Lepas Arah Zine Vol.4

Page 1


Pengantar Kata Hallow, Dalam Lepas Arah vol.4 akan ada satu bahasan tentang pembuat zine ini yang mana bahasan itu menjelaskan apa yang dirasakan saat awal pembuatan dan peluncuran tanpa perayaan dan tanpa sebotol bir. Lalu saya bingung seketika mau menulis apalagi......................................................................................................................................... Oiya lalu pembuatan vol.2 ditemani minuman yang menurut kebanyakan bau balsem atau rasa balsem yaitu Root Beer yaa terhitung minuman yang dapat dikategorikan terjangkau oleh seorang mahasiswa dengan ipk pas-pasan, lalu vol.3 agak ningkat dikitlah Bintang Radler meskipun kaleng tapi saya bangga bisa membeli minuman kaleng yang harganya belasan ribu, lalu vol.4 ini hanya ditemani kopi hitam kegemaran orang-orang yang sering ronda malam dikampung halamannya. Tapi saya selalu merasa senang ketika membuat zine kebanggaan saya ini karena entah kenapa kebebasan sangatlah terasa ketika alunan musik yang saya putar lewat salah satu software dikomputer dengan mengandalkan wi-fi kampus dan fasilitas kampus dengan leluasa bisa membrowsing berbagai situs untuk membantu proses penyelesaian media alternatif ini. Terimakasih kepada seluruh kontributor yang telah mengirim maha karyanya, terimakasih kepada Tuhan yang selalu menyertai saya, terimakasih kepada teman yang membantu saya dalam finishing zine ini, terimakasih kepada bayangan wanita yang mendampingi saya dalam khayalkan, terimakasih kepada orang tua saya yang selalu bertengkar dirumah namun terus menerus mendukung saya untuk berbuat suatu hal yang bermanfaat bagi orang lain, menikmati hidup bukanlah tentang material namun tetap menjadi suatu kebutuhan yang harus tersedia. Bagi saya hidup adalah tentang mensyukuri waktu-waktu yang terlewati meskipun dalam balutan dosa yang dilakukan dengan sengaja, semoga saja dengan apa yang saya perbuat beberapa waktu kebelakang akan berpengaruh baik untuk masa depan saya yang diharapkan terang-benerang.

Redaktur, Hilmi Isnaeni Zain



Aku Bertanya Aku lupa belajar untuk hidup Aku lupa mencari tahu siapa aku Dan aku lupa untuk apa ada aku Oh orang berkata aku ada untuk beribadah Ibadah yang seperti apa? Mereka beribadah Mereka juga kadang membuat bencana

Apa ibadah itu pemantik dari bencana? Aku tidak mau beribadah Aku tidak mau bersanding dengan mereka Tetapi aku harus beribadah Aku pun kembali bertanya Untuk apa, aku ada?

Tasikmalaya, 26 Mei 2018



Bercumbu dengan Buku

Banyak yang perlu kita ketahui, mengenai dunia ini. Apa saja yang ada di dalamnya, intrik apa saja yang biasanya terjadi. Sesumbar dengan apa yang kita ketahui tidaklah baik. Sesumbar dengan apa yang kita baca juga tidaklah baik. Namun apa salahnya mencoba? Sesuatu yang kita anggap remeh tidak selalu seperti apa yang kita duga. Wiji Tukhul pernah berkata, “kamu calon konglomerat ya, kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan”. Membaca bukan hanya soal membaca, tapi memahami. Dan yang paling penting ialah menginterprestasikan. Mungkin banyak di antara kita yang gemar membaca, hobi mengkoleksi buku-buku. Tapi sangat sedikit jumlahnya di antara kita yang mau untuk berbagi. Kadangkala ketika ada seseorang yang ingin meminjam buku yang kita punya, kita ragu. Kita lebih takut buku yang kita punyai rusak bahkan hilang. Tapi itu merupakan hal yang lumrah, tapi jangan dijadikan kebiasaan. Jika bukumu rusak karena dipinjam, jangan marah. Marahlah ketika kamu tidak meminjamkan. Karena itu sama saja dengan egois. Setidaknya bukumu yang rusak dikarenakan temanmu membacanya, membukanya, halaman per halaman. Setidaknya temanmu mendapatkan ilmu dari buku yang ia pinjam. Itu yang lebih penting. Menjadi sabar memanglah susah, tapi kamu akan terbiasa dengannya. Dibilang Soekarnois, bukan. Dibilang Soehartois, juga bukan. Dibilang Marxist, bukan juga. Saya termasuk tipe orang yang melahap segalanya. Karl Marx, Emile, Karen, Russell, Gus Dur, Sa’ad dan beberapa penulis esai dari dalam negeri dan luar negeri. Mungkin itulah kenapa saya menjadi pelupa. Judul buku, quotes, penulis bahkan apapun yang berkaitan dengan mereka. Ketika ditanya “buku apa saja yang sudah kamu baca”, pasti saya akan kelimpungan. Bukan hanya buku, artikel pun sering saya baca dan siapa nama penulisnya, tidak terlalu saya amati bahkan tidak saya hafalkan. Saya langsung ke isi, bercumbu dengan barisan-barisan itu. “kalau kita membaca buku yang sama dengan buku yang dibaca dengan orang lain, kita cuma bisa berfikir seperti orang lain”, celoteh Haruki Murakami dalam Norwegian Wood-nya. Setidaknya saya membaca buku apa yang saya suka, bukan apa yang orang lain suka. Saya tidak suka mempelajari atau membaca sebuah buku yang ditulis oleh satu orang saja. Karena bagi saya, itu akan menempatkan saya di dalam tembok besar persegi. Yang saya perlu lakukan adalah mencerna setiap buku yang saya punya, tidak peduli siapa penulisnya, tidak peduli apa agamanya, tidak peduli apa ras-nya dan tidak peduli, apakah dia percaya kepada Tuhan atau tidak.


Ketika saya sedang membaca bukunya Bertrand Russell yang berjudul “berTuhan tanpa agama”, ada yang bertanya kepada saya, “apa kamu ingin menjadi teroris dengan membaca buku yang seperti itu?”. Saya hanya bisa tersenyum sambil berkata “saya hanya ingin memahami sudut pandang dari Russell. Bagaimana pandangan dia tetang agama dan Tuhan”. Orang itu hanya terdiam dan melanjutkan makannya. Lalu orang yang ada di sebelahnya juga bertanya, “itu buku tentang apa dan jenis buku apa”. Saya menjawab, “ini buku filsafat”. Orang tersebut hanya manggut-manggut. Dan ketika mereka berbincang, membicarakan tentang aktivitas pekerjaan mereka. Orang yang kedua tadi bertanya lagi, “kalau dalam filsafat, sikap yang saya ambil berkaitan dengan apa?”. “humanisme”. Jawab saya. Orang kedua tadi tersenyum lebar sambil membusungkan dada. Sungguh pemandangan yang membuat saya keheranan. Ada lagi. Ketika saya membaca bukunya Syaikh Abu Mush’ab As-Suri yang berjudul Balada Jihad Aljazair, ayah saya kaget dan berkata, “kamu mau pergi jihad? Kamu mau gabung sama isis?”. Saya yang rada gugup, menjelaskan kepada ayah saya, “justru ini yang mengungkap kebusukan para muhajid palsu di timur tengah”. Jawab saya. Ayah yang mendengar jawaban dari saya lantas berubah menjadi lebih santai. Beliau sangat sayang kepada saya, dan beliau juga tidak ingin saya salah langkah. Ada lagi. Ketika saya membaca bukunya Zaini Rahman dan Drs. Baharuddin Ahmad yang berjudul Fiqih Nusantara dan Eksistensi, Implementasi Hukum Islam Di Indonesia, ada yang menyambar dan berkata, “wuihh kamu ingin menjadi wahabi yang suka mengkafirkan?”. Saya pun menjawab, “loh ini buku justru yang mematahkan argumen dari para wahabi tersebut. Di dalam buku ini dijelaskan tentang peng-adobsi-an hukum-hukum Islam yang ada di Indonesia. justru hukum di negara kita bersumber dari hukum Islam. Jadi argumen wahabi yang mengatakan thaghut terpatahkan dengan dua buku ini”. Kemudian dia menjelaskan kepada saya tentang wahabi yang dimaksud, siapa pendirinya, bagaimana cara mainnya. Padahal ia hanya seorang tukang ojek pengkolan, namun wawasan dia sangat luas, kebetulan ia merupakan teman dari kakak saya. Orang yang sama dikemudian hari kaget untuk yang kedua kalinya ketika saya membaca naskahnya Faiza Mardzoeki yang diadaptasi dari An Enenmy of the People karya Henrik Ibsen. Dia tidak banyak berkata, seingat saya, dia hanya berkata “lawan, lawan, lawan”. Saya hanya melirik sambil tersenyum. Lalu ada lagi, beliau, kalau tidak salah ingat lulusan S2, ilmu apa , saya lupa. Yang pasti beliau berumur kisaran kepala 6. Dia berkata kepada saya yang intinya menanyakan apa alasan saya membuka perpustakaan jalanan, mengoleksi buku-buku, ilmu apa yang sedang saya tempuh dan buku apa yang paling saya suka. Setelah saya menjelaskan tentang semuanya, termasuk bidang studi yang saya ambil. Dan ketika beliau mengetahui buku apa yang paling saya suka. Beliau hanya berkata, “kamu salah ambil jurusan nak. Seharusnya kamu mengambil ilmu filsafat, sesuai kesukaanmu”. Seperti penjelasan di awal. Saya suka mempelajari segala hal dan saya mengambil bidang studi yang diinginkan oleh orang tua saya. Karena bagi saya hanya “menuruti-lah” yang saat ini bisa saya lakukan untuk membahagiakan kedua orang tua saya.


Sedangkan

ilmu

yang

lain,

bisa

saya

pelajari

secara

otodidak.

Ada lagi. Sahabat saya sempat khawatir ketika saya membaca bukunya Sergyei A. Nilus yang berjudul Protocol of Zion. Sahabat saya tidak ingin melihat saya terlalu larut ke dalam sebuah konspirasi. Dan faktanya hingga hari ini saya sama sekali tidak larut ke dalam buku tersebut. Namun akan berbeda jika yang saya baca merupakan buku-buku konspirasi, maka saya akan menjadi gila karenanya. Setidaknya saya berhasil keluar dari zona itu, dengan membaca banyak jenis buku. Ada lagi. Beliau seorang driver dari Jawa Barat. Ketika beliau sedang memperhatikan saya membaca, tiba-tiba beliau berkata, “bolehkah saya mengambil foto kamu, untuk anak saya. Saya ingin menunjukan kepada dia, bahwa masih ada anak muda yang bersemangat membaca dan mengerjar cita-cita walau keterbatasan ekonomi�. Kebetulan waktu itu saya hanya memakai kaos oblong, boxer dan sendal japit. Mungkin karena penampilan saya terlihat seperti gembel yang akhirnya terucap kalimat yang cukup mengagetkan saya. Namun saya tidak marah, saya lebih suka berpenampilan layaknya gembel. Setidaknya saya telah memberikan motivasi kepada beliau agar sanggup membujuk anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Banyak sekali pengalaman saya dan buku-buku yang saya miliki. Bahkan ada yang menawarkan saya agar bergabung dengan komunitas perpustakaan keliling yang dikomandoi oleh Pemerintah Kota. Tapi saya menolak. Alasan saya sederhana, saya tidak ingin didekte dan dibatasi. Membaca banyak sekali manfaatnya. Banyak yang bisa kita ambil dari buku-buku itu. Dengan kita membaca buku, akan ada banyak orang baru yang berbicara dengan kita. Jika beruntung, pembicaraan itu akan menuju ke sebuah diskusi. Dan akhirnya akan menambah wawasan kita tentang dunia.


