Pendahuluan
Buku Language and Culture yang ditulis oleh Claire Kramsch ini terdiri atas tujuh bab yang secara garis besar membahas tentang hubungan antara bahasa dan budaya serta makna yang dihasilkan oleh para penutur dalam interaksi komunikasi yang dibingkai dalam lingkaran bahasa dan budaya tertentu. Dengan kata lain, interaksi komunikatif antar anggota masyarakat dalam komunitas tidak terjadi di ruang yang ‘hampa’, melainkan mengakar dan berpijak pada suatu budaya tertentu, sehingga memungkinkan setiap tuturan verbal dan paraverbal dan tanda non verbal dapat menjadi bermakna (meaningful) dan tercipta saling kesepahaman (mutual intelligibility) antar pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut. Dengan demikian sebuah ‘makna’ tidak terjadi secara serta-merta hanya melalui relasi sintaksis yang tertututrkan melainkan sebuah hasil negosiasi pragmatis antar pihak yang terlibat yang dibingkai oleh konteks situasi dan konteks budaya (lihat bab 2). Ketujuh bab yang membangun buku ini adalah relasi bahasa dan budaya (the relation of language and culture), makna sebagai tanda (meaning as sign), makna sebagai tindakan (meaning as action), bahasa tutur, budaya tutur (spoken language, oral culture), bahasa cetak, budaya sastra (print language, literature culture), dan bahasa dan identitas budaya (language and cultural identity) serta isu-isu mutakhir (current issues) yang akan diulas dalam halaman-halaman berikutnya dalam laporan ini.[]
1
1. Relasi Bahasa dan Budaya
Bab ini secara khusus membahas hubungan antara bahasa dan budaya. Penulis memulai bab ini dengan membuat sebuah proposisi bahwa bahasa merupakan media utama dalam membangun sebuah kehidupan sosial. Bahasa dalam konteks komunikasi terikat dengan budaya dalam cara yang beragam dan kompleks. Pertama, bahasa mengungkap realitas budaya. Maksudnya, setiap tuturan yang disampaikan baik dalam bentuk fakta, gagasan, atau peristiwa yang dapat dikomunikasikan adalah pengetahuan tentang realitas dunia atau budayanya, tuturan juga merupakan refleksi dari sikap dan keyakinan serta cara pandang terhadap budayanya. Kedua, bahasa mengandung realitas budaya. Bahwa suatu komunitas atau kelompok sosial tidak yang mengungkap pengalaman melalui bahasa sebagai medium komunikasi, tetapi mereka juga menciptakan pengalaman dan membangun sebuah makna yang dapat dipahami secara bersama melalaui medium bahasa yang mereka gunakan. Dan yang ketiga, bahasa melambangkan realitas budaya. Bahasa adalah sebuah sistem tanda yang memiliki nilai budaya, bahasa menjadi identitas sosial dan membedakan insider dan outsider dari sebuah komunitas atau kelompok sosial. Anggota sebuah kelompok sosial memperoleh cara yang sama dalam memandang dunia mereka melalui interaksi dengan anggota lain dalam kelompok yang sama. Cara memandang dunia mereka diperkuat melalui lembaga keluarga yang terkecil hingga institusi sosial yang lebih besar. Sikap, keyakinan dan nilai bersama dalam kelompok direfleksikan melalui tata cara dalam berbicara atau berkomunikasi, yakni apa saja yang bisa diungkapkan dan hal apa saja yang tidak bisa diungkapkan serta bagaimana cara mengungkapkannya. Dengan demikian sebuah komunitas tutur dibentuk oleh orang-orang yang menggunakan bahasa yang sama. Dan wacana komunitas adalah cara-cara umum dimana anggota sebuah kelompok sosial menggunakan bahasanya untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Oleh sebab itu bukan saja unsur-unsur linguistik yang membedakan mereka satu sama lain, namun topik pembicaraan, cara 2
