1
Tabloid Manunggal
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
SALAM REDAKSI
Tabloid Manunggal berbondong-bondong untuk datang ke tempat ini. Mau tahu sudut baru dari Dusun Semilir? Simak isinya di rubrik Perjalanan. Rasanya menyenangkan apabila membaca tabloid edisi ini di sana.
Salam Pers Mahasiswa! Pada akhirnya, pertemuan tidak harus diakhiri dengan perpisahan. Jika sebelumnya Tabloid Manunggal Edisi I Tahun XIX Juli 2019 telah hadir menyapa pembaca sekalian, kita dipertemukan kembali dengan topik yang berbeda. Tabloid Manunggal Edisi II Tahun XIX Desember 2019 kembali menyajikan beritaberita informatif di Undip dan Semarang.
Tidak sampai di situ, tim Tabloid Manunggal mendatangi tokoh-tokoh dari beberapa agama untuk dapat menanggapi isu radikalisme. Kira-kira apa saja yang ditemukan oleh awak tim di lapangan? Mari menelisik lebih dalam di rubrik Liputan Khusus. Selain dari kalangan pemuka agama, influencer dan youtuber asal Palembang, Gita Savitri juga memberikan argumentasinya terkait hal yang sama. Sajian ini bisa dibaca dalam rubrik Wawancara Khusus. Lalu bagaimana pendapatmu? Sejenak berpindah dari tulisan – yang mungkin – yang diisi dengan pembahasan yang berat ke tulisan ringan. Hawa dingin dan suasana di Dusun Semilir menjadi daya tarik wisatawan. Beberapa waktu yang lalu, destinasi ini sempat viral di sosial media. Banyak masyarakat yang
Jika rubrik Sastra Budaya mengajak Anda sekalian untuk kembali ke masa lalu, maka kecanggihan teknologi dan temuan yang dihasilkan para peneliti Undip mengajak kita sekalian untuk berjalan ke depan. Penelitian apa sih yang dimuat di Tabloid Manunggal? Mari kita belajar bersama dalam rubrik Penelitian Dosen dan Penelitian Mahasiswa. Mengingat belajar bisa dilakukan oleh siapa saja, Tabloid Manunggal tetap menghadirkan sosok-sosok inspiratif di rubrik Sosok Dosen dan Sosok Mahasiswa. Masih banyak informasi lain yang bermanfaat dan tidak kalah menarik. Untuk itu, baca sampai tuntas ya sahabat...
Bagaimana sih alur pengadaan fasilitas di fakultas? Banyak sekali kursi-kursi yang sudah tidak layak untuk digunakan karena rusak di gedung A FIB. Kerusakannya meliputi kursi yang apabila diduduki akan turun, busa yang sudah menghilang, dan hal lain yang intinya sangat tidak nyaman untuk digunakan. Tidak hanya kursi, di ruang kelas kami tidak ada layar proyektor, hanya mengandalkan tembok. Baiklah kalau temboknya itu masih bagus sehingga akan menampilkan layar presentasi yang sedikit lebih jelas. Nah ini di beberapa ruang kelas, tembok yang ada justru sudah banyak yang mengelupas. Bagaimana kami bisa belajar dengan nyaman? Katanya World Class University?
Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Manunggal Universitas Diponegoro Pelindung: Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum . Penasihat: Prof. Budi Setiyono, S.Sos., M. Pol. Admin., Prof. Dr.rer.nat. Heru Susanto, S.T, M.M, M.T., Dr. Darsono, S.E., Akt., MBA, Prof. Dr. Ir. Ambariyanto, M.Sc., Dr. Adi Nugroho Pemimpin Umum: Alfio Santos Sekretaris Umum: Verensia Audre Santoso Pemimpin Redaksi: Rivan Triardhana Putra Pemimpin Litbang: Deni Sanjaya Pemimpin Perusahaan: Mutia Larasati Wakil Pemimpin Redaksi: Alfiansyah Redaktur Pelaksana Tabloid: Azza Ifana Reporter Tabloid: Kartika Hikma Dayanti, Ahmad Muda’i Daiman, Monicha Faladianti Redaktur Pelaksana Fotografi: Rena Adinda Selviana Reporter Fotografi: Tita Adi Tiyawati. Rona Arinal Haq Redaktur Desain: Sintia Mulia Rahmadanty Staf Artistik: Sofatun Misrofah Staf Layout: Diah Ramadhanti Safitri Staf Grafis: Luthfia Rizqia Nisa’ Redaktur Pelaksana Cybernews: Erlin Lutvia Anjani Reporter Cybernews: Isna Farhatina, Juan Adhiasta Pratama, Rangga Eka P, Shefa Deanisa Sekar Cahyadi, Winda Nurghaida Redaktur Pelaksana Joglo Pos: Sinta Maulia Reporter Joglo Pos: Annurya Hamida, Muhammad Daffa Apriza, Dini Izzati Sabila Redaktur Pelaksana Majalah: Indah Nur Apriliani Reporter Majalah: Vega Aprinda Lolita, Dyah Satiti Pujitaningrum, Faqih Himawan, Sarah Alfi Maiza Manajer Rumah Tangga: Nanik Nurhana Manajer Produksi, Distribusi dan Iklan: Sherline Vicky Aisyiyah Produksi dan distribusi: Nur Chamidah, Hiskia Rizki Amanina Chasanti Kadiv Kaderisasi: Annisa Rachmawati Staf Kaderisasi: Annisa Febriani, Mohammad Syauqy Radja Robbany Kadiv Jaringan Kerjasama: Mia Dwi Rakhmahwati Staf Jaringan Kerjasama: Ririn Evi Riyani, Safira Rosa Az-zahra Kadiv Data dan Informasi: Windusiwi Asih Akbari Staf Data dan Informasi: Amalia Nur Intan Pratama, Salsabila Afra Ariqoh Manajer EO: Fariza Adani Rahma Staf EO: Mega Laura Lubis, Shofie Fisabilla Alamat Redaksi, Iklan dan Sirkulasi: Student Centre Lt. 1 Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang Email: persmanunggal@yahoo.com Website: www. manunggal.undip.ac.id
Ina - Fakultas Ilmu Budaya 2018
GONG Komik: Sofa/Manunggal
SURAT PEMBACA
Isu tentang radikalisme di Undip cukup menggelitik bagi banyak kalangan civitas academica kampus. Berawal dari spanduk yang terpasang di beberapa titik pada awal semester yang lalu, radikalisme seakan menjadi bahan perbincangan yang tidak habis-habis dalam mengurai pertanyaan-pertanyaan baru. Terlebih di hampir setiap pidato yang disampaikan oleh Rektor Undip dan tema dalam sebuah acara yang menyinggung isu radikalisme, memunculkan teka-teki yang harus dikuak. Oleh karena itulah Tabloid Manunggal kali
ini mempersembahkan berita terkait “Menyingkap Radikalisme di Undip” sebagai tema utama dengan judul Sajian Utama “Menyingkap Pergerakan Radikalisme di Undip.”
Tidak puas dengan perjalanan Semarang? Tenang, Tabloid Manunggal mengajak pembaca untuk berkunjung di Pekalongan. Satu di antara banyak kesenian di Pekalongan adalah Tari Sintren. Tarian ini sekaligus menjadi bentuk komunikasi masyarakat di sana. Bagaimana perkembangan tari Sintren yang dibalut dalam romansa cinta para tokohnya? Mari membudayakan budaya dengan membaca rubrik Sastra Budaya.
2
Menyingkap Pergerakan Radikalisme di Undip Apakah kampus kita sudah tidak aman? Radikalisme dalam Berbagai sudut Pandang Agama Semoga damai terus bumi Tembalang-ku #Beropini, Radikalisme Dibalik Kacamata Gita Savitri Menurutmu?
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
3
G
Tabloid Manunggal
A
U
N
G
Benarkah Undip Darurat Radikalisme? Oleh: Alfiansyah*
Selamat & Sukses
Awal semester ganjil 2019 ini –tepatnya saat penerimaan mahasiswa baru, publik Undip diramaikan dengan beredarnya spanduk yang menampilkan Anis-Dian, Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip 2019, dengan dibersamai tulisan yang isinya cukup menarik perhatian. “Katakan tidak pada radikalisme, komunisme, narkoba, penyimpangan seksual dan kekerasan,” begitulah narasi yang tercantum dalam spanduk tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri, topik tersebut merupakan halhal yang cenderung dihindari atau bahkan dimusuhi, khususnya di Indonesia. Namun, mengampanyekannya dengan cara sedemikian rupa agaknya dinilai kurang bijak karena dapat bersinggungan dengan kebebasan mimbar akademik, dimana kampus seharusnya memposisikan diri sebagai tempat paling netral untuk membicarakan topik tersebut.
Jika mencoba untuk mencari benang merah atas hadirnya spanduk provokatif yang muncul di tiap sudut Undip itu, maka kita tidak bisa mengabaikan kabar tentang Undip yang (dikatakan) terpapar radikalisme dan kasus pencopotan jabatan Prof. Suteki karena dituduh radikal. Kedua hal ini –yang bahkan sudah diwartakan oleh media mainstream, nampaknya membuat pihak rektorat Undip harus mencari cara untuk kembali membersihkan nama baik almamater. Sepertinya mereka enggan konsistensinya terpecah dalam mengejar 500 World Class Univesity. Maka dari itu, berdasarkan Keputusan Rektor nomor 823/UN7.P/HK/2018 tentang pembentukan Tim Anti Radikalisme Undip (Timaru) Undip kini memiliki special force-nya sendiri untuk menangani isu radikalisme ini. Sejauh ini hadirnya Timaru sebagai special force antiradikalisme agaknya tidak ter-
lalu berdampak bagi kalangan mahasiswa. Meskipun dalam rubrik Sajian Utama, Timaru mengeklaim pernah menangani korban kelompok radikal dari kalangan mahasiswa. Namun, jika dilihat jejak digitalnya, special force ini pernah sekali berkerja sama dengan Biro Adminisrasi Kemahasiswaan Undip, mengadakan workshop bagi dosen Pancasila dan kewarganegaraan. Selain itu belum ada kegiatan yang mencolok dan dipublikasikan melalui laman webnya. Di sini muncul pertanyaan, apakah hal itu adalah bentuk reaksioner dari kasus Prof. Suteki belaka (mengingat beliau mengampu mata kuliah Pancasila)? Sehingga sampai saat ini masih berfokus pada gerakan preventif melalu pencegahan dengan objek para dosen. Belum adanya langkah yang signifikan untuk merangkul mahasiswa –seperti mengadakan seminar atau workshop, membuat adanya kesan buruk
terhadap isu radikalisme di Undip. Pemahaman mahasiswa terhadap kata ‘radikal’ sendiri sangat beragam dan belum satu suara. Padahal jika memang konteks radikalisme itu berbahaya, tentu perlu adanya penyamaan persepsi agar menjadi kesadaran bersama untuk menjauhinya. Kemudian, belum terbukanya Timaru kepada mahasiswa umum membuat isu radikalisme dan hadirnya special force ini juga memungkinkan hadirnya opini dapat mengekang kebebasan mimbar akademik, terlebih setelah dirilisnya spanduk yang muncul di tiap sudut Undip itu. Sampai disini, perlu kita pertanyakan kembali apakah radikalisme di Undip se-darurat itu? Apakah civitas akademik di Undip sadar akan hal itu? Atau isu ini hanya dibesar-besarkan karena adanya framing oleh media? *) Wakil Pemimpin Redaksi LPM Manunggal
Safira Irfani Maulida, S.P. Manajer Rumah Tangga 2017
Fachrizal Kurniadi W. S.Pt. Staf Produksi Distribusi dan Iklan 2016
Bonna Nur Ischaq D. S.Sos. Kepala Divisi Data dan Informasi 2016
Putri Rachmawati, S.S. Pemimpin Redaksi 2017
Ulfa Mawaddah A. S.I.Kom Wakil Pemimpin Redaksi 2018
Iga Tikah Rilanti, S.I.Kom Pemimpin Umum 2018
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
SAJIANUTAMA UTAMA SAJIAN
Tabloid Manunggal Manunggal Tabloid
4
Menyingkap Pergerakan Radikalisme di Undip Isu tentang radikalisme tengah hangat dibicarakan di lingkungan Universitas Diponegoro. Panasnya pembahasan radikalisme mulai muncul sejak tahun 2018 di mana banyak diberitakan tujuh kampus yang terpapar radikalisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam berbagai linimasa. Ketika ditelisik lebih dalam makna radikal sendiri sebenarnya sesuatu yang positif, namun bisa bermakna negatif ketika berubah menjadi radikalisme. “Memaknai radikalisme itu sebuah pemahaman, sikap, perilaku yang ingin mengganti secara radikal sistem yang sudah ada atau bahkan ideologi sebuah bangsa,” ungkap Ketua Tim Anti Radikalisme Undip (Timaru), Muhammad Adnan. Terkait dengan itu, radikalisme sering disangkutpautkan dengan kelompok agama tertentu. Namun, hubungan tersebut hanya sebatas subjektivitas terhadap kelompok tersebut saja. “Radikalisme itu terjadi karena memiliki keyakinan yang intoleran, merasa paling benar. Apalagi terkait dengan keagamaan. Keyakinan ini kalau dipupuk terus akan menjadi radikal,” papar Adnan. Permulaan Kasus Beberapa waktu lalu, warga Undip dihebohkan dengan munculnya spanduk yang berisi penolakan terhadap radikalisme, penyimpangan seksual dan komunisme. Spanduk itu secara lengkap bertuliskan “katakan tidak pada radikalisme, komunisme, narkoba, penyimpangan seksual, dan kekerasan!” Spanduk-spanduk tersebut dipasang di beberapa titik dengan menampilkan Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip terpilih tahun 2019. Pemasangan spanduk tersebut lantas membuat mahasiswa Undip bertanya-tanya tentang bentuk dari radikalisme yang ada di lingkungan kampus. Isu tentang Radikalisme sebenarnya bukan lagi menjadi hal yang sepele di lingkungan Undip. Hal tersebut semakin terdengar ketika tahun 2018, Mohamad Nasir yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, pernah menyatakan data yang bersumber dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa terdapat beberapa perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. Dalam data tersebut, Undip menjadi salah satu universitas yang masuk dalam daftar. Terpaan isu radikalisme di Undip semakin mencuat tatkala kasus Prof. Suteki yang menjadi saksi ahli dalam persidangan gugatan HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada
1 Februari 2018 mempolisikan Rektor Undip, Prof. Yos Johan Utama di tahun 2019. Pada tahun yang sama berdasarkan berita yang dipublikasikan oleh stasiun televisi Metrotv pada tanggal 4 Oktober lalu, Undip tidak lagi masuk dalam tujuh besar perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. Angka ini merosot menjadi urutan ke-11 dari 12 perguruan tinggi yang dicantumkan. Sumber data ini diambil dari Setara Institute tahun 2019. Dalam berita tersebut juga dipaparkan terdapat setidaknya 39% mahasiswa terpapar oleh radikalisme yang datanya diambil dari Badan Intelijen Negara (BIN) di tahun 2018. Pemberitaan mengenai radikalime di Undip menuai banyak kontroversi. Salah satunya adalah adanya anggapan bahwa Undip membungkam lingkar akademik mahasiswa dengan melarang berpikir radikal dan mempelajari ideologi negara lain. Tudingan ini diluruskan oleh Wakil Ketua BEM Undip 2019, Dian Fitriani. Radikalisme yang dimaksud dalam spanduk tersebut maksudnya adalah kelompok tertentu yang ingin berusaha mengubah ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka menganggap pemahamannya harus ditegakkan, sehingga secara terang-terangan mengumumkan ideologi mereka dan menolak paham kebangsaan. Radikalisme yang semacam inilah yang berusaha untuk dipantau oleh Timaru. “Pada intinya yang ikut paham-paham yang radikal yang dalam tanda kutip ingin mengganti ideologi negara,” tutur Dian ketika ditemui pada Selasa (29/10). Sejalan dengan Dian, ketua dari Timaru, yakni Muhammad Adnan juga berkata hal yang sama. Mewakili Timaru, dia menjelaskan bahwa Undip sama sekali tidak melarang apabila ada pembelajaran ataupun diskusi yang berhubungan dengan paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia. “Mahasiswa itu kan khawatir kalau gerakan antiradikalis itu membatasi kebebasan ruang mereka. Tunjukkan ucapan yang pernah muncul dari saya yang melarang itu, bahkan universitas pun tidak melarang,” tukas Adnan ketika diwawancarai pada Selasa (29/10) di ruang prodi Ilmu Politik, FISIP. Sementara itu dijelaskan lebih lan-
jut bahwa apa yang berusaha dibendung oleh Timaru adalah ketika terdapat individu maupun kelompok yang secara terangterangan mempelajari konsep ideologi lain kemudian berusaha membuat gerakan politik untuk menerapkan ideologi itu yang bertujuan untuk mengubah ideologi negara. Pergolakan Radikalisme Pada 2018 lalu, Undip pernah digemparkan karena adanya dugaan salah satu guru besarnya terpapar radikalisme. Prof. Suteki diduga terlibat dengan organisasi terlarang, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pelarangan organisasi kemasyarakatan (ormas) HTI ini turun sejak tanggal, 19 Juli 2017 lalu oleh pemerintah Indonesia. Beberapa bulan setelahnya, Undip harus menelan ludah karena pemberitaan tentang radikalisme yang menyasar. Berdasarkan data dari BNPT Undip berada di urutan ke-4 dari 7 perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. Selain kasus Prof. Suteki, Timaru menerangkan terdapat kasus mahasiswi Undip yang masuk dalam lingkaran kelompok radikalisme. Menurutnya, kelompok tersebut cenderung melakukan pemaksaan terhadap korban. Orang tua korban yang awalnya senang melihat perubahan anaknya yang memakai kerudung akhirnya mulai curiga karena perubahan sikap sang anak. Timaru menjelaskan kecenderungan kelompok tersebut dalam membolehkan membohongi orang terdekat untuk kepentingan “jihad” dengan membawa bendera dalam aksi demo. Selain kasus yang dibeberkan oleh Timaru, tim Tabloid Manunggal berhasil menguak kasus-kasus lain yang diduga berkaitan dengan radikalisme di Undip. Resa (nama samaran) menceritakan bahwa di Undip pernah ditemukan kelompok dengan logo yang berhaluan ekstremis kiri. Selain itu, terdapat pula yang berhaluan ektrimis kanan. Dia juga menjelaskan bahwa organisasi yang secara formal sudah dilarang pemerintah yaitu HTI, ternyata mempunyai anak organisasi mahasiswa yang disingkat dengan GP. Setelah ditelusuri, anak organisasi tersebut sudah lama berkembang di lingkungan Undip.
