VOTING, Edisi LVIV, 10 September -17 September 2014

Page 1

16 Halaman l Edisi LVIV/ 10 September - 17 September 2014 6 l Perlu Persiapan Dini

Penuhi Keterwakilan Perempuan

T E R U J I T E P E R C AYA

Pilih Langsung atau Perwakilan S ISTEM demokrasi di Indonesia telah diatur dalam konstitusi UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila, semua proses yang dilaksanakan harus sesuai dengan demokrasi Pancasila.

n ferial

Namun, kini proses demokrasi itu menjadi pro-kontra untuk pemilihan langsung atau perwakilan. Memilih kepala daerah, misalnya, sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 Ayat (4), yakni pemilukada dilaksanakan secara demokratis. Namun,

penjabaran secara demokratis itu selama ini menjadi bahan perdebatan di kalangan pakar dan politikus. Penjabaran untuk pelaksanaan demokratis itu dengan pemilukada langsung dengan dua landasan, yakni UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 15/2011 tentang Pemilu. Kedua undang-undang itu pun diuji materi kelompok pakar hukum karena dinilai keduanya tidak menjabarkan apa yang dimaksud konstitusi. Belumlah tuntas uji materi itu, DPR kini membahas bahkan nyaris menetapkan RUU Pemilukada baru pada 25 September 2014. Demikian hasil keputusan rapat pimpinan DPR bersama pimpinan fraksi sebagai rapat pengganti Badan Musyawarah di ruang pimpinan DPR, gedung DPR, Jakarta, Senin. Wakil Ketua Komisi II DPR Hakam Naja mengatakan Fraksi PDIP dan Hanura yang menginginkan adanya pemilihan langsung untuk gubernur, wali kota, dan bupati. “PKB menginginkan adanya pemilihan langsung hanya untuk gubernur. Sedangkan untuk wali kota dan bupati dipilih oleh DPRD. Sedangkan fraksi lain seperti Demokrat, Golkar, Gerindra, PKS, PAN dan PPP tetap menginginkan seluruh kepala daerah dipilih DPRD,� kata Hakam. Tentu hal ini mendapat beragam respons, sebab pemilukada perwakilan itu sudah pernah dicoba. Banyak dampak yang muncul dari sistem itu. Pengamat hukum dan tata negara, Refly Harun, menilai jika RUU Pemilukada disahkan, negara tidak hanya akan kehilangan pemilukada langsung, tetapi juga kehilangan demokrasi yang akan membahayakan Pemerintah Pusat. “Ini berbahaya karena nanti akan ada dua puncak piramida, kekuasaan formal dan informal. Ini saya khawatir akan merusak


Interupsi

l

2 10 September 2014

Menggagas Kabinet Pemerintahan Baru KABINET merupakan hak prerogatif pimpinannya, baik presiden bagi presidensial maupun perdana menteri (PM) bagi parlementer. Namun, ada saja usulan yang diberikan sebagai masukan bagi pimpinan kabinet terkait personelnya.

indeks : GAGAS Golkar yang Belum Beruntung. . .

5

perempuan

Kepercayaan - Muslim

: 92 orang

- Nonmuslim

: 31 orang

Ingin Koalisi dengan Jokowi-JK ...

7

Jejak John Lie Laksamana Pembersih Ranjau . . .

11

Umur - >60 tahun

: 11 orang

- 50-59 tahun

: 42 orang

- 40-49 tahun

: 48 orang

- 30-39 tahun

: 22 orang

JEDA

Posisi Ketua DPR Jadi Laga Sengit . . .

Partisan - Nonpartai

: 71 orang

- Partai

: 51 orang

13

Koalisi - PDIP

: 32 orang

- NasDem

: 13 orang

- PKB

: 6 orang

- Hanura

: 1 orang

688 Polling tersebut dimulai sejak 27 Juli 2014, pukul 03.00 hingga 4 September 2014, pukul 00.01. Pengumpulan nama digelar dengan metode satu akun Facebook untuk satu pos kementerian. Polling juga memberikan ruang bagi masyarakat memilih usulan di luar daftar yang ditampilkan. Jumlah kunjungan ke situs itu sebanyak 606.400 akun. Adapun 162.788 akun menjatuhkan pilihan. Dari jumlah pemilih itu, sebanyak 105.812 pemilih berasal dari Indonesia. 56,976 pemilih dari luar negeri. Sumber: www.kabinetrakyat.org

