PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
I
II
| Ecpose Indie Book
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | III
Š 2017 LPME ECPOSE Tim Penyusun: Adi Hardianto Nugroho Affrizal Andifahmi Elma Ariella Khoriqul H. Fransiska Riski Puspawinarni Hudi Darmawan Ilham Faurizal Rahman Inten Tamimi Muhammad Subahillah Nanda Ayu Eka S.
Nayla Rizqi Kholifandari Niken Kristiana Putu Ayu D. P. S Res Mineke Kin Kaori Reza Aditya S. P. Savira Nurwahyuni Siti Khotijah Totok Handoko Triana Novitasari
Desain Cover: Hudi Darmawan Tata Letak dan Ilustrasi: Triana Novitasari Penerbit Lembaga Pers Mahasiswa Ekonomi (LPME ECPOSE) Jl. Jawa No. 17 (Kompleks UKM FEB UNEJ) Jember 68121 Email: lpm_ecpose@gmail.com Cetakan I, November, 2017 XII + 193 hlm.; 12 x 18 cm
IV
| Ecpose Indie Book
DAFTAR ISI
Gores Pengantar [ VII ] Bagian 1 : Menulis Menulis [ 3 ] Mulai atau Tidak Sama Sekali [ 7 ] Cemburu [ 11 ] Lek Cuma Nulis Ngene, Arek Teka Yo Iso [ 17 ] Bagian 2 : Buku Eksistensi Sang Jendela Dunia [ 25 ] Paperback or E-book?? [ 29 ] Buku Bajakan: Terlarang namun Sukar Dilarang [ 33 ]
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
V
Polemik Penggunaan Buku di Kalangan Siswa [ 39 ] Batu Gunting Kertas [ 45 ] Bagian 3 : Perempuan Perempuan dan Sebab Tangisannya [ 51 ] Bayang-Bayang Ancaman Problematika Perempuan [ 57 ] Hak-Hak Wanita dalam Kukungan Patriarkisme [ 61 ] RACUN (Antara Media dan Perempuan) [ 65 ] Bingkai Media dalam Berita Pemerkosaan [ 71 ] Bagian 4 : Tahun Baru Satu Momen Berjuta Asa dan Makna [ 83 ] Tahun Baru [ 87 ] Fenomena Pergantian Tahun [ 91 ] Tahun Baru Bukan Berarti Awal Yang Baru [ 93 ] Tradisi Untuk Lebih Baik Dari Tahun Sebelumnya [ 97 ] Pelarangan Perayaan Tahun Baru [ 101 ] Label ‘Halal’ Untuk Perayaan Tahun Baru [ 105 ] Malamku di Penghujung Tahun [ 111 ] Tak Ada Yang Spesial [ 115 ] Bagian 5 : Kopi Ngopi Tak Melulu Kopi [121 ] Ketika Kopi Tak Lagi Panjang Berkisah [ 125 ] Secangkir Nostalgi, Setangkup Harap [ 129 ]
VI
| Ecpose Indie Book
Cappuccino Ngopi Kenangan [ 135 ] Ngopi Tak Sekedar Minum Kopi [ 137 ] Akulah Kopi [ 141 ] Ngopi & Kawan-Kawannya [ 147 ] Secangkir Kopi Dari Mimpi [ 155 ] Menatap Keheningan [ 165 ] Bagian 6 : Senggang Mencoba Bergairah (Lagi) [ 169 ] Nada Dalam Kesendirian [ 181 ] Terpelajar, Maka Adil [ 185 ] Mengutip [ 189 ]
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | VII
VIII | Ecpose Indie Book
GORES PENGANTAR
B
erawal dari grup sosial media yang notabene telah beberapa kali berganti rencana, akhirnya pembuatan Indie Book menjadi pilihan selepas yang lain hanya wacana. Ya, setidaknya sebagai hasil nyata, juga pelipur lara dari kegagalan berlibur di Banyuwangi dan bermalam di surganya Gunung Semeru, Ranu Kumbolo. Seiring pergantian rencana, nama grup juga terus disesuaikan, hingga terpilihlah grup bernama Sarapatos. Entah dari siapa usulan nama itu, yang pasti tidak semua penghuni grup paham dengan arti katanya, mengingat beberapa penghuni yang berprinsip “pokok manut� seperti saya ini, si penulis pengantar. Para penghuni tidak lain merupakan penghuni tetap Rumah
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | IX
Orange berlabel ECPOSE tertulis dengan huruf besar di tembok bagian depan rumah. Tidak hanya melalui saling balas chat via WhatsApp di grup Sarapatos, pengambilan keputusan pembuatan Indie Book ini melewati perbincangan panjang di warung kopi. Warung kopi yang di kunjungi juga tidak hanya stagnan disatu tempat. Kami gilir mulai dari warung kopi Ndalung di Jalan Tidar, Arongan di Jalan Riau, Markesot di Jalan Belitung, duduk beralas banner di depan Kantor Radio Prosalina, bahkan kadang di Rumah Orange yang disulap jadi warung kopi semalaman. Isi Indie Book ini merupakan tulisan dari para penghuni grup Sarapatos sendiri. Diambil dari hasil writing challenge, postingan blog usang yang sengaja dibaca lagi dan ditambah-tambahi, ada juga yang mendadak nulis dengan keluhan kesulitan merangkai kata setelah lama vakum menulis. Tulisan-tulisan tersebut kami satu padukan dengan harapan efek positif bagi kami pun para pembaca sekalian. Jangan tanya benang merah dari blue print Indie Book ini, karena kami sama sekali tidak menetapkan tema pasti atau bahkan rapat redaksi ala pembuatan tulisan di media resmi. Silahkan saja komen atau sekedar ketawa nyinyir akibat adanya salah ketik, berlainan persepsi, atau ketidak-nyambungan penulis dalam
X
| Ecpose Indie Book
memadukan tiap kalimat. Sesungguhnya semua itu adalah kesenangan pembaca dan renungan bagi penulis untuk tetap Mau menulis. Selamat Membaca!
Jember, November 2017
Nayla Rizqi Kholifandari Ketua Umum LPME Ecpose (2016-2017)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | XI
XII | Ecpose Indie Book
BAGIAN 1 Menulis
“Menulis butuh keberanian, berani untuk berbeda, berani untuk berada di kesunyian, berani untuk menulis peliknya kamu tanpa kamu tutup-tutupi. Dan ketika kamu mulai hanyut akan menulis, maka keberanian itu sudah melekat dalam dirimu.�
(Inten Tamimi)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
1
2
| Ecpose Indie Book
Menulis Oleh: Inten Tamimi
“Kamu tahu hal ternyaman ketika tak ada yang memahamimu, adalah sendiri dalam kesunyian, dan saat sunyi itu tiba, cobalah tuk menulis.�
T
ak ada yang menjamin seseorang akan menuruti katakataku, hilangkan penatmu dengan menulis. Mana mungkin? Menulis itu buang-buang waktu, menulis itu melelahkan. Tak ada yang benar maupun salah, karena semua berhak berpendapat. Menulis buang-buang waktu, iya memang. Kita dipaksa menerbangkan lamun kita untuk kemudian menuangkannya dalam bentuk aksara.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
3
Tapi selanjutnya lihat esensinya, kita akan jauh lebih terobati ketimbang kita tak menuliskan apa-apa, karena segala penat, rasa jengah harus dikeluarkan, bukan? Jika tak kau keluarkan, maka seterusnya hatimu gelisah, Jika tak berani mengungkap, maka beranilah menulis. Menulis itu melelahkan, sangat benar. Aku benci melarutkan diriku dalam ambang-ambang kesedihan, karena ketika aku harus menulis, maka aka harus mengeruk segala kejadian haru biru yang kulalui. Lelah karena kita harus berpikir, Lelah karena kita harus bermain perasaan, perasaan mengolah kata. Tapi, memang itulah bagian indahnya. Dan aku bukanlah tipe story-teller yang baik, hanya pada orang tertentu saja aku berani bercerita. Selebihnya aku memilih menulis. Esensinya adalah aku tak pernah hilang arah untuk bercerita, menulis juga bisa menjadi media bercerita. Jika tak berani mengungkap, maka beranilah menulis. Menulis butuh keberanian, berani untuk berbeda, berani untuk berada di kesunyian, berani untuk menulis peliknya kamu tanpa kamu tutup-tutupi. Dan ketika kamu mulai hanyut akan menulis, maka keberanian itu sudah melekat dalam dirimu. Berani untuk berbeda, kamu mencoba beda ketika menjadikan menulis adalah bagian dari dirimu. Ketika sunyi datang, tangan–tangan mungilmu mulai
4
| Ecpose Indie Book
memijat tombol-tombol untuk sekedar mengetik sebuah tulisan. Karena memang menulis adalah pekerjaan yang sunyi. Tak ada manusia yang benar-benar bisa menang dari rasa sunyi. Berani menulis peliknya kamu, tak ada yang tahu dirimu dengan sangat jeli, kecuali dirimu sendiri yang tahu persis. Karena kita jualah yang menetralisir segala apa yang menimpa kita. Tentang rumitnya kamu, tentang jengahnya kamu maka marilah menulis untuk sekedar alat perenungan diri. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
5
6
| Ecpose Indie Book
Mulai atau Tidak Sama Sekali Oleh: Nanda Ayu Eka S.
P
ernahkah kamu mencurahkan apa yang pernah kamu alami dalam sebuah buku harian? Jika pernah, bagaimana perasaanmu setelah menuliskannya? Jika ditanya demikian, tentunya akan didapatkan jawaban berbeda dari masing-masing orang. Akan ada yang mengatakan, dengan menulis perasaannya lebih lega, dan ada pula yang mengatakan biasa saja, karena menulis hanyalah sekedar hobi dalam menyuratkan sebuah peristiwa dengan menyusun kata demi kata dalam tiap lembarnya. Namun keduanya memiliki kesamaan, sama-sama menulis. Lantas, apa hakikat dari menulis sebenarnya? Menurut para ahli, menulis adalah aktivitas seluruh otak
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
7
yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika). Keduanya harus saling bekerja sama. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan dua hal mendasar, yaitu ketenangan dan keberanian. Mengapa demikian?. Pertama adalah ketenangan. Pikiran yang tenang akan membuat tulisan yang dihasilkan menjadi lebih maksimal, ide-ide segar seringkali muncul dalam kondisi demikian. Jangan menempatkan dirimu dalam tekanan, karena menulis adalah sebuah kebebasan. Kebebasan tanpa batas yang dapat dijadikan sebagai media dalam menyuarakan apapun. Poin kedua adalah keberanian. Tulis.. tulis.. dan tulis, jangan sesekali kamu hapus tulisanmu sebelum benar-benar selesai. Kebiasaan mengedit dalam proses penulisan akan mengganggu konsentrasi dan akan meghilangkan fokus awal tulisan yang sudah ditentukan. Banyak orang berasumsi bahwa menulis itu susah,banyak hal yang harus dikuasai, butuh membaca ini dan itu. Bahkan dalam menulis harus diperhatikan berbagai macam teknik, penggunaan bahasa maupun tanda baca yang baik, dan masih banyak lainnya. Benar-benar ruwet. Akan tetapi jika kamu benar-benar ingin belajar menulis, patahkan persepsi tersebut. Pada dasarnya, semua orang bisa menulis. Ibarat pisau yang harus selalu diasah, menulispun juga demikian. Perlu banyak latihan dan latihan. Menulis bisa dimulai dari
8
| Ecpose Indie Book
hal yang paling mendasar, seperti menulis dalam buku harian, menulis cerita pendek, atau bahkan menulis puisi. Tetapi juga jangan salah diartikan, tanpa membaca pun kita bisa menulis. Hal tersebut tidaklah benar. Berdasarkan situs kompasiana.com dikatakan bahwa menulis dan membaca adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Menulis secara tidak langsung akan memaksa kita untuk membaca. Penulis yang hebat akan selalu mencari pembenaran-pembenaran atas apa yang sudah dituliskannya. Dari manakah pembenaran tersebut diperoleh? Tentunya dari kegiatan membaca. Terlalu sempit memang jika kita menganggap bahwa kegiatan menulis hanyalah sebatas tulisan dalam catatan buku harian, untaian kata-kata puitis dalam sebuah puisi, dan rangkaian kalimat-kalimat yang akan tersusun apik menjadi suatu cerita. Namun tulisantulisan ringan inilah yang nantinya akan membawa kita untuk terus belajar, karena sejatinya menulis adalah sebuah proses. Proses tanpa batas jika ingin tahu kebenaran tentang apa yang ada di dalamnya. Lantas jika menullis hanyalah masalah keberanian, masihkah kamu takut untuk menuangkan apa yang kamu punya di dalam sebuah tulisan? []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara |
9
10 | Ecpose Indie Book
Cemburu Oleh: Putu Ayu D. P. S.
Warung ‘Bulek’, dua belas-dua belas-dua ribu enam belas. “Kalau aku yang jadi Pimred (Pemimpin Redaksi, red) dari siksakampus.com, baca awal tulisanmu sudah aku tolak. Tulisanmu jelek, dangkal dan terlalu bertele-tele. Ga cocok. Klise. Ciptakan hal lain,” kritik pake nada alus tapi nyelekit. -Sadam ‘Laki-laki kardus’-
P
ertama-tama ijinkanlah saya mengutip kata mutiara dari salah seorang komedian ternama asal Kecamatan Jelbuk, Sarip atau nama bekennya Andi untuk menanggapi kritikan di atas. “Oh mayak. Sempak Mamel,” pisuhku masih dengan muka manis. Teringat
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 11
betul dalam benakku jauh melampaui kenangan soal mantan yang pergi karena selingkuh. Malam itu, mereka bertiga sebut saja Sadam, Sarip dan Basit mengajakku ngopi. Tujuannya untuk mengkoreksi tulisan yang telah aku kirim ke email siksakampus.com. Aku menyetujui ajakan mereka dan memutuskan untuk bertemu di Warung ‘Bulek’. Ilham, satu-satunya anggota magang di LPME Ecpose mengantarku ke sana. Dalam perjalanan aku mencoba menenangkan diri. Saat seperti ini, jujur aku takut menghadapi mereka bertiga terutama Sadam. Kritik dan ejekkan-ejekkan kecil untuk tulisanku pasti akan mengalir deras dari mulut mereka tanpa ampun. Jadi aku harus melapangkan dada dan legowo menerima itu semua demi proses yang lebih baik. Aku sampai duluan disana. Selang beberapa menit mereka datang dengan gaya selenge’an lalu menyuruhku duduk dan mengajakku main kartu, poker. Aku pikir mereka lupa soal tulisanku, ternyata tidak. Setelah kekalahanku main kartu poker. Sadam mengajukan tulisanku kepada Sarip untuk di baca. Belum usai dia membaca tulisanku, gelak tawa khas keluar dari mulutnya. Hingga akhir tulisan, ia kembali tertawa. Mukaku merah, aku menunduk dan sedikit menggaruk-garuk meja.
“Put, tulisanmu ini nggak cocok buat Siksa
12 | Ecpose Indie Book
Kampus. Coba kamu baca dulu tulisan-tulisan di sana,” ucapnya lalu pergi dan menyuruh Sadam untuk melanjutkan kritikan. Sekarang giliran Sadam. Aku berada tepat didepannya. Aku sangat malu. Usai membaca tulisanku, dia melempar senyum. Bukan senyum manis apalagi tulus, yang aku tahu itu senyuman sedikit mengejek. Dia membuka mulut dan... “Put, tulisanmu ini gak cocok buat Siksa Kampus. Tapi tulisanmu ini sangat cocok kalau dimuat di blog Lembah Melupa,” ucapnya dan kembali tersenyum. Lembah Melupa adalah nama blogku. Hampir semua isinya soal curhatan dan tulisan menye-menye kesenduhan hati. Sedangkan Siksa Kampus merupakan website hitz (mungkin, ini hanya opiniku) di kalangan persma terutama Jember. Berisi tulisan-tulisan satire soal kehidupan mahasiswa dan kampus dengan slogannya ‘Mari bercanda dengan serius’. Jika mencari pengertiannya di KBBI satire merupakan gaya bahasa yang sifatnya sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Penyampainya dalam bentuk ironi,sarkasme, atau parodi. Selain Siksa Kampus, gaya penulisan seperti ini dipakai Mojok.co dan Voxpop.id. Huft… Yah, satire bukan sendu. Ini kesalahan fatal dalam tulisanku, beda jenis dan gaya bahasa. Tidak itu saja tulisanku juga dikritik karena kedangkalannya dan tidak fokus.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 13
Mengutip perkataan filsuf tapi penjelasaanya setengahsetengah. Lead juga tidak jelas, tidak menjelaskan isi tulisan. Hmmm, terlalu banyak kesalahan dalam tulisanku. Pada akhirnya, aku disuruh menulis ulang dengan pembahasan yang berbeda. Aku hanya bisa menghela nafas dan mengatai diri-sendiri “Tulisanmu masih saja jelek. Aku cemburu pada mereka.Kapan tulisanku bisa sebagus mereka?� gerutuku dalam hati. Cemburuku akan selalu membuncah, saat membaca beberapa tulisan karya teman terdekat di blog pribadinya. Salah satunya adalah teman yang telah mengkritik tulisanku tadi. Aku masih takut cemburu dengan para penulis ternama misal Afrizal Malna, karena terlalu musykil untuk di capai (yang terdekat saja susah dicapai apalagi yang terkenal). Paling-paling berhenti di rasa kagum lalu, cuk! Tulisanne sadis, khayalanne ga masuk akal. Cemburuku pun tidak seperti Padi. Hingga terbakar apalagi buta. Cuman sedikit nyelekit aja di hati. Sudah sejauh ini, nulis aja masih jelek. Ini baru tulisan santai, belum berita. Boro-boro deh mau pake omongan abang Pram ‘Menulis adalah bekerja untuk keabadian’ apalagi mau jadi perempuan progresif-revolusioner ala Kartini. Sok-sok’an mau nulis buat nerbitin terang di tengah kegelapan. Nulis buat diterbitin di media sendiri
14 | Ecpose Indie Book
aja masih ogah-ogahan. Sadar diriku! Puluhan saran kudapat dari internet dan temanteman yang aku anggap sudah cukup baik dalam hal tulis-menulis soal tips dan trik agar tulisan bisa bagus. Misal, harus buat kerangka tulisan dahulu, pilih topik yang renyah dan lagi booming, coba pakai kutipan lagu, puisi atau kata-kata filsuf dalam tulisan. Hingga bagaimana cara mengatasi writer’s block, pakai lead yang bagus, dan juga anjuran membaca Seandainya Saya Wartawan Tempo. Semuanya sudah aku baca dan terima. Tapi tetap saja, kebuntuan melanda dan hasil tulisan masih saja ga karu-karuan. Itu terjadi karena aku jarang menulis dan membaca. Pernah di suatu ketika aku membaca salah satu artikel milik penulis buku Agama Saya Jurnalisme, Andreas Harsono, di website pribadinya. Judulnya ‘Menulis butuh tahu dan berani’. Secara sederhana dia memaparkan bagaimana seharusnya menulis itu. Mengetahui dan berani itu kuncinya, serta kebiasaan dan pengalaman agar tulisan semakin baik. Proses bertahap itu perlu. Jadi aku pikir, tips dan trik itu tidak berguna tanpa adanya praktek secara kontinu dan cemburu akan terus ada. Tapi cukup bermanfaatlah cemburu itu, kalau bukan karena aku cemburu terhadap tulisannya. Mungkin aku enggak akan pernah buat blog dan memberanikan diri menulis disana. Meski diawali
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 15
dari curhatan menye-menye. Yang terpenting cemburuku ini harus naik kelas. Kalau aku sudah selesai cemburu denganmu aku ingin lah cemburu dengan penulis terkenal misal penulis buku Kepada Apakah. Buku yang kamu pinjami beberapa minggu lalu. Hehehe... []
16 | Ecpose Indie Book
Lek Cuma Nulis Ngene, Arek Teka Yo Iso Oleh: Totok Handoko
S
ampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang dengan perkataan Haes (singkatan nama) tadi malam. Sebenarnya dia juga korban. Korban ulah seseorang yang tinggal jauh di pulau Sumatra sana. Saat dia coba menunjukkan beberapa karyanya yang berupa tulisantulisan. Dia dikatain,�Lek cuma nulis ngene, arek teka yo iso.� Teng. Saya diam. Pikiran saya mulai ngelantur. Ini yang nulis Haes. Kok sampai segitu-ex dikatainnya. Saya tahu sendiri kapasitas seorang Haes seperti apa. Yang jelas bertrap-trap jauh di atas saya yang lugu ini. Lucu. Guoblok. Atau saya salah duga. Saya harap tidak. Karena saya lebih banyak takjubnya ketika denger dia
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 17
bercerita. Wah, saya jadi bertanya-tanya. Seperti apa rupa tulisan itu. Kalau-kalau ada dan dibawa, saya ingin sekali membacanya. Maklum, saya sukanya juga isengiseng menulis. Buat barometerlah. Saya takutnya, kalau kira-kira tulisan itu jauh begitu elegan dari tulisan saya yang amburadul mirip rambut saya yang kriwul dan jarang disisir. Lalu masih saja dicerca. Lantas bagaimana dengan nasib hasil keisengan saya ini. Bisa berabe. Hingga pulang, rasa penasaran saya belum terjawab. Si Haes tidak banyak cerita tentang tulisannya. Tapi dari kejadian itu, dia ambil baiknya saja. katanya, ketika orang masih memberikan tanggapan pada tulisan atau apapun yang kita buat, maka masih ada daya pengaruh magisnya. Gitu katanya. Sedikit saya bumbuhi sih. Berarti si Haes ini masih dipandang, entah sebelah mata, atau empat mata. Tapi bukan empat matanya tukul. Ada yang runyam ya. Cari‌ Lalu setelah pikir yang agak panjang, lantar polo saya ada di dengkul, saya cuek abis. Saya nulis, ya nulis. Tak peduli urusan orang. Apalagi kata orang. Kalo yang baca bisa nyengir, itu yang saya harapkan. Tapi kalo bisanya manyun, saya sarankan mending segera cari tulisan yang lebih mutuan dikit.