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
Berdasarkan hasil investigasi, organisasi GP bahkan memiliki anak organisasi khusus untuk mahasiswa Undip yaitu GP Undip. Dalam salah satu akun media sosial GP secara terang-terangan mempublikasikan foto tahun 2018 lalu tepatnya pada tanggal 9 September, GP Undip bersama dengan PD GP Semarang melakukan kunjungan ke BEM Undip. Dalam keterangan foto yang diunggah disebutkan bahwa salah satu pejabat tinggi BEM Undip menyambut kedatangan “kunjungan pergerakan” dari GP. Di bulan sebelumnya, tanggal 23 Mei, pada akun yang sama juga mengunggah foto AS (nama inisial) yang dituliskan jabatannya sebagai Ketua Gema Pembebasan Komisariat Undip. Di tahun 2017, melalui akun Instagram berinisial AS, GP Undip rupanya telah membuat acara diskusi di Undip, salah satunya dengan menggaet Bidang Sosial dan Politik BEM Undip. Diskusi yang diangkat bertajuk “Diskusi Publik: Nasionalisasi Freeport, Perlukah?” Menurut Rohmah (nama samaran) sebagai alumni Undip yang saat ini masih menjadi anggota GP menungkapkan bahwa organisasi GP Undip sudah dibubarkan. GP Undip saat ini bergabung dengan kepengurusan GP Semarang. “Dulu pernah ada, terus karena tidak ada pengurus jadi ikut ke yang kepengurusan kota,” jelas Rohmah. Selain ditemukannya GP Undip, tim Tabloid Manunggal juga berhasil menemukan fakta baru yang mana diduga menjadi bagian dari radikalisme. Kasus ini sengaja diredam oleh beberapa pihak, yaitu terdapat oknum dosen saat menghadiri Training of Trainer acara Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) yang ingin mengganti sila pertama dari Pancasila. Berdasarkan keterangan dari Resa, dosen tersebut ingin mengganti sila pertama sama dengan isi Piagam Jakarta, yaitu Ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kasus lain juga terjadi ketika datangnya Puan Maharani yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam rangkaian penutu-
5
SAJIANUTAMA UTAMA SAJIAN
Tabloid Manunggal Manunggal Tabloid
pan acara Orientasi Diponegoro Muda (ODM) di stadion Undip bulan Agustus lalu. Menurut penuturan Resa, ketika Puan telah sampai di stadion, seluruh pengawal akan menerima laporan dengan pin yang bergetar. Namun, ada satu pengawal yang pinnya tidak bergetar. Setelah ditelisik, ternyata terindikasi bahwa dia sedang menyamar dan tergabung dalam jaringan terorisme. Belum diketahui secara pasti motif apa dibalik penyamaran tersebut. Resa tidak menjelaskan lebih lanjut apakah pelaku merupakan bagian dari civitas akademika Undip atau bukan. Menanggapi hal ini, Timaru justru memberikan keterangan yang berbeda mengenai peristiwa yang ada pada saat penutupan ODM berlangsung. Adnan mengungkapkan bahwa pada saat kedatangan Puan Maharani di acara penutupan ODM waktu itu, terdapat mahasiswa yang mengibarkan bendera HTI. Namun kasus ini telah diproses oleh fakultas. “Kalau itu saya dengar, saya datang waktu acara di Stadion itu. Tapi itu kan ribuan mahasiswa, nah katanya setelah saya pulang, ada yang mengibarkan bendera itu (HTI, red) di tengah-tengah ribuan mahasiswa,” terang Adnan. Informasi yang didapat memang masih simpang-siur. Resa justru membenarkan terdapat mahasiswa yang mengibarkan bendera HTI. Namun menurut pengakuan Resa, kejadian tersebut terjadi saat Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) bukan pada saat ODM. Resa juga membetulkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh salah satu mahasiswa dari salah satu fakultas yang ada di Undip. “Iya mahasiswa, bukan maba (mahasiswa baru, red). Maba kan lagi PMB nih terus dia tiba-tiba gini (mengibarkan, red) pakai bendera itu (HTI, red), sangat berani,” ujar Resa. Berlanjut, Resa mengungkapkan terdapat tiga mahasiswa dari dua fakultas yang berbeda di Undip yang kedapatan mendapatkan surat pemanggilan dari polisi karena diduga terendus jaringan terorisme. Satu mahasiswa dari fakultas yang sama mengikuti ekstremis kiri, sementara dua mahasiswa dari fakultas yang lain berhaluan pada ekstremis kanan. Namun kasus ini berhasil diselesaikan oleh Timaru untuk dibimbing, sementara salah satunya tidak bersedia. Beberapa Daftar Hitam Prof. Suteki, seorang guru besar dari Fakultas Hukum (FH) Undip menjadi salah satu nama yang disebut-sebut radikal di Undip. Prof. Suteki berdalih jika
dirinya sama sekali tidak mengetahui mengapa dirinya dicap sebagai orang yang radikal. Menurutnya radikalisme memiliki dua arti, dalam artian peyoratif dan amelioratif. Radikalisme dalam arti peyoratif yaitu sikap menginginkan perubahan yang mendasar dengan melakukan tindakan ekstrem, misalnya kekerasan dan pemaksaan. Sedangkan, radikalisme dalam arti amelioratif adalah cara berpikir yang mengakar (mendalam). “Saya katakan itu tidak benar (dianggap radikal, red). Saya bukan radikalisme dalam peyorasi, saya tidak pernah menyuruh orang untuk begini-begini (kekerasan, red),” ujar Prof. Suteki kepada tim Tabloid Manunggal pada Selasa (29/10). Tetapi, pada kenyataannya radikalisme yang sering digaungkan adalah radikalisme dalam artian peyoratif. Maka dari itu Prof. Suteki meng-counter dengan istilah Radikal (Ramah, Terdidik, dan Berakal). Nama Prof. Suteki terlibat dalam dosen yang diduga terpapar radikalisme berawal ketika menjadi saksi ahli dalam kasus gugatan HTI di PTUN pada 1 Februari 2018 dan posting-an di media sosial Facebook yang dianggap mendukung secara tidak langsung pada organisasi terlarang tersebut. Hal itu mengakibatkan dirinya diberhentikan sementara dari jabatan Ketua Program Studi (Kaprodi) Magister Ilmu Hukum (MIH) dan Ketua Senat Fakultas Hukum dengan surat keputusan nomor: 586/UN7.P/KP/2018 tentang pemberhentian dua jabatan penting dan beberapa jabatan lain di luar kampus. Setelah sempat meredup, kasus Prof. Suteki ini kembali muncul di media sosial baru-baru ini yang memicu konflik dengan pihak rektorat. Buntut dari pemberhentian itu, Prof. Suteki menggugat Rektor Undip, Prof. Yos Johan Utama ke PTUN Semarang atas pemberhentian sejumlah jabatan di perguruan tinggi yang diduga tidak sesuai prosedur. Selain itu, Prof. Suteki juga melaporkan Rektor Undip ke Polda Jawa Tengah terkait dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Rektor Undip. Menurut penuturan Adnan, selaku Ketua Timaru, menuturkan bahwa Prof. Suteki menulis jurnal yang diduga memuat paham intoleran dan tidak mencerminkan ideologi bangsa. “Anda mendengar kasus Prof. Suteki. Anda lacak medsosnya, Anda lihat jurnal terakhir yang dia tulis. Dan jurnal itu terakreditasi, memuat pemikiran yang seperti (radikal, red) itu, dan itu indikator yang sudah tidak terbantah lagi,” ungkap Adnan. Adnan
juga menambahkan bahwa Timaru mendapatkan laporan dari mahasiswa yang diajar oleh Prof. Suteki mengenai dugaan penyebaran paham khilafah. “Mahasiswa FH itu cerita ke Timaru bahwa Prof. Suteki mengajar 10% Pancasila yang 90% khilafah,” terang Adnan. Selain Prof. Suteki, berdasarkan hasil investigasi yang ditemukan oleh tim Tabloid Manunggal, terdapat dua nama lain, dosen yang masuk dalam daftar Timaru. Demi keamanan, asal fakultas dosen tersebut tidak akan dijelaskan. Hamid dan Nur (nama keduanya samaran) mengaku tak tahu menahu alasan dirinya masuk dalam daftar Timaru. Bahkan dirinya mendapatkan surat bukan langsung dari Timaru tetapi dari senat. Timaru dan UKM PIB Berdasarkan Keputusan Rektor nomor 823/UN7.P/HK/2018 Undip membentuk Tim Anti Radikalisme Undip atau yang lebih dikenal dengan Timaru. Tim tersebut langsung dibawah rektorat, serta terdiri dari beberapa dosen yang berasal dari berbagai fakultas. Timaru bertugas untuk mencegah maupun mengembalikan paham yang sudah terpapar radikalisme. “Deradikalisasi itu upaya untuk mengobati orang yang sudah radikalisme. Lebih mencegah, jangan sampai komunitas Undip memiliki paham radikal,” ungkap ketua Timaru, Adnan. Menurut keterangan Adnan, Timaru telah mengadakan workshop untuk menyelaraskan pemikiran-pemikiran dosen agama di Undip. Workshop tersebut untuk menyusun Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan penanaman nilainilai kebangsaan, toleransi dan antiradikalisme. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyatukan pemahaman dosen pengajar, supaya siapapun yang mengambil mata kuliah itu memiliki pemahaman yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Dalam acara orientasi mahasiswa baru, Timaru juga mengantisipasi dengan memberikan materi nilai-nilai keberagaman di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Langkah tersebut merupakan upaya agar tidak mengikuti paham-paham intoleran yang ingin mengubah dasar negara dan ideologi bangsa. Selain itu, Timaru juga menyampaikan informasi itu melalui selebaran serta spanduk. Bentuk fisik dari upaya preventif penyebaran radikal di Undip dapat dilihat dari spanduk yang berisi penolakan terha-
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
dap radikalisme, penyimpangan seksual, dan komunisme tersebut merupakan langkah kerja Timaru dalam mencegah paham intoleran serta menolak penyimpangan. Dalam spanduk itu juga melibatkan BEM Undip dalam membantu pencegahannya. Meski begitu, sesuai dengan klarifikasi yang diberikan oleh Anies-Dian dalam youtube channel BEM Undip, sejujurnya pemasangan spanduk yang melibatkan foto Kabem dan Wakabem itu adalah bentuk dari kesalahpahaman dalam berkomunikasi antara Timaru dan BEM. “Kami tegaskan bahwa poster itu bukan dari BEM,” tukas Dian. Meski begitu BEM siap untuk bekerjasama dengan Timaru guna turut serta menangkal radikalisme. “Bergandeng tangan dalam artian apabila ada hal-hal yang bermanfaat ada hal-hal yang memang baik untuk masa depan Undip secara luas dan umum kita bakalan siap untuk diajak bergandeng tangan ajakannya itu kan untuk jangan ikut paham-paham yang radikal yang dalam tanda kutip pengen mengganti ideologi negara,” papar Dian. Dalam mencegah paham yang intoleran, Kemenristekdikti telah mengeluarkan peraturan yang mengatur khusus tentang paham tersebut. Hal itu diwujudkan melalui pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB). “UKM PIB itu kan berdasarkan peraturan kemenristekdikti nomor 55 tahun 2018 itu murni dibentuk para rektor UKM yang bersifat khusus langsung di bawah rektor beda dengan UKM-UKM yang lain. Anggota daripada UKM PIB adalah anggota dari organisasi ekstra mahasiswa” ujar Dian. Organisasi tersebut merupakan wadah pembinaan bagi aktivis mahasiswa di Undip supaya memiliki paham berkebangsaan yang sama. Menurut keterangan Adnan, UKM itu sudah memiliki anggota yang terdiri dari berbagai organisasi ekstra di Undip. Terutama kelompok Cipayung, yang terdiri dari HMI, GMNI, PMII, GMKI dan PMKRI. Selain itu, ekstra lain seperti KAMMI, IMM dan SAPMA Pemuda Pancasila juga turut diundang dalam mengisi keanggotaan UKM PIB. “Nanti, jika UKM itu telah disahkan akan ada rangkaian pelatihan, pembekalan agar mereka tidak menjadi musuh yang lain dan tidak memusuhi yang lain. Tapi dengan semangat pertemanan, sebagai saudara itu kuncinya,” ungkap Adnan. (Mudai, Faqih, Azza)
LIPUTAN KHUSUS
Tabloid Manunggal
6
Radikalisme dalam Berbagai Sudut Pandang Agama Radikalisme bukan lagi menjadi hal yang bisa dianggap sepele. Radikalisme seringkali digolongkan sebagai bagian dari momok berbahaya bagi negara. Berbagai lapisan masyarakat turut serta melakukan upaya untuk menangkal radikalisme. Lalu bagaimana setiap agama memahami sebuah tindakan radikalisme? Interpretasi Radikalisme Dalam disiplin ilmu pengetahuan, radikal merupakan konsep berpikir yang ditelusuri sampai ke kerangka dasarnya. Hal tersebut untuk menemukan kebenaran dan merumuskan permasalahan sehingga lebih mudah dipahami. “Secara teori sebetulnya kita harus berpikir secara radikal juga, artinya harus melihat segala sesuatunya itu secara tuntas, tidak setengah-setengah,” ucap Syamsul Huda, takmir masjid kampus Undip. Di sisi lain, radikalisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Anung, salah satu pemuka agama Kristen menyatakan bahwa radikalisme dikaitkan dengan tindakan ekstrem. “Radikalisme adalah suatu ideologi yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan segala cara termasuk cara-cara kekerasan atau ekstrem yang dapat menciptakan suasana ketakutan (teror, red),” jelas Anung. Jika mendengar kata radikalisme, banyak orang akan menyangkutpautkan hal tersebut dengan terorisme. Semacam hal ini sudah menjadi stigma yang banyak diilhami oleh masyarakat Indonesia bahkan juga negara lain. Sudah bukan lagi menjadi hal yang rahasia manakala terdapat anggapan bahwa terorisme dekat dengan Islam. Tidak hanya sekadar meneror dalam hal yang sederhana, pergerakan mereka dalam beberapa kasus sampai melakukan bom bunuh diri yang sangat merugikan banyak pihak. Syamsul Huda melihat fenomena terorisme menganggap bahwa para teroris tidak memahami secara
