EKRAF, No X / 20 Februari 2014 - 20 Maret 2014

Page 1

Memburu Keberadaan Tenun Bidak Galah Napuh Halaman. 8 No X / 20 Februari 2014 - 20 Maret 2014

Menghidupkan Kembali ‘Roh’ Tenun Ikat Bidak Galah Napuh LAMPUNG, provinsi paling selatan di Pulau Sumatera, ternyata menyimpan peninggalan budaya berupa tekstil (kain) yang beragam jenisnya. Saat ini sudah sepantasnya kita memperkenalkan kembali tekstil asli Lampung kepada generasi muda.

S

ejauh ini, kita hanya mengenal tapis, sulaman usus, kain maduaro, tenun ikat selinggang alam, dan sulam ulat yang saat ini sudah sangat dikenal di dunia luar (nasional dan internasional). Terutama tapis dan sulaman usus. Desainer Lampung, Raswan, mengatakan di Way Kanan juga ada kain tenun yang dikenal dengan bidak galah napuh. Bidak galah napuh keberadaannya saat ini memang perlu dilakukan konservasi agar tetap lestari. Mengingat, kata dia, saat ini banyak generasi muda yang sudah tidak lagi mengenal tenun ikat bidak galah napuh. “Sejarah perkembangan Lampung salah satunya diwakili oleh keberadaan kain, termasuk tenun ikat bidak galah napuh. Yang membedakan tenun ikat bidak galah napuh dengan tenun ikat inuh, kalau bidak galah napuh ada sungkit atau songket, sedangkan inuh tidak,” kata Raswan kepada Ekraf, Senin (17/2). Alumnus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Lampung 1990 yang concern terhadap tapis itu mengatakan ada beberapa hal yang membuat tenun ikat bidak galah napuh semakin hilang. Antara lain pembuatan tenun pada zaman penjajahan Jepang sempat dihentikan. Bahkan, jauh sebelumnya, saat agama Buddha dan Hindu tergeser, tenun ikat bidak galah napuh juga tersingkir dari Lampung. Raswan juga menjelaskan tenun ikat bidak galah napuh sudah dikenal masyarakat Lampung pada abad ke-2 SM, yaitu pada masa zaman kait dan kunci. Saat itu masyarakat Lampung memiliki penyongketan geometris dan bermotif hewan mitos. Misalnya, buaya putih atau burung hong yang merupakan simbol-simbol peradaban masa sebagai hewan pemujaan. Galah napuh sendiri, kata dia, berarti leher kancil belang-belang. Yaitu pusaka warisan leluhur di Way Kanan yang pada awalnya digunakan untuk upacara sakral pemujaan. Selain itu juga digunakan untuk penutup kematian, selikep atau selendang pengantin, dan kegiatan adat dan keagamaan lainnya. Mengapa bidak galah napuh perlu dilakukan konservasi? Raswan menjelaskan konservasi terhadap biduk galah napuh dilakukannya sejak 10 tahun lalu. Rujukannya ialah buku-buku dan barang-barang kuno milik orang asing. Dia pun melakukan percobaan demi percobaan agar komposisi dan bentuk asli dari tenun ikat itu tidak hilang. “Konservasi biduk galah napuh melalui percobaan demi percobaan yang sampai saat ini masih saya lakukan. Tujuannya agar komposisi dan bentuk aslinya tidak hilang,” ujarnya. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

Foto : Dok. Raswan Tapis


2 20 Februari2014

ekraf

Torial DAFTAR

Bidak Galah Napuh Kain Lampung, Khazanah Budaya

K

EKAYAAN kerajinan Lampung, khususnya tekstil, bukan hanya tapis dan sulaman usus. Khazanah budaya Lampung bidang tekstil banyak sekali, berupa kain tenun ikat yang ternyata sudah berusia ratusan tahun. Seperti tenun ikat selinggang alam dari Tulangbawang, tenun ikat inuh dari Lampung Selatan dan Lampung Barat. Kini, mulai diperkenalkan kembali tenun ikat bidak galah napuh yang berasal dari Kabupaten Way Kanan.

Lewat tangan dingin seorang Raswan, desainer dan juga peneliti kain khas Lampung, tenun ikat bidak galah napuh kembali menjadi incaran pemburu tekstil khas nusantara dari Lampung. Hasil penelusuran Raswan di daerah aslinya (Way Kanan), tenun ikat bidak galah napuh sama tuanya dengan tenun ikat inuh. Kedua kain itu dahulu hanya digunakan pada kegiatankegiatan sakral, seperti upacara adat tertentu atau penutup mayat. Dalam upacara adat, tenun ikat bidak galah napuh boleh digunakan laki-laki dan perem-

Lukman Hakim Wartawan Lampung Post

puan, walau hanya sebatas upacara adat. Namun, saat ini tenun ikat bidak galah napuh bisa dipakai siapa saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Tenun ikat tersebut sudah dikenal masyarakat Lampung pada abad ke-2 SM, yaitu pada masa zaman kait dan kunci. Saat itu masyarakat Lampung memiliki penyongketan geometris dan bermotif hewan mitos. Misalnya, buaya putih atau burung hong yang merupakan simbol-simbol peradaban masa sebagai hewan pemujaan. Galah napuh sendiri berarti leher kancil belang-belang, yaitu pusaka warisan leluhur di Way Kanan yang pada awalnya digunakan untuk upacara sakral pemujaan. Selain itu juga digunakan untuk penutup kematian, selikep atau selendang pengantin, serta kegiatan adat dan keagamaan lainnya. Tenun bidak galah napuh nyaris tak terdengar sebagai khazanah budaya Lampung. Bukan hanya di tingkat nasional, tapi juga di daerah asalnya sendiri. Bahkan, kaum muda Lampung sekarang banyak yang tidak mengenal kain tenun tersebut. Dengan dikembangkan dan diproduksinya kembali tenun ikat bidak galah napuh, kita berharap tidak hanya tapis dan sulaman usus yang dikenal masyarakat nasional dan internasional. Namun, tenun ikat bidak galah napuh diharapkan pula menandingi kemasyhuran tapis dan sulaman usus yang sudah sangat mendunia. Tidak mudah memang, tapi juga tidak sulit jika kita mau mengembangkannya. Apalagi tekstil khas Lampung itu sudah lama tidak lagi diproduksi, mengingat perajin terdahulu tidak mewariskan ilmunya pada generasi saat ini. Pada kenyataannya, memang dibutuhkan adanya peran pemerintah daerah dalam membantu pengembangannya agar hasil peninggalan budaya itu bisa dikenal sepanjang masa. Semoga. n

