Subversi edisi Wisuda

Page 1

SUB VER SI ZIN E EDISI WISUDA NYARIS TANPA TOPI

SEBUAH AGITASI TERAKHIR DI MASA KULIAH


Kuliah

, Pulan g, Nong krong Kepanitia an, Organ isasi Protes biaya tahap 1 Gladi (Fuck MKU), Skip kelas

gas u t n a g n e d n a t e s r Pe ma a r D , l l i k e y g, N n a n e s g n a n Berse Dulu wifi kenceng, sekarang jadi lambat Dulu banyak taman, sekarang jadi gersang Dulu banyak gigs, sekarang dilarang-larang Dulu nginep di sekre, sekarang digembok jam 12 Nama: Kantin FISIP. Lokasi: Fak. Ekonomi


BAB I: PENDAHULUAN Dulu waktu masih SMA banyak yang bilang kalau jadi mahasiswa itu individualis, serba mandiri. Anggapan ini pada waktu itu memberikan gambaran bahwa kuliah bukanlah sesuatu yang menyenangkan karena minimnya interaksi. Padahal yang terbayang adalah masa kuliah bakal banyak merasakan gigs malam di kafekafe (atau di dalam kampus), masuk skena, berinteraksi dengan cara yang lebih anak muda (entah seperti apa, emang ada?) atau sekedar melakukan hal-hal hebat yang tidak terpikirkan oleh anak SMA. Membayangkan kampus sebagai tempat yang bebas sungguh mengeluarkan imajinasi bahwa di dalam kampus bisa happy-happy, berinovasi, bebas melakukan apa saja, ah pokoknya senang lah. Lalu ketika kuliah beberapa dari yang dibayangkan memang benar adanya. Gigs musik selow sampai yang bikin body surfing emang ada di kampus, dari panggung kecil ala kadarnya sampai panggung besar bertiket, dari band antah barantah sampai band indie urban. Ya walaupun semenjak GSG diruntuhin panggung-panggung besar ini nyaris hilang (Unpar udah gak asik lagi, ah). Kampus memang lebih bebas, iyalah, cuma di kampus pikiran atau gagasan apapun bisa didiskusikan, gak ada pemikiran yang dilarang, semuanya harus terbuka terhadap penafsiran dan perdebatan. Jadi kalau ada ormas-ormas pengganggu (ya untungnya gak pernah ada) bisa dilawan dengan argumen yang baik. Lalu bagaimana dengan stereotip mahasiswa itu individualis? Yang kurasakan sebenarnya gak ada kok yang individualis, semua yang kukenal dan gak sempet kenal tapi tau muka punya teman dan tidak ada yang merasa ambis sendiri. Di SMA teman seangkatan kenal semua, teman sekelas kompaknya nomor 1, pas kuliah temen seangkatan bisa aja gak semua kenal dan terkesan terbagi menjadi beberapa lingkaran pertemanan tapi teman satu lingkaran akan sangat dekat. Beruntung aku tergabung dalam lingkaran pertemanan seperti itu. Waktu SMA, banyak juga yang bilang kalau jadi mahasiswa itu


bakal idealis. Jadi pemuda yang membawa perubahan (dengan referensi tahun 1998). Ternyata gak semua mahasiswa mengeluarkan idealisme nya dengan cara-cara orasi dan turun ke jalan namun juga melalui tulisan, diskusi, dan tuntutan-tuntutan lainnya. Ada juga yang gak peduli dan memilih beres kelas langsung pulang aja, atau main, atau ngopi, atau nongkrong, atau gatau mau ngapain, pokoknya gak ikutan sama perjuangan mahasiswa, yang kaya gitu banyaaaakkkk. Semuanya kembali lagi ke pilihan masing-masing karena setiap orang punya prioritasnya masing-masing yang harus kita hargai. Tapi semua sepakat, setiap semester dan keluar biaya tahap 1 pasti marah, UAS aja belum beres udah keluar lagi tagihan semester depan, naik pula biayanya. Bagian nagih aja cepet, fasilitas malah makin buruk, wifi makin lambat, taman hilang, parkiran menyempit, bahkan kebijakan-kebijakan kampus yang dirasa memengaruhi hak mahasiswa banyak yang terlebih dahulu dikomunikasikan dengan mahasiswa. Jadi kepada tuan dan puan di yayasan dan rektorat yang terhormat, mahasiswa juga pemangku kepentingan di kampus, mohon pengertiannya jangan diabaikan. Ya dasar Unpar, udah ngeruntuhin GSG karena mau bikin gedung baru, PPAG jadi tapi belum punya sertifikat laik fungsi, jadi bermasalah kan? Untung ada mahasiswa yang mempertanyakan, salut! Jadi bersenang-senanglah selama masih kuliah, karena kalau sudah lulus dan mulai memikirkan mau kerja dimana, pusing. Sekian. Maka sebagaimana Descartes pernah berkata: Aku nongkrong di kampus maka aku ada (Walaupun gak pernah masuk kelas)