Ilustrasi: Sofa/Manunggal
benar ajaran Islam dan cenderung berpikir kurang komprehensif. “Kalau tahu ajaran agama dengan baik, tentuya akan mengamalkan dengan baik. Mereka yang radikal biasanya kurang komprehensif, artinya masih kurang dan pemahamannya setengah matang dan mudah dipengaruhi oleh paham-paham justru yang bertentangan dengan agamanya,” ungkap Syamsul. Pernyataan serupa juga disampaikan I Made Sutapa, pemangku agama Hindu, “Radikalisme merupakan pemahaman terhadap ajaran agama secara tidak menyeluruh. Jika orang benar dalam memahami agamanya maka tidak akan berkata kotor.”
Upaya Preventif
Meski begitu, tanggapan mengenai radikalisme adalah Islam tidak sepenuhnya diresapi oleh banyak orang, salah satunya adalah Kasiri. “Radikalisme sering dikaitkan dengan agama Islam, padahal terorisme merupakan bentuk kekerasan dan Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian,” ungkap Kasiri, selaku pengurus Wihara Buddhagaya Watugong Pudak Payung. Seringkali orang berpikir secara radikal dipandang dengan kekerasan ataupun erat kaitannya dengan aksi terorisme. Hal tersebut sungguh berbeda dengan pengertian radikal yang identik dengan perilaku kekerasan seperti yang diungkapkan sebelumnya.
Beberapa bentuk konkret dari upaya pencegahan radikalisme yang dilakukan di beberapa tempat ibadah disekitar Undip adalah dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat secara luas mengenai empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Empat pilar kebangsaan ini seharusnya bisa dijadikan landasan dan akar yang kuat untuk dapat mencintai negara Indonesia. “Kami selalu mendengungkan empat Pilar PBNU yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 45, itukan harga mati,” ungkap Kasiri, selaku pengurus Wihara Pudak Payung
Setiap manusia dengan kepercayaan dan alirannya masing-masing tentu mencipatakan berbagai perbedaan. Namun, perbedaan tersebut seharusnya dilihat sebagai suatu khazanah dalam kehidupan bermasyarakat dan membuat kita saling menghormati dan memahami agar tercipta kehidupan yang selaras dan damai. “Kita perlu saling memahami bahwa agama dan kehidupan beragama adalah cara kita membangun relasi cinta kasih, kasih sayang, welas asih kita dengan Sang Pencipta, dengan sesama umat manusia dan dengan lingkungan/ alam,” jelas Anung.
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
Dalam agama Hindu sendiri, bentuk pencegahan yang dapat dilakukan agar terhindar dari radikalisme adalah dengan menaati ajaran Tri Kaya Parisudha. Ajaran Tri Kaya Parisudha mengajarkan umat Hindu untuk berpikir, berkata, dan berbuat yang benar sehingga mencapai tujuan hidup tertinggi yaitu moksa. “Jika seorang umat Hindu ingin terhindar dari radikal, maka harus menaati ajaran Tri Kaya Parisudha. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tujuan hidup tertinggi dalam ajaran Hindu yaitu moksa,” tutur I Made Sutapa. Anung menuturkan bahwa setiap individu seharusnya bisa memahami agamanya masing-masing secara benar. Hal ini karena dalam setiap agama selalu menunjuk pada cinta-kasih dan kedamaian. “Apapun agamanya memiliki tiga dimensi relasional. Pertama, dimensi relasional antara umat dengan Sang Penciptanya. Kedua, dimensi relasional umat dengan umat yang lain. Ketiga, dimensi relasional umat dengan ciptaan yang lain (lingkungan, red),” ujarnya. Sebuah keberagaman seharusnya tidak dijadikan sebagai hal yang dihindari. Lagipula Indonesia merupakan negara multikultural yang tentu akan bersinggungan dengan agama maupun budaya yang lain. Perbedaan harus menjadi landasan dalam menguatkan tanah air. Toleransi perlu dipupuk dan diyakini oleh setiap individu guna menciptakan sebuah keharmonian dalam kedamaian. (Kartika, Mudai)
7
WAWANCARA KHUSUS
Tabloid Manunggal
#Beropini, Radikalisme Dibalik Kacamata Gita Savitri BIODATA Gita Savitri Devi Palembang, 27 Juli 1992 Kimia Murni - Freie Universität Berlin Kreator konten video youtube (youtuber), blogger, social media influencer, penulis buku Rentang Kisah Foto: Tita/Manunggal
Radikalisme tengah menjadi isu yang panas dibicarakan. Gerakan radikal yang dinilai dapat membahayakan NKRI, membuat pemerintah turun tangan dangan membuat kebijakan-kebijakan baru untuk menangkal radikalisme. Hal ini juga dilakukan di berbagai lembaga pendidikan sejak diturunkannya hasil olah data yang menyatakan terdapat beberapa perguruan tinggi yang terpapar radikalisme.
Gita Savitri Devi atau yang lebih dikenal dengan Gitasav merupakan seorang konten kreator yang kerapkali membagikan opininya di berbagai lini masa. Dikenal sebagai seorang aktivis perempuan, dirinya tidak pernah takut manakala menyuarakan hal yang dianggap semu oleh banyak orang. Isu perempuan, radikalisme, keberagaman, dan masalah-masalah fundamental yang lain telah beberapa kali dibahas baik di Youtube channel maupun Instagram-nya. Beruntung kali ini reporter Manunggal, Azza Ifana berhasil “#beropini” dengan Gita terkait dengan isu radikalisme. Bagaimana pendapat Gita Savitri terkait dengan definisi radikalisme? Kalau definisi pastinya aku juga kurang tahu ya tapi kalau menurut aku itu once kamu sudah punya satu saklek pemahaman, dan itu membuatmu jadi membenci orang lain, you take it to other level further kamu pengen harming orang yang beda sama kamu, entah itu drive nya karena agama mungkin karena ras juga. Jadi ibaratnya oposite of diversity, orang yang embarrassing diversity adalah orang-orang yang radikal menurut aku. Di Indonesia sendiri radikalisme seringkali menunjuk pada salah satu kelompok. Menurut Gita Savitri itu bagaimana? Kalau menurutku sebagai orang yang pernah dan masih tinggal di minoritas, aku meli-
hat orang-orang yang radikal, kaya massed up gitu. Makanya aku suka bilang di video aku, lo tu jangan mentang-mentang mayoritas terus lo gini, kita itu harus introspeksi what you are doing now itu sama seperti yang orang-orang kulit putih lakukan di tengah orang-orang minoritas gitu. Iya terus masalahnya gini. Ini ke-sok-tahu-an aku ya. Kalau misalnya aku ngelihat di Inggris nih, antara pemerintah sama organisasi masyarakat atau masyarakatnya sendiri mereka tahu nih this is a trap to UK misalnya atau di Jerman, Amerika juga gitu. Kita sudah tahu ini buruk, ekstremisme itu buruk, radikalisme itu buruk, kita harus punya counter narrative nya. Nah sementara di Indonesia, karena ke-soktahu-an aku lagi, aku melihat ada beberapa orang kita yang gak bisa bedain mana sih bordernya udah apa sih antara lo radikal sama tidak. Karena misalnya nih kita mulai ngomong lo udah terlalu ekstrem, menurut kita udah ekstrem tapi orang-orang yang konservatif religius itu bilang gak kok. Jadi kita sebagai orang yang moderat kita mau pointing out that fact sama calling out mereka, kita jadi gak enak nanti dikira blasphemy. Jadi karena ada konservatif religius itulah jadi bikin kita menghadapi masalah radikalisme dan ekstremis Indonesia itu masih susah gitu. Benarkah banyak generasi muda Indonesia yang terpapar radikalisme? Kalau aku melihatnya gene-
rasi muda itu ke-“split” juga, jadi ada yang udah open terbuka, ada yang sayangnya saklek karena mungkin dia tidak diberi kebebasan berpikir oleh orang tuanya maupun societynya. Cuma yang aku seneng kita-kita yang moderat itu walaupun masih banyak yang silent juga tapi udah mulai banyak yang bersuara. Untungnya di antara dua itu (open minded dan saklek, red) balance-lah. Aku gak bisa bilang yang terpapar banyak atau enggak, tapi yang pasti ada. I mean orang di organisasi atau apapun yang kita bilang radikalisme itu kelompok-kelompok itu ya setauku mereka sistematis banget dan rapi sampai orangorang ibaratnya sekena racun itu. Padahal dia gak tahu. Ada banyak atau enggak aku gak tahu tapi yang jelas kalau di media sosial, mereka suka berisik. Apakah di Jerman ada kasus serupa? Kalau di Jerman itu trendnya di Barat lain juga si sebenernya aku rasa itu diawali sama Trump itu deh kayak nya. Terus karena di Jerman dulu ada Nazi meskipun Nazinya sudah gak ada, tapi pemahaman itu kan kita tidak bisa hilang, simpatisan itu masih ada. Mereka-mereka yang tadinya merasa salah karena mereka minoritas, diam-diam saja. Kalau sekarang karena Trump dan gara-gara yang lain jadi kaya dapet suporter gitu “oh ternyata its okay being racist now apparently kan free speach.”. Ada dan untungnya si belum separah di Amerika sih, kaya udah rally gitu di jalan untungnya belum seperti itu, tapi ada. Sejauh mana radikalisme menjadi momok yang berba-
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
haya bagi negara? Bahaya sih. Karena kita kan Pancasila kalau orang-orang bilang “tapi itu diambil dari nilai-nilai Islam,” gak juga kok, Kristen, Katolik segala macam itu mereka ibaratnya supporting the idea of kita barengbareng tapi satu saja. Terus kita kan juga bhineka tunggal ika, Indonesia dari dulu ibaratnya kemerdekaan Indonesia bukan hanya satu dari mayoritas orang. Enggak! itu lintas agama, lintas ras, dan semua orang literally punya satu nih musuhnya si company.. Jangan sampai dengan kita sentimen-sentimen agama atau apapun jadi merusak. I mean yang aku takutin gini, Indonesia tuh banyak banget populasinya. Selama kita masih utuh gini, dijagalah gitu. Mengantisipasi radikalisme harus dengan cara apa? Yang jelas berteman itu sama siapa saja jangan cuma mau berteman sama yang seagama saja atau satu suku saja. Kalau aku lihat ekstremisme, radikalisme itu datang dari ketidaktahuan sama sesuatu terus kamu jadi korban. Dibilangin sama entah orang tuamu atau pemimpin siapa yang kamu dengerin gitu, “kelompok ini tuh begini-beginibegini,” terus kita yang kaya setuju-setuju saja. Sayangnya kebetulan kita gak ada akses ke kelompok yang ditunjuk tadi untuk proving itu akhirnya kita a left with prejudice gitu. Jadi kalau saran aku, keeping and open mind aja sih. Banyakin ngobrol sama orang yang benar-benar bersinggungan berada di baskom heterogen sama mereka itu bisa sangat membantu meluruhkan segala macam kebencian atau prejudice kita terhadap suatu kelompok. (Azza)
PENELITIAN DOSEN
Tabloid Manunggal
8
Liquid Smoke, Teknologi Pengasapan Ramah Lingkungan Ikan merupakan salah satu sumber kaya protein dan omega-3 yang sangat bermanfaat dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tubuh, sayangnya ikan mudah sekali busuk. Basis Tesis Berbuah Bisnis
Foto: Dokumen Pribadi
Seperti yang kita ketahui, pengawetan dengan formalin memiliki dampak yang berbahaya bagi tubuh. Kemudian pengasapan tradisional juga memiliki kendala seperti rasa yang kurang merata, keamanan yang kurang terjamin serta masalah lingkungan. Liquid smoke atau pengolahan ikan dengan perendaman dalam larutan asap cair dinilai sebagai langkah yang tepat dalam pengawetan ikan. Pengolahan Ikan Asap dengan Liquid Smoke Produksi hasil pengolahan ikan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, termasuk ikan asap. Ikan asap menjadi menu favorit masyarakat mulai dari kalangan anak ataupun dewasa. Ikan asap biasanya didapat dari pasar tradisional atau banyak juga yang sudah didistribusikan ke rumah makan. Ikan asap adalah ikan yang diawetkan dengan cara pengasapan. Jenis ikan yang biasanya diasap ada salmon, bandeng, makarel, tongkol, tenggiri, dan sebagainya. Dalam pengolahannya, masyarakat masih melakukan pengasapan secara tradisional, yaitu ikan diasap langsung menggunakan kayu
bakar, arang tempurung kelapa maupun bahan bakar yang lain. Proses demikian dikhawatirkan dalam aspek keamanan pangannya. Asap yang dihasilkan dari proses destilasi kering dapat menghasilkan senyawa karsinogenik Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya bagi tubuh. Negara-negara maju seperti Inggris, Jerman dan lainnya dalam mengolah ikan sudah banyak menggunakan teknologi yang lebih aman dan ramah lingkungan dinamakan Liquid Smoke atau dalam bahasa Indonesianya asap cair. Proses pengolahannya yaitu memilih ikan yang berkualitas dengan kriteria seperti mata cerah cemerlang, bau segar, spesifik jenis, tekstur elastis padat dan kompak, serta tidak adanya jamur dan lendir. Selanjutnya ikan tersebut dipotong dan dibersihkan, lalu direndam dalam liquid smoke dan sedikit garam (5%). Ikan direndam selama 30 menit atau untuk mendapatkan hasil yang optimum direndam selama 12 jam pada kondisi dingin disitulah proses pengasapan terjadi. Setelah itu ikan ditiriskan dan dioven lalu siap didistribusikan.
