VOTING, Edisi XXXXI, 23 April - 30 April 2014

Page 1

16 Halaman l Edisi XXXXI/ 23 April - 30 April 2014

7 l Jerat Korupsi Leluasa Bidik Perempuan

T E R U J I T E P E R C AYA

Pemilu 2014 Culas PEMILIHAN umum merupakan salah satu pelaksanaan konstitusi UUD 1945 yang dibangun para pendiri bangsa atau founding father. Namun, dalam pelaksanaannya, kecurangan demi kecurangan tidak dapat dihentikan walau dengan pengawasan berlapis.

D

I Lampung, setidaknya pemilu yang digelar 12 dari 14 KPU kabupaten/kota bermasalah. Pelanggaran itu berbentuk administrasi, kode etik penyelenggara, dan pelanggaran pidana pemilu. Data di Badan Pengawas Pemilu Lampung menyebutkan pemilu yang digelar 12 KPU kabupaten/kota bermasalah itu, yakni di Lampung Barat, Mesuji, Pesawaran, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, Pringsewu, Tanggamus, Metro, Lampung Utara, Lampung Tengah, Way Kanan, dan Lampung Timur. Hanya di Bandar Lampung dan Lampung Selatan tidak ditemukan kecurangan. Kecurangan itu semisal penggelembungan suara hingga kanibalisme alias pengalihan perolehan suara antarcalon anggota legislatif dalam satu partai. Tidak tanggung-tanggung, oknum yang bermain mulai dari kader dan simpatisan partai, calon anggota legislatif (caleg) hingga penyelenggara. “Semua temuan itu sudah kami rekomendasikan kepada KPU setempat, yakni pembenahan data dan pleno ulang. Setelah pleno semuanya nanti selesai, baru kami akan mulai memproses kasus pelanggaran etika penyelenggara pemilu sekaligus pidananya. Semua bukti sudah ada pada jajaran kami,� kata anggota Bawaslu Lampung, Fatikhatul Khoiriyah. Namun, di Bandar Lampung sempat juga terjadi kericuhan di sejumlah TPS. Caleg sempat meminta penghitungan ulang dalam rekapitulasi di PPS dan PPK karena adanya perpindahan suaranya ke caleg lain dalam satu partai. Bahkan, sempat terjadi kericuhan saat salah seorang caleg asal Partai Demokrat, Hendra Mukri, memprotes hasil rekapitulasi itu. Terkait antisipasi kecurangan, Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. sejak awal meminta penyelenggara pemilu profesional dan menghindari kecurangan. Hal itu wajib dilakukan untuk mengantisipasi konflik yang dapat terjadi akibat penyimpangan selama pencoblosan, penghitungan, dan penetapan pemenang pemilu. Selain itu, semua pihak harus mengawasi jalannya pesta demokrasi itu sehingga penyelenggara tidak dapat berbuat curang. “Kalau ada kerawanan, awasi dong, semua harus ikut mengawasi,� kata dia. (UIN/CR11/U1) n yono


Interupsi

l

2 23 April 2014

n Polling

Popularitas yang Terlambat

688

POPULARITAS sangat diperlukan partai politik untuk menaikkan elektabilitas dalam Pemilu 2014. Namun, jika popularitasnya semakin meningkat pascapemilu, ini sungguh sangat terlambat. Ada dua partai bersaing sangat populer di media massa pasca-pemilu itu, seperti dalam survei berikut ini. 1. PDI Perjuangan

: 267

2. PKB

: 135

3. Gerindra

: 127

4. Golkar

: 111

5. Demokrat

: 100

6. NasDem

: 72

7. PKS

: 60

8. PAN

: 57

9. PPP

: 50

10.Hanura

: 38

11.PKPI

: 20

12.PBB

: 12

T E R U J I T E P E R C AYA

indeks : GAGAS Problema Kualitas Koalisi Parpol . . .

5

perempuan Regulasi Masih Ragu . . .

6

ORATOR Yakinkan\Pengusaha Berinvestasi . . .

9

PILAR

Kewarganegaraan Surya Paloh Koalisi . . .

10

Sumber: Politik Triliant 2014

Metode: Analisis pemberitaaan dari 6 media cetak nasional, 20 media online, dan 6 media cetak berbasis daerah. Mulai 9—15 April 2014. Media yang dipantau merupakan media yang tidak terafiliasi kepada partai politik tertentu.

jeda Pilih Tabur Uang Dibanding Edukasi Pemilih. . . . 13

Direktur Utama: Raphael Udik Yunianto. Pemimpin Umum: Bambang Eka Wijaya. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Gaudensius Suhardi. Wakil Pemimpin Redaksi: Iskandar Zulkarnain. Pemimpin Perusahaan: Prianto A. Suryono. Dewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua), Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Suryopratomo, Toeti Adhitama, Usman Kansong. Kepala Divisi Pemberitaan: D. Widodo, Kepala Divisi Content Enrichment: Iskak Susanto. Kepala Divisi Percetakan: Kresna Murti, Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Umar Bakti, Sekretaris Redaksi: M. Natsir. T E R U J I T E P E R C AYA Redaktur: Hesma Eryani, Lukman Hakim, Muharam Chandra Lugina, Musta’an Basran, Nova Lidarni, Sri Agustina, Sudarmono, Trihadi Joko, Wiwik Hastuti, Zulkarnain Zubairi. Asisten Redaktur: Abdul Gofur, Aris Susanto, Isnovan Djamaludin, Iyar Jarkasih, Fadli Ramdan, Rinda Mulyani, Rizki Elinda Sary, Sri Wahyuni, Sony Elwina Asrap, Susilowati, Vera Aglisa. Liputan Bandar Lampung: Agus Hermanto, Ahmad Amri, Delima Napitupulu, Fathul Mu’in, Ricky P. Marly, Meza Swastika, Karlina Aprimasyita, Wandi Barboy. LAMPOST.CO. Redaktur: Kristianto. Asisten Redaktur: Adian Saputra, Sulaiman. Content enrichment Bahasa: Wiji Sukamto (Asisten Redaktur), Chairil, Kurniawan, Aldianta. Foto: Hendrivan Gumay (Asisten Redaktur), Ikhsan Dwi Satrio, Zainuddin. Dokumentasi dan Perpustakaan: Syaifulloh (Asisten Redaktur), Yuli Apriyanti. Desain Grafis redaktur: DP. Raharjo. Asisten Redaktur: Sugeng Riyadi, Sumaryono. Biro Wilayah Utara (Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat): Mat Saleh (Kabiro), Aripsah, Buchairi Aidi, Eliyah, Hari Supriyono, Hendri Rosadi, Yudhi Hardiyanto. Biro Wilayah Tengah (Lampung Tengah, Metro, Lampung Timur): Chairuddin (Kabiro), Agus Chandra, Agus Susanto, Andika Suhendra, Djoni Hartawan Jaya, Ikhwanuddin, M. Lutfi, M. Wahyuning Pamungkas, Sudirman, Suprayogi. Biro Wilayah Timur (Tulangbawang, Mesuji, Tulangbawang Barat): Juan Santoso Situmeang (Kabiro), Merwan, M. Guntur Taruna, Rian Pranata. Biro Wilayah Barat (Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran): Sayuti (Kabiro), Abu Umarly, Erlian, Mif Sulaiman, Widodo, Heru Zulkarnain. Biro Wilayah Selatan (Lampung Selatan): Herwansyah (Kabiro), Aan Kridolaksono, Juwantoro, Usdiman Genti. Kepala Departemen Marcomm: Amiruddin Sormin, Dedi Kuspendi. Senior Account Manager Jakarta: Pinta R Damanik. Senior Account Manager Lampung: Syarifudin. Account Manager Lampung: Edy Haryanto. Manager Sirkulasi: Indra Sutaryoto. Manager Keuangan & Akunting: Rosmawati Harahap. Alamat Redaksi dan Pemasaran: Jl. Soekarno Hatta No.108, Rajabasa, Bandar Lampung, Telp: (0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi). Faks: (0721) 783578 (redaksi), 783598 (usaha). http://www.lampost.co e-mail: redaksi@lampungpost. co.id, redaksilampost@yahoo.com. Kantor Pembantu Sirkulasi dan Iklan: Gedung PWI: Jl. A.Yani No.7 Bandar Lampung, Telp: (0721) 255149, 264074. Jakarta: Gedung Media Indonesia, Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp: (021) 5812088 (hunting), 5812107, Faks: (021) 5812113. Kalianda: Jl. Soekarno-Hatta No. 31, Kalianda, Telp/Fax: (0727) 323130. Pringsewu: Jl. Ki Hajar Dewantara No.1093, Telp/Fax: (0729) 22900. Kota­agung: Jl. Ir. H. Juanda, Telp/Fax: (0722) 21708. Metro: Jl. Diponegoro No. 22 Telp/Fax: (0725) 47275. Menggala: Jl. Gunung Sakti No.271 Telp/Fax: (0726) 21305. Kotabumi: Jl. Pemasyarakatan Telp/Fax: (0724) 26290. Liwa: Jl. Raden Intan No. 69. Telp/Fax: (0728) 21281. Penerbit: PT Masa Kini Mandiri. SIUPP: SK Menpen RI No.150/Menpen/SIUPP/A.7/1986 15 April 1986. Percetakan: PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno - Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan. Harga: Eceran per eksemplar Rp3.000 Langganan per bulan Rp75.000 (luar kota + ongkos kirim). DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, ­WARTAWAN LAMPUNG POST DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU M ­ EMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN.