T E R U J I T E P E R C AYA

Direktur Utama: Raphael Udik Yunianto. Pemimpin Umum: Bambang Eka Wijaya. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Gaudensius Suhardi. Wakil Pemimpin Redaksi: Iskandar Zulkarnain. Pemimpin Perusahaan: Prianto A. Suryono. Dewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua), Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Suryopratomo, Toeti Adhitama, Usman Kansong. Kepala Divisi Pemberitaan: D. Widodo, Kepala Divisi Content Enrichment: Iskak Susanto. Kepala Divisi Percetakan: Kresna Murti, Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Umar Bakti, Sekretaris Redaksi: M. Natsir. T E R U J I T E P E R C AYA Redaktur: Hesma Eryani, Lukman Hakim, Muharam Chandra Lugina, Musta’an Basran, Nova Lidarni, Sri Agustina, Sudarmono, Trihadi Joko, Wiwik Hastuti, Zulkarnain Zubairi. Asisten Redaktur: Abdul Gofur, Aris Susanto, Isnovan Djamaludin, Iyar Jarkasih, Fadli Ramdan, Rinda Mulyani, Rizki Elinda Sary, Sri Wahyuni, Sony Elwina Asrap, Susilowati, Vera Aglisa. Liputan Bandar Lampung: Agus Hermanto, Ahmad Amri, Delima Napitupulu, Fathul Mu’in, Ricky P. Marly, Meza Swastika, Karlina Aprimasyita, Wandi Barboy. LAMPOST.CO. Redaktur: Kristianto. Asisten Redaktur: Adian Saputra, Sulaiman. Content enrichment Bahasa: Wiji Sukamto (Asisten Redaktur), Chairil, Kurniawan, Aldianta. Foto: Hendrivan Gumay (Asisten Redaktur), Ikhsan Dwi Satrio, Zainuddin. Dokumentasi dan Perpustakaan: Syaifulloh (Asisten Redaktur), Yuli Apriyanti. Desain Grafis redaktur: DP. Raharjo. Asisten Redaktur: Sugeng Riyadi, Sumaryono. Biro Wilayah Utara (Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat): Mat Saleh (Kabiro), Aripsah, Buchairi Aidi, Eliyah, Hari Supriyono, Hendri Rosadi, Yudhi Hardiyanto. Biro Wilayah Tengah (Lampung Tengah, Metro, Lampung Timur): Chairuddin (Kabiro), Agus Chandra, Agus Susanto, Andika Suhendra, Djoni Hartawan Jaya, Ikhwanuddin, M. Lutfi, M. Wahyuning Pamungkas, Sudirman, Suprayogi. Biro Wilayah Timur (Tulangbawang, Mesuji, Tulangbawang Barat): Juan Santoso Situmeang (Kabiro), Merwan, M. Guntur Taruna, Rian Pranata. Biro Wilayah Barat (Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran): Sayuti (Kabiro), Abu Umarly, Erlian, Mif Sulaiman, Widodo, Heru Zulkarnain. Biro Wilayah Selatan (Lampung Selatan): Herwansyah (Kabiro), Aan Kridolaksono, Juwantoro, Usdiman Genti. Kepala Departemen Marcomm: Amiruddin Sormin, Dedi Kuspendi. Senior Account Manager Jakarta: Pinta R Damanik. Senior Account Manager Lampung: Syarifudin. Account Manager Lampung: Edy Haryanto. Manager Sirkulasi: Indra Sutaryoto. Manager Keuangan & Akunting: Rosmawati Harahap. Alamat Redaksi dan Pemasaran: Jl. Soekarno Hatta No.108, Rajabasa, Bandar Lampung, Telp: (0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi). Faks: (0721) 783578 (redaksi), 783598 (usaha). http://www.lampost.co e-mail: redaksi@lampungpost. co.id, redaksilampost@yahoo.com. Kantor Pembantu Sirkulasi dan Iklan: Gedung PWI: Jl. A.Yani No.7 Bandar Lampung, Telp: (0721) 255149, 264074. Jakarta: Gedung Media Indonesia, Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp: (021) 5812088 (hunting), 5812107, Faks: (021) 5812113. Kalianda: Jl. Soekarno-Hatta No. 31, Kalianda, Telp/Fax: (0727) 323130. Pringsewu: Jl. Ki Hajar Dewantara No.1093, Telp/Fax: (0729) 22900. Kota­agung: Jl. Ir. H. Juanda, Telp/Fax: (0722) 21708. Metro: Jl. Diponegoro No. 22 Telp/Fax: (0725) 47275. Menggala: Jl. Gunung Sakti No.271 Telp/Fax: (0726) 21305. Kotabumi: Jl. Pemasyarakatan Telp/Fax: (0724) 26290. Liwa: Jl. Raden Intan No. 69. Telp/Fax: (0728) 21281. Penerbit: PT Masa Kini Mandiri. SIUPP: SK Menpen RI No.150/Menpen/SIUPP/A.7/1986 15 April 1986. Percetakan: PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno - Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan. Harga: Eceran per eksemplar Rp3.000 Langganan per bulan Rp75.000 (luar kota + ongkos kirim). DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, ­WARTAWAN LAMPUNG POST DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU M ­ EMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN.


Laporan Utama

l

3 10 September 2014

Pro-Kontra Pemilukada DPRD di Lampung

S

EJUMLAH tokoh masyarakat dan elite partai politik di Lampung menolak wacana pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) tidak langsung atau melalui DPRD. Mereka menilai adanya kemunduran berdemokrasi ketika pemilukada hanya dipilih oleh wakil rakyat di lembaga legislatif. Kini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilukada itu dibahas panitia kerja untuk pengesahannya di DPR. Wacana pemilukada tidak langsung itu sempat dikatakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, beberapa waktu lalu. Hingga kini pembahasannya pun masih alot. Pengurus Departemen Pemerintahan Nasional DPP PDIP Nurhasanah mengatakan PDIP sebagai partai wong cilik cenderung setuju

jika pemilukada langsung dipilih rakyat, bukan perwakilannya di legislatif. “Kami konsisten memperjuangkannya (pemilukada langsung, red) pada pembahasan RUU Pemilukada,” kata dia, saat dihubungi, kemarin (5/9). Meskipun berdasarkan pertimbangan pemilihan langsung tidak efisien dan berbiaya tinggi, PDIP melihat dari sisi otonomi daerah. “Artinya, kekuatan legitimasinya lebih karena rakyat langsung yang menentukan,” ujar mantan Wakil Ketua DPRD Lampung periode lalu itu. Ketua DPD Partai Hanura Lampung Albertus secara pribadi juga lebih cenderung pemilukada dipilih secara langsung. “Ya, yang tahu apa yang diinginkan rakyat itu kan rakyat,” kata dia. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Publik Lampung

Center Iwan Kodrat mengatakan secara demokrasi pemilukada itu lebih baik dipilih langsung oleh rakyat meskipun dengan biaya politik yang besar. “Misal dipilih DPRD. Lembaga itu juga masih menjadi pertanyaan masyarakat. Mereka itu wakil rakyat atau wakil partai?” ujarnya. Penolakan juga diucapkan Bupati Mesuji Khamamik. Dia menilai jika pemilihan dilakukan DPRD, kecenderungan kepala daerah terpilih untuk mengurus masyarakatnya sangat kecil. “Jika dipilih DPRD, nanti kepala daerah tidak mengurusi rakyatnya, tapi ngurusin DPR-nya saja,” kata Khamamik. Bupati Lamsel Rycko Menoza pun berpendapat sama. “Pemilukada langsung melibatkan partisipasi masyarakat secara nyata. Kalau tidak langsung, rasanya

akan mengalami kemunduran berdemokrasi karena kembali lagi seperti dahulu,” kata Rycko dalam pesan pendek saat wartawan menanyakan tentang wacana itu. Tidak Masalah Menanggapi wacana itu, Bupati Pesawaran Aries Sandi Darma Putra mengaku tidak mempermasalahkannya. “Pemilihan nanti melalui DPRD atau pemilihan langsung masyarakat tidak menjadi masalah,” kata dia, saat dihubungi melalui telepon selulernya. Menurut Aries, meski nantinya pusat memutuskan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dia tetap maju menjadi calon bupati Pesawaran untuk meneruskan pembangunan. “Yang jelas, apa pun keputusannya nanti, saya tetap akan mencalonkan diri menjadi bupati Pesawaran.” (CR11/U1)


Laporan Utama

l

4 10 September 2014

RUU Pemilukada yang Membuat Panas Pergelaran Pilpres 2014 telah berakhir. Meski demikian, konstelasi suhu politik di Indonesia seakan belum juga menurun. Suasana “panas” antarporos koalisi parpol itu kini menyeruak dari dalam Gedung Parlemen, DPR.

