EKRAF, No XI, 20 Maret - 24 April 2014

Page 1

Mengenal Filosofi

Kain Kapal dan Kain Nampan Halaman. 8 No XI / 20 Maret-24 April 2014

Kain Nampan dan Pelepai Menggali Peradaban Lampung M

ENURUR Van der Hoop disebutkan orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (key and rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan berisikan roh manusia yang telah meninggal. Kemudian, terdapat motif binatang, matahari, bulan, serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutra putih yang disebut kain tapis inuh. Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini. Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antarkepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaankerajaan Islam antara tahun 1500—1700 . Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas memengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung di sekitar lingkungan seniman tinggal. Pengguna­ an transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan tapis sebagai sarana perlengkap­ an hidup. Diketahui, suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun. (LUKMAN HAKIM/DBS/KRAF)

FOTO: Koleksi Raswan Tapis

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung


2 20 Maret 2014

ekraf

torial DAFTAR ISI INFO Membangkitkan Gairah Lagu Lampung

Merajut

TRADISI Nyambut Kuakhi

Eksistensi Lampung

Lukman Hakim Wartawan Lampung Post

P

ROVINSI Lampung memiliki kera­ gaman hasil kerajinan, buah karya ­tangan-tangan terampil muli-mekhanai. Misalnya, sulaman usus yang sudah sangat identik dengan Lampung. Belum lagi tapis yang telah menjadi ciri khas budaya tanah lada ini. Kurangnya promosi produk kerajinan yang dihasilkan kabupaten/kota di Provinsi Lampung membuat hasil kerajinan yang ada tidak atau kurang dikenal dan kurang berkembang. Jangan bermimpi untuk menjual hasil kerajinan ke mancanegara, menjual ke pasaran lokal saja masih menjadi problem perajin di Lampung. Beruntung, pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Lampung, sudah merasa terpanggil untuk ikut membantu mempromosikan hasil kerajinan yang ada. Meskipun demikian, belum adanya media untuk mempromosikan secara khusus hasil kerajinan tersebut, masih menjadi kendala promosi yang dilakukan selama ini. Keberadaan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Lampung dan kabupaten/kota selama ini memang diharapkan dapat membantu mengatasi hal tersebut, sekaligus dapat melihat dan membina, serta membantu perkembangan kerajinan khas daerah yang ada. Bahkan, keberadaan Dekranasda provinsi dan kabupaten/kota di Lampung diharapkan pula menjadi mediator perajin yang ada di Sai Bumi Ruwa Jurai dengan konsumen yang membutuhkan, baik di pasar lokal, pasar nasional, maupun pasar internasional. Untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi masyarakat, khususnya masyarakat Lampung. Paling tidak, apa yang kami tuliskan dalam tabloid ini, kami mencoba

kembali merajut filosofi kain tapis, sulaman usus, batik, dan ukiran Lampung, atau mungkin semua kerajinan khas Lampung. Harapannya, ada literatur yang dapat dijadikan contoh, pembanding, dan sumber yang bisa dijadikan referensi guna menyatukan Lampung secara keseluruhan melalui sepenggal tulisan seni, budaya, sastra, pariwisata, dan kerajinan Lampung. Mengingat seni, budaya, sastra, dan semua yang berbau Lampung sudah mulai memudar diterjang kemajuan zaman. Hal itu bukan berarti kita harus pasrah dengan keadaan. Sebab, kami yakin, suatu saat Lampung akan terkenal seperti Yogyakarta, Solo, atau Bali dengan seni, budaya, sastra, dan pariwisatanya yang eksotis. Kami yakin, Lampung tidak lagi dilihat dari sisi negatifnya. Terlebih, Lampung merupakan salah satu dari empat provinsi di Indonesia yang memiliki aksara tersen­ diri; seperti ka ga nga pa ba ma ta da, dan yang lainnya. Itu artinya, Lampung adalah masyarakat yang bermartabat, memiliki keunikan seni, budaya, dan sastra, serta pariwisata yang bisa dijual dan memiliki nilai tinggi sebagai salah satu warisan budaya dunia, seperti halnya batik Indonesia. Lampung Post sebagai sebagai koran terbesar di Lampung, kali ini menyajikan hasil karya, cipta, dan karsa dari masyarakat Lampung dalam tulisan Ekraf. Nama itu berasal dari kata (E) ekonomi, (Kraft) kreatif, (Lampost) Lampung, yang berarti semua kerajinan Lampung yang memiliki nilai ekonomi. Rubrik ini kami sajikan guna memperingati HUT ke-50 Provinsi Lampung. Semoga, di tahun emas ini Lampung makin menunjukkan eksistensinya sebagai provinsi yang berbudaya. n Redaksi

BUDAYA Pemkab Lampura Data Situs Bersejarah GALERI

4

5

6 7

CORAK Mengenal Filosofi Kain Kapal dan Kain Nampan 8-9 WISATA Hutan Kera Di Jantung Kota...

10-11

SANTAP Lezatnya Shabu ala Bukit Randu

12

RESEP Selimpok

13

ASRI Rumah Tradisional Sudah Setengah...