Laporan Utama

l

3 23 April 2014

Tidak Peduli Teman untuk Dapat Kursi

PRAKTIK kanibalisme perolehan suara dalam Pemilu 2014 merebak di Lampung. Pergeseran perolehan suara antarcalon anggota legislatif (caleg) dalam satu partai terjadi.

P

ara caleg tak lagi memedulikan teman satu partainya harus dizalimi untuk mendapatkan kursi di gedung wakil rakyat. Faktor kelelahan menjadi alasan panitia atas adanya kesalahan dalam memasukkan perolehan suara caleg. Pergeseran itu salah satunya terjadi di tubuh PDI Perjuangan untuk DPRD Bandar Lampung di daerah pemilihan V. Caleg nomor urut 8, Julius Gultom, protes karena suaranya berpindah ke rekan separtainya nomor urut 7, Dedi Yuginta. “Saya kaget waktu pleno di PPK Enggal, suara saya dari TPS 5 dari 10 berubah jadi nol. Sementara data di saksi dan di panwascam ada 10. Ternyata 10 suara saya itu pindah ke caleg PDIP nomor 7,” kata Julius, saat dihubungi.

Kemudian, di Partai Demokrat juga terjadi kanibalisme suara. Saat pleno kemarin, saksi Demokrat di PPS Segalamider, Agus Suryanto, mengungkapkan suara Unggul, caleg Demokrat, berkurang 8. Di TPS memperoleh 100 suara, tibatiba dalam pleno tinggal 92. “Itu sudah ditandatangani panitia. Delapan suara lagi dimasukkan perolehan suara partai,” kata Agus. Di Lampung Timur, caleg bersama oknum PPK Margatiga, Sekampung, dan Raman Utara juga diindikasi menganibal suara rekan-rekannya, bahkan suara caleg partai lain. “Kami memantaunya dan ada indikasi di kecamatan terjadi permainan suara,” kata salah seorang panitia pengawas setempat. Menanggapi hal itu, panitia pemilihan beralasan mereka kelelahan sehingga wajar jika salah tulis. Ketua PPS Segalamider Herwanto, misalnya, yang membenarkan di PPS-nya sempat terjadi kesalahpahaman. “Pileg dan pilgub ini sangat menyiksa KPPS yang ada di lapangan, sangat melelahkan sekali,” ujarnya.

12 Daerah Secara total se-Lampung, pelanggaran pada Pemilu 9 April 2014 terjadi di 12 kabupaten/kota. Pelanggaran itu berbentuk administrasi, kode etik penyelenggara, dan pelanggaran pidana pemilu. Data di Bawaslu Lampung menyebutkan 12 kabupaten/kota yang bermasalah itu ialah Lampung Barat, Mesuji, Pesawaran, Tulangbawang, Tulangbawang Barat, Pringsewu, Tanggamus, Metro, Lampung Utara, Lampung Tengah, Way Kanan, dan Lampung Timur. “Yang nihil pelanggaran Bandar Lampung dan Lampung Selatan,” ujar Fatikhatul Khoiriyah, anggota Bawaslu. Untuk Lampung Barat, Mesuji, dan Pesawaran terjadi penggelembungan di banyak TPS. Penggelembungan suara juga terjadi di Tanggamus, Lampung Utara, dan Lampung Tengah. Pencurian suara terdeteksi di Kabupaten Pringsewu dan Kota Metro. Lainnya, pelanggaran administrasi dalam rekapitulasi suara di PPS dan PPK. “Semua temuan itu sudah kami rekomendasikan kepada KPU setempat, yakni pembenahan data dan pleno ulang,” kata dia. (CR11/UIN/U1)


Laporan Utama

l

4 23 April 2014

Dokumen Berpengaman Hologram Tidak Luput dari Manipulasi

KECURANGAN yang terjadi pada Pemilu 2014 benar-benar luar biasa. Aksi kanibalisme dan penggelembungan suara juga memainkan formulir C1 di tangan panitia yang berpengaman teknologi tinggi, yakni hologram.