Undip sendiri sudah menggunakan teknologi tersebut berkat penelitiannya selama 26 tahun oleh Fronthea Swastawati dosen program studi Teknologi Hasil Perikanan. Sejarah penelitian Fronthea di mulai saat menempuh pendidikan di Britania Raya, dia melihat banyak ikan asap yang dijual dengan harga miring namun dengan kualitas yang bagus dibandingkan yang dijual di kampung halaman. Hal tersebut membuat Fronthea tertarik mengambil tesis tentang ikan asap. Berbekal tesis tersebut, Fronthea melanjutkan penelitiannya saat bekerja di Undip, ditempatkan di Jepara mengurus Lab Pengembangan Wilayah Pesisir. Tahun 2005, Fronthea mulai membuat alat sendiri yang dapat memproduksi dan mengedarkan Liquid Smoke sendiri dengan bahan yang dapat di cari di Indonesia. “Dulu kami mengimpor asap cair dari Inggris, tahun 2005 sudah membuat alat sendiri, dan sekarang sudah memproduksi dan difasilitasi oleh Kemenristekdikti. Sudah mempunyai izin edar dan juga perusahaan,” jelas Fronthea. PT Asap Cair Multiguna, yang mana adalah nama perusahaan tersebut berada di Jepara. La Fronthea Liquid Smoke dibandrol dengan harga Rp 25.000,per botol (250 ml). Liquid Smoke tidak terbatas digunakan hanya untuk ikan, bisa juga untuk berbagai macam makanan yang memerlukan rasa barbeque bisa tempe, tahu dan lainnya. “Bisa direndam, disemprotkan atau bisa juga dikasihkan saja di bumbu, ada juga yang dibuat sambel, nanti rasanya akan seperti dipanggang” ujar Fronthea. Selain itu, perusahaan ini juga memproduksi antiseptik dengan bahan liquid smoke yang dikemas dalam bentuk spray dan juga pelindung kayu dari rayap. Kegunaan asap cair pada makanan antara lain yaitu memberikan rasa, warna dan memperbaiki tekstur pada daging
Edisi EdisiIIIITahun TahunXIX XIXDesember Desember2019 2019
hewan ternak dan ikan serta memberikan efek pengawetan pada daging. Mengawetkan dalam pengolahan makanan seperti daging, sosis, keju, dan ikan, selain itu mudah digunakan dan hasil seragam (rasa, warna, & daya awet). Asap cair juga aman dikonsumsi (mengurangi TAR dan PAH) dan bersifat desinfektan, mengambat pertumbuhan jamur, dan mampu membunuh bakteri. Liquid smoke tetap mempertahankan citarasa tradisional dan juga dapat menghemat penggunaan bahan bakar. Ikan asap dengan liquid smoke dinilai lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan asap, berbeda dengan cara tradisional. Sisa penyaringan asap cair bisa digunakan sebagai pengawet kayu. Limbah dari asap cair juga bisa digunakan untuk menggumpalkan dan mencegah bau busuk getah karet. Selain itu produk yang diolah menggunakan asap cair ini memiliki keawetan yang lebih lama. Sudah banyak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang mulai bekerja sama menggunakan asap air dalam proses pengolahan produknya, antara lain ada bandeng presto, ikan crispy, dan lainnya. UMKM ini harus selalu didampingi perkembangannya, karena menggunakan inovasi baru tentunya akan sulit diterima. Masyarakat mayoritas masih memilih produk lain yang masih menggunakan cara tradisional yang lebih murah. “Masyarakat belum khawatir akan karsinogen yang membahayakan anak-anak seperti malnutrisi, keterbelakangan kecerdasan dan lainnya” jelas Fronthea. Fronthea juga mengharap perhatian dari pemerintah dan pihak terkait agar bisa membantu proses perkembangan teknologi asap cair ini agar lebih dapat diterima dan dimanfaatkan masyarakat. (Winda)
9
PENELITIAN MAHASISWA
Tabloid Manunggal
Pengemas Jamu Siap Konsumsi dengan Bahan Tulang Ayam Plastik seringkali digunakan sebagai pembungkus suatu produk baik makanan maupun minuman. Namun begitu, penggunaan plastik sudah menjadi keresahan bersama karena sifatnya yang tidak mudah terurai. Hal inilah yang mendasari tiga mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika (FSM) untuk mengganti plastik dengan edible film sebagai pengemas makanan yang siap konsumsi. kandungan seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Kandungan protein didapat dari tulang ayam. Untuk menyuplai kandungan karbohidrat, digunakanlah sorgum (salah satu jenis tanaman biji-bijian). Sementara itu, bahan dari kandungan lemak menggunakan gliserol. Setiya menjelaskan dalam penelitian ini, mereka menggunakan limbah tulang ayam dari rumah makan yang berada di sekitar Tembalang. Mulanya tulang ayam tersebut direbus. Perebusan tulang ayam ini bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa daging yang masih menempel. Setelah dirasa cukup, tulang ayam tersebut kemudian dicuci dengan menggunakan air bersih. Tulang ayam kemudian dipotong kecil-kecil sekitar 3 cm. Foto: Dokumen Pribadi
Dengan komposisi yang tepat disertai langkah uji coba, penelitian mengenai edible film menggunakan tulang ayam telah rampung digarap. Pipit Riyanti sebagai ketua berhasil membawa timnya lolos pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) tahun 2019 lalu oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) di bawah bimbingan Nor Basid Adiwibawa Prasetya, S.Si., M.Sc., Ph.D. Pencetusan Ide Di tahun ini, kampanye mengenai pengurangan sampah plastik memang tengah ramai digalakkan. Plastik sebagai limbah utama di Indonesia akan berdampak pada berbagai aspek di kehidupan. Bermula dari kondisi inilah, Pipit Riyanti dan dua rekannya yakni Setiya Rahayu juga Kharisma Madda Ellyana mencetuskan ide untuk membuat edible film. Edible film merupakan pengemas suatu produk yang dapat dikonsumsi secara langsung. Uniknya, bahan utama yang digunakan untuk membuat edible film adalah tulang ayam. Madda sebagai anggota tim mengaku memilih tulang ayam karena melihat kandungan kolagen di dalamnya yang bisa digunakan sebagai bahan dasar
edible film. “Edible film itu sama kaya plastik tapi dia mempunyai kelebihan bisa dimakan. Dari situ kita berpikir barang apa yang sekiranya mengandung bahan-bahan pembuatan plastik. Ternyata di dalam tulang ayam itu mengandung kolagen,” jelasnya ketika ditemui pada Minggu (3/11). Selain karena terdapat kolagen dalam tulang ayam, ketiga mahasiswi dari departemen Kimia ini juga berpendapat bahwa tulang ayam menjadi limbah yang jarang didaur ulang. Selain itu, di kawasan Tembalang, Semarang, industri rumah makan yang menyajikan ayam sebagai menu cukup banyak berjejer. Oleh karenanya, bahan utama tulang ayam dipilih karena kesediaannya yang cukup banyak dan mudah untuk dicari. Penelitian ini selain berusaha mengurai permasalahan sampah plastik, juga memanfaatkan tulang ayam untuk didaur ulang. Pembuatan Edible Film Pembuatan edible film dengan menggunakan tulang ayam sebagai bahan utama melalui proses yang panjang. Penelitian ini bermula dari studi pustaka pembuatan edible film. Ditemukanlah bahwa dalam pembuatan edible film diperlukan beberapa
Proses selanjutnya memerlukan waktu yang cukup panjang. Tulang ayam yang sudah dipotong-potong tadi akan direndam dengan larutan asam klorida (HCl) selama 10 hari. Fungsi perendaman dengan menggunakan Asam Klorida ini yaitu untuk proses demineralisasi. Demineraliasi merupakan proses penghilangan kandungan mineral yang ada dalam suatu bahan yang dalam hal ini adalah tulang ayam. Perendaman larutan HCl ini juga menyebabkan lunaknya tulang ayam. Selain larutan asam berupa HCl, proses pembuatan tulang ayam untuk edible film juga membutuhkan larutan basa untuk penetralan. Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) tidak kalah penting. NaOH berperan agar edible film tidak memberikan efek samping pada saat dikonsumsi. Tidak sampai di sini, potongan-potongan tulang ayam kemudian dicuci dengan menggunakan akuadestilata. Setelah dicuci, potongan ayam itu kemudian dikeringkan dalam oven. Barulah potongan-potongan ayam tersebut ditumbuk hingga halus dan dilarutkan ke dalam akuadestilata. Secara ringkas, proses tersebut merupakan cara untuk mensintesis gelatin yang ada dalam kolagen. Proses berikutnya adalah membuat plasticizer yang berasal dari sorgum. Mulanya,
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
sorgum ditumbuk dan disaring menggunakan akuadestilata untuk memisahkan antara endapan dan cairan. Cairannya ini kemudian ditambahkan dengan natrium alginat yang berfungsi sebagai pengental. Cairan ini kemudian ditambahkan dengan gliserol juga kolagen yang telah didapat dari proses tulang ayam tadi. Dari proses yang panjang ini, Pipit dan kedua rekannya mengaku kesulitan dalam memberikan komposisi pencampuran bahan-bahan tadi secara tepat. Kandungan yang tidak sesuai dengan takaran akan mengakibatkan sifat fisik edible film yang kaku, mudah patah, maupun tidak bertahan lama. “Dulu pertama kali coba penelitian itu rapuh, trial and error itu karena memang campurannya belum pas,” ungkap Madda. Meski pada saat ini pengaplikasian edible film dengan menggunakan tulang ayam hasil dari penelitian Pipit dan kedua rekannya baru pada produk jamu, namun tidak menutup kemungkinan akan diaplikasikan untuk bahan-bahan yang lain. “Kalau jamu kan langsung di seduh, jadi larut. Kalau misalkan ini jadi pembungkus makanan yang lain seperti dodol atau apa bisa langsung dimakan,” ujar Pipit. Tidak memerlukan waktu yang lama untuk meluruhkan edible film yang dibuat oleh Pipit, Madda, dan Setiya. Hanya dalam waktu 19-20 detik, edible film akan larut. Cepat atau tidaknya tergantung pada suhu air yang digunakan sebagai penyeduh. Produk jamu yang dikemas dengan menggunakan edible film ini akan lebih unggul. “Jamu kan selain dia bermanfaat buat kesehatan ditambah lagi pengemasnya edible film itu mengandung antioksidan jadi memang bagus sekalian dikonsumsi. Selain itu juga bisa melindungi produk yang ada di dalamnya supaya tidak mudah teroksidasi, tidak mudah busuk, dan tahan lama,” terang Madda. (Azza)
JAJAK PENDAPAT
Tabloid Manunggal
10
Pencegahan Radikalisme di Universitas Diponegoro
Menurut Anda, adakah pergerakan radikalisme di lingkungan Undip?
Pernah melihat pergerakan radikalisme di lingkungan Undip?
Pernah mendapat ajakan/informasi paham radikal di lingkungan Undip?