Bayang Rinduku

Aku terbujur kaku Terdiam membisu Bukan karna ku tak mampu, Tapi karna kurindu..

Lidahku kelu Dadaku beku Menahan gejolak semu, Akan kedatanganmu, kembali..

Aku masih kaku Aku masih bisu Aku Cuma rindu, Tanahku yang dirampas olehmu‌


Oleh: Putut Pramudiko “Ditinggal Nikah !� Cat Air, Pena Pada Kertas 2018

Seusai adzan isya berkumandang seantero nusantara kita berdua berbincang-bincang sesaat mengenai kisah asmara nyata yang pernah aku berikan dengan lirih beberapa tahun silam penuh nuansa haru sedih mendalam hingga tak kuasa menahan rasa pedih akan rumitnya lika-liku getir cinta menusuk sukma. Aku harus sabar menjalani hari-hari seorang diri hanya untuk menepati janji selalu setia menunggu jawaban atas perasaan cintaku padamu nyaris selama setengah windu lamanya, Namun kini kau telah memutuskan untuk menjalani hubungan serius bahagia sejahtera bersama pria lain dan mengabaikan perasaan aku yang kekal ini hanya untuk memastikan bahwa esok hari akan selalu baik-baik saja setelah semuanya berlalu bersama waktu. Karena sejatinya aku ringkih harus berpura-pura baik-baik saja hanya untuk menyikapi semua hal yang telah terjadi, perihal cinta dan asmara membuat aku menjadi sosok laki-laki cengeng. Entah mengapa semesta memiliki sebuah cara tersendiri untuk mempertemukan kita secara romantis dan berakhir dengan manis. Terimakasih banyak untuk segala macam bentuk asmara yang telah di suguhkan begitu saja tanpa pamrih sedikitpun. Beritahu aku bila ada orang yang menyakitimu.


AKADEMISI KRISIS DALAM INTELEKTUAL

Ruang kebebasan yang diyakini oleh para intelektual kini diubrak-abrik. Banyak hal yang kian kini berantakan, mulai dari persoalan administrasi, arsip mahasiswa, kebijakan bersifat tendensi orba yang maha otoriter. Namun kondisi akademisi tampil dengan berlebihan membanggakan instansi almamaternya, memang demikian kebodohan yang terpelihara. Akademisi sebagai eksekutor tri dharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) tidak lagi mampu merasakan keindahan bebas kritis dalam aspek intelektual atau kenyataan sosial, oh ya ampun mungkin saja ini akibat dari perguruan tinggi mengatur secara otonomi aturannya. Wahana kaum terdidik yang disebut kampus telah berganti tugas sebagai memanusiakan manusia menjadi pabrik penghasil budak muda. Akademisi baru nan polos yang membayar mahal akan tertekan oleh sistem pendidikan, mereka menyaksikan fasilitas yang tidak memadai, dosen yang hanya melakukan formalitas pertemuan wacana tanpa melahirkan pikiran kritis, dan juga pengekangan untuk konsumsi pengetahuan. Di Makassar misalnya, beberapa kampus sudah memperlihatkan diri sebagai ‘pembunuh’ masa depan kaum terdidik. Maraknya kasus drop-out dan skorsing yang dilakukan dengan sangat lucu oleh beberapa perguruan tinggi dengan latar belakang masalah seperti mempertanyakan transparansi dana yang dibayar oleh akademisi, atau karena kreatifitas akademisi dijustifikasi sebagai hal yang reaksioner. Secara eksplisit akhirnya kampus membentuk dirinya sebagai sarana investasi yang didominasi oleh akademisi apatis dan cenderung menguburkan pemikirannya. Krisis kebebasan intelektual terjadi disebabkan oleh, pertama; ada pembatasan ruang berpikir dan berkreatif yang diselenggarakan mengatas namakan otonomi kampus. kedua; terjadinya alienasi bagi identitas mahasiswa seperti jam proses belajar diatur sedemikian sibuk sehingga lupa akan peran sosial dan buta terhadap permasalahan masyarakat. ketiga; ketidakwarasan berpikir akademisi dialami karena minimnya mengonsumsi literatur serta bacaan progresif. keempat; kritik, pernyataan, dan protes akan berujung ganjaran kelihatan sangat nondemokratis. kelima; tidak adanya kesatuan gerak untuk mengatakan bahwa musuh kita masih sama yaitu birokrasi dengan segala kebijakannya yang tidak pro akademisi/mahasiswa. Terlepas dari hal dalam kampus, ruang berpikir mahasiswa seharusnya tidak menjadi sesempit kelas. Kenyataan sosial yang ada seharusnya mengantarkan lakon akademi ke arah menganilisis permasalahan masyarakat yang berkaitan alur perpolitikan dan persoalan ekonomi nasional dan internasional yang berpengaruh besar pada hidup masyarakat. Biarkan saja kampus dipenuhi oleh pertarungan gagasan pengetahuan hingga ke tahap memberikan kejanggalan objektif di masyarakat publik, negara demokrasi memang seperti itu sudah ada kebebasan berpendapat apalagi dalam hal berpikir. Benih pikiran tidak boleh terbelenggu, jikalau hal itu sampai terjadi sama halnya akademikus telah menafikan identitas dan integritasnya, lembaga mahasiswa ataupun akademisi jangan hanya sibuk menjual bazar saja


atau menjual alat perias wajah (make-up), sebab tempat terdidikmu bukan ajang praktik pasar berbasis komersial atau penghasil profit.

KAMPUS BERANTAKAN Di rezim orba, kampus terlihat berantakan ketika peristiwa terjadi konflik dan berimbas pada tawuran antar mahasiswa. 1998, mahasiswa mengadakan protes di tengah situasi krisis moneter dan menuntut gerbang demokrasi dibuka. Totaliter atau wajah otoritarian mestinya tidak ada lagi, namun hal itu sebuah wacana nihil sebab saat ini roh orba tersebut masih merasuki segala aspek termasuk pendidikan, hanya saja kebutaan terjadi semakin banyak bersamaan dengan semakin banyaknya mahasiswa. Rekan mahasiswa menganggap tunduk, diam, dan takut adalah suatu perwujudan legal sebagai intelektual padahal ketakutan mereka yang dipelihara itu bukan penjaminan kesuksesan. Rezim baru tiba pada pasca reformasi , merefleksi 2 dekade reformasi ada hal yang belum tuntas, mulai dari sekembalinya elit-elit membentuk dinasti yang feodal, juga dwi fungsi abri berperannya kembali para aparatur ke konstalasi politik, cacatnya demokrasi hadir dengan legalitas UU MD3, UU ITE, dan masih banyak lagi regulasi picik. Lihat perguruan tinggi, kampusku di Makassar contohnya atau lebih dikenal dengan Uang Kuliah Itu Penting, disana bersemayam dewa-dewa yang sering disebut senior keunikannya mereka tampil dengan sangar, ingin terlihat jago dikalangan mahasiswa padahal takut melawan kebijakan yang dikeluarkan birokrasi ataupun negara. Tidak hanya itu, tenaga pendidik fasis berkeliaran hanya karena soal buah dada, rambut gondrong, atau menyangkut penampilan berasa sentimen adalah jalan terbaiknya, mungkin ancaman nilai E atau sampai skors berlaku. Fasilitas dan pembangunan kini menguras biaya akhirnya mahasiswa jadi tumbal lagi dan lagi. Uang per SKS mengalami kenaikan sehingga profit kampus juga mengalami surplus lalu penyelesaian belum-belum juga rampung. Kalau iya kampus berdiri karena basisnya investasi maka pendidikan tidak lagi bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi membodohi anak bangsa. Sistem kapitalisme telah berkolaborasi dengan otoritarian baru dalam sektor pendidikan, bukankah ini gawat ? Maka sebab itu hal yang menyangkut otonomi kampus telah disusun dengan rapi, tanpa melibatkan mahasiswa, korban kekerasan akademik yang baru akan tersiar. Siapa dibalik ini yang akan diuntungkun atas nama otonomi kampus ? Bergelora kawan, mari merapatkan barisan kesadaran. Bentuk secara kolektif massa, jangan lunak karena alibi-alibi dosen serta ancaman rektorat. Jangan menunggu kenyaman, hari ini sedang tidak terjadi itu, rebut kembali kemerdekaanmu, kampus menjalankan visi dan misi fasis. Bersatulah Mahasiswa, kalian bebas sadar, bebas mempunyai sisi intelektual, bangun perlawanan jika pendidikanmu menindasmu. Lupakan instansi aspiratif yang pasif, ada juga sekutu dengan birokrasi, dasar mental penjilat, diajak berkolektif tapi kebanyakan skeptis. Selamat atas ketakutan dan berantakannya, benah sekretmu sebagai ruang kritis, bukan tempat sarang si goblok game online.