C

alon anggota legislatif dari Partai Gerindra, Gunawan Handoko, menemukan adanya permainan suara pada formulir C1 yang dilakukan penyelenggara pemilu. Menurut dia, beberapa kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) menyatakan kekurangan formulir C1. Padahal, KPU sudah menegaskan setiap KPPS mendapat formulir tersebut dan jumlahnya sesuai kebutuhan. Nyatanya, setelah pemungutan suara, masih ada C1 kosong yang dipergunakan untuk mengubah perolehan suara. “Untuk membuktikan adanya pelanggaran tersebut, Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) dapat melakukan cross check perolehan suara masing-masing caleg dengan C1 resmi di TPS,” kata dia. Menurutnya, sumber daya manusia di ting-

kat KPPS masih perlu dipertanyakan, termasuk para pengawas di tingkat kecamatan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh caleg nakal untuk berbuat curang dengan mengubah perolehan suara di C1. “Jika nanti ada pihak yang minta bukti, saya sangat siap untuk menunjukkan C1 bodong tanpa ada yang tanda tangan,” ujar caleg DPRD Lampung daerah pemilihan (DP) Lampung III ini. Secara terpisah, caleg DPRD Lampung dari PKS, Ginta Wiryasenjaya, mengaku kecewa dengan adanya oknum penyelenggara dan caleg yang berbuat curang untuk mendapatkan suara. Mereka harusnya dihukum sehingga perilaku serupa tidak terjadi lagi. Lebih parah lagi di Tulangbawang, pleno rekapitulasi suara PPS di Kecamatan Gedongmeneng berlangsung di kantor kecamatan setempat tanpa saksi partai politik. Ketua PPS Kampung Bakungilir Suhadi (43) mengatakan usai penghitungan suara di TPS, PPK Gedongmeneng memerintahkan seluruh KPPS dan PPS membawa surat suara dan formulir ke kantor camat setempat. Hal itu yang membuat Panwaslu mengeluarkan rekomendasi hitung ulang, tetapi ternyata tidak dilakukan. Kepala Divisi Hukum dan Penindakan Panwaslu Tulangbawang Santoni menyayangkan KPU setempat tidak menjalankan rekomendasi

hitung ulang di 15 kecamatan se-Tulangbawang, termasuk rekomendasi khusus untuk Kecamatan Gedongmeneng. Khusus Gedongmeneng, rekapitulasi di tingkat PPK hanya disesuaikan formulir C1 yang ada di saksi dengan rekap PPS. “Ada ancaman pidananya jika rekomendasi Panwaslu tidak dijalankan KPU,” ujar Santoni. Sayangnya, saat dikonfirmasi, nomor telepon Ketua PPK Budi Santoso tidak aktif. Sementara Ketua KPU Tulangbawang Rudi Antoni pun tidak bisa dihubungi dan tidak membalas pesan pendek meskipun ponselnya aktif. Anehnya, KPU Lampung memberi lampu hijau KPU setempat tidak menjalankan rekomendasi Panwaslu. Komisioner KPU Lampung Handi Mulyaningsih yang mengaku melakukan supervisi ke KPU Tulangbawang mengatakan tidak perlu hitung ulang. Sebab, dari klarifikasi ke KPU dan Panwaslu Tuba serta PPK dan panwascam, tidak ada persoalan di Kecamatan Gedongmeneng. “Ketua Panwas Kabupaten mengatakan tidak tahu persis persoalannya. Penjelasan PPK, C1 plano Bakungilir diubah PPS. Waktu rekap di PPK, si PPS mengakui. Maka dikembalikan pada semula. Jadi, sudah diluruskan di tingkat PPK,” ujar Handi.(CR11/UIN/U1)


Gagas

l

5 23 April 2014

Problema Kualitas Koalisi Parpol M ESKI hasil pemilu legislatif belum resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai-partai politik yang lolos parliamentary threshold (berdasarkan quick count) sudah mulai sibuk bermanuver untuk menjajaki koalisi yang dianggap ideal dan menguntungkan. Ada 10 partai politik (parpol) dari 12 parpol peserta Pemilu 2014 yang mampu memenuhi ambang batas minimum 3,5% sebagai syarat lolos parliamentary threshold, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PPP, PKS, Hanura, NasDem, dan PAN. Namun, koalisi tetap menjadi harga mati bagi seluruh parpol yang lolos parliamentary threshold karena jumlah suara yang diperoleh tidak memenuhi ambang batas minimal seperti yang telah diisyaratkan dalam undangundang. Pada Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres secara tegas dijelaskan bahwa pasangan calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. Sementara itu, masih berdasarkan hasil quick count terkini, tak ada satu partai pun yang dinyatakan menang secara mutlak dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 ini. Menurut hasil quick count Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), misalnya, perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menduduki peringkat pertama hanya berada di kisaran 19%. Dengan kata lain, bakal tidak ada parpol yang mampu mengusung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sendiri. Akhirnya, berkoalisi dengan parpol lain menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin bisa terelakkan. Berkaca dari koalisi parpol dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), koalisi parpol yang ada lebih sering mempertimbangkan aspek kemenangan dan kekalahnya saja, daripada aspek kesamaan ideologi maupun kesamaan visi

Pangki T. Hidayat Direktur Eksekutif Research Center For Democratic Education, Yogyakarta

dan misi parpol. Maka tak heran, jika kemudian bisa terjadi koalisi antarparpol dengan ideologi berlawanan. Koalisi seperti itu jelas sangat tidak sehat karena secara nyata hanya menunjukkan bagi-bagi kekuasaan semata.

bijakan publik bisa direalisasikan dengan maksimal. Oleh sebab itu, penting bagi elite parpol untuk tidak menggunakan praktik politik dagang sapi dalam setiap manuver mencari koalisi ideal. Koalisi harus didasarkan pada perhitungan-perhitungan kepentingan politik jangka panjang. Jangan sampai, koalisi hanya dilakukan untuk sekadar mengamankan kekuasaan pada pemilu selanjutnya. Jika hal itu sampai terjadi, dapat dipastikan kinerja pemerintahan tidak akan lebih baik dari produk pemilu sebelumnya. Berkaca dari koalisi parpol yang ada di pemerintahan periode 2004—2009, ada tiga hal yang mutlak dilakukan agar koalisi pada pemerintahan mendatang bisa lebih baik. Pertama, mengembangkan kontrak politik sebagai dasar koalisi. Kontrak politik tersebut tentu tidak hanya berisikan hak dan kewajiban antarparpol yang terlibat koalisi, tetapi perlu juga dipertegas dengan tujuan jangka

Ko a l i s i

Berkualitas Pada hakikatnya, koalisi dibangun adalah untuk memperkuat jalannya roda pemerintahan, dan bukan malah sebaliknya. Koalisi yang dibangun juga tidak boleh bubar di tengah jalan, apalagi malah saling menjatuhkan antaranggotanya. Kondisi ini mutlak dipenuhi jika roda pemerintahan ingin berjalan lancar, dan implementasi ke-

p e n d e k dan jangka panjang dari koalisi yang terbentuk. Secara nyata, tujuan yang akan dicapai oleh koalisi jelas lebih penting bagi publik dari pada hak maupun kewajiban antarparpol peserta koalisi. Karena itu, penting bagi masing-masing parpol yang akan berkoalisi untuk lebih mengutamakan kepentingan dan pelayanan publik daripada sekadar beradu argumen tentang hak dan kewajiban yang akan diterimanya. Kedua, membentuk koalisi berdasar-

kan prinsip profesionalisme. Artinya, koalisi hendaknya dilakukan tidak semata-mata atas pertimbangan politis saja, tetapi juga mempertimbangkan kemampuan, kompetensi, komitmen, dan pengalaman kader-kader parpol yang ditawarkan. Pertimbangan profesionalisme ini penting, agar pemerintahan tidak hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan belaka. Bukan menjadi rahasia lagi jika beberapa posisi strategis di pemerintahan saat ini, diisi oleh orangorang yang kurang kompeten di bidangnya. Maka tak heran jika kemudian negara ini lambat mengalami perkembangan meskipun digadang-gadang mempunyai sumber daya alam yang luar biasa banyaknya. Dalam tataran ini, koalisi yang terbentuk tidak boleh ragu untuk memberhentikan atau memutasi menteri-menteri yang berasal dari parpol jika kinerjanya dirasa tidak memuaskan publik. Ketiga, berani meminimalisasikan jumlah parpol dalam koalisi. Dengan kata lain, parpol harus berani mengambil risiko untuk berkoalisi setidaknya dengan tiga atau empat partai saja. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, terlalu banyak partner dalam koalisi tentu akan berakibat pada banyaknya kepentingan dalam pemerintahan sehingga jalannya roda pemerintahan dapat dipastikan akan terganggu karena seringnya terjadi dissenting opinion dalam pemerintahan itu sendiri. Elite politik dan para petinggi parpol harus menyadari bahwa esensi dasar sebuah pemerintahan ialah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat dengan baik, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, komunikasi politik yang dilakukan untuk membangun koalisi mutlak setidaktidaknya bisa memenuhi nilai dasar (core value) tersebut sehingga jerih payah rakyat dalam mengikuti proses panjang pemilu, bisa terbayar dengan lunas. Wallahualam bissawab. n