Saya gak dong. Kan orang sudah cukup dibuat
18 | Ecpose Indie Book
pening dengan rutinitasnya. Apalagi dengan kabar berita yang isinya derita melulu. Dengar kabar gembira, malah tanggapanya jelek. Kan iya. Ketika anggota dewan kita sibuk mengadakan renovasi dan pambangunan sanasini. Kan itu menandakan uang kita banyak. Negara kaya. Kaya monyet. Hahaha‌*ketawapuas* Oia, ini alasan saya menyarankan segera cari tulisan yang lebih mutuan. Kan gini, saya punya beberapa teman. Saya tahu betul bagaimana muka mereka satu persatu. Nah, saya tak habis pikir kalo membayangkan muka kawan-kawan saya ini. Lha wong muka gak manyun aja udah pada rusak, apalagi kalu habis baca tulisan saya, mukanya dilipet-lipet kaya tisu toilet. Hwaduh‌ Memang ya, tiap polo memilliki isi yang berbeda. Eh, tapi kata orang yang saya anggap bisa nulis, tiap-tiap pembaca berhak datang pada tiap-tiap tulisan, dan kembali dengan diri masing-masing. Itu yang tidak akan pernah saya abaikan. Biasalah, tulisan saya dicerca. Jelek. Yang nulis homo. Tulisan ngawur. Dan apalah. Tapi, I’m is me. Hehe, minjem istilah yang dipakai temen-temen beberapa lama lalu. Emang enak kok kalo nulis itu dilandasi rasa senang dan kasih humor. Karena tidak ada deadline. Dan juga tidak ada tuntutan harus bagus. Paling mentok ya beberapa orang yang keseret
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 19
dalam tulisan, jadi mangkel-mangkel sendiri. Ada yang bilang, �Kenapa saya jadi tampak sangat aneh ya di tulisan ini? (dan bodoh) :D :D :D.� Tapi gakpapa. Kan masih ada emoticon ketawanya, berarti tak semanyun yang saya bayangkan. Saya kepaksa harus ngaku. Saya orangnya suka tidak terimaan. Apalagi kalo sama orang yang saya anggap polonya lebih kecilan. Wah, saya harus melayang-layang di atas angin terus. Maklum, darah muda. Sedikit foya-foya dan busung dada. Kadang kalo tak punya uang, ya jadinya busung lapar. “Untuk yang sedang sibuk mengejar mimpi, jangan lupa jaga kesehatan :)� Nah, kalo tanggapannya seperti itu, bisa membunuh saya. Dengan rasa ge-er yang berlebihan. Saya langsung klepek-klepek ditimpanya. Saya baca berulang-ulang tulisan saya. Saya teliti dengan cermat. Apa hebatnya. Lha saya nulis itu untuk alibi saya yang sukanya bangun kesiangan. Mungkin si dia punya pandangan yang beda. Atau jangan-jangan sengaja menjebak saya. Biar saya bener-bener ge-er abis. Eits, tapi apa benar dia nulis gitu buat saya. Ah, biar saja. Saya anggap iya. Jarang-jarang saya dapat apresiasi sebaik itu. Inilah lucunya. Panulis. Pembaca. Jadi kalo saya paksa polo saya untuk mikir, benar apa yang dikatakan
20 | Ecpose Indie Book
pak Sulak. “Tiap-tiap pembaca berhak datang pada tiaptiap tulisan, dan kembali dengan diri masing-masing.� Itu yang tidak bisa dan boleh diganggu gugat. Dan saya harap, tidak lagi ada pencekalan. Hehe... []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 21
22 | Ecpose Indie Book
BAGIAN 2 Buku
“Sebagian besar orang menganggap membaca buku mengakibatkan stres dan beban berpikir yang berlebihan, tidak banyak yang menyadari jika dengan buku kita dapat berelaksasi dan berpikir lebih bebas.�
(Elma Ariela Khoriqul H.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 23
24 | Ecpose Indie Book
Eksistensi Sang Jendela Dunia Oleh: Elma Ariella Khoriqul H.
B
uku adalah jendela dunia, dengan buku kita dapat memperluas wawasan dan pengetahuan. Setiap cerita, ide ataupun gagasan yang tertuang dalam buku yang telah kita baca dapat membantu membuka jalan pikiran kita entah untuk memecahkan permasalahan atau hanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam. Sebagian besar orang menganggap membaca buku mengakibatkan stres dan beban berpikir yang berlebihan, tidak banyak yang menyadari jika dengan buku kita dapat berelaksasi dan berpikir lebih bebas. Membaca buku dapat meningkatkan kualitas memori otak dan melatih keterampilan dalam berfikir juga analisa. Bahkan menurut studi yang dilaporkan National
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 25
Academy of Science, Amerika Serikat, menemukan bahwa orang yang menggunakan kemampuan kognitif seperti membaca buku secara optimal pada usia pertengahan berisiko lebih rendah menderita Alzheimer. Namun, manfaat tersebut seakan tidak membuat masyarakat tergiur untuk lebih banyak membaca buku. Berdasarkan studi Most Littered Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara terkait minat baca. Kondisi ini mencerminkan bagaimana popularitas buku di Indonesia saat ini. Banyaknya ruang baca, berdirinya perpustakaan dan beroperasinya perpustakaan keliling di Indonesia seakan tidak bisa menjadi tolok ukur popularitas buku dan minat baca di masyarakat. Jendela dunia Indonesia sedang memprihatinkan. Di era yang serba digital ini masyarakat cenderung apatis dan malas membaca buku. Mereka lebih banyak bergelut dengan smartphone yang selalu ada di genggaman, mengakses sosial media dan game online telah menjadi kebiasaan. Persaingan buku dan kecanggihan teknologi seakan tiada henti. Buku yang pernah menjadi primadona karena bentuknya yang mudah dibawa kini mulai tergeser dengan smartphone yang praktis dengan berbagai suguhan informasi. Hanya dengan mengetik beberapa kata kita dapat menemukan informasi yang
26 | Ecpose Indie Book
kita inginkan melalui internet. Bahkan di dunia maya kini telah tersedia literatur online seperti e-book yang lebih simple sehingga sedikit demi sedikit menurunkan minat pembaca buku cetak. Kondisi tersebut menyebabkan perpustakaan terlihat lengang dan surut pengunjung, sedangkan kita dapat menjumpai keramaian yang luar biasa di tempat-tempat yang dipenuhi akses internet. Tidak banyak pengunjung perpustakaan yang datang untuk benar-benar membaca buku, sebagian besar mengunjungi perpustakaan hanya untuk mengerjakan tugas skripsi, mencari buku referensi yang dianjurkan guru ataupun dosen dan hanya memanfaatkan fasilitas pendingin ruang perpustakaan. Eksistensi buku di masa depan memang tidak ada yang tahu. Rendahnya minat baca menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sebaran buku saat ini. Mengakses e-book tidak menjamin masyarakat benar-benar memberi perhatian terhadap minat baca karena jika telah terkoneksi internet tidak menjamin kita akan fokus terhadap satu hal yang kita baca. Semua bergantung pada kesadaran masing-masing, untuk membangun diri menjadi pribadi yang lebih maju dapat dilakukan dengan meningkatkan kemauan untuk membaca sehingga tanpa disadari kita juga turut meningkatkan eksistensi buku. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 27
28 | Ecpose Indie Book
Paperback or E-book?? Oleh: Savira Nurwahyuni
S
eiring perkembangan waktu, arti kata buku bukan lagi lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong, kitab (sumber : KBBI). Buku memiliki makna yang sangat luas, bahkan secara fisik buku tidak lagi hanyalah kumpulan kertas. Secara fisik, kita dapat menjumpai dua macam buku yaitu buku yang berupa lembaran-lembaran kertas yang disatukan atau kita sering menyebutnya dengan paperback dan buku elektronik atau e-book. Tentu perbedaan antara paperback dan e-book tidak hanya dari segi fisik saja. Ada beberapa perbedaan diantara keduanya yang berdampak pada selera pembaca.
Tidak sedikit pembaca yang memiliki perbedaan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 29
selera antara paperback dan e-book menjadi saling serang. Biasanya, pembaca paperback menganggap bahwa pembaca e-book adalah orang-orang yang tidak mau keluar usaha ekstra dan cenderung pemalas. Sedangkan pembaca e-book beranggapan bahwa pembaca paperback adalah orang-orang yang kuno dan tidak dapat memanfaatkan teknologi secara baik. Sekali lagi, ini hanyalah biasanya bukan semuanya. Sebenarnya, sebelum memperdebatkan lebih baik mana paperback atau e-book terlebih dahulu pembaca harus tahu tentang paperback dan e-book. Buku (paperback) adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu yang berisi tulisan atau gambar. Dijaman yang serba canggih ini, buku masih menjadi referensi yang dinilai lebih terpercaya jika dibandingkan referensi lainnya. Dalam proses pembelajaran sejak di Taman KanakKanak hingga Perguruan Tinggi referensi utama yang digunakan adalah buku (paperback). Hal ini karena isi dari buku benar-benar berasal dari sumber yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bagi sebagian orang, sentuhan saat jari pada kertas pada saat membaca buku membawa sensasi tersendiri sehingga membuat di pembaca mudah larut didalamnya. Tidak sedikit juga mahasiswa yang merasa lebih nyaman mencetak e-book-nya menjadi paperback
30 | Ecpose Indie Book
agar lebih mudah memahami materi. Namun, buku memerlukan perawatan khusus agar tidak mudah rusak seperti disampul, dibersihkan, dan lain-lain. Sehingga perlu mengeluarkan biaya lebih untuk perawatan. Selain itu, buku juga memerlukan tempat penyimpanan yang besar agar terlihat rapi dan tidak mudah rusak, terutama bagi orang-orang yang memiliki banyak koleksi buku. E-book singkatan dari Electronic Book atau buku elektronik. E-book memiliki banyak format seperti pdf dan HTM. E-book yang berformat pdf cenderung lebih banyak di internet dan dapat dibuka dengan aplikasi Adobe Reader, Acrobat Reader, dan sebagainya. Sedangkan format HTM dapat digunakan dengan cara browsing atau offline dengan Internet Explorer. E-book sendiri sangat mudah dalam pengaplikasiaanya, cukup download e-book di internet lalu buka dengan software yang telah disebutkan sebelumnya. Harga yang relatif murah dan tidak sedikit e-book yang gratis menjadi daya tarik tersendiri bagi pelajar dan mahasiswa. Selain itu e-book ramah lingkungan, tidak memerlukan tempat penyimpanan yang besar dan juga anti rusak. Namun, membaca e-book terlalu lama di layar monitor membawa dampak yang buruk baggi mata. Harga e-book yang relatif murah bahkan gratis menyebabkan kualitas isinya tidak sebaik di paperback. Selain itu, sumber dan pertanggungjawaban penulis e-book biasanya patut
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 31
untuk dipelajari lebih lanjut. Sebenarnya, memilih e-book atau paperback semuanya kembali diserahkan pada selera dan kebutuhan pembaca. Apabila seorang pembaca ingin mempelajari sesuatu secara garis besar (karena misalnya terburu-buru harus paham materinya) dan ingin praktis, maka e-book menjadi pilihan yang tepat. Namun, jika pembaca akan menulis skripsi, tesis dan karya ilmiah lainnya yang memerlukan referensi terpercaya maka paperback lah referensi yang terbaik. Hakikatnya antara e-book dan paperback tidak pantas untuk dibandingkan, karena keduanya memiliki karakter sendiri yang akan saling melengkapi untuk menghapus dahaga ilmu si kutu buku. []
32 | Ecpose Indie Book
Buku Bajakan: Terlarang namun Sukar Dilarang Oleh: Triana Novitasari
S
uatu waktu seorang teman pernah mengirimkan pesan siaran di salah satu grup percakapan. Dalam pesannya, ia menyertakan foto setumpuk novel dan sebuah keterangan bahwa ia menjual novel-novel tersebut dengan kisaran harga 35-45 ribu rupiah. Saya sempat heran begitu melihat novel yang saya beli di Gramedia dengan harga 69 ribu, dia jual dengan harga 40 ribu. Setelah saya baca lebih rinci, ternyata novel yang ia jual adalah duplikatnya, namun didesain sedemikian rupa sehingga penampilannya mirip dengan yang asli. Bukan kali pertama saya menjumpai hal tersebut. Ketika saya menempuh salah satu mata kuliah, dosen mereferensikan buku dari seorang penulis.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 33
Seminggu kemudian saat kelas berlangsung, dua teman saya membawa buku yang serupa tetapi harganya jauh berbeda. Setelah diusut rupanya salah satu buku dibeli di pasar loak dan yang satu lagi dibeli di Gramedia. Sekilas keduanya nampak identik, yang membedakan hanya kualitas cetak dan jenis kertasnya. Dengan kertas yang lebih tipis dan cover yang sedikit buram, buku yang dibeli di pasar loak dapat diperoleh dengan harga 2 kali lipat lebih murah daripada yang dibeli di toko buku. Bicara soal buku murah, ada beberapa hal yang menyebabkan harga buku menjadi lebih murah daripada harga di pasaran. Bisa karena pembelinya membeli langsung dari penerbit, bisa karena buku yang dijual merupakan buku bekas, dan bisa juga karena buku tersebut diperbanyak oleh pihak yang bukan penerbit. Berdasarkan yang pernah saya alami, bukubuku murah tersebut sebagian besar ada karena dibuat duplikatnya. Buku-buku ini banyak dikenal sebagai buku bajakan. Dengan keterampilan manipulasi, produsen buku bajakan bisa menghasilkan buku yang serupa dengan buku aslinya dan dijual dengan harga yang lebih “merakyat�. Peredaran buku bajakan tentu membuat penulis geram. Bagaimana tidak, pikiran dan tenaga sudah dicurahkan untuk menghasilkan sebuah buku,
34 | Ecpose Indie Book
ketika sampai di pasar hasil buah pikirannya malah dijiplak dan diperbanyak tanpa izin. Terlebih penulis tidak memperoleh hak royalti dari setiap buku bajakan yang terbit dan terjual di pasar. Tidak hanya penulis, penerbit pun hanya bisa merengut, ketika proses penyuntingan naskah, percetakan, hingga pemasaran dan distribusi buku menjadi sia-sia, saat ada pihak yang menggandakan serta menjual buku tersebut secara ilegal. Negara bukannya menutup mata dengan fenomena ini. Dikeluarkannya perundangan tentang hak cipta diharapkan mampu melindungi penulis, penerbit, maupun pencipta lainnya dari pembajakan karya. Ancaman hukuman yang didengungkan apabila melanggar undang-undang ini pun tidak tanggungtanggung, yakni 7 tahun penjara dan atau denda maksimal 5 miliar rupiah. Nyatanya, hal ini tidak menyurutkan geliat pembajak. Terbukti kios-kios buku bajakan tetap eksis sampai sekarang, bahkan seorang mahasiswa pun bisa menjadi distributornya. Layaknya hukum penawaran dan permintaan, buku bajakan akan terus ada selama konsumen mencari buku ini. Terlebih mahasiswa yang identik dengan hidup pas-pasan. Mereka tentu lebih memilih membeli buku bajakan yang rata-rata lebih murah 2 kali lipat daripada buku aslinya. Kalau bisa mendapatkan 2
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 35
buku dengan uang 100 ribu rupiah, untuk apa bergaya dengan beli buku asli tapi cuma dapat 1 buku? Alihalih membeli buku bajakan, ada pula yang memfotokopi keseluruhan atau sebagian dari isi buku sesuai dengan yang diperlukan. Jangankan mahasiswa, perpustakaan kampus pun tidak jauh berbeda. Beberapa literatur juga ada yang hasil fotokopi, terutama buku-buku terbitan luar negeri yang harga aslinya selangit. Keberadaan buku bajakan dan aksi fotokopi buku memang tak mudah diberangus dari kehidupan mahasiswa maupun masyarakat lainnya. Pada satu sisi mahasiswa antusias membeli buku untuk memenuhi kebutuhan literasinya. Namun di sisi lain keterbatasan ekonomi harus dihadapkan dengan harga buku yang terlampau mahal. Pembajak buku mungkin telah melanggar hukum karena mengambil keuntungan dengan menjadi parasit di “isi kepala� para penulis, namun mereka tidak bisa dicap bersalah sepenuhnya. Bagaimanapun buku murah yang mereka distribusikan turut mengiringi perjalanan mahasiswa hingga para akademisi ini dapat menjadi sarjana. Hukum telah ditetapkan dan ancaman sudah dilayangkan. Namun setegas apapun tindakan dan hukuman yang dialamatkan kepada para pembajak, tidak akan efektif selama negara tidak mempermudah akses masayarakat dalam memperoleh buku dengan
36 | Ecpose Indie Book
harga yang terjangkau. Subsidi pendidikan tidak melulu harus melalui dana beasiswa, tetapi bisa juga dialirkan ke pengadaan buku, sehingga pelajar maupun mahasiswa dapat memperoleh literatur yang relevan dengan harga yang relatif murah. Undang-undang hak cipta tentunya hanya akan menjadi hitam di atas putih apabila hanya berupa uraian yang mengintimidasi para pembajak, diperlukan pula kepedulian dari negara untuk mengedarkan buku-buku berkualitas yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Jika buku murah benar-benar terwujud, kiranya masyarakat akan lebih banyak membeli buku asli, sehingga para pembajak buku lambat laun akan merasa bahwa membajak buku tidak lagi menjadi ladang yang menguntungkan. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 37
38 | Ecpose Indie Book
Polemik Penggunaan Buku di Kalangan Siswa Oleh: Siti Khotijah
“Dont jugde the book by the cover.�
J
angan menilai buku dari sampulnya, tapi jika kita ingin membeli buku tentu saja harus melihat sampulnya terlebih dulu, membaca sinopsis dari sampul belakang juga melihat judul dan nama pengarang di sampul depan, karena ekspektasi kita terhadap buku tersebut tercermin dari sampulnnya. Tapi kita tidak akan membicarakan tentang bagaimana cara menilai buku yang baik lewat sampulnya, karena sepertinya semua orang tahu bagaimana caranya. Bicara tentang buku, sepertinya benda ini tidak lagi asing, semua orang
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 39
tahu benda ini karena sering kita jumpai disekitar kita, khususnya bagi anak sekolah yang menjadikan buku merupakan kebutuhan pokok. Dari taman kanak-kanak hingga ke bangku kuliah buku menjadi kebutuhan pokok sebagai penunjang proses belajar mengajar, terutama pada siswa tingkat menegah yang wajib memiliki buku sebagai penunjang proses pembelajaran. Mungkin sebagian dari kita pernah merasakan sewaktu masih duduk di bangku SMP dan SMA, masamasa dimana harus membawa sekarung buku untuk pelajaran sehari. Untuk satu mata pelajaran saja para siswa membutuhkan buku paket, buku LKS (Lembar Kerja Siswa), buku catatan, dan terakhir buku tugas. Sehingga para siswa SMP dan SMA sudah terbiasa sehari-hari membawa tas punggung sebesar karung yang isinya buku dobel-dobel, khususnya bagi siswa yang bersekolah SMP atau SMA negeri. Para siswa membawa buku dalam jumlah tersebut juga bukan tanpa sebab, karena standar tidak resmi yang akhirnya malah diresmikan oleh sekolah-sekolah (kebanyakan sekolah negeri) memang mengharuskan siswanya untuk membawa buku berlapis-lapis. Pihak sekolah atau lebih tepatnya setiap guru mewajibkan siswanya untuk punya buku paket sekaligus LKS yang tentu saja harus dibeli, sebab bukannya tidak boleh pinjam, namun para siswa tidak bisa meminjam karena setiap
40 | Ecpose Indie Book
tahun buku yang digunakan berbeda jadi tidak bisa meminjamnya dari kakak kelas. Mungkin ada beberapa buku yang masih bisa dipinjam dari kakak kelas namun hanya dua atau tiga buku saja, sedangkan untuk meminjam diperpustakaan tidak ada buku yang sama persis meskipun masih dapat digunakan. Mewajibkan membeli sejumlah buku tidaklah dipermasalahkan ketika tujuannya sudah jelas (tentu saja tujuannya jelas, untuk belajar tentunya). Memang tujuan membeli buku sejatinya untuk menunjang proses belajar mengajar di sekolah, namun apa harus buku yang digunakan berdobel-dobel, disini yang membuat permasalahan adalah, yang pertama para guru terkesan mendesak agar setiap siswa wajib memiliki buku yang lengkap tentu saja hal ini memberatkan sebab buku yang digunakan untuk satu mata pelajaran saja memiliki dua sampai empat jenis (buku paket, LKS, tugas, dan buku catatan) untuk buku tugas dan LKS mungkin tidak terlalu memberatkan, di samping harganya tergolong terjangkau para siswa juga membutuhkan buku ini untuk mengerjakan soal. Namun untuk pembelian buku paket (semacam buku referensi di kala perkuliahan) yang fungsinya untuk memberikan pengetahuan kepada siswa seputar materi yang lebih mendalan, dari pada yang disajikan dalam buku LKS, maka pembelian buku ini tidak terlalu menjadi kebutuhan pokok jika
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 41
tujuannya hanya untuk digunakan sebagai referensi, karena guru masih memberikan materi yang nantinya akan dicatat oleh para siswanya, kemudian disekolah tentunya menyediakan sebuah perpustakaan yang tujuannya tentusa untuk menyediakan buku referensi bagi siswanya, kemudian siswa juga masih dapat belajar dengan cara menggunakan buku secara berkelompok misalnya untuk dua atau tiga siswa menggunakan satu buku paket saja. Yang kedua, memang pembelian buku paket juga penting tapi bukankah pembelian buku ini tidak perlu ditekankan kepada setiap siswa yang nantinya malah akan membebani. Harga buku paket yang dijual di sekolah memang berkisar Rp30.000 hingga Rp 50.000 namun apabila setiap mata pelajaran yang jumlahnya 12, kurang lebih jumlah yang harus dikeluarkan untuk membeli buku mencapai Rp500.000, belum lagi buku LKS dan buku tulis (untuk tugas dan catatan) yang masih harus dibeli. Dari pada setiap guru menekankan setiap siswanya untuk membeli buku yang terkesan dipaksakan, mengapa tidak fokus untuk membangun minat baca dikalangan siswanya saja. Apabila minat baca siswanya rendah, maka percuma saja meski mereka mempunyai buku referensi yang banyak nantinya juga tidak akan dibaca. Dengan mewajibkan siswa membeli
42 | Ecpose Indie Book
buku tidak akan menjamin tingkat keberhasilan siswa dalam memahami materi, lebih efektif apabila memantau cara belajar para siswa. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 43
44 | Ecpose Indie Book
Batu Gunting Kertas Oleh: Ilham Faurizal Rahman
Batu > Gunting
Gunting > Kertas
Kertas > Batu
Permainan kecil itu
Mudah dipahami dan dimengerti
Kertas lebih mudah dipakai zaman ini
Pena dan tinta maka jadilah sudah
Karena memahat bukan pekerjaan mudah
Apakah kita kalah, tuan? Ya, zaman memang sudah berubah
Kita hanya dikenal Raja.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 45
Presiden sudah mengenal kertas Batu tak bisa mengawasi Raja. Seperti kertas mengontrol pengurus negara Tapi tenanglah, kertas masih kalah dengan gunting
Orde baru dulu
Pram salah satu korbannya
Pembakaran buku di depan umum
Rakyat saksi mata tangisnya kala dipenjara
Permainan kecil itu ada benarnya Ada juga salahnya
Gunting dapat mengalahkan batu
1222 M dulu
Dandang Gendis, Raja Srengga yang kalah
Titahnya tak pernah ketemu
Batunya dirusak penakluk dari Tumapel-Singhasari
Upayanya mengabadikan diri ikut musnah
Karena kekuasannya telah mati
Permainan kecil itu harus terbukti ada salahnya
Kertas tak harus selalu tunduk pada gunting
Biarkan ia menjadi jendela dunia yang sesungguhnya
46 | Ecpose Indie Book
Biarkan ia menyuburkan cara berpikir rakyat kita
Jangan dimandulkan
Lalu batu pula demikian
Jaga ia seperti anakmu sendiri
Jangan dirusak, jangan dibuang
Meski pesannya tak dapat dimengerti
Setidaknya bisa dipakai foto selfie
Dan gunting
Ia harus tetap menggunting
Pada isi kertas yang tak layak
Yang cuma berkata hoax Serta pada perusak berkedok politik Atau apokaliptik []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 47
48 | Ecpose Indie Book
BAGIAN 3 Perempuan
“Namun anehnya, tidak hanya saat sedih, momen bahagia pun kadang perempuan lukiskan dalam bentuk tangisan, aneh bukan? Lantas, kenapa perempuan mudah sekali meneteskan air mata?�
(Nanda Ayu Eka S.)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 49
50 | Ecpose Indie Book
Perempuan dan Sebab Tangisannya Oleh: Nanda Ayu Eka S.