MAHASISWA KAMBING Semua mahasiswa baru ketika menjalani Orientasi Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di negeri ini pasti dengan komando dari senior-seniornya di jajaran Ormawa pernah menghadapi suatu momen heroik ketika harus mengangkat tangan kirinya yang terkepal sembari berteriak “Hidup Mahasiswa !” dan “Hidup Rakyat !” Adakah ia seorang idealis ? Adakah ia seorang mahasiswa yang patuh ? Kita tidak tahu. Mahasiswa-mahasiswa itu mungkin adalah sebuah contoh jenis manusia yang lazim hidup dalam sebuah sistem “pascareformasi” – sebuah sistem yang sonder demokrasi, tapi juga tanpa kediktatoran yang lazim, yaa masa itu adalah saat ini. Dalam sistem itu, yang berjalan adalah kompromi-kompromi otomatis. Si mahasiswa berteriak seperti itu tak dengan sendirinya, apakah karena dia yakin bahwa mahasiswa diseluruh penjuru negeri perlu bersatu ? oh tentu tidak, ia hanya melakukan itu karena mahasiswa lain juga melakukannya - seperti para tim sukses Calon Kepala Daerah yang memasang banner / spanduk kampanye politik menjelang Pilkada Serentak 2018, tanpa harus yakin bahwa terpilihnya pemimpin baru itu akan membawa perubahan lebih baik karena yang jadi patokan adalah saya dapat uang dan hidup aman. Begitupun para mahasiswa yang berteriak “Hidup Mahasiswa” dan “Hidup Rakyat” itu melakukannya hanya karena sudah menjadi bagian dari ritual kepatuhan yang digariskan dari “pihak atas” atau oleh tekanan senior-seniornya para mahasiswa yang masuk Organisasi Kemahasiswaan untuk yang eksternal dari mulai putih, kuning, hijau, merah, dll. Dan yang internal, mereka kebanyakan bergabung karena dasar ikut-ikutan, ingin kelihatan gayagayaan dan unjuk gigi, merasa lebih superior, dan istimewa dari mahasiswa-mahasiswa yang lain atau yang lebih parah lagi hanya untuk bisa belajar korupsi sedari dini juga mendapatkan dede-dede gemes sebagai objek liur birahi, para mahasiswa senior pejabat di jajaran Badan, Himpunan, Dewan kemahasiswaan apapun wadah itu sebutannya, wahai kawan kawanku jika kalian hanya berpikiran oportunis pragmatis melihat Ormawa sebagai jalan batu loncatan untuk nantinya bisa terjun langsung pada politik praktis menjual idealism yang tidak seberapa itu, kegiatan-kegiatan mulai dari pelantikan, rapat-rapat pengurus, rapat-rapat koordinasi, seminar dan rapat-rapat lainnya itu bukannya tidak perlu, aksi langsung memang berdasarkan dari hasil rapat tapi aksi langsung bukanlah semata-mata rapat yang dipraktekan intinya rakyat butuh tindakan nyata bukan cuma wacana dibalik meja, sementara itu gerakan kalian buntu tak tentu jalan tuju sangat tidak berguna seperti hura-hura color run dan live DJ. Ditengah kondisi ekonomi yang menciut mati rasa akal tergerus, skeptisme masyarakat yang semain hari kian cerdas semakin menjadi-jadi dalam memandang mahasiswa, setiap perguruan tinggi di negeri ini ibarat penjara kaca yang memenjarakan mahasiswa, seolah bebas melihat realitas sosial namun tak mampu bergerak ke luar dan terus berputar didalam penjara kaca tersebut, adapun yang berhasil keluar dari penjara kaca itu harus lebih dulu berhadapan dengan ilusi kaca yang mencerminkan citra dirinya sendiri dalam ilusi narsisme kelewat basi yang ditampilkan dalam jejaring sosial media yang banyak macamnya.


Tidak usah terlalu jauh membahas dan mari kembali lagi ke si mahasiswa tak peduli apa sebenarnya makna dari kalimat “Hidup Mahasiswa” dan “Hidup Rakyat” itu. Layaknya seekor kambing Ia hanya mengembik bersama kambing lain saling bersahutan satu sama lain tanpa tau siapa yang memulai lantaran ia merasa begitulah adat hidup di kandang kambing – hingga ia pun secara pelan-pelan mentrasformasikan diri menjadi kambing lebih tepatnya mahasiswa kambing, idealnya seorang mahasiswa adalah sebagai agen perubahan, mahasiswa bertindak bukan ibarat pahlawan yang datang ke sebuah negeri lalu dengan gagahnya mengusir penjahat-penjahat dan dengan gagah pula sang pahlawan pergi dari daerah tersebut diiringi tepuk tangan penduduk setempat. Dalam artian mahasiswa tidak hanya menjadi penggagas perubahan, melainkan menjadi objek atau pelaku dari perubahan tersebut. Sikap kritis mahasiswa sering membuat sebuah perubahan besar dan membuat para pemimpin yang tidak berkompeten menjadi gerah dan cemas, namun sekarang kebanyakan mahasiswa hanya berpikiran oportunis pragmatis “yaa yang penting ketika saya lulus dengan nilai yang baik saya bisa bekerja di perusahaan idaman dan duduk nyaman di kursi empuk dapat uang banyak dan hidup aman” begitu kurang lebih yang ada di pikiran mereka. Tidak ada yang perlu dikritisi yaudah lah yaa karena ini adalah hal yang wajar bahwa kebanyakan mahasiswa di negeri “pascareformasi” ini dikuasai rasa takut untuk jadi-lain-dariyang-lain, jadi kontroversial, nyentrik, bengal, dan tidak patuh. Pesan “Hidup Mahasiswa” dan “Hidup Rakyat” Bukanlah ia tunjukan kepada para mahasiswa dan rakyat seperti kedengarannya tidak seperti banner / spanduk kampanye politik menjelang Pilkada Serentak yang dipasang jelas untuk menggiring kambing-kambing pemilik hak suara. Isi dari teriakan “Hidup Mahasiswa” dan “Hidup Rakyat” itu tak penting. Sebab, pesan yang sebenarnya adalah kehadirannya itu sendiri. Semacam teriakan yang mengandung isyarat. Jika diterjemahkan dalam kata-kata isyarat itu berbunyi (dalam kata-kata) : “Saya mahasiswa kampus X, kuliah disini dan tahu apa yang harus saya lakukan, saya berbuat menurut cara yang diharapkan dari diri saya … saya patuh dan sebab itu saya berhak untuk tidak diganggu” Tapi mengapa isyarat harus disusun sebagai isyarat ? Mengapa teriakan itu tidak berbunyi “Saya takut dan sebab itu saya taat penuh” ? karena seandainya teriakan itu berbunyi demikian, sang mahasiswa tak akan bisa bersikap acuh tak acuh pada isi kalimatnya. Seandainya slogan itu berbunyi demikian, si mahasiswa akan merasa malu sebab ia adalah seorang manusia yang mempunyai harga diri, agar rasa malu itu tak terbit, isyarat pun dipilih. Juga penting : teksnya setidaknya bisa memberi peluang bagi si mahasiswa untuk membela diri. Misalnya dengan mengatakan, “Apa salahnya sih bila seluruh mahasiswa di Indonesia bisa bersatu padu Bersama rakyat ?” atau “Apa salahnya mengangkat kartu kuning pada presiden ?” Dengan demikian slogan itu menolong si mahasiswa untuk menyembunyikan betapa rapuh dasar kepatuhannya. Ia bukan saja takut terhadap tilikan orang lain, tetapi juga terhadap saat ia mawas dirinya sendiri. Ia ingin mengenakan sesuatu yang lebih hebat ketimbang sekedar perisai. Lebih hebat dari sekedar kedok. Ia ingin pakai sesuatu yang luhur, yang sebenarnya baju zirah gemerlap dan itu adalah ideologi.


Di depan tilikan hati nurani, ideologi berfungsi sebagai dalih. Ideologi menyediakan suatu ilusi pandangan hidup, bahwa sistem yang berlaku itu “selaras” dengan tertib hidup alam semesta dan manusia. Ilusi itu dipegang baik oleh yang mendukung sistem maupun yang jadi korban sistem itu. Maka, justalah yang menopang permukaan yang rata dan rapi itu. dan system yang ditegakkan di atas permukaan itu pun berusaha agar justa itu tak retak sedikitpun. Sang sistem takut ambles. Sebab, apa gerangan yang bakal terjadi seandainya si mahasiswa berteriak pada slogannya terus terang, “SAYA MAHASISWA DAN SEBAB ITU SAYA HANYA IKUT-IKUTAN TERIAK !” Guncangan akan timbul. Biarpun si mahasiswa itu kerempeng dan tak berwibawa, ucapannya akan tiba-tiba memberikan alternatif yang selama ini disingkirkan, sebuah alternatif yang pada hakikatnya cocok dengan batin mahasiswa jujur idealis yang jumlahnya semakin hari bisa dihitung dengan jari : batin yang tak ingin bohong terus menerus, tak ingin jadi kambing terus-menerus. Batin yang merindukan bahwa embik harus diganti dengan sesuatu yang lebih sesuai dengan martabat manusia. Di bawah permukaan rapi kehidupan dalam sistem “pascareformasi” ini tertidur lapisan hidup yang tak nampak disana bersembunyi kemerdekaan juga sikap terbuka untuk mengakui kebenaran dan disanalah hidup batin orang-orang yang tak berkuasa, tak berkekuatan namun tetap bertahan, yaa saya pribadi mempersembahkan cinta untuk saudara-saudara kita yang terpapar wabah campak dan gizi buruk di Asmat juga yang sagunya tergantikan sawit di Papua, untuk mereka yang terhimpit tambang liar di Bone, Sinai, hingga Gowa, Masyarakat adat, Petani Langkat, mereka yang mempertahankan konservasi di Teluk Benoa, hingga mereka yang dihujani serbuan bulldozer Pemkot Bandung di Tamansari juga bagi mereka yang bertahan di Rembang dan Pati di hadapan rezim Bandara di WTT, Majalengka, dan Kulon Progo, dibawah ancaman tambang di Lumajang, Sumatera Utara, Karawang, Jambi hingga Bangka, dibawah bedil di Urutsewu dan Bima, dihadapan rezim konsesni dari Indramayu hingga Moromoro yang bertahan dari Batang hingga lereng Ciremai dan Alim Ulama di Masjid dan Pesantren-Pesantren yang gelisah dibawah ancaman serangan Orang Gila yang sama teror dan tidak warasnya dengan penyerang boom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya, dan paing terahir kmerad-kamerad HMI yang habis dipukuli aparat polisi saat menyuarakan 20 tahun reformasi, maka jangan pernah berpikir bahwa pasca diundinya nomor urut calon paslon menjelang Pilkada akan menghentikan semuanya, sama halnya dengan kampanye yang gencar mereka sebar, kekacauan terstruktur, sistematis, dan masif ini juga baru dimulai dan untuk kalian para Mahasiswa yang sering mengangkat tangan kiri dan berteriak “Hidup Mahasiswa !” dan “Hidup Rakyat !” inilah saatnya untuk keluar kandang ! !