14-15

Pemimpin Umum: Bambang Eka Wijaya. Wakil Pemimpin Umum: Djadjat Sudradjat. Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Gaudensius Suhardi. Wakil Pemimpin Redaksi: Iskandar Zulkarnain. Pemimpin Perusahaan: Prianto A. Suryono. Dewan Redaksi Media Group: Saur M. Hutabarat (Ketua), Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudradjat, Elman Saragih, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Suryopratomo, Toeti Adhitama, Usman Kansong. Redaktur Pelaksana: Iskak Susanto. Kepala Divisi Percetakan: Kresna Murti. Sekretaris Redaksi: M. Natsir. Asisten Redaktur Pelaksana: D. Widodo, Umar Bakti Redaktur: Hesma Eryani, Lukman Hakim, Muharam Chandra Lugina, Musta’an Basran, Nova Lidarni, Sri Agustina, Sudarmono, Trihadi Joko, Wiwik Hastuti, Zulkarnain Zubairi. Asisten Redaktur: Abdul Gofur, Aris Susanto, Isnovan Djamaludin, Iyar Jarkasih, Fadli Ramdan, Rinda Mulyani, Rizki Elinda Sary, Sri Wahyuni, Sony Elwina Asrap, Susilowati, Vera Aglisa. Liputan Bandar Lampung: Agus Hermanto, Ahmad Amri, Delima Napitupulu, Fathul Mu’in, Ricky P. Marly, Meza Swastika, Karlina April Sita, Surya Bakara, Wandi Barboy. LAMPOST.CO Redaktur: Kristianto. Asisten Redaktur: Adian Saputra, Sulaiman. Content enrichment Bahasa: Wiji Sukamto (Asisten Redaktur), Chairil, Kurniawan, Aldianta. Foto: Hendrivan Gumay (Asisten Redaktur), Ikhsan Dwi Satrio, Zainuddin. Dokumentasi dan Perpustakaan: Syaifulloh (Asisten Redaktur), Yuli Apriyanti. Desain Grafis redaktur: DP. Raharjo, Dedi Kuspendi. Asisten Redaktur: Sugeng Riyadi, Sumaryono. Biro Wilayah Utara (Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat): Mat Saleh (Kabiro), Aripsah, Buchairi Aidi, Eliyah, Hari Supriyono, Hendri Rosadi, Yudhi Hardiyanto. Biro Wilayah Tengah (Lampung Tengah, Metro, Lampung Timur): Chairuddin (Kabiro), Agus Chandra, Agus Susanto, Andika Suhendra, Djoni Hartawan Jaya, Ikhwanuddin, M. Lutfi, M. Wahyuning Pamungkas, Sudirman, Suprayogi. Biro Wilayah Timur (Tulangbawang, Mesuji, Tulangbawang Barat): Juan Santoso Situmeang (Kabiro), Merwan, M. Guntur Taruna, Rian Pranata. Biro Wilayah Barat (Tanggamus, Pringsewu, Pesawaran): Sayuti (Kabiro), Abu Umarly, Erlian, Mif Sulaiman, Widodo, Heru Zulkarnain, Sudiono. Biro Wilayah Selatan (Lampung Selatan): Herwansyah (Kabiro), Aan Kridolaksono, Juwantoro, Usdiman Genti. Kepala Departemen Marcomm: Amiruddin Sormin. Senior Account Manager Jakarta: Pinta R Damanik. Senior Account Manager Lampung: Syarifudin Account Manager Lampung: Edy Haryanto. Manager Sirkulasi: Indra Sutaryoto. Manager Keuangan & Akunting: Rosmawati Harahap. Harga: Eceran per eksemplar Rp3.000 Langganan per bulan Rp75.000 (luar kota + ongkos kirim). Alamat Redaksi dan Pemasaran: Jl. Soekarno Hatta No.108, Rajabasa, Bandar Lampung, Telp: (0721) 783693 (hunting), 773888 (redaksi). Faks: (0721) 783578 (redaksi), 783598 (usaha). http://www.lampungpost.com e-mail: redaksi@lampungpost.co.id, redaksilampost@yahoo. com. Kantor Pembantu Sirkulasi dan Iklan: Gedung PWI: Jl. A.Yani No.7 Bandar Lampung, Telp: (0721) 255149, 264074. Jakarta: Gedung Media Indonesia, Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Telp: (021) 5812088 (hunting), 5812107, Faks: (021) 5812113. Penerbit: PT Masa Kini Mandiri. SIUPP: SK Menpen RI No.150/Menpen/SIUPP/A.7/1986 15 April 1986. Percetakan: PT Masa Kini Mandiri, Jl. Soekarno - Hatta No. 108, Rajabasa, Bandar Lampung Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan. DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, ­WARTAWAN LAMPUNG POST DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU ­MEMINTA IMBALAN DENGAN ALASAN APA PUN.


3 20 Maret 2014

ekraf

Tabik Pun

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Pariwisata, Penyumbang PAD Lampung L

AMPUNG memiliki keindahan dan kekayaan alam, seni, dan budaya yang memesona. Untuk itu, saya yakin adat, seni, dan budaya dapat menjadi kebanggaan dan identitas masyarakat Lampung. Saya sangat berharap Lampung menjadi destinasi utama pariwisata nasional maupun mancanegara. Sebab, keindahan dan kekayaan alam, seni, dan budaya yang dimiliki Lampung tidak kalah 足dengan daerah lainnya. Pariwisata, seni, dan budaya Lampung diharapkan menjadi sektor primer dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) maupun peningkatan kesejahtera足 an masyarakat. Ke depan, pembangun足an pariwisata tidak saja memberikan nilai lebih secara ekonomis bagi masyarakat dan pelaku usaha pariwisata, tetapi adat, seni, dan budaya menjadi kebanggaan dan identitas masyarakat Lampung. Saya menargetkan event-event budaya Lampung menjadi kegiatan yang berskala internasional dengan meningkatkan kualitas atraksi. Tampilan budaya yang laik jual dan berdaya saing sehingga kegiatan budaya Lampung menjadi wahana apresiasi dan kreasi masyarakat dalam pengembangan budaya. Selain itu, menjadi sarana positif dalam pencitraan budaya Lampung dalam tataran nasional maupun internasional. Di Lampung setidaknya terdapat empat kegiatan budaya yang diakui secara nasional, bahkan internasional, yaitu Begawi Adat Kota Bandar Lampung (Juni), Festival Teluk Stabas (Juli), Festival Krakatau (Agustus), dan Festival Way Kambas (Desember). Dengan hadirnya tabloid Ekraf Lampung Post, yang sudah mencapai edisi ke-12, saya sangat berharap dunia seni, budaya, sastra, dan pariwisata Lampung bangkit. Apalagi, saat ini sudah ada media promosi yang diprakarsai Lampung Post, sebagai media harian yang sudah memiliki nama di Lampung dan nasional. Saya berharap dengan hadirnya Ekraf ke tangan masyarakat Lampung,