Perempuan

l

6 23 April 2014

Regulasi Masih Ragu untuk Berpihak ke Perempuan

HAK-HAK kaum perempuan yang diatur dalam sejumlah regulasi hingga kini masih terjadi ketidakharmonisan antara satu dan lainnya saat diimplementasikan. “Ini tentu mencederai upaya pemerintah dalam memenuhi hak perempuan seperti diperjuangkan R.A. Kartini pada masa lalu, yakni mengentaskan kaum perempuan dari kebodohan,” kata anggota subkomisi hukum dan kebijakan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Ninik Rahayu, terkait peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April. Ninik mencontohkan UU Perkawinan yang mengatur pembagian peran dalam rumah tangga ketika suami sebagai kepala kelurga serta perempuan sebagai istri. Namun, saat diimplementasikan dalam UU Ketenagakerjaan, UU itu menempatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan.

Sebab, mereka tidak bisa turut menanggung beban keluarga secara materi meski pada situasi suami terkena PHK ataupun tidak bekerja karena alasan lain. “Beberapa BUMN dan kementerian sudah menerapkan persamaan hak, tetapi perusahaan swasta banyak yang belum,” tukas Ninik. Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pinky Setyandari mengutarakan faktor sosial budaya yang masih ditemui di masyarakat ikut menghambat kesetaraan gender pada kaum perempuan. Faktor sosial budaya itu berasal dari pola asuh yang membedakan status anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga sehingga hal tersebut

memengaruhi pola pikir masyarakat. “Kami mengidentifikasi masih ditemukan nilai budaya yang meminggirkan kaum perempuan. Ini juga berdampak terhadap aspek politik ketika pada Pemilu 2009 ada 22 kabupaten/kota di Indonesia yang tidak punya wakil perempuan,” katanya. Ia mengajak masyarakat untuk menghilangkan faktor sosial budaya di masyarakat, dan meminta Kemendikbud untuk menjadikan kesetaraan gender sebagai mata pelajaran wajib, bukan disisipkan di mata pelajaran lain. “Dengan momentum Hari Kartini, kami mengajak seluruh elemen bangsa mengusulkan agar pelajaran tentang kesetaraan gender menjadi mata pelajaran wajib di sekolah. Selain itu juga kampanyenya harus secara masif di setiap sektor kehidupan bangsa,” kata dia. (MI/U1)


Perempuan

l

7 23 April 2014

Jerat Korupsi Leluasa Bidik Perempuan KESADARAN untuk pemberantasan korupsi memang harus dimiliki setiap anak bangsa tak memandang jenis kelamin. Namun, anehnya keterlibatan perempuan dalam sejumlah kasus tindak pidana korupsi terus meningkat setiap tahunnya, terhitung sejak 2007 hingga saat ini.

M

enurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebanyak 29 perempuan tersangkut korupsi yang melibatkan para pengambil kebijakan. Saat ini KPK sudah menindaklanjuti dengan menahan ataupun masih dalam proses persidangan. Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan masuknya perempuan dalam lingkaran tindak pidana korupsi amat rentan. Hal itu mendorong KPK untuk fokus memberantas korupsi hingga ke lingkungan keluarga, terutama perempuan. Perwujudan komitmen itu, pada hari ini, salah satunya dengan peluncuran gerakan memberantas korupsi ‘Saya, Perempuan Antikorupsi’. “KPK melihat pemberantasan korupsi harus menyentuh hingga pada kelompok terkecil, seperti keluarga. Perempuan menjadi tonggak negara dan keluarga untuk menanamkan nilainilai positif generasi selanjutnya terutama sikap antikorupsi,” kata Johan Budi. Selain itu, kata Johan, perempuan dinilai memiliki posisi penentu kebijakan dalam perusahaan atau profesi di bidangnya. Bahkan, sebagai makhluk sosial yang bereksistensi, kesadaran antikorupsi penting untuk menjadi landasan memberantas tindakan tersebut. “Sejak sekitar 3 tahun lalu KPK sudah konsen dengan pemberantasan korupsi, termasuk peran perempuan yang begitu besar,” ujarnya. Pengaruh Patriarkat Menurut Wakil Ketua Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto, keterlibatan perempuan dalam lingkaran korupsi disebabkan sikap yang tidak kritis sehingga ikut terjerumus dalam praktik tersebut. Namun, menurutnya, hal itu tidak juga menutup kemungkinan perempuan bisa menjadi pelaku sentral dalam korupsi. “Kelompok perempuan yang masuk ke lingkaran kekuasaan rentan untuk terjerumus. Tapi tidak bisa juga untuk menggeneralisasi. Mestinya semakin banyak perempuan terlibat

korupsi, perempuan harus juga menjadi aktor yang membuktikan pemberantasan korupsi,” kata dia. Agus juga menambahkan pihaknya tidak menampik ada keterlibatan perempuan dalam kasus korupsi dari tahun ke tahun. Hal itu juga dipengaruhi sistem kekuasaan yang masih bercorak patriarkat. Beberapa contoh perempuan yang terjerat korupsi, di antaranya Wa Ode Nurhayati. Saat tertangkap tangan oleh KPK, ia masih menjadi anggota DPR dari PAN. Lainnya, anggota DPR dari Partai Demokrat, Angelina Patricia Pingkan Sondakh, yang menerima hadiah dan janji terkait dengan anggaran di Kemenpora dan Kemendiknas. “Praktik kekuasaan kita masih sangat patriarkat. Mereka yang banyak terjerat bisa juga perempuan yang menjadi korban partriarkat. Artinya, perempuan saat ini harus lebih kritis dan hati-hati. Karena itu, dengan sistem saat ini, perempuan masih sangat rentan terjerumus ke lingkaran korupsi,­” ­u jar Agus. (MI/U1)


Orator

l

8 23 April 2014

Butuh Sanksi Membuat Efek Jera Peleceh Bangsa PRAKTIK politik uang (money politics) masih menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, baik pemilukada, pemilu legislatif, maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.