INFO Tanggamus Kembangkan Sektor Wisata

4

TRADISI Nyambai, Cara Pergaulan Muda-Mudi

5

TRADISIonal Senjata Tradisional Lampung

6

Fungsi dan Kegunaan Senjata Tradisional

7

CORAK Memburu Keberadaan Tenun Bidak Galah Napuh 8-9 WISATA Sumur 7, Wisata yang Dilupakan 10-11 galeri Kerajian Lampung

12

RESEP Ayam Cabai Hijau

13

ASRI Rumah Kayu di Zaman Modern

14-15

Direktur Utama: Raphael Udik Yunianto, Pemimpin Umum: Bambang Eka Wijaya. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Gaudensius Suhardi. Wakil Pemimpin Redaksi: Iskandar Zulkarnain. Pemimpin Perusahaan: Prianto A. Suryono. Dewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua), Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Suryopratomo, Toeti Adhitama, Usman Kansong. Redaktur Pelaksana: Iskak Susanto. Kepala Divisi Percetakan: Kresna Murti. Sekretaris Redaksi: M. Natsir. Asisten Redaktur Pelaksana: D. Widodo, Umar Bakti Redaktur: Hesma Eryani, Lukman Hakim, Muharam Chandra Lugina, Musta’an Basran, Nova Lidarni, Sri Agustina, Sudarmono, TriHudi Joko, Wiwik Hastuti, Zulkarnain Zubairi. Asisten Redaktur: Abdul Gofur, Aris Susanto, Isnovan Djamaludin, Iyar Jarkasih, Fadli Ramdan, Rinda Mulyani, Rizki Elinda Sary, Sri Wahyuni, Sony Elwina Asrap, Susilowati, Vera Aglisa. Liputan Bandar Lampung: Agus Hermanto, Ahmad Amri, Delima Napitupulu, Fathul Mu’in, Ricky P. Marly, Meza Swastika, Karlina April Sita, Surya Bakara, Wandi Barboy. LAMPOST.CO Redaktur: Kristianto. Asisten Redaktur: Adian Saputra, Sulaiman. Content enrichment Bahasa: Wiji Sukamto (Asisten Redaktur), Chairil, Kurniawan, Aldianta. Foto: Hendrivan Gumay (Asisten Redaktur), Ikhsan Dwi Satrio, Zainuddin. Dokumentasi dan Perpustakaan: Syaifulloh (Asisten Redaktur), Yuli Apriyanti. Desain Grafis redaktur: DP. Raharjo, Dedi Kuspendi. Asisten Redaktur: Sugeng Riyadi, Sumaryono. Biro Wilayah Utara (Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat): Mat Saleh (Kabiro), Aripsah, Buchairi Aidi, Eliyah, Hari Supriyono, Hendri Rosadi, Yudhi Hardiyanto. Biro Wilayah Tengah (Lampung Tengah, Metro, Lampung Timur): Chairuddin (Kabiro), Agus Chandra, Agus Susanto, Andika Suhendra, Djoni Hartawan Jaya, Ikhwanuddin, M. Lutfi, M. Wahyuning Pamungkas, Sudirman, Suprayogi. Biro Wilayah Timur (Tulangbawang, Mesuji, Tulangbawang Barat): Juan Santoso Situmeang (Kabiro), Merwan, M. Guntur Taruna, Rian Pranata. Biro Wilayah Barat (Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran): Sayuti (Kabiro), Abu Umarly, Erlian, Mif Sulaiman, Widodo, Heru Zulkarnain. Biro Wilayah Selatan (Lampung Selatan): Herwansyah (Kabiro), Aan Kridolaksono, Juwantoro, Usdiman Genti. Kepala Departemen Marcomm: Amiruddin Sormin. Senior Account Manager Jakarta: Pinta R Damanik. Senior Account Manager Lampung: Syarifudin Account Manager Lampung: Edy Haryanto. Manager Sirkulasi: Indra Sutaryoto. Manager Keuangan & Akunting: Rosmawati Harahap. Harga: Eceran per eksemplar Rp3.000 Langganan per bulan Rp75.000 (luar kota + ongkos kirim). Alamat Redaksi dan Pemasaran: Jl. Soekarno Hatta No.108, Rajabasa, Bandar Lampung, Telp: (0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi). Faks: (0721) 783578 (redaksi), 783598 (usaha). http://www.lampungpost.com e-mail: redaksi@lampungpost. co.id, redaksilampost@yahoo.com. Kantor Pembantu Sirkulasi dan Iklan: Gedung PWI: Jl. A.Yani No.7 Bandar Lampung, Telp: (0721) 255149, 264074. Jakarta: Gedung Media Indonesia, Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp: (021) 5812088 (hunting), 5812107, Faks: (021) 5812113. Penerbit: PT Masa Kini Mandiri. SIUPP: SK Menpen RI No.150/Menpen/SIUPP/A.7/1986 15 April 1986. Percetakan: PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno - Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan. DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, ­WARTAWAN LAMPUNG POST DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ­MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN.