penyampaian informasi, dan gaya dalam berinteraksi (discourse accent) yang juga membedakan mereka. Ini adalah pandangan budaya yang berfokus pada cara berfikir, bertingkah laku, dan menilai diantara anggota dalam komunitas wacana yang sama. Budaya dalam praktek kehidupan sehari-hari adalah sejarah dan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasin juga dalam bentuk materi budaya. Bahasa bukanlah sebuah kode yang bebas dari budaya, justru bahasa merupakan sarana dalam melestarikan budaya, khususnya bahasa cetak. Budaya mempunyai lapisan sosial (sinkronis), lapisan sejarah (diakronis), dan juga lapisan imajinasi. Wacana komunitas tidak hanya dicirikan melalui bukti dan artefak, tetapi juga oleh mimpi dan cita-cita bersama. Bahasa dalam hal ini tidak hanya terhubungkan dengan budaya, tetapi bahasa juga terhubungkan dengan imajinasi budaya yang mengatur keputusan dan tindakan orang-orang dalam suatu komunitas. Budaya adalah pembatas yang mengidentifikasi kelompok mana yang menjadi anggota dari suatu komunitas (insider) dan kelompok manakah yang bukan anggota dari sebuah komunitas (oursider). Budaya juga mengatur pelaksanaan kekuasaan dan control dalam suatu komunitas. Mereka yang memiliki kuasa yang memutuskan dan menentukan nilai dan keyakinan manakah yang harus diadopsi oleh anggota kelompoknya, peristiwa manakah yang mesti diperingati, serta masa depan seperti apakah yang akan diinginkan. Budaya, khususnya budaya nasional, membahana melalui suara kekuasaan yang dijejali dengan kebungkaman dari mereka yang tanpa kuasa. Pada gilirannya, mengkaji budaya berarti mempersoalkan penyeledikan intelektual seseorang secara mendasar, dan menerima kenyataan bahwa pengetahuan itu sendiri diwarnai dengan konteks sosial dan historis yang diterima dan disemai dalam komunitas tersebut. Perbedaan dalam memandang budaya dan hubungannya dengan bahasa menimbulkan sebuah pertanyaan yang fundamental, yakni, dalam hubungan seperti apakah kondisi pandangan dunia dan aktivitas mental dari anggota suatu kelompok sosial dibentuk melalui, atau bergantung pada, bahasa yang mereka gunakan? Teori yang melihat pengaruh bahasa 3
atas proses berfikir pemakai sebuah bahasa disebut dengan teori relativitas linguistik. Gagasan yang dikemukakan oleh para sarjana (seperti Herder dan Humboldt) yang mengembangkan teori relativitas linguistik ini adalah bahwa masyarakat yang berbeda berbicara secara berbeda karena mereka berfikir secara berbeda, dan bahwa mereka berfikir secara berbeda karena bahasa mereka menyajikan cara-cara yang berbeda dalam mengekspresikan dunia di sekitar mereka. Gagasan ini dikembangkan kembali oleh Boas, Sapir, dan Whorf yang melihat saling ketergantungan antara bahasa dan pikiran yang kemudian termasyhur dengan Hipotesis Sapir-Whorf. Hipothesis Sapir-Whorf ini mengklaim bahwa stuktur bahasa yang digunakan oleh seseorang secara terus-menerus memengaruhi caranya dalam berfikir dan bertingkah. Whorf menyimpulkan bahwa alasan mengapa bahasabahasa yang berbeda dapat menuntun penuturnya pada tindakan-tindakan yang berbeda disebabkan karena bahasa menyaring persepsi dan cara mereka mengelompokkan pengalaman mereka. Dengan demikian walaupun ada hal yang secara umum dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, senantiasa akan ada residu budaya yang tidak dapat diterjemahkan secara tepat jika dihubungkan dengan struktur linguistik dari bahasa tertentu. Dalam perjalanan waktu yang panjang, 50 tahun kemudian, melalui berbagai penelitian yang panjang, hipotesis ini dibantah bahwa bila tidak ada saling kesepahaman antara penutur bahasa yang berbeda bukan disebabkan karena kedua bahasa tersebut tidak tidak dapat terjadi proses penerjemahan secara mutual dan seimbang, melainkan karena mereka tidak membagi cara yang sama dalam memandang dan menafsir suatu peristiwa. Mereka tidak sepaham atas makna dan nilai dari konsep yang melatari sebuah kata. Dengan demikian, pemahaman lintas bahasa bukan bergantung pada kesepadanan struktur linguistik namun pada sistem konseptual yang umum, yang terlahir dari konteks pengalaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahasa merefleksikan budaya dan mempengaruhi cara berfikir kita, tetapi tidak menentukan cara bagaimana kita berfikir.[]