“Jangan menangis, menangis tidak akan pernah menyelesaikan apapun...“
M
ungkin kata-kata ini sudah tidak asing lagi bagi kita, kaum perempuan. Entah mendengarnya dari sahabat, teman, atau kakak, mereka sering berkata demikian ketika kita dihadapkan dalam masalah yang terkadang memuat kita ingin menyerah. Pada kondisi ini, menangis seperti jalan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Namun anehnya, tidak hanya saat sedih, momen bahagia pun kadang perempuan lukiskan dalam bentuk tangisan, aneh bukan? Lantas,
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 51
kenapa perempuan mudah sekali meneteskan air mata? Hasil riset yang dilakukan psikolog di University of Tilburg, Belanda, menunjukkan jika perempuan dan laki-laki sebenarnya sama-sama mudah menangis. Bedanya, laki-laki cenderung menangis pada saat positif, misalnya saat menikah dan menjadi seorang ayah. Sedangkan perempuan cenderung menangisi hal yang negatif, misalnya saat galau dan putus asa. Hanya ada satu momentum yang membuat perempuan dan laki-laki kompak saat menangis, yaitu saat merasa berduka dan kehilangan. Contohnya saja ketika seorang perempuan mengalami putus cinta, dan si perempuan berada pada kondisi masih mengharapkan laki-laki yang dicintainya untuk kembali bersamanya. Menurutnya, putus bukanlah keputusan yang tepat, terlampau banyak kenangan yang sudah diukir saat bersama. Benar-benar tidak dapat diterima. Mungkin pada kondisi demikian, banyak dari kita para perempuan meluapkannya dengan menangis.Berharap setelahnya, segala macam beban dan kenangan hilang terbawa dengan air mata yang sudah menetes. Selain contoh di atas, terdapat contoh lain. Misalnya, ketika perempuan melihat drama sedih yang ditayangkan di televisi, perempuan lebih mudah terharu, mencoba menempatkan dirinya pada keadaan demikian, dan lagi-lagi, akhirnya mereka menangis. Perempuan
52 | Ecpose Indie Book
lebih mudah menangis ketika daripada laki-laki, apalagi jika terdapat suatu hal yang menyentuh perasaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Vengerhoest, psikolog klinis, diketahui perempuan menangis 30-64 kali dalam setahun. Sedangkan laki-laki jauh lebih sedikit, hanya 6-17 kali. Ia melakukan penelitian survei terhadap lebih dari 5000 orang dewasa di belasan negara mengenai hal ini. Sungguh perbandingan yang sangat jauh berbeda. Kecenderungan perempuan untuk lebih mudah menangis dibanding dengan laki-laki memang bukan tanpa sebab. Ternyata terdapat faktor biologis yang membuat perempuan lebih mudah untuk menangis. Penelitian di tahun 1960 mengungkapkan, perempuan memiliki saluran air mata yang lebih pendek dan dangkal. Penelitian itu dilakukan dengan mengukur tengkorak perempuan dan laki-laki. Beberapa penelitian jangka panjang juga menunjukkan bahwa laki-laki memiliki saluran air mata yang lebih panjang di mata mereka. Sehingga kecil kemungkinan untuk membuat air mata ke titik tumpah dari kelopak mata ke pipi, ungkap Geoffrey Goodfellow, seorang profesor di Illinois College of Optometry di Chicago. Selain faktor diatas, kondisi hormonal terutama testosteron juga akan menghambat keluarnya air mata. Seperti diketahu kadar testosteron dalam tubuh laki-laki jauh lebih banyak dibanding perempuan. Pada pasien
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 53
laki-laki yang mengidap kanker prostat misalnya, mereka akan cenderung lebih emosional ketika diobati dengan obat yang menurunkan kadar testosteron mereka. Tetapi bukan hanya tentang testosteron. Kembali lagi pada tahun 1980-an, ahli biokimia, William Frey H. Dan timnya menganalisis susunan kimiawi air mata emosional dan membandingkannya dengan air mata yang disebabkan oleh iritasi pada mata. Ternyata, air mata emosional mengandung prolaktin, hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis yang berhubungan dengan emosi. Perempuan yang telah dewasa memiliki kadar prolaktin serum hampir 60 persen di atas rata-rata laki-laki dewasa. Perbedaan ini secara keseluruhan menjelaskan mengapa perempuan lebih sering ketimbang laki-laki dewasa. Sebelum pubertas, kadar serum prolaktin pada perempuan dan laki-laki sama, mungkin ini sebabnya tingkat menangis anak laki-laki dan perempuan tak banyak berbeda. Nah, setelah membaca beberapa uraian di atas, bagaimana? Masih akan bertanya-tanya jika ada teman perempuanmu yang mudah menangis secara tiba-tiba? Sudah sedikit paham kan kenapa perempuan lebih mudah untuk menitihkan air mata dibanding laki-laki. Semoga setelah membaca tulisan di atas, khusus anda
54 | Ecpose Indie Book
para kaum laki-laki harap sebisa mungkin menjauhkan kekasih maupun teman perempuan anda dari hal-hal yang mampu membuat mereka menangis tanpa sebab. Misalnya, drama korea yang memiliki cerita mellow di dalamnya. Akhir kata, selamat membaca. Semoga bermanfaat. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 55
56 | Ecpose Indie Book
Bayang-Bayang Ancaman Problematika Perempuan Oleh: Ilham Faurizal Rahman
B
agaimana anda mendefinisikan seorang perempuan yang berparas cantik? Apakah ia menawan layaknya bintang iklan? Bagaimanapun juga cantik adalah predikat yang dimiliki oleh perempuan, bukan laki-laki. Dalam ilmu psikologi ada 3 elemen untuk mengukur tingkat kecantikan yaitu mind, body, dan soul. Konsep mind menjelaskan bahwa di dalam pikirannya, seorang perempuan memiliki paradigma berpikir bahwa dia cantik. Untuk body, seorang perempuan akan melakukan berbagai perawatan untuk membuat cantiknya lebih terpancar. Tak lupa juga berperilaku santun dan bertutur kata yang ramah. Sebagai penyeimbangnya yaitu soul. Setelah menyadari dan merawat diri, maka perempuan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 57
harus mensyukuri dan menemukan the meaning of life dari potensi yang dimiliki. Sadar atau tidak konsep ini sangat dekat dengan kehidupan perempuan. Perempuan memiliki banyak problema yang dihadapi seperti masalah hati, masalah kesehatan, namun benang merahnya adalah self-esteem atau harga diri. Meski penampilan seorang perempuan terlihat sempurna, terkadang mereka punya self-esteem yang rendah. Vera Itabiliana, seorang psikolog anak dan remaja menyebutkan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 33% perempuan di dunia mengaku tidak bahagia dengan bentuk fisiknya. Persentase ini cenderung naik dari tahun ke tahun. Angka self esteem mencapai titik terendah pada usia 13 tahun. Ketidakpuasan akan diri sendiri dapat berakibat buruk bagi perempuan. Dorongan agar tampil cantik dapat membuat perempuan mengeksplor keindahan mereka. Sedangkan cara berpakaian yang terbuka adalah salah satu faktor kesekian yang dapat mengundang pelecehan seksual dibawah faktor umur anak, pendidikan serta hubungan sosial lingkungannya. Riset dari Moor (2010) menyatakan bahwasanya ada fenomena di masyarakat yang disebut “Victim Blamming�. Masyarakat mengkontruksi perempuan sebagai objek untuk dipandang dan dinikmati sehingga menjadi pemicu nafsu seksual laki-laki dan cenderung
58 | Ecpose Indie Book
disalahkan apabila berpakaian yang “mengundang�. Berdasarkan lembar catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan pada tahun 2016 terdapat perbedaan dimana kekerasan seksual yang menempati peringkat ketiga, di tahun ini naik menjadi peringkat kedua. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah pemerkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus. Jadi, ibarat sedia payung sebelum hujan mungkin itulah maksud dari pernyataan Fauzi Bowo 2011 lalu. Dalam himbauannya ia berujar agar perempuan tidak memakai rok mini didalam angkutan umum karena banyaknya pemerkosaan di angkutan umum kala itu. Banyak orang mengkritik himbauan tersebut karena dianggap menyalahkan perempuan. Tapi logikanya, apa salahnya jika menyediakan payung sebelum hujan? Sejatinya 3 elemen psikologis (mind, body, dan soul), jika sedikit dimodifikasi dapat menghindarkan perempuan dari kejahatan seksual. Konsep mind dapat dirumuskan sebagai perubahan pemikiran melalui pendidikan seperti yang dinyatakan oleh Notoatmodjo (2005) bahwa pendidikan mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia. Konsep body dapat dilakukan dengan merawat dan menjaga keindahan tubuh. Namun, menjaga tubuh dari pandangan nafsu liar laki-laki yang seringkali perempuan lupakan. Mawar
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 59
berduri yang melambangkan keindahan dan proteksi diri saja masih sering dipetik sembarangan oleh tangan yang tak bertanggung jawab. Lalu bagaimana dengan mawar yang tak berduri? Sebagai penyeimbangnya, soul berperan dalam melatih mental serta kemantapan hati untuk percaya bahwasanya perempuan cantik bukanlah mereka para pengumbar tubuh, melainkan kebaikan hati yang digambarkan oleh perilaku bak bidadari. Tabik! []
60 | Ecpose Indie Book
Hak-Hak Wanita dalam Kukungan Patriarkisme Oleh: Siti Khotijah
M
embaca novel-novel karya Pram bagaikan belajar sejarah, tentunya dengan cara yang tidak membosankan. Begitulah yang saya rasakan ketika membaca salah satu novelnya yang berjudul gadis pantai. Dimana secara eksplisit mampu menggambarkan bagaimana patriarki berkembang dalam tatanan masyarakat jawa pada masa itu, lewat alur ceritanya. Patriarki sendiri telah mengakar dalam masyarakat kita dan masih berkembang hingga saat ini. Tidak hanya berkembang di masyarakat Jawa atau masyarakat Indonesia saja, namun subordinasi terhadap perempuan tersebut juga berkembang di negaranegara lain contohnya seperti Pakistan dengan budaya
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 61
patriarkinya yang masih kental. Konsep yang tengah berkembang dalam masyarakat bahwa wanita hanya berlaku sebagai peran pendukung yang tidak penting, sehingga hak-haknya masih dipertanyakan dalam kehidupan sosial. Sehingga dalam menjalankan kehidupan banyak pakem-pakem yang membatasi wanita dalam menyuarakan hak-haknya sebagai manusia. Patriarki sendiri selalu membawa wanita kedalam keadaan yang terpojok sebab dari sanalah lahir diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam mengembangkan diri dalam bermasyarakat. Diskriminasi yang paling umum ditemui ialah dibatasinya hak pendidikan bagi kaum perempuan. Tidak hanya di Indonesia, patriarki juga berkembang di negara lain, bahkan melahirkan tindakan yang ekstrem seperti di Pakistan contohnya. Di Pakistan ada praktek honour killing, dimana keluarga perempuan akan membunuh putrinya yang diangap menghina kehormatan keluarga, dikarenakan membangkang atau menolak keputusan dari keluarganya. Dalam masyarakat kita sendiri, masih ada anggapan bahwa seorang perempuan harus bekerja di dapur saja dan mengurus segala keperluan rumah tangga. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang berkarir di luar rumah atau menempuh pendidikan tinggi maka akan dipandang sebelah mata bahkan mendapat cibiran,
62 | Ecpose Indie Book
mungkin sebagian dari kita pernah mengalami hal seperti ini. Subordinasi terhadap perempuan atau patriarki sendiri juga telah memberikan kekangan bagi kaum perempuan untuk mengekspresikan diri dalam masyarakat. sehingga dari rasa terkekang tersebut maka lahirlah emansipasi yang digagas kaum perempuan untuk dapat berperan dan mendapatkan keadilan dalam bermasyarakat dalam hal pendidikan, politik, ekonomi, hukum, juga hak-hak sosial. Jika berbicara tentang emansipasi menurut pandangan agama, dalam islam contohnya (karena saya tidak tahu pandangan agama lain tentang emansipasi), konsep mengenai hakhak perempuan dalam masyarakat juga diperhitungkan misalkan dalam perkara pernikahan, pendidikan, hak berpolitik, hak ekonomi, dan hak hukum diakui haknya seperti hak laki-laki. Juga membebaskan perempuan untuk berkarya asalkan masih dalam batasan halal dan haram. Namun belakangan ini selain teriakan emansipasi juga muncul teriakan mengenai kesetaraan gender. Jika emansipasi menuntut agar diakuinya hakhak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan menghapus diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka lain lagi dengan menuntut kesetaraan gender. Yang namanya “setara� berarti tidak boleh dibedakan,
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 63
padahal laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang berbeda secara genetis dan psikologis. Dari dua hal tersebut maka laki-laki dan perempuan tidak akan bisa disetarakan mengingat kebutuhan dan peranannya masing-masing juga berbeda, sehingga mustahil untuk diseragamkan atau disetarakan. Jika dalam hal gender diberlakukan adanya kesetaraan, maka tidak akan ada gerbong kereta khusus wanita, tidak ada yang namanya cuti melahirkan atau cuti menstruasi bagi kaum wanita juga tidak ada toilet khusus wanita atau pria, sebab sudah setara lalu untuk apa di bedakan. Yang dibutuhkan kaum perempuan adalah keadilan, sedangkan belum tentu kesetaraan akan menghasilkan keadilan. Keadilan disini adalah mendapatkan hak yang sama dalam masyarakat tanpa merusak kewajiban masing-masing. []
64 | Ecpose Indie Book
RACUN (Antara Media dan Perempuan) Oleh: Niken Kristiana S.
P
erkembangan jaman semakin maju, telah menghadapkan kita kepada situasi yang dinamis. Begitu pula dengan kondisi kekinian saat ini. Media telah membanjiri berbagai ruang dalam kehidupan manusia termasuk keberadaan media yang digunakan sebagai sarana komunikasi dan informasi. Saluran televisi maupun stasiun radio yang jumlahnya tak terhitung telah memenuhi gelombang udara kita. Surat kabar, majalah, buku, komik, film, video dan animasi saling bersaing untuk mendapatkan waktu kita yang sangat berharga. Bahkan berselancar di internet sudah menjadi aktivitas sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat. Seolah-olah media merupakan hal yang
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 65
lazim dan mutlak dimiliki oleh setiap individu. Namun, seiring dengan berjalannya waktu peranan media pun semakin bergeser, bahkan beralih fungsi dari fungsi semestinya. Seperti yang kita ketahui bahwa media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri hampir pada setiap aspek kegiatan manusia, baik secara pribadi maupun umum, selalu berhubungan dengan aktivitas komunikasi massa. Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif dalam berbagai bentuk media massa, guna saling berkomunikasi dan bertukar informasi. Media massa dan perempuan ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa di pisahkan, keduanya memiliki kaitan erat untuk saling melengkapi. Dalam hubungannya dengan kehidupan sosial manusia, pengaruh media massa juga terasa pada kehidupan sosial perempuan. Stigma dan stereotip yang terbentuk di masyarakat mengenai perempuan sedikit banyak dipengaruhi oleh media. Media menyajikan citra perempuan secara arbitrer atau sewenang-wenang, seringkali tanpa memikirkan dampak yang bisa timbul dari citra yang dibangun tersebut. Citra perempuan yang dibangun dalam media disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku bisnis dan industri yang berada di belakang
66 | Ecpose Indie Book
layar. Seringkali perempuan dijadikan objek agar tujuan industri tercapai, misalnya rating yang tinggi. Perempuan dijadikan sebagai objek melalui cara yang bervariasi. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tubuh perempuan. Eksploitasi tubuh perempuan yang divisualisasikan dalam bentuk konten media seolaholah menjadikan tubuh perempuan sebagai alat tukar dengan keuntungan pelaku industri. Tubuh perempuan yang diekspos oleh media menjadikan perempuan sebagai objek yang bisa diperjualbelikan, dengan timbal balik berupa rating, laba industri, dan peningkatan pengguna media massa. Penggambaran dari media yang sampai kepada masyarakat selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai salah satu hal yang bisa ditangkap oleh mata dan kemudian dijadikan objek. Identitas perempuan dan laki-laki juga seringkali dibedakan dalam kemunculan mereka di media. Terlihat perbedaan dalam ditampilkannya citra laki-laki dan perempuan oleh media. Laki-laki biasa berperan sebagai subjek, yang memiliki kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan berperan sebagai objek, terlebih objek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan. Situasi ini yang digambarkan dalam banyak iklan, film, gambar, suara dan jenis-jenis bentuk visual maupun auditori lainnya dalam media massa.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 67
Contoh iklan yang menunjukkan adanya perbedaan situasi tersebut adalah iklan parfum laki-laki, Axe. Dalam iklan-iklan Axe, storyline iklan adalah seorang laki-laki yang sedang menyemprotkan parfum ke tubuhnya, dan tidak beberapa lama berselang, beberapa perempuan berpakaian minim dengan kostum bersayap jatuh dari langit-langit ruangan tempat dimana laki-laki tersebut berada. Setelahnya, perempuan-perempuan tersebut mulai menempelkan tubuh mereka pada tubuh si laki-laki dan ekspresi wajah si laki-laki kemudian berubah menjadi senang. Hal lain yang menunjukkan bahwa perempuan dijadikan objek dalam industri dan media adalah ketika perempuan banyak sekali muncul dengan pose vulgar dan pakaian yang seksi dalam iklan-iklan mobil mewah. Selama ini dalam media mobil mewah diasosiasikan sebagai salah satu bentuk maskulinitas, salah satu produk milik lelaki. Namun dalam iklan komersial mobil-mobil mewah tersebut banyak ditonjolkan visual perempuan yang seksi, biasanya digambarkan sedang duduk di atas kap mobil atau di dalam mobil. Selain itu, biasanya dalam iklan, para perempuan akan mulai mendekati lelaki ketika lelaki tersebut sedang membawa mobil mewahnya. Situasi seperti ini menunjukkan bahwa perempuan adalah “sesuatu� yang dapat dibeli atau dibuat mendekat dengan cara yang mematenkan maskulinitas lelaki, salah satunya dengan jalan mempunyai mobil
68 | Ecpose Indie Book
mewah. Lelaki seolah mempunyai kekuasaan terhadap perempuan karena mampu membuat perempuan “tunduk” dihadapannya. Setiap perempuan sebenarnya secara umum memiliki “rasa” yang sama dengan laki-laki yakni keinginan untuk terkenal, untuk mendapatkan banyak uang. Kemudian apakah mereka selama ini bergelut di berbagai media massa yang tidak memiliki pertimbangan yang jauh ke depan, demi penyelamatan sebuah generasi. Kenapa dengan mudah persoalan moralitas ini di tukar dengan nilai-nilai nominal lembaran-lembaran uang tunai. “Sungguh hebat” orangorang yang sengaja bahkan mungkin dengan senang hati meracuni generasi muda bangsa hanya sekedar alasan permintaan pasar. Siapapun mereka mulai dari si artisnya sendiri, fotografernya, pengusaha media yang bersangkutan serta seluruh yang terkait dengan pembuatan dan penyebaran hal itu memiliki andil yang sama dalam melakukan demoralisasi anak bangsa. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 69
70 | Ecpose Indie Book
Bingkai Media dalam Berita Pemerkosaan Oleh: Putu Ayu D. P. S.
B
eberapa waktu lalu, (Selasa, 7 Maret 2017) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan (CATAHU). Sepanjang tahun 2016 tercatat 259.150 kasus kekerasan pada perempuan. Kekerasan di ranah personal menempati angka tertinggi, disebutkan sebanyak 10.205 kasus yang meliputi kekerasaan fisik 42% (4.281 kasus), kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Sedangkan di ranah kelompok tercatat 3.092 kasus. Berbeda dengan ranah personal, di ranah kelompok jenis kekerasan seksual menempati angka
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 71
tertinggi sebanyak 2.290 kasus dan kekerasaan fisik 490 kasus. Kekerasan lain seperti kekerasaan psikis sebanyak 83 kasus, buruh migran 90 kasus dan trafiking 139 kasus. Pada ranah kelompok, kasus pemerkosaan dan pencabulan paling banyak sekitar 1.036 dan 838 kasus. Jika diamati berdasarkan data diatas, pemerkosaan berkelompok (gang rape) disertai penganiayaan seksual dan tak jarang pembunuhan menempati angka tertinggi dalam ranah kelompok. Hal tersebut juga tergambarkan dalam pemberitaan media yang menarik perhatian publik, misalnya pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tiga laki-laki terhadap seorang perempuan, korban ditemukan dengan keadaan cangkul menancap pada kemaluannya. Kemudian kasus anak di bawah umur yang diperkosan dan dibunuh oleh 14 laki-laki. Pemberitaan tersebut banter dibicarakan oleh media cetak, online maupun televisi secara berseri. Dalam pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan seringkali penulis mengabaikan kode etik jurnalistik. Seperti halnya pengungkapan indentitas korban, baik itu penyebutan nama bukan inisial, alamat korban hingga memajang foto korban tanpa sensor. Pemenuhan hak korban kekerasan seksual yang termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 4 dan 8 juga terabaikan misal pemberitaan bernada cabul dengan
72 | Ecpose Indie Book
menggambarkan tingkah laku korban secara erotis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka/diskriminasi terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin secara eksplisit maupun implisit. Tanpa sadar, pelaku media telah melakukan kekerasaan simbolik terhadap korban tercermin pada konten dan judul pemberitaan. Berdasarkan analisis media yang dilakukan Komnas Perempuan terhadap 9 media massa (Indo Pos, Jakarta Post, Jakarta Globe, Kompas, Koran Sindo, Pos Kota, Republika, Koran Tempo dan Media Indonesia) dengan rentang waktu Januari-Juni 2015. Menunjukkan bahwa pelanggaran kode etik dan tidak memenuhi hak korban, dari ke-9 media massa tersebut masih tinggi. Terinci pelanggaran kode etik: mencampurkan fakta dan opini (40%), mengungkapkan identitas korban (38%), mengandung informasi cabul dan sadis (21%), dan mengungkap identitas pelaku anak (1%). Selanjutnya tidak adanya pemenuhan hak korban misal dengan menggunakan disksi yang bias (24,21%), mengungkap identitas korban (23,15%), stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan (15,89%). Kecenderungan berita pemerkosaan yang berkutat pada informasi pribadi dan gambaran korban yang sifatnya subordinasi akan menimbulkan anggapan adanya ketidakberdayaan perempuan. Maka akan ada pola pemikiran wajar di tengah masyarakat, apabila
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 73
perempuan mengalami hal-hal tersebut. Ortner melalui pendekatan feminis-strukturalis, menilai subordinasi perempuan adalah dampak dan fungsi khas dari tradisi dan budaya yang melekat di masyarakat secara universal. Subordinasi di Indonesia adalah dampak dari budaya patriarki. Pelaku media massa memanifestasikan budaya patriarki pada pola pemberitaannya. Seolah perempuan dipinggirkan dan dihadirkan sebagai objek pemberitaan, objek seksis dan objek pelecehan bahkan kekerasan. Media secara tidak langsung telah membangun stereotip dalam masyarakat, bagaimana seharusnya perempuan korban kejahatan seksual dipandang. Maka tak heran, justru ada pendapat yang menyalahkan atau menghakimi korban, seperti “Siapa suruh keluar malam, akhirnya di perkosa”, “Pakaiannya ketat sih, ya ga salah kalau jadi inceran kucing garong”, atau “Makanya, perempuan itu kalau kerja jangan malam-malam apalagi di cafe, wajar kalau di cabuli.” Tak ayal jika hal tersebut akan memunculkan bentuk kekerasan baru bagi korban maupun keluarga korban, seperti bullying, kekerasan cyber, kekerasan psikologis, pengucilan dan victim blaming (masyarakat yang menyalahkan korban). Hingga yang paling ekstrim anggapan femicide.
