RS MAHA PE S A W IS
L EM BA G
A
M@T@ Mahasiswa Pencari Berita
SKETSA MAHASISWA EDISI viii, DESEMBER 2018
LEMBAGA PERS MAHASISWA “Mata”
Hermowo Cium Disharmoni Demokrasi dalam Pemira
? P
emilihan Raya Universitas Tidar (Pemira UNTIDAR) banyak dikeluhkan mahasiswa. Hal itu dikaitkan dengan kinerja BPKM yang masih mendapatkan banyak koreksi dalam penyelenggaran Pemira tahun ini. Hermowo Pribadi Dewabroto, Calon Presiden Mahasiswa (Capresma) periode 2018/2019 menilai bahwa kinerja Badan Pemira Keluarga Mahasiswa (BPKM) belum maksimal, “Masih banyak kecacatan di Pemira kita saat ini.” Saat ditemui, Hermowo mengungkapkan kekecewaannya terhadap penyelenggara pemira. Salah satunya masa kampanye yang dirasa tak selaras dengan hari tenang. "Aku mengapresiasi kinerja kawan-kawan. Tapi masih banyak koreksi. Saat kampanye misalnya. Kita hanya punya waktu 3-4 hari. Itu pun masih terpotong sesi debat. Kok hari tenang 1 minggu?"
keluhnya. Wiby Hiryanto, Ketua BEM Fakultas Teknik 2017 mewajarkan apa yang dikeluhkan capresma tunggal itu, “Wajar kalau paslonnya bilang seperti itu karena yang namaya kampanye, seharusnya memang panjang karena ini tingkat universitas, juga untuk menghidupkan dinamisnya mahasiswa yang ada saat ini. Kampanye kan untuk meyakinkan supaya memilih.” Dalam Pemira ini, Hermowo mengaku telah mengadukan beberapa disharmoni demokrasi yang ia temui. "Saya dan Theges merasa dirugikan sekaligus mencederai Pemira tahun ini. Hal itu dirasakannya menjelang akhir pendaftaran capresma," ungkapnya. Dirinya dan Theges dikabarkan maju secara independen. Tak hanya itu, ia bersama pasangan didalih
P
politik ke mahasiswa, yang menjadi kewenangan dari BEM KM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa) dan DPM KM (Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa), seharusnya BEM dan DPM KM menyadarkan terkait pentingnya politik di dalam kampus. Kedua, sosialisasinya masih kurang karena tidak menyeluruh kepada semua M a h a s i s w a . K e t i g a , ketidakpercayaan teman-teman terhadap organisasi di tingkat atas. Bahkan teman-teman UKM (Unit Kegiatan Mahasiwa), non-ormawa, maupun himpunan, mereka semacam mempunyai pandangan bahwa tidak ada BEM dan DPM KM tidak menjadi masalah bagi mereka. Selain faktor BPKM, angka golput dipengaruhi atas kinerja BEM dan DPM yang sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan, dan tingkat elektabilitas dari BEM dan DPM. Kurang maksimal kinerja BPKM dibenarkan pula oleh Wiby, “Kalau terkait kinerja, saya tidak terlalu paham, kalau memang yang ada di lapangan seperti itu berarti kinerjanya kurang efektif. Karena tidak mencakup semua mahasiswa umum itu tahu tentang adanya Pemira, dan Pemira tahun ini terhitung mendadak, tiba-tiba ada, dan sosialisasi-sosialisasi ke mahasiswa umumnya kurang. Mungkin sosialisasi ke ormawanya berjalan, tapi tidak semua ormawa itu menyampaikan apa yang ada di Pemira itu kepada mahasiswa umum.” Hermowo pun sepakat bahwa sounding terkait Pemira masih sangat kurang, yang menyebabkan