4
2. Makna sebagai Tanda
Bahasa dihubungkan dengan budaya dapat dilihat dalam dua hal, pertama adalah bahasa sebagai tanda (semantics) dan bahasa sebagai tindakan (pragmatics). Salah satu yang membuat perbedaan antara manusia dan binatang adalah kemampuan dalam menciptakan tanda (sign) yang memediasi mereka dengan lingkungannya. Dalam pandangan linguis de Saussure, tanda yang tercipta selalu dalam bentuk relasi signifier-signified, relasi penanda-petanda. Mawar (bunyi atau kata) adalah signifier dari sebuah konsep yang berkaitan dengan sebuah obyek riil di alam yang batangnya berduri dan mempunyai banyak kelopak. Sebuah signifier belumlah manjadi sebuah tanda (sign) jika belum diakui, dikenal dan dihubungkan dengan sebuah konsep (signified). Hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrer sehingga tidak ada hubungan atau korespondensi yang tepat antara signifier dan signified. Signifier untuk ‘mawar’ bisa secara arbitrer dihubungkan dengan berbagai konsep, misalnya bunga yang batangnya berduri dan memiliki banyak kelopak atau bisa juga dengan seorang kekasih yang menjadi pujaan hari. Adanya dualisme ini sehingga dikatakan bahwa linguistic sign itu asymmetrical. Hubungan yang arbitrer dan tidak seimbang (asymmetric) antara signifier dan signified ini menghasilkan makna yang beragam dari sebuah tanda (sign), yakni denotasi, konotasi, dan icon. Ketiga jenis makna ini digunakan oleh anggota suatu komunitas wacana dalam menyandikan pengalaman mereka. Secara budaya, dalam menyandikan sebuah pengalaman bisa berubah sepanjang waktu walau dalam bahasa yang sama, bahkan dalam komunitas tutur yang sama, sebuah tanda (sign) bisa mempunyai nilai semantis yang berbeda bagi orang yang berbeda komunitas wacananya. Sebagai tanda, sebuah kata juga berhubungan dengan kata-kata atau tanda lain yang membentuk kohesi secara semantis dan memberikan nilai
5
tertentu terhadap sebuah teks verbal atau antar teks. Kohesi semantis bergantung pada asosiasi umum dari sebuah komunitas wacana. Makna dari sebuah kata tidak dapat dipisahkan dari kata-kata lain yang terhubungkan dengan medan semantis dari suatu komunitas wacana. Makna semantis dari sebuah kode merefleksikan cara dimana komunitas tutur memandang dirinya dan lingkugan budayanya. Makna semantis ini secara akrab terhubungkan dengan pengalaman, pikiran dan perasaan suatu kelompok. Makna semantis ini dalam suatu kelompok adalah ekspresi yang tidak arbitrer dari keinginan untuk memahami dan bertindak dalam lingkungan budaya mereka. Walaupun sebelumnya telah dijelaskan bahwa makna sebuah tanda itu arbitrer, tetapi karena makna itu diciptakan dalam suatu konteks dan pola budaya yang sama, sehingga makna sebuah tanda menjadi tidak arbitrer untuk sekelompok komunitas tutur dalam komunitas wacana tertentu. Makna dari sebuah tanda menjadi suatu realitas yang alami. Sebuah tanda dalam kondisi realitas yang alami ini kemudian secara konvensi dikosongkan maknanya secara linguistis dan menjadi sebuah symbol bersama.[]
6
3. Makna sebagai Tindakan