Lebih jauh lagi, media yang terus-menerus
74 | Ecpose Indie Book
melanggengkan dan mengkampanyekan streotipstreotip yang asalnya dari budaya patriarki dalam pemberitaan akan berefek pada pembatasan ruang gerak dan diskriminasi gender terhadap perempuan. Misalnya saja, perempuan dilarang untuk keluar atau bekerja di malam hari karena alasan berbahaya, larangan perempuan untuk memakai baju yang terbuka dan sebagainya. Media memupuk nilai-nilai di masyarakat, soal bagaimana perempuan seharusnya bertindak dan dipandang
Peran pers, media dan jurnalis Dalam studi media ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media. Pendekatan politik-ekonomi, isi media ditentukan oleh kekuatan di luar pengelolaan media. Pemilik media dan modal dianggap menentukan bagaimana isi media. Pemikir Chomski dan Herman, melihat media sebagai agen yang mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada publik yang mempresentasikan kekuatan politik-ekonomi yang ada dalam masyarakat. Kedua, pendekatan organisasi bertolak belakang dari pendekatan sosial-ekonomi. Dalam pendekatan ini pengelola media punya peran aktif. Berita adalah hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi secara
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 75
otonom, internal dan tidak ditentukan oleh kekuatan luar. Ketiga, pendekatan kulturalis dilihat sebagai sesuatu yang rumit karena merupakan perpaduan dari pendekatan politik-ekonomi dan organisasi. Ada perdebatan, dimana media yang mempunyai pola tersendiri namun tidak bisa terlepas dari pengaruh kekuatan politik-ekonomi yang ada di luar media. Berbeda dengan pendekatan pertama, pengaruh dari luar sifatnya tidak langsung ada proses penyaringan dalam ruang redaksi. Namun sering kali jurnalis tidak sadar bahwa telah melanggengkan dan menguntungkan kekuatan ekonomi-politik dominan, misal wartawan percaya bahwa berita yang ia sajikan sudah objektif, cover both side. Padahal isi medianya hanya memuat satu narasumber atau pihak yang diwawancari porsi lebih banyak hanya ada pada satu pihak. Era pasca-Order Baru, pendekatan kulturalis mempengaruhi corak pemberitaan pers. Perubahan sistem politik-ekonomi di Indonesia yang memasuki era industri kapitalis, membuat pers menjadi lebih kompromi terhadap kaidah-kaidah pasar. Akhirnya pers harus beradaptasi dan tidak sepenuhnya menjadi entitas yang otonom. Pada akhirnya tak jarang media yang lebih melihat pasar dan menyampingkan bagaimana idealnya pers. Media kemudian mengejar berita yang
76 | Ecpose Indie Book
dapat mendatangkan rating/share, klik, dan oplah yang besar. Orientasi media bergeser, cenderung lebih pada keuntungan dan pasar. Maka muncul pemberitaan yang sifatnya dilebih-lebihkan tanpa ada esensi bagi pembacanya dan parahnya memanfaatkan narasumber dalam berita sebagai komoditi. Tanpa sadar juga telah melahirkan pemberitaan yang lebih dominan pada kekuatan ekonomi, politik, sosial yang hegemonik. Seharusnya, wartawan dan media tetap memegang teguh bahwa pers seharusnya bertindak independen. Mengingat wartawan punya tanggung jawab sosial pada masyarakat seperti yang diungkapkan Eugene Meyer bahwa untuk menyajikan suatu kebenaran demi kepentingan publik, jika perlu surat kabar mengorbankan keuntungan materialnya
Kemudian bagaimana isi media harus dijelaskan? Masih lekat diingatan kita tahun 2016 silam, seorang perempuan berinisial “E� diperkosa dan dibunuh menggunakan gagang cangkul. Pemberitaan “E� dilakukan secara beruntun dan berseri oleh beberapa media khususnya daring. Informasi yang diangkat kebanyakan pada kronologi dan identitas korban. Nama, alamat dan profesi korban secara terang disebut dalam pemberitaan. Begitu pun dengan konten
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 77
dan judul berita yang terkesan melebih-lebihkan dan tidak konsisten. Terlebih minimnya cover both side. Akibatnya akan ada pemaknaan bias dan melestarikan ideologi sepihak, ditengah masyarakat. Pertama ini berhubungan dengan bagaimana seorang wartawan atau jurnalis memaknai fenomena yang ada dan menuliskannya sebagai berita. Ada hubungan yang rumit antara wartawan dengan sumber berita, wartawan harus sadar bahwa sumber berita bukanlah sekedar objek yang diwawancarai. Sumber berita turut mendefinisikan realitas. Artinya akan ada banyak subjektifitas dalam pemberitaan. Untuk menghindari ketimpangan maka lakukan liputan yang berimbang dan cover both side. Dalam pemberitaan pemerkosaan misalnya, sering dijumpai korban atau keluarga korban sedikit sekali mendapat porsi berpendapat, lebih banyak pedapat pada teman-teman korban dan pelaku. Kemudian saat menuliskan berita, wartawan seyogyanya tidak menggunakan kata-kata yang bisa membangun penilaian negatif terhadap korban. Misal penggunaan kalimat, “Janda itu di perkosa karena berpakaian seksi.� Ada kecenderungan mengskreditkan pihak korban perempuan. Gunakan kalimat atau kata yang tidak mengarah pada misoginis. Ini adalah salah satu upaya untuk melindungi hak sebagai korban.
78 | Ecpose Indie Book
Serta menghindari pikiran merendahkan perempuan di tengah masyarakat. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 79
80 | Ecpose Indie Book
BAGIAN 4 Tahun Baru
“Malam tahun baru selayaknya setiap orang berhenti beraktivitas dan kemudian melakukan evaluasi sejauh mana kita memaknai kehidupan yang telah lalu tersebut.�
(Niken Kristiana S.)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 81
82 | Ecpose Indie Book
Satu Momen Berjuta Asa dan Makna Oleh: Nanda Ayu Eka S.
B
erapa usiamu sekarang? Anggap saja 20 tahun. Sadar atau tidak kamu sudah melewati 20 kali pergantian tahun dalam hidupmu. Iyaa kan? Nah,tinggal beberapa hari lagi kamu akan melewati pergantian tahun yang ke 21. Sudahkah kamu memiliki rencana di penghujung tahun nanti? Masih sekadar wacana atau hanya menunggu waktu untuk realisasinya? Kegiatan apa yang akan kamu lakukan? Hak sepenuhnya ada padamu, ingin melewatinya dengan biasa saja, atau membuat rencana meriah dengan sajian-sajian menarik di dalamnya. Sekali lagi, kuasa ada padamu,dan kamu berhak untuk menentukannya.
Apa itu tahun baru? Dan mengapa milyaran
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 83
orang di penjuru dunia merayakannya? Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, tahun baru adalah suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Di sana juga dikatakan bahwa, budaya yang mempunyai kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru. Lantas, apakah setiap orang akan sama dalam memaknai momen ini? Jawabannya tentu saja berbeda. Jika dikaitkan dengan unsur-unsur kepribadian yang ada dalam diri manusia,sudah barang tentu kemungkinan untuk melakukan hal-hal berbeda dalam perayaan tahun baru nanti sangatlah besar,karena pada dasarnya kepribadian seseorang bersifat unik dan tidak ada duanya. Ada yang suka membuat pesta besar bersama dengan keluarga, ada yang sengaja bepergian ke luar kota untuk mengisi liburan tahun barunya, dan ada yang tetap di rumah, duduk manis sembari menonton hiburan di televisi sambil ditemani secangkir teh hangat dan biskuit pelengkap. Berbeda-beda setiap orangnya. Terlepas dari segala euforianya, tahun baru tidak melulu soal berapa bungkus kembang api yang sudah dinyalakan, seberapa nyaringnya suara terompet yang akan dibunyikan, dan berapa kilogram jagung manis yang akan tersaji melalui kobaran api dalam
84 | Ecpose Indie Book
perayaan nanti. Lebih dari itu, tahun baru dapat dijadikan sebagai momen dalam membunuh sepi.Sepi yang mampu diramaikan dengan banyak hal, seperti obrolan antar kawan tentang sebuah teori, ataupun kegiatan produktif lain seperti halnya diskusi. Manusia selalu membutuhkan orang lain dalam menunjang kehidupannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Aristoteles mengungkapkan bahwa, sosialitas adalah kodrat manusia. Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan dirinya dalam tata hidup bersama. Secara kodrati, manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk hidup dalam kebersamaan dengan yang lain untuk belajar hidup sebagai manusia. Sejalan dengan pandangan tersebut, salah seorang rekan melalui akun sosial media miliknya mengatakan bahwa, kemewahan dalam perayaan tahun baru bukanlah terletak pada suguhannya, melainkan kebersamaan itulah kemewahannya. Mungkin tahun baru hanyalah pergantian kalender, atau memang ada perubahan lebih baik lagi pada hal-hal yang fundamental. Semoga! []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 85
86 | Ecpose Indie Book
Tahun Baru Oleh: Inten Tamimi
T
ahun telah berganti, menitip titian harapan pada tahun berikutnya berharap hal-hal yang belum terwujud di tahun kemarin dapat diwujudkan di tahun yang baru dan semoga semesta mampu mendengarnya. Tahun baru, apa-apa serba baru kata banyak orang. Semangat yang baru, hidup yang baru, pribadi baru atau bahkan pacar baru, yang terakhir jangan dianggap serius :D. Mengapa momen tahu baru acapkali dilantunkan dengan harapan-harapan? Toh, setelah itu kita akan lupa dengan apa yang kita ucap (maklumlah manusia seringkali lupa :D). Tapi, memang itulah bentuk dari euforianya, tahun baru dianggap penting dan tak boleh ketinggalan untuk merayakannya. Masyarakat
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 87
berbondong-bondong memenuhi Alun-Alun agar bisa melihat kembang api yang begitu cetarnya, yang suaranya mungkin bisa membuat orang jantungan (jika itu memang mengagetkan :D). Tak kalah pula bunyi terompet yang mendayu-dayu yang diperdengarkan di sepanjang jalan raya, yang mungkin suara terompet itu masih kalah tenarnya dengan bunyi klakson bus “om telolet om� dan tentunya harapan kecil yang hanya hati individu yang tahu. Semua orang bebas berkreasi di tahun barunya. Mungkin malam tahun baru diisi nongki-nongki anak muda sembari menunggu denting jam berubah menjadi pukul 00.00, kemudian memenuhi beranda akun sosial media mengabarkan bahwa “Tahun Baru telah tiba :D.� Bisa jadi, diisi dengan diskusi kecil-kecilan dengan tema yang sangat abstrak karena para pendiskusi nya yang tak kalah ajaibnya :D. Sungguh banyak hal-hal anti mainstream yang bisa kalian lakukan di malam tahun baru, jadi jangan tertidur dulu sebelum sempat melihat kembang api maupun melihat detak jam berganti :D. Dan satu yang tak lupa, ketika kamu berharap tahun baru adalah penempaan dirimu untuk memperbaiki yang lalu dan berkembang maju, maka tetap jagalah semangat itu. Bukankah manusia memang harus memilih, antara berkembang maju atau tidak. Meskipun bukan dalam momen tahun baru pun, semoga
88 | Ecpose Indie Book
setiap hari selalu tercurah doa dan harap itu. Tahuntahun itu selalu sama hanya berubah angka, tetapi proses di dalamnya lah yang akan mebuatmu berbeda. Jangan menjadi gugur yang berserakan dan tercecer kemana saja, tapi jadilah akar yang memperkuat pohon dan segala awaknya agar tak tumbang.
“dan sebenarnya aku adalah salah satu dari sekian milyaran orang yang selalu menuliskan harapan tahun baru di baris buku lusuh, berharap aku tak akan lupa dengan mimpiku” Malam bertabur bintang… Mengiringi suara kicauan terompet… Yang berkumandang sampai waktu tiba… Para insan memenuhi alun-alun taman… Menyambut malam pergantian tahun… Bersuka cita dan bergembira… Berusaha membuka lembaran yang lebih baik… Dan belajar dari kesalahan tahun lalu… Malam ini…
Semua insan berharap seraya berdo’a…
Akan datangnya tahun dimana semuanya kan membaik…
Semua berdo’a…
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 89
Agar pemimpin kita lebih bijak dan jujur…
Sebelum sempat waktu berdetak…
Mari kita tanamkan pada diri kita…
Jadikan tahun esok menjadi pintu keberhasilanmu…
Dan jadikan tahun kemarin sebagai cermin…
Agar kita tak salah melangkah…
Tak ada lagi dendam dan benci…
Semuanya membaur menjadi masa depan…
Sambutlah malam bertabur harapan esok ini…
(tulisan itu dibuat pada malam tahun baru 2014) …^misspuitis^… []
90 | Ecpose Indie Book
Fenomena Pergantian Tahun Oleh: Niken Kristiana S.
S
udah tak asing lagi di telinga saat mendengar kata pergantian tahun. Tahun baru dapat diartikan sebagai perayaan dimana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Saat detik-detik malam pergantian tahun biasanya seseorang akan menyalakan kembang api dimana sebagai tanda bahwa akan ada tahun yang baru dengan kehidupan yang baru pula. Mulai dari kalangan anak kecil, para remaja, maupun orang tua mereka semua sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut malam pergantian tahun, sungguh begitu antusiasnya mereka. Berkumpul bersama keluarga, teman, serta berkumpul dengan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 91
orang-orang yang kita cintai sudah menjadi hal yang biasa. Perayaan maupun pesta sudah menjadi rutinitas saat malam pergantian tahun. Sejatinya, pergantian tahun dimaknai tidak dalam arti pergantian angka pada kalender semata sehingga seolah perayaan tahun baru adalah perayaan pergantian kalender. Sebenarnya, dalam pergantian tahun yang telah terjadi berarti berkurangnya jatah hidup kita di dunia ini. Kalau kita merenung, bukanlah perayaan yang harus dilakukan menjelang pergantian tahun namun justru rasa syukur karena kita telah diberi amanat untuk masih bisa merasakan tahun lalu dan adanya rasa kekhawatiran adalah tahun terakhir kita hidup di dunia ini. Masa lalu bukanlah sesuatu yang harus dirayakan dengan besar-besaran namun justru harus dimaknai sebagai media intropeksi diri. Malam tahun baru selayaknya setiap orang berhenti beraktivitas dan kemudian melakukan evaluasi sejauh mana kita memaknai kehidupan yang telah lalu tersebut. Renungan ini penting agar setiap tahun yang kita lewati memiliki makna dan arti bagi setiap pribadi maupun orang lain. []
92 | Ecpose Indie Book
Tahun Baru Bukan Berarti Awal yang Baru Oleh: Siti Khotijah
T
ahun baru selalu saja identik dengan kembang api, perayaan, hingga acara bergadang untuk menanti pergantian tahun. Hal yang menarik bagi sebagian orang ketika menunggu detik terakhir 31 Desember menuju detik pertama 1 Januari (23:59 - 00:01), awal tahun yang baru. Sebagian orang merayakan momen tahun baru sedang sebagian orang lagi menganggap momen tersebut sama seperti hari-hari biasanya. Perayaan tahun baru memang sudah membudaya dalam masyarakat. Setiap penghujung tahun, dapat dengan mudah kita jumpai pesta kembang api hingga acara berkumpul bersama orang-orang terdekat untuk merayakan momen tersebut. Bahkan jika
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 93
di daerah kita tidak ditemui acara-acara semacam itu (yang sepertinya hal ini tidak mungkin) kita masih bisa mengetahui meriahnya acara tahun baru lewat mesin pencari (alias Google). Di sana kita akan menemukan banyak informasi ataupun tontonan yang menayangkan tentang meriahnya perayaan tahun baru dari berbagai daerah untuk satu tahun saja. Perayaan tahun baru dirayakan untuk menyambut sebuah awal yang baru, dengan harapan-harapan bahwa tahun ini akan lebih baik dari tahun sebelumnya sehingga muncullah apa yang disebut sebgai resolusi. Sedikit menyinggung tentang resolusi yang sepertinya selalu menjadi topik yang tak kalah penting selain perayaan dan kembang api untuk di bahas di penghujung tahun, bahkan mungkin kita juga tertarik untuk membuat daftar resolusi juga. Padahal resolusi (target pencapaian) juga dapat dibuat pada hari-hari lain. Tapi terkadang resolusi hanyalah pemanis atau sebatas motivasi normatif yang sering kali di buat namun selalu diabaikan pada akhirnya. Dan lucunya kebiasaan ini terus terulang dari tahun ke tahun. Pada kenyataannya pergantian tahun tidak memberikan efek apa-apa dalam kehidupan (kecuali pengurangan usia tentunya), keadaan tetap tidak berubah, sama saja, kecuali kitalah yang melakukan perubahan. Mungkin tahun baru memanglah suatu
94 | Ecpose Indie Book
momen yang dianggap menjadi awal yang baru setidaknya dalam segi perthitungan kalender, namun sebenarnya sama saja hanya dalam tingkat psikologi manusia saja mengatakan kalau tahun baru dapat menjadi awal yang baru. Tapi bukankan semuanya akan kembali ke masing masing orang, jika memang benar-benar ingin berubah tidak harus menunggu di awal tahun, setiap saat kita bisa memperbaiki hidup dan menyusun beratus-ratus resolusi lain meskipun tidak terlaksana seluruhnya. Sebab, waktu berubah tidak menunggu kita, tapi mengapa kita berubah selalu menunggu waktu. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 95
96 | Ecpose Indie Book
Tradisi untuk Lebih Baik dari Tahun Sebelumnya Oleh: Elma Ariella Khoriqul H.
T
ahun baru adalah suatu perayaan dimana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Budaya yang mempunyai kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru. Hari tahun baru di Indonesia jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian (penanggalan berdasarkan tahun Masehi), sama seperti mayoritas negara-negara di dunia. Terlepas dari pengertian tahun baru di halaman wikipedia.org tersebut, setiap orang pasti memiliki makna tersendiri tentang tahun baru. Beberapa mahasiswa memaknai tahun baru dengan evaluasi diri. Amelinda
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 97
misalnya, salah satu mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember (FEB UNEJ) angkatan 2015 ini menganggap tahun baru sebagai hari evaluasi dengan melihat pencapaian target tahun sebelumnya, biasanya di awal tahun ia akan menulis dan membuat lagi target yang akan dicapai tahun ini. Senada dengan Amelinda, M. Aldi Ramadhan mahasiswa Fakultas Hukum UNEJ angkatan 2015 mengungkapkan, “Untuk aku pribadi tiap tahun baru yang dilakukan adalah susun kembali taktik rencana hidup. Introspeksi diri. Menoleh ke belakang sembari bersiap untuk melangkah ke depan.” Selain memaknai tahun baru untuk evaluasi diri, sebagian besar mahasiswa menganggap tahun baru sebagai momen pengharapan. Bahkan kalimat harapan ‘semoga tahun ini menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya’ seperti sudah melekat erat dengan perayaan tahun baru. “Tahun baru itu hanya sekedar pergantian angka, pergantian kalender, tapi bisa jadi muncul harapan-harapan lebih baik dibanding tahun sebelumnya.” jelas Uliya Nurjannah mahasiswa FEB UNEJ angkatan 2015. Begitu juga dengan Monica Salsabina mahasiswa Fakultas Farmasi UNEJ angkatan 2014 yang mengungkapkan jika tahun baru harus lebih baik dari tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain pemaknaan tahun baru seperti evaluasi diri dan pengharapan untuk menjadi
98 | Ecpose Indie Book
lebih baik dari tahun sebelumnya menimbulkan sedikit pertanyaan. Pada hakikatnya setiap hari manusia memang harus mengevaluasi diri dan harus lebih baik dari sebelumnya, tidak perlu menunggu tanggal 31 Desember berubah menjadi 1 Januari. Tetapi dewasa ini banyak yang memilih untuk mengungkapkan pengharapan tersebut di tahun baru. “Karena ada momentum ‘wah mumpung ada momen bagus, yuk bikin resolusi baru’, Kalau hari-hari biasa kan ga ada yang diperingati, ga ada momen penting yang patut diingat.” jelas M. Aldi Ramadhan. Sebenarnya setiap harapan untuk menjadi lebih baik tidak harus saat tahun baru karena harapan baru hanya akan menjadi ilusi jika tidak mempersiapkan cara untuk mewujudkannya. Tetapi, ada perbedaan pandangan dari kalimat harapan ‘semoga tahun ini menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya’ untuk beberapa mahasiswa. Maksud dari harapan tersebut tidak hanya untuk diri sendiri tetapi lebih kepada situasi di tahun tersebut. Misalnya tidak ada masalah-masalah seperti bencana alam dan polemik nasional seperti korupsi sehingga dapat menjadi tahun yang berkah untuk semua orang. Bahkan ada yang menganggap jika perbedaan tahun menyebabkan perbedaan berkah dan hoki sehingga perlu ada harapan yang mengiringi pergantian tahun tersebut. “Untuk tahun baru sebenere
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 99
dapat ditanggapi dengan banyak doa, banyak harapan, banyak bersyukur karena percaya atau tidak biasanya beda tahun beda hoki,� ungkap Uliya Nurjannah. []
100 | Ecpose Indie Book
Pelarangan Perayaan Tahun Baru Oleh: Ilham Faurizal Rahman
5
hari yang lalu, Senin 26 Desember 2016, saya membaca berita terkait salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) kita yang menyinggung tentang larangan perayaan tahun baru. Begitu hebatnya pergerakan mereka terutama mengingat catatan sebelumnya yaitu kasus penistaan agama. Saya kira ada korelasi diantara kedua kasus ini. Keduanya sama mengacu pada permasalahan bahasa dan agama. Kala itu dalam pidatonya, Ahok yang dijadikan tersangka berujar, “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja di hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai surat Al-Maidah 51 macemmacem gitu lho. Itu hak bapak ibu ya.� Terkait dengan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 101
masalah ini saya senada dengan pendapat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Yeyen Maryani bilasanya ada kesalahpahaman dalam mengartikan kata-kata yang diucapkan Ahok, karena sejatinya kata “dibohongi” adalah kalimat yang pasif. Jadi Yeyen menegaskan bahwasanya dari sisi bahasa harus dilihat terlebih dahulu konteksnya mengacu kemana. Permasalahan ketidakmengertian ini juga yang menghadirkan kontroversi akan larangan perayaan tahun baru. Agar tidak gamang, saya mencoba memulai menganalisis kata per kata berdasarkan pada KBBI. Makna dari “perayaan” adalah pesta (keramaian dan sebagainya) untuk merayakan suatu peristiwa. Sedangkan “merayakan” berarti memuliakan (memperingati, memestakan) hari raya (peristiwa penting). Jadi jika diperinci lagi berdasarkan makna dari perayaan tahun baru apabila merayakannya berarti kita telah memuliakan atau memperingati tahun baru masehi. Lalu bagaimana jika kita merayakan tahun baru dengan acara selamatan atau mengadakan pengajian. Apabila saya merayakan tahun baru dengan cara “tumpengan” dengan penuh rasa syukur dan pengharapan kepada Tuhan, apakah saya juga akan dikenai larangan? Saya rasa Ormas kita terlalu menekankan hukum dari perayaan tahun baru, tanpa mempertimbangkan kausal apa yang melatarbelakangi pemikiran mereka.
