AKU, KAU, DAN MAS KAI Bahkan ketika pintumu diketuk, akankah kau membukanya kembali? *** Aku masih tidak mengerti, bagian hati yang mana yang harus kutambal. Setelah kepergiannya dulu, lubang di hatiku masih menganga. Kini terngiang kepedihan di kepalaku, kulihat ia melalui layar smart phone, tersenyum manis bersama seorang gadis berkerudung jingga, senyumnya manja. Senyum mereka begitu bahagia. Iya, dia bahagia. Bahkan kepergianku tidak menghentikan kebahagiaannya. Membuatku bertanya, apa iya aku adalah bagian dari senyum di hari-harinya dulu? Bukan salahnya, memang. Menggandeng gadis baru untuknya, bukan salahnya. Aku yang memintanya pergi. Tidak akan kuingkari. Perpisahan pasti meninggalkan luka. Tak hanya luka bagi yang ditinggalkan, yang meninggalkan pun demikian. Hanya saja aku tak menunjukkannya. Kau tak tau itu, bukan? “Aku lelah, mari kita akhiri.” “Dengan semua yang telah kulakukan, kau menyerah? Bagaimana bisa semudah itu kau mengatakan ini semua harus berakhir?”, katanya. “Ibu menjodohkan aku. Jika kamu tak segera menikahiku, aku akan dinikahkan dengan orang lain. Kau kenal mas Kai? Dia akan ke rumah nanti malam.” “Aku lebih lelah denganmu. Baiklah, aku menyerah di detik ini.” Kemudian dia pergi meninggalkanku. Dia menyerah. Iya, dia menyerah. Huft. Cerita kami usai. Cita-cita berdua hanyalah angan. *** Semua persiapan berlangsung cepat. Malam ini adalah malam terakhir aku menyandang status lajang. Esok pagi, statusku berubah. Aku akan menjadi seorang istri. Istri dari seorang lelaki yang baru kukenal beberapa waktu lalu, mas Kai. Mas Kai adalah anak teman kerja bapak di kantor kepala desa di kampung halamanku. Kebetulan, kami sama-sama mengambil studi di Malang. Aku tidak mengenal dia sebelumnya, hanya tahu sekilas, itupun dari ibu tiga bulan yang lalu. Beberapa saat setelah ibu membahas sekilas tentang mas Kai, seketika itu pula aku menagih janji pada abang, kekasihku.
**Agustus 2016, tiga bulan lalu** “Bang, abang sayang sama aku?” “Kok Tanya gitu, sih? Ya pasti sayaaaaaaaaaaaaaaaaang banget dong, sayang.” “Kapan abang mau nikahin aku?” “Sabar ya sayang, abang masih kuliah. Abang belum punya pekerjaan. Nanti, kalau abang sudah bekerja, abang pasti nikahin kamu.” “Janji?” “Abang janji.” *** Janji tinggal janji. Sebagai seorang anak, aku tetap harus berbakti. Meski statusku masih mahasiswa semester empat, ibu tetap tidak mengurungkan niatnya untuk menikahkanku dalam waktu dekat. Niat baik harus disegerakan, katanya. “Dia anak yang baik, nduk. Mas Kai itu hafidz, kamu gak pengen punya suami hafidz quran?” “Enggeh bu, adek mau. Tapi adek gak kenal sama mas Kai.” “Ibu dulu juga gak kenal sama bapakmu. Malah so