FREE
KAMI LOCAL BARUDAK ZINE
CREATIVE COMMONS LICENSE
FIRST ISSUE JUNE 2016
EDITORIAL
KAMI ZINE
FIRST ISSUE Setelah bertahuntahun mencitacitakan ingin membuat zine sendiri akhirnya kesampaian juga bro! Edisi perdana ini tidak akan terlalu memuat banyak konten, nama nya juga masih cobacoba. Ide awal tercetus ingin membuat zine berangkat dari ketidakpuasan terhadap isuisu minor permasalahan sosial yang sadar atau tidak disadari terus terjadi dan dianggap sudah menjadi hal yang lumrah. Akhirnya untuk mengangkat topiktopik tersebut dibutuhkan suatu media alternatif yang memberikan perspektif baru. Kami Zine akan mengutamakan kualitas substansi. Selain itu konten diharapkan bisa dicerna oleh khalayak luas yang sebelumnya belum terlalu paham dengan isu yang di angkat. Kami Zine tidak eksklusif pada satu genre atau pokok bahasan besar seperti politik, musik, traveling, dll. Kami percaya bahwa inklusivitas akan membawa perspektif yang lebih luas karena pada dasarnya isuisu sosial tidaklah terbatas pada satu kajian saja. Oleh karena itu isuisu tradisional hingga budaya populer, perdesaan hingga urban, cutting edge hingga sidestream akan Kami liput. Anda dipersilakan untuk mencetak, memfotokopi, dan menyebarkan majalah ini selama bukan untuk keperluan komersil. Budayakan tulisan barudak! Akhir kata semoga bisa berlanjut ke edisi edisi berikutnya dengan konten dan desain yang lebih menarik. Hormat Kami, Sikami
EditorInChief: Kami Foto: Kami Editor: Kami Publishing: Kami Desain: Kami Kontributor penulis: Dyaning pangestika
“To be yourself in a world that is constantly trying to make you something else is the greatest accomplishment.” Ralph Waldo Emerson
TIDAK ADA TIDAK ADA FAKTA YANG DITAMPILKAN DI HALAMAN INI Mohon maklum, namanya juga pemula kami tidak tahu mau nampilin fakta apa di halaman ini bro!
First Issue June 2016
PENINGGALAN ITU KINI HANYALAH OBJEK PEMANIS
T
umpukan batu itu kini banyak yang retak dan pecah bahkan tak jarang yang diseliputi oleh lumut, beberapa bahkan ada yang sudah hancur dan diganti dengan replika baru, imitasi agar objek tetap terlihat sempurna. Tetapi nampaknya tak ada pengunjung yang peduli atau memperhatikan, mereka terlalu sibuk dengan gawai di genggaman. Nilai kultural sudah tak lagi dipedulikan. Objek wisata itu hanya sebatas sisa-sisa peninggalan periode kerajaan. Secara perlahan objek-objek sakral ini muai kehilangan esensi nya.
16
'
OWOBIWARP AGGNALRE : :OTOF
06
'
Cover of the Month
Keberagaman kebudayaan di Indonesia pada masa lampau memperlihatkan dengan sangat jelas adanyan perpindahan budaya dari masa ke masa yang dinamis. Bangunanbangunan peninggalan ini adalah rangkaian perjalanan peradaban dinamis sociocultural dari masa kerajaan hingga masa kontemporer pada saat ini. Mari membandingkan esensi dari situs wisata bersejarah dengan situs wisata yang dibangun pada masa kontemporer dengan pendekatan seni dan filosofis. Keduanya
3 .p
Kami exclusives
kultural, dan historis merupakan bagian penting dari bagian kunjungan. Mengetahui latar belakang objek wisata adalah bentuk manifestasi pelestarian kekayaan budaya Indonesia karena kelak ketika di masa depan tak ada lagi warisan cerita sejarah, cerita objek-objek ini hanya menjadi imajiner. Apalagi sekarang, reruntuhan-reruntuhan tak lagi menarik untuk dilihat karena dianggap tak menarik untuk menjadi latar belakang foto, miris sekali. Mengunjungi objek religius ketika ada kegiatan upacaraupacara peribadatan bisa menjadi alternatif untuk lebih memahami substansi magis objek wisata tersebut. Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa situs tersebut sangat penting akan terelevansikan ketika melihat pentingnya situs untuk kegiatan beragama. Akhirnya menikmati sebuah situs wisata terbatas pada perspektif masing-masing individu, menginterpretasi esensi situs wisata tidaklah terbatas pada “bagaimana yang seharusnya”. Perjalanan budaya kontemporer memungkinkan perspektif dan interpretasi baru akan tetapi jangan sampai value dari situs wisata hilang.