D

i dalam gedung yang berbentuk kura-kura itu, fraksi-fraksi parpol tengah berdebat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilukada. RUU yang sudah dibahas sejak 2012 lalu itu rencananya akan diputuskan pada September 2014. RUU Pemilukada ini diusulkan oleh pemerintah melalui Kemendagri. Menurut Ketua Panja RUU Pemilukada, Abdul Hakam Naja, jika RUU ini disahkan akan berlaku pemilukada serentak pada 2015. Kondisi ini yang diharapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU Husni Kamil Manik mengungkapkan pelaksanaan pemilukada serentak akan memberi dampak positif dalam pelaksanaan pemilu. Di antaranya ialah bisa menghemat biaya pemilu hingga 50 persen dalam satu provinsi. Pada 2015, setidaknya ada 202 daerah di Indonesia yang akan menggelar pemilukada. Selain itu, menurut Husni, dengan pemilukada serentak KPU sebagai penyelenggara pemilu akan mudah dalam melakukan konsolidasi pelaksanaan pemilukada. Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pemilukada tersebut. Pertama, pasangan gubernur, wali kota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua, pasan-

gan gubernur, wali kota, dan bupati dipilih DPRD. Ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan wali kota dipilih DPRD. Yang menarik, parpol di Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung opsi kedua. Yaitu, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Padahal, sebelum Pilpres 2014 mereka masih mendukung penyelenggaraan pemilukada secara langsung. “Setelah pilpres mungkin karena konstelasi politik berubah dan sebagainya, tiba-tiba mereka inginnya berubah menjadi (dipilih oleh) DPRD,” kata anggota Panja RUU Pemilukada, Abdul Malik Haramain. Rawan Korupsi Langkah Koalisi Merah Putih itu menimbulkan beragam tanggapan. Tanggapan positifnya karena pemilukada DPRD bakal menekan angka korupsi. Pelaksanaannya pun sesuai dengan konstitusi bangsa. “Pemilukada tak langsung bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan pengejawantahan murni sila ke -4

Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan),” kata Sekjen PPP Romahurmuziy. Hal senada disampaikan anggota Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra, Martin Hutabarat. Menurutnya, harus diakui pemilukada langsung mengandung rawan korupsi. Jika melalui DPRD, akan relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. “Ini sesuai semangat pemberantasan korupsi.” Saat ini, kata dia, bukan menjadi rahasia lagi pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya mencapai ratusan miliar pada tingkat kabupaten dan kota. Konsekuensinya, calon terpilih akan menggenjot balik modal dengan cara culas bila ia nanti terpilih. “Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sudah ada 327 bupati, gubernur, hingga wali kota yang tersangkut korupsi selama pelaksanaan pemilukada langsung ini,” kata Martin.

(MI/U1)


Gagas

l

5 10 September 2014

Golkar yang Belum Beruntung H ARUS diakui, Golkar ialah partai yang memiliki jaringan politik yang kuat, berpengalaman jadi penguasa, dan dipenuhi kader-kader mumpuni. Sayangnya, berbagai keunggulan itu tidak sertamerta membuat Golkar beruntung pada pemilu legislatif dan presiden di era reformasi ini. Nestapa politik datang bertubitubi sejak pemilu pertama era reformasi, yaitu Pemilu 1999. Golkar yang pada Pemilu 1997 memperoleh suara tertinggi yang pernah diraihnya, 74,5%, pada Pemilu 1999 jeblok ke 22,4%. Pada dua pemilu berikutnya, 2004 dan 2009, suara Golkar terus merosot, yakni masing-masing menjadi 21,6% dan 14,45%. Parahnya lagi, dua capres dari Golkar, Wiranto dan Jusuf Kalla, pada Pilpres 2004 dan 2009 juga dikalahkan SBY yang diusung Partai Demokrat. Pada Pemilu 2014 ini, perolehan suara Golkar naik tipis dari 14,45% ke 14,75%. Meski naik, setelah dikonversi ke dalam kursi DPR hasilnya turun, bila pada 2009 meraup 107 kursi, kini hanya 91 kursi. Yang lebih menyedihkan lagi ialah ketika pilpres, Golkar mengalami mimpi buruk karena gagal mengusung Aburizal Bakrie (Ical) sebagai capres. Jauh hari sebelum fajar 2014 menyingsing, hasil Rapimnas Golkar 2012 telah memantapkan Ical sebagai capres. Sayangnya, kendati Ical sudah menawarkan diri dari satu partai ke partai lainnya, penolakan yang didapat. Alih-alih membangun koalisi, Golkar hanya bisa nimbrung di koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta. Mengapa Tidak Beruntung? Ada sejumlah hal yang membuat keberuntungan acap jauh dari Golkar. Pertama, lemahnya soliditas kader. Meski diisi kader cakap, soliditas kadernya diragukan

karena kencangnya faksionalisasi. Memang, seperti yang diucapkan Belloni (1978), faksionalisasi dalam partai ialah gejala wajar yang membuat partai dinamis. Masalahnya, faksionalisasi di Golkar acapkali overdosis, gesekan antarfaksi dipamerkan ke publik, dan tak jarang berujung perpecahan. Ketika partai sudah mengambil kebijakan resmi sekalipun, pengkubuan masih terjadi dan cenderung abai pada kebijakan partai. Saat Pilpres 2004, misalnya, secara formal Golkar menyokong Wiranto. Namun, dalam praktiknya, banyak kader yang terhimpun dalam faksi JK membelot. Seperti Fahmi Idris dan Edison Betaubun, malah berbaur dengan SBY-JK. Demikian juga Pilpres 2009, Golkar setengah hati mendukung JK karena sejumlah kadernya merapat ke SBY. Sama halnya dengan Pilpres 2014 ini, keputusan Golkar diabaikan kelompok mudanya. Karena pilihan elitenya terpecahpecah, massa Golkar di akar rumput pun bingung untuk menentukan pilihan, apakah mengikuti kebijakan partai atau ikut gerbong politik yang didukung sejumlah elitenya. Tapi, ada juga anggapan bahwa perpecahan di setiap pilpres ialah siasat Golkar yang gemar memainkan politik dua kaki. Kalau anggapan itu benar, Golkar sedang mempraktikkan politik buruk yang pragmatis dan oportunis. Kedua, faksionalisasi di Golkar diperparah dengan ketiadaan tokoh yang bisa menjadi solidarity maker. Partai lain pun sejatinya juga dipenuhi faksionalisasi, tetapi bisa diredam oleh solidarity maker yang akomodatif pada semua faksi. Seperti PDIP, ada peran Megawati yang bisa diterima semua kubu di PDIP. Demikian juga di PAN, ada figur Amien Rais, kemudian Demokrat memiliki SBY. Sedangkan Golkar belum memiliki sosok seperti itu.