3 20 Februari2014

ekraf

Tabik Pun

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkab Tanggamus

Prioritaskan Pengembangan Wisata Way Lalaan

P

EMERINTAH Kabupaten Tanggamus, melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora), menyusun rencana induk pengembangan pariwisata daerah (Rippda) dalam program tahun 2014 ini. Dalam Rippda tersebut terangkum seluruh potensi wisata yang ada di kabupaten ini dan rencana pengembangannya. Plt. Kepala Disbudparpora Tanggamus Supardi Syarkawi menjelaskan pembangunan wisata adalah urusan pilihan yang paling mendasar dan Rippda akan digunakan sebagai pedoman pengembangan pariwisata di Tanggamus. Rippda akan mencacah atau mendata seluruh potensi wisata yang ada, baik itu wisata alam atau wisata buatan. “Semuanya akan disusun dan muaranya akan dibuatkan dalam peraturan daerah (perda),” ujarnya, Kamis (13/2). Langkah selanjutnya, kata dia, pihaknya akan berupaya mengusulkan pembuatan perda retribusi wisata melalui tahap penyesuaian agar tidak melanggar hukum yang berada di atasnya. Perda retribusi wisata ini akan diterapkan di tempat-tempat wisata yang telah dilakukan pengembangan oleh pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan angka pendapatan asli daerah (PAD). “Keduanya sudah masuk program legislasi daerah (Prolegda). Kami sangat berharap dukungan dari seluruh elemen

masyarakat, terutama pemerintahan daerah, agar bisa sinergi dalam penyusunan rancangan peraturan daerah (raperda) ini,” kata Supardi. Terkait prioritas pengembangan wisata, Disbudparpora Tanggamus akan mencoba menuntaskan kawasan wisata air terjun Way Lalaan yang memiliki luas lahan sekitar 4,5 hektare. Selain itu, hal ini dikarenakan objek wisata tersebut adalah salah satu potensi wisata milik Tanggamus yang mudah dijangkau warga. Rencana pengembangan objek wisata Way Lalaan telah digarap sejak 2013 lalu. Pengembangan ini akan diusulkan pada 2015, meliputi pembuatan kolam renang, wahana outbound, camping ground (lokasi perkemahan), kid park (taman bermain anak), cottage, restoran, balai adat, toko-toko suvenir, dan pembangunan jembatan gantung. Kolam renang yang akan dibangun sesuai dengan standar nasional tipe B berukuran 25 meter x 15 meter dan memiliki kedalaman 1,2 meter. “Kolam renang tersebut bila sudah selesai dibuat juga dipergunakan untuk pembinaan atlet olahraga renang dari Tanggamus. Pembangunannya akan dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Sementara sumber dananya kami berharap bisa diperoleh dari APBN, APBD, dan pihak ketiga atau investor,” kata dia. Menyinggung kawasan wisata Teluk Kiluan yang berada di Kecamatan Kelumbayan, Supardi menerangkan objek wisata tersebut telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi sebagai salah satu dari tujuh wisata unggulan Lampung. Satu lagi dari kabupaten ini yang dinyatakan sebagai wisata unggulan adalah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. “Sepertinya Pemerintah Provinsi yang lebih berkonsentrsi untuk ekowisata. Kami juga tidak akan tinggal diam dan akan ikut serta membina pengelolaannya melalui pembentukan kelompok sadar wisata,” ujarnya. (ABU UMARALI/KRAF)


4 20 Februari2014

ekraf

Info

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkab Tanggamus

Tanggamus Kembangkan Sektor Wisata GUNA memajukan sektor pariwisata Tanggamus, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Tanggamus mulai menyusun rencana induk pengembangan pariwisata daerah (Rippda).

K

epala Disbudparpora Tanggamus Supardi Syarkawi, didampingi Kabid Destinasi dan Pariwisata Marhasan Samba, menjelaskan Rippda adalah dasar-dasar pengembangan wisata di daerah serta uraian satu per satu rencana pelaksanaan objek wisata. “Berisi rencana kami terhadap seluruh objek-objek wisata yang berpotensi di daerah ini dan untuk menggambarkan objek tersebut akan dibuat seperti apa,” kata dia di ruang kerjanya, Selasa (28/1). Selain itu, Rippda adalah salah satu syarat untuk meminta dana alokasi khusus (DAK) dan tugas perbantuan (TP) di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Selama ini dinas tersebut belum pernah menyusun Rippda dan apa sedang kami kerjakan ini bisa dipergunakan hingga 15 tahun ke depan.” Supardi mengaku Disbudparpora akan menyiapkan perangkat-perangkat yang akan dibutuhkan dalam pengembangan objek-objek wisata daerah, termasuk objek wisata yang selama ini masih dikelola oleh masyarakat atau swadaya. “Kami akan buat kesepakatan-kesepakatan, bagaimana pemerintah daerah akan menarik retribusi jika belum menyentuh dengan bantuan,” kata dia. Rippda Tanggamus memprioritaskan objek wisata Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Teluk Kiluan yang berada di Kecamatan Kelumbayan. Hal ini karena dua objek wisata itu sudah menjadi objek wisata tingkat provinsi bahkan nasional. “Rippda dijadikan pedoman kami ke depan karena TNBBS dan Teluk Kilaun masuk wilayah kami, kewenangaan kami juga untuk mempromosikan,” kata dia. Selain itu, perlu juga diketahui kalau faktor keamanan di Tanggamus dewasa ini sudah kondusif. Para wisatawan diharapkan untuk tidak merasa khawatir ketika sedang berwisata ke daerah ini karena Disbudparpora juga telah ikut membina warga sekitar objek wisata untuk menjaga kenyamanan para pelancong. “Keamanan adalah salah satu faktor yang seharusnya dimiliki oleh setiap kawasan wisata,” ujar dia. (ABU UMARALI/KRAF)


