Kelapa sawit di patani barat culture vs cultivation

Page 1

KELAPA SAWIT DI PATANI BARAT: CULTURE VS CULTIVATION

Jumahir Jamulia jumahir@yahoo.com (Dosen IAIN Ternate dan Kandidat Doktor Ilmu Linguistik Universitas Hasanuddin, Makassar)

Tabea Membaca sepintas judul tulisan sederhana ini, bagi pembaca yang mengenal betul latar belakang penulis pasti bertanya, Apa kapasitas penulis untuk membincang ihwal kelapa sawit yang jauh dari latar disiplin ilmu yang digelutinya? Dengan latar belakang keilmuan di bidang pendidikan, pengajaran, dan ilmu bahasa yang saya miliki, saya pun menyadari untuk tidak menceburkan diri dengan membahas “kelapa sawit” yang dominan merupakan wilayah “pertanian dan perkebunan”, dan mungkin juga akan merembes pada ranah “hukum” bila dalam akuisisi lahan perkebunan nanti masyarakat merasa dirugikan. Tulisan

sederhana

ini

hadir

sebagai

ekspresi

kegelisahan seorang putra daerah yang secara moril mempunyai tanggung jawab untuk sekadar mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan, terutama kepada Pemerintah Halmahera Tengah (the power) dan masyarakat Patani Barat (the powerless) yang tanah dan hutannya akan


diratakan untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit tersebut. Dengan

jujur

saya

mengakui

bahwa

tulisan

sederhana ini hadir ke hadapan pembaca karena diusik oleh sebuah

pertanyaan

sederhana.

Mengapa

pemerintah

Halmahera Tengah begitu bernafsu untuk membawa masuk perkebunan kelapa sawit di Patani Barat? Culture Contradicts to Cultivation Kita semua mungkin yakin dan sadar bahwa tidak ada pemerintah yang hendak menyengsarakan rakyat yang dipimpinnya,

sebab

dipundak

mereka

ada

amanat

kepemiminan yang akan dimintai pertanggungan-jawabanya baik di mahkamah rapat paripurna legislatif pada akhir kepemimpinan mereka, dan terutama lagi di Mahkamah Pengadilan Tuhan Yang Maha Adil kelak. Demikian pula halnya dengan Pemerintah Halmahera Tengah, di masa kepemimpinan Acim-Soksi ini, saya yakin dan percaya bahwa mereka ingin meninggalkan kenangan manis di saat mengakhiri masa kepemimpinan mereka di tahun 2017 yang akan datang, bukan hanya dengan mengumbar janji-janji lip service yang menjanjikan syurga telinga bagi masyarakat yang telah memilih mereka sebagaimana pada saat kampanye dulu. Kebijakan membawa masuk perkebunan kelapa sawit ini mungkin kurang populis di mata masyarakat Patani Barat, sebab (mungkin) secara turun-temurun masyarakat tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan budidaya kelapa sawit. Dengan kata lain, culture contradicts to cultivation. Meskipun demikian, kita harus tetap berbaik sangka bahwa Acim-Soksi

ingin

memberikan

bukti

bahwa

dengan


membawa masuk perkebunan Kelapa Sawit di Halmahera Tengah yang dipusatkan di Patani Barat merupakan wujud tanggung jawab

mereka

untuk membangkitkan geliat

perekonomian di Halmahera Tengah, terutama di Patani Barat. Acim-Soksi –terlepas sebagai Pemimpin Daerah Halmahera Tengah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Halmahera Tengah– merupakan anak sah Negeri Fagogoru yang tidak mungkin akan menggadaikan saudaranya sendiri yang ada di Patani Barat kepada para pemilik modal besar (capitalist-bourgeois), hanya untuk kepentingan dan kemikmatan material semata. Kelapa Sawit sebagai Tanda Manusia, sebagai homo symbolicum yang hidup dalam tanda dan selalu diliputi oleh tanda, akan terus berusaha untuk menginterpretasi setiap tanda yang dijumpai dan

melingkupi

kehidupannya.

Salah

satu

ciri

yang

membedakan manusia dan mahluk hidup yang lain adalah pada kemampuan menciptakan dan memahami tanda (sign) yang memediasi mereka dengan lingkungannya. Dalam pandangan semiologi Saussure, “tanda” yang tercipta selalu dalam bentuk relasi signifier-signifiant, relasi penanda-petanda yang bersifat arbitrer dan asymmetric sehingga sebuah tanda (sign) menghasilkan makna yang beragam. Sedangkan dalam semiosis Pierce –sebuah “tanda”

yang

terdiri

atas

komponen

representamen,

interpretant, dan object– menghampiri seseorang dan tercipta dalam pikiran orang tersebut sebuah “tanda” yang sama (equivalent), atau mungkin sebuah tanda yang lebih diperluas.