Ketiga, Golkar belum beruntung karena selalu merasa percaya diri untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Meski kalah sekalipun, Golkar tetap ada dalam pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono. Tanpa rasa malu, mengingat Golkar sama sekali tidak membanting tulang memenangkan kedua pasangan itu, Golkar malah dengan bangga menerima kursi menteri. Maka, jangan salahkan publik bila Golkar dipersepsikan sebagai partai yang bernafsu besar pada kekuasaan dan bernyali kecil untuk menjadi oposisi. Sebagian elite Golkar ada yang berujar bahwa Golkar dilahirkan untuk terus berada di pemerintahan. Padahal, apalah artinya kursi di pemerintahan jika Golkar terbelenggu kebebasan politiknya karena rancu bila mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak populis. Malahan, kalau berkaca pada kondisi 10 tahun terakhir ini, menjadi bagian dari kekuasaan ternyata lebih banyak rugi daripada labanya bagi Golkar. Contoh tragis ialah saat era SBYJK. Kala itu Golkar berhasil meletakkan dirinya sebagai pilar utama stabilitas pemerintahan. Golkar pun menjadi bumper dari banyak kebijakan SBY-JK yang tidak populis. Pertanyaannya: Apakah Golkar diuntungkan dengan peran-peran itu? Faktanya, pada Pemilu 2009 Partai Demokrat yang mendapat kenaikan suara hingga 300%, sedangkan suara Golkar surut. Setelah Pilpres 2014 Saat ini Golkar sedang dihadapkan pada pilihan sulit, apakah memilih tetap berada di poros Koalisi Merah Putih, atau ikut dengan Jokowi-JK. Bila tetap mengawal ikrar koalisi permanen yang juga ditandatangani Golkar, harus merelakan JK yang notabenenya salah satu kader terbaik Golkar

Wandi Prawisnu Simanullang Alumnus Pascasarjana UGM Yogyakarta

untuk berkelana sebatang kara di pemerintahan. Namun, jika Golkar bergabung dengan Jokowi, tentu Golkar harus menanggung sejumlah rasa malu. Malu karena sama sekali tidak mengeluarkan keringat untuk memenangkan Jokowi-JK, tapi mendapat kuota kekuasaan. Belum lagi, saat kampanye pilpres yang lalu banyak kader Golkar yang menghantam Jokowi secara membabi buta. Pilihan terbaik bagi Golkar sejatinya ialah membenahi partai dan mengonsolidasikan kekuatan yang tercerai akibat pilpres. Tentunya agar hal itu sukses, Golkar harus fokus dan terarah pada pembenahan, bukan disibukkan urusan melestarikan tradisi Golkar yang doyan kekuasaan. Apabila Golkar memilih dalam pemerintahan, pembenahan memang bisa tetap dilakukan, tapi hasilnya belum tentu maksimal karena mengurus pemerintahan sangat menyita waktu dan tenaga. Lagi pula bila memilih beroposisi, Golkar tetap bisa menjalankan fungsi partai sebagai penyalur aspirasi dengan mengambil peran konstruktif sebagai penyeimbang. Sesuai prinsip check and balances, diperlukan peran penyeimbang untuk mengontrol dan mengawasi pemerintah agar tak menyimpang. Peran itu bisa dimainkan Golkar dengan mengoptimalkan kursinya di legislatif. Apalagi, pascaamendemen UUD 1945, terlihat bahwa kekuasaan legislatif tidak lebih kecil dari kekuasaan eksekutif. n


Perempuan

l

6 10 September 2014

Perlu Persiapan Dini Penuhi Keterwakilan Perempuan

P

ENELITI senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, memandang partai politik perlu menyiapkan kader perempuan untuk menjadi wakil rakyat di DPR sejak dini. Hal itu agar kuota minimal 30% perempuan dari total anggota DPR terpenuhi. “Setidaknya pada 2015, partaipartai politik sudah menginisiasi kemungkinan itu sehingga waktunya cukup untuk menghadapi Pemilu 2019,” kata Siti Zuhro. Dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu mengemukakan hal tersebut terkait belum tercapainya target keterwakilan perempuan di DPR pada Pemilu 2014. Bahkan, tingkat keterwakilan perempuan di parlemen produk Pemilu Legislatif 2014 mengalami penurunan persentasenya. Dari Pemilu 2009 yang berjumlah 18,3% dengan jumlah 103 kursi, menjadi 17,32% pada Pemilu 2014 dengan 97 kursi. Saat menjawab seputar penurunan tersebut, Siti mengatakan, “Undangundang politik yang memayungi keterwakilan perempuan di parlemen relatif cukup. Pasalnya, UU itu

Siti Zuhro

Peneliti Senior LIPI

mensyaratkan partai politik untuk melibatkan perempuan dalam kepengurusan partai, minimal 30% dari jumlah pengurus dan calon anggota legislatif.” Namun, lanjut alumnus Curtin University, Perth, Australia, itu yang menjadi masalah ialah partai politik tidak punya waktu yang relatif cukup dalam merekrut kader perempuan dan melatihnya untuk menjadikannya kader dan caleg dalam pemilu anggota legislatif. “Selain itu, mayoritas kaum perempuan kurang proaktif dan tidak mau berusaha mencari akses untuk terlibat di partai. Jadi persoalan utamanya sebenarnya lebih pada kemauan politik partai dan inisiatif kaum perempuan sendiri,” kata Siti. Untuk menerobos hal itu, menurut dia, di masa depan, parpol perlu menggunakan jejaring yang ada, baik ke ormas, kampus, maupun asosiasiasosiasi, komunitas, dan profesional untuk mendorong perempuan bergabung dalam partai. “Hal ini tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi perlu pendekatan atau upaya sejak awal,” kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jember, Jawa Timur, itu. (MI/U4)