5 20 Februari2014

ekraf

Tradisi

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Nyambai, Cara Pergaulan Muda-Mudi

B

UDAYA merupakan nilai-nilai luhur yang menjaga dan membawa hidup manusia lebih bermartabat. Terdapat garis yang menegaskan hitam dan putih dalam bermasyarakat, termasuk pergaulan muda-mudi. Dalam budaya Lampung Saibatin, acara tersebut salah satunya nyambai pada marga Liwa. Pada acara perkenalan, kelompok mekhanai dan muli serta tuan rumah (baya) dan tamu (kori) dipisahkan. Selain itu, perkenalan dilakukan melalui pantun dan surat-menyurat. Budaya nyambai biasanya dilaksanakan pada acara-acara nayuh, tepatnya pada malam sebelum resepsi. Kegiatan tersebut digunakan untuk mengisi waktu sembari muli-mekhanai dari pihak baya menyelesaikan peralatan yang akan dipakai dalam resepsi esok harinya. Sore hari dipakai para orang tua untuk menggelar dziker, setelah mereka selesai dan muli-mekhanai baya juga selesai membereskan peralatan, barulah dimulai acara nyambai. Acara dimulai dengan pembukaan oleh “kepala� mekhanai di kampung tempat nayuh digelar. Baru kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari dan

pantun penyambutan dari pihak baya. Robikum ya robikum, robikum sholialam Robikum ya robikum, robikum sholialam Assalamu alaikum, assalamu alaikum Mula kata ku salam (Artinya: Robikum ya robikum, robikum sholialam. Assalamualaikaum, awal mula kata dari kori untuk memberi salam) Biasanya pantun seperti itu didendangkan kelompok mekhanai atau muli baya menyapa para tamutamunya dalam nyambai. Hal itu menjadi bentuk penerimaan dan terima kasih mereka atas kehadiran para kelompok muli-mekhanai dari pihak baya atau juga kampung sekitar. Kelompok itu terus menari dan berpantun yang biasanya berisi tentang terima kasih sampai permohonan maaf jika dalam penyambutan tidak berkenan. Selain itu, mereka mengajak para tamu bersukaria dalam acara itu, jangan sampai ada keributan. Sembari kelompok itu terus berpantun, panitia lainnya mulai membagikan kertas sebagai alat saling sapa antarpeserta yang hadir. Atau juga perkenalan dan hasrat ingin lebih dekat, biasanya surat diawali tulisan para mekhanai. Untuk pengantar surat itu,

panitia menunjuk sepasang kurir yang mengambil surat. Bait pantun demi pantun dari kelompok baya terus dikumandangkan sembari diiringi tabuh terbang. Setelah berakhir sajian tari dan pantun dari kelompok itu, disusul kelompok kori. Biasanya pantun berisi terima kasih telah disambut.

Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam Buah ni jambu batu, dibatok di lom talam Sambutanni ti halu, sambutanni ti halu manjak kon hati sekam (Artinya: Buahnya jambu batu, ditaruh di dalam nampan. Sambutannya yang diterima membuat hati senang) Setelah selesai kelompok baya, barulah kelompokkelompok muli-mekhanai undangan dari kampungkampung dipersilakan nengah atau menari dan berpantun di tengah lingkaran. Secara bergiliran kelompok-kelompok itu terus bersahutan nengah. Untuk yang kelompok mekhanai juga biasanya disisipkan pantun yang bunyinya merayu seorang muli yang berada di lingkaran arena itu. (MUSTAAN/KRAF)


6 20 Februari2014

ekraf

Tradisional

Senjata Tradisional Lampung DAERAH Lampung banyak memiliki peninggalan budaya yang sampai sekarang masih banyak kita jumpai di tengah masyarakat. Pada zaman dahulu masyarakatnya memiliki kebiasaan untuk mempertahankan hidup, yaitu dengan cara berburu atau mengerjakan hal lain dengan menggunakan alat.

A

lat yang digunakan biasanya terbuat dari batu, tulang, atau benda-benda dari alam sekitar yang dapat digunakan demi kelangsungan hidupnya. Alat-alat yang biasa digunakan untuk berburu disebut juga sejata. Senjata itu sendiri dalam penggunaannya sudah berlangsung sejak zaman prasejarah hingga saat ini. Lampung, sebagai bagian daerah di Indonesia, juga mempunyai senjata tradisional. Penggunaan senjata tradisional di Lampung sama tuanya dengan penggunaan senjata tradisional di daerah lain. Bahkan, sampai saat ini, penggunaan senjata tradisional bukan hanya dilakukan masyarakat di perdesaan atau pedalaman. Di kota pun banyak kita jumpai masyarakat yang masih menggunakan senjata tradisional untuk beragam keperluan. Di Lampung, sebuah senjata dapat digunakan untuk beragam hal, misalnya, yang banyak kita jumpai adalah senjata tradisional keris yang biasa digunakan dalam acara-acara adat, seperti pesta perkawinan. Masyarakat Lampung menyebut keris dengan nama pundut atau tekhapang. Pada pertunjukkan pencak silat senjata tradisional, termasuk keris, juga biasa digunakan sebagai alat berkesenian. Biasanya pula, orang yang menggunakan keris atau senjata tradisional lainnya akan menunjukkan kepiawaiannya menggunakan senjata guna mengekspresikan kegagahan dan kejantanan. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung


7 20 Februari2014

ekraf

Tradisional

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Fungsi dan Kegunaan Senjata Tradisional