Radikalisme menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan dan aksi-aksi ekstrem. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh BNPT, sebanyak 39% mahasiswa dari tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia telah terpapar radikalisme. Lebih lanjut, menurut BNPT, secara garis besar paham radikalisme memiliki ciri-ciri yaitu intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, fanatik, dan revolusioner (cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya). Di lingkungan Undip sendiri, dilansir dari ManunggalCybernews, Prof. Yos Johan Utama selaku Rektor Undip dalam pidato Upacara Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Agustus lalu menyampaikan bahwa Undip menjunjung nilai Pancasila dan melarang paham radikalisme dan kesukuan. Sebagai upaya melawan paham radikalisme, Undip memberikan pendidikan karakter untuk mahasiswa baru dan meningkatkan pengawasan melalui dosen. LPM Manunggal melakukan jajak pendapat mengenai Radikalisme di lingkungan Undip. Jajak pendapat ini menggunakan kuesioner online pada tanggal 11-25 November 2019 dengan jumlah responden sebanyak 150 mahasiswa. Sampel pada jajak pendapat ini adalah mahasiswa aktif S1 dan D3 Undip yang dipilih secara acak dengan margin of error sebesar 8%. Berdasarkan hasil jajak pendapat, menurut 25% responden telah terdapat pergerakan radikalisme di lingkungan Undip, sedangkan 75% sisanya tidak merasa ada pergerakan radikalisme. Terkait dengan bentuk radikalisme yang terjadi, sebanyak 26% responden mengaku pernah melihat hal tersebut secara langsung, 74% lainnya tidak pernah melihat bentuk radikalisme di Undip secara langsung. Menurut responden, bentuk radikalisme terbungkus dalam kegiatan seperti kajian agama, diskusi ekstra tertentu, hingga pada unggahan media sosial tentang negara khilafah. Selain itu, sebanyak 47% responden mengatakan pernah mendapatkan ajakan/informasi tentang paham radikal di Undip dari suatu kelompok atau individu, sementara 53% sisanya tidak pernah mengalami hal tersebut. Terdapat beberapa aktivitas/diskusi yang menurut para responden dapat memicu munculnya paham radikalisme di lingkungan Undip yaitu diskusi agama yang terlalu dogmatik, kajian agama yang cenderung mengkritisi ideologi Pancasila, hijrah yang disertai dengan kurangnya pemahaman mengenai ilmu agama, diskusi mengenai isu-isu kampus yang diselubungi dengan penanaman paham radikalisme, organisasi/komunitas terselubung, dan dakwah yang disampaikan oleh ustadz yang tidak kredibel. Menilik hasil jajak pendapat mengenai radikalisme di Undip, responden berpendapat pencegahan paham ini di lingkungan Undip dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu membuat seminar atau diskusi terbuka untuk mengaspirasikan pendapat dari seluruh elemen kampus mengenai radikalisme, pengawasan organisasi maupun kegiatan keagamaan yang dinilai mencurigakan, sosialisasi mengenai pencegahann radikalisme, seminar kebangsaan yang dapat menanamkan rasa nasionalisme, dan membentengi diri sendiri dengan paham radikalisme. Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa responden yang terdiri dari 150 mahasiswa Undip kurang mengetahui mengenai isu pergerakan radikalisme di lingkungan Undip. Namun demikian, hasil jajak pendapat ini tidak menggambarkan keseluruhan pendapat civitas akademika Undip.
Edisi EdisiIIIITahun TahunXIX XIXDesember Desember2019 2019
11
P E R JA L A NA N
Tabloid Manunggal Manunggal Tabloid
Pesona Baru Wisata Dusun Semilir, Kolaborasi Konsep Tradisional dan Modern
Foto: Tita/Manunggal
Keunikan bangunan dan panorama alam yang memanjakan mata, menjadi bagian dari daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke tempat wisata Dusun Semilir. Terletak di daerah Bawen, Kabupaten Semarang, konsep kultural Dusun Semilir menjadi daya magnet tersendiri bagi para wisatawan. Hari libur merupakan waktu istimewa yang dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan penat setelah bekerja ataupun belajar seharian. Bagi keluarga, hari libur juga dapat digunakan sebagai sesi berkumpul dan mempererat jalinan kekeluargaan. Biasanya, tempat wisata dijadikan sebagai patokan utama untuk bertamasya. Salah satu wisata baru di Semarang yang akhir-akhir ini mulai disemarakkan di media sosial adalah Dusun Semilir. Dengan pesona alam yang unik nan khas, Dusun Semilir menjadi salah satu tempat wisata yang selalu dipenuhi oleh pengunjung. Objek wisata Dusun Semilir terletak di pinggir Jalan Soekarno Hatta No.49, Ngemple, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Lokasi itu menjadi tempat yang strategis karena dekat dengan gerbang tol Bawen dan berada ditengah-tengah antara Kota Surakarta, Salatiga, Yogyakarta, Magelang, dan Kota Semarang. Pengunjung akan dengan mudah menemukan objek wisata ini karena bentuk bangunan yang menjulang berbentuk stupa raksasa. Diserbu Wisatawan Destinasi wisata ini mulai dibangun pada bulan Ramadan tahun 2018 lalu. Meski belum sempurna, pihak Dusun semilir sudah mulai melakukan trial opening pada 28 Mei 2019 bertepatan dengan perayaan Idul Fitri. R. Ajie Wibowo selaku marcomm manager Dusun Semilir mengaku bahwa trial opening dilakukan untuk melihat bagaimana respon masyarakat terhadap keberadaan objek wisata baru ini. Terbukti, dalam
waktu yang singkat, Dusun Semilir viral di media dan dapat meraih minat para wisatawan hingga dari luar kota. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah satu pengunjung Dusun Semilir, “pertama penasaran, kedua tempatnya di atas jadi adem kan. Terus pas lihat di instagram sepertinya banyak spot-spot bagus buat foto,” ungkap Fira. Saat ditemui oleh Tim Tabloid Manunggal pada Selasa (9/7), destinasi Dusun Semilir baru berjalan sekitar 25% dari luas lahan 14 hektar. “Sebenarnya ini belum soft opening. Nah, kita baru 25%. Ini baru tahap pertama kan, tahap pertama pun juga belum seratus persen,” ujar Ajie. Untuk memasuki kawasan objek wisata Dusun Semilir ini, pengunjung hanya merogoh kocek sebesar lima ribu rupiah. Selain spot foto yang menjadi daya tarik utama karena dekorasinya yang unik, wisata kuliner juga diburu oleh wisatawan. Di dalam kubah stupa, terdapat dua buah toko yang menjual berbagai suvenir, pernak-pernik, dan makanan khas Indonesia. Toko pertama, menjajakan berbagai macam benda warisan nusantara dalam pakaian batik dan kerajinan tangan dari berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu di toko yang kedua, khusus menjual berbagai jajanan khas dari Semarang maupun daerah lain seperti bandeng presto, wingko babat, bakpia, aneka jenis kopi, lanting intip, gulali, dan masih banyak lagi. Menariknya lagi, kedua toko tersebut dipisahkan oleh sebuah hutan tropis buatan. Keberadaan hutan tropis buatan ini memadukan suasana yang berbeda.
Di balik kedua toko tersebut, ada sebuah jembatan yang menjadi jalan utama menuju restoran mewah. Jembatan ini disebut jembatan senggol karena memiliki jalur yang berkelok-kelok. Jembatan ini juga terbuat dari bambu dengan jalan yang menurun. Sepanjang jembatan senggol ini, ditempati oleh banyak sekali penjual jajanan pasar yang berkonsep kaki lima. Atapnya terbuat dari anyaman bambu yang dipasangi lampu-lampu kecil. Ketika malam tiba, suasana Dusun Semilir terlihat epik jika lampu dinyalakan. Restoran mewah sebagai tempat akhir bernama “Resto Sepoi-Sepoi.” Makanan yang disediakan di restoran ini berupa makanan berat. Disebut Resto Sepoi-sepoi karena udara di sekitar memang bersemilir angin. Keunikan Arsitektur Bentuk arsitektur Dusun Semilir terinspirasi dari stupa di Candi Borobudur. Bangunannya memiliki tujuh stupa raksasa yang terbuat dari instalasi dengan facade besi kombinasi kaca. Inilah yang menjadi perpaduan antara tradisional dan modern. Imitasi dari stupa Candi Borobudur ini ditujukan agar Dusun Semilir dapat menjadi ikon tujuan tempat wisata di Jawa Tengah. Objek wisata Dusun Semilir merepresentasikan sebuah dusun yang asri dengan didukung suasana lokasi tersebut yang sejuk. Terlihat, konsep seni yang khas dengan nuansa adat desa dan budaya begitu dihidupkan kembali. Penghidupan corak kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya terlihat pada atap bangunan yang
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
berbentuk stupa Candi Borobudur. Selain itu, properti yang digunakan untuk mengisi ruang didonimasi oleh bambu dan kayu. “Jadi, dibikin beda lain dari pada yang lain. Mungkin orang sudah bosen ya lihat mall bangunannya tembok kalau disini kan ada alang-alang, kayu, dan lain-lain. Etnik lah,” ung-kap Ajie. Sistem pembayaran cashless dipakai untuk segala bentuk pembelian di Dusun Semilir. Selain pembelian baik kuliner, oleh-oleh, ataupu kerajian, pembayaran yang menggunakan kartu ini juga berlaku untuk tiket masuk. Untuk pengisian kartu pembayaran, pengunjung harus mengeluarkan uang minimal 50.000 rupiah (sudah termasuk tiket masuk). Meski begitu, uang itu dapat ditukarkan kembali manakala terdapat sisa dalam kartu deposit tersebut. Ke depannya, pembangunan Dusun Semilir masih akan berlanjut. Masih banyak lagi spot foto maupun aneka kuliner yang akan tersedia. Pembangunan lain juga tengah dilaksanakan, yakni pembuatan danau buatan, kampung Eropa, wahana permainan dan resort di tahap akhir yang menjadi pelengkap keseluruhan di tempat wisata ini. Rencananya, grand opening Dusun Semilir akan dibuka pada bulan Desember mendatang.“Harapannya ke depan disini makin keren, makin dikenal banyak orang. Terus orang Jawa Tengah kalau mau liburan enggak perlu harus ke luar Jawa Tengah. Karena di sini nanti makin komplet ngalahin Jatim Park sama Dusun Bambu di Bandung,” terang Ajie. (Mudai)
SOSOK MAHASISWA
Tabloid Manunggal
12
Dewi Silvia, Gadis “Independen” Penerima Beasiswa Cargill
Foto: Dokumen Pribadi
Berawal dari harapan dan doa untuk mampu mandiri di usia 20 tahun, Dewi berhasil mewujudkannya melalui beberapa beasiswa yang dia peroleh Dewi Silvia Putri atau biasa dipanggil Dewi merupakan mahasiswi asal Pasaman Barat, Padang, yang kini menempuh pendidikan di jurusan Agroekoteknologi, Universitas Diponegoro. Statusnya sebagai mahasiswa rantau yang jauh dari keluarga membuat Dewi merasa tidak ingin membebani orangtua. Berawal dari keinginan untuk bisa meringankan beban orangtua, Dewi bertekad di usianya yang ke 20 tahun, dia harus mampu untuk mandiri. Harapan tersebut akhirnya dapat terwujud dengan diraihnya empat program beasiswa selama kuliah. Salah satunya adalah beasiswa Cargill. Mengenal Beasiswa Cargill Mahasiswi Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) ini mengaku jika dirinya merasa bersyukur Cargill akhirnya bekerjasama dengan Undip.