sweet lo, nduk, kalau baru kenal setelah menikah. Kata ustad Shomad, apa itu, oh iya! Pacaran setelah menikah. Uhhhh ibu jadi inget pertama cium tangan bapakmu, baru sehabis acara ijab kabul. Deg-deg serrrr gitu, nduk. Insya Allah, kalau niatnya baik, segalanya akan dimudahkan oleh Allah. Atimu sudah manteb kan menerima lamaran mas Kai?”, aku menjawabnya dengan dua kali anggukan kepala. *** 11 November 2016 *** “Qobiltu nikahaha, wa tazwiijaha ‘ala mahri madzkuur haalan.” “SAH?” “SAH. Alhamdulillah…” Sungguh berdebar hatiku. Saat bapak melafalkan namaku sambil menjabat tangan mas Kai. Dengan jawaban lantang, mas Kai melafalkan ijab kabul di hadapan seluruh tamu undangan. AKU? AKU MENJADI SEORANG ISTRI? ALHAMUDULILLAH. Di dalam
bilik, aku sujud syukur mendengar ijab kabul bapak dan mas Kai berjalan lancar satu kali lafal. Alhamdulillah. Ibu, anakmu sudah jadi istri oranggggggg!!” *** “Mau teh apa kopi, mas?”, kusapa suamiku setelah dia turun dari murojaah. “Mboten. Mas mau mandi. Jam 6 harus sudah siap berangkat.” Suamiku adalah guru SMP. Beliau dua tingkat di atasku, semester delapan. Mas Kai tinggal menunggu waktu wisuda minggu depan. Dan alhamdulillah tawaran mengajar sudah di mana-mana. Mungkin karena beliau hafidz, sungguh segalanya dimudahkan oleh Allah. MasyaAllah. Kusiapkan perlengkapannya untuk berangkat kerja. Masih agak kikuk sih, wajar yaa hari pertama. Seperti asumsi orang kebanyakan, bahwa menikahi dan dinikahi orang asing akan tercipta suasana yang CANGGUNG. Ternyata, itu bukan isapan jempol belaka. Belum lagi, aku juga beradaptasi dengan tempat tinggal baruku. Aku pindah tidur dari kos-kosanku ke kontrakan mas Kai. Barang-barangku masih berleha-leha di kosan. Aku ke mari hanya membawa beberapa helai baju. Tak apa lah. Bismillah, lillah. Kulihat, jarum panjang jam di dinding masih di angka enam. Ada sekitar enam puluh menit lagi untuk menuju setengah tujuh, satu kali putaran 360 derajat jarum panjang jam. Aku kuliah jam tujuh. Hmmm cukup lah untuk mempersiapkan diri sebelum berangkat ke kampus. *** Sebulan berlalu… Mantan kekasihku menghilang tak ada kabar. Terakhir kami berkomunikasi pada saat hari di mana mas Kai melamarku. Setelah itu, aku tak mendengar kabarnya lagi. Dia hadir ke pernikahanku? Kurasa tidak ada. Aku tak tahu apakah undanganku sampai ke dia. Atau bahkan aku lupa tak mengundangnya karena tak sampai hati untukku melihatnya hadir di pernikahanku. Jangan kau tanya aku. Jelas, aku rindu. Namun, aku tak ingin mendzolimi hati. Aku juga tak ingin menghianati suami. Tiap aku rindu pada abang, aku beristighfar dalam-dalam. Kukirim al-fatihah untuknya. Semoga ia selalu sehat di manapun dia berada.