“Kalian pemuda, kalau tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri !” – Pramoedya Ananta Toer Ciamis 2018



Berbagi Kebahagiaan Memori ingatan yang aku simpan sejak kelas 3 sekolah dasar kala itu fenomena-fenomena sedikit demi sedikit muncul dalam ruang lingkup keluarga yang menurut orang lain menyeramkan namun menurutku suatu hal yang biasa saja karena kujalani semua dengan sans dan sampai saat ini pun masih kerap terjadi. Ketika usiaku dapat dikatakan masih kecil dan belum mengerti apa yang terjadi aku hanya mendengarkan dari kamar teriakan-terikan yang histeris, suara-suara itupun bagaikan alunan merdu yang mengantarkan aku tertidur lelap dalam pelukan selimut yang hangat. Menginjak sekolah menengah pertama aku disekolahkan dalam pendidikan bertaraf internasional dengan harapan seorang ibu agar anaknya bisa mahir dalam pembelajaran bahasa asing khususnya Inggris dan hal akademik lainnya padahal kedua orangtuaku adalah seorang guru, ibu seorang guru bahasa Inggris lalu ayah seorang guru kesenian dengan fokus karawitan dan seni rupa sekaligus guru agama dan menjadi seorang tokoh yang dikenal sebagai ustadz, tapi aku belum juga mahir dalam berbahasa asing yang satu itu dan belum juga paham tentang agama yang seharusnya. Saat umurku bertengger dalam bilangan belasan api semakin bergelora didalam rumah, aku semakin tak betah bersemayam seperti cacing kepanasan dan layaknya burung yang ingin terbang dari sangkar namun tak terarah karena salah satu sayapnya patah. Waktu itu banyak hal yang mulai aku mengerti mengapa dapat terjadi hal yang seperti itu didalam rumah, aku mulai terlibat dalam berbagai masalah yang seharusnya mereka selesaikan dengan kepala dingin namun aku dipaksa secara tidak langsung untuk merasakan suasana panas yang seharusnya tidak dirasakan olehku dalam umur yang dapat dikatakan belia. Air mata yang seharusnya jatuhpun aku tahan dan terasa dalam tubuh hujan yang deras dari hati yang perlahan menghitam seperti awan cumulonimbus. Lalu masuk masa perkuliahan yang dimana aku merasakan banyak hal yang terjadi diluar sana dan tersadar bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja, rumahku pun. Diawal perkuliahan aku dikejutkan oleh ayahku yang menghilang beberapa minggu karena problematika dirumah dengan ibuku dan orang ketiga, waktu itu ujian tengah semester sedang berlangsung dan alhasil indeks prestasi semester pertamaku sangatlah jauh dari harapan ibuku dan tentunya aku, terkejut melihat angka dibawah 3 yaitu 2,76 namun aku tetap bersyukur kerena tidak dibawah 2,75 haha mengapa demikian yaa meskipun ibu telah menyuruhku untuk tetap fokus namun tetap saja hati tak tenang dengan mengetahui kabar bahwa ayahku menghilang. Kejadian serupa terjangkit kembali saat ku memasuki tingkat 2 dan juga 3 karena ku sudah mempelajari dari kejadian sebelumnya akupun dapat mengondisikan akal dan perasaanku dan syukurnya ipk akhirku dapat diperkirakan menginjak angka 3 lebih sedikitlah setelah ku hitung-hitung, jadi meskipun banyak hal brutal yang terjadi pada kehidupan seorang individu tetaplah jaga impian dan harapan karena tak selamanya hidupmu berantakan dan terkadang kamu yang harus membereskannya sendiri ketempat semula dan seharusnya, mencintai kehidupan seruapa halnya mencintai takdir yang terjadi dalam perjalanan duniamu maka dari itu aku belajar untuk tidak membenci takdir, bersahabat dengan takdir sangatlah menyenangkan meskipun takdir itu brutal dan terkadang membuat sengsara. Dengan semua yang ku paparkan secara singkat pada dasarnya aku adalah seorang anak yang brengsek.


I really miss being able to blend in with people


WALK IN INTERVIEW DAN KEBODOHAN Jadi setelah resign dari kerjaan saya yang dulu, tepatnya sekarang saya mencoba walk in interview di bandung. Semoga ini adalah sebuah awal yang baru bagi saya :)

Walk in interview jam 08:00, saya sampai dilokasi jam 07:45, lalu satpam bilang " dimulainya nanti jam 09:00, HRDnya belum dateng " " woooow " kata saya. Akhirnya saya pun menunggu sembari mengisi sebuah formulir yang bapak satpam kasih ke saya.

Untuk mengisi data pribadi saya masih bisa, dan akhirnya ketika mengisi data orang tua saya mengalami kendala yang tak terduga :(

" ini gua gini amat, ga tau ulang tahun orang tua sendiri :( ya allah maafkan hamba " gumam saya. :(

Lalu terjadi hal yang lebih tidak terduga! Jreng jreng!!!!

" sebutkan 3 sifat positif dan 3 sifat negatif anda " menghela nafas sedalam dalamnya, lalu berkata " fak " " ya allah, ini siapa yang ngusul ini sih? :( " ucap saya lema.

Demi apa atuh? Bill gates aja bisa sukses ga gara ngisi 3 sifat positif dan negatifkan.

Dan lagian mana ada orang yang nulis sifat negatif dia pendusta, pemarah, penyembah setan, dengan jujur, polos dan blak-blakan.

Setelah mengisi semua formulir saya pun merasa senang.

" hore ~~~ hore ~~~ " sebuah kesenangan yang tidak bisa terbendung.


DAN!!!! LALU!!!! " ini boleh ga sih! Aing ngisi humoris sebagai sifat positif! " pikir saya, 15menit setelah mengikuti psikotes!

" ahhhhh tidaaaak!! " teriakan seorang lelaki yang penuh penyesalan.

Ini serius saya nulis 3 sifat positif jujur, kerja keras, dan humoris.

Yap humoris :(

Ini kan tadinya saya bingung ya, jadi saya searching aja terus nemu humoris terus saya tulis deeh. :(

Salah saya ga sih ini!

15 menit kemudian.

Pengumam hasil psikotes datang.

TIDAK LULUS~~~~

Fix ini mah fix!!! Ketika HRDnya baca ada sifat humoris dia langsung berpikir saya bercanda kali ya ngelamar kerjanya. Faak sedih :(

Hilang sudah kerjaan dengan gaji 4,5jt. Hanguuuuuss chit!

Tapi semoga HRDnya juga humoris, lalu bercanda ga lulusin saya :(


DE PARADISO I’M ON MY BREAKHEART

Hatiku terasa tak tenang, gundah kurasa. Setiap denyut jantungku berdetak aku semakin merasa tak tenang. Khawatir. Yah kurasa kurang lebih demikian. Selain itu aku diliputi ketakutan yang merasuki ujung jiwaku. Ketakutan akan kenyataan yang tak bisa ku terima. Haruskah aku berhenti di tengah perjalan hidupku ini. Dalam secarik kertas usang, kurangkai dan kutulis sebuah ungkapan hati. Dear Soul bottle Di sore peralihan senja ini, aku berdiri di sebuah pantai. Memandangi gumpalan awan yang berjalan perlahan-lahan menutup sang surya yang hendak pulang ke rumahnya. Aku menunggu dan menunggu disini. Masih disini semenjak dua hari yang lalu dalam sebuah ketidakpastian. Belaian angin mengusik tubuhku mencoba menghentikan penantianku ini. Kucoba tuk bertahan menghadapinya. Kucoba tuk bersabar menjalaninya. Namun, sampai kapankah aku harus begini? aku bimbang, apakah ini langkah yang tepat? Tuhan, apapun ini semoga inilah yang terbaik untukku. Meskipun seseorang yang kunanti, seseorang kuharapharapkan kehadirannya, seseorang yang telah membuatku terus bermimpi tak kunjung datang dan jadikanlah semua ini berkah. Cherissa ivanovsky Awan takwarna gelap, tapi mengapa turun hujan kecil dari kedua bola mataku. Kertas usang itu kemudian kugulung, kuikat dengan pita hitam. Lalu kumasukan ke dalam sebuah botol transparan nan panjang. Sambil mengusap tetesan air mata aku lempar botol itu ke arah laut di depan sana. Aku melangkahkan kakiku di hamparan pasir putih nan lembut. Melangkah dan terus melangkah menuju sebuah cottage tempatku menginap. Sudah hampir tiga hari aku menginap pada sebuah cottage bernama De Paradiso. Suasana di sini cukup bisa menghibur hati yang sedang kalut. Lampion-lampion yang di pasang di tiap ranting ranting pohon mengingatkanku akan indahnya malam di paris, prancis. Kerlap kerlipnya sangat menawan. Aku ingat sekali dahulu setiap kali Aku dan Frans pulang kuliah biasanya kami mampir dulu pada sebuah galeri seni milik seorang seniman berbakat, Picasso. Frans akan mengoceh panjang lebar ini itu mengenai lukisan picasso mulai dari pewarnaan, imajinasi, tekstur, dan semua hal yang menyangkut seni, lukisan, terlebih picasso. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala dan melempar senyum padanya. Aku kurang mengerti perihal seni, lukisan dan picasso yang diocehkannya. Maklumilah aku tidak berbakat atau bisa di bilang aku berbakat tetapi jika aku mengembangkannya. Frans memang pecinta seni sejati, sehingga tak mengherankan jika ia masuk jurusan seni murni. Aku ingat sekali pertemuan pertama kami, di sebuah pantai entah dimana. Saat itu aku sedang duduk melamun di dekat karang sambil memercikkan air laut yang menghampiriku. Aku tak memerhatikan sekelilingku terlebih kehadiran seorang pria yang tak ku kenal. Kurasa ia sedari tadi terus memerhatikan kelakuanku. Tanpa ekspresi, bermain dengan air layaknya anak kecil yang sedang bosan. Orang itu kemudian berjalan ke arah karang. Lalu ia duduk diatasnya. Ia kemudian menundukan kepalanya. Aku tak tahu apa yang diperbuatnya. Untuk alasan itulah aku memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Aku kembali bermain


