang menyebabkan terlahirnya peristiwa budaya dalam berdemokrasi tidak jauh dari peristiwa pesta demokrasi yang sering disebut dengan pemilihan umum (pemilu). Pemilu itu sendiri mempunyai makna, suatu proses dimana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat, jabatan di berbagai tingkat pemerintahan, sampai ke kepala desa. Dan asas yang digunakan dalam pemilu adalah asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil). Dalam melaksanakan pemilu, para pemilih disebut sebagai konstituen, yang kepada merekalah para calon kandidat pemerintah menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye yang dilakukan selama beberapa waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilaksanakan, proses perhitungan suara untuk pemenang pemilu ditentukan berdasarkan aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan telah disetujui oleh peserta, dan disosialisasikan kepada para pemilih. Lalu mengapa pemilihan umum ini sering disebut dengan pesta demokrasi? Mungkin layaknya sebuah pesta, pemilu hanyalah luapan kegembiraan sesaat. 24
Kegembiraan itu ditandai dengan menjamurnya partai peserta pemilu, ribuan caleg, jutaan spanduk, baliho dan stiker, ramainya media cetak dan elektronik oleh iklan politik, hingar-bingar pidato dan janji-janji para tokoh partai dan para kandidat politik. Alasan tersebut bisa sangat tepat untuk menjawab pertanyaan di atas, demi melihat pesta demokrasi yang telah diadakan sejak zaman dahulu di seluruh dunia umumnya dan di Indonesia, khususnya. Lantas apakah yang menyebabkan pemilu layak di sebutkan sebagai pesta demokrasi? Itu semua terwujud karena pemilu diharapkan mampu menjadi sarana pendorong dalam peningkatan kualitas berdemokrasi dengan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas. Untuk itu diperlukan sebuah regulasi strategis yang mendasar supaya pemilu ini menjadi lebih bermakna dalam kepentingan demokrasi di Indonesia, sehingga layak disebut pesta demokrasi. Suksesnya sebuah pesta demokrasi dalam panggung demokrasi sangat bergantung kepada peran pelaku politik. Lantas siapakah pelaku politik tersebut? Pelaku politik adalah politisi-politisi baik yang berasal dari sebuah partai politik atau tidak, mulai dari presiden hingga orang biasa, mulai dari orang berada hingga orang tak punya, yang mempunyai sebuah tujuan tertentu. Secara alamiah tujuan mereka adalah mewujudkan aspirasi masyarakat yang telah memilihnya. Ya, memang benar sebagian mereka melakukannya namun tentu tidak semua, karena menurut pandangan agama, “Setiap insan memiliki nafsu�, dan nafsu tersebut bisa mengarah ke arah positif atau ke arah negatif. Inilah yang terjadi di tanah air kita Indonesia. Maraknya politisi yang menyeleweng atau menghancurkan kaidah-kaidah politik. Para politisi cendrung mempunyai prinsip membeda-bedakan antara orang yang berada di golongan atas dengan orang-orang berada di golongan bawah. Dan masih banyak dari mereka yang mengekang hak-hak orang lain. Juga masih kurangnya sifat toleransi di antara mereka dalam hal yang mengarah kepada pluralisme. Dan hasil dari semua perbuatan di atas, dapat dijawab dengan sebuah kata, korupsi, yang terjadi karena mereka terlena akan nikmatnya kekayaan yang tak cukup mereka nikmati sendiri. Mereka akan menawarkannya kepada kerabat dan saudara dekatnya untuk berada di jalan yang sama sehingga memperbanyak tabungan dosa mereka. Tidak hanya sampai di situ, di Indonesia banyak kasus korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh satu orang, namun berjamaah, sehingga membentuk suatu kelompok pendosa yang lebih dikenal dengan kolusi. Dan hingga tahun 2014 ini halhal tersebut masih sering dijumpai di negara kita. Lantas apa alasan mereka melakukan semua ini? Jawabannya dapat kita lihat bersama pada tahun 2014 ini, dimana bangsa Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi, yang pemilu legislatifnya telah dilaksanakan pada 9 April yang lalu. Sebelum pemilihan tersebut digelar, seluruh lapisan masyarakat berharap caleg yang akan terpilih nantinya merupakan insan- insan yang bertanggung jawab atas ucapan yang telah mereka umbar ketika berkampanye dengan janji-janji yang 25