masyarakat makin mengenal seni, budaya, sastra, dan pariwisata Lampung secara utuh dan menyeluruh. Pada akhir足 nya, budaya dan pariwisata Lampung sejajar bahkan melebihi budaya daerah lain di Indonesia dan juga dikenal di dunia internasional. Untuk mencapai itu semua, Pemprov Lampung telah melakukan berbagai upaya, yakni pembenahan infrastruktur dan penataan destinasi yang mengacu pada rencana induk pembangunan pariwisata daerah (rippda) Provinsi Lampung. Kemudian, peningkatan kualitas sumber daya manusia bidang pariwisata. Pembangunan pariwisata, seni, dan budaya juga tidak akan terlepas dari pendanaan yang memadai. Anggaran untuk sektor pariwisaata, seni, dan budaya tidak melulu hanya dari leading sector pariwisata, yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, tetapi juga pada sektor penunjang kepariwisataan, seperti Dinas Perhubungan, Dinas Bina Marga, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan. Khusus untuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, untuk 2013, telah dianggarkan APBD kurang lebih Rp10 miliar. Anggaran kepariwisataan juga ditunjang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif melalui APBN dekonsentrasi dan tugas pembantuan senilai Rp5 miliar. Tidak itu saja, saat ini telah dilakukan penguatan kelembagaan melalui revitalisasi kelembagaan pariwisata, seperti PHRI, ASITA, PUTRI, HPI, dan BPPD, sehingga dapat menjadi mitra pemerintah dalam pengembangan pariwisata. Kemudian, telah dilakukan penguatan kelembagaan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok sadar wisata maupun kelembagaan pemerintah melalui kerja sama regional Belajasumba dan Mitra Praja Utama. (VERA AGLISA/KRAF)

Sjachroedin Z.P. Gubernur Lampung


4 20 Maret 2014

ekraf

Info

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkot Bandar Lampung

Membangkitkan Gairah Lagu Lampung U Objek Wisata di Lampung SAHA Pemkot Bandar Lampung membangkitkan kembali gairah lagu-lagu Lampung terus mendapat dukungan banyak pihak. Hal itu memang wajib dilakukan, mengingat lagu Lampung belum menjadi tuang rumah di daerahnya sendiri.

Sejauh ini, pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandar Lampung akan terus melakukan sidak ke rumah makan, restoran, hotel, dan lainnya agar memutar lagu-lagu Lampung di jam-jam tertentu. Saat ini, tim dari Disbudpar terus menyisir sejumlah tempat yang sebelumnya sudah diberikan surat imbauan agar memutar lagu Lampung di waktu-waktu tertentu. “Ya, kami terus melakukan sidak dan pemantauan, bagaimana tempat-tempat yang sudah

kami berikan surat imbauan ini agar memutar lagu Lampung,” kata Kadisbudpar Kota Bandar Lampung M. Harun, beberapa waktu lalu. Menurut dia, pihaknya ­dengan tiga tim yang ada sudah melakukan sesuai prosedur terkait penyisiran ke sejumlah tempat usaha itu agar

memutar lagu Lampung. Sejumlah tempat usaha tersebut pun atas sidak tim Disbudpar umumnya mematuhi imbauan dari Disbudpar tersebut. “Ya, yang sidak secara rutin ini kan memang tim dari kami dan sudah berjalan sesuai semestinya. Namun, ada juga tempat usaha yang tidak mengindahkan imbauan kami, atau bandel. Kami akan melakukan pendekatan agar mereka memahami tujuan diputarkannya lagu-lagu Lampung. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan mengembang-

kan dan melestarikan lagulagu Lampung,” kata dia. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan sidak ke sejumlah tempat usaha yang membandel tersebut. Sidak ini tidak hanya dari tim Disbudpar, ke depan mengajak pihak Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL). Namun, Harun belum bisa menyebutkan sejumlah tempat usaha mana saja yang membandel atas imbauan pihaknya tersebut, selain Cafe The Coffee. Namun, guna mengatasi pengusaha yang membandel tersebut, salah satunya Disbudpar akan menga­jak pihak MPAL, agar para pengusaha ini lebih paham dan pentingnya pemutaran lagu Lampung ini yang juga untuk pelestarian budaya. Dia menambahkan sesuai dengan Peraturan Wali Kota Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pelestarian Kebudayaan Lampung, sejumlah tempat usaha tersebut harus memutar lagu Lampung di jam-jam tertentu. Sesuai Peraturan Wali Kota itu juga dijelaskan restoran, rumah makan, kafetaria, rumah biliar, gelanggang bo­ ling, galeri seni, bioskop, dan spa diwajibkan memutar lagu Lampung setiap hari pada pukul 11.00—13.00 dan pukul 18.00—20.00. “Oleh sebab itu, kami berbicara peraturan dan peraturan ini harus dilaksanakan. Harus menghormati kebudayaan yang ada, salah satu caranya dengan memutar lagu Lampung ini. Ini bagian usaha kami turut melestarikan budaya Lampung, bukan hanya bagi warga Lampung, melainkan mengenalkan budaya Lampung kepada wisatawan yang datang ke Lampung,” kata dia. (RICKY P. MARLY/KRAF)

PROVINSI Lampung diresmikan menjadi salah satu provinsi di Indonesia pada 18 Maret 1964 dengan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964, yang kemudian menjadi salah satu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964. Sebelum diresmikan sebagai provinsi, Lampung merupakan sebuah karesidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan. Jenis tempat wisata yang dapat dikunjungi di Lampung adalah wisata budaya yang ada di beberapa kampung tua yang terletak di Batubrak, Sukau, Liwa, Kembahang, Kenali, Ranau, dan Krui di Lampung Barat, serta Festival Sekura yang hanya diadakan dalam seminggu setelah Idulfitri di Lampung Barat. Festival Krakatau di Bandar Lampung, Festival Telukstabas di Lampung Barat, Festival Way Kambas di Lampung Timur. Selain itu, terdapat juga Begawi Adat Kota Bandar Lampung dan wisata Gunung Anak Krakatau di Lampung Selatan. n

