Pemimpin Umum Fajar Fauzan Sekretaris Umum Nirra Cahaya Pertama Manajer Keuangan Sopi Sopiah Pemimpin Redaksi Yane Lilananda Belawati Sekretaris Redaksi Zaenal Mustofa Redaktur Tabloid Ratih Rianti Redaktur Fresh Santi Sopia Redaktur Online Resita Noviana Kru Redaksi Abu Nur Jihad, Charis A. S., Hilda Kholida, Iis Nurhayati, Iqbal Tawakal, Nanang Suhendar, Panshaiskpradi A., Penny Yuniasri, Putri Galih N. G., Ratu Tresna N. G., Ririn Purwaningsih, Riska Amelia, Salman A. N., Siti Hanifah, Siti Mariam, Siti Maryam N. Ulfa, Siti Sarah Layouter Norman Husein, Alin Imani Pemimpin Perusahaan Nasrul Afidin
Sirkulasi Sova Sandrawati Ketua Litbang Hamdan Yuapi Riset Sri Cahyani
M
enggantungkan harapan setinggi langit, tentu kita patut melakukannya, namun tak hanya sekedar menggantung tanpa ada usaha untuk meraihnya. Seketika harapan itu akan hilang jika kita tidak ada keinginan untuk mewujudkannya. Suaka pun berusaha untuk mewujudkan keinginan yang telah lama digantungkan di langit harapan yaitu menerbitkan sebuah majalah. Dan kami bersyukur atas kemudahan dan kelancaran yang diberikan Allah SWT, akhirnya kami bisa merampungkan majalah yang kini ada di tangan teman-teman pembaca. Kami tidak hanya ingin mewujudkan mimpi kami semata, namun kami juga ingin bersama teman-teman semuanya mewujudkan harapan bagi kemajuan kampus UIN SGD Bandung. Majalah Suaka edisi tahun 2012 ini layaknya sebuah pendewasaan bagi kami dalam memberitakan segala macam informasi, baik isu seputar kampus maupun isu-isu populer lainnya. Kami berusaha menjadi media kampus yang konstruktif dan representatif tanpa meleburkan keimbangan berita yang kami sampaikan. Maka dari itu Majalah Suaka edisi tahun 2012 ini kami menyajikan beberapa informasi yang penting, menarik, dan bermanfaat bagi teman-teman pembaca setia Suaka. Masa penjajahan telah berlalu, sudah 67 tahun kita menjadi negara merdeka, namun apakah kita sudah benar-benar merdeka? Pertanyaan itu memang akan terus terngiang mengingat negara kita masih terseok-seok dalam memerdekakan kemerdekaan itu sendiri. Meski Agustus sudah berlalu namun tak ada salahnya jika kita meretas sejarah dengan kembali menelaah makna nasionalisme dan mengaplikasikan perjuangan para pahlawan kita terdahulu di masa kini. Bukan dengan memanggul bambu runcing atau senapan, akan tetapi berjuang dengan kreatifitas dan pemikiran terbuka terhadap berbagai macam penjajahan modern. Berjuang untuk menciptakan perubahan, berjuang melestarikan budaya, berjuang untuk menghargai hidup, berjuang menuntut ilmu, serta berjuang menegakkan keadilan. Segala bentuk perjuangan masa kini akan dikemas secara apik melalui ragam informasi yang tersaji di Majalah Suaka edisi tahun 2012 ini. Suaka juga ikut berjuang mengembangkan kreatifitas menulis hasil karya pembaca setia Suaka lewat rubrik Surat Pembaca, Opini dan Sastra. Tak ketinggalan pula informasi-informasi khas Suaka lainnya, seperti berita mengenai kelanjutan pembangunan kampus UIN SGD Bandung beserta dampak dan solusinya. Kami berharap informasi yang kami sajikan lewat Majalah Suaka ini dapat memberikan manfaat bagi teman-teman pembaca. “We read to know that we are not alone� (William Nicholson). So, enjoy the read!
PAO Sri Mulyani Alamat Asrama 2 Saudara Lantai II No.11-12, Cipadung-Bandung, Jl. A. H. Nasution No. 40614 Email redaksi.suaka@gmail.com - suakanews@gmail.com Web www.suakaonline.com
SUAKA Edisi 2012
Iklan Fitri Dian Pertiwi
Tak Henti Berjuang
Assalamu’alaikum
DARI REDAKSI
1
Tak Henti Berjuang Daftar Isi
1
2
3
Surat Pembaca
Editorial
4
Laporan Utama - 6 Wajah Nasionalisme di Pusaran Globalisasi – 7 Sunda, Identitas Nasional Tanpa Gerakan Pelestarian – 9 Sorot: Andi, Sang Pengibar Bendera Tanpa Tiang – 11 Wawancara: Nasionalisme Adalah Memanusiakan Manusia – 14 Opini: Nasionalisme Rekayasa – 16 Jelajah: Kebun Raya Bogor, Warisan Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan – 17 Laporan Khusus – 19 Quo Vadis, Sarjana? - 20 Bandung Agamis, Abdi Mahasiswa untuk Masyarakat – 23 Dibalik Berdirinya FISIP – 25 Pembangunan, Imbas Tak dengan Solusi – 27 Opini: Belum Jadi Bangsa Pembaca – 29 Opini: Mewujudkan Masyarakat Belajar – 30 Vakansi: Bukan Sekedar Museum – 31 Selisik: Sengkarut Kasus HAM di Bumi Pertiwi – 33 Fresh: Lirik Gangnam Style Berisi Kritik Sosial – 35 Fresh: Foto & Kata Mereka – 36 Fresh: Tempat Nongkrong Bandung – 38 Sorot: Pejuang Ilmu dari Negeri Seberang – 39 Sorot: Bike to Campus – 41 Puisi – 43 Cerpen: Hari Kesepuluh – 46 Kritik Sastra: Identitas Binatangisme, Satire Fable dalam Novel Animal Farm – 48 Kolom: Mengoreksi Pola Kepemimpinan Politik – 51 Teropong: Perpustakaan Bertaraf Internasional – 52 Teropong: Jasa Pos di Tengah Geliat Media Sosiall – 53 Sosok: Nur Alam, Memahami Gamis Sebagai Sunah Rasul – 55 Komunitas: SSCB, Komunitas Peduli Bangsa – 57 Komunitas: PJKA, Nyanyian dari Gerbang – 58 Opini: Cinta Rasul dan Bahasa Agama – 59 Opini: Gerakan Melawan dan Menolak Lupa: Nasionalisme Ulama dan Komunitas Pesantren – 62