102 | Ecpose Indie Book
Saya akan lebih mendukung jika aspirasi pelarangan perayaan itu dibenahi dahulu. Cukup tambahkan saja kata “euforia� atau sejenisnya hasilnya pasti akan jauh berbeda. Terlebih juga bagaimana kriteria dari bereuforia merayakan tahun baru? Apa dengan konsumsi minumminuman keras yang di oplos seperti kasus-kasus di perayaan tahun baru? Sehingga 17 korban meregang nyawa pada tahun 2014 lalu di kota Mojokerto. Hal ini sangat perlu untuk dijelaskan. Pantas saja Ketua DPRD, Kapolres, dan Dandim kabupaten Sragen merespon permintaan larangan perayaan tahun baru dengan penolakan. Memanglah bukan hal yang mudah bagi para pucuk pimpinan itu agar bisa melarang masyarakatnya merayakan tahun baru. Entah hanya saya seorang atau bukan saya saja yang merasakan ketidakwajaran dari cara Ormas kita dalam menyampaikan aspirasinya. Seperti mengumpulkan massa dan beramai-ramai menghadap penguasa, dengan membawa isu sentitif bagi kalangan masyarakat kita. Tak ingatkah bila negeri ini memiliki MUI yang dikenal dari fatwa-fatwa terpercaya sebagai wadah dari semua ormas Islam? Di sanalah tempat yang tepat untuk bermusyawarah terkait hal-hal berbau agama, sebelum pada akhirnya menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat tentang Ormas kita. Bukan dengan cara-cara kontroversial yang dapat
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 103
memecah persatuan dan kesatuan antar umat beragama. Pengkritisian masalah-masalah dalam tulisan ini bukan berarti bahwa saya adalah seorang pembenci/haters dari Ormas kita. Saya banyak belajar dari makna kata “Sapere Aude� yang berarti berani berpikir sendiri, sehingga saya merasa perlu untuk menuangkannya kedalam tulisan. Tulisan ini juga jauh dari kesempurnaan, moga-moga kita mampu dalam melihat setiap permasalahan-permasalahan sosial dengan jernih tanpa tersulut api amarah. Dan tidak terpengaruh oleh kedok kalimat “siapa yang kontra dan netral adalah salah.� Tabik! []
104 | Ecpose Indie Book
Label ‘Halal’ Untuk Perayaan Tahun Baru Oleh: Triana Novitasari
I
su agama sepertinya masih menjadi hal yang sensitif di negara ini. Setelah perdebatan mengenai haramtidaknya umat muslim mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada umat kristiani, beberapa minggu lalu Front Pembela Islam (FPI) di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, menyinggung kehalalan perayaan tahun baru 2017. Meski FPI sempat melarang warga Sragen untuk merayakan tahun baru, namun akhirnya larangan tersebut tidak terlaksana karena pertimbangan dari berbagai pihak. Bukan tanpa alasan mengapa organisasi masyarakat yang berdiri di bawah bendera Islam ini melarang perayaan pergantian tahun masehi. Seperti
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 105
yang banyak diketahui, perayaan tahun baru pada umumnya identik dengan pesta. Mulai dari yang sederhana seperti sekadar meniup-niup terompet atau berkumpul bersama orang terdekat, hingga yang cukup meriah dengan meluncurkan ragam bentuk kembang api dan mengadakan pergelaran musik yang berlangsung hingga detik-detik menjelang pergantian tahun. Dengan membawa dasar hadis, ayat suci AlQuran, dan sumber hukum Islam lainnya, kegiatankegiatan tersebut dinilai melenceng dari kaidah Islam. Sebut saja begadang, membuang-buang waktu, dan berfoya-foya untuk hal yang tidak perlu. Selain menilai dari kegiatannya, apabila sistem penanggalan tahun masehi ditelusuri garis sejarahnya maka akan bermuara pada nama Paus Gregorius XVIII, seorang pemimpin gereja Katolik di Roma. Ia yang mengesahkan sistem penanggalan ini pada tahun 1582 silam, dan hingga sekarang banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Atas dasar inilah, tahun baru masehi dipandang haram apabila dirayakan, karena penanggalan masehi merupakan ‘produk’ dari nonmuslim. Perkara halal atau haram, biarlah kembali ke niat masing-masing umat dan menjadi urusannya dengan Tuhan. Terlepas dari itu semua, sebenarnya ada beberapa hal yang lebih bisa diperhatikan. Jika melihat
106 | Ecpose Indie Book
dari sudut pandang yang berbeda, setidaknya ada tiga hal positif yang dirasakan oleh semua orang akibat adanya momen pergantian tahun masehi ini. Dirayakan atau tidak, ketiga hal ini pasti akan selalu ada dan bisa dipastikan semua orang menyukainya. Pertama, tahun baru masehi di Indonesia diperingati dengan memasukkannya ke dalam jatah hari libur nasional. Semua orang senang hari libur, terutama untuk yang pekerjaannya terikat hari dan jam kerja, seperti pegawai. Sekalipun hanya satu hari, namun kehadiran hari libur akan selalu dinanti. Apabila kontroversi halal-haram ini berujung pada tidak diperingatinya pergantian tahun masehi, kemungkinan besar tanggal 1 Januari akan dihapuskan dari daftar hari libur nasional. Jika hal ini terjadi, entah bagaimana anggota-anggota FPI nantinya akan menghadapi nyinyiran warga Indonesia yang sebagian besar berprofesi sebagai pegawai. Belum lagi jika ditambah dengan pelajar-pelajar Indonesia yang turut menantikan hari libur dan lihai bersilat lidah di media sosial. Daripada mengurusi tingkat kehalalan perayaan tahun baru, bukankah lebih bermanfaat apabila menyusun agenda untuk hari libur yang hanya sehari itu? Kedua, pada pengujung tahun biasanya sejumlah toko melakukan cuci gudang. Sistemnya, produk lama dijual dengan harga lebih murah agar
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 107
cepat habis, sehingga tahun mendatang gudang bisa diisi dengan stok baru. Sistem ini biasanya ada di pusat perbelanjaan pakaian, peralatan elektronik, maupun showroom sepeda motor atau mobil. Slogan yang diusung pun menggiurkan, “Diskon akhir tahun�. Konsumen mana yang tidak tergoda dengan kata ‘diskon’? Belum lagi periode diskon yang biasanya berlangsung cukup lama, dari menjelang pergantian tahun hingga pasca tahun baru. Ketimbang terlibat dalam perdebatan halal-haram, sepertinya lebih menyenangkan apabila memantau diskon apa yang sedang besar-besaran di awal tahun ini. Ketiga, beberapa stasiun televisi swasta Indonesia yang menyiarkan film-film produksi dalam negeri maupun mancanegara, setiap hari menjelang pergantian tahun. Tidak semua orang merayakan tahun baru di luar rumah dan berkumpul dengan banyak orang. Ada pula yang memilih untuk bersantai di rumah sambil menonton acara televisi. Segmen penonton inilah yang menjadi sasaran stasiun televisi tersebut. Untuk memanjakan penontonnya, dipilih film-film kenamaan yang jarang diputar di stasiun televisi Indonesia, sebut saja Django Unchained, Looper, dan seri film James Bond berurutan dari yang rilis tahun 1962 hingga yang terbaru tahun 2015. Pecinta film tentu menyukai hal ini. Tak peduli riweuh-nya pro dan kontra perayaan tahun baru,
108 | Ecpose Indie Book
terpenting bisa melihat film favorit. Selain ketiga hal tersebut, persoalan perayaan tahun baru sebenarnya juga bisa berkaca pada negara lain. Negara seperti Uni Emirat Arab, yang mayoritas warganya adalah muslim, bahkan merayakan pergantian tahun secara mewah. Dubai sebagai kota terbesar di sana menyambut tahun baru dengan pertunjukan kembang api. Saking mewahnya, bahkan wisatawan harus merogoh kocek sekitar 9 juta rupiah hanya untuk menikmati pertunjukan kembang api beserta konsumsi dan penginapan yang disediakan di sana. Tidak hanya Dubai, Abu Dhabi juga turut merayakan dengan menggelar konser dari grup musik asal Inggris, Coldplay. Cukup menarik melihat negara ini memanfaatkan malam tahun baru sebagai peluang bisnis dan menjadikan budaya barat menjadi sumber pemasukannya. Semua berjalan damai, tidak ada yang berseteru mengenai halal tidaknya negara seperti Uni Emirat Arab merayakan tahun baru. Jika membayangkan apabila FPI membuka cabang hingga Dubai, mungkin hati mereka akan bergolak membayangkan dana 9 juta rupiah dihabiskan hanya dalam waktu semalam. Dirayakan atau tidak, momen tahun baru akan selalu membawa atmosfer yang menyenangkan bagi semua orang. Hanya di malam itu, langit semarak oleh letusan kembang api dan grup percakapan ramai dengan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 109
ucapan “Selamat Tahun Baru� disertai emoticon yang lucu nan beragam. Peralihan tahun bagi kebanyakan orang juga dijadikan momen untuk merenungi halhal yang telah dilakukan di tahun sebelumnya, serta menjadi ajang untuk mengevaluasi diri sendiri dan memulai segala sesuatunya dari awal. Sebagai negara yang mengakui beberapa agama seperti Indonesia, berat rasanya jika setiap kegiatan didasarkan pada sumber hukum salah satu agama yang menjadi mayoritas, dalam hal ini agama Islam. Sebagai agama yang paling banyak dianut, bukan berarti satu agama dapat melabeli boleh-tidaknya atau haramtidaknya suatu kegiatan. Daripada meributkan dalil ini itu untuk menguatkan argumen masing-masing, bukankah lebih baik melihat segala sesuatu dari sisi positifnya? Biarkan yang bersangkutan mengambil keputusannya sendiri asalkan itu tidak mengganggu kepentingan umum. Yang merasa menjadi mayoritas, tak perlu sibuk turut campur, terlebih membawa-bawa agama untuk membenarkan argumennya. []
110 | Ecpose Indie Book
Malamku di Penghujung Tahun Oleh: Savira Nurwahyuni
A
ku suka malam, melihat bintang-bintang kecil bertebaran menghias langit. Udara dingin yang menembus kulit dibalik jaket tebal membuat lelahku tuntas sudah. Jika pulang ke kampung halaman, aku biasa menikmati malam di sebuah taman kecil. Taman ini biasa menjadi tempatku berkeluh kesah ditemani suara jangkrik - jangkrik kecil di malam hari. Tak lupa juga si kuning, buku tulis kesayanganku yang lembaran kertasnya mulai kekuningan dan bau apek. Huruf demi huruf, kata demi kata, tersusun rapi membentuk sebuah alur cerita kehidupanku. Setelah cukup puas bercerita pada malam ku putuskan kakiku melangkah pulang.
Hari demi hari pun berganti, entah mengapa
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 111
malam ini aku merindukan si malam di taman kota. Dengan langkah santai aku berjalan menyusuri trotoar di pinggir taman. Betapa terkejutnya diriku ketika tamanku dipenuhi oleh banyak orang. Mereka asyik berjoget ria dengan musik yang berdentum sangat keras. Tak lupa juga minuman berwarna kecokelatan dengan botol persegi di genggaman mereka. Banyak anak muda ditamanku, mereka membawa kembang api dan terompet. Tangan tangan jahil mereka mulai mencoret coret bangku dengan kalimat “HAPPY NEW YEAR 2017” atau “WELCOME TO 2017”. Ahh aku segera merogoh sakuku dan melihat tanggal di handphoneku, 31 Desember 2016 pukul 23.02 WIB. Oh, malam tahun baru, gumamku dalam hati. Aku hanya memandangi mereka tertawa, bercanda, bernyanyi dengan suara sumbangnya. Di taman ini ada sebuah lapangan agak luas yang di paving dengan bentuk ubin bunga matahari. Ini merupakan salah satu spot favoritku ketika akan menyaksikan bintang di langit malam. Lagi dan lagi, darahku mendidih melihat salah satu dari mereka menulis “Resolusi in 2017 ......”. Mereka menulis semua harapan mereka disana, tak lupa juga lengkap dengan tanda tangannya. Aku ingin berteriak memaki, tapi apalah dayaku yang hanya seorang gadis penyendiri yang terlalu mencintai taman ini.
112 | Ecpose Indie Book
Aku tak kuat lagi, air mataku menetes dari pelupuk mataku. Hatiku sakit, melihat si matahari wajahnya penuh coretan dari orang-orang tak bertanggung jawab. Si matahari seakan akan juga menyampaikan kesedihan dan tangisnya padaku. Ia tak berdaya dibawah kaki kaki yang katanya “manusia�. Tak kuat hatiku melihat kesedihan si matahari, kulangkahkan kakiku pada pohon rindang tempatku berteduh di siang hari. Keadaannya pun tak jauh berbeda, tubuhnya disayat-sayat dengan tulisan yang sama. Tiba-tiba salah satu dari mereka ada yang memanggil dan mengumpulkan teman - temannya. Mereka mulai berhitung mundur 10..9...8.. kurogoh saku celanaku lagi dan melihat jam di handphoneku 31 Desember 2016 pukul 23.59. Ahhh pantas saja. 5..4...3...2...1.... tiba-tiba banyak kembang api bertebaran dan suara terompet yang memekikkan telinga. Si pohon besar sepertinya terbatuk karena asap kembang api mereka yang sangat banyak. Kasihan, wajahnya menampakkan penderitaan yang ia rasakan malam ini. Mereka kembali tertawa dan berteriak tentang harapan mereka di tahun yang akan datang tanpa bisa merasakan sesaknya si pohon besar. Ku dengar mereka meneriakkan dengan suara yang lantang dan agak menantang. Seakan-akan mengancam Tuhan jika tidak
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 113
mengabulkan doa mereka. Kutengadahkan tanganku dan memohon pada-Nya agar tamanku kembali seperti sediakala. Beginilah malamku di penghujung tahun. Aku sedih, aku menangis, mengapa hanya demi melampiaskan perasaan bahagia di pergantian tahun tamanku dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab hingga seperti ini. []
114 | Ecpose Indie Book
Tak Ada Yang Spesial Oleh: Putu Ayu D. P. S.
I
ni cuman pergantian angka. Bagiku tak ada hal spesial yang harus dilakukan untuk menyambut tahun baru. Semisal meniup terompet, membakar kembang api, berkumpul di alun-alun, menghitung mundur detik pergantian tahun, pesta pora di cafe, menghabiskan waktu berdua dengan pacar di malam tahun baru dan hal-hal lainnya yang kental dengan budaya penyambutan tahun baru. Pernah di suatu tahun, seingatku lima tahun yang lalu. Aku, keluarga beserta tetangga kompleks merayakan tahun baru dengan bakar-bakar di depan rumah. Menggelar tikar, bercengkrama soal pengalaman masing-masing dan makan-makan. Kami semua
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 115
menanti tahun berganti hingga tengah malam. Lalu menyambutnya dengan tiupan terompet dan ledakan mercon berwarna-warni di langit. Bagiku waktu itu hal yang paling menyenangkan bukan semarak atau ramainya di akhir penghujung tahun tapi momen perbincangan antar keluarga dan tetangga saat menanti pergantian tahun. Yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Jujur saat itu, aku harap tahun tak segera berganti. Aku masih ingin menikmati kebersamaan ini, mengobrol hingga pagi dan saling bercanda. Tahun berganti dan terus berganti. Hangatnya kebersamaan tahun baru yang pernah aku rasakan, kini semakin lama hanya sebagai simbolisasi. Kasaranya cuman dijadikan program kerja (proker) RT/RW, setiap warga di target iuran untuk membeli bahan-bahan makanan. Tak menampik timbullah suatu keterpaksaan. Keharusan mereka datang bukan lagi karena ingin berkumpul tapi karena terlanjur iuran. Bagiku, hilang sudah makna berkumpul itu sendiri. Usai angka berubah, mereka kembali ke rumah masing-masing, mengambil sisa-sisa makanan kemudian menutup pintu rapat-rapat. Esok paginya berdebatan soal iuran bakar-bakar ramai di kalangan tetangga. Mempersalahkan ada warga yang tidak ikut iuran tapi ikut makan. Akhirnya di awal tahun timbullah permusuhan. Loalah mending yah ga usah ngerayain
116 | Ecpose Indie Book
tahun baruan kalo gitu. Sejak saat itu, setiap tahun baru aku lebih senang berada dalam rumah dan menonton TV hingga subuh. Film Harry Potter dan Spiderman jadi langganan. Setiap tahun hingga pergantian tahun 2015 ke 2016. Namun untuk pergantian tahun ini, ada hal yang sedikit berbeda dikarenakan aku berada di Jember. Tidak lagi menonton TV sendirian di rumah, tapi nonton bareng acara dangdutan dan Cartoon Network di Tegalboto. Sebenarnya hal tersebut sudah sering kami lakukan tak perlu menunggu hingga tahun baru. Sebenarnya, aku sudah merencanakan malam tahun baru untuk bakar-bakar dengan kelompok lainnya, namun karena ruwet. Aku putuskan tidak jadi menghabiskan waktu bersama mereka. Berkumpul, lagi-lagi hanya dijadikan sebuah simbolisasi dan keterpaksaan. Butuh tenaga ekstra untuk hanya sekedar berkumpul. Menyebalkan. Aku dan beberapa teman di Tegalboto menghabiskan malam dengan bermain gitar. Tak terasa liputan di televisi memberitahukan tahun telah berganti. Pikiranku saat itu bukan resolusi tapi makanan. Akhirnya beberapa dari kami memutuskan untuk ke Warung Pawon di Jalan Semeru ikut nimbrung makanmakan gratis. Setelah kenyang, kembali ke Tegalboto. Tidur. Aku bangun kesiangan dan kembali ke kosan lalu tidur lagi. Tak ada yang spesial. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 117
118 | Ecpose Indie Book
BAGIAN 5 Kopi
“Yang jadi istimewa bukan sekedar di minuman kopi itu sendiri, tapi lebih ke ngopi-nya. Ngopi? Ya, Ngopi lebih mengarah pada sebuah ‘aktivitas’ yang mengarah pada proses dialektika ditemani secangkir kopi.”
(Adi Hardianto Nugroho)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 119
120 | Ecpose Indie Book
Ngopi Tak Melulu Kopi Oleh: Adi Hardianto Nugroho
“Ayok ngopi, rek!”
K
opi. Yah, kopi – minuman hitam pekat yang manismanis pahit itu. Apa yang istimewa dari secangkir kopi? Mungkin, bagi yang tidak suka minuman ini tak ada yang istimewa. Sebenarnya, memang tidak terlalu istimewa minuman hitam pekat ini. Yang jadi istimewa bukan sekedar di minuman kopi itu sendiri, tapi lebih ke ngopi-nya. Ngopi? Ya, Ngopi lebih mengarah pada sebuah ‘aktivitas’ yang mengarah pada proses dialektika ditemani secangkir kopi. Lalu, kalau ada yang ndak suka ngopi berarti ndak bisa ikutan ngopi dong? Nah, woles
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 121
dulu, di situlah ‘cair’-nya ngopi, para pehobi ngopi tak pernah benar-benar membatasi sandingan apa yang harus dihadirkan dalam dimensi ngopi tadi. Mau ngopi sambil minum kopi kek, mau sambil nge-jus kek, atau bahkan tak minum apapun serasa baik-baik saja. Coba bayangkan saja, agenda ngopi sudah jadi semacam kewajiban hampir saya lakukan di setiap malam. Mungkin, menurut pandangan sebagian orang kegiatan ini (baca: ngopi) merupakan sebuah kesiasiaan. Tapi, dari kopi banyak cerita. Setidaknya itu yang sering saya rasakan. Banyak ilmu-ilmu tentang bagaimana kehidupan ini harus dijalani seringkali saya temukan dalam forum-forum macam begini. Forum dengan duduk bersila di atas trotoar dengan beralaskan sandal, bersandingkan secangkir kopi bersama seorang kawan membicarakan tentang hidup dan kehidupan pun jadi. Obrolan bisa mengalir ke arah yang tak pernah disiapkan dan direncanakan sebelumnya. Ngopi ya ngopi sajalah. Tak perlu mempertanyakan, ngapain nanti di sana (forum ngopi)? Ngobrol apa di sana? Setidaknya itu yang sempat saya tangkap dari kawan-kawan muda saya belakangan. Tapi, saya mencoba mafhum akan hal itu, mungkin kawan-kawan muda tadi masih belum mengenal asyiknya ngopi, mereka mungkin belum sempat mencecap secuil dialektika yang lumer sekaligus
122 | Ecpose Indie Book
hangat dan bersahabat. Besar harapan saya semoga saja mereka segera dibukakan hatinya untuk segera menerima hidayah yang namanya ngopi. Amiiin. Hehehehehe.... Semoga mereka menemukan juga bahwa ngopi tak melulu identik dengan orang kurang kerjaan, pengangguran atau bahkan orang tanpa masa depan, semoga sajalah. Akhirul qalam, saya hanya bisa bilang: layaknya mendung tak s’lalu jadi hujan, ngopipun tak selalu nyuprut kopi. Jadi, “Ayok budhal ngopi, rek!”*) []
*)
”Mari berangkat ngopi, kawan!”
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 123
124 | Ecpose Indie Book
Ketika Kopi Tak Lagi Panjang Berkisah Oleh: Adi Hardianto Nugroho
M
alam ini lidah mulai meronta minta berjumpa dengan kopi. Eh, sialnya kepala juga mulai pusing karena minuman hitam ini juga sudah lama tak saya jamah, mungkin. Kemudian saya putuskan segera meluncur ke salah satu warung di daerah kampus Universitas Jember. Setiba di sana saya pesan minuman favorit saya, segelas Kopi Hitam. Beberapa menit kemudian pesanan saya datang. Sambil duduk menunggu minuman saya mulai turun suhunya, saya memperhatikan sesosok lelaki duduk sendirian di seberang tempat saya berada kini. Matanya masih menerawang dengan tatapan kosong, itu yang saya baca dari raut wajahnya kini. Secangkir kopi yang
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 125
masih kemebul teronggok di hadapannya. Sama sekali belum ia sentuh, apalagi ia sesap. Ia mulai melepas jaket hitam yang sedari tadi membungkus tubuhnya yang kurus kering. Sedetik kemudian ia mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam ransel yang dibawanya. Sebuah kotak pensil berwarna hitam dengan buku gambar yang sudah tampak lusuh mengikuti sesudahnya. Dia hanya sendiri. Duduk selonjoran dengan santai. Sedetik kemudian dia mulai keluarkan sebatang rokok, setahuku itu rokok pertama yang ia ambil dari kotaknya malam ini, sebab beberapa detik lalu saya juga perhatikan dia sedang membuka pembungkus plastik dari kotak rokok yang ia bawa. Ia gapit gulungan tembakau tadi diantara bibirnya, kemudian mulai menyalakannya. Sedetik kemudian asap putih hasil pembakaran batang tembakau tadi melayang, menyatu bersama udara disekitarnya. Bersamaan dengan itu, ia mulai mengadu pensil dengan lembaran buku yang dia keluarkan tadi. Sejenak saya berpikir, ah aneh sekali orang ini ngopi kok sendirian.Lalu, saya tinggalkan dia untuk ngobrol bersama kawan-kawan saya yang baru saja tiba menyusul. Kurang lebih setengah jam kemudian, lelaki itu didatangi seseorang, saya bisa menebak bahwa dia sudah mengenalnya sebab tak satupun raut wajah dan tingkahnya menunjukkan bahwa ia tak mengenalnya.