Daftar Objek Wisata di Kabupaten Pesawaran 1. Pantai Cuku Upas - Desa Gebang, Padangcermin 2. Pantai Sekar Wana - Sukajaya lempasing, Padangcermin 3. THR Ringgung (akses ke Pulau Tegal) Sidodadi, Padangcermin 4. Pantai Mutun (akses ke Pulau Tangkil) Sukajaya Lempasing, Padangcermin 5. Pantai Kelapa Rapat - Desa Gebang, Padangcermin 6. Air Terjun Kembar - Wates Way Ratai, Padangcermin 7. Air Terjun Ciupang (Muara) - Wates Way Ratai, Padangcermin 8. Air Terjun Gunung Minggu - Desa Hurun, Padangcermin 9. Air Terjun Abah Uban - Desa Hurun, Padangcermin 10. Tahura Wan Abdurrahman - Padangcermin 11. Pulau Umang-umang - Padangcermin 12. Pulau Tangkil - Padangcermin 13. Pulau Seserot - Padangcermin 14. Pulau Pahawang Lunik - Padangcermin 15. Pulau Tegal - Padangcermin 16. Pulau Maitem – Gebang, Padangcermin 17. Pulau Pahawang - Padangcermin 18. Pantai Pancur Permai - Sukarame, Punduhpidada 19. Pulau Legundi - Punduhpidada 20. Pulau Balak - Pagarjaya, Punduhpidada 21. Lunik Resort - Punduhpidada 22. Air Terjun Gunung Tanjung - Margidadi, Punduhpidada


5 20 Maret 2014

ekraf

Tradisi

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Nyambut Kuakhi

N

YAMBUT Kuakhi merupakan salah satu tradisi pada acara pernikahan masyarakat Lampung Pesisir. Pada acara ini, keluarga mempelai pria menyambut kedatangan pengan­t in bersama keluarga mempelai wanita. Keluarga pria berdiri di depan rumah, sedangkan pengantin dan keluarga dari pihak wanita berdiri di jalan yang tidak terlalu jauh, sekitar 500 meter. Segala aktivitas terhenti, semua warga berbondong-bondong menyaksikan acara ini. Pengantin pria didampingi bujang berdiri tegak di bawah teriknya matahari, di belakangnya berdiri juga kabayan (mempelai wanita), serta gadis dan keluar­ ga dari pihak wanita. Beberapa bapak turut mendampinginya, membawa tombak, pedang, dan payung. Ketiganya memiliki arti masing-masing, payung dimaknai sebagai tempat berlindung, se­ dangkan tombak dan pedang sebagai alat perlindungan diri. Rombongan mulai berjalan menuju si punya hajat, tarian khanda pun dipersembahkan. ­Tarian kebesaran ini jarang dilakukan, hanya masyarakat tertentu yang masih melestarikannya. Sekitar 20 anak mengenakan pakaian pramuka, celana pan-

jang, peci berlapis kain tapis, dan sarung tapis yang dikenakan se­ tengah panjang. Mereka berbaris membentuk dua banjar, terbangan mulai dipukul, lagu Lampung mulai dinyanyikan. Penari khanda mulai melakukan gerakan secara bersamaan, mengangkat tangan, jongkok, berputar, mengiringi rombongan. Saat kedua keluarga hampir bertemu, penari khanda berhenti. Dilanjutkan dengan tarian pedang yang dibawakan oleh dua orang bapak-bapak. Acara makin meriah, meskipun panas terik, keduannya saling adu pukul, menebaskan pedangnya. Saat bapak dari keluarga pria kalah, bapak dari pihak rombong­ an menebaskan pedangnya ke arah bambu yang tertancap di tengah-tengah jalan yang memisahkan ke dua pihak. Beberapa makanan dan ayam yang ditali di bambu lepas. Bambu pun tumbang, kedua keluarga bisa bertemu. Ini artinya pintu rumah tangga telah dibuka sehingga diharapkan ke­luarga baru ini siap menghadapi hidup bersama. Acara nyambut kuakhi berakhir, semua keluarga masuk rumah, warga pun kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing. (RUKUAN SUJUDA/KRAF)

FOTO: Rukuan Sujuda


6 20 Maret 2014

ekraf

Budaya

Pemkab Lampura Data Situs Bersejarah

Batu Berdiri

Makam Keramat Batu Benteng Majapahit

Batu Lesung

P

EMDA Kabupaten Lampung Utara (Lampura) memalui Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Dispora) setempat menvalidasi data keberadaan dan letak situs bersejarah di wilayah itu. Sekretaris Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Dispora), Evril Irawan, mewakili Bupati Lampura Zainal Abidin, menjelaskan dengan validasi data ini diharapkan rekam jejak sejarah situs tersebut dapat terungkap. Minimal, keberadaan situs di lokasi akan tetap lestari. Saat ini, pihak Dispora berupaya mengumpulkan berbagai sumber informasi mengenai situs bersejarah di Lampura. Hal ini bertujuan keberadaan situs-situs tersebut

tidak mengalami kepunahan. Validasi data mengenai situs bersejarah penting dilakukan. Sebab, merujuk dari data objek wisata, khususnya situs-situs bersejarah yang terserak di Kabupaten Lampura, ternyata data yang ada masih minim. Dimungkinkan, masih ada situs-situs bersejarah yang tidak tercatat dan keberadaannya masih dijaga dan dirawat masyarakat setempat. Mengenai situs bersejarah di Kecamatan Abungpekurun yang tercatat, bila merujuk data objek wisata Kabupaten Lampura, hanya ada dua objek, yaitu Situs Makam Ratu Ibu dan Benteng Majapahit. Namun, berdasar data lain, di Kecamatan Abungpekurun tercatat