Hari ini tanggal merah. Libur berjajar karena esok adalah Sabtu. Long weekend. Aku dan mas Kai akan berlibur hari ini. Liburan sederhana sih, pergi ke coban rais, tempat yang lagi tren di kalangan pemudi Malang, Batu dan sekitarnya. Karena hari ini hari Jumat, maka kami berangkat ba’da Jumatan. Dari kontrakan kami, setidaknya kami membutuhkan waktu 55 menit untuk sampai ke sana. Aku bersiap diri mengambil air wudhu, sholat dhuhur dan menunggu mas Kai pulang sholat Jumat. Kami berangkat mengendarai vario merah jambu tepat pukul satu. Dengan kecepatan 50km/jam kami melaju. Alhamdulillah, langit bersahabat. Dengan sedikit terik, setidaknya awan-awan putih memayungi perjalanan kami. Kami mengambil jalanan kampung, sekaligus menikmati perjalanan sejuk khas kota Batu. Rute selanjutnya adalah jalanan gunung yang dikelilingi jurang. Pemandangannya sungguh cantik. Pohon-pohon hijau bertumpang-tindih di gunung seberang sekeliling. Cantik sekali. Sebentar lagi kami akan sampai tempat tujuan. Dalam perjalanan, aku berusaha mencairkan suasana. Mas Kai tipe orang yang ramah dan santun. Aku masih sangat segan jika bercanda berlebihan. Yang kami bicarakan sejak tadi masih seputar kegiatanku di kampus dan cerita-cerita di SMP tempat beliau mengajar. Ya Allah, cintakan aku kepada suamiku. Karena aku sungguh mencintaiMu. Aku ingin mencintainya karena cintaku padaMu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah dari arah berlawanan berada di lajur kami. Mas Kai berusaha mengelak dengan membanting setir ke kanan. Roda depan motor kami tersandung batu. Reflek mas Kai membanting setir ke arah kiri, kami terjatuh. Untungnya, mas Kai berhasil menghindari mobil tersebut. Pengendara mobil merah melewati kami beberapa meter, sesaat kemudian ia berhenti. Pintu supir terbuka, seorang laki-laki keluar dari sana. Sepertinya aku kenal. Tapi, aku tak ingin berpikir lebih jauh, yang kurasakan hanya perih di kakiku. Mas kai berusaha bangun dan menolongku segera. Diangkatnya si motor agar kaki kiriku bisa terbebas dari tindihan bodynya. Pengendara mobil berlari kecil berusaha membantu mas Kai. Bukan lega, yang ada aku malah kaget. Kau tau siapa lelaki yang keluar dari mobil berwarna merah itu? Mobil yang mengagetkan mas Kai hingga kami terjatuh dari motor! Si pengendara mobil itu, pengendara mobil itu adalah abang. Iya, abang. Mantan kekasihku. Ya Allah, bagaimana bisa? Abang meminta maaf dan menawarkan bantuan untuk mengobati dan mengantar kami pulang. Maksud hati ingin menolak, tapi apa daya tubuhku sungguh lemas. Kakiku sangat sakit. Gamisku sobek di bagian bawah kiri. Abang melotot sekilas tadi, saat pandangan matanya jatuh
ke aku. Ia kaget melihatku, kikuk. Aku tidak berani melihat ke mata abang lebih lama. Selebihnya, aku memasrahkan pada mas Kai terhadap tawaran bantuan abang. Ternyata beliau setuju. Alhamdulillah, mas Kai tidak terluka parah. Kulihat hanya lecet sedikit di punggung tangan kirinya. Mas Kai memintaku naik ke mobil abang, dan akan beliau memandu dengan berkendara motor di depan mobil menuju kontrakan kami. Untungnya, kecepatan motor tadi terhitung sedang, sehingga si vario pink baik-baik saja. Setelah minum air putih kemasan gelas, mas Kai menggendongku ke mobil. Aku tidak mengerti, apakah mas Kai mengenal abang atau bahkan mengerti hubungan kami. Aku tidak bisa berpikir jauh ke situ, aku takut. Aku duduk di jok belakang. Kulihat, ada seorang gadis yang duduk di bangku penumpang depan. Wajar saja, mas Kai mengizinkan aku menumpangi mobil ini. Ada orang lain lagi rupanya. Si gadis terlihat imut dari segi postur tubuhnya. Dia menggunakan kerudung paris segi empat warna ungu dipadu kaos lengan panjang merah muda. Aku yang masih kaget, berusaha mengatur napasku dan menenangkan degup kencang jantungku. Kemudian, si gadis menoleh dan bertanya. “Mau pergi ke mana tadi, mbak?” “Ke coban rais.” Di balik kemudi supir, abang terlihat khawatir. Entah khawatir terhadap keadaanku atau khawatir tentang gadis ini. Sesekali ia menoleh ke arahku, sambil terus memperhatikan mas Kai yang berkendara motor di depan mobil. Aku hanya menunduk dan pikiranku tenggelam dalam ketakutanku. Rasanya sungguh campur aduk. Kakiku menahan perih, hatiku juga menahan seribu tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa aku sekarang berada di mobil abang, sebagai tamu. Dia di balik kemudi supir, dan ada seorang gadis lain di sebelahnya. Pacarnya? Adiknya? Setahuku dia tidak punya adik perempuan. Ah, sudahlah. Apa urusanku. Harusnya aku tahu diri. Sudah, cukuplah tanyaku berhenti dalam hati. “Kamu gak papa?” “Gak papa”, kataku. “Sebelah mana yang sakit? Maaf ya, aku juga gak nyangka bakal ada motor di balik tikungan tadi. Tikungannya agak tajam sih. Kukira jalanan sepi.”