M

asih banyak partai politik dan calon anggota legislatif yang menempuh jalan pintas dengan politik uang untuk memikat simpati masyarakat. Mereka yakin cara itu lebih efektif ketimbang menjual gagasan dan visi-misi partai. Selain itu, saling sikut antarcaleg dan parpol turut memacu praktik curang tersebut. Apalagi, pengawasan dari Badan Pengawas Pemilu kurang garang sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Akibatnya, mereka yang terpilih lewat cara curang tersebut bukanlah wakil rakyat yang merepresentasikan kebutuhan dan aspirasi publik yang sesungguhnya. Karena itu, tak mengherankan bila banyak anggota DPR terpilih saat menjalankan tugas di lembaga legislatif tidak mencerminkan apa yang dikehendaki rakyat. Untuk menekan laju perkembangan praktik politik transaksional itu, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Marzuki Alie meminta harus ada sanksi untuk memberi efek jera orang yang memberi dalam praktik itu. Sebab, jika tidak ada niat memberi, tidak ada politik uang. Apalagi, pihak penerima masih kekurangan. “Pasti (uang) yang diberikan tadi diterima. Persoalan apakah memengaruhi pilihan mereka atau tidak, itu beda urusan. Mereka menggunakan politik uang karena takut tidak dipilih,” kata dia. Padahal, dipilih-tidaknya urusan Tuhan. Sanksi dari Bawaslu harus dikeraskan kepada politikus yang menggunakan politik uang untuk tujuan politiknya. Bawaslu, misalnya, harus memberi sanksi yang menimbulkan efek jera kepada politikus yang menghalalkan segala cara tadi. Bila perlu didiskualifikasi. “Sekarang masih banyak praktik politik uang karena sanksinya tidak tegas sih,” kata dia. Sebenarnya kondisi itu merugikan partai politik dan para caleg sendiri. Bahkan, partai politik dan para caleg pun jengah dengan praktik politik uang. Mereka menginginkan persaingan yang adil, terbuka, tanpa kecurangan. Namun, karena dihantui perasaan takut kalah, peserta pemilu akhirnya—mau tidak mau—terkesan permisif terhadap cara kotor tersebut. Praktik money politics secara tegas dilarang UU No. 8/2012 Pasal 86 Ayat (1). Undang-Undang tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD itu jelas mengatur bahwa memberikan atau menjanjikan imbalan uang atau barang saat kampanye dan pemungutan suara merupakan pelanggaran. Namun, dalam perjalanan pemilu selama ini, tidak banyak parpol atau caleg yang terjerat oleh ketentuan tersebut. Aturan itu hanya menjadi macan kertas, ibarat anjing menggonggong kafilah terus berlalu. Karena tidak adanya ketegasan dalam menindak para pelaku, politik uang terus tumbuh subur di negeri ini. Bahkan, cara itu dianggap sudah menjadi budaya yang mengiringi pesta demokrasi di Tanah Air. Selama ini, dalam menghadapi persoalan itu, penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, selalu berkilah dengan alasan yang itu-itu juga, yakni sulit untuk membuktikan adanya politik uang karena si pemberi dan si penerima uang tidak diketahui. (MI/U1)


Orator

l

9 23 April 2014

Koalisi Solid Yakinkan Pengusaha Berinvestasi KALANGAN dunia usaha berharap partai politik segera menentukan mitra koalisi dan platform bersama untuk membangun perekonomian nasional. Sebab, dengan koalisi yang solid, tinggal mencari formula agar perekonomian maju dan investasi meningkat.

K

etua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan para pengusaha mengharapkan pemerintahan koalisi yang kelak terbangun mampu memberikan kepastian bagi dunia usaha.

“Perlu waktu cepat untuk menjajaki koalisi. Sebab, kalau koalisi enggak sejalan ujung-ujungnya tidak ada kepastian politik sehingga pengusaha sulit untuk berinvestasi,” kata Sofjan. Lebih dari itu, lanjut Sofjan, koalisi dalam pemerintahan semestinya juga tecermin di dalam parlemen. “Kami khawatir terjadi ketidakpastian seperti saat ini. Menteri yang nanti diplot di sektor ekonomi haruslah tepat. Baiknya memang profesional, tetapi politikus pun banyak yang berpotensi. Asal jangan asal comot ataupun menerapkan politik dagang sapi,” ujar Sofjan. Dia mencontohkan bagaimana pola koalisi dalam pemerintahan sekarang yang kental dengan nuansa bagi-bagi kekuasaan.

“Kami berharap para menteri yang mengurus ekonomi itu profesional. Sebaiknya kabinet berisi 70% kalangan profesional dan 30% politikus,” katanya. Dunia swasta selama ini, menurutnya, capek tidak mendapat dukungan pemerintah. “Yang penting buat kami usaha jalan. Ketidakjelasan ekonomi akibat koalisi sudah dirasakan selama 10 tahun ini. Selama itu sektor konstruksi tidak diperhatikan. Padahal, sektor itu signifikan bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Sofyan. Karena itu, pelaku pasar menunggu tuntasnya pembahasan soal koalisi tersebut. “Jangan sekadar manuver dan hanya diperbincangkan di tataran elite.” (MI/U1)


Pilar

B

l

10 23 April 2014

Kenegarawanan Surya Paloh dan Koalisi PDIP-NasDem

AKAL calon presiden akhir-akhir ini makin masif bermunculan di berbagai media massa. Sebagian besar nama yang muncul ialah hasil kerja lembagalembaga survei dengan responden tidak lebih dari 10 ribu orang. Secara metodologi memang sah-sah saja dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, di balik itu semua, menurut pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing, sudah saatnya masyarakat digugah dan disadarkan bahwa di balik nama-nama media tersebut ada sosok-sosok lain yang perlu dilontarkan ke tengah-tengah masyarakat. Dengan tegas, Emrus menyebut nama Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, yang jauhjauh hari menambatkan partainya untuk berkoalisi dengan PDI Perjuangan, tanpa mempraktikkan “politik dagang sapi” seperti yang dilakukan hampir semua parpol yang sedang membangun koalisi saat ini. Dia memilih memperkuat sistem presidensial sesuai amanat UUD. Kenegarawanan Surya Paloh seperti itu, menu-

rut Emrus, sebenarnya jauh di atas tokoh populer saat ini. “Ia memiliki sikap tegas, bijaksana, menjunjung perbedaan, merawat keharmonisan, dan tidak haus kekuasaan. Hal itu jauh dari kata cukup sebagai tokoh yang mampu menjadi pemimpin bangsa,” ujarnya. Bahkan Emrus berani menyebut Surya Paloh bagaikan “mutiara terpendam” sebagai sosok pemimpin yang bijak, negarawan, dan kapabel di bidang ekonomi. Surya juga memiliki kemampuan komunikasi yang baik. “Ia patut diperhitungkan pemimpin, baik sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden. Sayangnya keistimewaan Pak Surya luput dari ekspos media,” kata pengamat bergelar doktor itu saat dihubungi Media Indonesia, kemarin. Sikap kenegarawanan Surya Paloh, lanjutnya, terlihat di berbagai kesempatan. Surya tidak pernah menyinggung bahkan menjelekkan sebagian kalangan. Ia memilih menanamkan ideologi perubahan atau restorasi kepada setiap kalangan yang ditemuinya. Ia menanggalkan dukungan untuk kepentin-

gannya meraup kekuasaan. “Pernahkan mendengar Pak Surya menjelekkan satu tokoh tertentu? Golongan tertentu?” tanya Emrus. Surya Paloh, dalam pengamatan Emrus, sering meramu kritikannya dengan bahasa yang arif dan bijaksana meski dengan ketegasannya dalam mengkritik tanpa mencederai perasaan orang lain. Setiap pidato Surya, Emrus mengakui tidak pernah berisi kata-kata yang melecehkan, menyerang, dan menjelekkan pihak lain. Hal tersebut jauh berbeda dengan tokoh lain yang senang dengan hal-hal seperti itu. “Di kala semua yang mengatasnamakan tokoh bangsa berbondongbondong mengincar kekuasaan, tidak untuk Surya Paloh.” Kebesaran jiwanya itu juga terlihat dengan cara koalisi partainya NasDem dengan PDI Perjuangan. Bagimana tidak, tanpa meminta syarat Surya siap mendukung capres PDIP Joko Widodo. Walau memang akhirnya mengajukan calon wakil presiden karena diminta koalisinya itu, dan Surya mengajukan Jusuf Kalla. Ternyata duet Jokowi-JK mendapat peringkat atas dalam setiap survei. (MI/U1)