12 situs bersejarah. Berarti, bukan hanya dua situs bersejarah dan 10 situs bersejarah sisanya yang tidak tercatat. Misalnya, situs Ratu Malai, Tangkit Mangkuk, Batu Sirap, Batu Nunggal, Pangeran Empat Bujang, dan Minang Tumenggung Tumpang Serayo. Selain itu, ada situs Minak Imam, Tangkit Bujung, Kyai Semala Sugih, dan Penyakan Tuho Minak Peyakun, yang akan kami telusuri keberadaannya untuk didata ulang. “Data-data mengenai keberadaan situs bersejarah di Lampung Utara akan terus kami cari. Dengan itu, diharapkan sejarah kuno di kabupaten ini dapat terungkap dan dipelajari oleh gene­ rasi yang akan datang,â€? kata dia. (YUDHI HARDIYANTO/KRAF)


7 20 Maret 2014

ekraf

Galeri

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Kursi Ukiran Lampung Harga Konfirmasi

Pintu Ukiran Lampung

Lemari Ukiran Lampung

Meja Ukiran Lampung

Harga Konfirmasi

Harga Konfirmasi

Harga Konfirmasi

Dipan Ukiran Lampung

Kursi Ukiran Lampung

Dipan Ukiran Lampung

Harga Konfirmasi

Harga Konfirmasi

Harga Konfirmasi


8 20 Maret 2014

ekraf

Corak

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung

Mengenal Filosofi

Kain Kapal dan Kain Nampan D

ALAM klasifikasi kain kapal/pelepai koleksi Museum Lampung, bagi masyarakat Jawa dan Sumatera, istilah kata “tampan selalu berkaitan dengan nampan atau baki yang terbuat dari kayu atau logam. Baki tersebut diperuntukan sebagai wadah pemberian atau persembahan. Kain tradisional Lampung ini memang belum banyak dikenal oleh generasi sekarang sehingga Ekraf merasa perlu mengupas kembali sejarah kain tampan/nampan ke publik, agar keberadaan kain ini bisa dikenal seperti halnya tapis dan sulaman usus yang sudah mendunia. Perajin ukiran Lampung, Agus Suprayoga, menjelaskan kain kapal/pelepai dan kain tampan/nampan merupakan kain adat dari Lampung yang sangat indah, baik dari segi artistik maupun filosofinya. Dari beberapa sumber, keberadaan kain tampan dan kain pelepai ini mengalami kemunduran, bahkan jarang diproduksi lagi setelah masuknya Islam di Lampung sekitar abad ke-16—17. Mengingat, dalam ajaran Islam dilarang menggambarkan makhluk hidup dalam desain apa pun. Apalagi, kain tampan dikenal banyak melukiskan kehidupan pemujaan nenek moyang suku Lampung, seperti gambar burung, binatang mitologi naga, dan gambar makhluk hidup lainnya. Sejauh ini, dia hanya mampu membuat duplikasi corak kain tampan dan pelepai dalam ukiran furnitur yang dikembangkannya menjadi suatu kreasi seni yang sangat unik dan setnik. n

Kain Nampan, Koleksi Agus Suprayoga


9 20 Maret 2014

Digunakan dalam Upacara Adat

Dia juga menjelaskan banyak penulis menilai kemunduran keberadaan kain tampan karena adanya pengaruh masuknya kolonial Belanda ke Lampung, termasuk ke Sumatera Selatan, sehingga sejak sekitar tahun 1950, kain itu sudah tidak lagi diproduksi oleh perajin. Sementara seorang peneliti, Mary Kahlenberg, mengatakan dia masih melihat adanya perajin yang membuat kain nampan pada 1971 di Lampung Selatan (Kain Kapal/Pelepai dan kain Tampan, Khazanah Langka dari Lampung, Suwati Kartiwa).

Kain Kapal, Koleksi Raswan Tapis

ekraf

Corak

Sejarah juga menjelaskan kain kapal digunakan dalam upaca足 ra adat sepanjang lingkaran kehidupan dan ada keterkaitan dengan ritual keagamaan. Penggunaan kain kapal dalam ritual keagamaan terkait erat fungsi simbolis dan fungsi praktis dan diberi makna ritual. Sangat terlihat, kain kapal dengan dominasi desain motif kapal mengandung arti simbolis yang erat dengan filosofi kehidupan masyarakat Lampung, yaitu kapal diibaratkan sebagai perjalanan hidup manusia. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemprov Lampung


10 20 Maret 2014

ekraf

Wisata

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkot Bandar Lampung

Hutan Kera Di Jantung Kota Bandar Lampung

n EKRAF/ZAINUDDIN

M

UNGKIN banyak yang belum tahu, kalau di Kota Bandar Lampung ternyata ada Taman Wisata Hutan Kera (monyet). Lokasi wisata yang berada dalam kota itu diharapkan

dapat dikembangkan dan menjadi salah satu objek wisata andalan Kota Tapis Berseri. Sejumlah kera ekor panjang atau monyet (Macaca fascicularis) bergelayut bebas dari satu pohon

ke pohon lain di rumah seorang warga. Si pemilik rumah segera ke luar begitu mengetahui pohonnya diusik kera liar. Pemandangan itu bukanlah di desa di pinggir hutan. Kera-kera itu hidup di tengah-tengah Kota Bandar Lampung, tepatnya di Taman Hutan Kera Tirtosari, Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Telukbetung Utara. Warga setempat mengatakan berkembangnya hutan kera itu sejak 1975. Jauh sebelumnya, kawasan Titrosari merupakan kompleks gedung kesehatan. “Tempat ini dulunya adalah kompleks gedung kesehatan. Di hutan itu ada bak air untuk mengisi lokomotif uap kereta api di gudang agen. Sekarang sudah enggak digunakan lagi. Di samping itu, gua itu tembus di Kuala, Sukaraja,” kata Abu, yang kini menyandang jabatan ketua Ke­ lompok Sadar Wisata Taman Hutan Kera Tirtosari. Sepengetahuan Abu, pemilik monyet pertama di wilayah tersebut adalah warga bernama Bagio. Dikarenakan kera itu pernah menggigit putri Abu, kera itu dilepaskan.