“Iya, gak papa kok.” “Itu tadi suamimu?” “Iya.” DEG! Abang menanyakan kabarku? Eh, apa aku berlebihan? Dia hanya menanyakan kondisiku. Wajar, kan. Toh aku habis jatuh. Tunggu, apa aku terlalu cuek ya? Atau harusnya aku jawab aja, “Aku gak papa, bang. Tapi aku rindu kamu. Kamu apa kabar?” Eishhhhh! Apalah aku ini. Skip skip skip. Tapi dia tanya tentang mas Kai loh. Apa dia cemburu ya. Hahaha. Ih aku kenapa. Rasanya ingin teriak aja. “Mas Kai, kenapa aku ditinggal di mobil iniiiii huaaaaaaaa…” Sampai di kontrakan, mas Kai menggendongku dari mobil kemudian menurunkanku di kasur. Selepas itu, mas Kai mempersilahkan abang dan si gadis masuk. Kudengar mereka bertiga mengobrol di ruang tamu. “Mau ke mana tadi, mas…? Oh iya, belum kenalan ya. Mas siapa?”, sapa mas Kai. “Saya Rizki. Kalau mas?” “Saya biasa dipanggil Kai. Mas Rizki mau pergi ke mana? Sama siapa ini, adiknya ya?” “Oalah, saya mau ke alun-alun Batu tadi. Tapi sengaja ambil jalan situ, emang mau jalanjalan sih hehe. Iya, ini adik saya. Adik ketemu gede hahaha.” “Hahaha. Eh, monggo ini diminum mas. Maaf, adanya cuma teh.” Ohhh, jadi itu pacar abang yang baru. Hmmm. Imut sih, mungkin adik tingkatnya ya? Ihhh peduli amat. Suka-suka dia lah. EH JADI DIA UDAH DAPAT PENGGANTIKU HANYA DALAM SATU BULAN? Tega! “Yaudah kalau gitu saya pamit dulu ya, mas. Sudah mau sore ini. Nanti saya harus ke Surabaya dulu.” “Oh, tinggal di Surabaya ya?” “Bukan, mas. Ini saya ngantar adik saya dulu ini.” “Kalau ada waktu, mampir ke sini aja, mas. Atau kita bisa saling menyapa di chat. Tadi sudah saling tukar nomor WA kan.”