Civitas: Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI) UIN SGD Bandung – 65 Civitas: Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN SGD Bandung – 67
Surat Pembaca Lamban Memberikan Nilai Lelah rasanya ketika harus bersusah payah mengejar dosen demi sebuah nilai. Padahal, nilai seharusnya keluar di penghujung tahun akademik. Itu yang dirasakan kami ketika bolak-balik ke kantor jurusan dan fakultas untuk mengurus persyaratan beasiswa dan masalah administrasi lainnya. Banyak dosen yang seenaknya mengeluarkan nilai hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, padahal ia mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan di kelas. Itu berimbas pada saat mahasiswa membutuhkan keperluan administratif. Hingga sekarang pun, ada beberapa nilai yang sudah sampai beberapa semester belum dikeluarkan dosen. Hal itu sangat merugikan mahasiswa. Seperti halnya mahasiswa yang diikat dengan peraturan, maka para dosen yang terhormat pun seharusnya demikian. Dosen harus diberikan tenggang waktu dalam mengeluarkan nilai. Jika telat, ada pelanggaran dan sanksi. Ke depan kami berharap, Rektor beserta jajarannya dapat melakukan tindakan tegas dalam masalah ini agar proses akademik dapat berjalan dengan lancar. Raisya Ismi Aprilia Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN SGD Bandung
Dosen Lalaikan Tugas “Dosennya gak masuk” jawab xxx, saat saya bertanya padanya disela-sela jam kuliah di DPR (Di bawah Pohon Rindang). Tidak hanya dari satu dan dua orang saja ungkapan itu terdengar, melainkan jawaban itu terdengar familiar di kalangan mahasiswa kita. Terlebih lagi sungguh sangat miris jika mengingat ungkapan itu keluar dari mahasiswa baru yang belum genap 2 bulan mengenyam pendidikan di universitas ini. Memang tidak semua dosen berperilaku demikian, tetapi justru segelintir dosen yang lalai akan senantisa merusak kultur civitas akademika universitas. Entah mereka lupa atau amnesia terhadap UU No 14 Tahun 2005, hematnya, dosen adalah “agen penyelenggara pendidikan” yang merupakan amanah negara dan segenap masyarakat Indonesia. Dan saat para dosen memiliki kecenderungan untuk mengenyampingkan tugasnya “Mau Dibawa Kemana” visi, misi dan tujuan suci Universitas ini. A. Hadi Sanusi Jurusan Al Akhwal Al-Syakhsiyah, Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN SGD Bandung
Kerudung Berbelit Memang sudah kita tidak bisa pungkiri lagi. Dari waktu ke waktu banyak mahasiswi yang menggunakan jilbab ala hijaber ke kampus UIN SGD Bandung, khususnya Fakultas Psikologi. Entah apa yang ada di benak dan pikiran mereka, memakai jilbab berbelit dengan dipadukan sepatu setinggi 7 cm, riasan pakaian yang ramai dan make up tebal. Barangkali, bagi mereka menggunakan pakaian seperti itu sudah menjadi mode di jaman sekarang dan tidak mau ketinggalan. Mereka begitu percaya diri berangkat ke kampus dengan pakaian seperti itu. Namun saya hanya menyarankan, bahwa meski pakaian kerudung hijaber ini adalah trend atau mode, tak usah berlebihan untuk menggunakannya. Hal itu cukup mengganggu. Sewajarnya saja, sesuai syar’i Islam. Murnikan niat kita bahwa datang ke kelas dan ke kampus hanya untuk menuntut ilmu. Tolong bedakan mana itu kampus dan mana itu mall! M Sidhy Putranto Fakultas Psikologi, UIN SGD Bandung
SUAKA Edisi 2012
Berkaca Diri Oktober 2012
S
udah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, sampai hari ini, sangat sukar bagi kita menentukan diri Indonesia yang sesungguhnya. Sulit membedakan Indonesia dengan Korea atau membedakan Indonesia dengan Amerika. Kita hampir serupa. Hanya saja, mental kita tak cukup mampu untuk menemukan jati diri sebenarnya, tak bisa mengilhami kearifan lokal, dan belum menjadi bangsa yang mandiri. Sadar atau tidak, bangsa kita memang sedang sepenuhnya rapuh dan tersesat. Pancasila sebagai pilar utama bangsa ini belum dapat dimaknai penuh sebagai baris-baris filosofis hidup bernegara dan bermasyarakat. Generasi kita diperbudak dengan cara yang lain, seperti terhipnotis, terasuki dan hilang kesadaran. Barangkali lagu kebangsaan tinggal omong kosong, dan kibar-kibar merah putih hanya hiasan. Tak lebih, karena seringkali kita lupa dimana kita dilahirkan. Jika ditilik lebih jauh, generasi muda di Indonesia ini memang terhitung generasi yang labil. Konsumerisme, pragmatisme dan hedonisme menjadi kerangka perwujudan Pancasila yang sebenarnya. Memang tidak keliru, namun cara berfikir tersebut yang pada akhirnya membuat kita semakin terpuruk dan jauh dari cita-cita mulia yang termaktub sejak pasca kemerdekaan. Kepedulian kita pada negara dan bangsa ini mestilah dipertanyakan, karena boleh jadi kita tidak pernah mengabdikan diri. Jangan lupa, peran kita, generasi saat ini adalah menjaga penuh warisan terbaik kekayaan Indonesia; budaya ketimuran, akhlak yang mulia, kepedulian terhadap sesama dan menghargai perbedaan dalam simbol kebhinekaan.