Tidak berapa lama ada pula orang yang hendak melepaskan kera itu di hutan Tirtosari. Setelah itu, seiring berjalannya waktu, kera beranak-pinak. Puncaknya, ratusan kera hidup di hutan Tirtosari secara bergerilya dalam dua kelompok. Kelompok pertama, kera yang sering berkeliaran di sekitar Hotel Hartono. Kelompok kedua, kera yang tinggal dalam hutan Tirtosari di sekitar rumah warga. Taman Hutan Kera, sebagian warga menyebutnya Hutan Monyet Lembah Sarijo, merupakan lokasi wisata gratis bagi warga Kota Bandar Lampung. Warga yang datang ke sana akan disuguhkan tingkah laku monyet ekor panjang yang lucu. Memang tidak sulit mencapai hutan monyet ini. Lokasinya di tengah Kota bisa ditempuh melalu dua jalur. Pertama, lewat Jalan Cipto Mangunkusumo dan tembus ke Jalan Juanda. Daerah ini dikenal dengan nama Tirtosari. Sementara jalur lainnya melalui Jalan Dr. Susilo masuk Jalan Kesehatan, tepatnya lewat depan Kantor Dinas Kesehat­an Lampung. (LUKMAN HAKIM/KRAF)


11 20 Maret 2014

ekraf

Wisata

Rubrikasi ini dipersembahkan oleh: Pemkot Bandar Lampung

Wisata Gratis K

EBERADAAN Taman Hutan Kera itu tampaknya memang kurang mendapat perhatian dari Pemkot setempat. Namun, hal itu dibantah Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Bandar Lampung M. Harun. Menurut dia, pihaknya sudah melakukan banyak hal demi keberlangsungan Taman Hutan Kera. Menurut Harun, status tanah itu yang tidak jelas dan sebagian lahannya milik Dinas Kesehatan dan pemerintah menjadikan tanah itu sulit untuk ditata secara baik. “Tanah itu kan tanah status quo, jadi agak sulit juga mau menatanya secara baik.â€? Dia juga menjelaskan karena letaknya yang berada di wilayah perkotaan, Taman Hutan Kera Tirtosari itu dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandar Lampung. Berdasar data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), di lokasi itu terdapat sekitar 300 kera. Luasan kawasan itu kurang dari 1 hektare. Idealnya, lokasi seluas itu hanya untuk 100 kera sehingga kalau kenyataannya kera-kera di sana berjumlah lebih dari 300 ekor, memang diperlukan adanya relokasi. Terkait asal-usul kawasan Taman Hutan Kera, memang banyak versi yang menyebutkan. Konon, di kawasan itu semula tidak ada kera. Seorang warga sekitar yang memelihara kera, melepaskan seekor kera di kawasan itu. Tidak berapa lama, ada warga lain yang juga melepaskan kera di kawasan yang sama. Diakui warga sekitar, kera yang berada di kawasan itu suka menganggu tanaman warga. Namun, banyak juga warga yang peduli dengan memberikan kera-kera itu makanan. Mengingat jumlah kera yang terus bertambah dan lokasi Taman Hutan Kera yang berada di tengah kota, tampaknya memang dibutuhkan perhatian lebih dari Pemkot Bandar Lampung agar kawasan itu benarbenar menjadi kawasan wisata yang unik dan menarik. Apalagi, hampir tidak ada di wilayah nusantara yang keberadaan habitat hewan lucu itu berada di jantung kota, yang notabene ibu kota Provinsi Lampung. Jika itu dapat dilakukan, bukan tidak mungkin keberadaan Taman Hutan Kera menjadi salah satu objek wisata yang bisa menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Kota Bandar Lampung. Namun, tentunya ­jangan sampai memberatkan wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu. (LUKMAN HAKIM/KRAF)

n EKRAF/ZAINUDDIN


12 20 Maret 2014

Lezatnya

ekraf

Santap

Shabu

ala Bukit Randu

n EKRAF/HENDRIVAN

B AG I k a langan penikmat masakan Jepang tentu sudah tidak asing dengan shabu-shabu. Selain rasanya yang segar dan lezat, menu ini juga sehat untuk dikonsumsi karena diolah dengan cara direbus sehingga rendah kolesterol. Di Lampung, ada sejumlah restoran yang menyajikan menu ala Jepang ini. Salah satu tempat yang menyajikan shabu-shabu secara sempurna bisa ditemukan di Restoran Suki, Bukit Randu. Di tempat ini menu shabu-shabu yang akan dihidangkan dibuat serupa layaknya di Negeri Sakura. Di setiap meja makan, terdapat panci dan kompor gas kecil yang siap dinyalakan dan digunakan untuk merebus aneka bahan, seperti ikan, sayuran, tofu, daging, dan bakso. Sementara peralatan untuk menyantap menu ini juga disediakan cukup lengkap, seperti ledel, soucer, sumpit, rice bowl, hingga chinese spon. Manager Sales dan Marketing Restoran dan Hotel Bukit Randu, Raban, mengatakan untuk membuat shabu-shabu pihaknya secara khusus menyiapkan bahan-bahan pilihan yang segar, mulai dari bumbu rempah hingga bahan utama lainnya. Bahkan, untuk bumbu rempah langsung didatangkan dari Jepang yang telah terlebih dahulu diolah menyesuaikan dengan lidah masyarakat Indonesia. “Shabu-shabu merupakan salah satu menu favorit

para pengunjung yang datang ke Restoran Suki,� kata Raban, Selasa (18/2). Tanpa minyak, penyedap rasa siap pakai dan terdiri dari aneka seafood plus mengandung banyak sayuran, shabu-shabu termasuk menu yang menyehatkan. Udang dan aneka ikan dalam shabu-shabu memiliki kandungan omega 3 dan 6 sehingga dapat menurunkan kolesterol, melindungi dari penyakit jantung, darah tinggi, depresi, dan Alzheimer. Selain itu, yang membuat hidangan ini makin istimewa adalah kehadiran saus ponzu dan saus goma. Keduanya digunakan sebagai saus pelengkap shabu-shabu, tempura, atau beberapa jenis sashimi. Saus ponzu memiliki rasa asam, terbuat dari campuran cuka beras, mirin, rumput laut, lemon, dan beberapa bahan lainnya. Sementara, saus goma atau biji wijen, rasanya mirip saus kacang. Saus ini memang menggunakan biji wijen sebagai bahan dasar dan berwarna cokelat muda. Menurut Raban, untuk menikmati shabu-shabu di Restoran Suki Bukit Randu, pihaknya memberikan penawaran menarik melalui beberapa paket yang bisa dipilih pengunjung. Sebut saja di antaranya paket shabu hemat dengan harga Rp375 ribu dan paket shabu eksklusif Rp425 ribu. Porsi menu shabu-shabu yang ditawarkan tersebut umumnya bisa dinikmati lima hingga enam orang. (IYAR JARKASIH/KRAF)


13 20 Maret 2014

S

ekraf

Resep

elimpok

Bahan selimpok n EKRAF/DOK.