dengan munculnya kelompok kotak kosong yang entah dikendarai oleh siapa. Semula, Hermowo yang menyadari kehadiran kelompok ini sangat respect sebagai bentuk demokrasi. Namun, ia menyayangkan pada hari tenang, secara massive masih saja berkampanye dengan menggencarkan direct message (DM) kepada akun yang mereka ikuti. “Itu kan masuk black campaign, bisa juga untuk menggagalkan Pemira tahun ini,” tegasnya. Hermowo sangat kecewa dengan tindakan oknum tersebut. "Saya sudah mengintruksikan kepada tim sukses Instagram saya untuk berhenti melakukan penggiringan publik. Saya menghargai hari tenang. Tapi mereka masih saja berkampanye di hari tenang. Tentu saya sangat kecewa," ungkapnya. Mengenai black campaign, Hermowo mengaku lebih kecewa dengan adanya hoaks yang mengatasnamakan SARA. "Kekecewaanku bukan karena kekecewaan perasaan, tapi kekecewaan atas budaya demokrasi kita. Masih banyak kecacatan demokrasi, politik praktis, politik SARA, dan lain-lain," akunya. Meskipun kecewa, Hermowo dan Theges berlapang dada memaafkan tindakan oknum tersebut. Namun ia bersama rekan-rekannya tetap menuntut kasus itu. “Saya pun secara pribadi emosi sampai terjadi hal seperti ini,” resah Hermowo Akhirnya aduan-aduan dari penyebaran info hoaks, black
campaign, terkait adanya kelompok yang menggunakan unsur SARA, kelompok yang ingin m e n g g a g a l k a n Pe m i r a , d a n penyebaran isu dilaporkan Hermowo dan Theges kepada Panwasra. Hermowo menegaskan ia hanya ingin memeroleh keadilan. Fredorio Putra Wijaya, Ketua Pa n w a s r a s a a t d i t e m u i p a d a Minggu, (9/12) pun mengatakan bahwa ada banyak aduan yang disampaikan paslon terkait adanya unsur SARA dan adanya pihak yang ingin menjatuhkan. Ia menambahkan, "Politik praktis dilakukan banyak pihak, ada banyak yang memfitnah. Terus juga kotak kosong, pada masa tenang kok masih sounding, menyalahi aturan." Namun, Rio mengaku bahwa hanya ada sedikit bukti dari paslon, itu pun ketika Panwasra mencari bukti itu, ternyata masih kurang kuat. Ia menegaskan, "Kami harus kaji dulu karena tidak bisa menindak dengan suatu omongan saja, harus punya dokumen atau berkas yang kuat." Kaderisasi Kurang: Paslon Minim Feby Rudianto, Ketua Umum DPM KM mengaku bahwa Pemira berjalan lancar meskipun jumlah calon sangat minim. Tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat kesadaran mahasiswa sangat rendah. “Kami berharap dari setiap fakultas mengeluarkan calon calon mereka, tapi nyatanya hanya dari Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Saya sudah wanti-wanti ke teman-teman BPKM untuk lebih maksimal dan masif,” ungkap Feby.
Meskipun BPKM sudah memberikan waktu dua minggu untuk mempersiapkan berkas, namun sampai saat hari terakhir administrasi belum selesai, jadi tidak memenuhi syarat yang menyebabkan gagal majunya paslon. Selain itu, DPM KM itu kolektif kolegial, jadi harus ada perwakilan dari setiap fakultas, Feby berharap, tahun depan ada inovasi baru dalam pemira agar mahasiswa tertarik untuk berapartisipasi. “Bagi teman-teman yang ikut ormawa harus sadar akan pentingnya kaderisasi di ormawa kampus,” tegasnya. Ketua BPKM, Abdullah Labib menjelaskan bahwa anggotanya masih kurang tahu tentang tanggungjawab yang diemban dan kurang maksimal tingkat kinerja ketika berada di lapangan. Kurangnya kesadaran diri dari tim pelaksana Pemira diakibatkan karena banyak anggota BPKM yang masih di semester tiga dan belum memiliki pengalaman dalam menjalankan tugasnya sebagai pelaksana Pemira. Padahal Feby mengatakan, “Kita sering steering committee untuk membentuk BPKM dan Panwasra serta membimbing dan membina selama 3 minggu untuk melatih anggota BPKM dan Panwasra, hingga memanggil pemateri dari KPU Kabupaten dan Kota.” Ia juga menambahkan, “Padahal sudah pelatihan 3 kali, dengan persiapan hampir 2,5 bulan dan intens. Cuma bisa ngelus dada dan kecewa karena partisipasi mahasiswa masih rendah.”