Cargill merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pangan, pakan, dan akuakultur yang berpusat di Amerika dan telah memiliki beberapa cabang yang tersebar di berbagai negara termasuk Indonesia. Sebagai perusahan yang bergerak dibidang pangan dan pakan, Cargill mengkhususkan beasiswanya kepada beberapa jurusan seperti jurusan perikanan, pertanian, peternakan, dan akuntansi. “Cargill itu hanya beberapa jurusan yang bisa daftar dan itu diperuntukan bagi angkatan kedua atau tahun kedua. Mungkin karena mereka di bidang pangan, pakan, akuakultur jadi mereka memberi beasiswa yang sesuai dengan disiplin ilmunya,” ungkap Dewi. Sebelumnya mahasiswi yang juga penerima beasiswa Etos ini mengungkapkan jika informasi mengenai
beasiswa Cargill diperoleh ketika dirinya menjadi liaison officer (LO) seorang pembicara dari International Institute Education Foundation (IIEF). Dari sekilas informasi yang diperolehnya itulah, Dewi mulai mencari tahu mengenai Cargill. Meskipun sempat merasa tidak percaya diri dengan proses seleksi yang begitu ketat dan persentase kelolosan yang sangat sedikit, namun akhirnya Dewi memberanikan diri untuk mendaftar beasiswa Cargill. “Sekitar bulan Juli ada sosialisasi dan aku LO pembicara dari IIEF, waktu itu aku hanya sekadar tanya dan sama sekali tidak kepikiran buat daftar. Soalnya, ah tidak mungkin masuklah (lolos, red) kan cuma sepuluh orang se-Indonesia,” jelas Dewi. Seleksi Ketat Keberanian Dewi untuk mendaftarkan diri dalam program beasiswa Cargill berbuah manis ketika dirinya dinyatakan lolos seleksi berkas dan masuk tahap wawancara. Alumni SMA Negeri 1 Pasaman Barat ini merasa bersyukur sekaligus bangga karena berhasil terpilih dari 800 mahasiswa lain yang ikut mendaftarkan diri. Meskipun sempat merasa minder dengan mahasiswa lain yang masuk tahap wawancara, Dewi percaya jika kita jujur dalam menceritakan diri kita apa adanya maka pewawancara akan yakin dengan diri kita. “Salah satu teknik wawancara itu meyakinkan si pewawancara, bukan berarti mengada-ada yang kita sampaikan, tapi pure diri kita sendiri. Be yourself, be honestly,” terang Dewi. Pengumuman lolos tahap akhir yang tidak sesuai timeline dan tidak kunjung
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
diterima sempat membuat Dewi patah semangat. Dewi mengungkapkan bahwa pengumuman akhir yang tidak muncul hingga sebulan kemudian membuat dirinya dan teman-teman lain merasa patah semangat. Namun, rasa minder tersebut akhirnya terjawab ketika dirinya dinyatakan lolos beasiswa Cargill. Melalui beasiswa Cargill, Dewi mewujudkan harapannya untuk mampu mandiri di usia 20 tahun. Dewi mengungkapkan jika kini dirinya sudah tidak bergantung pada orangtua. Selain itu, Cargill juga memberikan pelatihan leadership kepada penerima beasiswanya. Mahasiswi semester lima ini mengungkapkan bahwa Cargill memiliki program bernama In Country Seminar (ICS) yang merupakan seminar leadership. Selain itu, Cargill juga mengadakan program mentoring dimana mentor merupakan pejabatpejabat di perusahaan Cargill. Dewi mengaku melalui program mentor tersebut dirinya mendapat banyak pengalaman karena para mentor tidak segan mengajak para penerima beasiswa untuk berpartisipasi dalam program Cargill yang dirasa sesuai dengan passion mereka. Dewi berpesan kepada para mahasiswa lainnya untuk jangan takut mendaftar beasiswa dan percaya bahwa Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk diri kita. “Jangan pernah takut untuk mencoba. Ya apapun nanti hasilnya, Allah sudah punya rencana akhirnya nanti seperti apa. Jadi, jangan menyerah duluan,” jelas Dewi. (Kartika)
13
SOSOK DOSEN
Tabloid Manunggal
Bayu Widagdo, Representasi Wong Jowo Gaya Milenial Mengenakan blangkon dan kalung wayang sudah menjadi khas seorang Muhammad Bayu Widagdo. Bagi Mas Bayu, begitu dia kerap disapa, blangkon tidak sekadar aksesori. Penutup kepala khas Jawa Tengah dan Yogyakarta itu sarat makna. Pun dengan kalung wayang yang tak pernah Bayu tanggalkan, bukti dunia wayang sangat lekat dengannya. Lahir dan besar dalam keluarga seniman menumbuhkan kecintaan Bayu terhadap budaya Jawa. “Bapak saya dalang, ibu dan kakak saya paes manten (perias pengantin, red) tradisional,” ujar dosen Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik Undip ini. Bayu mengaku mengenal dunia wayang sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Sedari dulu, Bayu terbiasa melihat sang ayah mendalang dan mendengarkan lagu-lagu Jawa yang diputar di rumahnya. Melalui cara itu, Bayu belajar mengenal wayang. “Istilah yang tepat itu menanam, bukan mengecat. Mengecat satu dua hari selesai, kalau menanam kan perlu disiram,” jelasnya. Begitu konsep didikan yang diterapkan oleh orang tua Bayu. Mantan dalang cilik ini sempat diundang oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali dalam acara Forum Silaturahmi Pengasuh Pengajian Anak Nasional (Fosipa). “Dipanggil ke sana karena (untuk memainkan, red) wayang syahadat untuk membuka acara itu,” terang Bayu. Pencipta wayang batik ini mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. “Bapak (pesan, red) gini ‘kamu boleh seneng tapi imbang akademik’. Kalau itu sampe melorot, bapak ndak boleh,” ujar Bayu meniru apa yang disampaikan orang tuanya. Wayang sebagai Sarana Bayu menuturkan pengejahwantahan dari nilai-nilai wayang sangatlah kompleks dan penting untuk diilhami setiap individu di era sekarang. Wayang sebagai salah satu
identitas bangsa yang seharusnya tetap menjadi napas dalam bertindak-tanduk. Oleh sebabnya, Bayu berusaha mengangkat wayang dengan gaya milenial. “Saya itu ke mana-mana (membicarakan, red) wayang,” tutur pria yang menjadikan Ki Narto Sabdo sebagai kiblat dalam ndalang ini. Menurutnya, prinsip wayang adalah sarana untuk menyampaikan suatu hal, termasuk dakwah. “Wadagnya (raga, red) Jawa, rohnya Islam,” jelasnya. Perkembangan zaman menjadi tantangan dalam mendalang. Dewasa ini, jarang generasi milenial yang menyukai wayang. Untuk itu, Bayu berupaya menyesuaikan. “Wayang itu dulu butuh pengendapan, kalau sekarang butuh serba cepat ya saya harus adaptasi,” jawabnya. Tak jarang penulis buku “Bikin Sendiri Film Kamu” menyambangi kafe-kafe untuk mengenalkan wayang kepada milenial dengan wayang batik. “Saya datang ke kafe 10 sampai 30 menit seperlunya. kalau mereka suka, nah yuk belajar seni wayang,” tambahnya. Pertunjukan wayang diiringi musik blues jazz, gabungan pentatonik dan diatonik. Penyampaian ceritanya pun dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Bayu menuturkan bahwa tetap ada pakem dalam mendalang. Dia menambahkan, penting bagi kita untuk mengetahui prinsip-prinsip pewayangan sebelum kita melakukan kreasi atau modifikasi. “Kalau mau dimodif kita harus tau dulu filosofi
Foto: Azza/Manunggal
dasarnya apa,” ungkapnya. Terkait wayang batik yang dikenalkan, dia mengaku tidak menambahkan filosofi baru karena wayang telah memiliki filosofi yang tinggi dan kompleks. Bayu berusaha untuk menjembatani wayang dengan kaum milenial. “Saya hanya mempertajam di beberapa hal sebagai jembatan kognitif saja,” imbuhnya. Hidup dengan Seni Selain wayang, pria yang membuka studio kaos lukis di rumahnya ini juga bergelut dalam beragam kesenian Jawa lainnya seperti seni lukis, teater, film, suluk, dan tari. Bayu juga tergabung dalam Gambang Semarang Art Company (GSAC). Komunitas pegiat kesenian Kota Atlas ini mewadahi ide kreatif para anggota dan masyarakat pemerhati kesenian Gambang Semarang. Gambang Semarang merupakan perpaduan gamelan dan tari Semarangan yang
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
diikat dengan lawakan khas. Melalui GSAC, Bayu mencoba memahami bahwa pelawak bukan soal guyon biasa. Tanpa bermaksud membandingkan Gambang Semarang dengan seni lainnya, Bayu menyampaikan bahwa lawak tidak memiliki pakem yang jelas. “Nari itu ada pakemnya jelas, wiraga, wirama, wirasa, (gerak tubuh, selaras dengan irama, penjiwaan, red). Nglawak itu pakemnya terus piye?” ungkapnya. Pria yang mengidolakan Basiyo, maestro lawak dagelan Mataram Jogja ini berprinsip bahwa guyon tetap memiliki patokan. Asal tidak menyakiti perasaan orang lain, begitu kira-kira. Baginya, mentertawakan diri dalam melawak adalah bentuk kedewasaan. “Nglawak bagi saya pribadi harus tahu konteksnya. Lucu ora kudu saru,” terangnya. (Erlin)
POJOK USAHA
Tabloid Manunggal
14
Foto: Dokumen Pribadi
Gempicraft, Tas Handmade Berkonsep Industri Seni Kreatif
“Jangan takut untuk melahirkan banyak mimpi dan membuat semua mimpi itu menjadi nyata,” begitulah ungkap Galuh Sita Dhewi, mahasiswi Universitas Diponegoro jurusan Sastra Inggris 2017 saat ditemui di gedung serbaguna FIB Undip pada Jumat (18/10). Bagi Galuh, kalimat ini menjadi bagian dari prinsip dalam hidup. Gempicraft salah satunya. Gempicraft merupakan bisnis yang menjajakan tas handmade kekinian dengan bahan seratus persen kain dan tanpa menggunakan bahan-bahan plastik. Gadis yang akrab disapa Galuh ini mulai merintis gempicraft setelah menyelesaikan pendidikannya di jenjang SMA. Tumbuh dengan keluarga yang gemar akan dunia seni menjadi salah satu alasannya dalam mengusung konsep industri seni kreatif untuk gempicraft. Dengan spesifikasi do it yourself atau yang sering kita kenal dengan sebutan DIY, gempicraft menyediakan berbagai tas dengan beragam bentuk, warna, dan gambar yang beragam. Semua desainnya dibuat langsung oleh Galuh sendiri.
“Desainnya aku bikin sendiri dan semua made pure with love by me, karena aku pikir kerjaan ini juga kerjaan yang aku suka, aku senangi dan ketika kerja dengan hati, aku yakini dan insyaAllah akan sampai ke hati yang lain,” jelasnya ketika ditanya mengapa memilih konsep tersebut. Nama gempicraft sendiri berasal dari kata gempita, yang menurut Galuh sendiri memiliki kesan menggembirakan, menyenangkan, dan disukai banyak orang. Dia berharap dengan penggunaan nama gempi, produknya juga dapat disukai banyak orang dan dapat menimbulkan kegembiraan bagi orangorang yang mengenakan produknya. Uang jajan yang pas-pasan semasa SMA, membuat gadis asal kota Ambarawa ini memiliki keinginan yang besar untuk dapat menghasilkan uang sendiri. “Awalnya karena pengen beli ini itu tapi malu kalau harus minta orang tua terus,” ungkapnya. Kemudian dia memiliki ide untuk memulai bisnis tas handmade. Bermodalkan THR yang didapatkan saat hari
raya, Galuh nekat memulai bisnisnya dengan membelanjakan kain untuk membuat produk-produknya Pada mulanya, Galuh memasarkan produknya kepada adik kelas dan teman-temannya yang hendak memasuki dunia perkuliahan yang membutuhkan tas-tas yang lebih simple seperti totebag. Seiring berkembangnya gempicraft, tak hanya totebag, kini dapat kita temukan jenis-jenis tas lain yang juga kekinian yang ditawarkan gempicraft, seperti tas laptop dan tas selempang. Galuh juga mulai merambah ke dunia maya yang kini memang sangat membantu para pemilik bisnis untuk memasarkan produknya. Laman bisnisnya di @gempicraft kini sudah memiliki sekitar 1600 pengikut di sosial media Instagram dengan 126 postingan. Berbagai kesibukan yang dia jalani sebagai mahasiswi, tentu saja membuatnya kewalahan untuk mengelola bisnisnya seorang diri. Terlebih setiap harinya ia harus bolakbalik Ambarawa-Tembalang untuk mengenyam pendidikan. Untuk membantunya menjalankan Gempicraft, ia
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
dibantu seorang teman di daerahnya untuk mengelola akun Instagram @gempicraft sebagai admin. Sedangkan untuk produk tasnya ia dibantu oleh ibu dari si admin tadi untuk menjahit produkproduk dari Gempicraft. Tidak sekadar menjual produk tas handmade kekinian saja, Gempicraft juga sempat menggelar seminar gempi untuk menginspirasi generasi muda yang hendak memulai suatu bisnis. Di kampusnya, Galuh selaku owner dari Gempicraft sendiri juga seringkali menjadi sosok inspirasi dari teman-temannya. “Senang sih, banyak temanteman yang mulai membuka usaha setelah tanya-tanya ke aku.” Di akhir wawancara dia juga berpesan untuk temanteman yang ingin memulai usaha untuk jangan pernah takut untuk menantang diri dan gagal dalam memulai suatu mimpi. If You tired, learn to rest not to quite — Galuh Gempicraft. (Hiskia)
15
SASTRA BUDAYA
Tabloid Manunggal
Tari Sintren: Tragedi Cinta dalam Kesenian Indonesia Turun-turun Sintren. Sintrene widadari. Nemu kembang yun-ayunan. Nemu kembang yun-ayunan. Kembange Jaya Mahendra. Widadari temuruna. Sulasih Sulandana. Menyangkuti ragane sukma. Ana sukma saking surga. Widadari temuruna.
Ritual dan Prosesi Enam penari perempuan masuk ke dalam area pertunjukkan dengan lagu pengiring Suwe Ora Jamu. Enam penari ini terdiri dari lima penari latar dan satu pesintren. Bersama dengan pesinden dan penabuh yang berkolaborasi membentuk nyanyian merdu, keenam penari ini mengikuti alunan lagu dengan berlenggak-lenggok. Lagu kemudian berganti menjadi Turun Sintren yang menjadi salah satu mantra dalam kesenian tari Sintren. Selaku pawang, Mas Lukman mulai memasuki ke area pertunjukkan dengan membawa selendang berwarna merah. Sampai kiranya pesintren telah menguasai panggung, setelah membacakan mantra, pawang tadi melemparkan selendang tersebut sampai mengenai pesintren. Bagian inilah yang paling mendebarkan dan ditunggu-tunggu oleh penonton yang hadir. Pesintren akan terjatuh tak sadarkan diri. Pada saat itu, pawang akan mengikat kedua tangan pesintren dengan tali sebanyak tujuh kali. Pada keadaan ini, pesintren disebut telah mencapai proses trance. Tidak sembarang orang tahu apa yang diucapkan oleh pawang selagi mengitari kurungan Sintren. Untuk menjadi seorang pawang pun tidaklah mudah. Mas Lukman mengaku
harus mengikuti berbagai proses yang rumit, seperti latihan dan berpuasa sampai berharihari. Namun menurutnya, hal pertama yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pawang adalah niat yang besar. “Ada latihannya, yang penting niatnya pertama gelem sek,” ujar Mas Lukman. Sebuah tanda bahwa pesintren telah selesai berganti baju di sebuah kurungan adalah ketika kurungan tersebut bergerak beberapa saat. Uniknya, pesintren melakukan pergantian baju dengan tangan yang masih terikat. Konon katanya, bukanlah Andin (pesintren dari sanggar Winduaji Budaya Kaso Tengah) yang melakukan hal itu, namun ada energi lain yang bertindak. Banyak yang mengira, roh yang masuk ke dalam tubuh Andin adalah Dewi Lanjar yang dipercaya oleh masyarakat Pekalongan sebagai ratu penguasa laut Utara Jawa. Namun ada juga yang menganggap bahwa bukan Dewi Lanjar yang merasuki tubuh pesintren melainkan roh dari Sulasih. Masa “trance” – begitulah disebutnya – tidak hanya berlaku pada saat berada di dalam kurungan, tetapi juga yang mengambil alih tubuh pesintren pada saat menari. Sementara itu, kelima penari latar yang berada di belakang pesintren hanya bisa mengikuti gerakan yang dilakukan oleh pesintren dalam keadaan tidak sadar. “Penari yang belakang ya ngikutin cuma kadang kalau capek dia turun sendiri. Yang di belakang sering gak kuat capek turun sendiri,” ujar Mas Lukman yang juga menjabat sebagai ketua sanggar. Dyna sebagai penari latar juga mengatakan hal yang senada dengan Mas Lukman, “iya kadang-kadang tariannya beda, tergantung Pesintrennya.” Bagi pawang, pada saat trance inilah kondisi kritis pesintren dan pemain yang lain. Halhal tidak terduga kadangkala muncul, seperti para pemain yang kehabisan energi, dan pawang yang tidak bisa mengendalikan roh yang masuk ke tubuh pesintren. Selain itu,
Foto: Ayasy
Nyanyian lagu dengan diiringi gending khas Jawa kuno nyaring terdengar. Seorang pesintren muda baru saja diikat tangannya dengan tujuh kali putaran. Mas Lukman sebagai pawang berperan untuk “mengunci” gadis tersebut dalam sebuah kurungan besar. Setelah berputar mengelilingi kurungan dengan membawa dupa, Mas Lukman membacakan mantramantra di belakang kurungan itu. Tidak menunggu waktu yang lama, kurungan tersebut bergerak, menandakan bahwa sang pesintren telah siap menujukkan dirinya. Penonton dibuat terkejut tatkala pakaian dan aksesoris pesintren telah berganti dari yang sebelumnya, padahal kondisi kedua tangannya masih utuh terikat dengan tali.