S

ELIMPOK adalah penganan khas Lampung yang dibungkus dengan daun pisang dan dimasak dengan cara direbus. Bentuk selimpok panjang sama seperti lontong, tetapi mempunyai lipatan pada ujung-ujung daunnya. Rasa dari makanan selimpok ini cukup gurih dan nikmat, serta dapat membuat kenyang. Sebab, sifatnya yang mudah dibawa, makanan ini se­ ring dijadikan bekal oleh para petani maupun pekerja kantoran sebagai pengganti makan. Namun, panganan selimpok terutama wajib ada dan disajikan dalam acara-acara tradisional ataupun hajatan. Penyajian makanan ini merupakan salah satu adat istiadat dari tanah Lampung yang masih dilestarikan. n

- 1 sisir pisang lilin/kepok yang sudah matang - 1/2 kg beras ketan - 3/4 kg gula aren - garam - 5 lembar daun pisang

Cara membuat Pertama-tama, beras ketan direndam minimal dua jam. Sambil menunggu, kupas pisang kepok yang sudah matang dan haluskan dengan tangan. Kemudian, campurkan antara pisang dan beras ketan, aduk hingga rata. Lalu, tambahkan air gula yang sudah direbus ke adonan, aduk kembali hingga merata. Boleh ditambahkan sedikit garam untuk menambah cita rasa. Selanjutnya, bungkus adonan dengan daun pisang, lalu ikat menjadi 4—5 buah. Terakhir, rebus hingga matang. Angkat dan selimpok siap dihidangkan. (RUKUAN SUJUDA/KRAF)


14 20 Maret 2014

ekraf

Asri

Rumah Tradisional

Sudah Setengah Abad Tetap Kokoh

n EKRAF/ELIYAH

R

UMAH panggung atau yang dise­ but dengan rumah tradisional yang banyak dimiliki masyarakat Lampung di sejumlah daerah, seperti di Liwa dan sekitarnya, ternyata sudah banyak yang berusia hingga setengah abad bahkan lebih, tetapi kondisinya masih oke. Salah satunya, rumah panggung milik Haidir Bahri (73), warga Pekon Way Empela Ulu, Kecamatan Balikbukit, Lampung Barat, ini. Walaupun telah berusia 48 tahun, keberadaanya masih terlihat kokoh. Sejak dibangun pada 1966, kata suami dari Nurhayati (68) itu, rumah miliknya itu belum pernah direhab walaupun terbuat dari kayu. Tiang bangunan terbuat dari kayu kelutum berukuran 25 X 25 cm dengan ketinggian tiang 3,75 meter. Kemudian, rumah utama tepatnya di bagian atas juga 3,75 meter. Hal ini dimaksudkan agar penghuni n EKRAF/ELIYAH

rumah lebih leluasa untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari. Bangunan pada bagian bawah, kata dia, agar dapat difungsikan, awalnya sengaja ditembok sekaligus untuk menahan bangunan. Namun, saat musibah gempa besar pada 1994 terjadi dan menelan banyak korban telah meluluhlantakan banyak bangunan. “Namun, alhamdullilah rumah saya tidak ada kerusakan. Hanya tembok di bagian bawah yang sedikit merenggang atau bergeser.� Tidak enak dipandang, lalu tembok tersebut dibongkar setengah dan diganti dengan dinding papan sehingga bangunan di bagian bawah saat ini tampak seperti bangunan semipermanen. Mantan guru MTs Liwa itu pun mengaku pada saat musibah gempa 1994 terjadi, rumah warga yang banyak ambruk sebagian besar adalah rumah tembok. “Saat menyaksikan musibah gempa pada 1994 itu sepertinya lebih nyaman tinggal di rumah seperti ini. Sebab, korban meninggal umumnya karena tertimpa reruntuhan bangunan tembok,� kata Haidar, saat ditemui di rumahnya, Sabtu (15/3). Untuk itu, bagi masyarakat yang hendak membangun rumah tembok, kata dia, dengan alasan lebih simpel serta mengikuti tren bangunan rumah masa kini, sebaiknya benar-benar memperhatikan konstruksi bangunan. Dia mengaku, pada 1966, saat membangun rumah itu, sebetulnya masyarakat juga sudah banyak yang membangun rumah tembok. Namun, Haidar tetap berkeinginan membangun rumah panggung dengan alasan kayunya masih murah dan di lingkungan ini masih banyak warga yang mendirikan rumah panggung. Soal ketahanan bangunan, walaupun terbuat dari kayu, kata dia, hasilnya terbukti cukup tahan. Rumah yang dibangunnya sampai kini belum pernah direhabilitasi. Hanya bagian atapnya yang sudah terlihat berubah warna menjadi merah tua karena sudah dimakan usia. (ELIYAH/KRAF)