126 | Ecpose Indie Book
“Nyapo awakmu?” tanya seseorang yang baru datang tadi. “Cuma nggambar-nggambar mas, nyeketch,” jawabnya sedetik kemudian. Lalu, suasana menjadi hening kembali. Tak ada percakapan apapun dari dua sosok lelaki yang sama-sama menggamit batangan tembakau di antara dua bibir masing-masing. Tak berapa lama, lelaki yang sedari tadi sendiri tampak sudah menyelesaikan garapannya. Tak lama salah satu dari mereka tampak pamit dan meninggalkan tempat itu, lelaki yang sempat memiliki teman tadi, kembali sendirian, bersama kopi dihadapannya yang perlahan mulai dingin. Satu jam kemudian, Lelaki yang kembali sendiri tadi sudah tampak mulai bosan. Ia tenggak kopi yang masih separuh mengisi gelasnya. Selanjutnya, dia bereskan pensil dan buku yang ia keluarkan tadi. Lalu, dengan sedikit tergesa ia pergi meninggalkan cafe ini. Masih kupandangi ransel yang terpasang di punggungnya, satu meter…. Dua meter…. Kemudian di ujung jalan ia menghilang, berbelok ke arah jalan yang lain. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 127
128 | Ecpose Indie Book
Secangkir Nostalgi, Setangkup Harap Oleh: Adi Hardianto Nugroho
“ Oh, aku gak mau jadi pengecut......”
A
***
lkisah, tersebutlah di sebuah wilayah yang tak ada yang berani mengungkap apa nama dan dimana keberadaan daerah tersebut. Hari itu senja mulai berarak merambat, menggantikan siang yang mulai menua. Dua sosok manusia terjebak di satu ruang kubus, tak sepatah katapun, apalagi makna. Hanya saling berdampingan dan menghadap dunia maya masing-masing. Salah seorang dari mereka sudah asyik sedari tadi bercakap via dunia maya dengan seseorang yang belum seutuhnya dia kenal.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 129
Kawan yang sedari tadi sama-sama tenggelam di dunia maya pun mencoba mencuri tahu. Aha, dia mulai mencoba masuk ke obrolan dua insan tak sungguhsungguh saling kenal tadi. Rupanya sosok kedua ini lebih massif dalam hal melakukan pendekatan dengan sosok asing di dunia maya tadi. Setelahnya, segera saja dia mengajak sosok tak terejawantahkan tadi untuk kopi darat. Tak lupa, mengajak serta kawannya yang lebih dulu sudah berinteraksi secara maya tadi. Singkat cerita, disepakati sebuah perjumpaan di ruang dan waktu yang riil. Kala malam tak terlalu malam. Sebuah warung kopi sederhana di tepi jalan raya yang tak terlampau ramai lalu lalang kendaraan. Sebut saja warung ‘MG’, yang kala itu masih tergolong warung kopi baru. Warung ini nampak sederhana. Dari gerbang masuknya, tampak empat buah meja kayu panjang ditemani sepasang kursi yang terbuat kayu juga tanpa sandaran. Ketika mulai masuk, terdapat sebuah halaman tak terlalu luas, bila ditaksir mungkin tak sampai dua puluh motor mampu termuat disitu. Dari sana dapat dilihat jika warung kopi ini merupakan bekas sebuah garasi sebab di pintu masuknya terdapat dua pintu besar yang terbuat dari besi yang berkarat namun, tampak kokoh. Ada beberapa huruf sebenarnya tertera di pintu besi ini namun, karena sudah tertutup karat huruf yang
130 | Ecpose Indie Book
tercetak disana sudah tak lagi bisa terbaca.Di salah satu tepi ruangan berdiri sebuah meja kasir, sejajar di depan sebuah pintu yang belakangan diketahui bahwa warung ini tergabung bersama sebuah rumah. *** Empat sosok duduk manis di sebuah meja panjang bersama sajian-sajian yang sudah mereka pesan sebelumnya. Obrolan dibuka dengan menanyakan diri satu sama lain. Bertanya kesibukan dan kegiatankegiatan lainnya. Standar, klise, tak apalah ini hanya untuk memecah sunyi dan membunuh hening di tengah-tengah mereka. Waktu berjalan melewati detik, menit. Tapi, ada yang salah di sini. Salah seorang dari mereka tak bisa cair masuk kedalam obrolan dan melebur bersama percakapan-percakapan yang asyik. Dia bukan tipe orang yang mudah bergaul, mudah berbicara dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Tapi, di sinilah awal kisah ini dimulai. Tanpa sepatah kata, tanpa perbincangan yang benar-benar utuh. Semenit, dua menit muncul obrolan yang ndak perlu sebetulnya. Tapi, toh ini warung kopi tak ada aturan macam bagaimanapun yang membatasi pembicaraan di sini. Kemudian, salah seorang yang tak sempat benarbenar cair dalam obrolan tadi mengundurkan diri.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 131
Empat meter di depan seseorang sudah menunggunya, sesosok wanita. Belakangan diketahui, mereka pergi masih untuk ngopi juga, namun berbeda dimensi ruang. *** Setting berubah seiring berubahnya tempat dan kawan ngopi. Ngopi kali ini bukan kopi yang jadi sajian utama namun, sebuah minuman (wedhang dalam bahasa jawa). Kondisi tempat ngopi ini pun seratus delapan puluh derajat berbeda dari warung pertama tadi. Jangan pernah bayangkan bahwa tempat ini sebuah warung sederhana, rapi, bersih dan harum, ditambah dengan mbak-mbak pelayan cantik dengan rambut dikuncir ekor kuda. Jangan sekali-kali. Disini kalian hanya akan temukan sebuah gubuk dari bambu tanpa pintu tanpa jendela, beratap genting seadanya, didalamnya hanya digelari sebuah karpet, yang entah kapan terakhir kali dicuci. Di seberangnya bagian atas gorong-gorong yang tak terlalu lebar disulap menjadi tempat nyangkruk dengan menutup bagian atas gorong-gorong dengan campuran batu dan semen. Meski dengan kondisi macam begitu, tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung. Yang menjadikannya berbeda memang dari minuman yang disajikan. Minuman campuran antara perasan jahe, susu kental manis ditambah tape ketan hitam. Disajikan saat kemebul menjadikan hidangan satu ini semakin mengundang
132 | Ecpose Indie Book
lidah segera mencicipinya. Para penikmatya sering menyebutnya Wedhang Cor. Warung ini buka mulai selepas maghrib hingga pukul 01.00 dini hari. *** Kemudian, ada rasa bersalah muncul. Rasa bersalah karena melewatkan sebuah kesempatan untuk sedikit menyapa sosok yang baru dikenal, terlebih perjumpaan itu tak diakhiri dengan benar, setidaknya. Sebuah permintaan maaf terkirim lewat sinyal digital. Mungkin, karena terlalu mengharap balasan, jawaban tak kunjung menemui pasangannya. Satu menit berselang, pesan yang ditunggu akhirnya tiba. Sebuah jawaban yang menghantam terlampau telak. “Oh., aq gk mau jd pgecut...” Sekejap kemudian, permintaan maaf terlontar sekaligus secuil pledoi sebagai penguat argumen. Jawaban singkat diberikan “Aq dtinggal..” Sebuah tanya sekaligus ajakan bertemu di ruang maya diungkapkan. “Udh pulang.. ndak wes,, s0smed mndidik jd pcundang.. aq ndak mau itu.. absurd ktanya.. lnjutin deh,”. Namun, setelah berulangkali merajuk, masih lewat pesan singkat sebuah jawaban yang sedikit menyegarkan terlontar jua. “Ya, sudah dtrima senyumx , trima kasih :)”. Semenjak hari itu, sejak malam itu segalanya berubah. Semua tak sama. Berbeda. ***
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 133
Kini, setelah sekian lama. Sekian kejadian, berjuta-juta kemungkinan dan laku yang sudah dijalani, cerita ini masih layak untuk dikisahkan. Hal sederhana, bahkan mungkin bukan apa-apa bagi sebagian orang namun, kisah tetap berdiri teguh sebagai kisah. Kisah selalu menarik untuk diceritakan. Bahkan sebuah kisah akan tetap hidup sebagai bagian dari hidup dan kehidupan manusia. Jika ada hal yang bisa dipinta dan pasti terkabul, pinta itu hanya satu, “Ayo Ngopi, tebus kembali waktu yang sudah tersiakan di masa lampau.� Sesederhana itu kok.
Fin.. []
134 | Ecpose Indie Book
Cappuccino Ngopi Kenangan Oleh: Fransiska Riski Puspawinarni
P
ertama kalinya dalam hidupku lukisan itu menjadi nyata di depan mataku saat ini. Cahaya warnawarni lampu yang pernah kulukisan dalam otakku sekarang ada didepan mataku. Suasana malam yang kuinginkan sejak lama dan keheningan malam dengan melihat indahnya lampu-lampu malam. Ditemani dengan segelas cappucino dingin yang membuat dingin tenggorokanku. Tak terasa cappuccino ini menjadi sangat enak melewati lidahku saat ini. Serasa ini minuman terenak yang pernah aku minum. Mungkin penyebabnya ada orang yang aku inginkan? Sebut saja begitu lah..tapi dia datang untuk menemaniku atau memberi kejutan padaku? Itu hanya sebuah pikiran yang lewat sesaat.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 135
Kopi dan karamel menjadi secangkir cappuccino, minuman pertama yang membuat kenangan dalam hidupku untuk malam ini. Malam yang nantinya juga akan aku kenang untuk merasakan enaknya rasa cappuccino. Bukan karena racikannya atau sang pembuat yang ahli. Namun karena seorang yang spesial ada di sampingku. Aku tak tahu bagaimana nanti sang cappuccino bisa menjadi teman untuk setiap malammalamku. Mungkin nanti dia menjadi bunga ditengah percakapan yang sedang berlangsung atau hal yang lain. Tapi setelah kejadian itu, cappuccino hangat pun ku suruput dari cangkir mungilku. Sekarang dia menemaniku dalam setiap kesendirian malam-malamku. Tak ada percakapan lagi dengannya hanya secangkir cappuccino yang menjadi teman menginggat semua kenangan malam itu dan malam-malam selanjutnya. Ingin kuberharap sesuatu untuk menggulang ngopi pertama kali itu. Namun bagaimana pun waktu akan terus berjalan tak aka nada lagi ulangan seperti kita melihat video klip di laptop. Sungguh ku merindukan masa-masa itu. []  
136 | Ecpose Indie Book
Ngopi Tak Sekedar Minum Kopi Oleh: Res Mineke Kin Kaori
A
ku, di antara mereka. Aku, di mana namaku sering disebut. Akhir-akhir ini baru aku tahu bahwasanya kegiatan ngopi tak hanya dilakukan pada malam hari melainkan siangpun juga. Awalnya, beberapa orang penggemar minuman kopi berkumpul menikmati secangkir kopi panas dalam satu sudut ruang. Salah satu diantaranya menyukai pahit yang ada dalam kopi, sedang lain diantaranya menikmati campuran susu yang dituang bersama secangkir kopi. Berkumpul bersama, berceloteh, saling mengabarkan. Kegiatan bersama dalam menghabiskan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 137
malam yang terlampau hitam. Hitam? Langit malam boleh hitam, tapi hitamnya kopi sangat dinanti. Aku ada hampir di semua tempat. Tapi kali ini aku ada di salah satu kota yang terkenal dengan tembakaunya yakni Jember. Malam akan terasa lebih nikmat dengan secangkir kopi dan juga sebatang rokok. Pas. Aku tak tahu jika Jember sangat memujaku. Kamu dapat melihatnya sendiri, terlebih daerah di sekitar kampus. Warung-warung kopi berjejer seirama. Dengan semua dekor ala pemiliknya. Bagi yang berduit, mungkin mereka akan menyebutnya cafe dengan interior lampu yang benderang. Sisi lainnya, menyebutnya warung dengan penerangan ala kadarnya dan terkadang mengandalkan lampu jalan sebagai penerangannya. Tak apa. Tak jadi masalah. Yang pasti aku ada diantara mereka. Aku membaur dengan mereka dalam berbagai status. Siswa SMP, SMA, kuliah, bahkan juga pegawai negeri atau kantoran. Lain status lain pula obrolan di dalamnya dan aku tak pernah sekalipun canggung terlibat di dalamnya.Contohnya anak-anak sekolahan SMP dan SMA.Aku diantara mereka. “Eh, aku punya berita heboh neh. Si Alvin jadian ama Dita.�
138 | Ecpose Indie Book
“Loh, iya ta?” jawab yang lain bebarengan dengan mimik wajah yang dibuat seakan-akan kaget.
Kadang juga..
“Kamu katanya suka ama Reni ya, Yan?”
“Enggak.Kata siapa?”
“Lah, kemarin kamu seabis bonceng Reni, tangannya gemeteran gitu.” “Yee.. itu sih gara-gara abis nganterin Reni terus aku kehujanan. Kan jadinya kedinginan.” Namanya juga anak remaja. Sedangkan anak kuliahan beda lagi ceritanya. Mereka bisa duduk berjamjam diwarung dan hanya memesan secangkir kopi demi bisa menikmati wi-fi gratis. Bisa bayangin gak sih kalau si empunya warung pasti gondok banget. Atau kalau gak, secangkir kopi yang mereka pesan akan menemaninya untuk bermain kartu, mengobrol mengenai perkuliahan, dan bagi aktivis organisasi mereka bisa berdiskusi lamaa sekali dan hanya segelintir anggotanya yang memesan minuman lalu mereka menikmati malam hingga puas, tanpa liat kanan kirinya ada pengunjung yang berniat minum kopi tapi tak kebagian tempat duduk. (-_-“) Tapi yang pasti aku ada diantara mereka.Aku senang dengan segala guyonan, obrolan iseng maupun
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 139
serius (yang terkadang ingin membangun bangsa ini menjadi lebih baik), hubungan bisnis yang dilakukan sampai sekedar menikmati malam sebagai anugerah dari yang kuasa. Jika film Filosofi Kopi yang diperankan oleh Chicco Jerikho berkata “Saya tidak pernah bercanda mengenai kopi.” Maka aku pun akan berseru, “Saya tidak pernah bercanda mengenai Ngopi.” Karena aku adalah Ngopi. Di mana Ngopi tak sekedar minum kopi. []
140 | Ecpose Indie Book
Akulah Kopi Oleh: Muhammad Subahillah
M
ungkin ini malam adalah waktu dimana aku kembali mencoba belajar menulis. Setelah sekian lama aku meninggalkan aktivitas itu. Entah karena kesibukan atau kemalasan untuk sebatas berbagi dengan sahabat. Seringkali orang salah kaprah dalam memandangku, terutama sahabat-sahabatku. Mereka begitu mengagumiku, begitu mengidolakanku, begitu menyanjungku, layaknya seseorang yang tahu akan segala hal, akan segala teori sampah. Mereka begitu serius mendengarkan saat aku mulai bertutur. Narsis? Bolehlah kalian gugat aku seperti itu. Tapi seperti itulah adanya. Walaupun semua yang kusuguhkan pada mereka tidaklah mampu mengubah pola pikir mereka.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 141
Sombong? Bisa jadi, tapi jujur saya akui bahwa saya lebih dekat pada kecewa. Kecewa akan diri yang tak mampu berbagi hakikat ilmu. Layaknya sebuah kopi. Begitulah aku. Pada pahitnya aku memendam manis, pada manisnya aku menyimpan pahit. Mungkin bersamanya kita rasakan kenyamanan. Dia hadir sebagai teman saat sepi, sebagai kawan saat hening, sebagai keluarga saat kongkow, sebagai kekasih saat kita sedih, bahkan sebagai mediator dalam kontestasi politik. Aku, kamu, dan kita secara sadar menggunakannya sebagai tanda dan penanda dalam jejak kita. Aku, kamu, dan kita secara tidak sadar begitu menikmati keberadaannya. Semacam candu dalam hidup kita. AKULAH KOPI. Mungkin tulisan ini pula yang memaksaku untuk mengakui dosa masa lalu, bahwa apa yang aku suguhkan dahulu tidaklah semuanya benar. Terkadang ada beberapa pustulat yang kusampaikan itu hanyalah sampah ego. Sampah kesombongan. Karenanya saya minta maaf dan ijinkanlah saya menebusnya melalui tulisan ini. Jika dulu kalian sudah cukup puas dengan sebatas berdiskusi bersamaku, layaknya kau rasakan perpaduan manis dan kentalnya kafein, maka sadarilah bahwa itu hanyalah sebuah sensasi atas rasa. Layaknya KOPI. Sejenak selepas diskusi kita semua tertawa, tersenyum seolah kita sudah menemukan solusi atau
142 | Ecpose Indie Book
konklusi atas permasalahan yang kita bahas. Tapi ketahuilah bahwa kita berada pada dimensi tawa yang berbeda. Aku dengan kesombonganku atas keberhasilan membius kalian pada sebuah citra atas diriku, dan kalian senyum “manis� atas asosiasi citra yang kalian lakukan padaku. Karena kalian temanku, maka kalian akan merasa layaknya AKU. Kalian merasa sudah menjadi bagian intelektual muda yang ada saat ini. Tanpa membaca, tanpa menulis, dan tanpa aksi. Cukup menjadi teman diskusiku. Manis bukan? AKULAH KOPI. Apa pernah kita menggugat KOPI? Tidak. Hampir bisa dipastikan jawaban mayornya adalah tidak. Padahal rasionalitas kita menyadari bahwa KOPI bukanlah solusi atau makhluk yang bisa menyelesaikan semua permasalahan duniawi kita. Keberadaanku dalam lingkungan diskusi kalian tidak pernah kalian gugat. Tidak pernah pula kalian tangkap segala kesalahanku dalam beretorika. Seolah semuanya benar. Tapi pernahkah kalian sadari bahwa dengan begitu kalian tidak akan mendapati apa-apa. Pengetahuan tidak, citra diri pun tidak. Persis sesaat setelah kalian menghabiskan tetes kopi terakhir kalian. Seketika kalian sadar bahwa manisnya kopi sudah berlalu, dan kini tinggal pahitnya yang kalian rasakan. Baru kalian sadari bahwa dengan kecup terakhirmu pada cangkir
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 143
kopi maka kalian kembalikan kesadaranmu akan masalah yang saat ini kalian hadapi. Apalagi yang baru patah hati. Pahit bukan? Tidakkah kalian sadari bahwa keberadaanku bukanlah solusi utama atas dahaga ilmu yang kalian alami. AKULAH KOPI. Apa yang kalian rasakan jika kalian tidur seharian? Mungkin lemes, males dan teman-temannya lah. Tahukah kenapa? Itu karena kita tidak menggunakan fungsi tubuh (jasmani) kita selama sehari. Jika jasmani tidak senantiasa kita gerakan maka bisa saja dia akan menjadi lemah, layu, bahkan lumpuh. Pun dengan batin (ruhani), jika tidak kita pergunakan secara kontinyu maka keberadaannya akan menjadi nihil. Karenanya keseimbangan dua unsur tersebut harus kita jaga. Apalah daya ruhani jika jasmani sedang sakit? Begitu pun sebaliknya, apalah hebatnya raga yang kuat jika tidak diimbangi akal dan hati yang cerdas? Manusia tidak bisa hanya hidup dengan menggunakan nalar dan mengabaikan rasa. Perpaduan keduanya akan melahirkan puncak hakikat sebagai manusia. Sebagai khalifatul fil’ardh. Terciptanya keseimbangan antara ritualitas dan spiritualitas. Namun sebelum menuju keseimbangan tersebut, maka raihlah sebanyak mungkin ilmu pengetahuan. Eksploitasi segala fungsi rasiomu untuk mendapatkan segala ilmu pengetahuan yang bertebaran
144 | Ecpose Indie Book
di jagad ini. Jika dulu kalian sudah merasa cukup ilmu setelah bercengkerama denganku, maka di situlah kalian menegasikan keberadaan nalar. Jangan pernah puas hanya dengan mendengar, tapi carilah, eksplorasilah jagad raya ilmu pengetahuan. Entah melalui buku, blog, atau gudang-gudang ilmu pengetahuan lainnya. Serap semua racikan (ilmu) yang disediakan oleh alam dan suguhkan menjadi sesuatu yang “manis�. Dengan begitu kalian tidak akan lagi menjadi sebatas pengangguk atas segala celotehku, tetapi lebih pada antithesis atas ideku. Ledakkan emosimu, segarkan nalarmu dan raihlah permohonan maafku. Melalui tulisan ini aku berharap kalian menyadari akan kesalahan kalian. Kemalasan akan menambah stock of knowledge-mu. Jangan cepat puas dengan berdiskusi, karena itu hanyalah cara untuk memperdalam pemahaman kita atas ilmu pengetahuan. Bukan gudangnya ilmu pengetahuan. Temukan jati diri kalian sebagai manusia. Iqro’. Bacalah segala sesuatu yang bisa memberimu ilmu. Apapun itu wujudnya, baik sebagai teks maupun konteks (keadaan). Dan selebihnya aku menunggu suguhanmu. Maniskah? Atau Pahit? Terlebih jika KOPI yang kalian suguhkan. Setelah semua hal tersebut sudah kalian lalui, maka saatnya kalian mengasah kemampuan rasamu. Kecerdasan nalarmu haruslah kau imbangi dengan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 145
kematangan spritualmu. Sadarilah bahwa ilmu yang kita dapati akan lebih bermanfaat jika kita bagi dan pergunakan dalam koridor yang benar. Tawazzun. Seimbangkanlah nalar dan rasamu. Mari belajar untuk itu. Percayalah, aku pun senantiasa belajar menjaga keseimbangan keduanya. Bukankah KOPI yang nikmat adalah KOPI yang takaran Gula dan Bubuk KOPI nya seimbang? Dalam manisnya ada pahit, dalam pahitnya bersemayam manis. []
146 | Ecpose Indie Book
Ngopi & Kawan-Kawannya Oleh: Reza Aditya S. P.
B
erawal dari sebuah project kecil-kecilan seorang kawan saya yang kebetulan tampak nganggur. Dengan keseharian nya yang selalu bermalam di pondok kecil nan kumal (-yang parahnya adalah tempat saya menemukan titik balik hidup selama 21 tahun ini, oh shit, love you-), sebuah project tulisan maha biasa ini akhirnya ditulis juga. Dikatakan biasa karena tak akan merubah apapun, tak merubah nilai kuliah juga, tak merubah pandangan saya tentang kuliah menjemukan yang hanya hafalan saja, tak merubah apaapa kecuali psikis saya yang sudah lama tak menulis dan mecoba merangkai kata demi kata lagi lewat tulisan ini. Menyelami setiap kata yang keluar dari otak dan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 147
menerjemahkan nya lewat tuts-tuts keyboard.
Saya siap.
Lalu dengan santai sambil memegang rokok, ia berkata kepada saya,
“NGOPI.. kuwi cobak tulisen mblo.”
Ngopi ? otak saya berpikir. Apa yang bisa saya tulis dari kata yang bahkan tak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ini? Hmm..
“Rodok ngawur sisan temamu, Jek,” balasku.