Kebijakan perkebunan kelapa sawit di Patani Barat kalau dilihat sebagai sebuah “tanda”, maka yang harus dikenali dan dipahami adalah eksistensi kelapa sawit tersebut dalam atmosfir kehidupan masyarakat Patani Barat, sebab “tanda” tidak serta merta hadir dengan sendirinya dalam sebuah ruang hampa menjadi sebuah “tanda” per se, tetapi pasti ada latar yang menjadi pijakan bagi kehadiran “tanda” tersebut. Ada relasi antara representamen (signifier) dan interpretant (signifiant). Salah satu contoh tanda yang diperkenalkan oleh Pierce adalah index, disamping icon dan symbol. Konsep indeksikalitas Pierce didasarkan pada sebuah act of judgement. Indeksikalitas berpegang pada prinsip bahwa makna dari sebuah ujaran atau tindakan terikat pada interaksi sosial dan konteks yang digunakan. Konteks itu sendiri bersifat spasial dan temporal. Indeksikalitas dapat pula

bersifat

heteroglosia,

dimana

makna

dapat

dikembangkan dalam cara-cara tertentu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan perbedaan antara orang-orang yang terlibat. Kebijakan pemerintah membawa masuk perkebunan sawit di Patani Barat, sikap in absentia pemilik modal untuk memberikan sosialisasi yang komprehensif ihwal kelapa sawit dari hulu hingga ke hilir, pemasangan patok di dalam lahan perkebunan masyarakat secara diam-diam entah oleh pihak perusahaan atau kaki tangan pemerintah dan perasaan khawatir oleh masyarakat atas akuisisi lahan mereka yang sepihak, serta unjuk rasa yang dilakukan oleh elemen mahasiswa asal Patani Barat di ibukota Halmahera Tengah

tentunya

akan memberikan interpretasi yang


beragam, tergantung pada angle mana yang menjadi tumpuan bidiknya. Indeksikalitas Pierce juga bersifat causality dan contiguity sehingga dalam interpretasinya sangat tergantung pada medium yang menjadi atributnya dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab interpreter, tergantung pada kemampuan

dan

kemauan

pemakai

tanda

untuk

menafsirkannya. Tanda dapat pula menjadi dialogic dan ad infinitum,

dimana

sebuah

interpretant

dapat

menjadi

representament baru yang merujuk pada obyek baru dan menghasilkan interpretant yang baru lagi. Dan oleh sebab itu wacana perkebunan kelapa sawit di Patani Barat terbuka untuk diinterpretasi oleh siapa saja, termasuk penulis. Kelapa Sawit untuk Siapa? Bila benar bahwa niat membawa masuk perkebunan kelapa sawit itu untuk kepentingan rakyat Halmahera Tengah, terutama masyarakat Patani Barat. Mengapa “proyek� ini seakan dipaksakan? Padahal kita sadar bahwa dengan

culture

contradicts

to

cultivation

ini

akan

memberikan nilai manfaat yang sangat kecil kepada masyarakat, sebab secara teknis mereka tidak terampil dalam kultivasi kelapa sawit tersebut. Bila benar bahwa Acim-Soksi ingin memakmurkan masyarakat perkebunan,

Patani

Barat

mengapa

lewat

kebijakan

mereka

tidak

di

bidang

memberikan

kemudahan fasilitas kepada masyarakat Patani Barat untuk mengelolah dan mengolah pala yang tumbuh subur dan lebat di hutan Patani Barat, padahal selain cengkih, pala merupakan

primadona

hasil

rempah

Maluku

yang


kesohorannya telah melampaui benua dan samudera sejak berabad-abad yang silam. Bila benar bahwa Acim-Soksi adalah putera terbaik Fagogoru mengapa mereka rela menutup mata dan telinga mereka dengan tetap menyodorkan kebijakan yang tidak populis itu kepada masyarakat Patani Barat, padahal “proyek�

ini

akan

menggusur

habis

semua

kebun

masyarakat yang telah ditanami dan menghasilkan juga akan menggundulkan hutan pala di Patani Barat yang merupakan sumber penghasilan utama untuk menyambung hidup mereka dan sumber biaya bagi pendidikan anak-anak mereka. Bila benar bahwa Acim-Soksi benar-benar lebih mementingkan

dan

mencintai

masyarakat

Halmahera

Tengah, khususnya kepada kami yang berada di Patani Barat dari pada mementingkan dan mencintai para pemilik modal besar (capitalist-bourgeois), mengapa mereka tidak mengundang investor di bidang perikanan dan kelautan untuk mengeksplore sumber daya perikanan dan kelautan yang ada di Halmahera Tengah yang digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan masyarakat Halmahera Tengah? Sebagai

warga

negara

yang

terlahir

di

bumi

Halmahera Tengah dan dibesarkan di Patani Barat, saya berkewajiban moril untuk mengingatkan Pemerintah Daerah Halmahera Tengah agar berfikir lebih arif dan bijaksana dalam

menimbang

berbagai

dampak

sosial,

budaya,

ekonomi, dan lingkungan yang akan mengiringi kehadiran perkebunan kelapa sawit di Patani Barat. Sejatinya, Pemerintah Halmahera Tengah saat ini harus

mengikuti

semangat

Pemerintahan

Republik


Indonesia Baru dibawah kepemimpinan duet Joko WidodoMuhammad Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan merubah paradigma pembangunan yang berorientasi ke darat (green and

brown

oriented)

menjadi

pembangunan

yang

memandang jauh ke samudera luas dan lepas (blue oriented) yang masih menjanjikan dan menggiurkan untuk dikelolah. Akhirnya, mari kita berinterpretant untuk menyelami ‘tanda’ yang sengaja dihadirkan di Halmahera Tengah saat ini. Salam Fagogoru! Tulisan ini dimuat di Malut Post, 20 September 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.