Setelah melalui pencarian yang panjang, Dr. Faust dalam karyanya, Geothe, memutuskan bahwa makna tidak terletak pada kata-kata, melainkan pada tindakan. Makna tidak diperoleh seketika dan selamanya, tetapi harus diperoleh dalam ujaran tindakan-tindakan verbal dan interaksi antara pembicara dan pendengar, antara penulis dan pembaca. Ketika Malinowski mencoba mendeskripsikan praktek bertani dan memancing penduduk pribumi di Kepualauan Trobriand, dia menemukan bahwa bahasa mereka, Kiriwinian, merupakan kunci untuk memahami makna dari kehidupan mereka. Namun suatu ketika dia duduk di pantai dan mengamati para nelayan yang saling meneriaki dari perahu yang satu ke perahu yang lain, kemampuan mengendalikan perahu mereka dalam menghadapi kesulitan di laut, Malinowski kemudian menyimpulkan bahwa rasanya tidak cukup hanya dengan memahami dan menulis kata-kata yang mereka ucapkan. Namun seseorang harus memahami mengapa mereka katakan apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka mengatakannya kepada siapa dalam sebuah konteks situasi yang spesifik. Seseorang harus menghubungkan kata-kata, keyakinan, dan cara berfikirnya terhadap konteks budaya yang lebih luas, seperti ekonomi, organisasi sosial, pola kekerabatan, dan sebagainya. Jadi, makna semantis dari tanda-tanda verbal harus ditambahkan dengan makna pragmatis dari tindakan verbal dalam konteks. Bagaimana makna pragmatik secara budaya diwujudkan dalam pertukaran verbal? Makna tercipta tidak hanya melalui apa yang pembicara ingin sampaikan kepada satu dengan yang lainnya, tetapi melalui apa yang mereka lakukan dengan kata-kata dalam rangka merespon tuntutan lingkungannya.
7
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab pertama, bahwa bahasa berkembang melalui proses sosialisasi dan akulturasi dalam masyarakat, pengalaman ini yang selanjutnya menjadi filter atas persepsi dan interpretasi mereka tentang dunia di sekeliling mereka. Penutur suatu bahasa tidak hanya belajar menginterpretasi tanda-tanda dan bertindak berdasarkan atas tanda-tanda yang mereka terima, namun mereka juga belajar mengharapkan tingkah laku tertentu dari orang lain. Mereka berharap disapa pertama dalam suatu pertemuan, berharap didengar pembicaraannya, berharap dijawab pertanyaannya, dan sebagainya. Harapan-harapan ini berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Orang dengan latar budaya Perancis, misalnya berharap disapa dengan jabatan tangan, sedangkan orang Amerika berhrap disapa dengan senyuman, dan sebagainya. Atas dasar pengalaman dalam budaya tertentu (atau kombinasi dengan budaya lain), semua orang menata pengetahuan mereka tentang dunianya dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk memprediksi berbagai interpretasi dan hubungan yang berkaitan dengan informasi, peristiwa, dan pengalaman baru yang mereka jumpai. Struktur umum dari harapan yang dibangun dalam pikiran semua orang melalui budaya yang mereka miliki ini disebut juga dengan bingkai (frame) atau schemata. Bahasa yang dipertukarkan orang dalam komunikasi verbal terhubungkan dalam sejumlah cara yang tak terbilang dengan konteks situasi dan budaya yang melingkupi para pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut. Penutur dan mitra tutur tidak cukup dengan hanya memahami makna semantis yang ada dalam bahasa verbal, namun harus juga memahami makna pragmatis dalam bentuk tanda-tanda paraverbal (tekanan dan intonasi, tempo dan gelak tawa), dan non verbal (arah tatapan, gesture, postur tubuh, nada suara) yang membantu pembicara dalam menuntun pendengarnya melakukan interpretasi atas apa yang dituturkan diantara jarak yang tidak terbatas yang secara potensial sesuai dengan konteks. Tanda-tanda paraverbal dan non verbal yang sesuai dengan konteks inilah yang disebut dengan, contextualization cues.