BAB II: GAUDEAMUS, SEBUAH IRONI PARA WISUDAWAN Tulisan ini pertama kali kusebar dalam bentuk pamflet ketika wisuda Unpar September 2017. Dimuat disini karena sekarang giliranku yang lulus dengan harapan dibaca juga oleh teman-teman yang masih kuliah. Selamat! Terhitung hari ini kalian sudah tidak lagi tercatat sebagai pelajar Universitas Katolik Parahyangan. Selamat! Karena telah menyelesaikan jenjang pendidikan strata 1. Gaudeamus Igitur diperdengarkan dan dinyanyikan dalam perayaan wisuda. Ya, wisuda memang sebuah perayaan, manifesto keberhasilan setelah melewati masa kuliah yang melelahkan, fana, dan penuh dengan perjuangan. Bagaimana tidak, wisuda merupakan hari kemenangan serta penghargaan terhadap pelajar yang telah berhasil menyelesaikan tuntutan akademik (baik dimotivasi diri sendiri maupun tuntutan eksternal). Menjadi seorang wisudawan berarti mendapatkan apa yang Epikuros sebut sebagai Ataraxia ─terbebas dari gangguan emosional dan kecemasan, dengan kata lain ketenangan serta Aponia ─tidak ada rasa sakit atau ketenangan spiritual─ dari belenggu tuntunan nilai dan tugas-tugas. Namun bagaimana dengan semangat Gaudeamus Igitur, lagu yang dinyanyikan ketika masa penerimaan mahasiswa baru dan wisuda. Apakah

wisudawan berkhidmat pada semangat yang dibawa lagu tersebut? Jika penyesalan masih menghampiri karena masa kuliah tidak berhasil membuat sebuah perubahan pribadi, bahwa masa kuliah tidak dimanfaatkan dengan bersenang-senang bermain dengan idealisme demi negara yang lebih baik, bahwa kesenangan yang dirasakan hanya berbentuk hedonisme, maka patut dipertanyakan apakah semangat Gaudeamus Igitur benar-benar sudah dilakukan atau tidak sama sekali. Gaudeamus Igitur sejatinya membawa mahasiswa untuk bersenang-senang selagi masih muda, memaknai bahwa status pelajar menjadi sebuah hak istimewa yang patut dirayakan. Namun dalam setiap hak istimewa, tentu ada pertanggungjawaban. Lagu ini juga mencerminkan kehidupan mahasiswa yang sedang belajar sehingga dapat melakukan kesalahan sebanyak-banyaknya, dalam prosesnya tanpa harus takut karena hidup terlalu singkat dan sia-sia jika kita tidak belajar semaksi-


mal mungkin dan mengaplikasikannya di dunia nyata. Lagu ini juga mengingatkan bahwa sifat dari status mahasiswa adalah sementara dan segera pasti akan meninggalkan status mahasiswa sehingga dalam menjalaninya sudah wajar jika ingin masa menjadi mahasiswa menjadi masa yang extra ordinary, bahwa masa muda tak akan bisa diambil lagi dan hidup hanyalah sementara sehingga sayang jika kita harus tunduk kepada kesalahan ketika idealisme merupakan nafas dari status mahasiswa. Dalam industri pendidikan kapitalis ini, seorang sarjana diarahkan agar bisa mencari pekerjaan yang pada akhirnya bisa membiayai hidup serta mengembalikan modal pendidikan yang mahal. Maka dalam paham ini uang adalah sebuah nilai keberhasilan dan kebahagiaan. Ketika seorang sarjana sudah berpikir bahwa setelah lulus harus segera bekerja agar mendapatkan banyak uang, maka disana kapitalisme telah berhasil mengubah sarjana menjadi tenaga-tenaga yang dikendalikan oleh kepentingan industri. Epikuros pernah berkata bahwa hidup untuk memberikan bantuan serta membuat perbedaan (dalam dunia modern bisa berarti inovasi) yang membuat seseorang bahagia. Bukankah itu tugas seorang sarjana, yaitu membuat perbedaan untuk kebaikan bersama mengingat status istimewa sebuah gelar pendidikan yang masih banyak warga negeri ini belum bisa memilikinya.