4 .P
merupakan objek yang mempunyai nilai. Perbedaannya adalah situs wisata bersejarah mempunyai value lebih dari aspek historis –dan beberapa situs memiliki aspek magis seperti mitologi– menjadi pelengkap hubungan kausal antara peradaban dan bangunan. Lalu apa yang menjadi permasalahan mendasar dari situs bersejarah ini? Salah satunya adalah hilangnya value historis tadi. Dewasa ini sangat terlihat jelas bahwa objek-objek wisata ini selain dikagumi keindahannya dijadikan pula latar belakang foto, menandakan sang empu foto bahwa ia pernah berkunjung ke tempat tersebut. Yang kedua ini mungkin menjadi tren terkini, mengunjungi tempat wisata lalu hasil jepretan di unggah di media-media sosial. Budaya populer seperti ini memang bagus untuk promosi tempat wisata namun belum tentu bagi substansi dan esensi tempat wisata itu sendiri. Bagaimana dengan kerusakan karena umur yang terjadi di banyak situs-situs wisata ini apakah pengunjung peduli dan menyadari? Rasanya tidak semua menyadari ataupun peduli. Kerusakan-kerusakan minor kebanyakan sudah ditambal atau diperbaiki namun terlihat perbedaan dari bahan yang digunakan sehingga mengurangi nilai estetika objek tersebut. Apa boleh buat untuk menjaga keutuhan bentuk, langkah seperti ini harus dilakukan. Belum lagi pengelola yang terkesan kurang merawat objek sehingga kotor dan kurang enak untuk dilihat. Mengunjungi situs wisata bersejarah tidak hanya menyoal refreshing, liburan, atau mengetahui objek belaka apalagi “yang penting udah pernah kesini”, lebih dari itu esensi,
RESENSI FILM
Judul : Ida Sutradara : Pavel Pawlikowski Tahun : 2013
seorang biarawati muda bernama Anna sebelum diambil sumpahnya ditugaskan pergi meninggalkan gereja untuk
mengunjungi bibi nya Wanda yang merupakan keluarga satu-satu nya yang tersisa . Wanda yang seorang perokok dan peminum berat kemudian memberitahu bahwa sebenarnya Anna bernama Ida Lebenstein seorang anak keturunan Yahudi yang orangtuanya menjadi korban Holocaust perang dunia II menjadi pengantar perjalanan Ida mencari kebenaran dan jatidiri hidup nya. Perjalanan ini bukan hanya tentang Ida dan Wanda namun juga penonton diajak melihat kembali sejarah Polandia ketika masa antisemitisme.
Film hitam putih yang disutradai oleh Pawel Pawlikowski ini berlatar belakang setting tahun 1962 banyak menampilkan kegamangan Ida yang mulai mengetahui diri nya yang sebenarnya. Tergambar jelas dari beberapa scene dimana Ida terdiam dan berpikir atau mungkin merasa kaget. Kebenaran tersebut merubah kehidupan Ida dan Wanda, menaikkan kesan melankolis yang ingin diangkat oleh penulis dan sutradara. Perubahan sikap Ida di awal, pertengahan, dan akhir film menambah kesan dinamis sebuah perjalanan pencarian jatidiri. Yang cukup menarik lainnya dari film ini adalah isi pengambilan gambar dibiarkan statis, membantu atmosfer yang ingin diangkat, terkecuali scene ending pengambilan gambar secara handheld juga sangat tepat bagaimana kesan ambigu dan kebingungan Ida semakin terbentuk.
5 .P
Dari segi substansi bisa didapatkan bahwa tema utama film ini adalah pencarian jatidiri Ida yang dibelakangnya disusupi kisah-kisah diskriminasi terhadap Yahudi. Hubungan kausal sebab-akibat sejarah Polandia juga mempengaruhi bagaimana pembentukan karakter Ida ketika ia meninggalkan gereja.
COLUMN
SUDAH SAATNYA TOKOH PEREMPUAN PUNYA STEREOTIP BARU OLEH DYANING PANGESTIKA
A
nda pasti familiar dengan adegan seperti ini. Mungkin kita tidak pernah mengingat siapa nama perempuan tersebut. Tapi kita akan selalu mengingat perempuan itu sebagai perempuan seksi yang menjadi pacar si tokoh protagonis lelaki. Titik. Satu-satunya kaitan signifikan antara perempuan tersebut dengan plot adalah bagaimana kematiannya dapat menjadi momen turning point bagi para karakter pria. Anda ingin contoh yang lebih lokal? Baik, mari jangan berkaca pada Holywood. Dalam sinema Indonesia, karakter perempuan dalam sinetron atau
film mendapatkan penggambaran yang lebih hambar. Mereka dipandang secara hitam putih —karakter perempuan protagonis pastilah digambarkan sebagai seorang perempuan penyabar, rajin beribadah (lebih bagus lagi jika ia berkerudung), bermental "nrimo", sederhana, dan tidak pernah mengumpat. Karakter perempuan antagonis selalu digambarkan sebagai perempuan pembenci, jauh dari agama, penggoda—pokoknya ia menjadi perwujudan yang sempurna dari kata ‘negatif’. Sebuah riset berjudul "It’s a Man’s (Celluloid) World," yang dikeluarkan oleh The Center for the Study of Women in Television and Film pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa industri perfilman mengalami krisis bias gender yang parah ketika disinggung mengenai representasi perempuan dalam layar kaca . Studi menunjukkan hanya 12% dari keseluruhan film yang rilis pada tahun 2014 memiliki karakter perempuan sebagai tokoh protagonisnya. Di sisi lain, 75% film di tahun yang sama memiliki laki-laki sebagai tokoh protagonisnya. Belum lagi ketika kita membicarakan porsi dialog perempuan dalam film. Hanya 30% film yang memberikan dialog signifikan terhadap karakter perempuannya.