8
Melalui penggunaan contextual cues ini petutur dan mitra tutur dapat saling menyampaikan apa yang mereka harapkan melalui saluran komunikasi. Dalam komunikasi verbal ini, penutur dan mitra tutur harus mengelola interpretasi tuturan mereka sesuai dengan konteks situasional dan budaya. Upaya untuk menjadikan setiap tuturan yang disampaikan menjadi bermakna sesuai dengan konteks situasional dan budaya merupakan upaya untuk membangun koherensi pragmatis (pragmatic coherence). Koherensi pragmatis tidak hadir dengan sendirinya, namun diciptakan dalam pikiran penutur dan mitra tutur melalui inferensi yang mereka buat berdasarkan tuturan yang mereka dengar. Dengan demikian, koherensi semantis tercipta melalui relasi kata, sedangkan koherensi pragmatis terbangun melalui relasi penutur dan mira tutur dalam konteks budaya yang luas dalam komunikasi. Contextualization cues tidak hanya berguna dalam menciptakan pragmatic coherence, tetapi juga memberikan petunjuk kepada penutur dan mitra tutur dalam komunikasi untuk mengkonstruksi peran-peran budaya secara bersama sebagaimana mereka secara bersama mengkonstruk topic pembicaraan. Dalam komunikasi verbal juga terjadi frustasi akibat adanya kesalahpahaman, ketika tidak terpenuhinya prinsip kooperatif. Semua orang berasumsi bahwa dalam komunikasi dimana pertukaran informasi menjadi hal yang utama, penutur tidak akan menyampaikan sesuatu yang melebihi informasi yang dibutuhkan (maksim kuantitas). Mereka umumnya berharap agar apa yang dikemukakan sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan (maksim relevansi); bahwa pesan yang disampaikan akan jelas dan dapat dipahami (maksim cara); dan dalam keadaan normal mereka tidak mengatakan sesuatu yang tidak diyakini kebenarannya (maksim kualitas). Dalam interaksi komunikasi, mitra tutur berharap bahwa penutur (interlocutor) akan memenuhi empat maksim dari Grice ini. Ketika keempat maksim ini tidak muncul dalam komunikasi, mitra tutur akan merasa frustasi karena beranggapan bahwa penutur sedang menyampaikan
9
informasi yang tidak relevan, menyembunyikan topic pembicaraan, atau berdusta. Penutur yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda mungkin mempunyai interpretasi yang berbeda tentang apa yang dimaksud dengan kebenaran, relevansi, atau kejelasan dalam hubungannya dengan percakapan. Namun semua pihak yang terlibat dalam komunikasi verbal berasumsi bahwa akan ada semacam kerjasama diantara mereka.[]
10
4. Bahasa Tutur, Budaya Lisan
Bahasa tutur terikat dengan waktu tutur dan persepsi oleh orang-orang yang hadir dalam peristiwa ujaran yang temporer. Hal ini berlawanan dengan kemajuan teknologi dalam dunia tulis/cetak yang mampu menerjemahkan bahasa lisan dalam bentuk yang lebih permanen dan dapat terbaca diatas kertas. Paling tidak ada tujuh ciri yang membedakan bahasa tutur dan bahasa tulis. Bahasa Tutur Sementara, karena kendala fisik bahasa, dan pihak yang terlibat dalam percakapan tidak bisa berbicara dalam waktu yang bersamaan. Bersifat non-reversible.
Sederhana, bersifat rhapsodi dan dan dapat ditambahkan selama percakapan.
Bahasa Tulis Permanen, karena dapat disimpan, digunakan kembali, dikumpul ulang, dan respon terhadapnya dapat ditunda. Bersifat lebih prestisius; sifat permanennya itu sehingga bahasa tulis dapat dijadikan sebagai bahasa hukum dan perundangan. Secara hirarki sesuai dengan urutan struktur klausa, tertata dalam halaman sesuai konvensi aksara yang digunakan. Dapat dibaca dalam waktu yang lama. Memiliki struktur kohesi yang kuat. Bersifat analitis, penalaran yang logis, dan abstrak.