Dalam dunia estetika Jepang ada yang dinamakan ensĹ?, lingkaran yang melambangkan pencerahan, kekuatan, keanggunan alam semesta, dan kekosongan. Lingkaran tersebut harus sengaja tidak tertutup, memberikan ruang berkembang menuju kesempurnaan, di ilhami oleh pemikiran wabi-sabi yaitu ketidaksempurnaan. Maka walaupun telah lulus dari universitas, tuntutan untuk terus belajar tak pernah hilang. Bahwa apa yang telah dipelajari seharusnya di implementasikan dengan menyesuaikan perkembangan yang ada. Dengan kata lain, perjuangan yang telah dilakukan harus tetap dilanjutkan. Jadi rasanya patut untuk kami tanyakan, apa yang membuat wisuda menjadi sesuatu yang membahagiakan. Apakah karena telah berhasil melewati tuntutan akademis atau karena berhasil mendapatkan modal berharga untuk menciptakan kebaikan? Maka dari itu tuntutan kami jelas. Jangan lupakan kami, jangan lupakan almamater! Karena di kampus kalian mendapatkan semuanya, karena di kampus perjuangan itu dimulai. Teruskan perjuangan kami di luar sana, maka akan kami teruskan perjuanganmu di kampus. Vivat membrum quodlibet Vivant Membra quaelibet Semper sint in flore A Luta Continua!


BAB III: MEMORABILIA



Semua foto di BAB ini hasil digitalisasi dari arsip Media Parahyangan


BAB IV: SUBVERSI Masih tersimpan rapi dalam ingatan saat itu Desember tahun 2015 ada peristiwa dimana mahasiswa Papua yang melakukan aksi di Jakarta ditangkap oleh aparat kepolisian. Kami yang membaca berita tersebut di Bandung merasa perlu melakukan aksi solidaritas. Padahal mereka hanya menuntut hak nya dipenuhi negara. Aksi solidaritas ini menjadi yang pertama bagiku turun ke jalan menyuarakan kebenaran, pertama kali berorasi. Aku memang sudah peduli dengan isu-isu seperti ini dan isu pelanggaran HAM lainnya di Indonesia sejak lama, namun pengalaman ini merupakan yang pertama, sejak saat itu menggalang dan merencanakan aksi menjadi sebuah keseruan sendiri. Selanjutnya jadi banyak terlibat, misalnya rutin di aksi kamisan Bandung dan turut menyuarakan tuntutan buruh pada 1 Mei. Jangan diam, Lawan!


Menyedihkannya Praktik Pemilu Berhadiah Bayangkan, dengan memilih calon pemimpin kamu bisa mendapatkan hadiah. Ya betul, hadiah. Di Unpar pada pemilu 2017 lalu ada insentif dari KPU bagi pemilih yang mengunggah foto di instagram telah memilih maka berhak ikut serta dalam pengundian hadiah. Maksud dan tujuan adalah untuk menaikkan angka pemilih yang semakin turun dari tahun ket tahun. Tulisan ini kutulis dan dimuat di Media Parahyangan dan mendapat protes dari MPM (tapi orangnya gak pernah ngontak langsung). Spoiler: Jumlah pemilihnya berkurang. “Kalian sekarang bukan hanya ikut berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Persatuan Mahasiswa (PUPM) UNPAR tetapi juga berkesempatan untuk memenangkan doorprize!� Harus saya katakan bahwa cara tersebut sangatlah menyedihkan untuk menaikkan angka penggunaan hak suara dalam PUPM Unpar. Bagaimana tidak, dengan memilih Anda bisa mendapatkan undian untuk memenangkan 2 unit tablet dan 3 unit harddisk. Melalui publikasi poster dan media sosial mengindikasikan bahwa PUPM tidak hanya menjadi arena kompetisi bagi calon, namun juga bagi pemilih. Caranya sangat mudah, dengan mengunggah foto kreatif di Instagram sebagai bukti telah memilih dalam PUPM UNPAR 2017 lalu memakai hashtag yang sudah ditentukan dan tag 5 teman serta akun @pupmunpar Anda sudah menjadi salah satu kandidat pemenang hadiah. Dalam dua tahun terakhir angka pemilih PUPM Unpar memang menurun, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan atau parameter bahwa mahasiswa Unpar malas memilih. Banyak variabel yang bisa mempengaruhi, diantaranya apakah calon yang ada sudah memenuhi kriteria yang baik sesuai dengan standar yang diinginkan mahasiswa atau apakah KPU justru

belum mensosialisasikan PUPM dengan baik?