main dengan air. Tiga puluh menit kemudian orang itu berdiri. Kurasa ia akan pergi. Tepat sekali dugaanku, tanpa basa basi ia pergi meninggalkan tempat ini tanpa sempat menyapaku. Ia hanya melemparkan senyum misterius padaku. Kutengok arloji di tangan kiriku menunjukan tepat pukul 14.00. Aku beranjak dari tempat dudukku. Lalu ku hempaskan pasir yang menempel di rokku. Aku ingat ada janji dengan keponakanku — Martha. Aku berjanji padanya kan mengantarnya pada sebuah acara semacam kompetesi lukis di International broen Center. Setibanya disana aku bertemu pemuda di pantai itu lagi, kini dandanannya rapih dan stylish — memakai jas hitam berdasi. Dia kembali tersenyum misterius padaku sambil membisikkan kata “We’ll meet together again”. Aku tak mengerti dengan maksud ucapannya. Aku tidak menghiraukannya. Kemudian kami bergegas memasuki VIP room. Kedatangan kami di sambut ramah oleh para pelayan di gedung itu. Kami terpaksa duduk di baris 20 dari 25 baris yang ada. Rupanya ini adalah ajang kompetisi para mahasiswa dari fakultas seni murni seluruh prancis. Namun, yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku adalah bagaimana bisa seorang anak berusia 10 tahun menginginkan pergi ke sebuah acara seperti ini?. Acara pun dimulai. Seorang wanita muda nan cantik berbalut gaun hitam elegan membawakan susunan acara malam itu. Dilanjut sambutan oleh seorang bapak-bapak berkumis tipis yang kurasa ia bukan orang sembarangan. Waktu terus berjalan. Makin lama aku semakin mengantuk. Berkali-kali aku menguap dan kututup dengan tangan kiriku ketika hal itu terus terjadi. Keponakanku sangat menikmati acara malam itu. Beda dengan anak seusianya yang akan sangat bosan untuk bertahan mengikuti acara itu selama berjam-jam—yang akhirnya akan berujung pada rengekan minta pulang. “Auntie, take a look please. We’ll know the painting must be the winner. Don’t yawn again auntie, please?”, pinta si kecil Martha. “Okey girl, I’ll do it”,balas ku. Perlahan-lahan lampu sorot bergerak kesana kemari. Sedangkan lampu utama tiba-tiba meredup. Tiba pada saatnya lukisan-lukisan para mahasiwa di pertontonkan di depan khalayak. Satu persatu ku lihat lukisan itu. Dan napasku tiba-tiba berhenti, jantungku berhenti berdetak pula. Aku tertuju pada sebuah lukisan seorang wanita yang tengah asyik mencipratkan air di pantai. Rambutnya, senyumnya, bajunya—semua hal itu mengarah padaku. Aku tercengang tak percaya. Bagaimana bisa semua itu terjadi? Tanda tanya besar. Sementara aku sibuk memecahkan teka-teki itu sang pembawa acara menyampaikan para pemenang kompetisi itu. Terngiang di kepalaku seseorang yang bernama Frans kohn, seperti yang diucapkan wanita pembawa acara — memenangkan kompetisi itu sebagai the first champion. Aku terheran-heran. Kemudian seseorang yang bernama frans kohn dipersilakan menaiki podium untuk menjabat tangan orang penting tadi dan beberapa orang lainnya. Di atas podium tersebut frans memberikan sambutan dan beberapa patah ucapan. “Mercy to the God. I love this. And especially mercy to the someone who I painted to. Wether I haven’t knew her before but for the secondly I give my thank to her. Give applause to her who sit on the 20th row”, ungkapnya. Aku yang sedari tadi memecahkan teka-teki tersebut kaget dan tersadar bahwasanya Frans ialah seorang pemuda yang kutemui di pantai. Dan dialah orang yang mengatakan “We’ll meet you together again”. Sontak seisi ruangan memberikan tepuk tangan meriah kepadaku. Dari Ibu-ibu hingga mahasiswa-mahasiwa melirikku sebagai tanda oh itu toh orangnya. Malu yang kurasa.


Acara pun selesai aku ingin cepat-cepat pulang. Martha sudah mengantuk. Seisi ruangan pun keluar satu persatu. Ketika hendak ku langkahkan kakiku sambil menuntun Martha, Frans sudah berada di depan mataku persis. Aku diam tanpa kata. Berusaha tak peduli. Aku mencoba melewatinya. Tetapi nyatanya dia berusaha menghalangi langkahku. “Don’t do that again please. I just wanna fulfill my promise previously. And I have done it. So, now I wanna invite you to go with me?”, ungkapnya. Aku tetap diam selama 1 menit. Selang beberapa waktu aku terima tawarannya. Di bawah lampu jalanan aku berdiri di atas sebuah jembatan bersama orang yang belum ku kenal dengan benar perangainya. Percakapan kami dimulai dengan sebuah lontaran pertanyaan dari frans, “Are you Indonesian?”. “For exactly it’s true”, jawabku seraya mengelus rambut Martha. Frans bersorak kegirangan “Yeaahh, It’s amazing. Okelah for now kita akan bicara secara indonesia alright?”. Begitulah reaksi Frans dengan vokal r-nya yang tidak jelas. “Why not? I miss the way I speak indonesian”, tukasku. Selama malam itu aku banyak berbincang-bincang dengan Frans. Ternyata Frans tidak seburuk yang kuduga. Dia menarik, enjoyable pula. Sejak kejadian di malam itu aku dan Frans sering bertemu baik sengaja ataupun tidak sengaja. Pertemanan kami semakin lama semakin lekat pula. Dia mengaku bahwa dirinya benar-benar tertarik pada negara asalku, Indonesia. Banyak alasan yang ia lontarkan. Dari alasan ia ingin menikmati pantai kuta, berkolaborasi dengan para seniman di Indonesia, budaya Indonesia yang multi interest, dan kesenian yang sudah mendunia — angklung. Hingga pada suatu sore menjelang malam di suatu festival lampion. Frans mengajakku ke acara tersebut. Berjejer lampion-lampion beraneka bentuk. Ada yang berbentuk bunga teratai dengan di tengah-nya muncul sinar lampu. Ada lagi yang berbentuk labu untuk halowen. Dari mulutnya keluar cahaya. Selain dua bentuk itu sesungguhnya masih banyak bentuk lain mulai dari A to Z. Badut-badut berlenggak-lenggok ke sana kemari menirukan jalan binatang untuk menghibur anak-anak kecil. Kerlap-kerlip sinar membasahi sore itu. Frans lalu memegang tanganku erat. Lalu ia menatapku dalam. Matanya berkilauan. Aku lalu memiringkan kepala. Tertanda bingung. Perlahan ia mendekat hingga tepat di depan mataku. Aku mundur satu langkah. Ia maju satu langkah. Dia berbisik pelan di samping telinga kiriku “Every moment spent with you is every one of my dreams coming true. Do you know my thoughts are always with you and the moment I first saw you, you warned my heart, the second time you made little flames and now make my heart burn like hell”. Setelah kata-katanya berakhir ia kembali pada posisi semula — berdiri tepat di depan mataku. Aku mundur satu langkah lagi. Kali ini Frans tidak menghalangiku. Aku tertawa kecil seraya berkata “What are you doing with those all words. A fun joke, frans”. Anehnya tatapan mata Frans tetap saja serius. Dia berusaha meyakinkan kata-katanya “when I’m with you. My heart floats among clouds as if I were an angel. And I think I falling in love with you”. Seketika rasanya jantungku berdetak kencang sekencang-kencangnya. Seketika itu pula rombongan anak kecil mengelilingiku. Masing masing membawa lampion berbentuk hati. Salah satu mereka memberikan lampion hatinya padaku. Di dalamnya ada tulisan “Do you feel what I feel?”. Aku tersenyum kecil. Kejutan yang benar-benar mengejutkan. Frans berhasil meluluhkan hatiku. Aku langsung membalas perasaanya dengan pelukan hangat. “I feel what you feel, dear”


Semua itu hanyalah romansa-romansa yang telah lalu. Bodohnya diriku terperdaya oleh rayuan rayuan manisnya. Seharusnya aku tidak percaya dengan janji-janjinya. Seperti janjinya — akan menemuiku setelah wisudaku. Tapi janji itu tak kunjung lunas. Lelaki memang buaya. Bisanya hanya membuali para wanita. Pikiranku semakin pepat. Penuh dengan tanda tanya besar. Aku mendongak ke atas. Tanganku memegangi tangan tangga. Setelah merasa lebih lega aku langsung berjalan menaiki tangga. Tak lama setelah itu aku sudah tiba di lantai dua. Pelayan wanita melempar senyum ramah padaku. Aku hanya bisa membalas balik. Sambil berjalan-jalan memandangi sekeliling ruangan aku berusaha ceria kembali. Baru kusadari ternyata cottage ini benar-benar menarik dan indah. Penuh dengan karya seni tinggi. Banyak lukisan di pajang disini. Serta patung-patung yang fantastik. “Maaf kalau boleh saya tahu, semua benda seni ini karya siapa?”, tanyaku pada sang pelayan tadi. “Tunggu sebentar nona”, balasnya. Aku bingung dan ragu si pelayan tadi mengerti apa maksudku. Ia tidak menjawab langsung melainkan menuruni tangga. Mungkin ia lupa. Aku melanjutkan acara cuci mataku. Satu demi satu lukisan ku pandangi. Dan tepat ketika lukisan terakhir kupandang nafasku berhenti untuk waktu yang lama. Sekujur tubuhku terasa dingin. Angin dari laut masuk lewat jendela samping lukisan itu. Dan saat itu pula sang pelayan sudah tiba. Aku menoleh padanya. Mataku membuka lebar menandakan ekspresi terkejut yang luar biasa. Si pelayan sepertinya terkejut pula. Ia menghampiriku melirik kesana kemari untuk mencari tahu apa yang barusan terjadi padaku. Si pelayan tadi menghembuskan nafas. Udara yang keluar dari hidungnya terdengar sekali di gendang telingaku. “Nona tadi bertanya karya siapa semua benda seni ini bukan?”,tanyanya. “Iya benar”, jawabku “Setahun lalu, ada seorang lelaki prancis datang kemari. Kebetulan waktu itu cottage ini sedang di lelang. Dari semua para peminat cottage ini, yang berani menawarkan harga tinggi hanya tuan Frans Kohn, lelaki pencipta semua karya seni ini”. Hening. Jiwaku semakin kalut. “Tapi sayangnya, Frans Kohn sudah tiada lagi. Seminggu setelah penyerahan cottage ini ada dua orang berbadan kekar yang menusuk perut Tuan Frans hingga nyawanya tak bisa terselamatkan”. Si pelayan wanita itu lalu diam. “Dan, dari pihak keluarga tuan Frans mengatakan akan menyerahkan cottage ini kepada nona Cherish”. Itukah alasan mengapa selama setahun ini ia menghilang tanpa kabar. Bahkan Tuan Herbert—ayah Frans, tidak memeritahuku. Aku hanya mendapat sepucuk surat atas nama Frans. Tertulis disana pada tanggal 1 Januari 2011 aku harus ke cottage ini. “Maaf nona, mungkin Tuan Herbert belum memberi tahu anda. Beliau memerintahkan saya untuk mengatakannya pada hari, tanggal ini di tempat ini” Air mata mengucur deras dari kedua bola mataku. Aku sedih. Aku merasa sangat menyesal telah mencap Frans sebagai pria tak setia. —


Dear Soul Bottle Di bawah sinar lampion-lampion ini, aku tersadar akan banyak hal. Terkadang yang sebenarnya terjadi tidak seperti apa yang kita pikirkan. Seperti halnya yang terjadi padaku hari ini. Aku berpikiran terlalu jauh. Dan kini aku telah mendapatkan sebuah akhir dari penantianku. Kisah manusia memang sulit di tebak. Hanya tuhanlah yang tahu apa yang akan terjaadi pada hidup seseorang. Untuk seseorang yang telah mengisi hatiku, aku sangat menyesal. Aku berharap kau bahagia disana. I miss u so much. Cherissa ivanovsky.

You are - your life, and nothing else.


HOME SCHOOLING (SEKOLAH RUMAH)

I.

Alasan Dan Faktor Yang Melatarbelakanginya Pada berapa dekade terakhir muncul produk baru dari dunia pendidikan, yaitu dengan dikenalkannya Sekolah Rumah (Home Schooling). Meskipun presentase anak yang mengikuti produk pendidikan ini belum begitu banyak, namun cukup menarik perhatian.

seperti

apakah

Home

Schooling

itu?dan

apa

faktor

yang

melatarbelakanginya?