Sambil tersenyum simpul, ia membiarkanku terlelap dalam alam pikir. Ia begitu menikmati kerutkerut yang timbul di dahiku, menikmati gerak bola mataku ke atas bawah, yang menandakan aku sedang berpikir. “Uwes ora usah dipikir ruwet, dipikir nyantai ae, apa yang kamu pahami dari kata ngopi, ngunu wae.” “Ngopi ya? Hmm berarti guduk Kopi ne yo seng arep ditulis?” tanyaku cepat. “Terserah…. Sepemahamanmu mengenai aktivitas yang dilakukan orang saat minum cairan ireng iki,” tandasnya sembari menyeruput kopi yang sudah dingin dari sejam yang lalu. “Oke.. tak cobak’e,”
148 | Ecpose Indie Book
*** Ngopi, sebagai sebuah kegiatan memiliki banyak arti yang berbeda ketika disangkut pautkan dengan variabel lainnya. Yang dimaksud dengan variabel disini adalah tendensi atau tujuan orang yang akan melakukan kegiatan ngopi itu sendiri. Dalam cerita raja-raja, entah raja siapapun, terdapat sebuah kegiatan yang sekarang ini dapat kita afiliasikan dengan kata ngopi. Contoh saja, ketika seorang raja menerima tamu dari negeri seberang nun jauh. Tak afdol jika rasanya sebagai tuan rumah menyediakan sebuah minuman yang murahan. Jika zaman romawi dulu, anggur dengan kualitas terbaik akan disajikan demi menghormati tamu raja. Selain itu, beragam makanan lain diberikan semata-mata agar tamu merasa senang dan tak lupa juga, kenyang. Baru setelah itu, perbincangan menjadi lebih intens dan berbau serius. Mungkin itu yang dilakukan oleh raja Romawi dan yunani untuk menakhlukan mesir. Merancang strategi perang dan politik untuk mengepung kota yang saat itu dipimpin oleh ratu cantiknya, Cleopatra. Ngopi ternyata memiliki padanan yang serasi dengan politik bukan? Ahh mungkin Bapak Jokowi akan melakukan hal ini dengan berbagai utusan negara AsiaAfrika di bandung akhir April nanti. Cheers, Pak!
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 149
Namun, bagaimana seandainya jika ngopi kita padu padankan dengan sebuah tatanan hidup yang hendak ditanamkan ke dalam pikiran kita? Tampaknya menarik ya. Bagaimana bisa? Mungkin bisa dijawab dengan hadirnya gerai-gerai minuman premium sekelas setarbaks. Seperti yang diketahui bahwa setarbaks adalah gerai minuman yang memiliki franchise besar dan tersebar di penjuru dunia. Beragam jenis olahan kopi disajikan disana. Vanilla latte, Moccachino, American coffee, Arabian coffee dan lainnya dapat kita list sebagai pilihan minuman. Dengan berbagai varian kopi, membuat orang penasaran dan ingin mencoba. Sudah menjadi sifat dasar manusia untuk mencoba hal-hal baru di sekitar mereka hanya demi memuaskan rasa ingin tahunya. Namun nyatanya, motivasinya tak sebatas itu. dengan kemasan yang unik dan rasa kopi yang katanya kelas wahid, membuat orang ketagihan. “Ini baru minuman berkelas,� kata mereka. Tak pelak, kerumunan manusia pencinta kopi premium ini membentuk sebuah identitas baru di tengah masyarakat. Mereka dapat tahan berjam-jam untuk menikmati kopi mahal ini ditambah kursi empuk yang sengaja disiapkan. Tak ada yang salah sih. Karena menikmati kopi dengan cara apapun adalah kebanggan dan cara masing-masing orang. Tapi yang dapat menjadi masalah adalah ketika kegiatan ngopi mahal itu
150 | Ecpose Indie Book
menciptakan klasifikasi baru yang akhirnya menggaet variabel lainnya sebagai kawan. Ya, prestise namanya. Dengan adanya prestise, sebuah tatanan hidup baru telah tercipta. Prestise menciptakan perasaan bangga di diri kita. Menunjukan bahwa kita telah mencapai hal tersebut dan patut untuk diketahui semua orang. Ngopi di gerai kopi premium menjadi penegas prestise dan menandakan kelas sosial tertentu seseorang. Akan menjadi lebih rumit lagi ketika variabel “sahabat” dari prestise, yakni teknologi dijadikan sebagai tanda resmi orang telah masuk ke dalam kelas sosial tersebut. Instagram, Twitter, Facebook, Path dan aplikasi media sosial lainnya menjadi jembatan orang untuk memproklamirkan “gaya hidup” mereka kepada teman dunia mayanya. Ciri khas dari media sosial yang paling kentara adalah dapat langsung diketahui oleh semua orang dan dapat mempengaruhi orang untuk melakukan hal yang sama. Maka dari itu mengapa twitter menciptakan trending topics yakni untuk melihat hal apa yang menjadi tren manusia saat ini. Belum bertemu dengan masalahnya ya? Sabar dulu. Mari kita intip sejenak kawan kita yang masih malu-malu bersembunyi. Dia adalah daya beli. Efek dari kawan yang menguplod foto atau postingan “sedang nyantai di setarbaks” adalah rasa penasaran –kalau tak boleh dibilang cemburu- rasa ingin
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 151
tahu yang menggebu-gebu namun daya beli yang paspasan membuat orang nekat. Apalagi iming-iming prestise, jadilah tanpa pikir panjang orang dengan daya beli pas-pasan akan mencoba menaiki “tangga� agar dapat selevel dengan kawan nya. Minum kopi di setarbaks. Amboi nian rasanya. Sekali-kali sih tak mengapa. Akan menjadi berbahaya ketika menjadi sebuah gaya hidup baru padahal untuk memenuhi makan 4 sehat 5 sempurna dalam sehari pun tak mampu. *** Berbagai macam hal-hal yang berkaitan dengan ngopi dapat menjadi bahasan yang menarik ketika kita ngopi dalam arti harfiahnya. Tak hanya dilihat dari efek sosial budaya ekonomi, namun esensi ngopi sendiri yakni berdialog lepas santai tanpa terikat status apapun menjadi hal yang ditunggu-tunggu. kala melepas penat saat mengakhiri kegiatan sehari-hari dirasa waktu yang pas. Tak pandang bulu entah itu bupati, gubernur, pegawai kantoran biasa, eksekutif muda, tukang parkir, tukang becak atau siapapun, semua bebas untuk berbicara tanpa moderator. Membicarakan pekerjaan boleh-boleh saja, membicarakan bagaimana cara mengurus anak juga silahkan, atau bercanda menjurus agak kasar dan tak senonoh, tak ada yang melarang. Toh, anda bebas menginterpretasikan arti ngopi sendiri karena sebenarnya ngopi adalah sebuah
152 | Ecpose Indie Book
kegiatan untuk mengkultuskan tujuan. Entah sebaik atau seburuk apapun itu tujuan, ngopi memang perlu untuk diadakan. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 153
154 | Ecpose Indie Book
Secangkir Kopi Dari Mimpi Oleh: Hudi Darmawan
“Bagaimana mungkin manusia di luar dari dirimu, diriku, dan dirinya mengerti dan memahami apa yang terpikirkan dan terasa? Tanpa adanya penyuaran pikiran dan rasa itu. Lewat suara dengan barisan diksi atau lewat laku dengan kompleksitasnya. Ngopi media untuk bertemu antara manusia dengan manusia, berdialog dan menemukan sebuah irisan.�
J
alan masih ramai dengan alunan knalpot-knalpot yang begitu produktif menghasilkan karbon monoksida. Langit bagian barat mementaskan keelokan mega merahnya. Detik dalam masa terus berjalan tanpa tahu kapan akan berhenti. Mungkin hingga
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 155
pemilik masa yang sesungguhnya menghentikannya. Gelap menyelimuti tanah yang akrab dengan tanaman tembakau. Karya Alva Edison membagi sinarnya dan memecah gelap. Sesosok manusia keluar dari ruang kubus, membawa tas ransel hitam yang tak terlihat hitam lagi, kelabu karena terlalu sering bergumul dengan debu-debu jalanan dan teriknya surya. Langkanya terus menjauh meninggalkan ruang kubus, seratus langkah lebih hingga akhirnya ia mencapai ruang kubus berikutnya. Ruang kubus yang berbeda dari sebelumnya, tak ada bangku-bangku berjajar, dan tak ada barisan diksi tentang “Teori Ekonomi� yang disuarakan oleh Sang Empu. Tembok dalamnya berwarnakan kuning dan orange dibagian luar. Dia masuk, matanya tertuju pada papan kayu yang menempel ditembok ruang itu. Dia membaca. Aku Kalau sampai waktuku Kumau tak seorangkan merayu Tidak juga kau Tak pernah sedu sedan itu
156 | Ecpose Indie Book
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang dan menerjang Luka dan bisa kubawa lari Berlari Hingga hilang pedih perih Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
“Brun, lapo koen nang sekret dewean?” tanya Sudrun. “Gak onok, iku moco puisi nang tembok” jawab Sambrun.
“Pak Ipul piye? Golek tahu anget.”
“Ngopi ae Drun! Lapo golek tahu jal?” balas Sambrun. “Cok, Pak Ipul gak bakulan tahu tok, yo sak dulure pisan. Salah sijine kopi. Gak kenal mbi pak Ipul yo? Kakean ndelok sinetron koen!” “Gak onok hubungane lah ndelok sinetron mbi gak kenal karo Pak Ipul,” sanggah Sambrun.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 157
“Tak jelasne On The Spot waelah, ayo budal !” ajak Sudrun dengan ekspresi memaksa. *** Ruang berganti. Warung Kopi Pak Ipul, tanpa free wi-fi dengan dekorasi warung super simple, hanya ada satu meja dan beberapa bangku mengelilingi mejanya. Tak ada hiasan apapun kecuali senyum langka dari pemilik warung. Dan anehnya kenapa Sudrun maksa banget ngajak Sambrun nyambangi Pak Ipul. Apa mungkin karena saat itu akhir bulan Maret?
“Koen opo cok?” tanya Sudrun.
“Aku yo menungsolah.”
“Jancok, koen pesen opo maksute?” nada tinggi Sudrun. “Kopi campur gulo trus ditambahi banyu umup,” jawab Sambrun.
“Asu tenan arek iki,” gumam Sudrun dalam hati.
“Eh Drun!”
“Opo?”
“Kan ngene tho. Awake dewe iki mung urip nang tulisan iki. Lan seng nulis yo ngawur pisan. Gak onok sensor. Cak-cok an thok isine. Gek opo enek seng moco coba?” tanya Sambrun.
158 | Ecpose Indie Book
“Paling seng nulis iki ngarep-ngarep wong khilaf lan nanggur banget trus gelem moco! Paling,” jawab Sudrun sambil nyamil tahu yang baru diangkat dari penggorengan seakan lidahnya mati rasa terhadap panas. “SMS-en penulise. Ojok jowoan ae dialog e. Direken kabeh manungso ngerti jowo. Ora kan!” “Sek Tak SMS-e,” celoteh Sudrun sambil mengeluarkan Nokia 1208 yang mulai punah. *** Dan SMS dari handphone yang hampir punah milik Sudrun itu telah terkirim ke penulis. Penulispun mulai berpikir mau diapakan dan dibagaimanakan tulisannya yang pada awalnya tanpa arah dan tujuan yang jelas. “Eh Drun, kenapa kamu ngajak aku ngopi? Kan ngopi itu buang-buang waktu? Tak jelas arah dan tujuannya? Beda ketika aku mengerjakan tugas kuliahku Drun, aku ikhlas mengerjakan tugas kuliahku dan itu tak terlepas dar keikhlasanku untuk mendapatkan nilai baik dari Bapak atau Ibu Dosen? Tanya Sambrun untuk menambah barisan diksi penulis. “Nilai baik! Baiknya kamu dapat nilai apa Mbrun?” Tanya balik Sudrun.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 159
“Ya dapat A lah. Kan aku sudah ikhlas”
“Kamu ikhlas dapat A?” tanya Sudrun dengan raut muka serius. “Ya iyalah Drun. Memang ada mahasiswa yang dapat nilai A terus dia tak ikhlas?” “Ya kalau ada, berarti banyak mahasiswa goblok Mbrun. Tapi masalahnya begini Mbrun, ketika kamu memperoleh nilai A dan kamu menganggapnya itu adalah semiotika (tanda penanda) bahwa kamu adalah manusia pintar dalam mata kuliah yang kamu tempuh tersebut, namun apakah ketika mendapat B, C, D, atau E kamu berubah menjadi bodoh seketika itu?” tanya Sudrun untuk memulai ‘peperangan’. “Ya ndak juga. Ketika Sang Empu memberiku A, B, C, D, dan atau E ya pemahamanku terhadap ilmu dan pengetahuan yang aku terima juga nggak berubah sebelum aku mendapatkan nilai itu. Jadi tidak ada perubahan atau meningkatnya pemahamanku. Tapi kepuasan dan kebanggaannya itu Drun!” jawab Sambrun. “Oww… Puas dan bangga. Jadi utamanya untuk mencari kepuasan dan kebanggaan? Katamu mahasiswa itu agent of changes dan agent of control, tapi kamu kok hanya mencari kepuasan dan kebanggaan buat dirimu sendiri Mbrun?” Imbuh Sudrun sambil
160 | Ecpose Indie Book
menggiling tahunya yang kesepuluh. “Agent of changes dan agent of control itu kan idealnya. Dan aku terlalu sering mendengar bahwa menjadi mahasiswa merupakan ruang untuk membangun idealisme-nya, namun ketika memasuki rimbanya dunia kerja idealisme itu harus kamu ‘bunuh’ karena bertentangan dengan iklim yang ada. Jadi percuma jika saat ini aku menjadi manusia yang berjuang membangun idealismeku sendiri, toh akan aku bunuh sendiri. Kelihatan bodohnya tho aku?” jawab Sambrun. “Ya kamu cukup bodoh. Mungkin ibu tahu akan hal itu maka kamu dikirim ke perguruan tinggi, ben enek legitimasi bahwa kamu pintar yaitu dengan nilai A yang telah kamu koleksi dalam gudang Transkrip Nilai.” “Drun, masalah kuliah dan nilai jangan kita yang membahasnya! Biarlah para Empu yang memikirkan hal itu, biar nggak percuma gaji yang diterima,” kata Sambrun sambil menyeruput pesanannya tadi. “Iyolah, kita mah apa? Dua manusia khayalan yang cuman hidup dalam barisan diksi sedikit ngawur yang ditulis oleh penulis ngawur. Dan dialog yang kita lakukan kanyaknya melenceng dari tema tho Mbrun?” tanya Sudrun.
“Ngopi dan Secangkir Dialektika, itu temanya.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 161
Ini kopinya mana?” tanya balik Sambrun. “Nah itu yang menjadi pertanyaanku. Biar tak anyakan pada penulis,” jawab Sudrun sambil ngetik SMS di 1208-nya. *** Dering suara 1208-nya Sudrun. Ada pesan yang hinggap disana. “Lek masalah kopi Drun, Koen tako’o nang Pak Ipul ae!” sebuah pesan dari penulis.
“Jancok penulis iki,” gumam Sudrun dalam hati.
“Pak Pul, gimana pandangan sampean tentang Ngopi?” tanya Sudrun sembari mengambil nasi bungkus di meja. “Terserahkan jawabannya? Tidak harus seperti Ujian Akhir Semester-nya kamu yang harus baik dan benar?” tanya balik pemilik kedai. “Sak karepmu wes Pak Pul, feel free,” jawab Sudrun diiringi keasyikannya melahap nasi bungkus. “Ngopi bagiku merupakan penyambung nafas. Ya karena aku pedagang kopi, dan dari sinilah dapur rumah saya mengepul,” jawab Pak Ipul sambil mengaduk-aduk kopi pesanan pelangggan kedainya.
“Mek ngunu thok Pak Pul!”
162 | Ecpose Indie Book
“Selain itu dari kedai inilah saya dipertemukan dengan banyak manusia. Dari setiap manusia-manusia yang saya jumpai semuanya memiliki karakter yang berbeda. Umur yang berbeda, bahasa, asal-asul, dan topik obrolan yang berbeda pula. Ada yang diskusi di sini, berbicara tentang Jokowi dan kebijakannya, mengkaji perpolitikan Indonesia yang semakin tak jelas juntrungannya. Ya kedaiku mirip panggung seminar di kampusmu lah, cuman yang membedakannya di sini topiknya terserah dan bebas, tak ada pemateri yang didatangkan khusus. Pematerinya mereka sendiri,” jelas Pak Ipul yang mulai bosan menjawab pertanyaan Sudrun. “Moderatornya sampean?” tanya Sudrun lagi. “Tak ada moderator. Mereka tahu kapan harus bicara dan kapan harus mendengarkan teman bicaranya. Tapi topik yang dibicarakan tidak melulu hal-hal yang serius. Ada juga yang ngopi sekedar menikmati kopi dan curhat-curhatan tentang asmara, dan itu membuat perut saya sakit,” tegas Pak Ipul. “Lha kenapa kok sakit perut?” “Menye-menye bahasannya. Hal itu menyeret saya ke alam kenangan,” jawab Pak Ipul yang mulai menikmati obrolan dengan Sudrun.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 163
“Jadi ngopi itu bisa dikatakan keren dan juga bisa tidak, tergantung mau diisi apa forum ngopinya. Juga mirip dengan kuliah. Ada yang serius dan sadar bahwa itu merupakan amanah dari orang tua dan perintah Tuhan untuk mencari ilmu, namun ada juga mahasiswa ketika masuk ruang kubus dikampus masih sibuk dengan gadget dan sosial medianya, yang penting absensinya gak bolong dan dengan itu kemungkinan dapat nilai A seperti harapannya Sambrun dapat terbuka lebar,” komentar Sudrun. “Kuliah dan ngopi ibarat pisau. Dapat digunakan memasak di dapur dan dapat juga melukai kamu dan orang lain,” celoteh Pak Ipul menanggapi Sudrun. Tiba-tiba ada suara menggelegar seperti suara bom atom yang jatuh di Hirosima dan Nagasaki. Pandangan Pak Ipul, Sudrun, dan Sambrun menjadi putih tak terlihat apapun. *** Ruang berganti. Sesosok laki-laki yang tertidur di kursi bersandar pada meja di depannya mulai menggerakkan tangannya. Tangannya menggenggam pena. Dia terbangun kemudian berdiri mengambil kertas, dia mulai menulis. Diawali dengan judul “Secangkir Kopi Dari Mimpi”. []
164 | Ecpose Indie Book
Menatap Keheningan Oleh: Affrizal Andifahmi
“ Keramaiam sedikit menyelimuti malam ini Bersendiri diantara yang tidak sendiri Menyendiri diantara yang ada menemani Pekatnya pun sama seperti malam Seperti warna secangkir kopi susu hangat Menunggu dingin di penjelangan pagi Pernahkah kau menginginkan punya arti lebih Arti lebih dari arti secangkir kopi Atau melebihi cangkir-cangkir lain yang menenangkan Atau seperti dingin yang terkadang luntur dan tidak membawa arti keramahannya. “
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 165
166 | Ecpose Indie Book
BAGIAN 6 Senggang
“Akhirnya saya berpikir pokoknya posting, terserah mau posting apa saja boleh. Lumayanlah buat ngilangin bosen dalam kesendirian. Ya ini hasilnya, tulisan nggak jelas.�
(Hudi Darmawan)
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 167
168 | Ecpose Indie Book
Mencoba Bergairah (Lagi) Oleh: Reza Aditya S. P.
G
lunthang-glunthung nggak jelas. Keliling ke kamarkamar yang ada di rumah. Mencoba mencari kasur yang paling pas untuk ditidurin kepala ini. Nemu. Di kamar bawah. Tapi ya gitu. Nggak ada kesan. Datar. tidur pun juga. Mimpi masih hitam semuanya. Hal ini kemudian terus berlanjut malam harinya. Pegang hape. Buka-buka sosmed, cek status temen, stalking gebetan. “Oh dia sekarang sama ini toh?� atau, “mojok.co udah ada tulisan yang baru.� Nyinyir siapa lagi?
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 169
Oalah Pak Beye.. Kenapa lagi si doi? Hmm... lagi sibuk pembelaan diri ya karena merasa eranya dulu di salah-salahin oleh pemerintahan sekarang? Oalah Pak, sekarepmu... Mantan kok ya dipikirin, yang sini punya aja belum. Eh. Sedikit sumringah kemudian diri saya menertawai sang mantan, namun akhirnya kembali lagi. Datar. Hmm, ngapain ya? Lagi enak-enaknya sibuk mikirin mau ngapain malam ini, elah dalah kok tiba-tiba muncul sebuah bunyi centang-centing BBM dari temen saya. Ada apa gerangan? Kenapa tiba-tiba? Ganggu “kesibukan� saya aja. Saya buka kemudian pesan tersebut, isinya... “Nganggur, Rez? Ayok ngop.� Awalnya saya malas. Bukannya apa. Ngajaknya aja jam setengah 9 malam. Jam malam bray! Eh bukan.. maksudnya, ini udah waktunya saya lagi khidmatkhidmatnya main game Shadow Fight 2. Game yang isinya pukul-pukuli bayangan musuh. Bisa dibayangkan serunya ketika darah character kita tinggal dikit terus bisa comeback mukul habis lawan dengan pukulan combo sampai 7x. Dunia binatang pun saya panggil guna mengekspresikan kegembiraan saya. Ya lalu kemudian dengan takzim saya nyebut sih. Tapi itu memorable dan bikin hati naik moodnya. Dengan malas kemudian saya
170 | Ecpose Indie Book
balas,
“Saiki? Nggak kebengen ta? Nangdi?”
Lalu ia membalas,
“Nggak, iki nata karo krisna oyi. Nata sek futsal, Krisna sek nak koncoe. Yo paling jam 10an lah.” Membaca isi pesan BBM itu semakin saya biarkan saja. Dalam hati, iki wes bengi rek. Wes males arep metu. Lalu saya balas bbm nya..
“Gampang wes, ndelok engkok.”
Saya tinggalkan BBM temen saya, si Putra itu, lalu kemudian nerusin nge-game-nya. Meneruskan perjuangan si Shadow, nama karakter dari game saya, untuk melawan tirani bernama Shogun dari kekaisaran Jepang. Hal ini menurut saya lebih mulia daripada mengikuti kopi-kopian tak jelas juntrungannya. lagi.