Gambaran seperti ini, harusnya memberi kesadaran lebih tentang akan dibawa kemana bangsa ini melangkah. Kebobrokan yang diwarisi oleh para pendahulu kita, mau tidak mau harus diselesaikan oleh generasi yang ada saat ini dan sesudahnya. Karena siapa lagi jika bukan kita sendiri dan memulainya dari diri. Memanglah tidak mudah, tapi niscaya, keberhasilan didapat melalui sebuah keyakinan yang dalam. Karena bagaimana mungkin kita akan mau berubah jika tidak didasari oleh sebuah keyakinan akan keberhasilan. Bisa atau tidaknya sebuah bangsa untuk beranjak bangkit adalah sebuah keyakinan hasil dari sebuah pembelajaran yang tekun. Bisa kita tengok bangsa-bangsa lain yang kini mampu bangkit meranjak maju adalah hasil dari perenungan suci dari noda sejarah masa silam. Salah satu petuah sakral yang sempat digaungkan Soekarno “Jangan Sampai Melupakan Sejarah!� adalah titik penting dari sebuah bangsa belajar dan kembali merenungkan sejarah untuk berbenah diri menatap masa depan yang cemerlang. Ya, bangsa kita harus terus melangkah sebagaimana bangsa-bangsa lain yang sudah mendahului kita. Ketertinggalan bukanlah sebuah keputusasaan, melainkan sebuah cerminan bagi diri kita untuk berbenah diri. Kesalahan-kesalahan pemimpin kita tidaklah lain sebagai cerminan dari rakyatnya. Berhentilah bersikap menuntut dan berteriak histeris “Kapan bangsa ini berubah?� karena sejatinya bangsa ini menuntut kepada kita semua untuk berkaca diri atas apa yang pernah kita lakukan dan sumbangkan. Jangan-jangan, kita secara tidak sadar adalah bagian dari sampah masyarakat. [] Redaksi
Ed
Karikatur
Kartun
Oleh Andika Akbar F Aktif di UKM Teater Awal UIN SGD Bandung
Oleh Salman Alfarisi Penggagas komunitas Kaum Desainer (KaDe) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Na
sio
na
lis
me
Wajah Nasionalisme di Pusaran Globalisasi
N
asionalisme adalah sebuah paham akan kecintaan terhadap bangsa dan negara. Sedangkan negara itu sendiri adalah wilayah dengan batas-batas geografis yang sudah jelas adanya. Konsep nasionalisme lahir seiring datangnya para penjajah dan muncul ketika melawan mereka setengah abad silam. Rasa nasionalis akan menguat ketika masyarakat atau suatu bangsa dalam suatu negara dalam keadaan menghadapi gangguan dari bangsa lain terhadap negaranya. Namun dewasa ini, dijelaskan dalam Buku Dedicline of Nasionalisme, para ahli politik menanggapi paham nasionalime sedang dalam masa surut. Lunturnya nasionalisme salah satunya dipicu oleh arus globalisasi yang tak terelakkan. Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, kini anak bangsa lebih mencintai produk dan budaya asing. Budaya asing yang meneror generasi muda, parahnya dijadikan panutan dan idola. Lalu dimanakah budaya bangsa sendiri? Hal diatas mengundang komentar Ridwan Rustandi, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), UIN Bandung. Ia melihat realitas bangsa memang cukup ironis, maka dari itu penting adanya pembentukan karakter masyarakat. “Pada dasarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, diantaranya: berkepribadian secara budaya, yakni bagaimana hakikat budaya bangsa sendiri menjadi karakter anak bangsa, maka perlu adanya pengenalan budaya bangsa pada usia-usia produktif serta peran pemerintah dalam mengangkat kebudayaan daerah yang mungkin tidak dilihat. Berdikari secara ekonomi, kita bisa lihat potret hari ini, hampir 70%80% tempat pariwisata dimiliki oleh orang asing, misalnya Tangkuban Parahu, dan wisata Ciwidey deng an memunculkan sumber ter tentu. Seharusnya kita menumbuhkan SDM, sehingga
Oleh Siti Maryam sepenuhnya aset pariwisata dimiliki oleh masyarakat bangsa sendiri. Berdaulat secara politik, meskipun kenyataannya seringkali adanya praktek politik yang tidak sehat, diiringi dengan kepentingan kelompok. Maka dari itu, tidak salah dengan maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh pelaku politik,� paparnya pada Suaka. Ridwan mengaku, memang penting menumbuhkan jiwa nasionalisme, terlebih pada diri mahasiswa, yakni dengan bentuk berprestasi dalam akademik, yang terpenting ialah membudayakan membaca. Di samping itu perlu adanya peran pemerintah. “Peran pemerintah disini menanamkan kesadaran nasionalisme dengan ideologi, penanaman militansi terhadap negara, memunculkan karakter bahwa kita memahami kebudayaan bangsa sendiri dan dapat menyokong segala aktifitas pemuda dengan anggaran,� pungkas Ketua Umum Media Studies Club ini. Namun berbeda, tang g apan soal nasionalisme saat ditunjukan kepada salah satu dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Indira Sabet pun memandang jika nasionalisme itu adalah ide yang rapuh. Sehingga menurutnya akan wajar jika sulit memunculkan nasionalisme itu sendiri. Kecuali negara bisa mengondisikan ke masyarakat. Cara yang ditempuh pun bisa positif ataupun negatif. Salah satunya dengan culture atau kebiasaan, sebagai contoh, masyarakat Jepang memiliki jiwa nasionalisme yang kuat karena sejak masyarakatnya duduk di bangku taman kanak-kanak, sudah dibiasakan menghormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan sebelum dan sesudah sekolah. Dalam empat pilar wawasan kebangsaan yang dikeluarkan oleh Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional) tahun 2010. Hal tersebut dilakukan akibat kekhawatiran pemerintah atas
Ridwan mengaku, memang penting menumbuhkan jiwa nasionalisme,terlebih pada diri mahasiswa, yakni dengan bentuk berprestasi dalam akademik, yang terpenting ialah membudayakan membaca.