S

AAT ini, banyak pula masyarakat yang menempatkan senjata tradisional sebagai benda pusaka yang biasa disimpan di tempat tertentu atau dijadikan pajangan di dalam rumah. Namun, bila senjata itu dijadikan benda pusaka, biasanya diletakan di tempat yang tinggi sebagai penghormatan dan tidak mudah dijangkau. Daerah paling selatan Pulau Sumatera ini, sebagai sebuah daerah yang memiliki banyak peninggalan budaya juga mempunyai beragam benda atau senjata tradisional. Misalnya, tombak (payan), tombak pendek (payan buntak), dan tombak panjang (payan kejang). Dahulu, benda itu digunakan sebagai alat untuk berburu, sebagai perlengkapan upacara adat, ataupun sebagai benda religi. Berbagai bentuk senjata yang kita kenal selama ini, pun dibedakan menurut fungsinya, yaitu sebagai senjata potong, senjata tusuk, dan senjata lempar atau senjata penolak. Jika dilihat menurut kegunaan di lapangan, senjata bisa digunakan untuk berburu, alat kerja, berperang, dan sebagainya sesuai tuntutan kehidupan sehari-hari masyarakat yang menggunakannya. Apa pun fungsi dan kegunaannya, senjata adalah hasil teknologi yang dibuat manusia pada zamannya, yang dapat digunakan sesuai dengan tantangantantangan yang dihadapi, terutama untuk mempertahankan hidup dan mempersenjatai diri dari ancaman luar. Senjata-senjata Tradisional Lampung 1. Kapak putil, terbuat dari besi baja, dengan mata kapak pipih. Biasanya digunakan untuk membelah kayu. 2. Kapak penuar, terbuat dari besi baja, untuk memotong kayu 3. Sumpit/Spuk, terbuat dari bambu, untuk ber buru burung 4. trisula/serapang, terbuat dari besi, untuk ber buru binatang besar (babi hutan atau rusa) 5. Golok, terbuat dari besi baja, untuk senjata perang 6. Cabang, terbuat dari besi, untuk mempertahankan diri 7. Badik, terbuat dari besi baja, digunakan sebagai senjata 8. Tombak, terbuat dari besi, untuk upacara adat atau untuk berburu 9. Keris, terbuat dari kuningan berlekuk lima, sebagai benda pusaka (di masyarakat Lampung, keris ada juga yang berlekuk sembilan atau berlekuk tujuh). 10. Pedang, terbuat dari besi dan digunakan sebagai senjata (Banyak beragam bentuk pedang yang dikenal di Lampung).


8 20 Februari2014

ekraf

Corak

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Tenun Bidak Galah Napuh

R

ASWAN mengatakan tenun ikat bidak galah napuh memang sudah diperkenalkan kembali ke khalayak saat Seminar Internasional Seni Tradisional Lampung yang membahas alat musik gamolan oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL), beberapa waktu lalu. Kain bidak galah napuh, kata dia, yang merupakan kain khas masyarakat Way Kanan, saat ini usianya sudah mencapai ratusan tahun. Dia juga menjelaskan Lampung memang kaya akan peninggalan benda-benda kesenian bersejarah, termasuk tekstil (kain). Begitu kayanya, beberapa di antaranya terlupakan, termasuk kain bidak galah napuh. Raswan, yang juga ketua Yayasan Tenun Peduli Tradisional Lampung, menjelaskan setelah melakukan berbagai percobaan dan penelitian, dia baru bisa membuat kain bidak galah napuh tersebut. Dia pun menemukan motif aslinya hingga teknik pembuatannya. Info tentang bidak galah napuh dan teknik pembuatannya dia dapatkan dari beberapa buku Indonesia Tekstil dan cerita orang-orang tua di Way Kanan. Raswan mengakui banyak kendala dalam pengembangan

Foto : Dok. Raswan Tapis

dan memperkenalkan kembali tenun ikat bidak galah napuh. Bahkan, saat mencari keberadaan kain itu pun cukup sulit. Selain karena motif asli kain itu sudah tidak bisa ditemukan lagi di tempat asalnya, yakni Kabupaten Way Kanan, masyarakat yang memiliki kain peninggalan orang tuanya dulu juga tidak banyak. Namun, usaha Raswan mendapatkan bidak galah napuh membuahkan hasil. Melalui seorang teman yang juga kolektor benda-benda antik, yang tinggal di Jakarta, dia pun akhirnya menemukan kain itu dan mendapatkan contoh motif bidak galah napuh. “Itu pun tidak boleh dipinjam. Saya hanya boleh memfoto kain itu,� kata Raswan. Selain kesulitan menemukan kain asli dan motifnya, ia harus mengecek apakah benar motif tersebut merupakan asli dari tenun ikat bidak galah napuh. Bentuk aslinya berbentuk simetris dengan ciri khas bintik-bintik putih, seperti leher kancil dan geometris. “Cukup lama saya melakukan obeservasi. Saya harus tahu dulu apakah tenun yang saya dapatkan adalah kain asli, bagaimana motif aslinya, dan benarkan kain itu asli dari Lampung,� kata dia. (LUKMAN HAKIM/KRAF)


9 20 Februari2014

ekraf

Corak

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Diperlukan Perajin Andal S ETELAH malang melintang melakukan penelitian kain tenun ikat bidak galah napuh, Raswan mulai memproduksi kain tersebut. Bahkan, sudah banyak pemesan kain tenun tersebut dari hasil perajinperajin yang dibinanya. Namun, kata dia, mencari sumber daya manusia (SDM) untuk membuat kain tenun itu sangat sulit. Terlebih, karena rumitnya pembuatan tenun itu, memang sangat dibutuhkan tangan-tangan terampil. Apalagi, tenun itu merupakan penggabungan tenun inuh dan songket sehingga dibutuhkan keterampilan khusus dalam membuatnya. Dia menjelaskan bidak galah napuh adalah kain yang tidak banyak orang memilikinya. Kain itu dahulu digunakan sebagai pakaian adat dari Kabupaten Way Kanan, sebagai pakaian pengantin laki-laki, atau sebagai selingkep (penutup badan) laki-laki. Kain itu juga biasa digunakan untuk penutup mayat. Namun, dengan tangan dingin Raswan, saat ini kain tenun bidak galah napuh bisa dibuat beragam busana, baik itu dibuat kemeja maupun busana wanita. Bahkan, tenun ikat itu bisa juga dibuat tapis yang berciri khas Way Kanan, berupa bintang-bintang. Raswan juga mengatakan tenun ikat bidak galah napuh sama tuanya dengan tenun inuh dan merupakan kain tertua asli Lampung. Jika tenun ikat inuh berasal dari Lampung Barat, tenun ikat bidak galah napuh berasal dari Way Kanan. Tenun ikat bidak galah napuh dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Dengan alat ini pembuatan kain tenun itu bisa lebih cepat. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