Jejak

l

11 23 April 2014

Maskoen Soemadiredja

Mendidik Masyarakat dengan Politik Antikolonial P

ERJUANGANNYA menentang Pemerintah Hindia Belanda dengan cara menyebarluaskan prinsip-prinsip nasionalisme membuat ia sering mendekam di penjara, bahkan dibuang ke Papua. Ia memilih menempuh perjuangan yang sulit dan berisiko daripada hidup nyaman tapi Tanah Air dijajah bangsa asing. Maskoen Soemadiredja, putra pasangan Raden Umar Soemadiredja dan Nyi Raden Umi ini lahir pada 4 Januari 1907 di Bandung. Suami Nyi R. Djuhaeni ini sudah memulai perjuangannya dalam mewujudkan kemerdekaan sejak muda. Di usianya yang baru menginjak 20 tahun, ia sudah berjuang dengan cara melakukan propaganda atau pendidikan politik untuk masyarakat melalui penyebarluasan prinsip-prinsip nasionalisme. Dengan menggunakan organisasi pergerakan politik sebagai media untuk menanamkan paham nasionalisme diharapkan timbul dalam benak setiap rakyat betapa pentingnya kesadaran berbangsa. Tentu saja perjuangannya bukanlah hal yang mudah dan tanpa risiko. Ancaman dan tekanan dari Pemerintah Hindia Belanda selalu membayanginya. Namun, tekadnya untuk mempersembahkan kemerdekaan bagi negeri tercinta membuat semangat juangnya tak pernah surut. Pemerintah Hindia Belanda yang tengah menguasai Indonesia saat itu, tentu saja sangat tidak menyukai aksi dan kegiatan politik yang dilakukan Maskoen. Akibatnya, Maskoen dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung, pada 1929. Saat itu ia tak menjalani hukumannya seorang diri. Ada tiga pejuang lain yang juga turut mendekam di dalam sel. Mereka adalah Ir. Soekarno, Gatot Mangkoepraja, dan Suhada. Ia sempat menghirup udara bebas, tetapi hanya beberapa bulan sampai akhirnya harus menjalani hukuman kurungan kembali pada 1930. Kali ini ia bersama Ir. Soekarno, Gatot Mangkoepraja, dan Soepridinata dikirim ke Penjara Soekamiskin, Bandung, Jawa Barat. Meskipun harus bersusah payah dalam menghadapi hukuman penjara sampai mengalami pembuangan, ia tetap menjalaninya dengan gagah berani serta pantang menyerah. Ternyata konsekuensi dari perjuangannya menentang pemerintah Belanda tak hanya berhenti di sel dingin penjara. Ayah dari Hayat, Hadi, dan Hirman ini harus mengalami pembuangan di

Boven, Digul, Papua. Tempat itu merupakan lokasi pembuangan para tokoh pejuang yang giat menyuarakan kemerdekaan. Karena kondisi lingkungan alamnya yang masih liar, Digul dipandang sebagai tempat pembuangan yang mengerikan. Tak heran bila banyak pejuang yang dibuang di tempat itu jatuh sakit atau mengalami kesulitan untuk sekadar bertahan hidup. Meski demikian, Maskoen dapat bertahan menjalani masa pembuangannya. Ketika kekuasaan pemerintah Hindia Belanda berhasil digulingkan Jepang pada 1942, pemerintah kolonial membawa sang pejuang tangguh itu ke Australia. Meski hidup dalam pelarian, tak lantas membuat semangat juang Maskoen redup. Di Negeri Kanguru itu, ia tetap meneruskan perjuangannya dengan menyebarluaskan semangat kebangsaan yang ditandai dengan berdirinya Organisasi Serikat Indonesia Baru. Organisasi tersebut menghimpun orangorang Indonesia yang berada di Australia agar semangat kebangsaannya tetap berkobar dan daya juangnya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah tak surut. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia aktif mengoordinasi pemulangan para pejuang yang berada di Australia untuk kembali ke Tanah Air. Baginya hidup adalah pilihan, mau hidup dengan nyaman tapi Tanah Air dijajah bangsa asing dan melihat rakyat ditindas secara sewenang-wenang atau membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan meskipun harus ditempuh dengan perjuangan yang sulit dan berisiko. Maskoen Soemadiredja tetap memilih berjuang untuk merdeka. Meskipun harus bersusah payah dalam menghadapi hukuman penjara sampai mengalami pembuangan, ia tetap menjalaninya dengan gagah berani serta pantang menyerah. Perjuangan dan pengorbanannya pun tak pernah sia-sia. (U1)


Luber

l

12 23 April 2014

Pengawasan Ketat Hindari Kecurangan SEJAK awal demokrasi berjalan di Indonesia, memang ada lembaga yang mengawasinya. Namun, kini pengawasan dibuat begitu melekat, sesuai dengan regulasi yang menjadi dasarnya, yakni UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Untuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, diatur dalam pasal-pasal berikut. Pasal 75 (1) Tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah: a. mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsi yang meliputi: 1. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap; 2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan pencalonan gubernur; 3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan calon gubernur; 4. penetapan calon gubernur; 5. pelaksanaan kampanye; 6. pengadaan logistik pemilu dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. pengawasan seluruh proses penghitungan suara di wilayah kerjanya; 9. proses rekapitulasi suara dari seluruh kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU Provinsi; 10. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilu lanjutan, dan pemilu susulan; dan 11. proses penetapan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan pemilihan gubernur; b. mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu dan ANRI; c. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU provinsi untuk ditindaklanjuti; e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat provinsi; g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU provinsi, sekretaris, dan pegawai sekretariat KPU provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung;

h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan i. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