Perempuan

l

7 10 September 2014

Ingin Koalisi dengan Jokowi-JK P

ARTAI Amanat Na sional (PAN) membuka diri untuk berkoalisi dengan kubu presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pemerintahan mendatang. Hal itu dikemukakan politikus PAN, Wanda Hamidah, di Jakarta. “Dalam politik yang tidak mungkin bisa jadi mungkin (berkoalisi),” ujarnya. Pernyataan Wanda itu menyikapi kemungkinan PAN berkoalisi dengan Jokowi-JK, usai pertemuan Ketua Umum PAN Hatta Rajasa dengan Jokowi di kediaman Surya Paloh, Senin (1/9) malam. Ia menekankan Jokowi-JK tentu memiliki pertimbangan tersendiri dalam menentukan koalisi, yakni koalisi tanpa syarat. Dengan begitu, kata dia, apabila PAN benar berkoalisi, lebih didasari ketulusan untuk mendukung pencapaian janjijanji politik Jokowi-JK selama kampanye. “Bukan sekadar bagi-bagi kursi menteri,” ujarnya. Wanda memandang koalisi PAN dengan Jokowi-JK akan berdampak positif bagi bangsa. “Karena sudah saatnya kita bersatu mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Sebagai partai yang dibentuk di era reformasi, PAN punya tanggung jawab moral untuk menyukseskan Jokowi-JK yang sangat reformis.” Ia menambahkan pengalaman Hatta Rajasa di pemerintahan selama ini tentu dapat membantu pemerintahan

Jokowi-JK. Ketua DPP PAN Zulkifli Hasan mengungkapkan pada pertemuan tertutup Hatta Rajasa dengan Jokowi di kediaman Surya Paloh itu, Hatta memberikan ucapan selamat kepada Joko Widodo. “Silaturahmi dan memberikan ucapan selamat,” kata dia. Akan tetapi, Zulkifli yang juga merupakan menteri kehutanan tidak memberikan informasi detail ihwal pembicaraan apa saja yang terjadi dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu. Sementara itu, Hatta Rajasa mengatakan pilihan koalisi atau tidak harus melalui mekanisme kongres partai yang baru dilaksanakan tahun depan. “Tidak bisa tiba-tiba hari ini pindah. Apa yang diinginkan oleh konstituen kita melalui DPD dan DPW,” kata Hatta. Partai anggota Koalisi Merah Putih lainnya, Partai Demokrat, menyatakan memilih untuk menjadi penyeimbang di pemerintahan yang akan datang. “Ini bagus kalau misal demokrasi di Indonesia dua kubu. Ada pemerintahan dan penyeimbang. Ini bagus ada check and balances seperti di Amerika,” ujar Nurhayati, ketua DPP Partai Demokrat, di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Nurhayati menjelaskan adanya dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih dan koalisi pendukung pasangan Jokowi-JK, bisa bekerja sama dengan penyeimbang di tengahnya. “Nah, ini menuju ke sana, jadi tidak lagi semrawut,” ujar dia. (MI/U4)

Wanda Hamidah Politikus PAN


Orator

l

8 10 September 2014

Membawa Semangat Perubahan

Budi Kurniawan Anggota DPRD Bandar Lampung

Alamat: Jalan Chairil Anwar No. 11, Kelurahan Durianpayung, Tanjungkarang Pusat Kelahiran: Bandar Lampung, 10 Oktober 1987 Istri: Melphi Puspita Sari Anak: Ghina Labiba Sekretaris Fraksi Restorasi Nurani Rakyat

ANGGOTA DPRD Bandar Lampung dari Partai NasDem, Budi Kurniawan, berjanji akan merealisasikan restorasi Indonesia melalui tugas dan fungsinya. Dia berjanji akan melakukan gerakan perubahan untuk kemajuan daerah sekaligus membela kepentingan masyarakat. Menurutnya, perubahan tidak bisa dilakukan dengan cara instan, tetapi bertahap. Seperti dimulai dari diri sendiri, baru kemudian mengubah karut-marut sistem yang ada di eksekutif maupun legislatif. “Kinerja merupakan yang utama bagi saya. Semua berawal dari diri sendiri, kemudian harapannya karena ada dalam sistem, kami akan mencoba untuk mengubahnya secara keseluruhan,” kata Budi. Menurut Sekretaris Fraksi Restorasi Nurani Rakyat itu, menjadi wakil rakyat bukanlah perkara yang mudah. Namun, jika itu dilandasi dengan cita-cita mulia, yakni memperjuangkan aspirasi masyarakat yang belum tercapai, keberadaannya dapat bermanfaat untuk masyarakat banyak. Saat ini dia mengaku fokus mengawal pembangunan Pasar SMEP Bandar Lampung. “Contohnya, persoalan di kota saat ini mandeknya pembangunan Pasar SMEP. Sementara pedagang sudah setor Rp10 juta—Rp100 juta selama dua tahun ini, jika hal ini tidak dikawal, bisa merugikan mereka,” ujarnya. Setelah pembentukan alat kelengapan Dewan, dia berharap DPRD Bandar Lampung segera bersikap tegas kepada pengembang. Dia mengakui persoalan ini cukup pelik, pedagang tidak ingin itu dibangun pengembang lain. Sebab, jika diganti, pedagang khawatir uang yang telah disetorkan tidak kembali lagi. “Itu DP saya, harapannya setelah AKD terbentuk, komisi yang membidangi menindaklanjutinya,” ujarnya. Terkait visi dan misi Partai NasDem, Budi Kurniawan mengatakan partainya memiliki visi yang jelas, yakni melakukan gerakan perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. Tawaran gerakan perubahan Indonesia yang lebih baik inilah yang menjadi ciri khas Partai NasDem. “Perubahan yang paling mendasar di bidang politik, ekonomi, dan konstitusi,” kata dia. (CR11/U4)


Orator

l

9 10 September 2014

Sebaiknya Tetap Pemilihan Langsung

Arizka Warganegara

A

KADEMISI Universitas Lampung (Unila), Wahyu Sasongko, mengatakan pemilukada oleh DPRD merupakan pengingkaran kemenangan reformasi yang produknya berupa pemilihan langsung. Menurutnya, setiap sistem pasti memiliki kelemahan dan kelebihan. Semestinya yang dilakukan pemerintah dan DPR adalah memperbaiki sistem yang sedang berjalan. “Jika ada masalah lalu kembali ke sistem lama, itu bukan solusi yang baik. Demokrasi kita tidak akan dewasa. Jika alasannya ekonomi atau efisiensi, dalam politik transaksional seperti kita ini,