Bersifat agregaif, untuk menjaga hubungan antar pihak yang berkomunikasi digunakan bahasa yang ‘berbumbu’, disebut juga dengan phatic communion. Mempunyai sifat pengulangan, Menghindari bentuk pengulangan, untuk memastikan mitra tutur karena tidak dimaksudkan untuk memahami apa yang disampaikan. memenuhi STM. 11
Memenuhi kebutuhan short term memory (STM). Tidak terikat secara gramatika, dan leksikon yang digunakan bersifat longgar dan leluasa. Berpusat/berorientasi pada orang yang terlibat dalam percakapan (people-centered), memperhatikan prinsip kooperatif dan kaidahkaidah (maxims) dalam berkomunikasi. Terikat pada konteks pada saat berkomunikasi; kebenaran dikonstruksi dan didasarkan pada pengalaman bersama yang bersifat commonsense.
Terikat dengan gramatika, dan menggunakan leksikal yang padat, tepat dan hemat. Berpusat/berorientasi pada topic pembicaraan. (topic-centered), bahasa harus jelas, tidak ambigu, koheren, dan sedapat mungkin harus dipercaya. Hal ini juga disebabkan oleh keterbatasan ruang/halaman. Bebas dari konsteks; kebenaran dibangun diatas logika dan argumentasi yang logis dan koheren.
Keterampilan kognitif dihubungkan dengan kemapuan literasi tidak terikat secara intrinsik pada kemajuan teknologi dalam dunia percetakan, meskipun memiliki parameter fisik, sebab kemampuan berfikir logis dan analitis bukan terletak pada aksara dan naskah. Untuk memahami mengapa kemampuan literasi diasosiasikan dengan logika dan analisa, seseorang perlu mengembara jauh ke belakang menyusuri penemuan aksara Yunani dan filsafat Plato, serta pengaruh dikotomi Plato antara ide dan bahasa secara keseluruhan tentang pemikiran Barat. Kemampuan berfikir tidak semata-mata ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh budaya dan sejarah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi berperan dalam membesarkan dan memberikan kekuatan terhadap cara berfikir seseorang atas yang lainnya. Teknologi selalu dihubungkan dengan kekuatan, sedangkan kekuatan terhubungkan dengan budaya yang dominan. Parton atau kerangka budaya digunakan dalam komunikasi verbal dalam suatu struktur masyarakat dari sebuah wacana komunitas direfleksikan, dikonstruksi dan dilanggengkan melalui cara dimana seseorang menggunakan bahasa untuk menentukan posisinya, melindungi kemauan anggota masyarakat yang lain, serta secara umum untuk ‘membahasakan’ 12
pengalaman mereka dalam suatu cara yang berterima dengan konvensi dalam masyarakat. Penggunaan bahasa dan pemilihan kata ini disebut juga dengan deictic. Pengguaan deiksis dalam suatu masyarakat tidak semata menunjuk pada ruang dan waktu dimana komunikasi berlangsung. Namun lebih dari itu, pemilihan dan penggunaan deiksis juga berhubungan dengan status sosial (social positioning) seseorang dalam masyarakat serta status penutur dengan mitra tuturnya. Pemilihan dan penggunaan bahasa (deixis) juga mengindeks pada kekuatan atau solidaritas, jarak atau kedekatan antara pihak yang terlibat dalam komunikasi; juga mengindeks pada budaya antara pihak yang terlibat, yakni apakah berasal dari latar budaya yang egaliter dan demokratis, subordinasi dan marginalitas, superior dan inferior. Pemilihan dan penggunaan deixis dalam komunikasi ini oleh Goffman disebutnya dengan footing