Di tanah air kita, kalangan pemerintah mempunyai definisi bahwa Home Schooling merupakan proses layanan pendidikan secara sadar, teratur, dan terarah yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga, dan proses belajar mengajarnyapun berlangsung dalam proses yang kondusif. Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Secara legal, keberadaan home schooling di Indonesia telah diakui oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Depdiknas melalui UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Pasal 37 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “ Home Schooling adalah kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri�. Selain itu, juga ada kerjasama antara pemerintah dan para penyelenggara Home Schooling dalam bentuk penandatanganan kesepakatan kerjasama antara Depdiknas cq Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAH PENA) No. 001/1/DK/AP/07 dan No. 02/E/TR/2007 Tertanggal 10 Januari 2007.


Adapun alasan yang melatarbelakanginya diantaranya yaitu: 1. Anak memiliki talenta dan kecerdasan di atas rata- rata, sehingga perlu ada bimbingan khusus. 2. Orang tua ingin meningkatkan kecerdasan dan prestasi anak secara mandiri 3. Anak dan orang tua tidak puas dengan model pendidikan kenvensional pada sekolah reguler (formal). 4. Alasan keamanan, yaitu akibat seringnya terjadi tawuran antar sekolah atau kondisi darurat lain (konflik, perang, dan lain- lain). 5. Komersialisasi pendidikan dengan makin tingginya biaya pendidikan sehingga tak terjangkau oleh segmen masyarakat menengah ke bawah. 6. Keyakinan orang tua bahwa dirinya mampu mendidik anaknya sendiri dengan cara tertentu. 7. Orang tua sering berpindah tempat tinggal karena tugas/ pekerjaan.

Sedangkan faktor penting dalam penyelenggaraan Home Schooling diantaranya: 1. Home Schooling merupakan model pendidikan alternatif yang potensial untuk dikembangkan. 2. Orang tua bertanggungjawab penuh dalam penyelenggaraan Home Schooling. 3. Dalam pelaksanaannya orang tua dapat melibatkan/ mengundang pihak lain untuk turut membantu memberikan bekal pendidikan/ ketrampilan tertentu bagi anak, bisa melalui guru privat, instruktur bidang tertentu atau yang lainnya. 4. Home Schooling memberikan ruang kepada anak untuk mengambil pelajaran/ ketrampilan lain diluar rumah seperti mengikuti kursus atau training tertentu.

II.

Beberapa Model Home Schooling Model Pertama: Home Schooling Model Tunggal Home Schooling model ini diselenggarakan sendiri oleh suatu keluarga secara mandiri tanpa bergabung dengan yang lain. Kondisi ini disebabkan berbagai alasan, misalnya karena geografis atau kondisi darurat tertentu. Dalam pelaksanaannya, model ini


mempunyai beberapa kendala, salah satunya tidak ada pihak yang terlibat sehingga kesulitan mendapat dukungan, tempat bertanya, sosialisasi, komparasi, serta aspek legalisasi/ penyetaraan.

Model Kedua: Home Schooling Model Majemuk Home Schooling model ini diselenggarakan oleh lebih dari satu keluarga, bisa dua atau lebih. dengan cara kerja untuk kegiatan pokok tetap dilakukan oleh masing- masing keluarga, namun pada kegiatan tertentu dilakukan secara bersama- sama, seperti olahraga, kesenian, keagamaan, sosial, dan lain- lain.

Seperti halnya pada model tunggal, Home Schooling model ini juga mempunyai beberapa kendala, seperti perlu adanya kesepakatan dalam kurikulum, jadwal, suasana, fasilitas, dan diperlukan pakar tertentu disamping orang tua. Serta perlunya mempersiapkan mental anak- anak agar mampu menerima perbedaan ketika terjadi kegiatan bersama- sama. dan jugadiperlukan kejelasan dari aspek legal/ penyetaraan.

Model Ketiga: Home Schooling Model Komunitas Home Schooling model komunitas merupakan gabungan dari beberapa home schooling majemuk. Model ini membutuhkan beberapa kesepakatan dalam silabus, kurikulum, kegiatan pokok, jadwal, serta fasilitas. Pembagian hak dan kewajiban antara orang tua dan komunitas berkisar 50:50.

Model ini relatif lebih memadai, baik dalam konsep akademik, etika, maupun capaian hasil pendidikan. Kendala yang dihadapi oleh home schooling komunitas antara lain butuh kesepakatan dalam pembuatan perangkat pembelajaran dan fasilitas pada berbagai kegiatan yang dilakukan bersama- sama, perlu kontrol dari profesional dalam keahlian tertentu, di samping orang tua. serta perlu pembekalan kepada anak- anak agar bisa mengakomodasi berbagai perbedaan ketka mereka melakukan kegiatan secara bersama- sama.


III.

Keunggulan Dan Kelemahan Home Schooling Home Schooling memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan model Pendidikan Konvensional, diantaranya: 1. Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keluarga tertentu (Cuztomized). 2. Peluang untuk kemandirian dan pengembangan kreativitas anak lebih baik dibanding Model Konvensional. 3. Optimalisasi potensi anak dapat dilakukan sejak dini, tanpa perlu menyesuaikan diri dengan jadwal sekolah. 4. Alumni Home Schooling relatif lebih siap untuk terjun ke dunia nyata (Real World) dibanding dengan Model Konvensional, sebab disesuaikan dengan kegiatan riil yang ada di sekitarnya. 5. Proteksi yang cukup besar dari keluarga terhadap peserta didik akan melindungi mereka dari berbagai pengaruh buruk lingkungan, seperti tawuran, narkoba, pergaulan bebas, pornografi, dan lain- lain. 6. Anak mampu untuk bergaul dengan orang yang lebih tua dibandingkan usia mereka (Vertical Sosialitation). 7. Biaya pendidikan menyesuaikan dengan kondisi orang tua/ keluarga masingmasing.

Namun di samping kelebihan, Home Schooling juga memiliki banyak kelemahan dari berbagai perspektif dan sumber termasuk pandangan dari beberapa penganut faham Anarkis dan Sosialis, diantara kelemahannya yaitu:

1. Memerlukan keseriusan, komitmen, dan keterlibatan orang tua. 2. Memiliki problem dengan aspek sosialisasi pada usia sebaya (Horizontal Sosialitation), sebab anak lebih banyak bergaul dengan lintas usia. 3. Memiliki potensi kurang mampu ketika harus bekerja bersama dalam satu tim (Team Work). 4. Kurang terlatih dalam menghadapi berbagai permasalahan sosial yang kompleks dan tak terduga.


5. Anak terlambat dalam memahami karakter orang lain, susah bersosialisasi, dan jika dilakukan secara terus menerus akan berdampak pada mental anak itu sendiri karena anak menjadi tidak tahu akan persaingan di dunia luar, takut mengambil resiko, dan lain sebagainya. 6. Home Schooling juga menciptakan “Gap� (Kesenjangan), karena si anak merasa teristimewa dengan menjadi peserta Home Schooling, dan konflik sosial lainnya.

dan oleh beberapa pihak, home schooling dianggap telah gagal dalam berbagai perspektif dibawah ini: 1. Sosialisasi Kurangnya interaksi, terutama dengan teman sebaya. Pergaulan dengan teman sebaya yang sangat terbatas. Padahal bergaul merupakan satu kebutuhan penting bagi anak-anak usia sekolah. 2. Kompetisi Tidak melatih semangat berkompetisi. Padahal setiap saat kita harus bersaing untuk menjadi yang terbaik, dengan cara yang santun dan terhormat. Sedangkan Sekolah adalah tempat belajar yang khas yang dapat melatih anak untuk bersaing. 3. Terisolasi Sangat besar kemungkinan untuk terisolasi dari lingkungan sosial. Apalagi jika orangtua memilih untuk tidak bergaul dan bersentuhan dengan tetangga dan keluarga besarnya. 4. Pergaulan Terbatas Keterbatasan bergaul terutama dengan peer-group (kelompok seumur). Keterbatasan pergaulan dengan berbagai orang yang heterogen secara sosial, dapat membuat anak “takut� dan gamang dalam pergaulan di masyarakat secara umum. 5. Team-Work Lemah Karena terbiasa belajar sendiri, sangat besar kemungkinan untuk membuat anak tidak terbiasa bekerja sama, tidak cepat dapat bekerja secara Team-


Work. Homeschoolers tidak terlatih berinteraksi sebagaimana di sekolah formal sehingga relatif tidak memiliki keterampilan Team-Work. 6. Kepemimpinan Lemah Homeschoolers agak sulit menjadi pemimpin karena jarang punya kesempatan memimpin, khususnya untuk memimpin dalam kelompok anak seumur. 7. Kurang Survive Kurangnya interaksi denganteman sebaya dari berbagai strata ekonomi dan sosial membuat homeschoolers kehilangan kesempatan memperoleh pengalaman berharga untuk beradaptasi dan survive hidup bermasyarakat. 8. Over Protective Karena interaksi dominan denganorangtua, maka anak homeschooling terbiasa merasakan perlindungan Orangtua yang lengkap. Hal itu membawa efek samping yang bisa mengurangi kemandirian anak. 9. Terisolir Terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan, Memang membuat homeschooler aman dan nyaman, tetapi di bagian lain membawa dampak kurang siapnya homeschooler menghadapi ketidakpastian dan berbagai kesalahan, yang banyak terjadi. 10. Kehilangan Masa Indah Sekolah Kehilangan kesempatan bergaul dan bergabung dengan peer-group tim sekolah, misalnya tim olahraga, tim OSIS, tim PMR, tim Paskibraka, Cheerleader. Homeschoolers kehilangan masa indah bersekolah 11. Menambah Biaya Ketidakmampuan orangtua untuk menguasai materi pelajaran, sehingga harus mendatangkan tutor. Atau ingin bergabung dengan home schooling komunitas, yang membebankan biaya komunitas pada pesertanya. Itu berarti menambah biaya.