Opsi kedua tentu menjadi sorotan untuk PUPM kali ini. Lantaran masih banyak mahasiswa Unpar yang belum mengetahui bahwa pada tanggal 2-3 Mei 2017 akan diselenggaraan PUPM. Minimnya sosialiasi dan atmosfer pemilu membuat PUPM tidak menjadi perhatian khalayak atau bahkan tidak cukup bernilai untuk diperhatikan. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk kegagalan KPUPM 2017. Berkaitan dengan banyaknya calon tunggal memang menjadi persoalan dimana tidak adanya aroma kompetitif, namun itu persoalan lain. Memang hal itu tidak bisa menjustifikasi bahwa calon tunggal berkorelasi dengan pemilih yang sedikit. Pernyataan saya memang asumsi, namun bukan berarti sepenuhnya salah karena bisa saja calon pemilih tidak menggunakan hak suaranya karena tidak mau memilih calon tunggal tersebut. Dengan kata lain, calon yang hadir tidak cukup mewakilkan mereka. Permasalahan lain adalah kurangnya atribut kampanye yang berada di kampus. Di setiap gedung fakultas memang banyak poster dan spanduk kampanye -walaupun di beberapa tempat tidak strategis- namun


di tempat-tempat umum lainnya seperti gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tidak ada sama sekali. Mengapa gedung UKM bisa terlupakan? Bukankah UKM merupakan salah satu bentuk nyata bagaimana mahasiswa aktif berorganisasi, bukankah dalam kelembagaannya Lembaga Kepresidenan Mahasiswa (LKM) mempunyai bidang yang mengurus UKM? Ataukah ada peraturan yang membuat atribut kampanye dilarang di gedung UKM? Lantas mengapa ada kampanye “selfless” di dalam WC? Satu hal lain yang ingin saya soroti tentang mengapa PUPM dua tahun kebelakang -dan sepertinya juga tahun ini- angka partisipasinya selalu menurun adalah bagaimana mulai dari Himpunan, LKM, dan MPM tidak memberikan inovasi, tidak memberikan sesuatu yang menggugah minat mahasiswa bahkan cenderung mengulangi kekurangan yang terjadi di periode sebelumnya. Apa contoh nyata yang diberikan oleh LKM dan MPM yang dapat membuat kehidupan sehari-hari mahasiswa Unpar lebih baik dari sebelumnya? Saya rasa sejak 2013 saya berkuliah, hak mahasiswa Unpar justru semakin berkurang. Ruang komunal berkurang, merokok dilarang tanpa pelibatan dalam pembuatan peraturan, sempat ada usulan ruang untuk merokok pun kini dihilangkan, bahkan jalur pejalan kaki yang dulu sempat ada di gerbang depan -walaupun dalam prosesnya dengan sangat keji harus menggusur ritel KKBM- kini sudah menjadi jalur masuk motor. Lebih parah lagi ketika MPM tidak berhasil memperjuangkan nasibnya saat ruangannya harus dipindahkan, bukti bahwa kampus semakin mempunyai kontrol atas mahasiswa.