position, posisi berpijak. Pergeseran register, alih kode dan campur kode (verbal), paraverbal (tone, voice, intonasi), dan tanda non-verbal (gesture, mimic) yang digunakan mengindeks pada pergeseran kesejajaran budaya antara pihak yang terlibat dalam komunikasi, untuk memberi tanda atau identitas atas keangotaan seseorang dalam suatu institusi atau lembaga budaya. Identitas seseorang dalam suatu institusi budaya juga menjadi indikator siapa yang harus manjadi pembicara pertama (urutan hirarkis), misalnya dalam budaya Jepang, pada saat diskusi yang berbicara pertama adalah perempuan, kemudian laki-laki yang junior baru laki-laki yang senior. Semua ini, negosiasi frame dan pijakan dalam komunikasi, dimaksudkan untuk menjaga ‘muka’ antara pihak yang terlibat dalam komunikasi. Ini adalah bagian dari prinsip kooperatif yang memandu seseorang dalam interaksi sosial, semacam aturan untuk memahami budaya kelompok yang lain. Hal lain yang membedakan antar kelompok budaya dalam komunikasi adalah cara dalam penggunaan wacana orasi dan literasi dalam berbagai genre tujuan sosial. Perbedaan konteks situasi dan konteks budaya dalam komunikasi melahirkan perbedaan gaya penuturan (conversational style). Budaya tercerap dalam gaya bertutur dan bernarasi suatu kelompok sosial, dan selanjutnya menjadi bagian dari identitas budaya.[] 13
5. Bahasa Cetak, Budaya Sastra
Kemajuan teknologi percetakan tidak hanya berdampak pada perubahan medium bahasa yang digunakan daam berkomunikasi, namun juga berpengaruh pada cara berfikir dan berbicara tentang budaya. Dengan demikian teknologi telah mempengaruhi hubungan antara bahasa dan budaya, melalaui transformasi dan transmisi dari wacana dan tradisi lisan menuju tradisi teks. Budaya dari sebuah teks yang diwariskan tidak hanya melalui pembacaan nilai dan kearifan yang dikandungnya, namun juga melalui penggandaan teks tersebut melalui bahasa tulis yang tepat, sehingga pesan dan norma yang diwariskan oleh para leluhur secara persis dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Penggandaan teks merupakan satu-satunya jalan untuk menjaga makna dan nilai yang terkandung dalam sebuah teks, serta mempertahankan prestise sosial yang nyata dalam bentuk pendidikan keberaksaraan (litearsi education). Budaya teks ini juga yang telah mengihlami kemajuan peradaban sebuah budaya bangsa melalui interpretasi dan penerjemahan. Lembaga kekuasaan secara tradisional menjamin kelanggengan budayanya melalui pengawasan terhadap interpretasi teks budaya yang keluar dari teks. Penemuan mesin cetak oleh Guttenberg dan tradisi penerjemahan Bibel dalam bahasa Jerman oleh Martin Luther misalnya, telah berdampak pada akses terhadap kebenaran suci oleh semua orang, tidak hanya terbatas pada elit cendekiawan-Gereja. Kemajuan ini menjadi gerbang penyebaran kebenaran (meaning) yang leluasa. Monopoli kebenaran tidak lagi dilakukan oleh Gereja, namun oleh semua kekuatan secular tanpa sensor, seperti akademisi, media dan lembaga politik. Namun di sisi lain, kemajuan yang dicapai dalam dunia cetak yang memungkinkan setiap orang bebas mengekspresikan pikirannya, maka kekuatan teknologi ini diambil alih oleh kekuatan Gereja atau Negara untuk mengontrol agar orang tidak subversive dalam menyalurkan gagasannya.