sangat indah sehingga meluluhkan hati pemilih. Namun yang terjadi setelah mereka terpilih adalah sebaliknya. Padahal Allah telah mewanti-wanti dalam firman-Nya : “..”ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آ َﻣﻨُﻮا أَوْ ﻓُﻮا ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌﻘُﻮ ِد “Wahai orang-orang beriman, tepatilah janji…” (QS. Al Maidah/5:1)
Tapi, pada kenyataannya, tidak sedikit dari mereka yang ingkar dan menjadikan perkataan meraka sebagai dusta. Maka rugilah mereka yang tidak menepati janji dan ingkar terhadap perintah Allah. Hal tersebut telah memberi citra buruk terhadap mereka para pelaku politik. Dan hal yang paling patut disayangkan adalah ketika pamor mereka yang jujur terlanjur tertutupi oleh para pendusta. Lalu dari semua ini dapat kita simpulkan bahwa dalang dari semua yang terjadi ini adalah karena kurangnya akhlak atau adab. Padahal dikatakan dalam agama, adab adalah segalanya. Dan di zaman sekarang ini, para pelaku politik di Indonesia banyak yang bermuka dua, sehingga para pelaku politik dikatakan sedang bersandiwara di dalam jabatan mereka. Mereka hanya memperdulikan diri sendiri dan melupakan amanah yang telah dibebankan kepada mereka sebagai wakil rakyat. Hal tersebut menyebabkan proses demokrasi yang telah menghasilkan panggung demokrasi, kini lebih cocok disebut sebagai panggung sandiwara. Ya, sebutan ini sangat tepat bagi pelaku demokrasi zaman sekarang yang kebanyakannya sedang bersandiwara di luar sana. Semuanya telah terbukti dengan banyak pendusta yang berlakon di atas pentas demokrasi. Seperti itulah wajah negara kita sekarang ini. Lantas apakah hal tersebut bisa berubah setelah pemilu 2014 ini? Walaupun kita sebagai rakyat Indonesia belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut, namun keinginan luhur pemerintah untuk pesta demokrasi tahun 2014 ini adalah menjadikan negara ini lebih baik dari sebelumnya. Hal tersebut tampak dengan jelas pada seruan pemilu tahun ini, “UNTUK INDONESIA YANG LEBIH BAIK”.
Bagaimana hal ini bisa terwujud? Indonesia harus berbenah dengan mengkoordinir gebrakan -gebrakan cemerlang mulai dari lini yang sangat sederhana. Misalnya dalam hal penanaman nilai-nilai akhlak bagi setiap pelaku demokrasi dengan meningkatkan pemahaman agama, sehingga para pemimpin nantinya memiliki rasa takut terhadap perbuatan salah yang akan mereka lakukan. Dan Indonesia harus tegas dalam menindak para pelaku demokrasi yang bersalah. Satu hal yang paling penting, Indonesia harus memiliki pelaku demokrasi yang bersih, jujur, dan adil. Dan jika semua itu telah berhasil terwujud, maka citra panggung demokrasi akan kembali normal. Mungkin itu menjadi harapan setiap warga negara, baik yang di kota maupun di pelosok, baik tua maupun kaum muda yang merupakan generasi penerus, yang sedang mengambil contoh pada yang tua. Oleh karena itu, yang generasi sebelumnya harus mencontohkan hal-hal yang baik bagi generasi penerusnya. 26
Penulis melihat dibutuhkan peningkatan peran keluarga dalam menerapkan dan mengamalkan anti korupsi sebagai aspek penting dalam membangun mental generasi muda untuk menciptakan Indonesia menjadi lebih baik. Dan penulis menyarankan agar pemerintah sebaik mengevaluasi program pendidikan budaya anti korupsi dengan kegiatan rutin di sekolah pada setiap minggu dengan menambahkan pelajaran budaya anti korupsi sebagai mata pelajaran umum di setiap jenjang. Dan pemerintah agar dapat lebih sering melakukan seminar yang berkenaan dengan budaya demokrasi dan anti korupsi khusunya kita di Aceh. Dan dibutuhkan juga peningkatan peran tenaga kependidikan dalam membimbing peserta didik untuk mengimplementasikan sikap buadaya anti korupsi ke dalam kehidupan sehari-hari. Dan Perlu pengembangan lebih lanjut mengenai pendidikan budaya demokrasi dan anti korupsi tidak hanya di terapkan ke perguruan tinggi saja, tetapi juga ke seluruh jenjang pendidikan seperti contohnya program yang telah saya sampaikan dan yang terpenting dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan berbagai pihak yang bersifat membangun demi terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi (good government). Sehingga PANGGUNG SANDIWARA segera berakhir, demi “INDONESIA YANG LEBIH BAIK�.
27