banyak pantangan yang harus dihindari pada saat pesintren memasuki masa trance seperti disentuh oleh lawan jenis kecuali pawang, dilempar uang oleh penonton, dan penabuh maupun pesinden yang salah memainkan musik dan menyanyikan lirik. Hal-hal tersebut akan menggagalkan pertunjukkan tari Sintren. Andin sendiri tidak bisa menjawab ketika ditanya apa yang dirasakan saat masuk ke dalam puncak trance. “Saya gak tahu mbak rasanya gimana, saya gak sadar, tahutahu pas bangun ya sudah begini,” ujarnya. Di Balik Tarian Mistis Masyarakat Pekalongan percaya bahwa tari Sintren erat kaitannya dengan kisah cinta Sulasih dan Sulandono. Begitulah yang diungkapkan oleh Gus Eko Ahmadi, ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) Pekalongan saat ditemui pada Sabtu (4/5). Organisasi LESBUMI inilah yang menaungi Sanggar Winduaji Budaya Kaso Tengah dan banyak sanggarsanggar kesenian yang lain. Nama Sulasih dan Sulandono tertulis dalam lirik lagu Turun Sintren sebagai lagu utama dalam pertunjukkan tari Sintren. Sulasih merupakan gadis desa yang berasal dari daerah Batang. Sedangkan Sulandono merupakan putra raja Tumenggung yang tinggal di Kabupaten Pekalongan. Orang tuanya bernama Ki Jaka Bahu atau masyarakat Pekalongan lebih mengenalnya dengan sebutan Bahurekso. Jika melirik mengenai folklor dari asal-usul Kota Pekalongan, maka nama Bahurekso tidak akan dilupakan. Dialah pendiri Pekalongan, merupakan anak Ki Ageng Cempaluk yang pada kala itu diberi tugas
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
untuk membabat alas hutan Gambiran. Perbedaan strata sosial antara keluarga Sulasih dan Sulandono ini yang menyebabkan perjalanan cintanya tidak direstui oleh orang tua Sulandono. Sulasih menjadikan dirinya sebagai orang yang siap untuk diterima sebagai wanita kerajaan dengan cara menjadi sintren. Perjuangannya untuk menjadi seorang Sintren ditujukan agar kedua orang tua Sulandono dapat mempercayainya. Terlebih menjadi seorang Sintren haruslah perempuan “virgin” yang menandakan kesucian hatinya. Cara Sulasih dan Sulandono berkomunikasi juga dengan cara mengeluarkan sukma mereka dari raganya. Sintren memiliki banyak sekali filosofi dan simbol pemaknaan. Kurungan berarti sebuah dogma ataupun doktrin yang mengurung manusia. Virginitas diartikan sebagai kesucian seorang perempuan. Warna merah sebagai selendang dijabarkan sebagai darah yang merupakan simbol kesucian. Tujuh kali ikatan pada tali dimaknai sebagai pitulungan (tolong-menolong). Sementara itu sesajian yang berupa bunga dan hasil bumi sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Sulasih sendiri dijadikan sebagai ikon kesetiaan. “Aku seneng karo koe tak jogo tenan jadi nek dimek wong liyo gah gelem dianu wong liyo gak gelem hanya wong koe (aku suka sama kamu aku jaga, kalau aku disentuh orang lain, dipegang orang lain tidak akan mau kecuali sama kamu, red). Seperti cerita yo Sulasih Sulandono itu. Sulasih sukanya sama Sulandono kalau yang selain Sulandono ya ndak mau. Itu simbol kesetiaan,” terang Mas Lukman. (Azza)
KO N S U LTA S I
Tabloid Manunggal
Diasuh Oleh: Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. Psikolog dan Dosen Psikologi, Undip
16
Kontrol Emosi
1. Bagaimana cara saya agar bisa mengontrol emosi biar tidak meledak-ledak? Tanpa menggunakan cara-cara semacam meditasi dan sejenisnya (Wulan) Khusus untuk hal ini, ada pelatihan atau upaya-upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosional. Cobalah membaca buku kecerdasan emosional, atau ada juga pelatihan regulasi emosi. Ikuti pelatihan seperti itu supaya bisa muncul sebagai sosok orang yang bisa mengendalikan emosinya. Mengendalikan emosi itu tidak cukup dengan membaca kemudian menerapkannya, tetapi memang harus berlatih agar menjadi kebiasaan. Satu hal sebelum mencapai atau menerapkan itu semua, aku hanya menyarankan untuk meningkatkan empati. Pelatihan empati bisa dimulai dengan diri sendiri, misal kalau kita mau memarahi orang-orang yang ada disekitar kita, kita harus menempatkan diri kita di posisi orang itu. Coba untuk berpikir menjadi dirinya (orang yang hendak kita marahi, red) dulu, kalau saya jadi dia kira-kira enak tidak ya, sengsara tidak ya. Kalau kita bisa merasakan penderitaan orang lain sampai dia melakukan perilaku problem maker, sebenarnya dia hanya ingin mencari perhatian untuk mendapatkan pengakuan dari tempat lain. Kalau “mencari” tapi dalam bentuk poditif ya tidak berhasil, setauku kalau remaja akan menggunakan caracara yang negatif. Itu kan ciri-ciri remaja awal, pertengahan, dan akhir. Satu lagi, sebenarnya tidak bisa mengendalikan emosinya itu karena apa? Karena orang itu melakukan apa? Coba berpikir dulu, apakah aku suatu hari tidak akan berbuat salah? Apakah aku suatu hari akan mengecewakan orang lain ya? Dengan sifatku yang aku tidak sadar melakukan kesalahan, seperti apa yang dilakukan oleh orang itu. Kalau kita mau sedikit introspeksi dengan itu biasanya emosinya reda. Terus menahan diri.
Pribadi dan Sosial
2.Bagaimana caranya menjadi pribadi yang lebih baik dan disukai banyak orang? Dan apa tips & trick buat menjalin hubungan pertemanan dengan cowok. Karena aku masih merasa canggung dan kaku (Putri). Kalau bahasa psikologi itu kepribadian memesona. Kepribadian memesona itu gaul, menarik, supel, fleksibel. Caranya bagaimana? Ya kita harus punya role model. Mengimitasi perilaku orang tadi. Role model yang saya sarankan yaitu orang yang memiliki “pribadi yang bermakna” yang kehadirannya itu dibutuhkan oleh orang lain. Kalau saya berada di suatu tempat teman-teman menjadikan saya sebagai rujukan atau referensi tempat bertanya, curhat, nah itu berarti kita sebagai pribadi yang bermakna yang dibutuhkan oleh orang lain. Biasanya orang seperti itu adalah orang yangmenghargai perbedaan. Mereka punya konsep perbedaan itu adalah indah. Punya teman yang punya karakter yang berbeda2 bisa menciptakan kohesi kelompok. Untuk masalah pertemanan dengan laki-laki, mulailah dengan bergaul dengan bapaknya dulu. Hasil penelitian juga itu orang-orang yang dalam keluarganya itu banyak dari jenis kelamin yang berbeda biasanya bergaul dengan beda jenis kelamin itu tidak canggung. Sebelum kita terjun bebas dengan pria/wanita, pelajari dulu etikanya. Tanya orang tua atau lihat buku, apa yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan pedoman pada tahap awal. Saranku jangan bergaul/berkhalwat dengan lawan jenis. Kalau ketemuan atau ada perlu ya di tempat yang ramai. Hati-hati kalau kita punya kenalan di media sosial. Kalau ketemu itu juga harus hatihati ngajak keluarga atau teman. Kita ketemuan di tempat makan yang orang-orangnya juga anonim itu juga bahaya. Mendingan kalau ketemuan itu di kampus. Minimal dia harus ngomong sama salah satu temannya. Era zaman sekarang penipuan-penipuan lewat media sosial itu banyak sekali.
Fight for Your Love!
3.Jika kita di dalam suatu organisasi dan menyukai salah satu orang yang ada di dalamnya dan ternyata ada seorang perempuan juga yang suka dengan orang yang sama. (Ana)
Ilustrasi: Sofa/Manunggal
Sebenarnya kalau soal jatuh cinta itu tidak ada yang salah. Kalau masalah jatuh cinta orang lain juga jatuh cinta itu gak ada yang salah. Yang salah itu cara ekspresikan cintanya. Kalau bicara masalah satu orang dicintai lebih dari satu orang itu namanya kompetisi. Kompetisi dalam masalah cinta boleh-boleh saja, selama tidak mengganggu profesionalitas dalam bekerja. Sebelum janur melengkung, sebelum dia betul-betul terikat resmi, sebenarnya orang itu masih bebas untuk kita perjuangkan. Saranku mengupayakan perjuangan cintamu yang kamu inget itu hukum karma. Hukum karma itu maksudnya kalau kita mendzalimi rival kita maka suatu hari nanti akan merasakan hal yang sama. Maka berkompetisi secara sehat, jangan tidak sehat misal fitnah. Tapi dalam diri kita harus dipersiapkan bahwa kalau “jadi” ya bersyukur, kalau dia jodoh orang lain maka kita harus legowo atau rela. Tuhan itu akan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Kedua jangan mencintai yang membuat Tuhan cemburu. Kalau Tuhan cemburu pada kita karena kita mencinati makhlukNya melebihi cinta kita kepada Tuhan, maka Tuhan akan menguji.
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
17
K O L O M
Tabloid Manunggal
Cyberbullying, Kenapa Harus Terjadi?
Dewasa ini, kemajuan teknologi dimanfaatkan sebagai alat komunikasi di segala bidang. Munculnya internet menjadi salah satu alasan kompleksnya komunikasi di masyarakat “postmodern.� Tidak terasa, internet menjadi sebuah kebutuhan baru yang tidak akan bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Peran internet juga telah beralih, dari yang dulunya sekadar alat bantu berkomunikasi, menjadi pembentukan karakter. Pembentukan karakter yang dimaksud berdampak pada kepribadian pengguna internet. Pembentukan karakter Ilustrasi: Sofa/Manunggal ini terserap melalui media sosial seperti twitter, pakan segala bentuk keinstagram, facebook, dan kerasan verbal yang dialaplatform yang lain. mi oleh seseorang yang Pembentukan karak- dilakukan oleh individu ter ini memicu hal yang ataupun kelompok melalui positif, namun sering kali dunia maya atau internet. negatif. Segala ujaran Bentuk-bentuk cyberbulyang tersampaikan di lying di antaranya beruakun sosial media, nilai- pa penghinaan, ejekan, nya bergantung pada apa mempermalukan orang yang diutarakan. Apabila lain, dan hal-hal yang setulisan yang diunggah cara verbal merendahkan berupa kata-kata motiva- orang lain. Banyak motif si, tentu pengguna inter- yang dijadikan sebagai net akan dapat menerima alasan pelaku melakukan cyberbullying. manfaatnya. Tapi coba tindakan Misalnya balas dendam, bayangkan jika malah ungkapan kebencian yang sakit hati, marah, tidak disalurkan? Tentu akan menyukai perilaku korban berdampak juga, teru- (membenci korban), adtama dari segi psikologis. anya keinginan mendoSalah satu contoh fenom- minasi, frustrasi, hiburan, ena yang baru-baru ini dan ketidaksengajaan. terjadi adalah cyberbullyCyberbullying meming. berikan dampak negatif Cyberbullying meru- bagi penerimanya seper-
sehari-hari, maka perlu adanya langkah konkrit yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah diharapkan turut mengambil alih dalam menangani maraknya cyberbullying pada saat ini. Langkah yang bisa dilakukan pemerintah seperti mengadakan sosialisasi untuk bijak dalam menggunakan sosial media. Bentuk sosialisasi yang lain berupa pemahaman kepada para orang tua untuk bisa mengawasi putra dan putrinya ketika sedang berselancar di internet. Selain pemerintah, orang tua juga menjadi salah satu teman dan penasihat terti turunnya tingkat ke- dekat ke anak-anaknya. percayaan diri. Dia juga Bijak dalam bertutur dapat menyebabkan kata melalui internet hadepresi berkepanjangan rus mulai diterapkan oleh yang membuat korban siapapun. Pikirkan secara merasakan kecemasan. matang apa yang akan Pada tingkat yang paling kita sampaikan dalam jetinggi, dampak cyberbul- jaring sosial. Jangan samlying bisa menimbulkan pai bentuk penghinaan, korban melakukan tinda- pemojokan, ejekan atau kan bunuh diri. Fenom- deskriminasi muncul dari ena yang baru-baru ini ketikan jemari kita. Perlu menggemparkan me- kita hindari pula segala dia adalah artis Korea, pernyataan yang bersifat Sulli. Banyak yang men- provokatif dan sensitif. duga bahwa penyebab- Siapa sadar bahwa kitalnya melakukan tindakan ah pelaku cyberbullying bunuh diri karena depresi itu? (Tita) akibat cyberbullying yang dia terima. Cyberbullying tidak lagi bisa dilihat sebagai masalah yang biasa-biasa saja. Mengingat internet dan sosial media sudah menjadi bahan konsumsi
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
C E R P E N
Tabloid Manunggal
18
1 MENIT Oleh: Ramadiah
Foto: Dokumen Istimewa
Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit… Splash… Ini seperti pemutaran ulang sebuah film. Tapi entah mengapa semua adegannya terlalu cepat untuk kuikuti. Mode flash motion mungkin dalam keadaan on. Ini yang mereka namakan flashback. Cahaya terang lagi, lagi, lagi, dan… Itu aku. Yang berusaha menyeimbangkan badan di atas sepeda. Ayah dan ibu setia mendampingi. Mengikuti irama kayuhan sepeda yang baru dilepas roda ketiganya. Aku tertawa gembira. Hanya sekejap saja, lalu menangis. “Ssssst…ssssst… Sudah sudah, adek jangan nangis. Ini ibu pukul kodoknya yang nakal. Uh.. uh.. Nah, udah ibu pukul itu kodok nakalnya,” Ibu mencoba menenangkan dengan berbagai cara. “Adek, adek. Gitu doang kok nangis. Udah bangun, jangan nangis lagi. Katanya anak ayah berani. Jatuh gitu doang kodok lagi yang kena pukul,” berkat perkataannya, Ayah mendapat pukulan ringan dari Ibu di lengannya. Setelah tersenyum menanggapi, Ayah membantuku berdiri. Itu pertama kalinya aku berani mengayuh sepeda kembali, setelah selokan dulu itu ku tapaki dengan roda sepeda. Hilang. Cahaya terang lagi.