14
Monopoli dunia pendidikan atas makna dari sebuah teks termanifestasi dalam definisi, literacy, sebagai kemampuan baca-tulis. Penekanan penting diberikan pada aspek linguistik formal dari sebuah teks, pada etimologi dan makna literal, kebenaran gramatika dan ketepatan ejaan, perhatian diarahkan pada aksara dan naskah, bukan pada spirit yang dikandung oleh sebuah teks. Dalam praktek pendidikan tradisional, yang memberikan penakanan pada bentuk daripada makna, dan menganjurkan murid menginterpretasi teks seolah-olah teks adalah sebuah unit yang otonom, bebas dari respon pembaca. Pendidikan tradisional tidak menghendaki interpretasi yang berbasis konkes atas sebuah teks dengan mengklaim bahwa norma dalam interprtasi itu bersifat universal dan berterima oleh semua lembaga manapun, sehingga interpretasi teks yang menyimpang dari keinginan guru (power) akan menyebabkan sang murid dinilai negative dan tidak akan lulus. Dalam hubungannya dengan konstruksi sosial, keberaksaraan dilihat dalam dua perspektif yang berbeda, keberaksaraan sebagai penguasaan bahasa tulis dan keberaksaraan sebagai praktek sosial, yang berhubungan dengan dua jenis bahasa tulis, teks atau wacana. Dan baik teks maupun wacana mempunyai hubungan yang berbeda dengan konteks budaya dimana kebraksaraan itu diciptakan dan diterima. Teks dipandang tetap dan stabil, seperti tanda-tanda semantis. Sedangkan wacana adalah upaya pengarang dalam menyemai pikirannya, melakukan dekonstruksi atas teks untuk menjelajahi hubungan-hubungan yang dibangun dalam teks, tanpa mempertimbangkan apa yang terjadi dalam pikiran pembaca ataupun konteks sosial tempat dimana teks itu diterima dan dicipta. Teks hanya akan mempunyai makna yang utuh bila dilihat sebagai wacana. Keberaksaraan juga harus melibatkan dimensi sosial dan budaya, sebagaimana dalam komunikasi verbal, dengan memperhatikan, (1) peristiwa yang ditangkap dalam bentuk yang proposisional, (2) target pembaca, (3) tujuan (tindak tutur yang diinginkan), (4) register, (5) sasaran, (6) keberlanjutan dengan teks sebelumnya, serta (7) sudut pandang.[]
15
6. Bahasa dan Identitas Budaya
Ada semacam keyakinan yang kuat bahwa secara alamiah ada hubungan antara bahasa yang digunakan oleh suatu kelompok sosial dan identitas dari kelompok tersebut. Dengan bahasa yang sama, seseorang mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai anggota dari suatu masyarakat tutur atau wacana tertentu. Melalui keanggotaan ini tumbuh kekuatan dan kebanggaan personal, juga kepentingan sosial dan keberlanjutan historis dalam menggunakan bahasa yang sama yang dimiliki secara bersama. Dalam masyarakat yang homogen dan terasing, masih dapat dengan mudah mengidentifikasi keangotaan suatu kelompok melalui praktekpraktek budaya yang umum, serta interaksi antar muka setiap hari. Namun dalam masyarakat modern dewasa ini, sangat sulit menentukan batas yang jelas antar kelompok sosial tertentu serta identitas bahasa dan budaya dari anggota kelompoknya. Le page dan Tabouret-Keller (1982) menemukan tanda untuk menentukan identitas etnis suatu kelompok melalui perbedaan fisik, penampilan umum, warisan genetis, dan kebangsaannya. Tempat kita dilahirkan, dibesarkan dan memperoleh pendidikan saat ini bisa menjadi identitas seseorang. Maka seorang yang lahir di Makassar, dengan orang tua yang berasal dari Ternate, seperti Prof. Bailussy, maka anak-anaknya akan mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Makassar. Identitas kelompok bukanlah suatu fakta alamiah yang diberikan oleh alam, melainkan suatu persepsi budaya. Identitas kelompok menjadi sebuah persoalan yang focus dan merembes pada persoalan etnisitas, rasial, konsep nasional atau stereotype. Meskipun tidak ada hubungan lansgung antara bahasa dan identitas budaya, bahasa menajdi indikator yang sangat sensitive dari hubungan antara individu dan kelompok social tertentu. Bahasa telah menjadi bagian intrgral dari kedirian kita, yang merembes ke dalam pikiran kita dan cara kita dalam memandang dunia kita. [] 16