Foto : Dok. Raswan Tapis


10 20 Februari2014

ekraf

Wisata

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Kota Bandar Lampung

Sumur 7, Wisata yang Dilupakan

‘PEMANDIAN Sumur 7’, begitu nama yang tertera pada bangunan tembok bercirikan warna keemasan yang diresmikan Wali Kota Bandar Lampung setelah beberapa bulan menjabat wali kota terpilih pada 2010. Suasana hening begitu terasa melingkupi daerah yang dihuni beragam masyarakat ini. Memasuki wilayah ini, terlihat sekali bagaimana rumah warga yang berimpitan dan berdesakan. Jalurnya bisa diambil dari Jalan Cipto Mangunkusumo dan juga Jalan Agus Salim. Yang menarik, seakan disusun sedemikian rupa, jalan menuju pemandian itu dibuat naik turun dan berundak-undak bagai sebuah tangga. Ke pemandian Sumur 7, kita akan dibuai seperti menuruni sebuah goa yang terjal. Alfin (37), pengurus pemandian Sumur 7, di Kampung Kupangteba, Telukbetung Utara, Bandar Lampung, mengungkapkan dari penuturan

orang tua dahulu, wilayah Sumur 7 ini adalah hutan belantara. Sumur 7 sendiri dibuat oleh Wali Samin. Ia menegaskan Wali Samin adalah seumpama kiai di masa sekarang. Tidak ada kaitan dengan Samin Suriosentiko, tokoh pemberontak dari Blora serta Wali Songo. “Dari penuturan orang-orang tua dulu buatnya menggali sumurnya menggunakan tangan. Kalau yang disemen itu untuk mencegah anak-anak yang sering bermain air,” kata Alfin, beberapa waktu lalu. Dia juga mengungkapkan dulu sumur itu tidak sebesar seperti sekarang. Sumur ini berdiri semasa zaman kolonial Belanda. Saat itu kondisi airnya kering. Sumur 7 fondasinya pernah diperbaiki Sjachrazad Z.P., adik Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. pada 2009. (WANDI BARBOY/KRAF)

Foto : Hendrivan Gumay


11 20 Februari2014

ekraf

Wisata

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Kota Bandar Lampung

Anak Cabang dari Banten D

I era kepemimpinan Herman H.N., kawasan itu pun dipugar dan diresmikan sebagai salah satu kawasan wisata di Kota Bandar Lampung. Sejak saat itu, setiap hari ada wisatawan yang datang ke kawasan bersejarah bagi Kota Bandar Lampung. Wisatawan atau warga Bandar Lampung datang untuk sekadar mandi, mencuci atau melihat keunikan pemandian Sumur 7 itu. “Ada saja warga yang datang ke sini. Kebanyakan pendatang. Bahkan, ada yang dari China mandi di sini,” kata Alfin. Dia menjelaskan para pendatang juga warga sekitar, ada saja yang sekadar mengambil air dengan membawa botol, jeriken, dan lainnya untuk merasakan khasiat air Sumur 7. Lia, warga setempat, mengatakan ke Sumur 7 untuk mencuci. Sedang Herman, paman Alfin, mengungkapkan bahwa dia bekerja sebagai petugas yang membersihkan dan merawat Sumur 7 tidak menarik biaya kepada para pengunjung. “Ya kami tidak menarik biaya. Dikasih syukur, tidak dikasih ya ikhlas,” kata dia. Alfin bersama pamannya hanya ingin melestarikan pemandian Sumur 7 karena nenek moyangnya pernah ditinggal di sini. Sumur itu, kata Alfin, ibarat perusahaan adalah anak cabang dari Sumur 7 di Pandeglang, Banten. Dari penuturan orang tua dulu juga ada kaitannya dengan Banten. Dia berharap ada sebuah plang nama di depan jalan menuju arah pemandian Sumur 7. (WANDI BARBOY/KRAF)

Tentang Sumur 7 - Panjang sumur 7-10 meter - Lebar 5 meter - Banyak masyarakat yang datang mengambil air karena dipercaya untuk pengobatan, enteng jodoh, rezeki, karier, dan lainnya, teru tama di bulan Sura dan Maulud, dan hari besar lainnya. - Kawasan itu bisa ditempuh melalui - Jalan Cipto Mangunkusumo - Jalan Agus Salim, Gang Melati 1, RT 30, Lk II, Kupangteba, Telukbetung Utara, Bandar Lampung