Kelebatan cepat. Seperti The Flash saat berlari meninggalkan waktu di belakang. Hitam. Terang. Hitam lagi. Lalu… Berhenti. Itu kami. Saat bermain ‘tepis bola’ di gang kecil Kampung Pelangi. Di tanah yang kami bilang lapang sekitar pekuburan. Banyak pekuburan disini. Tempat kami biasa duduk santai di atas makam orang. Tidak ada yang takut. Kami terbiasa melakukannya. Lagi pun sambil mengumpulkan bunga kamboja yang jatuh. Di sini, rumah berlantai dua menjadi pilihan karena berbagi tanah yang sempit. Anjing dilepas bebas. Begitupun peliharaan lain seperti ayam dan bebek. Semua menyebar. Farhan, Tyo, Bayu, Riyan, Faris, Dea, Diah, Olan, Yuda, dan tentu saja diriku. Permainan dimana semua pemain memegang papan kayu untuk menepis bola kasti yang datang ke arah mereka. Tentu saja kecuali si penjaga. Dan Diah selalu menjadi sasaran si penjaga karena larinya yang paling lambat selain Riyan. Oh, Tuhan. Sungguh aku rindu masa itu. Tertawa tanpa beban. Kami bertengkar untuk kemudian bermain bersama lagi. Mereka yang mengenalkanku pada dunia awal penjelajahan. Banyak ganggang kecil yang biasa kami
jelajah bersama. “Kita ini Si Bolang.” Itu yang selalu diteriakkan, ketika omelan ibu maupun tetangga tak lagi kami perhitungkan. Meski kehidupan kami di sana keras, tapi aku menyukainya. Jauh. Itu semakin menjauh. Aku dibawa berlari kembali. Cepat. Terlalu pudar untuk ku lihat semua. Tiba di lain waktu. “Ayo, lari. Jangan jalan! Kalian telat lagi, telat lagi!” teriakan Pak Dede di depan pintu gerbang. Tidak. Aku bukan di barisan mereka. Aku terlalu rajin untuk menjadi anak bandel. Tapi agaknya, senang saja melihat mereka melakukan itu. “Nah, iya iya yang itu! Sebelah sana belum bersih! Peras dulu pel nya, baru dipake lagi! Gak pernah bantu-bantu di rumah pasti,” celotehan Pak Bagus yang amat ku kenal dengan nada sindirannya. “Yaelah, Pak. Kita-kita cowok kali, Pak. Yang salah Ozi juga. Saya yang jadi korban, kenapa saya harus ikutan bersih-bersih juga, Pak?” Pembelaan Anwar rasanya salah di telingaku. Gema lah yang menjadi otak kejahilan. “Anwar? Ulang tahun dia? Kolam ikan!” Dan begitulah yang terjadi. Anwar pulang dengan bau khas kolam ikan lele sekolahan yang airnya sehijau rumput gajah. Tertarik. Aku tertarik kasar. Tarikan kuat. Seperti ujung magnet yang saling berbeda. Gelap lagi. Hitam. Cepat. Sampingku terasa seperti kereta super express. Tunggu aku bisa mengaturnya. Kembali sebentar. Ya. Itu… Aku mendengar. Inilah lagu yang selalu ku rindukan. Gambang Semarang. Kampung halaman. Aku datang. Saat kereta enam tahun lalu membawaku ke kota orang. Meninggalkan sejuta kenangan saat aku diharuskan untuk merelakan. Lama rasanya tak lagi mengingat udara kota ini. Dulu saat kecil tak banyak orang berlalu lalang di Tawang. Udara tak sepadat ini. Tidak menyesakkan, tapi
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
rasanya hanya berbeda saja. Terus.. Jalan terus… Aku ingin melihatnya lagi. Paving sudah tersusun rapi. Pembeda dari jalan di sekitar Kota Lama. Klasik. Dari bangunan Gereja Blenduk aku menelusuri jalanan. Sampai taman lalu duduk disana. Indah, tidak seperti dulu tapi masih bisa ku pandang. Banyak bangunan yang rapuh. Tapi aku menyukainya. Sama ketika aku mengambil gambar dengan seseorang. Aku berjalan lagi. Ke tempat yang selalu aku tuju saat menginjakkan kaki di sini. Tempat orang menjual barang antik. Saat aku hendak pergi dulu, ku sempatkan membeli satu barang dari situ. Teko dari seng berwarna hijau totol. Ku gunakan setiap kali ku rindu dengan rumah. Menyeduh teh dengan teko itu terasa berbeda. Aroma kampung halaman lebih terasa. Aku berjalan. Melihat berkeliling. Aku mengambil sebuah barang. Uang kuno. “Mba? Ini berapa?” ku tanyakan pada orang yang duduk di dalam. “Uang 25 sen ini? Harganya tiga puluh ribu rupiah mas,” jawab si penjual. Aku seperti tahu suaranya. Ku lihat wajahnya. “Ani?” Memudar. Hilang perlahan. Jangan kembali dulu. Aku ingin melihatnya kembali. Kenangan itu. Aku ditarik mundur. Aku mendengar suara nun jauh disana. Semakin terdengar keras. Bed side monitor yang melenguh panjang. Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit… Hitam. Terus hitam. Dimana cahaya?? Esoknya aku dikebumikan. --Note: 1 menit adalah waktu terlama otak memutar segala kenangan paling membekas setelah jantung berhenti berdetak.
19
R E S E N S I
Tabloid Manunggal
Kritik Sosial Kesenjangan Masyarakat Korea Judul Sutradara Pemeran Jenis Film Bahasa Negara Rilis Durasi film
Foto: Dokumen Istimewa
Keluarga Kim termasuk keluarga miskin di Korea Selatan. Sang kepala keluarga, Kim Kitaek adalah seorang mantan supir. Dibantu istri, Choongsook dan anaknya, Kiwoo serta Kijeong, mereka menyambung hidup dengan melipat pizza box bersama. Saking miskinnya mereka hidup di sebuah apartemen bawah tanah yang kumuh tidak layak huni. Keadaan keluarga mereka berubah saat kawan Kiwoo menawarinya pekerjaan sebagai guru les Bahasa Inggris menggantikannya yang melanjutkan kuliah di luar negeri. Kiwoo kemudian datang ke rumah keluarga Park yang kaya raya. Berbekal ijazah palsu buatan adiknya, Kiwoo pun diterima dengan baik. Di sanalah usahanya untuk menarik keluarganya dari kemiskinan dimulai. Niat licik yang menginginkan keluarganya hidup sejahtera tanpa banyak usaha, Kiwoo menarik adiknya untuk menjadi guru les seni bagi anak bungsu keluarga Park. Tidak hanya berhenti disitu saja mereka ingin seluruh keluarganya dapat bekerja di keluarga Park dengan gaji yang besar, maka mereka mefittnah supir dan pembantu lama agar keluar dari keluarga Park. Usaha mereka dalam mefitnah supir dan pembantu lama berbuah hasil sehingga seluruh keluarga Kim dapat bekerja pada keluarga Park. Itu sepotong kisah dari sebuah film yang berjudul Parasite. Film ini merupakan salah satu film yang disutradarai oleh Bong Joonhoon yang sudah pernah menyutradarai film besar sebelumnya seperti The Host (2006), Snowpiercer (2013), dan Okja (2007). Dalam film Parasite ini menggambarkan realita kehidupan keluarga miskin di Korea yang hidupnya sangat tidak layak. Keluarga Kim yang tinggal di Apartemen bawah tanah berdekatan dengan selokan sudah terbiasa dengan banyaknya serangga seperti ke-
: Parasite : Bong Joon Hoon : Song Kang-ho, Lee Sun-kyun, Jo Yeo-jeong, Choi Woo-sik, Jan Hye-jin, Park So-dam, Lee Jeong-eun : Drama, Thriller : Korea : Korea Selatan : 20 Juni 2019 : 132 menit
coak mampir ke rumah mereka. Saking miskinnya mereka rela melakukan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang gratis. Untuk mengusir para serangga mereka membiarkan jendela terbuka agar mendapat asap fogging gratis. Mereka rela mencari cari kesegala sudut rumah hingga duduk didekat kloset agar tersambung ke Wifi tak berbayar. Hal ini tentu sangat kontras dengan kehidupan keluarga Park yang kaya raya. Kelebihan di dalam film ini terdapat pada kemampuan akting para pemain yang dapat memainkan karakternya dengan baik. Choi Woo Sik dan Park So Dam berhasil menunjukkan kualitas akting mereka sebagai kakak beradik yang sangat kompak. Mereka mampu membawakan keluarga yang kompak dalam segala keadaan. Sinematografi dalam film ini sangat memanjakan mata, mulai dari sudut pengambilan gambar hingga pemilihan suara latar belakang. Terdapat makna dari dialog para pemain yang menggambarkan realitas kehidupan sekarang. Sayangnya, dalam film ini terdapat beberapa scene yang ganjal untuk ukuran film bergenre thriller, seperti keluarga Park yang sama sekali tidak curiga terhadap modus yang sama yang dibuat keluarga Kim, bagaimana pembantu tumah tangga yang lama justru memberikan kesempatan bagi keluarga Kim untuk merebut kembali handphone yang dijadikan barang bukti dengan cara yang konyol. Namun selebihnya film ini sangat bagus dan layak untuk ditonton Sebagian mungkin penasaran, apa hubungan judul dengan filmnya. Parasite adalah parasit yang biasanya hanya mengambil keuntungan dari inang yang dia tempati. Menonton film ini juga membuat sadar bahwa monster mengerikan di dunia ini sebenarnya adalah manusia. Tak heran film Parasite bisa mendapat standing ovation selama lima menit di Festival Film Cannes 2019. (Safira)
Teman Tangguh Bagi Mahasiswa Milenial Judul : Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini Penulis : Henry Manampiring Penerbit: Penerbit Buku Kompas Cetakan : III, 2019 Tebal : xxiv + 320 halaman ISBN : 978-602-412-518-9
Guna memulai resensi buku kali ini, mari kita bayangkan sesuatu yang menyenangkan terlebih dahulu. Pagi itu udara terasa dingin, selimut tebal dan jaket saling beradu untuk menghangatkan. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang mau tak mau memaksamu untuk beranjak dari kasur ternyamanmu. Di depan pintu berdiri ibu kost dengan senyum manisnya membawakanmu kopi susu dan sepiring nasi goreng. Kamu bergegas untuk mandi dan berangkat ke kampus. Jalanan begitu lengang hingga tak sampai 10 menit kamu sudah sampai di depan kampus. Masih ada sisa waktu 15 menit sebelum ujian di mulai. Tak sampai 20 menit kamu telah selesai mengerjakan semua soal. Semua materi yang telah dipelajari ternyata keluar di ujian kali ini. Lalu apa yang kamu lakukan jika situasi yang terjadi tak selaras dengan yang direncanakan. Kamu dibangunkan oleh ibu kost untuk menagih pembayaran sewa, kemudian ban motormu tiba-tiba bocor padahal ujian dimulai lima menit lagi. Bagaimana cara kamu meluapkan semua kekesalan dalam diri? Bagaimanakah kamu mengatasi “kegalauan” dalam hidupmu? Buku Filosofi Teras ini bisa jadi pilihan yang tepat untuk menghadapi “kegalauan” generasi saat ini dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Filosofi Teras merupakan sebuah buku yang memperkenalkan tentang filsafat Stoic/Stoa (dalam bahasa Indonesia) yang ditulis dengan gaya bahasa ringan. Buku yang ditulis secara apik oleh Henry Manampiring dan juga dihiasi oleh ilustrasi yang menarik karya Levina Lesmana ini patut untuk diperhitungkan. Buku tersebut merupakan gabungan topik-topik stoisisme yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Stoisisme sendiri merupakan salah satu aliran filsafat Yunani-Romawi kuno yang berkembang pada 2300 SM200M. Filsafat stoisisme bukanlah sekumpulan gagasan rumit yang membuat sebagian besar manusia enggan untuk menyentuhnya. Pada intinya filsafat stoisisme membahas mengenai pengendalian pikiran atau emosi negatif.
Foto: Dokumen Istimewa
but menunjukkan bahwa banyak sekali jenis kekhawatiran yang dirasakan oleh peserta survei seperti kekhawatiran tentang hubungan, finansial, pekerjaan dan lain sebagainya. Penulis menunjukkan relevansi filsafat stoa karena nyatanya sebagian besar manusia Indonesia diliputi berbagai macam kekhawatiran. Buku ini mengajak kita untuk berkenalan dengan stoisisme atau filosofi teras dimulai dari keselarasan kita sebagai manusia dengan alam, pengendalian persepsi, hingga sikap tehadap kematian. Tujuan dari filosofi teras yang dipaparkan dalam buku tersebut adalah hidup dengan emosi negatif yang terkendali, dan hidup dengan kebajikan atau bagaimana kita hidup sebaik-baiknnya seperti seharusnya kita menjadi manusia. “Ada hal-hal di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita” merupakan salah satu prinsip dasar dari filsafat stoisime yang berulang kali ditekankan oleh penulis. Prinsip tersebut disebut dengan istilah dikotonomi kendali. Penulis juga memperkenalkan gagasan William Irvine yang menjadikan prinsip dikotomi kendali lebih mudah untuk diaplikasikan. Kita diajak untuk lebih berfokus untuk hanya mengejar tujuan dalam dirinya sendiri (internal goals) daripada hasil ekstrenal (outcome). Penulis mampu mengupas dengan baik mengenai prinsip dikotonomi/ trikotomi kendali yang menjadi dasar untuk bisa menguasai persepsi kita mengenai suatu permasalahan sehingga kita tidak mudah untuk membesar-besarkan segala permasalahan.
Semakin dalam menyelami buku ini saya semakin tertarik untuk terus menerus membaca. Meskipun dikemas dengan ilustrasi dan pemilihan tata warna yang menarik, akan tetapi pemilihan format paragraf rata kanan menampilkan kesan tak rapi dan kurang pas dipandang mata. Selain itu, ketidakjelasan dalam pergantian paragraf membuat para pembaca harus ekstra jeli dan Pada buku tersebut penulis berkonsentrasi penuh agar bisa menyajikan sebuah survei kha- memahami makna dari setiap watir nasional yang dibuat sendiri kata yang dipaparkan. oleh penulis. Hasil survei terse- (Deni/dari berbagai sumber)
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
Tabloid Manunggal
Edisi II Tahun XIX Desember 2019
20