6 .P
Seorang perempuan berambut pirang bergelombang melenggak-lenggok di dalam sebuah diskotek. Ia mengenakan pakaian inim dan melemparkan tatapan menggoda pada tokoh protagonis. Sang tokoh protagonis lelaki menatapnya dengan penuh hasrat. Delapan adegan kemudian, mereka bercumbu di dalam sebuah kamar hotel. Setelah bercumbu, belakangan perempuan ini akan diculik, atau mati, sehingga karakter protagonis laki-laki tersebut bisa mengalami perkembangan karakter.
Tentu, masih ada pencelaan terhadap karakterkarakter diatas. Susan Cooper dalam film Spy dicela karena dianggap ‘kurang realistis’, sebab dunia tidak siap menerima perempuan gemuk yang pandai berkelahi. Furiosa dicela karena tidak terlihat ‘indah’. Kristen Wiig, Mellisa McCarthy, Kate McKinnon, dan Leslie Jones dianggap telah merusak esensi utama dari franchise Ghostbusters karena jenis kelamin dan fakta bahwa mereka tidak akan diperlakukan sebagai objek seksual dalam film tersebut. Sudah saatnya kita menerima kenyataan bahwa perempuan berada di layar kaca bukan sematamata untuk menjadi pemanis layar. Bukan hanya agar mereka mati supaya tokoh laki-laki
credit: outofcontextarthur.tumblr.com
Belum lagi jika kita membicarakan mengenai perempuan dan representasi kultur ras dan etnis dalam film. Di Hollywood, 74% karakter perempuan terdiri dari ras Kaukasia. Sementara 11% sisanya terdiri dari ras Negro, 4% sisanya adalah Latina, 4% sisanya berasal dari Asia, 3% dari ras Sudah saatnya kita campuran, dan sebagainya. Karakterkarakter perempuan yang berasal dari menerima kenyataan ras selain kulit putih kerap digambarkan bahwa perempuan dengan stereotip ras yang berlebihan berada di layar kaca (jika tidak ingin dibilang rasis). Misalnya saja, perempuan Negro digambarkan bukan sematamata sebagai perempuan lancang yang
berkembang. Perempuan bukanlah sebuah cangkang kosong. Jika laki-laki bisa terlihat cerdas di layar kaca, mengapa perempuan tidak? Jika laki-laki bisa digambarkan menjadi sebuah tokoh kompleks yang dicintai oleh penontonnya,
untuk menjadi pemanis mengundang hasrat dan sebagainya layar mengapa perempuan tidak bisa Pertanyaannya apakah perempuan tidak pantas ’,
.
,
mendapatkan representasi yang layak dalam film? Beberapa film seperti Spy, Ghostbusters (2016), dan Mad Max: The Furious Road sudah mendobrak stigma tersebut. Dalam Spy misalnya, protagonis tidak saja direpresentasikan oleh seorang perempuan, tapi juga seorang perempuan dengan berat badan berlebih—yang kerap kali dipandang sebagai sesuatu yang tidak cantik di antara penggemar film Hollywood. Namun film itu tidak hanya memfokuskan jalan cerita pada penampilan perempuan tersebut, tapi juga pada talentanya sebagai seorang mata-mata yang baik. Dalam film Mad Max, Furiosa, sang tokoh utama film tersebut, tidak hanya digambarkan sebagai karakter yang kuat dan cerdas, tapi ia juga tidak pernah sekalipun digambarkan sebagai objek seksual. Hal serupa juga terjadi dalam reboot film Ghostbusters yang akan rilis pada tahun 2016 ini.
mendapatkan kesempatan yang sama?
Ya, perempuan pantas mendapatkan representasi yang layak di layar kaca. Jika kita ingin berangkat dari stereotip, maka perempuan butuh stereotip baru. Berikanlah publik perempuan yang kuat, mandiri, independen, dan kompleks. Berikanlah publik karakter perempuan yang dapat dicintai tanpa harus dipersepsi sebagai objek yang bisa dicumbu. Berikanlah publik karakter perempuan yang sesungguhnya.
7 .p
‘