15 20 Maret 2014

ekraf

Asri

Tempat untuk

Kumpul Keluarga Besar D ia menjelaskan bangunan rumah panggung miliknya itu berukuran 7 x 18 meter, ditambah bangunan khusus untuk dapur 9 x 6 meter. Rumah pokok bagian atas, terdiri dari lima kamar dan beberapa ruang lain, seperti ruang keluarga, ruang makan, dan lain-lain. Masih di bagian atas juga ada tangga menuju tempat penyimpanan barang. Sementara bangunan bagian bawah juga difungsikan sebagai rumah, yaitu dibuat dua kamar, selebihnya adalah ruang tamu, ruang keluarga, dan lain-lain. Dari lima kamar bagian atas hanya satu kamar yang dihuni oleh anak bungsunya yang sengaja tinggal bersamanya, selebihnya kosong karena anak-anaknya sudah menyebar. Namun, kamar tersebut statusnya tetap milik anaknya, khusus bagi yang jauh atau tidak memiliki rumah di Liwa. “Ada beberapa anak yang rumahnya di luar Liwa karena sudah berkeluarga. Namun, jika mereka datang bersama keluarganya, mereka sudah punya kamar dan menempati kamarnya masingmasing,� kata Haidar. Bangunan rumah itu, kata dia, dari bahan kayu kelutum dan bayur yang usianya sudah sangat tua, terutama kelutum yang dikenal dengan tahan air untuk membuat tiang bangunan, balok, atau kasau. Untuk tiang, satu batang kelutum itu dibelah empat dengan ukuran masing-masing tiang 25 x 25 cm. Sementara khusus untuk papan yang digunakan adalah bayur dan kupa, sedangkan kayu panan untuk dinding dan lantai.

n EKRAF/ELIYAH

Masih Banyak Keberadaan rumah tradisional atau rumah panggung milik suku asli Lampung di Lampung Barat, selain masih banyak yang berdiri kokoh, juga terdapat antara lain di Pekon Way Empela Ulu, Wates, Gunungsugih, dan sedikit di Kelurahan Way Mengaku, Kecamatan Balikbukit. Juga dapat dijumpai di beberapa kecamatan lain, seperti di Kecamatan Batubrak dan Kenali (Belalau). Kendati demikian, tidak semua rumah panggung berciri khas sebagai milik suku asli Lampung. Ada rumah tradisional atau rumah panggung milik masyarakat suku Semendo, antara lain di Kecamatan Way Tenong. Di Kecamatan Way Tenong, Lambar, misalnya, sebagian besar rumah panggung atau rumah tradisional yang masih terlihat berdiri kokoh berjejer di pinggir jalan lintas Bandar Lampung—Liwa adalah rumah milik masyarakat suku Semendo. Bedanya, bangunan rumah panggung milik Semendo tersebut umumnya adalah bangunan lama. Di daerah tersebut tidak terlihat adanya budaya warga untuk mengembangkan bangunan rumah panggung yang baru, seperti yang dilakukan sebagian masyarakat suku asli Lampung, yang hingga saat ini masih mempertahankan tradisi rumah tradisisional. Sebab, masih ba­ nyak masyarakat suku Lampung yang masih berkeinginan membangun rumah panggung yang baru. (ELIYAH/KRAF)


16 20 Maret 2014

ekraf

Agenda

Pringsewu Tuan Rumah Festival Musik Bambu

n EKRAF/DOKUMENTASI

Putri Lampung memainkan alat musik gamelan.

B

AMBU sudah menjadi bagian dari hidup keseharian orang Indonesia, sebagai senjata— bambu runcing—saat perebutan kemerdekaan, sebagai alat musik, bahkan sebagai makanan. Misalnya, untuk isian kue lumpia dan sayur rebung yang dikenal sangat nikmat. Jadi, mungkin kurang tepat jika justru negara yang dianggap akrab dengan bambu adalah China. Padahal, faktanya dari 180 jenis bambu di dunia, 11 di antaranya tumbuh di Indonesia. Sayangnya, pengetahuan tentang bambu sebagai seni musik saja masih terbatas. Banyak di antara masyarakat yang hanya mengetahui alat musik bambu hanyalah ang­ klung. Padahal, hampir setiap daerah di Indonesia punya alat musik dari bambu. Sebut saja arumba, kledik, jegok , dan sebagainya. Sementara di Lampung kita mengenal gamolan Lampung. Terkait keberadaan gamolan Lamn EKRAF/DOKUMENTASI

Gamolan (alat musik bambu) asal Lampung yang perlu dilestarikan.

pung, Pringsewu akan menjadi tuan rumah Festival Musik Bambu Nusantara pada 15—16 Mei mendatang. Kadis Pendidikan dan Pariwisata Kabupaten Pringsewu Hasan Basri, beberapa waktu lalu, di kantornya, menjelaskan peserta Festival Musik Bambu Nusantara akan diikuti beberapa provinsi. “Saat ini baru lima provinsi yang siap ikut menjadi peserta, yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan,” kata dia. Menurut dia, pihak kementerian yang diwakili direktur Promosi Pariwisata sudah melakukan rapat dengan Pemkab Pringsewu guna membahas kesiapan festival. Hasan Basri menjelaskan pelaksana­ an Festival Musik Bambu Nusantara rencananya akan dipusatkan di halaman Pemkab Pringsewu, di Gadingrejo. Dia menambahkan ini hajat pusat yang dilaksanakan di Kabupaten Pringsewu. “Jadi, kami hanya ketempatan saja, sedangkan panitia dari pusat dan provinsi,” kata dia. Dia juga menyatakan untuk Pemkab Pringsewu, kesiapan yang akan dilakukan adalah menyediakan tempat dan penginapan. Dalam Festival Musik Bambu Nusantara, nantinya akan menghadirkan musisi kondang Dwiki Darmawan untuk mengiringi pentas musik. Selain itu, panitia juga akan mendatangkan Wali Band untuk menghibur masyarakat. Dalam festival tersebut juga akan diadakan workshop dengan pembicara dari Kementerian Pariwisata, dengan peserta para guru-guru SMP dan SMA. Festival Musik Bambu Nusantara tahun lalu digelar di Jakarta. Lampung menampilkan alat musik bambu khas Lampung yang biasa disebut cetik atau gamolan. Lampung merupakan satu dari beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki alat musik khas daerah dari bambu. (WIDODO/KRAF)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.