SUAKA
Lapor
melemahnya nasionalisme. Diantaranya adalah Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhineka Tunggal Ika, dan Undangundang 1945. Dan nasionalisme itu menjadi dibutuhkan ketika orang mengenal NKRI. Dalam masa pemerintahan Indonesia, nasionalisme memiliki kedudukan yang berbedabeda. Menurut Indira Sabet, nasionalisme yang paling baik itu ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto. Atau yang biasa disebut dengan masa orde baru. Karena ketika Indonesia baru pertama kali merdeka di zaman orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, pemerintah pada saat itu justru mengenalkan Nasionalisme Komunis Agama (Nasakom). Sedangkan di masa Soeharto dikenalkan wawasan nusantara, penataran, serta kebijakan asas tunggal Pancasila, meskipun Soeharto membuat banyak kebijakan sehingga rakyat tidak bisa menyampaikan aspirasinya. Lain halnya dengan sekarang, masa reformasi yang cenderung kepada kebebasan. Sehingga membuat banyak masyarakat yang hanya ingat nasionalisme saat upacara serta perwujudan menjaga bangsa dan alam pun menjadi terabaikan. Indira beranggapan bahwa nasionalisme itu
tidak memberikan kontribusi apapun terhadap negara. “Saya merasa nasionalisme tidak memberi kontribusi apa-apa. Di orde baru saja, ada peminggiran Islam dan kebangsaan diatas segalanya. Selain itu, di masa orde baru pun dikenal Tapoi atau Tahanan Politik. Tahanan politik tersebut dipandang membahayakan NKRI yang menolak asas tunggal Pancasila. Termasuk di dalamnya ada Abu Bakar Baasyir, tokoh betawi, tokoh agama, dan beberapa tokoh lainnya, adanya larangan untuk aktif membicarakan politik di kampus serta larangan melakukan kumpulan lebih dari 10 orang. Dan semua itu dilakukan atas nama keutuhan bangsa,” paparnya kepada Suaka. Dalam tujuan yang dihasilkan oleh nasionalisme itu sendiri, Indira memandang bahwa nasionalisme memiliki perbedaan yang amat tipis deng an cauvanisme yang menempatkan kedudukan bangsa lain lebih rendah atau wawasan nasionalisme yang sempit. “Ketika orang terus dipupuk rasa nasionalisme, orang tersebut akan lebih cenderung mementingkan kepentingan bangsanya sendiri diatas kepentingan yang lain dan pada akhirnya bisa menjadi fanatisme kebangsaan. Sehingga yang harus dikritisi ialah arti nasionalisme itu sendiri, yaitu paham yang menempatkan kepentingan bangsa diatas kepentingan yang lain,” lanjutnya. Di sisi lain dalam pandangan agama Islam, Indira berpendapat bahwa Islam tidak mengajarkan sikap nasionalisme. Standar kemuliaan manusia itu bukan berdasarkan wilayahnya. Namun berdasarkan ketakwaan. “Seandainya Rasul mencintai tanah airnya, berarti Rasul juga akan mencintai Abu Jahal dan Abu Lahab, dan seandainya Islam mengajarkan Nasionalisme, cukup Mekah dan Madinah saja yang akan menjadi Negara Islam,” tutur Indira kepada Suaka. Selain itu, menurutnya hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana menggerakkan Indonesia lebih maju. Bukan hanya sebatas karena wilayah dan nasionalisme, namun karena syari'at Islam. Kita harus kembali memakai aturan pemilik langit dan bumi. Ikatan–ikatan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Islam pun mengatur hubungan antara muslim dan non muslim, “Yahudi, Majusi, Nasrani boleh tinggal asal patuh pada aturan Islam. Bukan dalam hukum ibadah atau cara menikah, tetapi seperti hukum ekonomi, politik serta hukum lainnya,” pungkasnya. []Tim Liputan: Sri Mulyani, Santi Sopia/SUAKA
SUAKA E
Lapor
Sunda, Identitas Nasional tanpa Gerakan Pelestarian Oleh Alin Imani dan Sova Sandrawati
G
enerasi muda mau tidak mau memang menjadi tolak ukur bagaimana nasib sebuah budaya kedepannya. Kita tidak bisa lagi menutup mata atau telinga bahwa akhir-akhir ini generasi muda kita lebih senang berkata “Annyeong haseyo,” daripada “Kumaha damang?” atau mungkin diantara kita lebih menyukai seperangkat baju hitam bertuliskan “Hardcore” dan “Rebel” daripada memakai batik ke kampus pada hari Jumat, juga lebih mengetahui soal Nietzsche daripada Ajip Rosidi. Bila kita mengetik kata “Kebudayaan Sunda” di mesin pencarian Google, maka di posisi ketiga kita mendapatkan kalimat “Kebudayaan Sunda yang hampir punah”. Lantas, berderet panjang berbagai infor masi yang berisi pemberitaan akan kepunahan budaya ini. Secara genetis mungkin masyarakat sunda masih ada, tetapi secara budaya? Sebaiknya kita menanyakan hal ini pada diri masing-masing. Lalu apakah itu kebudayaan? Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Merujuk kepada definisi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kebudayaan sunda hampir punah di berbagai bagian, baik sistem, gagasan, tindakan dan hasil karyanya. Optimis Walaupun Pesimis Kepala Disparbud Jawa Barat, Nunung Sobari menyebutkan bahwa kebudayaan sunda hampir punah karena tidak adanya regenerasi. “Sekitar 10 % kebudayaan asli Jawa Barat hampir punah karena tidak adanya regenerasi seni dan kebudayaan,” katanya dilansir dari portal berita Antara pada acara Kirab Budaya di Sukabumi, April lalu. Hal senada diungkapkan oleh Franz Limiart (45), seorang Budayawan Sunda asal Garut ini menyebutkan bahwa generasi muda lebih menyukai budaya asing daripada budaya lokalnya sendiri, yaitu budaya sunda. “Budaya sunda kini sudah hancur!” tegasnya pada Suaka (22/08). Menurutnya, selain karena budaya Sunda kehilangan pamor di generasi mudanya, budaya sunda juga dihancurkan secara sistematis oleh pemerintahnya sendiri. Faktor agama menjadi salah satu faktor penghambat, dimana menurutnya,
pemerintah hanya mengukur kebudayaan lokal lewat budaya timur dan selalu menganggap seolaholah beberapa budaya lokal bertentangan dengan ajaran agama mereka. Sehingga budaya sunda kini hanya tinggal identitas tanpa pergerakan pelestarian yang berarti demi regenerasi. “Antara agama dan budaya bisa disatukan selama pemimpin agama itu dewasa, tidak fanatis, terbuka dan tidak merasa paling benar”, saran Franz. Tanggapan lainnya datang dari Desmond Satria Andrian, Pemandu Museum Konferensi Asia Afrika yang sudah tinggal di Bandung sejak tahun 1995 ini menyampaikan pendapatnya tentang kepunahan budaya Sunda yang ia rasakan di tempat tinggalnya, Ujung Berung. “Saya sudah tahu kesenian Benjang sejak tahun 1995. Dulu, Benjang masih memakai lagu-lagu sunda sebagai pengiring. Tetapi, sekarang lagu pengiring itu sudah dimodifikasi sedemikian rupa menjadi lagu dangdut yang berisi lirik-lirik yang kurang pantas,” ujar pria asli Palembang ini (4/09). Wacana kepunahan budaya sunda ini memang tidak hanya dari sub seni saja. Dari sub bahasa, kita melihat bahwa kepunahan ini hampir terjadi. Desmond menambahkan bahwa hal pertama agar kebudayaan Sunda bisa jaya kembali di kandangnya adalah dengan menggunakan bahasa sunda dalam kehidupan sehari-hari. “Saya ingat saat penghargaan Rancage, seorang kepala daerah tahun 2003 pernah menyebutkan bahwa setingkat mojang jajaka pun masih gagal dalam penggunaan bahasa sundanya.” Berawal dengan menggunakan kembali bahasa sunda sehari-hari, pada tahap lanjutnya, nilai-nilai kebudayaan lainnya bisa dilestarikan. “Bahasa Sunda adalah awal dari pemaknaan nilai-nilai kesundaan,” tambahnya. Tak lupa, keluarga sebagai sarana pendidikan anak yang paling utama sebaiknya mulai menerapkan bahasa sunda dalam kehidupan sehari-hari selain penggunaan bahasa asing tentu saja. Nada-nada pesimis yang hadir di tengah fakta-fakta yang bermunculan tentang kepunahan budaya sunda makin saja menyudutkan posisi budaya sunda itu sendiri. Tetapi, justru pemberitaan yang diberitakan oleh media, walaupun terdengar sedikit berlebihan karena alasan rating, setidaknya mulai membangkitkan
SUA
La
kembali semangat para kawula muda sunda agar kembali lagi merengkuh kebudayaannya sendiri dan mulai mengesampingkan ego pribadi untuk terkesan lebih berbudaya dengan mendalami budaya asing. Nada optimislah yang diharapkan muncul seperti oase di tengah gersangnya pemberitaan yang terdengar 'setengah-setengah' ini. Hawe Setiawan, seorang budayawan sunda sekaligus Pemimpin Redaksi Cupumanik menyampaikan bahwa budaya sunda justru sedang beradaptasi dengan kemajuan zaman. Hawe membantah ketika disinggung mengenai menjamurnya event-event dan komunitas budaya sunda di Bandung, yang terkesan 'simbolis' karena panas oleh pemberitaan-pemberitaan negatif yang disajikan oleh banyak media. “Masyarakat sunda sebagaimana masyarakat lain punya adab stabilitas budaya dan itu merupakan salah satu hal yang memungkinkan warga budaya sunda atau warga lingkungan budaya sunda lain bisa hidup sampai sekarang dan mudah-mudahan sampai kapan pun. Adab stabilitas itu bisa dilihat dari pemanfaatan media komunikasi mutakhir khususnya yang ber-internet oleh komunitaskomunitas sunda untuk menyampaikan gagasan, pikiran, perasaan yang mereka hayati ke dunia luar,” katanya via telepon kepada Suaka (5/09). Seperti menyampaikan antitesis, Hawe pun menyampaikan pendapatnya tentang banyaknya nada-nada pesimis tentang makin berkurangnya pengguna bahasa sunda. Seperti dagelan, ternyata pernyataan tentang kehancuran budaya sunda ini sudah banyak terlontar dari zaman ke zaman sejak abad ke 19. “Mohammad Yusra pernah mengatakan bahwa bahasa sunda akan rusak dengan besarnya serapan bahasa asing, Melayu dan Arab. Kemudian, di tahun 1930-an, Mas Ace Salmun (Ahli Bahasa Sunda) juga meramalkan hal yang senada bahwa katanya tahun 2000, bahasa sunda akan hilang. Di tahun 2000-an, ada seorang sejarawan yang meramalkan bahwa bahasa sunda akan mati. Yang menarik adalah bahwa bahasa yang diramalkan berkali-kali akan mati ini tetap hidup. Hal ini menurut saya membantah pernyataan tadi bahwa sebetulnya penutur bahasa sunda tetap adaptif dengan kemajuan zaman,” ujarnya. Contoh nyata dari pernyataan Hawe adalah munculnya Komunitas Fiksi Mini Sunda yang mengawinkan dunia fiksi, bahasa Sunda dan kemajuan zaman. Menurutnya, bahasa yang lumrah adalah bahasa yang terus beradaptasi dengan perubahan masyarakatnya. Memang, tak bisa