Hidup seperti Doa

Perjalanan hidupku baru sampai remaja dan sungguh jenuh ketika gak ada hal yang bisa aku lakukan seketika waktu dan itu terjadi berulang-ulang kali sampai aku sering merasakan kesendirian dalam hari-hari yang lewat tanpa permisi. aku serasa diperkosa waktu beberapa hari ini, menjadi manusia yang kehilangan arah, entah kemana harus pergi untuk mengisi hidup yang panjang. Lagi-lagi aku ingin bercerita tentang kisah cinta yang belum juga aku dapat dalam kehidupan kampus, sebetulnya bisa saja kudapat namun kendala yang melanda adalah metode yang harus kugunakan dalam mendapatkan hati seorang perempuan, jika


kusudah mengetahui dengan cara apa kemungkinan besar kali ini kusudah yaa setidaknya mengendarai vespa berkeliling kota bersama kekasih yang kucinta. Sempat beberapa waktu kebelakang aku mempunyai hati kepada seorang perempuan dan aku ingin hatiku bermain dengan hatinya ditaman kota yang dikelilingi bunga, dialiri sungai, ditemani sekawanan burung yang sedang family time atau sekedar nongkrong dipepohonan sambil bernyanyi. Tapi yaa malu masih bersemayam untuk hal itu dan canggungpun masih sering berbisik ‘tahan dululah kamu masih cupu untuk menggaet seorang perempuan lalu mengenalkan pada orangtuamu’ aku tak tahan direndahkan oleh perasaanku sendiri. Dengan jahatku berusaha untuk membuat mereka kewalahan, rokok dan alkoholpun kugunakan untuk melawan mereka. Perasaanku memang bandel sering membuatku merasa malu, tak percaya dengan apa yang ingin aku lakukan, dan seringkali mereka tak mendukungku dalam beberapa hal yang aku inginkan. Seperti tadi di atas. Doa yang kupanjatkan dalam setiap ibadahku masih itu-itu saja karena kurasa aku masih belum dapat mencapai keinginanku untuk membuat orangtuaku bahagia dengan apa yang aku perbuat. Aku malah membuat mereka kecewa dari apa yang tidak diketahui oleh mereka, tapi aku tetap berdoa untuk mereka dalam hal kebaikan dan akupun mendoakan diriku sendiri agar selalu dijalan yang baik. Yaa namanya doa adalah harapan yang belum terkabul baik itu terasa atau gak kerasa, dalam doa kalianpun aku meyakini tak akan pernah kalian berdoa tentang hal yang negatif atau yang bersifat merugikan oranglain. Tapi diwaktu yang telah berlalu aku sempat berdoa untuk merugikan orang lain dalam kisah asmaranya yaa karena aku ingin bermain hati dengan kekasih lelaki itu, perempaun yang manis dengan keanggunan yang ia miliki menjadi ciri khas yang begitu menarik perhatianku dan juga menarik hatiku untuk bermain dengannya namun apadaya perempuan itu sama sekali tak memiliki ketertarikan padaku meski aku mengetahui hal itu lewat temanku dan aku sayangkan dia tak pernah bilang padaku bahwa hatinya belum bisa bermain dengannya padahal aku sudah berharap karena beberapa bulan aku dengannya seringkali berkomunikasi meskipun lewat media dan sama-sama malu untuk bercakap dikehidupan nyata, tapi tak mengapa karena aku tak ingin memaksa sesuatu yang harus dilalui dengan kesepakatan bersama, itu kisah yang telah terjadi beberapa bulan lalu dan akhir-akhir ini aku mulai tertarik kepada temannya karena ia mempunyai pesona yang mengajakku untuk mengadu adrenalin dengannya, akupun meng-iyakan ajakan itu karena kusudah akrab dengan hal yang menantang. Ah sudah lupakan curhatanku yang gak layak untuk dibahas lebih lanjut, begitulah kurang lebih kisah yang kualami dalam kehidupanku belakangan ini, aku harap kalian selalu berdoa untuk tetap berdoa kepada yang maha kuasa dan jangan pasrah bila kau diperkosa waktu.


AKU INGIN AYAH

"Dasar anak haram ! cuma jadi aib saja !" kata kata itu mengiang ngiang setiap malam dalam pikiranku. Suatu waktu, aku bertanya pada ibu, "anak haram itu apa ?" Dia selalu menangis dan bilang, "bukan apa-apa. Mereka hanya cemburu pada kita yang hidup lebih baik dari mereka." Aku tidak banyak bermain dengan anak-anak lainnya. Mereka selalu menjauhiku, karena ibu ibu mereka yang selalu mengata-ngataiku anak haram! anak haram! sambil berbisik bisik. Tapi aku bisa mendengar mereka. Dan berlari pada ibu sambil menangis. Kalau memang anak haram itu bukan apa-apa, lalu kenapa aku selalu dijauhi ? kalau aku lebih baik dari mereka, kenapa aku selalu terluka dengan kata-kata itu ? Aku ingin jadi orang yang tidak baik saja, pintaku pada ibu. Ibu malah menamparku tiba-tiba. Aku membencinya saat dia selalu menamparku tanpa aba-aba seperti itu. Riska, salah satu anak perempuan yang diam-diam selalu menemuiku di belakang rumah dekat pos ronda. Di sana sepi, dan kami selalu bersembunyi untuk sekedar saling berbagi


cerita. Aku bertanya padanya tentang anak haram. Dia bilang, itu karena aku tidak punya ayah. Lalu aku bertanya, "ayah itu siapa ? kenapa harus ada ayah kalo ada ibu udah cukup ?" "Ayah itu yang suka gendong aku kemana-mana kalo aku lagi sedih. Ayah itu orangnya baik banget." katanya. "Aku pengen punya ayah juga !" "kamu udah pasti punya ayah ! kalo kata aku sih, kayanya ayah kamu lagi kerja jauh, jadi jarang pulang. Kaya ayahnya Sandi." lanjutnya. Aku segera lari ke rumah. Saking senangnya, sampai-sampai terjatuh beberapa kali. Tangan dan kaki kotor dengan tanah dan sedikit sakit memang. Tapi aku tidak peduli, aku ingin segera mengadu pada ibu. "Ibu, ayah kapan pulang ?" kataku. "Ayah kamu gaada. kita gak butuh ayah." "tapi, ayah itu orangnya baik banget. Aku pengen ayah !" "jadi menurutmu ibu ini tidak baik ?" "ii.. iitu.. enggaaa.." praak ! Lagi-lagi tamparan itu melayang pada pipiku. Kali ini sakit sekali rasanya. "maksud aku itu ibu engga jahat. Tapi sekarang ibu beneran jahat !" Aku kembali berlari keluar rumah. Sesekali terjatuh lagi dan berlari dengan merangkak rangkak. Secepat mungkin menghindari ibu dan rumah itu. Para tetangga sudah biasa melihat pertengkaran antara aku dan ibuku. Mereka tak banyak membantu, hanya mampu saling berbisik saja. Aku menangis di tempat biasa. Memanjat pohon mangga dekat pemakaman. Saat itu, aku benar-benar sakit hati pada ibu. Sudah setahun ini juga aku tidak sekolah. Selain karena tak punya uang, ibu juga tak ingin banyak di kenal dan benci saat ditanya soal statusnya yang belum menikah tapi sudah memiliki aku.

"Salah aku apaaa ??! Aku benci ibu ! aku benci mereka ! aku benci sama diri aku sendiri !" Kenapa harus aku yang jadi anak haram ? aku juga ingin punya ayah ! Ibu itu jahat. Ayah itu baik.


"Aku pengen ayah ! Ayaaaah... cepetan pulaang !" kataku sambil menangis di atas pohon. Menggerutu sepanjang hari hingga gelap pun datang, dan aku masih membenci ibu. Aku tidak pernah takut pada gelap. Seseorang mendekat ke pemakaman. Mungkin itu orang yang mau berziarah. Malam-malam begini. Aku menghentikan tangisanku sejenak. Lalu orang itu berhenti tepat di bawah pohon ini. Aku tidak bisa melihatnya dengan jeli. Karena mataku sudah sangat sembab karena menangis. Setelah cukup lama, orang itu malah menangis. Aku bisa mendengarnya. "Maafkan ibu." Suara itu terdengar lirih dan sangat pelan. "Ibu juga tidak pernah meminta untuk jadi seperti ini." lanjutnya. Aku masih diam mematung. Aku tidak peduli apa yang dia katakan. Dia orang jahat. Namun tangisan itu semakin terdengar memilukan. Dan mataku tiba-tiba juga kembali menitikkan kesedihan. Kenapa dia selalu meminta maaf setelah menyakitiku ? Besok lusa juga dia pasti akan menamparku lagi. "Aku ingin mati saja !" Suaranya kini terdengar sedikit berteriak. Lalu dia memandang ke arahku. "Kamu terluka karena aku. Aku tak pantas dipanggil ibu. Bunuh saja aku sekarang !" Sebenci apa pun aku padanya, tak pernah sedikit pun terpintas keinginan itu. Aku malah ketakutan mendengarnya. Selama ini, walau bagaimana pun, Ibu yang selalu memberiku makan. Jika ibu mati, mau dari mana aku makan ? aku juga belum tahu dimana ayah. Cuma ibu yang tahu. "cepat ! Aku juga sudah lelah hidup begini !" Dia kembali berteriak padaku. Aku masih diam di sini. Semakin ketakutan. Lalu dia pergi berlari. Aku bingung, mau pergi kemana dia ? Tapi aku masih tidak berani untuk turun dari pohon. Tak lama, ibu kembali datang dan mengambil sesuatu yang berkilau terkena cahaya lampu. "Cepat ! ambil pisau ini ! atau aku yang akan menghabisi diriku sendiri !" katanya mengancamku. Pisau itu sudah dipegangnya erat-erat. Mengarahkannya padaku. Dan aku hanya menggelengkan kepala. Jangan ! Dia mengarahkan pisau itu ke lehernya sekarang ini.


"kamu pasti senang kalau ibu mati, kan ?" katanya. "jangaaan... Ibu.. jangaan !" "Kalau ibu sudah mati, kamu pasti gak akan malu jadi anak haram. Kamu bisa pergi ke panti atau jadi pengamen saja !" katanya semakin mengancam dan pisau itu semakin dekat dengan lehernya. Sesaat setelah melihatnya berusaha menggorok pisau itu pada kerongkongannya, aku segera melompat dari pohon. Lalu mengambil pisau itu dengan paksa. "Kamu yang mau melakukannya ?" katanya masih berlinangan air mata. "enggaa.. ibu jangan mati. Maafin aku, bu. Aku gak bisa hidup tanpa ibu." "kenapa kita harus hidup begini ?? kamu lihat sendiri, gaada satu orang pun yang peduli sama kita. Mungkin seharusnya kita mati saja !" "jangan ngomong soal itu lagi, bu ! kita cari ayah aja.." "Jangan panggil nama itu lagi ! ayah itu bukan orang baik. Dia orang paling jahat di dunia ini ! Karena dia, kita jadi seperti ini !" "Tapi... Aku juga pengen punya ayah. Kaya Riska.." Ibu segera memelukku sekarang. Dia mengambil pisau dan melemparkannya jauh jauh. Air hangat itu menetes setitik demi setitik di belakang pundakku. Aku tahu, sekasar apapun sikapnya padaku, dia tetap mencintaiku. "Lebih baik, kita pindah dari sini. Kita cari hidup baru. Kita mulai lagi dari awal." Bisiknya padaku. Lalu dia membersihkan tanah-tanah yang menempel di kaki, tangan, dan wajahku.