Foto : Hendrivan Gumay


12 20 Februari2014

ekraf

Galeri

Raswan Tapis

nDokumen

Harga Konfirmasi


13 20 Februari2014

ekraf

Resep

Ayam Cabai Hijau Khas Lampung LAMPUNG, selain dikenal dengan kerajinan khasnya, juga dikenal dengan beragam kulinernya di kalangan masyarakat Indonesia. Ayam cabai hijau merupakan masakan tradisional khas Indonesia. Masakan ini dapat kita temukan di berbagai daerah, salah satunya adalah di Lampung. Resep dan cara pengolahan ayam cabai hijau khas Lampung tidak jauh beda dengan yang lain. Masakan ayam cabai hijau Lampung ini sudah populer di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Lampung. Aroma cabai hijau dan rasa pedas membuat masakan ayam cabai hijau khas Lampung ini diminati banyak orang. Memang tidak diketahui secara pasti kapan masakan ini populer di Lampung. Namun, sebagai masakan khas, di beberapa kegiatan pesta masakan ini juga sering dijumpai untuk disajikan kepada tamu atau keluarga. Bahan Ayam Cabai Hijau - 1—2 lembar daun jeruk nipis - 1 ekor ayam, dipotong menjadi 10—12 bagian - 1 sendok makan air jeruk nipis - 1 sendok teh garam dapur - 2 buah asam kandis - 2 siung bawang putih, diparut - 4 buah tomat hijau, diiris tipis - 75 gram tekokan, dibersihkan - 100 mililiter air - Minyak goreng untuk menumis bumbu dan menggoreng ayam Bumbu yang Dihaluskan 1/2 cm jahe 1/2 cm lengkuas 1/2 sendok teh merica butir 2 butir kemiri 2 sendok teh garam dapur 6 butir bawang merah 10 buah cabai hijau Cara Membuat Pertama-tama, lumuri ayam menggunakan bawang putih, air jeruk nipis, dan garam hingga rata. Kemudian, goreng ayam ke minyak panas hingga setengah kering. Lalu angkat dan tiriskan. Selanjutnya, panaskan minyak goreng dan tumis bumbu halus hingga layu. Masukkan asam kandis, tekokan, tomat hijau, lalu aduk hingga layu. Terakhir, masukkan ayam yang sudah digoreng setengah matang dengan ditambahkan 100 ml air. Masak kembali dan aduk hingga bumbu meresap. Angkat dan ayam cabai hijau siap disajikan. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

Foto : Hendrivan Gumay


14 20 Februari2014

ekraf

Asri

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: PemdaLampung Barat

Rumah Kayu di Zaman Modern MEMBANGUN rumah panggung atau rumah tradisional yang masih banyak dijumpai di daerah perdalaman ternyata tidak seperti membangun rumah tembok/beton yang lebih simpel dan mudah dibentuk.

B

angunan rumah panggung atau yang sering disebut dengan rumah bernuasa budaya/adat itu juga tidak bisa dilakukan dengan banyak pilihan model atau bentuk. Seperti model kosen, pintu, jendela, dan sebagainya yang dikarenakan arsitekturnya mengikuti alur kayunya. Namun, hal itu berbeda dengan rumah panggung yang dimiliki pasangan Fahir Hemmi (40) dan

istrinya, Dewi Suraya (38), di Jalan Sumbailima 1, Lingkungan Sukamulyo, Kelurahan Way Mengaku, Balikbukit, Lampung Barat. Fahmi menuturkan rumah panggung miliknya itu dibangun pada 2009 berukuran 10,5 meter x 19,5 meter. Bangunan rumahnya itu menghabiskan 97 kubik kayu bayur dan kayu damar. Biaya membangun rumah panggung ini juga cukup mahal karena semua kayu diprofil. Upahnya saja saat itu mencapai Rp150 juta, biaya itu belum termasuk kayu,hanya material dan upah tukang. Fahir mengatakan dia bersama istrinya membangun rumah panggung ini di samping senang dengan keberadaan rumah panggung, juga karena semua bahan kayu yang dibutuhkan untuk membangun rumah sudah disiapkan oleh orang tua. Untuk kayu tidak ada yang beli karena semuanya sudah ada, tinggal menggeseknya saja. Kayu damar diambil dari kebun orang tua yang umurnya juga sudah ratusan tahun tanpa diambil getahnya. Kemudian, bayurnya diambil dari kebun mertua.

Dia yakin rumah miliknya itu walaupun terbuat dari kayu, daya tahan bangunan bisa mencapai 80 tahun bahkan lebih. Sebab, kayu yang digunakan sengaja dipilih kayu yang sudah tua yang ditebang dari kebun orang tua dengan umurnya juga sudah ada yang mencapai ratusan tahun. Untuk kayu damar yang digunakan, kata dia, tidak diragukan lagi untuk daya tahannya. Sebab, umurnya sudah mencapai ratusan tahun yang merupakan warisan atau peninggalan kakek dari kakeknya. Ketahanan kayu damar yang digunakannya juga diyakini lebih tahan lama dibanding ketahanan kayu damar yang biasa digunakan orang, yang dapat dibeli di panglong, terutama yang berasal dari daerah Krui. Alasannya, kayu damar yang digunakannya tidak pernah diambil getahnya serta umurnya cukup tua. Sementara kayu damar yang dijual di panglong atau dari daerah Krui rata-rata sudah diambil getahnya sehingga jika digunakan untuk bahan bangunan, daya tahanya masih diragukan. (ELIYAH/KRAF)

Foto : Eliyah


15 20 Februari2014

ekraf

Asri

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemda Lampung Barat

Lebih Hangat dari Rumah Tembok

S

EMENTARA untuk bayur, kata Fahir, umurnya juga sudah mencapai 40 tahun lebih yang juga tanaman peninggalan dari orang tua yang sengaja dipelihara untuk persiapan membangun rumah bagi anak-anaknya. Agar bangunan ini lebih kuat, kata dia, tiang rumah dibuat dari beton/semen disertai besi. Kalau untuk tiang dibuat khusus dari semen yang dicor dari dalam tanah dan diikat dengan besi. Ini untuk menghindari pergerakan tanah karena Liwa merupakan daerah rawan gempa. Untuk kayunya, baik dinding, plafon, lantai, dan kayu lainnya, diolesi dengan oli menggunakan kuas. Olinya juga baru. Ini dimaksudkan agar daya tahan kayunya lebih lama karena tidak dimakan rayap. Fahir mengaku rumah panggung walaupun dinilai sudah ketinggalan zaman, di hatinya masih sangat istimewa. Sebab, tinggal di dalamnya lebih hangat ketimbang rumah tembok. Selain karena persediaan kayunya banyak dan masih senang dengan keberadaan rumah panggung, membangun rumah panggung juga karena masih atas keinginan dari orang tua yang telah