Wahyu Sasongko

biayanya sama saja,” kata Wahyu, dihubungi semalam (6/9). Menurutnya, pemilukada oleh DPRD hanya menguntungkan pihak elite politik. DPRD merupakan perwakilan partai politik (parpol), calon kepala daerah pun akan menggunakan perahu parpol. Ini akan memunculkan transaksi-transaksi politik, sementara rakyat hanya akan menjadi penonton tanpa bisa mengintervensi. “Seharusnya, pelaksanaan pemilukada dilakukan terbuka dan dibuka, bukan justru tertutup dan ditutup-tutupi,” ujarnya. Senada dikatakan pengamat politik Lampung, Arizka Warganegara. Menurutnya, idealnya

pemilukada digelar secara langsung. Jika alasan penghematan anggaran, bisa dilakukan terobosan dengan menggelar pemilukada bersamaan dengan pemilu nasional maupun lokal. “Misalnya, pemilukada dilakukan bersamaan dengan pemilihan presiden atau pemilukada digelar serentak untuk beberapa kabupaten/kota,” kata Arizka. Penghematan juga bisa dilakukan dengan menggelar electronic voting seperti yang dilakukan di India atau Filipina. “Meski tidak semua orang mengerti teknologi, ini harus dimulai. Negara lain yang ekonominya di bawah Indonesia saja bisa,” ujarnya. Menurut Arizka, pemilukada

langsung merupakan bentuk desentralisasi politik di kabupaten/kota sebagai komitmen reformasi. Karena itu, meski pemilukada dilakukan DPRD, bukan berarti tidak demokratis, tetapi letak komitmen terhadap desentralisasi itu tidak ada. Selain itu, pemilukada oleh DPRD akan menghilangkan calon perseorangan yang diatur dalam revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini mengurangi alternatif pilihan kepala daerah yang semestinya beragam. “Akan sulit bagi calon perseorangan. Bahkan, dalam logikanya tidak akan ada jika pemilihan dilakukan oleh DPRD yang merupakan perwakilan parpol.” (MI/R2)


Pilar

l

10 10 September 2014

Sikap Demokrat Malu-malu Pilih Koalisi atau Oposisi

P

ARTAI Demokrat memilih berada di luar pemerintahan untuk menjadi penyeimbang bagi pemerintahan baru. Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan pengalaman pahit dengan oposisi saat berada di pemerintahan membuat Demokrat bisa menjadi penyeimbang bagi pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla kelak. “Posisi Demokrat saat ini bermartabat. Seperti sekarang ini dengan menggunakan kata penyeimbang. Penyeimbang maksudnya Demokrat selalu akan ada pada posisi mendukung dan membantu pemerintah yang baru kelak. Kami punya pengalaman pahit di masa lalu. Karena itu, kami tidak ingin hal itu terjadi juga pada pemerintah baru,” ujarnya. Berada di luar pemerintahan, kata dia, bukan berarti harus menjadi oposisi, mengganggu dan mempersulit segala langkah pemerintah. Ia mengeluhkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak hanya kerap diganggu oposisi, tapi bahkan digoyang partai anggota koalisi yang tidak sepenuhnya mendukung pemerintahan. Langkah Demokrat menjadi penyeimbang, kata dia, sebagai upaya membangun budaya politik baru. Tetap mendukung pemerintah serta berkomitmen tidak

akan menghalangi segala kebijakan yang dibuat. “Ke depannya kami ingin melahirkan tradisi baru, dengan adanya tawaran dari Pak SBY untuk presiden terpilih dalam memperlancar proses transisi. Dalam percaturan politik, saya kira perlu dibangun budaya politik baru. Jangan karena berada di luar pemerintahan lantas menjadi penghalang segala kebijakan yang diambil pemerintah,” kata dia. Pengalaman pahit digarami partai koalisi sendiri ikut membuat Demokrat kapok berkoalisi. Hal itu juga yang membuat Demokrat tidak ikut hadir dalam pertemuan Koalisi Merah Putih yang mendukung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Hatta Rajasa, pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menguatkan kemenangan Jokowi-JK. “Dulu kami pernah berkoalisi jadi kami tidak gunakan istilah koalisi. Sulit dulu bagi kami berkoalisi. Sekarang tidak usah menggunakan predikat itu,” ujarnya. Namun, sikap malu-malu itu pun berujung kritik. Mereka menuding pernyataan SBY kepada elite Koalisi Merah Putih menunjukkan sikap yang tidak konsisten. SBY menanggapi jumlah perolehan pemilih dalam pilpres lalu dan menyatakan akan menjadi penyeimbang dalam pemerintahan. “Saya sangat menyayangkan pernyataan

Pak SBY tersebut. Tidak seperti statement Pak SBY di awal yang mengakui proses pemilu ini,” ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai NasDem Ferry Mursyidan Baldan. Ferry menilai pernyataan itu justru mengerdilkan posisi SBY sebagai presiden. Baginya pertemuan itu sebagai hal yang biasa. Namun, dia sangat menyesalkan sikap SBY yang sepertinya tidak mengakui pemilu sebagai proses demokrasi bahwa di situ ada yang menang dan yang kalah. Pernyataan SBY dalam konferensi pers yang menyinggung perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta di Cikeas lebih besar seperti tidak mengakui kemenangan Jokowi-JK. “Seharusnya statement itu dihindari karena sangat tidak menggambarkan dia sebagai seorang presiden yang memahami demokrasi yang kukuh.” Wasekjen PDI Perjuangan Hasto Kristianto mengaku tak khawatir dengan manuver Koalisi Merah Putih yang memilih jadi penyeimbang di luar pemerintahan selama Jokowi-JK duduk di pemerintahan. “Kami optimistis bisa mengatasi konstelasi politik di parlemen karena dedikasi Pak Jokowi dan Pak JK dalam membuat kebijakan akan selalu prorakyat,” katanya. Hasto pun menyatakan dengan keputusan Koalisi Merah Putih sebagai penyeimbang, posisi dan sikap mereka jadi terukur. (MI/U1)


Jejak

l

11 10 September 2014

John Lie

Laksamana Pembersih Ranjau

D

ARI sekian banyak tokoh pahlawan dari kalangan militer adalah dari angkatan perang, sangat jarang dari Angkatan Laut. Namun, ada satu pejuang yang berkonsentrasi untuk mengamankan laut Nusantara dari ranjau yang ditebar musuh. Dia adalah Laksamana Muda John Lie Tjeng Tjoan atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma. Pria kelahiran Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 itu adalah salah seorang perwira tinggi di TNI AL dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. John Lie lahir dari pasangan suami istri, Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Ayahnya pemilik perusahaan pengangkutan Vetol (Veem en Transportonderneming Lie Kay Thai). Menginjak usia 17 tahun, John Lie kabur ke Batavia karena ingin menjadi pelaut. Di kota ini, sembari menjadi buruh pelabuhan, ia mengikuti kursus navigasi. Setelah itu John Lie menjadi klerk mualim III pada kapal Koninklijk Paketvaart Maatschappij, perusahaan pelayaran Belanda. Pada 1942, John Lie bertugas di Khorramshahr, Iran, dan mendapatkan pendidikan militer. Ketika Perang Dunia II berakhir dan Indonesia merdeka, dia memutuskan bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap, Jawa Tengah, dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan sekutu. Atas jasanya, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Kemudian dia memimpin misi menembus blokade Belanda guna menyelundupkan senjata, bahan pangan, dan lainnya. Daerah operasinya meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila, dan New Delhi. Ia lalu ditugaskan mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah men-