dipungkiri, bahwa penutur bahasa sunda memang masih eksis hingga di zaman hi-tech sekarang ini. Tentunya, penggunaan bahasa sunda tidak hanya melulu berada di tingkat lisan, lebih lanjut juga memenuhi seluruh kebutuhan hidup dalam berbagai kehidupan. Tidak hanya upaya dari masyarakat, rupanya di tingkat pemerintahan pun turut aktif mengupayakan reaktivasi bahasa sunda. Pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengeluarkan Perda No. 5 perihal pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah (termasuk kedalamnya Bahasa Sunda), kemudian disusul Pemerintah Kota Bandung dengan mengeluarkan Perda yang sama, dengan praktek diberlakukannya penggunaan bahasa sunda di semua instansi pemerintahan. Budaya Sunda Nyatanya Terus Berkembang Hawe menyatakan sebenarnya perkembangan yang terjadi di seluruh paket kebudayaan sunda berangsur baik, setidaknya konstan dan jauh dari kata hancur. Ia menyatakan bahwa pencetakan buku-buku berbahasa sunda dalam 15 tahun terakhir menunjukkan kontinuitas yang baik. Ditambah dengan program-program radio, televisi berbahasa sunda, yang terus dijalankan. Terlepas peminatnya banyak atau sedikit. Munculnya berbagai ekspresi kebudayaan sunda diakui Hawe sebagai langkah naiknya pamor sunda di kalangan generasi muda. “Kita sebutlah Karinding Attack, kelompok ini secara hasil menunjukkan ekspresi yang berkesinambungan antara alam, rasa dan hayat masyarakat sunda,” ujarnya antusias. Hawe terus menekankan bahwa keoptimisan dan gerakan nyatalah yang dibutuhkan untuk kembali memposisikan budaya sunda menjadi bintang di daerahnya sendiri. Selain Karinding Attack, ragam komunitas lain seperti Komunitas Iket, Komunitas Kujang, Komunitas Aksara Kuna, Komunitas Hong juga ikut aktif merengkuh budaya sunda ke tempat tertinggi di daerahnya sendiri. “Jadi, secara pribadi saya cenderung optimis melihat bahasa dan kebudayaan sunda di dalam perubahan zaman. Daripada kita menyiksa diri deng an paranoia (ketakutan) meng enai kehancuran kebudayaan. Saya kira, jauh lebih produktif kita memelihara spirit optimistis dalam melihat bagaimana kita mengatur suatu agenda budaya untuk ikut menjamin kelangsungan hidup kebudayaan sunda ini,” pungkas penyuka karedok leunca ini mengakhiri.
Lapo
SUAK
SUAK
Lapo
Andi, Sang Pengibar Bendera Tanpa Tiang Oleh Ratu Tresna Ning Gusti
S
ore itu Pasar Ujungberung, Bandung, nampak ramai dengan lalu lalang kendaraan dan warga yang berbelanja. Adzan ashar dari Mesjid Agung Ujungberung yang baru saja mulai mengalun, tak menjadikan hiruk pikuk itu terhenti seketika. Kendaraan tetap melaju, beberapa pedagang masih tawar-menawar dengan sang pembeli dan kepulan asap bekas pembakaran masih mengepul hitam ke langit. Begitupun dengan aktivitas seorang lelaki yang duduk di kursi plastik merah pudar. Dengan cekatan tangannya merekatkan kertas merah putih pada seutas tali. Sesekali lelaki itu berhenti menjalin untaian kertas dan menyesap rokoknya yang tinggal setengah, pelan dan dalam. Setelah mengepulkan asap yang dihirupnya, barulah lelaki itu meneruskan menjalin. Sampai adzan berhenti, lelaki itu tak bangkit juga dari tempat semula. Tetap menjalin, tetap menyesap rokoknya. Lelaki yang mengaku tak punya KTP itu bernama Andi (38). Andi menjajaki Bandung saat usianya belum genap 8 tahun. Paman Andilah yang membawa ia meninggalkan Tasikmalaya ke kota yang katanya, menyimpan banyak kebahagiaan dan keajaiban. Atas iming-iming akan disekolahkan, Andi setuju untuk meninggalkan kedua orang tua dan adik-adiknya di Tasik. Manusia berencana, Tuhanlah yang menentukan. Pepatah itu benar terasa oleh Andi, saat rencana bersekolah itu tidak berjalan lurus. Andi terpaksa tak mengenyam pendidikan formal. Dengan menjual kembang api, petasan, stiker dan aneka mainan, Andi dan pamannya merintis karir berwirausaha di sekitaran Alun-Alun
SUAKA Edisi 2012
Laporan Utama