Selama ini banyak mahasiswa yang berpendapat bahwa arahan LKM dan MPM tidak jelas mau dibawa kemana. Visi misi hanya sekedar formalitas untuk berkembang, namun berkembang ke arah bagaimana tidak ada realisasi yang baik. Untuk kampanye “selfless” misalnya, daripada membuat poster bahwa LKM akan mengadakan kampanye mengapa tidak sejak awal mengajak mahasiswa untuk turut aktif bergerak bersama-sama. Mahasiswa hanya dilibatkan dalam bentuk petisi dan selain itu semuanya LKM yang susun. Menurut saya, cara seperti itu bukanlah bentuk demokrasi yang baik di dalam kampus. Semoga di periode selanjutnya mekanisme kampanye bisa lebih baik. Jika memang PUPM ingin lebih semarak di tahun-tahun berikutnya harus ada beberapa kriteria yang setidaknya menurut saya harus dipenuhi, yaitu: Pemimpin yang berinovasi, tidak mengulang program yang terbukti tidak ada gunanya dari tahun ke tahun. Berikan dampak nyata kinerja kalian dalam kehidupan perkuliahan sehari-hari. Saya dan banyak yang juga berpendapat lainnya tidak merasakan pengaruh apapun dari kepengurusan yang sekarang. Langkah nyata memperjuangkan hak mahasiswa, kampanya “ke kampus jalan kaki” dan “selfless” tidak terasa manfaatnya bahkan keberlanjutannya dipertanyakan. Jika kelak capresma tahun ini terpilih maka kiranya sebelum membentuk kampanye baru selesaikan dulu kampanye yang sudah berjalan di periode saat ini. Gunakan cara yang sporadis, jika perlu adakan aksi di kampus. Jangan diam! Mulai dari himpunan hingga LKM / MPM harus berani melawan kebija-


Jika langkah-langkah tersebut terpenuhi, niscaya kehidupan politik kampus akan lebih terbuka dan menyenangkan. Implikasinya kepada angka kepercayaan kepada satu periode kepengurusan. Dalam jangka panjang angka penggunaan hak suara akan naik dengan sendirinya, ada gairah karena Persatuan Mahasiswa (PM) sangat aktif, tidak perlu di iming-imingi dengan hadiah. Dalam berita yang dilansir MP “Doorprize PUPM: Pendongkrak Antusiasme Mahasiswa Untuk Berdemokrasi� disebutkan bahwa pengadaan doorprize merupakan bentuk koordinasi antara KPUPM dan BKA sebagai pengganti souvenir yang dianggap banyak di buang pada tahun lalu. Selain itu juga bertujuan untuk meramaikan berlangsungnya proses pemilihan. Bagaimana pertanggungjawaban pengadaan tablet dan harddisk apakah sudah dianggarkan sejak awal? Atau dianggarkan darurat karena melihat situasi masa kampanye yang kurang ramai? Lagipula di tempat lain adakah dengan memilih Anda, para calon, lalu seseorang mendapatkan hadiah? Ini beneran kampus kan? Kok tidak mendidik? Seperti rakyat miskin dan tidak terdidik yang mudah saja dan mau menerima beras dan sembako dari partai politik, mahasiswa pun tertarik menerima yang lebih berkelas. Lantaran mahasiswa mungkin tidak tertarik pada beras dan sembako, mereka pun disuguhi alat-alat elektronik menengah ke atas dengan nuansa yang mewah mentang-mentang karena posisinya sebagai orang ber-ada dan terdidik. TIDAKKAH KALIAN MALU?

MANTAP KAN

Jika ingin menyerang kebijakan kampus, kampanye yang selama ini dibuat tidak membuat rektorat takut sama sekali bahkan terkesan ambigu bagi mahasiswa. Lebih berani lah mengecam karena kita mahasiswa juga merupakan salah satu pemangku kepentingan dalam kampus. Membuka ruang dialog dengan rektorat dan biro terkait kebijakan kampus yang akan di ambil. Himpunan / LKM / MPM harus turut terlibat dalam pengambilan kebijakan.

NYAENYA ATUH KAMPUS AING TEA!

kan kampus yang tidak adil terlebih mensubordinasi mahasiswa. Kalian adalah representasi mahasiswa, kepentingan kalian adalah kepentingan kami juga, jika rektorat atau biro berusaha menyetir, ada kami mahasiswa dibelakang kalian. Kita punya massa yang sangat banyak. Buat program yang terasa nyata manfaatnya dan berkelanjutan hingga periode-periode selanjutnya, jangan hanya mengandalkan proker tahunan.


BAB V: SIMPULAN

Sebwah kebijakan yang nyaris menjadi lelucon, mau wisuda harus jaminan uang karena toga gabisa dibawa pulang. Tapi itu hanya rumor awal. Setelahnya beredar video di tatacara wisuda Unpar yang baru, tanpa topi. Tanpa topi! bayangkan! protes besar-besaran maka topi pun kembali.


“The only way to deal with an unfree world is to become so absolutely free that your very existence is an act of rebellion.� - Albert Camus


SILAKAN DIPERBANYAK DAN DISEBARLUASKAN

Lisensi Creative Commons Atribusi-Berbagi Serupa 4.0 Internasional


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.