(2) Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Bawaslu Provinsi dapat: a. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f; dan b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Pasal 76 Bawaslu Provinsi berkewajiban: a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilu pada tingkatan di bawahnya; c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; d. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/ atau berdasarkan kebutuhan; e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU provinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan pemilu di tingkat provinsi; dan f. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 (1) Tugas dan wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota adalah: a. mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di wilayah kabupaten/kota yang meliputi: 1. pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap; 2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan pencalonan bupati/wali kota; 3. proses penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan calon bupati/wali kota; 4. penetapan calon bupati/wali kota; 5. pelaksanaan kampanye; 6. pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya; 7. pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil pemilu; 8. mengendalikan pengawasan seluruh proses penghitungan suara; 9. pergerakan surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK; 10. proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU ka-

bupaten/kota dari seluruh kecamatan; 11. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, pemilu lanjutan, dan pemilu susulan; dan 12. proses penetapan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan pemilihan bupati/wali kota; b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; c. menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana; d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU kabupaten/kota untuk ditindaklanjuti; e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang; f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu oleh penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota; g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU kabupaten/kota, sekretaris, dan pegawai sekretariat KPU kabupaten/kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung; h. mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan pemilu; dan i. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Panwaslu kabupaten/kota dapat: a. memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf g; b. memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Pasal 78 Panwaslu Kabupaten/Kota berkewajiban: a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya; b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Panwaslu pada tingkatan di bawahnya; c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu; d. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu Provinsi sesuai dengan tahapan pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan kebutuhan; e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu Provinsi berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU kabupaten/kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat kabupaten/kota; dan f. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Jeda

l

13 23 April 2014

Parpol Pilih Tabur Uang Dibanding Edukasi Pemilih SEJUMLAH calon anggota legislatif (caleg) petahana yang namanya kerap disebut dalam kasus tindak pidana korupsi ditengarai terpilih lagi pada Pemilu 2014. Mereka akan melenggang kembali ke Senayan.

H

al itu membuktikan partai politik gagal melaksanakan fungsinya dalam mendidik masyarakat untuk mendorong munculnya politikus yang bersih. “Parpol tidak mengoptimalkan fungsi pendidikan politik, mempromosikan kader yang berkualitas untuk hadir dalam panggung publik. Jadi, masyarakat cenderung mencari pilihan ekonomis yang menyuguhkan sejumlah uang,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri. Menurut dia, sistem pemilu lebih mengedepankan faktor popularitas dan modal untuk mendulang suara. Hal tersebut diperparah dengan kondisi masyarakat yang belum terlalu melek untuk memilih wakil mereka di parlemen. “Masyarakat hanya melihat caleg yang mampu menjanjikan sejumlah uang dan yang namanya kerap mereka dengar.” Lima caleg petahana DPR daerah pemilihan (DP) Nusa Tenggara Timur 2 berpotensi kembali duduk di lembaga legislatif pada Pemilu 2014. Pasalnya, hingga kemarin, perolehan suara lima caleg tersebut jauh melampaui caleg lainnya. Dengan lolosnya lima caleg tersebut, DP NTT 2 menyisakan dua kursi lagi. Lima caleg tersebut,

yakni Fary Djemy Francis (Gerindra), Jefri Riwu Kore (Demokrat), Setya Novanto (Golkar), Herman Herry (PDIP), dan Saleh Husin (Hanura). Pengurus DPD Partai Golkar NTT Muhammad Ansor mengatakan Setya Novanto telah mengumpulkan 70 ribu suara. “Suara ini merupakan hasil penghitungan sesuai formulir C1, dan Golkar juga berpeluang merebut dua kursi DPR,” ujar Ansor. Nama Setya Novanto dan Herman Herry beberapa kali disangkutkan dengan sejumlah kasus. Bahkan, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah memasukkan keduanya di daftar 36 caleg bermasalah. Dalam kasus suap penambahan dana PON di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Setya Novanto yang menjabat ketua Fraksi Golkar di DPR RI disebut tersangkut permintaan “dana gondrong” sebesar 1,7 juta dolar AS. Dana itu sebagai fee sebesar 6% dari total anggaran penambahan dana PON Rp290 miliar ke APBN. Adapun Herman Herry pernah disebut dalam kasus simulator uji kendara di Korlantas Polri. Oleh saksi AKB Thedy Rismawan, Herman disebut menerima uang untuk memperlancar proyek simulator. Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin

Muhtadi mengatakan dua sistem ikut mendorong maraknya politik uang. Pertama, kata dia, sistem proporsional terbuka. “Kedua, di DP dengan jumlah kursi yang lebih banyak untuk diperebutkan marak terjadi money politics ketimbang DP yang kursinya sedikit,” ujarnya di Jakarta. (MI/U1)


Jeda

l

14 23 April 2014

Poros Tengah Diminta Utamakan Umat WACANA pembentukan koalisi partai berbasis Islam harus dibangun dalam platform untuk kepentingan kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan golongan tertentu.

P

endapat tersebut dikemukakan Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendukung terbentuknya koalisi partai Islam. “Koalisi atau kerja sama partai-partai Islam di Indonesia tujuan utamanya harus tetap untuk kemaslahatan umat atau bangsa Indonesia secara keseluruhan agar menjadi lebih baik,” kata Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU DIY Abdul Ghaffar di Yogyakarta. S e s u a i prespektif NU, imbuhnya, koalisi Partai Islam bukan persoalan untuk menunjuk atau mendukung capres tertentu, melainkan yang terpenting adalah memunculkan posisi tawar partai Islam dalam pengambilan kebijakan pada pemeri n t a h a n mendatang. “Apakah akan berkolaborasi dengan partai Islam atau partai nasionalis itu urusan partai. Yang penting dapat turut menentukan arah pembangunan Indonesia menuju yang lebih baik dan tetap berorientasi untuk menegakkan Pancasila sebagai dasar negara,” katanya.

Menurut Abdul Ghaffar, inisiatif penyatuan kehendak antarpartai Islam dengan sendirinya diharapkan memunculkan pandangan kriteria capres yang tepat untuk didukung. “Diharapkan dapat mengerucut pada pemimpin yang peduli terhadap kepentingan umat. Saya yakin partai berbasis massa Islam memiliki kepekaan untuk itu,” kata dia. Terpisah, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, menilai tindakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendesak agar parpol Islam dan berbasis massa Islam berkoalisi mengusung pasangan calon presiden dan calon wapres sendiri menyalahi aturan dan

kewenangannya dengan mencoba masuk ke wilayah politik praktis. “Sejarahnya, perjuangan umat Islam sudah memiliki porsi masing-masing. Misal, PPP dibentuk untuk memperjuangkan umat Islam di jalur politik praktis. Terlebih, perlakuan MUI dan ormas Islam yang meminta koalisi partai Islam ini jelas bersifat diskriminatif kepada partai nasionalis yang notabene diisi umat Islam

juga,” kata Ari. Manuver politik MUI, lanjutnya, sama saja seperti mengotak-ngotakkan umat Islam itu sendiri. Sentimen politik aliran yang berusaha dibangun MUI saat ini sama saja membuat kemunduran perjuangan politik di Indonesia. “Sejak Pemilu 2004 dan 2009 politik aliran sudah tidak mempunyai tempat di Indonesia, karena sudah bergeser pada politik kesejahteraan dan populisme. Lihat saja, ketika berbicara kampanye, partai Islam juga sudah tidak berbicara aliran, tapi kesejahteraan,” ujarnya. (MI/U1)


Pernik Pemilu

l

15 23 April 2014

Koalisi Pragmatis Hambat Pembangunan KOALISI yang ideal harus berdasarkan gabungan dari partai politik yang memiliki kesamaan visi dan misi serta platform. Salah satu contohnya ialah koalisi antara PDIP dan Partai NasDem yang mempunyai kesamaan ideologi, ingin memperkuat sistem presidensial.

gi kesalahan SBY dengan koalisi tenda besar.” Pakar politik Komarudin Hidayat mengatakan format dan kinerja koalisi seperti pada Kabinet Indonesia Bersatu II harus segera diakhiri. Menurutnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang

D

emikian diungkapkan pakar politik UGM Ari Dwipayana ketika dihubungi, beberapa waktu lalu. “Koalisi yang terbatas pada visi dan misi serta ideologi akan menghasilkan koalisi yang kuat. Keinginan PDIP dan Partai NasDem yang ingin memperkuat sistem presidensial dengan menolak bagi-bagi kursi di kabinet mempunyai konsep yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya,” kata Ari. Dia menilai idealnya partai-partai harus dituntut untuk melihat konsep koalisi yang ditawarkan. Praktik bagi-bagi kursi atau koalisi pragmatis yang dibentuk oleh parpol pengusung calon presiden akan berujung pada bagi-bagi kursi atau kekuasaan. “Contohnya ketika Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mendeklarasikan mendukung Prabowo sebagai capres Gerindra. Ini membuktikan bagi-bagi jatah kursi ke Suryadharma Ali sendiri, membuat konstelasi internal pecah dan artinya PPP akan menjadi bonekanya Gerindra,” kata Ari. Menurutnya, jika pada koalisi mengusung capres sudah diawali dengan konsep bagi-bagi kekuasaan, presiden terpilih akan tersandera oleh kepentingan koalisi. “Konsep Gerindra salah kaprah, mengulan-

d i p e r kuat koalisi pragmatis berakhir pada kinerja yang tidak produktif. “Kesannya bagi-bagi kursi, tapi kinerjanya tidak produktif,” kata Komarudin. Rektor UIN itu menyebutkan praktik korupsi serta kualitas pemerintahan yang tidak efektif mengakibatkan rakyat menghukum Partai Demokrat den-

gan perolehan suara pada pemilu legislatif kali ini turun drastis hingga 9%. Oleh karena itu, Komaruddin berharap kepada pemerintahan di masa depan menghadirkan kabinet yang benar-benar produktif melayani rakyat dan memajukan bangsa. “Syaratnya mesti yang memiliki kompetensi, integritas, dan orientasi kerja. Saatnya parpol membuktikan diri mereka berada dan aktif untuk negara. Jangan seperti pemerintahan SBY kemarin,” ujarnya. Samakan Pandangan Wasekjen Partai Golkar Tantowi Yahya mengatakan koalisi yang dibangun Golkar bersama partai politik lainnya akan berkaca dari pemerintahan sebelumnya. Menurut Tantowi, partai besar seperti Golkar dan PDIP memiliki platf o r m y a n g s a m a , y a i t u membangun kepentingan bangsa. “Saat ini parpol mulai menyampingkan yang namanya dagang sapi, juga tidak memberikan janji-janji kursi di kabinet. Hal itu perlu diapresiasi,” kata dia. Namun, lanjutnya, Golkar juga tidak bisa menyampingkan pragmatisme bagi yang ingin berkoalisi. Tantowi mengatakan salah satu penyebab terjadinya negosiasi alot yang terjadi antara satu parpol dan lainnya lantaran mereka menginginkan kompensasi politik, yaitu masalah jatah di kabinet. Menurutnya, idealisme berkoalisi terlihat seperti yang ditunjukkan Suryadharma Ali selaku ketua umum PPP. “Koalisi itu tanpa syarat. Benar-benar disampaikan secara langsung oleh Pak Suryadharma,” ujarnya. (MI/U1)


Geliat Antikorupsi

l

16 23 April 2014

Menahan Laju Politik Transaksional Demokrasi partisipatori yang ditandai kompetisi sehat antarcaleg/kandidat bisa buyar gara-gara elite yang tidak percaya diri menggunakan politik uang. Kini tren politik uang pada setiap pelaksanaan pemilu semakin meningkat.

I

ndonesia Corruption Wacth (ICW) mencatat pada Pemilu 1999 ditemukan sebanyak 62 kasus politik uang, meningkat menjadi 113 kasus pada Pemilu 2004 dan naik lagi menjadi 150 kasus pada Pemilu 2009. “Trennya terus naik. Pada Pemilu 2014, praktik politik ditaksir uang dua kali lipat lebih banyak daripada Pemilu 2009, yakni 313 kasus,” ujar peneliti ICW, saat penyampaian hasil pemantauan politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara di 15 provinsi, di Jakarta. Maraknya kasus politik uang tersebut, menurut Donald, mengancam kandidat yang memiliki kemampuan bagus karena bisa tumbang oleh kandidat yang mempunyai modal politik (uang) yang tinggi. Laporan ICW tersebut merupakan temuan lanjutan dari hasil yang telah disampaikan pada 6 April 2014. Temuan itu menyatakan terdapat 135 temuan pelanggaran pemilu. Pemantauan yang dilakukan ICW berlangsung 16 Maret hingga 9 April 2014, yaitu di Aceh, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan DKI Jakarta. Adapun empat fokus pemantauan yang dilakukan ICW, yaitu pemberian uang, pemberian barang, pemberian jasa, dan penggunaan sumber daya negara. Donald mengakui temuan ICW tersebut tidak mewakili praktik politik uang di Indonesia secara keseluruhan. Namun, temuan tersebut memperlihatkan gambaran umum praktik yang terjadi di 15 provinsi yang dilakukan oleh para kandidat dari partai politik. Deputi Direktur Eksternal Perludem Veri Junaidi yang hadir pada acara tersebut menambahkan politik uang

masih terjadi karena sanksi yang ada masih belum memberikan efek jera. “Karena itu, kita perlu mendorong proses penegakan hukumnya. Banyak laporan yang masuk ke Bawaslu, tapi hukuman yang ada tidak memberikan efek jera kepada pelakunya,” kata dia. Peran Parpol Di tempat terpisah, Ketua DPP Golkar Hajriyanto Thohari sependapat bahwa politik uang pada pemilu kali ini meningkat ketimbang pemilu sebelumnya. “Saya lihat politik uang semakin masif. Sekarang lebih terbuka tidak seperti dulu tertutup,” ujar Hajriyanto dalam diskusi MPR bertema Praktik money politics dalam Pemilu 2014 di Gedung DPR, Jakarta. Ia menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan politik uang semakin masif, salah satunya sistem pemilu yang terlalu personal dengan sistem proporsional terbuka. Sistem itu memaksa politikus bersaing meraih suara terbanyak dengan menghalal-

kan berbagai cara. Kemenangan partai menjadi nomor dua. Faktor lainnya ialah status ekonomi dan pendidikan masyarakat yang rendah sehingga memungkinkan terjadinya politik uang dengan negosiasi yang terbuka. Partai politik, menurut dia, harus bertanggung jawab akan gagalnya mengelola kader yang mestinya dapat melawan segala bentuk politik uang. “Partai harus turun mesin. Jika tidak dilakukan perbaikan perilaku internal, bisa tercipta delegitimasi terhadap parlemen di masa depan,” ujarnya. Adapun Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti tidak sependapat dengan politikus yang dalam beberapa kali kesempatan mengatakan politik uang ada karena rakyat. “Saya lihat politik uang bukan karena masyarakat lalu tradisi keluar uang itu terjadi. Ini akibat parpol ataupun caleg yang tidak percaya diri. Politik uang dengan sendirinya diciptakan oleh para elite,” kata Ray. (MI/U1)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.