Ujungberung. Naas, merdeka negara ini. “Orang kaya di Bandung benderanya suatu hari di Bulan “Seneng. ‘Kan bendera Ramadhan yang Andi pada jelek, kecil, kusam. Harusnya kan ini teh jadi simbol bagus, bersih, dan besar juga” lupa tang gal dan kemerdekaan tahunnya, Paman Andi Indonesia. Kalo gak ada digrebek petugas merah putih yang itu keamanan. Dengan alasan menjual jenis petasan tandanya Indonesia belum merdeka. Merdeka itu yang berbahaya, barang dagangan mereka dibawa ‘kan artinya bebas ngibarin bendera,” ujar Andi, petugas entah kemana. Meski Andi sempat polos. melarikan diri, Andi tak lantas merasa lega. Baginya, Ditanya mengenai mengapa bendera bisa hidup sendirian di Bandung bukanlah hal yang menjadi simbol merdekanya sebuah negara, Andi menyenangkan. Apalagi tanpa uang sepeserpun. berkomentar, “Ya, pokoknya kata orang kayak gitu, “Nya pas mamang digrebek, nyorangan weh hirup di merdeka itu tandanya kita masih bisa ngibarin Bandung teh. Kasieun mah puguh aya, da teu wawuh jeung bendera sendiri di halaman rumah atau dimanapun sasaha. Komo teu gaduh cecepengan mah, (Ya waktu kita mau. Kalo di Bandung mah suka pada ngibarin Paman saya digrebek, saya tinggal sendirian saja di bendera waktu 17 agustusan, tah itu tandanya orang Bandung. Rasa takut itu tentu ada, karena tidak Bandung merdeka. Saya juga merdeka, pan didieu kenal dengan siapapun. Apalagi saya tidak punya ngibarkeuna (kan disini mengibarkannya),” Andi uang, red),” kenang Andi dengan logat Sunda yang berseloroh sambil menunjuk bendera-bendera kental. jualannya yang dipajang di trotoar. Di tengah ketakutan yang membayangi, Andi Andi juga bertutur tentang fungsi tukang mengisi hidupnya dengan mengemis dan mengais bendera bagi masyarakat. Menurutnya, tukang sisa makanan bekas. Kebingungan-kebingungan bendera adalah nyawa setiap peringatan masa depan itu membuat Andi melupakan citakemerdekaan. “Ngan nu abdi teu ngarti mah (tapi yang citanya untuk bersekolah. Sempat terpikir untuk saya tidak mengerti, red), orang kaya di Bandung pulang ke kampung halamannya, Andi benderanya pada jelek, kecil, kusam. Harusnya kan mengumpulkan uang dari mengemis dan menjadi bagus, bersih, dan besar juga,” tambah Andi sambil kuli pasar. Tapi harapannya memudar ketika ia ingat tersenyum sinis. “Harusnya mereka beli ke saya,” bahwa ia tak tahu alamat rumahnya di Tasik. tambahnya lagi disusul tawa renyah. Keterpurukan itu berlangsung belasan tahun Andi yang telah berjualan bendera selama 9 hingga suatu hari, perayaan 17 Agustus di SD tahun itu merasa menemukan hidupnya dari Ujungberung mengilhaminya untuk usaha kibaran demi kibaran bendera yang dijahit dan membuat bendera. Karena keterbatasan modal, dijualnya. Bagi Andi berjualan bendera adalah Andi hanya membuat bendera-bendera kecil salah satu cara untuk merayakan kemerdekaan dari bertiangkan sedotan sebagai mainan anak-anak SD. tahun ke tahun. Tapi siapa sangka bahwa itulah cikal-bakal Andi Merayakan dalam rangka mengingat jasa berjualan berpuluh bendera sampai dapat membeli pahlawan saat berjuang dulu itu penting bagi Andi. sebuah mesin jahit untuk menjahit benderanya Meski tak mengeyam pendidikan yang cukup, Andi jualannya sendiri. tahu benar bahwa kemerdekaan bukan hal yang mudah didapat. “Saya tahu banyak yang mati. Saya Bendera itu Tanda Merdeka pernah lihat orang yang perang di TV. Banyak yang Agustus memang menjadi bulan mati, kasihan,” katanya. keberuntungan Andi setiap tahunnya. Rasa bahagia Cara Andi memang sederhana, mengibarkan yang membuncah selalu mengiringi bulan dimana bendera dan menjualnya. Tapi bagi Andi, di sana perayaan Kemerdekaan Indonesia diselenggarakan. pasti terkandung makna nasionalisme yang tinggi. Bendera demi bendera pergi bersama datangnya Bukan semacam kebudayaan yang konservatif. lembar-lembar uang ke kantong Andi, pun dengan Tentunya tak semua orang memaknai hal ini, kantong para penjual bendera sepertinya. bahwa mengibarkan bendera bukan hanya karena Tapi bagi Andi, rasa bahagia itu tidaklah budaya. Tapi juga karena rasa cinta tanah air yang semata-mata karena lembar-lembar uang itu masuk berada jauh dalam hati. ke kantongnya. Selain alasan ekonomi, Andi merasa Memaknai kemerdekaan dengan bendera, senang menjual bendera karena bisa mengingatkan parade dan lomba-lomba, mungkin itulah yang orang lain bahwa bendera masih jadi simbol terlintas pada benak mereka yang memaknai
kemerdekaan dengan cara turun ke sekitar dan sedikit demi sedikit mengubah dunia menjadi lebih baik dari sebelumnya.
kata lain, perayaan tersebut hanya lambang dari kebebasan bermain, lambang keceriaan yang dilandasi oleh rasa nasionalis. “Itu hanya perayaan saja walaupun pada akhirnya menurut saya, we got nothing. Keceriaan itu akhirnya berlalu begitu saja. Tidak ada yang sampai pada suatu pemahaman bahwa itu adalah lambang kemerdekaan atau lambang perjuangan atau lambang yang ada kaitannya dengan perjuangan. Sifatnya euforia saja,” tutur dosen berkacamata ini. “Perayaan itu ada hanya sebagai simbol yang merepresentasikan semangat yang ada di dalam pribadi rakyat Indonesia. Semangat kebangsaan yang dimulai dari keluarga untuk memupuk kecintaan dan rasa memiliki terhadap bangsa ini,” tambahnya.
