3 minute read
PENTAS
Pentas Kembali Hadir Setelah Kesepian Antusiasme Penonton
Oleh: Wisnu Adji
Advertisement
“Kami kehabisan oksigen, kehabisan kamar, di belakang sana ada mayat yang lima belas hari tidak dipindahkan kita tidak bisa mengenalinya karena wajahnya telah membusuk, kita kehabisan peti mati,” pungkas Suster.
Pandemi telah menjadi peristiwa yang melahirkan rentetan tragedi-tragedi dramatik. Dalam pentas yang bertajuk Jagongan Wagen karya Dendi Madiya yang berjudul “Yang Mencengkram dan Hilang di Ambang” itu diselenggarakan oleh Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (28/05). “Setiap hari saya lembur, ayah di rumah juga lagi sakit, pasien sekarat di depan mata saya, bantu saya menyemangati pasien saya, beri dia lambaian, terima kasih,” ungkap Suster yang diperankan oleh Adek Ceeguk kepada penonton. Momen-momen pandemi saat di rumah sakit menjadi suatu kenyataan paling mengerikan seperti kepergian seseorang menuju keabadian. Jutaan orang meninggal dalam waktu sekejap. Covid-19 menikam masyarakat tanpa pandang bulu. Orang-orang dinaungi ketakut- an dan kekhawatiran akan hidupnya. Peristiwa menyedihkan itulah yang coba dimainkan di atas panggung. Panggung teater menjadi medium yang menggambarkan arsip-arsip pandemi. Arsip tersebut memiliki kedekatan dengan semua orang. Penggambaran pasien yang tidak mendapat kamar sampai pemakaman yang tidak boleh dilihat oleh keluarga yang ditinggal-
kan. Hal itu menjadi kepedihan tersendiri saat pandemi. Tak hanya itu, pandemi juga menjadi panggung bagi beberapa golongan dengan berbagai kedok pribadi. Hal itu disuguhkan dalam adegan ketika seorang dokter alumni kampus biru yang berinisialkan T mencoba berinteraksi dengan penonton.
“Kita itu Indonesia yang virusnya banyak. DB, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, TBC, itu parah banget. Jadi, rileks aja cuma cuci tangan. Bentar Mas, saya mau main handphone, takut ada yang endorse, lumayan dapat cuan.”
Percakapan tersebut sejatinya merupakan satire yang ditujukan kepada seseorang. Meskipun demikian penonton diperlihatkan bagaimana di sela-sela kesulitan tetap saja ada yang mencari keuntungan, atau dalam peribahasa yang klise, mencari kesempatan dalam kesempitan. Meskipun begitu penonton tertawa lepas dengan sindiran tersebut. Senyuman yang begitu hangat menghiasi ruang-ruang teater. Penonton sadar bahwa mereka telah lama tidak menonton teater secara langsung. “Asyik juga untuk saya yang telah lama terjerembab di hadapan layar laptop. Mungkin penonton lain juga merasakan bagaimana kita telah mengalami pembatasan dan mengimani jarak karena Covid-19,” ujar Batas Indro, salah seorang penonton. Sebagai makhluk sosial, mengalami social distancing tidaklah mudah. Terlebih pegiat teater dan penikmat teater. Jarak menjadi perihal yang menyebalkan. Walaupun begitu, Covid-19 memaksa kita untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Dalam hal lain, antusiasme penonton membuat wajah-wajah sutradara, aktor, dan orang-orang yang terlibat dalam pentas tampak semringah karena dapat memberi hiburan kepada penonton. “Saya sendiri senang banget ya, karena dapat melihat penonton mengantre dan menghadiri pentas ini. Pandemi ini mengajari kita tentang rindu yang harus dibayar temu. Melalui peristiwa dua tahun belakangan ini saya ha- nya ingin merekam peristiwa yang menurut saya mencekam,” sahut sutradara Dendi Madiya. Kebudayaan teater seperti di sanggar-sanggar lain menurutnya harus dijaga dengan hikmat karena menurutnya peristiwa pandemi ini sangat penting diabadikan. Ia juga menambahkan teater seperti kampus harus memiliki sisi organik sebab itu yang membedakan teater umum dan kampus. “Menurut saya pribadi teater kampus harus memiliki sesuatu yang murni. Sesuatu dapat membedakan teater umum dan teater kampus. Misal bagaimana mahasiswa sastra mampu merekam kejadian-kejadian teatrikal dengan bahasanya. Mahasiswa hukum mampu berbicara kejadian akan tragedi dalam proses belajarnya,” ujar Dendi Mayadi terkait perkembangan teater kampus. Sang sutradara juga menambahkan bahwa proses berkesenian juga harus menyesuaikan dalam setiap kondisi. Sebab jejak-jejak zaman membawa kita pada penghayatan-penghayatan. Sebagaimana Covid-19 yang membuat kita memahami apa itu jarak dan apa itu pertemuan. “Jarak membuat kita mengerti apa itu sebuah kerinduan dan pertemuan membuat kita mengetahui apa itu kehangatan.” Mata-mata penonton yang penuh antusiasme itu membuat haru-biru. Meskipun pentas yang diselenggarakan tidak terlalu lama, tetapi pentas tersebut mampu menjadi obat penenang bagi yang sudah lama tak merasakan kehangat- an panggung teater.