“Siap. Saya pamit pulang dulu. Mohon maaf atas keteledoran saya tadi. Semoga mbak yang di dalam segera sehat.” “Enggeh. Allahumma aamiin.” Mbak yang di dalam katamu? Ish! Awas aja ya kamu, bang. *** “Dek, kamu istirahat aja ya hari ini, gak usah ke kampus dulu”. “Enggeh, mas. Loh mas kok gak siap-siap berangkat?” “Mas hari ini pengen di rumah aja. Nemenin adek.” “Haha adek rasanya terbang ini. Kok gak bisa turun ya mas.” “Jangan ge-er kamu, ini hari minggu.” Mendadak patah hati. Ngambek. Hahaha mas Kai sepertinya memang begitu. Bukan tipetipe romantis. Sekalinya manis, malah bikin hati makin sebel sesebel-sebelnya. Semoga aku segera mencintaimu, mas. Terdengar bunyi notifikasi chat masuk di hp mas. Awalnya kuabaikan. Tapi kok bunyinya berkali-kali sih. Berisik amat. “Mas ada chat nih. Kayaknya penting deh.” “Oh iya dek, buka aja. Dari siapa?” “Assalamualaikum, Kai. Aku uda dekat kontrakanmu nih Pengennya sih mampir Lagi di rumah? Rizki.” OMAIGAT. Abang? Apa aku gak salah baca? “Dari siapa, dek?” mas bertanya sedikit berteriak dari dapur. Sepertinya beliau sedang membuat teh dan roti selai. “Ehm… kayaknya dari orang yang kemarin hampir nabrak kita, mas.”
“Apa katanya?” “Dia mau ke sini.” “Oalah, yaudah terima aja.” Aduh. Ngapain sih orang ini ke sini. Mau pamer ceweknya apa. Hih nyebelin. Aku harus balas apa ya. “Yaudah ke sini ya ke sini aja. Repot banget sih.” Eh, hapus hapus hapus. Ehmmmm “Ada perlu apa ke sini? Kalau gak penting-penting amat gak usah lah.” Eh, kok jahat ya. Hapus hapus hapus. “Iya, silahkan.” Klik enter. Terkirim. Centang satu. Centang dua. 10 detik kemudian centang dua berwarna biru. Eh, langsung dibalas. “Sedang mengetik…” “Oke, 30 menit lg sampai.” Aku harus apa? Aku belum mandi. Ampun ini tamu macam apa sih masih jam 6 gini sudah bertamu. Apa aku harus segera mandi, ya? Atau aku sembunyi saja di kamar sampai dia pulang, pura-pura tidur gitu. Iya! Gitu aja. “Dek, kamu gak mandi? Mas sudah rebus air panas buat kamu mandi.” “Aduh, mas. Adek kan sakit. Adek gak usah mandi ya.” “Katanya cantik, tapi kok males mandi sih.” “Iya iya adek mandi.” ***50 menit kemudian*** Sebuah mobil merah berplat L parkir di teras kontrakan. Turun seorang lelaki usia awal 20-an memakai kaos biru muda berkerah hitam, ada logo Nike di dada sebelah kiri. Dalam hati, ya Allah ujian apa lagi ini. Kenapa dia ganteng banget sih. Eh, tapi dia sendirian? “Assalamualaikum, Kai.” “Waalaikumussalam. Masuk, Riz. Wah, jalan-jalan terus ya. Dari mana mau ke mana?” “Sengaja mau ke sini. Sekalian nanti ada reuni teman SMP di Beji.” Ngobrol lah mereka berdua. Dari kamar kudengar sesekali mereka menertawakan sesuatu. Aku bersiap memakai gamis dan kaos kaki. Aku menuju dapur, kemudian kupersilahkan mas Kai dan “tamunya” untuk sarapan pagi di ruang makan.
