3 minute read
EDITORIAL
Ilustrator: Rudiyaningsih
ADIKSI DISTRAKSI TEKNOLOGI
Advertisement
Oleh: Atif Kasful Haq
Teknologi yang kian hari kian beraksele- rasi begitu cepat merupakan sebuah hal yang barangkali bisa kita rasakan bersama. Beberapa tahun belakangan ini, rasanya makin sering bermunculan hal-hal baru berlabel inovasi dalam jarak waktu yang berdekatan. PS 4 yang tiba-tiba saja beralih ke PS 5, jaringan internet 5G di saat banyak dari kita yang bahkan belum sempat mengakses jaringan 4G, bahkan ide dunia virtual pun tiba-tiba saja ada. Padahal kita belum begitu becus di dunia nyata, ehem. Secara data yang lebih akurat pun hal ini memang benar adanya, bukan bias kognitif semata apalagi sebuah memori palsu kolektif belaka. Salah satunya yang diungkapkan Kathryn Bouskill, seorang ilmuwan sosial yang bekerja di RAND Corporation. “Dibutuhkan 85 tahun bagi telepon hingga mencapai titik ketika ia digunakan oleh sebagian besar rumah di Amerika. Sementara itu, hanya diperlukan 13 tahun bagi kita semua untuk memiliki ponsel pintar pribadi,” ujar Bouskill dalam seminar TED-nya. Teknologi yang bergerak dengan cepat, barangkali turut menghadirkan sebuah pola pikir bahwa segalanya bisa diraih dengan cepat pula. Bagaimana tidak? Hal-hal yang dulunya harus dihabiskan dalam waktu yang lama, kini dapat dilakukan dalam sekejap, entah itu dari komunikasi penting dengan orang lain hingga layanan hiburan yang dapat diakses tanpa repot-repot keluar rumah. Ya, dengan ini kita bisa hidup lebih efisien dan cepat. Sangat cepat hingga barangkali kita terjebak dalam alur itu. Ini pun yang menjadi masalah. Setidaknya pada tahun 1997, James Gleick pernah menyinggung mengenai hal ini pada artikelnya berjudul “Technology Makes Us
Faster: Addicted to Speed” di majalah New York Times. Dalam tulisannya, Gleick coba mengambil beberapa contoh barang hasil kemajuan teknologi yang telah menuntun kita pada kondisi adiksi kecepatan, salah satunya adalah remot televisi. Menurutnya, remot yang didesain untuk mengefisiensikan tenaga ketika mengganti saluran televisi, justru berdampak pada tingkat perhatian ketika menonton yang menurun. Para pengguna remot dengan kendali lebih banyak atas saluran kesayangannya kemudian banyak melakukan aktivitas zapping karena sudah tak perlu waktu banyak untuk sekedar memastikan tayangan lebih lama, ganti-ganti saja hingga ada sekilas adegan yang dianggap menarik. Rasanya keresahan Gleick akan sebuah remot televisi kini berpotensi terealisasi dalam bentuk lain dengan ‘daya’ yang lebih besar lagi. Pasalnya, faktor-faktor yang disebutkan menjadi penyebab candu kecepatan hadir pada teknologi yang kita kenakan sehari-hari. Alhasil lebih banyak dari kita yang kemudian menjadi kian teradiksi pada kecepatan. Mari kita bedah lagi. Selain mengenai kendali atas tayangan, Gleick juga menuliskan contoh lain dalam tulisannya. Yakni mengenai fenomena kemunculan pop up dalam tayangan televisi yang dianggap Gleick cukup janggal dan disimpulkan sebagai bentuk ketidaktahanan terhadap adegan statis, dalam arti lain itu menunjukkan bahwa adiksi ini juga mengakibatkan munculnya keinginan untuk mendapat segala hal penting sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Fenomena pada tahun 1997 itulah yang sekarang menimpa lebih banyak orang pada masa ini. Ketika memilih hal di depan mata harus dilakukan dengan sekejap usapan jari dan bila sudah terpilih pun, kadang tayangan di depan mata akan terasa terlalu menjemukan untuk diperhatikan dengan saksama; maka disertai pula aktivitas lain seperti melihat kolom komentar, membuka media sosial, bahkan hingga makan pun ikut disertakan. Dua indikator dari remot televisi dan pop up tayangan TV kini telah hadir dalam bentuk yang lain. Akibat dari hal tersebut, terjadilah ironi pada penggunaan teknologi, alih-alih meng- efisienkan, kita semua justru kerap kali terdistraksi olehnya akibat melibatkan banyak hal secara bersamaan. Padahal secara kapabilitas pun, manusia tidak dianjurkan untuk melakukannya, sebab mengalihkan perhatian dari satu hal ke yang lainnya dengan begitu cepat tentu akan begitu melelahkan. Ini pun akan mengantarkan pada perhatian dan kesadaran atas kehidupan yang menurun (less mindfull). Tentu pada akhirnya hal ini harus diberikan perhatian dan nyatanya pun sudah banyak yang berpendapat demikian. Semisal gerakan slow movement yang kembali dipopulerkan oleh Carl Honore atau ajakan menjalankan kehidupan penuh kesadaran (mindfulness) yang dipromosikan tokoh seperti Santoso Adjiputro. Kecepatan teknologi tak ayal telah berkontribusi pada hidup yang semakin bertempo cepat. Namun, hidup dengan kecepatan yang tak sehat juga bukanlah suatu hal bijak. Meminjam kata-kata Kathryn Bouskill, bahwasanya pada akhirnya kita semua perlu menata ulang dan menguasai alur kecepatan masing-masing.