Gejolak Tingginya Angka Golput
emilihan Raya (Pemira) untuk pemilihan Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM), Presiden Mahasiswa (Presma), dan Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) Universitas Tidar membuat gejolak di kalangan lingkungan kampus. Angka golongan putih (golput) yang lebih dari 50% tersebut telah melampaui target awal dari BPKM, sebesar 30%. Fa k t o r t e r s e b u t m u n c u l d a r i mahasiswa itu sendiri yang cenderung apatis terhadap kehidupan kampus. Mereka masih menerapkan sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan k e h i d u p a n k a m p u s . Pa d a h a l penentu nasib UNTIDAR satu tahun ke depan berada di tangan mahasiswa. Mahasiswa yang apatis hanya merupakan salah satu dari sumber munculnya angka golput. Seperti yang diungkapkan Wiby Hiryanto, Ketua BEM Fakultas Teknik 2017, “Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa umum itu apatis tentang adanya Pemira, misal 'Ngapain sih aku nyoblos? Apa output-nya buat aku?' terkadang juga seperti itu. Dari pihak BEM KM pun belum bisa benar-benar mewadahi mahasiswamahasiswa umum yang nonorganisasi, makanya para mahasiswa bersikap apatis, 'misalkan saya milih ya buat apa?'” ujar Wiby. Hermowo Pribadi Dewabroto, Calon Presiden Mahasiswa (Capresma) periode 2018/2019 pun memandang bahwa angka golput yang tinggi dan melebihi setengah dari pemilih tetap terjadi karena; Pertama, kurangnya pendidikan
TIM REDAKSI
menjegal paslon lain. Ia mengaku t e l a h mengantong i b u k t i berupa teks dan saksi terkait isu penj egal an paslon yang disuarakan beberapa o k n u m tersebut. Hermowo pun Ilustrator: Adi kecewa atas meruaknya isu negatif mengatasnamakan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dengan tujuan black campaign yang digencarkan beberapa oknum tak b e r t a n g g u n g j a w a b . " Pe r n a h dikatakan bahwa pemimpin yang baik itu yang rajin salat, bukan yang pintar debat. Ada juga salah satu kelompok mengatakan bahwa carilah pemimpin yang soleh." Tentu ini tidak sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam UU KM UNTIDAR yang disepakati bersama sebagai acuan keorganisasian, khususnya perihal praktik demokrasi di UNTIDAR itu. Menurut UU KM UNTIDAR No. 2 Tahun 2018 tentang Pemira KM UNTIDAR Bab XII, Pasal 16 Ayat 1 berbunyi "Dalam kampanye PEMIRA dilarang: mengandung unsur SARA." Selain adanya SARA, terjadinya black campaign ditandai
angka golput tinggi sehingga sosialisasi harusnya dimasifkan lagi. “Banyak mahasiswa non-organisasi mahasiswa (non-ormawa) yang tidak tahu jadwal pencoblosan, bahkan ada yang tidak tahu siapa calonnya,” ungkapnya. Ia memberikan saran kepada pihak DPM KM supaya lebih menyuarakan isu-isu terkait Pemira dengan bekerja sama dengan DPM fakultasfakultas. “Itu koreksi buat DPM juga, kurang sinergis dengan fakultasfakultas. DPM kan juga punya kewenenangan, harusnya bisa untuk menyambungkan agenda Pemira ini untuk menutup angka golput yang tinggi,” tegas Hermo wo.