Pukul 22.15 kemudian ada pesan BBM masuk
“Ayoo rez, nang pujasera sumbersari. Saiki. Aku otewe. Tak enteni kunu.” Hmm.. dengan menimang-nimang waktu yang ada serta kesuntukan saya karena nggak bisa ngalahin bos besar Shogun, saya balas kemudian.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 171
“Okee, ketemu kunu yoh.� Singkat kemudian saya ganti baju, pakai jaket, nyetater sepeda dan kemudian pamit kepada om-om kos pemilik rumah. Berangkatlah kemudian saya ke tempat perjanjian ngopi kami. Santai. Menikmati Jember malam hari yang masih sedikit ramai. Bulan sudah mulai keliatan meskipun tak sempurna. Ia malu-malu mau untuk muncul. Sekali-kali sinarnya ditutupi oleh awan hitam. Pertokoan di Jember pun sudah mulai gelap. Hanya menyisakan lampu-lampu jalan dan neonbox yang menyala dari toko mereka. Saya hirup udara segar dan dingin ini dalam kecepatan 40-50km/jam. Sembari memutar-mutar kembali ingatan saya. Saya selalu suka akan momen ini. Ketika sebagian orang sudah mulai terlelap dalam tidurnya dan menyiapkan diri untuk bangun esok pagi. Saat semua pikiran telah diistirahatkan dalam dengkuran nafas-nafas teratur dan berirama. Otak saya mulai bekerja kembali untuk mereview apa yang sudah saya lakukan dalam hidup ini. Apa kesalahan-kesalahan saya. Dan bagaimana caranya agar menyelesaikannya. Begitu pelan, nikmat, dan santai. Hal tersebut berlangsung cukup lama. sampai di suatu masa, tiba-tiba kenikmatan itu berhenti dengan terpaksa ketika saya sampai di jembatan Gladak
172 | Ecpose Indie Book
Kembar, Sumbersari. Ada suatu hal yang membuat saya merasakan bahwa hari ini adalah hari yang mampu menggairahkan hari saya. mampu memberantas tuntas rasa bosan dan ndak jelas yang saya rasakan hari itu. Untuk kemudian nantinya dapat saya kenang untuk dingat-ingat, entah dengan mood yang bagaimana. Jadi begini, awalnya motor Jupiter saya melaju agak kencang di jembatan itu untuk kemudian saya ambil ancang-ancang belok ke kiri guna mencapai tujuan. Posisi motor ketika itu berada di belakang mobil, kalo ndak salah Terios warna hitam juga mengambil arah yang sama dengan saya. Merasa tak ada hambatan, saya ikuti saja mobil itu dari belakang. Lalu kemudian, ketika motor telah mencapai tengah-tengah antar persimpangan jalan menuju sumbersari dan ke kiri nya lagi menuju jalan sumatra, munculah sepeda motor berjenis matic di depan saya. Refleks, tangan saya menginjak rem depan dan kaki menginjak rem belakang. Tak lupa pula bel speda saya bunyikan,
“TIIIIIIIIIIIIIIINN!”
Tak puas dengan itu saya berteriak,
“WOIIII!”
Si doi... bukan, bukan sang mantan presiden itu, tak dinyana juga membalas teriakan saya dengan kata yang sama.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 173
“WOIII,� ujar mereka dengan intonasi yang agak rendah dari saya. Mendengar hal itu, makin beringsut marah pula hati saya. Kenikmatan saya yang telah berjalan cukup lama diatas motor harus diganggu dengan kejadian nggak penting yang sialnya membahayakan diri. Saya juga berpikir, orang ini tahu peraturan lalu lintas di Jember nggak sih? Sudah tahu kalau kendaraan yang datang dari arah Pakusari/Smasa Jember jika ingin masuk ke Jalan Sumatra, maka ia harus memutar dahulu dengan mengikuti jalan menuju Pakem. Lalu di sana ia bisa berputar balik ke arah jembatan gladak kembar. Nah baru kemudian si pengendara boleh melanjutkan perjalanannya ke Jalan Sumatra. Makin dongkol pula saya ketika melihat supir matic cecunguk ini nggak pakai helm. Bukannya apa. Jika ia terjatuh dan kepalanya membentur jalan emang siapa yang mau tanggung jawab? Pak Beye yang terhormat? Nggak mungkin lah. Jalanan sepi. Itu juga mungkin Pak Beye juga udah tidur kalo emang mereka kerabat dekat beliau. Semua kesimpulan dan prasangka seperti diatas dengan cepat terkumpul di otak saya yang lalu kemudian membuat mulut semakin tak terkontrol. Ada semacam setan yang tak terlihat yang kemudian merasuki saya. Mengendalikan otak, mulut serta tangan
174 | Ecpose Indie Book
saya. Sang mulut sibuk mengumpulkan huruf-huruf yang pas untuk dilontarkan dalam 1 kata yang efektif dan efisien guna menghasilkan dampak yang signifikan dan juga... mematikan. Mungkin uji realibilitas dan normalitas menemukan padu padan nya saat ini. Hal yang kemudian menjadi momok temen-temen skripsi saya ketika melakukan penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Oke.
Saya ngelantur.
Kembali kemudian, ketika kata-kata itu sudah siap untuk dilontarkan, dengan refleks yang baik macam Gianluigi Buffon, tangan saya membuka kiranya setengah dari kaca gelap helm saya. Lalu kemudian..
“GOBLOOOOOOOOOKKKK!�
Bahagia. Indah. Lega. Tak terkira rasanya ketika sebuah kata sakti itu terlontarkan. Seperti kamu, iya para jomblo-jomblo disana yang udah lama sekali pedekate dan nembak terus diterima. Ya seperti itu rasanya. Meskipun saya belum pernah. Tolong kapankapan saya dikursus ya. Jangan mahal-mahal. Temen sendiri kok perhitungan. Dosa. Ketika rasa jumawa, dan lega masih saya nikmati, sepersekian detik kemudian rasa bahagia itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah teror yang tak pernah
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 175
saya bayangkan sebelumnya. Si supir matic cecunguk itu secara refleks kemudian mengubah arah motornya dari arah Jalan Sumatra menuju ke arah Pakusari. Sepertinya setan yang tadi merasuki diri saya telah memutuskan berpindah tuan. Ya benar. Si supir cecunguk beserta temannya telah merubah arah tujuannya. Berganti target operasi, dan itu adalah..... SAYA!! Saya sedih. Begitu cepat perasaan ini berpindah. Saya merasa diselingkuhi... oleh si setan. Motor saya yang sebelumnya berada pada kecepatan 30km/jam mendadak berakselarasi menuju 60-70km/jam dengan cepat. Rasa teror mengalahkan akal sehat saya akan bahaya yang mungkin terjadi seandainya ada kendaraan lain di depan. Dengan modal start lebih awal saya pacu si Jupiter. Melesat. Seperti tag nya yang terkenal itu “Semakin Jauh di Depan� Namun ketika saya sudah merasa jauh di depan mereka, tak disangka lampu merah depan kantor RRI menyala. Hmmm mati ae wes!! Merasa tak punya pilihan, usaha terakhir saya lakukan yakni memposisikan motor sedepan mungkin. Jaga-jaga ketika lampu berganti hijau saya bisa berakselarasi secepat kilat. Sambil menunggu lampu berganti, dengan tak sabar saya mengawasi kaca spion. Kalau-kalau ada hantaman atau apa saya bisa siap. Tak lupa, dengan
176 | Ecpose Indie Book
cepat saya men-setting persneling motor di gigi 1. Tangan sudah mbukak gas setengah. Saya siap meluncur apabila keadaan mendesak dan memaksa. Peduli setan dengan lampu yang masih merah.
Persiapan selesai.
Dan kemudian... Yang ditunggu dan dirindu akhirnya datang juga. Dengan muka celingak-celinguk, ia mengawasi sekitar untuk mencari keberadaan saya. Sambil berceloteh dengan kawannya, ia mengedarkan pandangan. Saya yang grogi-grogi disko gitu sudah siap melepas gas yang saya tahan. Lalu kemudian, dua cecunguk ini berhenti tepat sekitar satu meter di sebelah kiri saya. Pas!!
Hawa menjadi dingin tiba-tiba.
Dalam diam di atas motor saya berpikir. Kalau saja mereka memegang tangan saya atau paling buruk memukul, paling-paling saya akan menghardik lalu kemudian skenario diatas saya jalankan. Meluncur dengan kecepatan penuh. Akan saya pecahkan langsung rekor kecepatan akselarasi Lambhorgini yang mampu mencapai 100 meter dalam 3.7 detik. Saya haqul yakin. Diluar dugaan, ternyata mereka tak sadar dengan keberadaan saya. Ditambah lagi, Dengan celotehan jawa yang khas mereka berkata,
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 177
“Pokok lek ketemu gasaki ae wes, sikaat.� Saya yang mendengar kata-kata itu dengan jelas, diam saja. Bukannya takut untuk bertarung. Tapi saya lagi males untuk ribut dengan orang lain. Sudah malam. Tangan saya nggak mood untuk pukul orang. HAA? Apa?!! Kamu kira saya takut apa!! Ginigini saya pernah ikut karate dahulu. Naik sabuk pula. Dengan pujian. IPK eh nilai kumite dan kata saya paling bagus saat itu. Jadi siapa takut!! Ayo majuu!! Ya lalu kemudian kalian tahu kalau paragraf barusan adalah sebuah kesia-siaan yang anda baca dan saya lagi berandai-andai. Selamat! Tapi, yang sabuk itu beneran kok. Sumpah. Kembali ke cerita, kemudian dua cecunguk tadi setelah berkata seperti itu lalu mengarahkan motornya belok kiri menuju arah Gunung Batu. Bertepatan dengan itu, lampu merah berganti dengan hijau. Dengan akselerasi penuh saya menggeber motor. Sambil kemudian menoleh ke arah kiri berharap-harap cemas mereka tiba-tiba menyadari saya dan kemudian balik arah guna mengejar. Demi menghilangkan resiko dikejar, saya akhirnya mengambil keputusan instan dan alhamdulillah matang guna banting masuk ke Jalan Doho. Pikiran saya, gapapa lah telat sedikit daripada keburu sampai
178 | Ecpose Indie Book
yang ternyata nanti malah benjut karena ketahuan. Dengan gaya berpikir ala-ala Arsene Lupin saat dikejar Sherlock Holmes, saya memutuskan menggunakan metode melarikan diri yang sempurna. Setelah masuk ke Jalan Doho saya menggeber motor. Dengan kecepatan lumayan, saya geber motor memutari Perumahan Bukit Permai. tak lupa pula saya matikan lampu depan sementara guna mengejar misi menghilangkan jejak ini berakhir dengan status completely finished. Sambil menoleh spion saya memastikan mereka tak membuntuti. Perjalanan memutar yang singkat namun penuh adrenalin tinggi ini kemudian saya akhiri dengan berhenti di lampu merah bukit permai. Celingakcelinguk arah kanan kiri serta tak luput arah berlawanan dilakukan guna memastikan tak ada sergapan tiba-tiba yang berpotensi mengagalkan misi mulia ini. Aman. Tak sampai 30 detik, saya kemudian menggeber laju motor ke arah kanan menuju tujuan semula. Jantung kemudian berdetak lebih pelan dan adrenalin mulai berkurang. setibanya ditempat, dengan langkah pelan dan penuh takzim, saya menghampiri teman saya. Seperti yang diduga sebelumnya, saya terlambat. Lalu kemudian banjir racauan dan hujatan muncul dari mulut mereka. pertanyaan sejenis kok suwi-kok suwilambat-siput menghiasi telinga saya.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 179
Dalam hati saya berkata, hei kalian, tak tahu ya teman mu ini tadi menyabung nyawa guna menghadiri jamuan ngopi dari kalian. Mbok ya dihibur gitu, gumam saya. Ealaah.. harapan pun tinggal harapan. begitu saya bercerita panjang lebar, mereka malah menertawai saya. sudah gitu berlagak kalau mereka jadi saya, mereka akan turun tangan dan melawan balik. Uhh... mulia sekali. []
180 | Ecpose Indie Book
Nada Dalam Kesendirian Oleh: Hudi Darmawan
M
anusia. Makhluk unik, menurut saya begitu. Jutaan manusia yang ada di muka bumi ini kok tak ada yang sama. Kembar pun sekilas serasa sama secara visual, namun jika dikhatamkan untuk melihat, eh ternyata beda juga. Eh ada lagi yang unik, perjumpaan antara kau dan aku. Aku tak pernah berdoa tentang perjumpaan itu. Dan lagi-lagi Tuhan itu maha perhatian kepada hambanya, “Ya kok tahu saya butuh teman Ngopi�. Tuhan memang begitu, semau-maunya Dia. Egoiskan Tuhan?? “Ya kudu egois, Tuhan!! Kan sebel juga Tuhan, tiap hari dengerin doa-doa kita. Kadang nggak ada unggah-ungguhnya, kayak ngajuin proposal
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 181
pencairan dana.” Mungkin gitu ya fungsinya beragama, punya tempat curhat dan minta-minta. Asik kan beragama. Eh, bisa juga dengan agama untuk ngumpulin masa buat demo, lumayan uangnya bisa buat ngopi. Syaratnya ya harus punya organisasi yang seolah-olah memperjuangkan Agama dan Tuhan. Bisa banyak tuh yang ngumpul. Nyari surga, Gan. Waktu itu saya kebetulan pernah ngaji, di langgar deket rumah. Kalau nggak salah sih, waktu itu suara guru ngaji saya terdengar samar-samar, “Tuhan itu mahal awal dan maha akhir, dan maha kuasa….” Maha kuasa, kuasanya atas segalanya. Atas saya dan kamu juga lho, walau kadang saya sering bilang, “Kamu berkuasa atas dirimu.” Maksutnya kuasa itu hanya beberapa persen. Kecil banget kayaknya. Jadi Tuhan maha kuasa, kenapa saya harus sok-sok an membela Tuhan. Rasanya aneh malah. Saya membela Tuhan, saya siapa emang?? Bersin saja saya tak bisa mengatur, mau membela Tuhan. Iblis bisa jadi tertawa kecil mendengar pernyataan itu. Terus Iblis rasan-rasan nyinyir tentang manusia, eh salah tentang saya, “Kok bodo seh, gak moco jok-jok. Mangkane tansoyo pekok.” Sudahlah, Tuhan mampu kok menjadikan semua manusia di dunia jadi beriman kepadanya, dan jadi baik semua. Tapi Tuhan tak melakukannya. Mungkin agar Iblis ada kerjaan. Mungkin. Dan juga
182 | Ecpose Indie Book
agar otak manusia yang Tuhan ciptakan tidak sia-sia, biar digunakan untuk berpikir dan mencari kebenaran. Waduh, saya kok jadi sok Tahu tentang Tuhan. “Maaf ya Tuhan, saya bukannya sok tahu. Hanya saja sok kenal. Jangan marah ya. Peace. Nanti saya sembahyang deh.” Sebentar, kok ada yang aneh ya. Tulisannya kok nggak nyambung dengan judul dan kutipannya. Saya mohon izin berpikir. Jadi begini, saya lagi bosen dan sendiri, akhirnya saya memilih menyapa blog yang lama suwung. Akhirnya saya berpikir pokoknya posting, terserah mau posting apa saja boleh. Lumayanlah buat ngilangin bosen dalam kesendirian. Ya ini hasilnya, tulisan nggak jelas. Tolong dimaafkan ya. ini hasilnya, tulisan nggak jelas. Tolong dimaafkan ya. Serta saya ditemani alunanan lagu dari playlist “FOLK WALKER“ di Spotify, asik buat nemanin kegiatan nulis gak jelas kayak gini. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 183
184 | Ecpose Indie Book
Terpelajar, Maka Adil Oleh: Nayla Rizqi Kholifandari
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.“ -Bumi Manusia, Pram.
S
aya pikir, setelah membaca penyebab Jean Marais mengutip kata tersebut untuk Minke, sudah cukup menjadi patokan saya untuk menjelaskan maksud dari kutipan. Tapi ternyata, leher saya terasa tercekik, dan lidah terasa kaku ketika seorang teman menanyakannya, selepas beberapa menit kutipan itu mencuat dari kecapan mulut saya.
Seperti tertodong belati, selain kekikukan
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 185
menyambar, saya merasa terhakimi oleh diri sendiri. Rupanya saya termasuk pada golongan orang tidak bertanggungjawab. Saya tidak mempertanggungjawabkan apa yang telah terbaca. Mungkin saat itu saya membaca dengan tatapan kosong. Maksudnya membaca tapi tidak membaca, karena menurut seorang guru dalam proses membaca harus juga dilengkapi dengan kecakapan menalar. Dalam membaca, saya terbiasa membaca dalam hati, tentu sang mata juga terus berjalan menapaki tiap katanya. Namun sayang, untuk menjadi konsisten dalam menalar acap kali goyah. Anggap saja dalam menalar yang kita butuhkan adalah mata bayangan, jadi mungkin saja saat membaca nasihan Jean Marais untuk Minke mata bayangan saya tidak ikut berunding dengan akal. Sehingga mata bayangan yang seharusnya membantu dalam mencerna tidak benar-benar berfungsi. Dalam cerita minke, Jean Marais menginginkan dia untuk tidak secara mentah-mentah mempercayai apa yang dikatakan kebanyakan orang tentang keluarga Mellema. Tentang kengerian yang akan mengancam siapa saja yang berhubungan dengan keluarga tersebut. Lantas kemudian Jean Marais mengutipnya untuk Minke. Hingga pada akhirnya Minke memutuskan untuk membuktikannya sendiri.
Saya
tidak
186 | Ecpose Indie Book
bermaksud
membuat
sebuah
sinopsis Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer, hanya saja saya tidak bisa move on dari pertanyaan teman tentang kutipan tersebut. Hanya sedikit yang bisa dijelaskan, itu pun pada diri saya sendiri lantaran tidak begitu yakin dengan pemahaman diri mengenai maksud berlaku adil dalam pikiran. Dari cerita itu, kesimpulan singkat tersentil dari pikiran, bahwa dalam membenarkan perkataan orang tidak seharusnya secara cuma-cuma mempercayainya. Lagi-lagi sama seperti yang dikatakan Jean Marais pada Minke. Jangan-jangan tidak berfungsinya nalar termasuk perilaku tidak adil dalam pikiran. Jika yang biasa disebut teman saya adalah sebuah ilusi, apakah ketika akal tidak paham akan suatu hal berarti juga ilusi dan lantas tidak belajar menjadi adil dalam pikiran. Bahkan tidak bertanggungjawab, mungkin. Alih-alih mengenai tanggung jawab, saya membenarkan kutipan itu dan menjadikannya pegangan sakral. Kenapa tidak, ketika sekedar kutipan pun dapat membuat bangkit dari nestapanya kemalasan. Semoga saja bisa lebih adil dalam pikiran, terutama dalam membaca. []
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 187
188 | Ecpose Indie Book
Mengutip Oleh: Totok Handoko
I
de menulis tentang ini muncul ketika saya hendak menulis sebuah artikel. Sebelumya saya ragu hendak menulis, lantaran setiap kali—meski jarang—membaca, saya selalu menemukan nama-nama orang yang asing buat saya dalam tulisan yang saya baca. Bahkan hampir selalu ada kutipan-kutipan yang saya sama sekali blank terhadapnya. Saya jadi mangkel dan ingin mengumpat rasanya. Ya jelas! Saya membaca disebabkan hasrat ingin banyak tahu, kok malahan banyak tidak tahunya. Ini bukan bualan saya saja. Saya sempat mengamati beberapa tulisan. Di dalamnya banyak sekali kutipankutipan atau nama seseorang yang disinggung-
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 189
singgung. Orang yang dianggap pemikir, tokoh berjasa, atau apalah saya tidak mau ikut campur. Kalau boleh jujur, mungkin saya orang pertama yang segera mengacungkan tangan ketika ada orang yang meminta kesetujuan bahwa kutipan itu harus diminimalkan. Atau mungkin juga—lebih ekstrim— dihilangkan saja. Lantaran dari kebanyakan tulisan yang pernah saya baca mengandung unsur kutipan, saya merasa diambangkan. Akankah saya mempertahankan keyakinan saya untuk tidak mengutip atau ikit-ikutan menuliskan kutipan panjang dalam tulisan saya. Kalau jawabanya memang ia, lalu nama siapa yang akan saya tuliskan di situ? Kalau menuliskan nama mbah saya yang lugu dan tua atau tetangga saya yang selalu ngarit, sudah barang pasti akan diketawai. Itu masih pada tataran sederhana, tentang harus ada kutipan atau tidak. Lalu muncul pertanyaan, “Apa guna dari kutipan dalam tulisan?� Banyak sekali jawaban yang akan dan pasti muncul dari masing-masing kepala jika tanya itu diluncurkan. Saya rasa, menurut pikiran saya pribadi, seorang yang menulis dengan menaruh kutipan dalam tulisannya itu tidak lebih dari seorang pemalu atau seorang yang tidak punya rasa percaya diri. Karena masih membutuhkan suara seseorang untuk meneguhkan segala yang ia curahkan. Seperti itu.
190 | Ecpose Indie Book
Atau malahan bertolak dengan pikiran saya yang awam ini. Mungkinkah mengutip dianggap sebagai prestise tersendiri untuk menunjukkan seberapa mumpuni pengetahuan yang telah dikantongi. Atau masih ada lagi usulan jawaban yang lebih jitu untuk merubuhkan argumen lainnya. Tapi itu tidak penting, buat saya, yang terpenting ialah apa-apa yang kita serukan adalah sesuatu yang nyata dan benar secara logika. Menurut saya, mereka yang dikutipi dalam tulisan, juga sama seperti orang kebanyakan, bahkan saya. Mungkin bedanya hanya karena mereka adalah orang yang bisa dan berani meneguhkan pemikirannya, dan yang pasti lahir lebih dulu dari saya. Seorang beginner yang menyuarakan tentang kebenaran di masanya, bukan yang mengadaada atau gemar menggosip. “Tapi keseringan, dengan mengutip atau menaruh nama seseorang dalam tulisan, kita tidak akan dipandang sebelah mata, agak merem bila perlu.� Lagilagi pikiran semacam ini muncul dalam benak saya, dan mungkin ada juga dalam benak beberapa kawan, atau malah mereka berpikiran sebaliknya. Namun tidak masalah, yang saya kawatirkan, justru tidak peduli dan menganggap ini ebagai sebuah kewajaran yang mengalir sesuai iramanya dan posisi kita hanya tinggal melanggengkan itu.
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 191
Saya akui, sebenarnya saya tidak mau peduli pada hal-hal (remeh-temeh) semacam ini. Namun tetap saja kalau tidak saya utarakan, akhirnya menjadi kerikil yang terus mengganjal. Kembali lagi, seberapa besar sih makna atau kekuatan yang tertimbun dalam sebuah kutipan? Kalau saya tadi hanya menyebut, karena kita kurang percaya diri saja, mungkin tidak begitu buat kebanyakan orang. Yang jelas, sepintas memang seperti itu. []
192 | Ecpose Indie Book
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 193
194 | Ecpose Indie Book
PARAGRAF - Seikat Cerita Dalam Aksara | 195
Kumpulan cerita dalam buku ini merupakan sebuah usaha untuk mengikat momen tiap-tiap penulisnya – momen kala senang, sedih, kecewa, bingung, maupun marah. Tentang rasa cemburu yang timbul hanya karena kegiatan menulis; tentang perayaan tahun baru yang dipandang dari sisi budaya, lingkungan, hingga agama; tentang bagaimana penulis mendeskripsikan budaya ngopi melalui kacamata mereka masing-masing; dan ragam topik lain yang lekat dengan keseharian tiap penulis. Lebih dari itu, buku ini tentang para penulis yang begitu jujur untuk menyampaikan perasaannya tanpa terpaku pada jenis tulisan tertentu, maupun pada ejaan yang dikata baik dan benar. Semua tulisan ditampilkan apa adanya, sesuai dengan gaya penulis dalam mengekspresikan kisahnya pada barisan aksara. Tanpa mengubah maupun menyensor beberapa kata dalam cerita, buku ini mengutamakan satu hal: orisinalitas.
Penerbit Lembaga Pers Mahasiswa Ekonomi (LPME ECPOSE) Jl. Jawa No. 17 (Kompleks UKM FEB UNEJ) Jember 68121 Email: lpm_ecpose@gmail.com www.lpmecpose.com
196 | Ecpose Indie Book