Mabuk Kesulitan yang menyenangkan; Adalah memahami seseorang Rindu ini semakin menggelitik; tapi ku bersyukur setidaknya rindu mau mendatangiku. Aku termenung atas hilangnya kamu dari diriku; Dan aku berkabung atas matinya diriku dihatimu. Terimakasih sebelumnya, Untuk selalu berada disana, Dengan keteguhan hati, Meski ditolak berkali-kali Terimakasih atas caramu mencintaiku, Aku menyukainya, Caramu bercanda, Caramu meyakinkanku ketika aku tak percaya diri, Aku tak pernah bosan denganmu, Kamu selalu tau caranya membuatku riang sepanjang malam, Kamu pintar membuatku nyaman, Merasa bahwa aku berada di rumah yang paling aman Tapi ada satu hal, Entah kenapa Kamu tak ada dihatiku Mendebarkan hati ini Maaf, Aku sudah mencoba berkali-kali, Tapi aku pun heran sendiri Untuk saat ini, Biarkan aku berdiam diri, Apakah di tikam rindu Atau malah lupa padamu.


LELEHKAN SUKMAMU! Seorang Karib yang brutal, perkariban kami dimulai saat awal masuk kuliah, dipertemukan ketika satu atap dalam sebuah unit kegiatan mahasiswa dan sepakat keluar bersama dari unit tersebut, lalu berpindah ke organisasi tingkat fakultas namun berbeda haluan untuk menumbuhkan sinergitas, lalu membuat beberapa kisah pilu dan sedikit kekacauan untuk dikisahkan dikemudian hari dalam kebahagiaan.


Kamarku Berbentuk Kotak Dua kali Dua, Panjang kali Lebar Aku bilang dan akan cerita tentang kamarku ini. Satu pintu kamar terletak di depan kamarku disebelah kiri bila tampak dari depan kamar. Pintu kamarku berwarna coklat pekat berdiri tegak tanpa lelah. Pintu kamarku terdapat tempelan poster berukuran A3 yang bergambar "Bunga" dan betuliskan "Vase". Pintu kamarku ini adalah awalan ucapan selamat datang di kamar ini. Pintu yang seakan tidak ada bandingannya dengan pintu kemana saja milik Doraemon. Tentunya pintu milik kamarku lebih sederhana karena hanya dua pemakaian saja “masuk dan keluar�. Di Dinding kamarku penuh dengan debu kotor tapi tidak berbau busuk hanya tercium segilintir wangi parfum bunga seperti "Kamboja Flowers dan Jaya Kusuma Flowers". Di dinding kamarku terdapat coretan pilok yang aku sukai. Bergambar sebuah not nada dalam music coret, tulisan yang ku suka dan bercak – bercak hitam seperti darah. Tapi, itu bukan darah hanya sebatas cipratan pilok hitam bekas yang aku semprot kan secara tidak sengaja. Ada sebuah tempelan yang ku sukai itu adalah sebuah kertas dengan gambaran sebuah pemandangan gunung, desa – desa, sungai, sampai tebing yang menjorok cocok untuk panjat tebing. Terdapat tempelan kertas poster yang cukup besar yaitu poster band yang ku sukai dan kotak obat yang aku simpan dan selalu aku butuhkan. Namun tak apa, karena ini hanya sebagian karya seni dinding yang tak menggubris siapa pun yang pernah melihatnya. Satu jendela berbentuk kotak dan ditempeli sebuah kaca hitam. Kaca hitam tersebut aku tempeli sticker tak berguna. Jendela dalam kamarku ini langsung menjorok keluar, pandangan pun langsung tak terhenti karena banyak pemandangan dari dalam jendelaku ini. Pernah sekali aku melihat pemandangan yang sangat mengasyikan di jendela kamarku melihat seorang wanita muda belia tanpa mengenakan busana di dalam kamarnya karena letak jendela kamarku berada didepan dan diatas jendela kamar wanita muda belia tersebut. Jendela kamarku terdapat sebuah kain untuk menutupinya pada malam hari. Aku pun tak tahu kenapa jendela kamarku harus ditutup setiap malam. Jendela kamarku bagaikan lampu 100 watt. Mengapa bagaikan lampu? Karena, jendela kamarku 10 jam penuh selalu memberi cahaya pada pagi hari, siang hari, dan sore hari. Ini sungguh sangat menyenangkan setelah melihat jendela kamarku, siapa coba setelah merasakan jendela kamarku pasti akan terkesan. Aku mempunyai dua Meja. Meja pertama untuk menyimpan barang yang penuh dengan barang yang tak berharga, banyak barang seperti sampah yang bergelimpangan. Tapi, meja ini penuh harapan yang pernah singgah seperti alat kontrasepsi, suntikan, cocain, marijuana, alkohol, dan kue ape. Terdapat beberapa buku yang cukup menyenangkan untuk dibaca dan tersimpan dalam mejaku ini. Meja yang sangat beruntung karena aku tak membuang meja yang kotor ini dan meja yang penuh akan sarat makna. Meja yang kedua adalah meja yang sering aku gunakan untuk menulis. Meja yang bisa bersuara dan mengiringi suasana yang ada. Kenapa demikian? Karena meja ini aku tempeli speaker aktif jaman sekarang. Kedua meja ku selalu menyimpan debu yang bertebangan dan tak terlihat. Meja – mejaku yang indah ini akan menjadi sebuah makna tentang bagaimana aku akan memakainya ketika pasti aku akan memakainya.


Satu kursi di dalam kamarku dimana aku selalu mendudukinya setiap hari dan berjam-jam aku duduk di kursi ini. Kursi yang selalu memberiku ide tentang menulis tulisan ini dan tulisan apa pun yang mungkin aku sebut itu adalah benalu. Biarlah namanya juga sedang belajar. Kembali ke kursi ku ini. Kursi ini terbuat dari kayu dari pohon mahoni. Katanya sih mahal kalau dari kayu mahoni. Tapi, aku mana tau karena kursi ini pemberian dari Ibu ku. Kursi ku memiliki bantalan empuk saat diduduki jadi tidak terlalu keras. Itu lah kursi sederhanaku dan mana kursimu? Yang ku punya satu Lemari berbentuk kotak berisi pakaian dari luar sampai dalam dengan berbagai merk murahan dan mahalan yang pernah aku dapatkan dari seseorang yang berbisnis kecil dan besar. Lemari yang kupunya ini menyimpan rahasia. Dimana rahasia ini adalah sebuah simpanan yang berharga tentang fantasi. Aku selalu berpikir apakah lemari ku ini akan seperti di film “The Chronicles of Narnia?� jika itu menjadi kenyataan, aku pastikan bahagia bila itu terjadi. Mengapa demikian? Yah, namanya juga fantasi yang dibuat oleh kaum tertentu untuk melencengkan kepercayaan. Lemari oh lemari ku, kau bagaikan sebuah wadah yang efisien, spesifik, akurat dalam menyimpan. Dalam kamarku bila melihat ke atas terdapat dua lampu yang bersinar pada malam hari. Lampu pertama berwarna putih keputihan yang berkekuatan 15 watt. Lampu putihku hanya bisa bertahan sekitar 5 bulan saja. Karena, maklum lampu putihku ini biasa aku beli sedikit murah dan murahan. Dan lampu keduaku yang terkadang selalu aku pakai jika dibutuhkan. Lampu keduaku ini berbentuk lampion berwarna merah muda dan berkekuatan 5 watt. Walau hanya 5 watt tapi lampu keduaku ini bersinar terang benderang karena lampion yang berwana merah muda ini yang sangat berpengaruh untuk menyinarkan cahaya. Tapi, sayangnya lampu keduaku tidak sering aku gunakan. Karena, aku selalu menghemat lampu keduaku ini. Lampu-lampu di kamarku ini memang sebagai pencahayaan yang sederhana pada malam hari. Tapi, biarlah lampu-lampuku ini adalah teman bagiku soal pencahayaan yang mengabdi pada kelistrikan. Satu tempat tidur yang berbentuk kotak dengan dua busa yang menempel. Busa pertama terasa sangat keras karena didalamnya terdapat sebuah besi yang melingkar dan patah entah kenapa. Busa kedua adalah sebuah busa yang sangat tipis yang aku dapatkan dari orang lain yang sudah tidak membutuhkannya. Karena busa kedua ini adalah pasangan busa yang pertama untuk menyatukan betapa nikmatnya tempat tidur ini, walau hanya cukup satu orang saja. Tapi, tempat tidur ini lah adalah saksi dimana kisah asmara tengah memadu kasih tentang nikmatnya cinta. Tempat tidurku terdapat satu bantal dan guling yang tak pernah menyatu, selalu saja terpisah. Aku tidak tahu mengapa bantal guling itu selalu terpisah. Mungkin, bantal dan guling itu saat dahulu kala adalah sahabat atau mungkin ada perselisihan yang dirahasiakan. Oh ya satu selimut yang kupunya yang terkadang aku pakai. Selimut berkain tebal halus ketika mantan pacarku memberikannya padaku dan berkata "say ini selimut buat kamu biar gak kedinginan kalau tidur ya?". Wow! Sungguh mengharukan ketika dia memberikan selimut padaku. Karena ia tahu di tempat tidurku tidak ada selimut. Ini lah tentang kamarku yang se-sederhana mungkin dan tak bisa mengisi beberapa barang yang kusimpan. Karena kamarku ini adalah tentang “Kamarku Berbentuk Kotak Dua kali Dua, Panjang kali Lebar".


IBU

Ibu selalu pandai sekali mengatur keuangan. Sejak ayah meninggal, uang pensiun yang tak seberapa itu kalo ditangan ibu, pasti cukup. Keluarga kami memang serba kekurangan, tapi ibu selalu bisa mengatur keuangan itu, ibu memang hebat. Kadang kala ketika memang sedang sangat kesusahan. Ibu tidak pernah mengurangi porsi makan kami, tapi mengurangi jumlah kami.


Rindu

Rindu ingin bercumbu Rindu rasa cemburu Rindu sama kamu Rindu minum susu Rindu ketajaman pisau Rindu malam kelabu Rindu warna abu Rindu para pemburu


Pesan yang Mengendap

Aku lupa dimana jumpa denganmu Aku lupa awal kenal denganmu Namun akan selalu ku ingat Kenapa aku suka dirimu Karena satu alasan Alasan yang tiada

Sebuah pesan yang belum tersampaikan untuk sosok perempuan jelita dan miring senyum serta bicaranya.


Sambil Mendengarkan: Nissan Fortz – Biar Mustache and Beard – Senyum Membawa Pesan Silampukau – Lagu Rantau Mr. Sonjaya – Sang Filsuf Sisir Tanah – Lagu Bahagia Jason Ranti – Blues Lendir Iksan Skuter – Rindu Sahabat Nosstress – Bersama Kita Nada fiksi – Misteri minggu depan Jon kastella – tamasya kota

Diperbolehkan untuk menyebar luaskan



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.