Hal 07_oke

Page 1

Opini

EDISI 0 1 8 TTAHUN AHUN I 01

7

Lampu Merah Tinambung & Campa Singa Ompong yang Meraung Oleh: Kahar, praktisi hukum

Secara normatif, ketika lampu merah-ijo-kuning yang dipasang di perempatan jalan sebagai ramburambu lalu lintas, diabaikan (dilanggar) oleh pengguna jalan, maka akan dikenakan sanksi.Hal demikian menunjukan bahwa lampu merah-ijo-kuning yang dipasang diperempatan jalan adalah peraturan lalulintas atau undang-undang yang makna luasnya adalah hukum. Pemasangan lampu merah-ijokuning dikota-kota besar seperti Makassar, pada umumnya cendrung efektif mengatur pengguna jalan. Namun sudah menjadi “klakar klise” dalam kehidupan masyarakat, bahwa apa yang seharusnya (das sollen) tidak mesti menjadi kenyataan (das sein) sehingga menjadi suatu fenomena. Dari fenomena dimaksud, maka dapat ditarik suatu issu yang dalam ilmu hukum menjadi legal issu, seperti di Sulawesi Barat. Khususnya Polman (Tinambung dan Campalagian), lampu merah-ijokuning yang terpasang di sana (diperempatan jalan) diabaikan tetapi tidak ada sanksi (ganjaran). Fakta tersebut menjadi tontonan masyarakat sekitar (legal issu) bahwa hukum dapat saja diabaikan dan dikesampingkan, dan ketika diabaikan dan dikesampingkan toh tidak ada sanksi apa-apa bagi yang mengabaikan, dan lampu merah tersebut setiap saat bergulir dari ijo, kuning sampai ke merah kembali. Namun pengguna jalan tetap saja lalu-lalang tanpa terpengaruh olehnya. Sehingga jika saya simbolkan lampu merah-ijo-kuning itu adalah singa (punya taring/sanksi), maka singa tersebut kehilangan taring alias ompong, tidak dapat menggigit sehingga menyerupai “singa ompong

yang meraung-raung”. yang meraungraung di siang bolong. Akan tetapi, jika ada petugas yang berdiri di perempatan jalan maka lampu merah-ijo-kuning menjadi seketika efektif mengatur dan mengendalikan para pengguna jalan, kemudian ketika petugas meninggalkan tempat maka seketika itu pula lampu merah-ijo-kuning diabaikan lagi. Hal demikian berkaitan dengan ketaatan hukum, ketaatan hukum dalam masyarakat telah diklasifikasikan oleh Kelman (Achmad Ali, 1988b : 31) menjadi tiga klasifikasi: Compliance, seseorang taat pada suatu aturan hukum adalah untuk menghindarkan diri pada sanksi / ganjaran. Jadi ketaatan ini bukan karena yakin akan tujuan kaedah / aturan hukum tersebut, tapi takut akan sanksi. Identification, seseorang taat pada suatu aturan hukum agar hubungan baiknya dengan masyarakat tertentu tetap terjaga dengan baik. Jadi ketaatan ini juga bukan karena yakin akan tujuan kaedah / aturan hukum tersebut, tetapi sekedar menjaga hubungan baik dengan penegak hukum atau anggota masyarakat tertentu. Internalization, seseorang mentaati aturan / kaedah hukum, benar-benar karena secara intrinsik sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya. Inilah tahapan tertinggi dalam ketaatan hukum. Peristiwa hukum lampu merahijo-kuning tersebut di atas, hanyalah salah satu dari sekian banyak peristiwa hukum yang menunjukkan ketidakberdayaan hukum berhadapan dengan kepentingan

masyarakat yang diaturnya. Penulis katakan salah satu karena masih banyak peraturan perundangundangan yang secara positif dinyatakan berlaku, tetapi kenyataannya tidak ditaati oleh masyarakatnya sendiri alias bagaikan “singa ompong yang meraung-raung”, antara lain: Setiap pengendara sepeda motor disiang hari diwajibkan meyalakan lampu, tapi kenyataan dalam masyarakat peraturan tersebut tidak efektif, bahkan terabaikan. Setiap pengendara sepeda motor wajib pake helm, bahkan helmnya harus standar untuk lingkup Kabupaten Polwali Mandar. Tetapi setelah memasuki bulan suci ramadhan, maka aturan hukum yang mewajibkan pake helm bagi para pengendara sepeda motor tadi tidak diberlakukan (diabaikan) terutama di malam hari. Pasal 534 KUHPidana yang mengancamkan hukuman bagi siapa yang secara terang-terangan mempertunjukan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan. Di dalam kenyataannya ketentuan ini tidak diberlakukan (sekalipun masih berlaku sebagai hukum positif/belum dicabut) sebab telah menjadi program pemerintah untuk menciptakan keluarga sederhana atau keluarga berncana sehingga sering kali mensosialisasikan alat-alat pencegah kehamilan. Kalau ketentuan pasal 534 KUHPidana mau diterapkan, maka berakibat semua petugas/penyuluh keluarga berencana yang sering mempertontonkan sarana untuk mencegah kehamilan semestinya ditangkap sebagai pelaku tindak pidana.

Tetapi kenyataan pasal 534 KUPidana, tidak diterapkan secara nyata dalam masyarakat demi pembangunan. Gambaran tersebut di atas mendeskripsikan bahwa undangundang atau hukum dalam arti sempit yang diciptakan oleh pembuat undang-undang (legislatif) tidak serta merta dapat diterima baik oleh masyarakat yang diaturnya. Apalagi kalau hukum yang diciptakan oleh penguasa tidak sesuai dengan nilainilai (jiwa) yang hidup dalammasyarakat yang diatur oleh hukum itu. Karenanya masih patut dihargai pendapat Filosof sejarah hukum terkemuka bernama Von Savigny (Lili Rasjidi, 1993: 47) yang mengemukakan “Hukum itu adalah volksgeist (jiwa rakyat), hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya”. Ajaran tersebut menggambarkan bahwa:Setiap masyarakat punya jiwa tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lain, sehingga hukumnya dapat berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain; Perlu kehati-hatian mengimpor suatu aturan dari tempat tertentu ke tempat yang lain karena belum tentu cocok. Konsep aliran teori historisnya Von Savigny di atas, bila dihubungkan dengan masyarakat yang masih sederhana, maka konsep tersebut masih relevan untuk diterapkan, karena dalam masyarakat yang sederhana,legislatif(pembuat undang-undang) belum terlalu memegang peranan, berbeda pada masyarakat yang sudah medern dewasa ini. (bersambung ke hal. 10)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.