***Di meja makan*** “Alhamdulillah, bisa sarapan senikmat ini. Enak ya pagi-pagi sudah ada yang nyiapin makan hahaha,” canda Rizki. “Iya Alhamdulillah, Riz. Makanya, ayo kapan nyusul? Nanti kami datang ke resepsimu.” “Iya nih, lagi nabung. Ini istrimu gak ikut makan, Kai?” “Ikut, dong. Ayo makan sini, dek.” “Eh, iya, mas.” Dalam hati: “Duh apa sih maksud abang ini.” “Gimana kuliahnya, Dira? Lancar?”, kata Rizki. “Loh kalian udah saling kenal?” “Ehm, iya, mas.” “Kok belum cerita sama mas?” “Emang iya Dira belum cerita? Wah Dira, kamu menyembunyikan kisah kita ya? Haha.” Mati aku! Kenapa abang bilang begitu sih. “Adek mau cerita kelupaan, mas. Rizki ini teman di Aliyah dulu.” “Iya, kami teman semasa SMA, Kai”, kata Rizki dengan penekanan lebih di kata “teman”. “Kami dulu teman seorganisasi. Dia dirigen, aku petugas upacara.” “Oh, begitu. Enak dong kita ngobrolnya makin asik aja. Kukira nggak saling kenal tadi.” Percakapan di meja makan cukup di situ. Selebihnya kami bercanda membahas hal-hal yang sebisa mungkin kami bahas. Aku masih agak canggung. Aku takut jika Rizki ngomong yang nggak nggak. Setelah makan, obrolan berlanjut di ruang tamu. Pukul 9, Rizki pamit. Mau mengadiri reuni SMP, katanya. ***Malam hari*** “Mas, maaf ya adek gak cerita sama mas.” “Loh, kenapa harus minta maaf? Kalau memang penting, pasti kamu cerita.” “Sebenarnya…” “Dia mantan kekasihmu?”
“Loh, mas kok tau?” “Hahaha, mas cuma nebak dek. Ternyata benar toh.” Aku terdiam. Aku malu, takut. Aku merasa tidak enak dengan suamiku. “Mas lihat ada yang beda dari cara kalian melihat. Dari kemarin, sih. Tapi mas gak mau suudzon, dek. Terus, waktu dia tadi bilang kalian punya kisah, kok mas jadi berpikiran begitu.” “Maafkan aku mas.” “Sayang, masa lalumu adalah milikmu. Mas juga punya masa lalu. Nah, hari ini dan esok adalah milik kita. Boleh lah sesekali kita lihat belakang hanya untuk mengambil pelajaran. Kamu berpisah dengan dia karena Allah. Kemudian, karena Allah pula kamu disatukan dengan mas. Allah lebih tahu, dek.” “Adek sayang sama mas.” “Mas juga sayang kamu, karena Allah.” Maha baik Allah dengan segala kemahakuasaannya. Allah memberiku pendamping yang hebat. Tinggal aku yang bersyukur kini. Untukmu, masa laluku… Kamu adalah bagian dari diriku. Aku berterimakasih atas segala pelajaran yang kau berikan. Kamu memang bukan teman hidupku, pada akhirnya. Tapi, kamu adalah temanku tumbuh dewasa. Baik-baik di sana ya. Terimakasih mau mampir pagi ini. Kuanggap itu adalah dukungan darimu atas pilihan hidupku, yang ternyata tidak berujung di kamu. Semoga Allah selalu menjagamu, bang. “Dek, lihat nih instagramnya si Rizki. Kamu gak cemburu kan, dia uda punya ‘adek ketemu gede’?” “Ih, apa sih mas ini. Move on, tauk. Haha.” Dilihat-lihat iya juga sih. Ada sedikit perih-perih gimanaaa gitu. Ah, sudahlah. Satu hal lagi. Terntuk hatiku… Bersyukurlah atas apa yang kau miliki hari ini. Apa lagi yang kau inginkan? Bahkan ketika pintumu diketuk, akankah kau membukanya kembali?
Nama Lengkap
: Kurniapeni Margi Rahayu
Nama Pena
: Keni Rahayu
Nama FB
: Kurniapeni Rahayu
: kenirahayu18@gmail.com
User Name IG
: @kenirahayu
Aku Keni, mahasiswi semester 6 di sebuah universitas di Malang. Kalian bisa menghubungi aku melalui instagram: @kenirahayu, email: kenirahayu18@gmail.com, bisa juga melalui facebook: “Kurniapeni Rahayu�. Yuk sharing ilmu apapun. Jangan lelah menulis walau sepasang dua pasang kata. Ibarat kain, ia dibentuk dari pintalan sehelai dua helai benang. Hammasah ^o^