Ilustrator: Hanif
yang saya dapatkan dari mahasiswa yang memiliki hak suara dan saya tanya, 'Wes milih durung?', 'Loh memangnya sekarang coblosan?' Mereka memberikan jawaban demikian,” ungkapnya. Mahasiswa inisial PW dari Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) yang tidak mau disebutkan namanya mengaku, “Aku golput karena dompetku hilang, KTM hilang. Kan kemarin katanya disuruh pakai tanda pengenal. Jadi, nggak nyoblos. Teman-teman banyak yang males, menganggap pemira nggak menarik. Mungkin karena nggak a d a saingannya, terutama C a l o n Persma.” Dibalik angka golput yang tinggi terseb u t munc u l juga faktor l a i n y a n g berasal dari B P K M i t u sendiri. Seperti yang diketahui bahwa kinerja BPKM belum maksimal dalam penyelenggaraan Pemira 2018 pada Selasa, (4/12). “BPKM kinerjanya tidak maksimal, dan tidak menutup kemungkinan karena dari orang-orang independen yang tidak ikut organisasi, ya imbasnya ke
pelaksanaan mereka,” ujar Hermowo. Ketua BPKM, Abdullah Labib mengatakan bahwa pelaksanaan Pem ira juga terkendala oleh berkurangnya jumlah TPS yang awalnya direncanakan berada di 5 titik menjadi 4 titik, yaitu TPS 1 di lobi gedung Fakultas Ekonomi (FE) lantai 1 untuk mahasiswa FE, TPS 2 d i h a l a m a n g e d u n g Fa k u l t a s Pertanian (Faperta) untuk mahasiswa Faperta dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), TPS 3 di Bantala Budaya untuk mahasiswa Fakultas Teknik (FT), dan TPS 4 di halaman gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) untuk mahasiswa FISIP. Sedangkan 1 TPS lainnya yang seharusnya berada di lobi lantai 1 gedung FKIP tidak mendapat perizinan untuk dijadikan TPS dari pihak terkait. Tempat TPS yang kurang strategis dan cuaca yang tidak mendukung turut menjadi faktor partisipasi mahasiswa dalam Pemira. Tempat-tempat sempit terpaksa digunakan, seperti di lobi FE lantai 1 dan halaman gedung Faperta sebagai lokasi TPS. Cuaca yang tidak bersahabat pun menjadi kendalanya karena hujan turun ketika mahasiswa ingin melaksanakan pencoblosan hujan mengguyur TPS dan fasilitas yang tersedia tidak memadai di TPS yang berada di area outdoor. Dengan kondisi tempat yang minimalis membuat mahasiswa malas dan enggan untuk memberikan hak suaranya. Te r k a i t s o s i a l i s a s i y a n g dilakukan oleh BPKM melalui media sosial seperti Website dan
Instagram dibilang kurang maksimal. “Menurut saya, sosialisasi melalui media sosial itu kurang maksimal,” ujar Labib. Meskipun BPKM membuat pamflet yang ditempel di mading setiap fakultas untuk menambah jangkauan sosialisasi tersebut, banyak mahasiswa yang tidak tahu terselenggaranya Pemira UNTIDAR. Mahasiswa pun banyak yang tidak mengenal dengan para kandidat Pemira tersebut. Banyak dampak Pemira yang merugikan, tidak hanya kerugian finansial, tapi juga rugi tenaga dari tim pelaksana. Kerugian yang dialami mencapai 600 ribu rupiah yang disebabkan karena banyaknya kertas suara yang tidak terpakai saat pelaksanaan Pemira. “Dengan total mencetak 1.200 ribu, dana 600 ribu terbuang sia-sia,” ungkap Labib. Sebagian mahasiswa pun bertanya-tanya terkait hasil pemenang jika angka golput lebih besar. Labib saat ditemui pada Rabu, (5/12) menjelaskan bahwa berapa pun jumlah golput yang ada, tidak mempengaruhi hasil pemenangnya. “Berdasarkan quick count suara sah sekian, golput sekian dan tidak sah sekian, hal itu berarti siapa pun yang menang dinyatakan sah jika menurut undang-undang yang berlaku karena terkait hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang.” Feby pun membenarkan, “UU sudah disetujui semua, tetap sah karena tidak ada peraturan yang mengatur tentang prosentase itu. Dan paslon yang menang bisa dilantik oleh WR 3, tapi tanpa SK. 26 Desember baru rencana pelantikan rektor.”
Wiby pun menjelaskan bahwa publikasi Pemira kepada mahasiswa yang terutama non-aktif organisasi masih kurang. Ia mengatakan bahwa ia tidak tahu secara mendetail terkait tentang sosialisasi seperti apa dan kapan dilaksanakan coblosan. “Kurangnya sosialisasi tersebut tidak mencakup seluruh mahasiswa umum. Banyak survei Pembina: Joko Tri Nugraha, S.Sos., M.Si. | Pimpinan Umum: Makruf Dwi Prasetyo, Pimpinan Redaksi: Rizqi Mutiara Ningrum, Editor: Roni Widodo, Layouter: Bondan Prakoso, Ilustrator: Hanif Dwi Nurani, Adi Setiawan, Reporter: M. Rauuf Oktavian, Siti Indayani, Adi Setiawan, Ana Rahayu, Sriajeng Risang Ayu, Sri Puji Utami