gawal kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat republik yang ada di Sumatera, seperti Bupati Riau, sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan The Outlaw. Seperti dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit sebanyak 15 kali ia melakukan operasi “penyelundupan”. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan di Singapura ia dibe-

baskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie mengatakan kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan The Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka buruburu pergi. Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalion Abusamah, mereka lalu mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal The Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya

untuk mendirikan pangkalan AL yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada awal 1950, ketika ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikutnya, ia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Menurut kesaksian Jenderal Besar A.H. Nasution pada 1988, prestasi John Lie ”tiada taranya di Angkatan Laut” karena dia adalah ”panglima armada (TNI AL) pada puncak-puncak krisis eksistensi republik”, yakni dalam operasioperasi menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, dan Perjuangan Rakyat Semesta. (U1)


Luber

l

12 10 September 2014

Pemilu Demokratis Berasas UUD 1945

P

EMILIHAN umum (pemilu) mempunyai arti penting untuk mencari sosok pemimpin bangsa sesuai pilihan rakyat. Pemilu demokratis itu kini menjadi kontroversi antara langsung dan perwakilan, semuanya diatur dalam UU 15/2011. Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan umum, selanjutnya disingkat pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemilu presiden dan wakil presiden adalah pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota adalah pemilihan untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5. Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, presiden dan wakil presiden secara

langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis. 6. Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat KPU, adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilu. 7. Komisi Pemilihan Umum Provinsi, selanjutnya disingkat KPU Provinsi, adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di provinsi. 8. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota, adalah penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu di kabupaten/kota. 9. Panitia pemilihan kecamatan, selanjutnya disingkat PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemilu di tingkat kecamatan atau nama lain. 10. Panitia pemungutan suara, selanjutnya disingkat PPS, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemilu di tingkat desa atau nama lain/ kelurahan. 11. Panitia pemilihan luar negeri, selanjutnya disingkat PPLN, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU

untuk melaksanakan pemilu di luar negeri. 12. Kelompok penyelenggara pemungutan suara, selanjutnya disingkat KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara. 13. Kelompok penyelenggara pemungutan suara luar negeri, selanjutnya disingkat KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri. 14. Tempat pemungutan suara, selanjutnya disingkat TPS, adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara. 15. Tempat pemungutan suara luar negeri, selanjutnya disingkat TPSLN, adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara di luar negeri. 16. Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disingkat Bawaslu, adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 1 7 . B a d a n P e n g awa s P e m i l u Provinsi, selanjutnya disingkat Bawaslu Provinsi, adalah badan yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas

mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsi. 18. Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat Panwaslu Kabupaten/Kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kabupaten/kota. 19. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disingkat Panwaslu Kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain. 20. Pengawas pemilu lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa atau nama lain/kelurahan. 21. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di luar negeri. 22. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. n


Jeda

l

13 10 September 2014

Posisi Ketua DPR Jadi Laga Sengit P

EMILIHAN calon ketua DPR periode 2014—2019 akan memunculkan persaingan ketat fraksifraksi penghuni parlemen. Perebutan kursi ketua DPR tidak terlepas dari disahkannya RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi undang-undang. Dalam UU itu, semua partai politik memiliki hak untuk menempatkan wakil masing-masing di kursi pimpinan Dewan. Undang-undang sebelumnya mengatur partai pemenang pemilu punya hak mencalonkan anggotanya sebagai pemimpin dewan. Hingga saat ini, proses judicial review UU MD3 yang dilayangkan PDI Perjuangan ke Mahkamah Konstitusi juga masih berjalan. “Bagi PDIP, pantang mundur untuk merebut posisi ketua DPR sebagai hak partai pemenang Pileg 2014. Kami tetap akan mengajukan kader terbaik dan harapan kita, rasionalitas dan nurani para caleg terbimbing,” ujar Wakil Ketua Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari di gedung DPR, Jakarta. Mengenai siapa wakil PDIP yang akan diajukan menjadi ketua DPR, Eva mengaku keputusan itu menunggu pelantikan anggota DPR pada Oktober. Dia menambahkan partainya juga terus melakukan pendekatan secara intensif kepada semua fraksi di DPR dalam menghadapi pemilihan ketua. Pada kesempatan berbeda, Sekjen PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan partainya pada prinsipnya akan tetap menunggu keputusan MK terlebih dahulu. “Kita optimistis terhadap apa yang sedang dibahas dalam sidang MK,” kata dia. Dalam menanggapi hal itu, pengamat politik Pol-Tracking Institute Hanta Yudha mengatakan konstelasi politik akan berbeda akibat dampak putusan MK terkait judicial review UU MD3. Hanta menuturkan jika MK mengabulkan gugatan tersebut, otomatis ketua DPR akan dipegang oleh partai politik pemenang Pileg 2014, yakni PDIP. Sebaliknya, apabila MK tidak mengabulkan atau belum memutuskan, mau tidak mau harus ada strategi politik yang dilakukan PDIP dan partai pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menghadapi kalkulasi politik di parlemen. “Proses yang berjalan di MK tetap harus dikawal sambil menyiapkan strategi membangun aliansi memenangkan pertarungan di parlemen.” Perihal bursa pimpinan DPR, menurut Hanta, jika dilihat dari sisi Koalisi Merah Putih, yang paling diuntungkan ialah Partai Golkar, sedangkan partai yang lainnya dinilai hanya sebagai pelengkap. (MI/U1)


Jeda

l

14 10 September 2014

Koalisi Merah Putih Tentukan Kebijakan Pemerintah

K

Akbar Tandjung Lahir: Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 14 Agustus 1945 Jabatan: Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar

ETUA Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan kekuatan Koalisi Merah Putih di parlemen akan mampu menentukan setiap kebijakan pemerintah. “Kalau kekuatan koalisi bisa kuat dan solid mulai pusat hingga daerah, secara politik kebijakan perpolitikan pemerintah kitalah yang menentukan,” kata Akbar, saat menjadi pembicara dalam diskusi panel nasional Forum Komunikasi Ketua DPD Partai Golkar se-Indonesia di Yogyakarta, Minggu (7/9). Menurut dia, kekuatan tersebut sudah dapat diperkirakan saat ini melalui hitungan kuantitatif, dengan jumlah anggota partai Koalisi Merah Putih di parlemen mendominasi mencapai 292 kursi, dibanding partai pendukung pemerintahan dengan jumlah yang lebih sedikit. “Apalagi kalau nanti ditambah Partai Demokrat juga, akan menjadi 353 kursi. Ini kekuatan kita. Harus kita manfaatkan,” kata dia. Meskipun demikian, kata Akbar, kekuatan itu tetap harus dimanfaatkan untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan semata-mata kepentingan partai koalisi. Melihat kekuatan itu, menurut dia, Partai Golkar harus konsisten mempertahankan

sikap memperkuat Koalisi Merah Putih atau berada di luar pemerintahan. “Saya harap siapa pun ketua yang terpilih dalam Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar mendatang tetap dapat mempertahankan sikap itu dan menjadikan ini sebagai masukan,” kata dia. Menurut Akbar, berbagai pendapat yang mengatakan Golkar merupakan partai pengikut pemerintah dan belum terbiasa beroposisi harus dipatahkan. Memilih posisi di luar pemerintah, menurut dia, akan menjadi pembelajaran dan pendewasaan bagi partai itu. “Saya kira dengan demikian Golkar akan semakin dewasa dan matang untuk meraih kemenangan pada 2019,” kata dia. Di DPR, Koalisi Merah Putih didukung oleh lima partai politik, yaitu Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan PKS dengan jumlah perolehan 292 kursi. Sementara pasangan JokowiJK hanya didukung empat parpol, yakni PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Ke bangkitan Bangsa, dan Partai Hanura dengan total memiliki 207 kursi. Adapun Partai Demokrat memperoleh 61 kursi DPR. Demokrat sebelumnya sudah menyatakan akan menjadi penyeimbang setelah pemerintahan SBY-Boediono berakhir. (ANT/U4)


Pernik Pemilu

l

15 10 September

Pemilukada lewat DPRD Langkah Mundur

W

A K I L Ke t u a D P R Pramono Anung menilai usulan mengembalikan pemilu kepala daerah (pemilukada) ke DPRD merupakan langkah mundur dalam penegakan d e m o k r a s i d a n b e r te nt a n g a n dengan amanah reformasi. “Usulan pemilukada dikembalikan ke DPRD hanyalah untuk kepentingan jangka pendek. Masyarakat akan mencatat partai-partai politik mana yang hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek,� kata Pramono Anung di gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta. Menurut Pramono, sesuai amanah reformasi diselenggarakan pemilukada secara langsung yang melibatkan partisipasi rakyat untuk menggunakan hak politiknya. Melalui pemilukada langsung yang diselenggarakan selama era reformasi, kata dia, telah melahirkan pemimpin dari hampir

semua partai politik yang memilik kinerja baik. Ia mencontohkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang diusung PDI Perjuangan, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang diusung Gerindra, serta Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang diusung Partai Gerindra. Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan ini menegaskan jika pemilukada langsung dikembalikan ke DPRD dikhawatirkan akan merusak tatanan demokrasi yang terus dibangun di Indonesia. “Alasan biaya tinggi, politik uang, dan pragmatisme dan sebagainya, hal itu sebenarnya bisa diatasi dengan memperbaiki

sistem dan pengetatan aturan,� kata dia. Menurut dia, dengan memperbaiki sistem dan aturan yang ketat, praktik politik uang bisa dicegah dan diatasi. Di negara yang luas dan multikultur seperti Indonesia, kata dia, untuk tetap menjaga keutuhan bangsa, maka pelaksanaan pemilukada langsung sudah menjadi kehendak rakyat yang telah diperjuangkan sejak lama. Wacana pemilukada langsung yang akan dikembalikan ke DPRD ya n g p o l e m i k , s e te l a h s e b a n yak enam fraksi di DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih berubah sikap dalam pembahasan RUU Pemilukada, yakni mengusulkan agar pemilukada kembalikan ke DPRD. Padahal, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden 2014, semua fraksi-fraksi di DPR sepakat mengusulkan pemilukada secara langsung. (MI/U4)

Pramono Anung Wakil Ketua DPR Politikus PDIP


Geliat Antikorupsi

Komitmen Antikorupsi Era SBY Diragukan

I

NDONESIA Corruption Watch (ICW) merilis sedikitnya ada 38 terpidana korupsi yang mendapatkan pembebasan bersyarat. Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho, data tersebut hanya sebagian. Ia menilai jumlah tersebut akan lebih besar. “Itu baru sebagian yang didata, jumlahnya pasti akan lebih besar. Melihat rilis tersebut, berarti komitmen pemerintahan di era SBY tidak propemberantasan korupsi. Justru komitmen SBY yang antikorupsi jadi diragukan,” kata Emerson, saat dihubungi, kemarin. Ia menjelaskan sebenarnya berdasarkan PP 99/2012 tentang Remisi dan Pembatalan Bebas Bersyarat untuk Napi Kasus Korupsi, Narkoba, dan Terorisme dimungkinkan seorang terpidana korupsi mendapatkan pembebasan bersyarat. Namun, mereka harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain berkelakuan baik, sudah menjalani 2/3 masa pidana, mendapatkan rekomendasi Dirjen Pemasyarakatan. “Pascaaturan PP 99/2012, dia harus berstatus justice collaborator (mau bekerja sama) dan ada rekomendasi dari instasi yang menangani,” ujarnya. Ia pun berpendapat sebenarnya seorang terpidana korupsi tidak layak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Ia menyebut kasus korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa. “Vonis yang dijatuhkan pun relatif ringan. Dengan tidak adanya pembebasan bersyarat, akan ada efek jera bagi para koruptor,” kata dia. Dia mencontohkan kasus pembebasan bersyarat yang diterima Hartati Murdaya, terpidana kasus suap bupati Buol. Pihaknya sangat menyayangkan hal itu terjadi. “Semua pembebasan bersyarat ada di Kemenkumham. Dia yang membuat surat keputusan. Problemnya, apakah syaratnya sudah terpenuhi apa belum, seperti Hartati Murdaya. Dia jelas-jelas bukan justice collaborator,” ujarnya. Konsistensi SBY dalam memberantas korupsi juga dipertanyakan Direktur Pukat Zainal Arifin Mochtar. “Selama ini SBY bilang koruptor yang diberikan hanya justice collaborator, tapi sekarang nyatanya tidak demikian, misalnya kasus Hartati Murdaya,” kata dia. (MI/U4)

Emerson Yuntho Aktivis ICW

l

16 10 September 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.