Foto : Eliyah

memberikan dukungan dengan menyediakan bahan baku kayu. Menurut dia, rumah panggung miliknya itu penampilannya sedikit berbeda dengan rumah panggung biasanya. Seluruh kosen, baik pintu maupun jendela, sengaja dibuat secara melengkung menyerupai kosen rumah bentuk tembok. Rumah panggung yang memiliki kosen bentuk melengkung seperti ini hanya satu-satunya yang ada di Liwa, yaitu rumah panggung miliknya. Kosen yang dibentuk melengkung ini, kata dia, sebenarnya hanya meniru kosen model rumah tembok. Namun, saat memasangnya, tukang pun merasa kesulitan karena belum pernah membuat rumah panggung yang kosennya melengkung. Layaknya rumah panggung lainnya, rumah panggung miliknya tepat di bagian depan, samping kiri dan belakang diberi berenda (teras) untuk tempat duduk. Atap di setiap bagian ujung bangunan sengaja dipasang hingga mencapai 2 meter. Hal itu karena untuk menghindari cucuran air hujan mengenai rumah, yang dimaksudkan agar kayu bangunan tidak basah. (ELIYAH/KRAF)


16 20 Februari2014

ekraf

Industri

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkab Lampung Barat

Mencicipi Kopi Luwak, Mampir ke Ratu Luwak Liwa

B

AGI Anda penyuka kopi, terutama yang masih penasaran dengan aroma dan rasa kopi luwak, yaitu minuman kopi yang berasal kopi kotoran musang, lalu diolah menjadi minuman, tidak ada salahnya jika saat berkunjung ke Liwa meluangkan waktu mampir di sentra kopi Luwak. Salah satunya, kopi produk Ratu Luwak Liwa di Gang Pekonan, Kelurahan Way Mengaku. Sejak beberapa tahun ini, keberadaan kopi luwak mulai dikenal di berbagai daerah hingga ke mancanegara. Produk kopi luwak yang banyak berasal dari Liwa. Namun, sangat disayangkan Liwa sebagai produksi kopi Luwak, namanya belum begitu menggaung. Ada belasan pengusaha kopi luwak di Liwa, tetapi kopi luwak yang dihasilkan industri rumahan ini sifatnya masih tradisional, yaitu masih berupa kopi bubuk asli. Pembelinya pun sebagian besar merupakan kalangan atas yang disebabkan harganya mahal. Siang itu, Lampung Post menemui pemilik industri rumahan Kopi Ratu Luwak, Sapri (42), di rumahnya. Seperti tamu lainnya, pemilik rumah pun menawarkan secangkir kopi yang sudah diseduh dan siap diminum. Sayangnya, karena memang tidak biasa menyeruput kopi membuat sulit membedakan citarasa antara kopi luwak dan kopi biasa. Membedakan citarasa kopi itu tentunya membutuhkan lidah orang yang biasa minum kopi. Sang pemilik rumah pun melanjutkan obrolan bahwa kopi luwak memiliki banyak perbedaan bahkan khasiat dibanding dengan kopi biasanya. Kopi luwak juga baik untuk diminum bagi mereka yang tidak biasa meminum kopi karena tidak memiliki efek samping. Kopi luwak dapat meningkatkan stamina, baik dikonsumsi bagi orang sakit mag maupun lainnya. Sapri menjelaskan kopi luwak produk Ratu Luwak bukan

sekadar merek dagang, melainkan sesungguhnya diproduksi dari binatang luwak (musang) yang aslinya. Kopi luwak yang diolah Ratu Luwak adalah jenis kopi yang telah dimakan langsung musang. Sampai saat ini pihaknya memiliki 85 ekor musang dewasa, jenis musang pandan dan musang bulan yang ditangkarkan. Musang-musang itu lalu diberi makan kopi yang sudah merah yang diambil langsung dari pohon. Seekor musang setiap musim mampu memakan sekitar 30%—40% dari 5 kg—6 kg kopi merah. Jika ada kopi merah yang tersisa atau tidak dimakan oleh musang, diolah menjadi bubuk kopi organik. Selain diberi makan kopi merah, musang juga diberi makanan selingan, seperti daging, pisang, dan pepaya. Untuk daging, kata dia, pihaknya mampu memberikan sekitar 4—5 kepala ayam yang dapat dibeli dengan jadwal pemberian dua kali dalam satu minggu. Pihaknya memproduksi kopi luwak sejak 2007. Kala itu ia terinspirasi dengan adanya informasi kopi dari kotoran musang atau kopi luwak memiliki nilai jual tinggi. Oleh karena itu, Sapri melakukannya secara liar, yaitu dengan cara saat musim kopi pihaknya selain mencari sendiri juga menampung jika ada petani yang menemukan kopi kotoran luwak. Namun, selama 2007, pihaknya hanya mampu mengumpulkan sekitar 50 kg—60 kg kopi kotoran luwak dan itu pun didapat dari seluruh daerah penghasil kopi di Lampung Barat. Akibat hasilnya sedikit, kata dia, dia memiliki inisiatif untuk menangkarkan luwak secara langsung guna menghasilkan kotoran kopi yang lebih banyak. Oleh karena itu, sejak 2008 dia mulai menampung siapa pun yang menjual musang kepadanya. (Eliyah/Kraf)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.