Merdeka di Mata Akademisi Makna kemerdekaan bagi setiap individu bisa saja berbeda. Ada yang berkata bahwa merdeka itu adalah tak dijajah siapa-siapa. Ada yang berkata bahwa merdeka itu bebas melakukan apa saja. Ada yang pula yang berkata bahwa merdeka itu bebas mengibarkan bendera. Dan banyak lagi. Bicara soal bendera, Dian Nurachman, seorang dosen dari Fakultas Adab Humaniora, memasang bendera memang termasuk rutinitas yang biasa dilakukan untuk menyambut kemerdekaan. Akan tetapi ia membantah bahwa tiadanya bendera yang dipasang menandakan sekelompok atau satu orang tersebut menjadi tidak Freedom or Independence? nasionalis. Kemerdekaan tentulah bukan hal yang “Memang sudah menjadi kebiasaan. Tapi gampang diperoleh Bangsa Indonesia. Tak sebenarnya tidak dapat digeneralisasikan bahwa terhitung berapa ribu jiwa rebah di tanah. Tak tidak memasang bendera artinya tidak nasionalis. terhitung berapa ribu bangunan dan hutan yang Berarti tidak memiliki semangat kemerdekaan. rusak dijarah. Pun tak terhitung pula berapa liter Misalnya ada satu dua air mata yang dikuras yang tidak memasang dari mereka yang Perayaan itu ada hanya sebagai bendera kemudian kita ditinggalkan. Lewat simbol yang merepresentasikan nilai mereka tidak proklamasi yang semangat yang ada di dalam nasionalis. Setiap orang diserukan Soekarno 67 memiliki cara mereka tahun lalu, barulah pribadi rakyat Indonesia sendiri untuk p e r j u a n g a n merepresentasikan mendapatkan kemerdekaan,” papar Dian saat ditemui di sela-sela kemerdekaan dapat ditebus. kesibukannya. Tapi benarkah bangsa ini sudah merdeka? Memaknai kemerdekaan dapat dilakukan Benarkah tebusan nyawa dan segala yang hilang dengan cara merayakannya. Itulah yang mungkin sebelum proklamasi ini masih ada di tangan kita? ada di benak bangsa Indonesia setiap tanggal 17 Sebab ada banyak Andi-Andi lain yang Agustus. Hal itu terbukti lewat perayaan-perayaan kebingungan di jalanan, yang menggantungkan seperti parade, lomba-lomba atau pentas seni. hidupnya pada ukulele kecil, suara sumbang dan Budaya perayaan-perayaan itu bahkan diakui tutup botol yang disusun menjadi alat musik Wikipedia, sebuah ensiklopedia online terkemuka sederhana. Mereka tidur dimana saja, makan dari yang digunakan hampir di seluruh negara di dunia. sisa-sisa yang dibuang dan berpakaian tak layak. Dalam Wikipedia tercantum: “Setiap tahun Kemerdekaan kita terbentur hal ini. Mungkin kalau pada tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia ada pertanyaaan yang dilayangkan: sudah merdeka merayakan Hari Proklamasi Kemerdekaan ini dari apa kita ini? Penjajah? Penjajah yang mana? dengan meriah. Mulai dari lomba panjat pinang, Makna merdeka akan sulit ditemukan kalau lomba makan kerupuk, sampai upacara militer di kemerdekaannya sendiri tak pernah ada. Masih ada Istana Merdeka, seluruh bagian dari masyarakat ikut yang harus diperjuangkan oleh kita. Jangan sampai berpartisipasi dengan cara masing-masing”. merdeka yang direbut para pendahulu kita sama Meski mengamini bahwa perayaansekali tak dicicipi oleh anak cucu kita. perayaan semacam itu adalah simbol dari []Tim liputan: Putri/SUAKA kemerdekaan, Dian berpendapat bahwa perayaan semacam parade, lomba-lomba dan upacara kemerdekaan hanyalah euforia semata. Dengan
Lapo
SUAK
Wawancara Eksklusif Cholil Mahmud Vokalis Efek Rumah Kaca
Nasionalisme Adalah Memanusiakan Manusia Ada yang runtuh, tamah ramahmu Beda teraniyaya Ada yang tumbuh, iri dengkimu Cinta pergi kemana? Lekas bangun dari tidur berkepanjangan, menyatakan mimpimu, cuci muka biar terlihat segar. Merapihkan wajahmu, masih ada cara menjadi besar. Memudakan tuamu,menjelma dan menjadi Indonesia (Efek Rumah Kaca - Menjadi Indonesia)
Oleh Iqbal Tawakal dan Alin Imani
A
kan sangat sulit sepertinya untuk mencari sebuah kebanggaan atas catatan bangsa ini; kemiskinan, buta huruf, persoalan hukum dan HAM, korupsi dan sengkarut masalah kerukunan antar umat beragama di negara ini seperti kanker akut yang membuat bangsa ini menjadi pesimis ketika mendengar kata: Indonesia. Namun, sebait lirik lagu diatas adalah suatu pembuktian bahwa masih adanya nada optimistis untuk kebangkitan kembali bangsa ini. Masih ada serupa putih diantara hitam. Tentunya masih ada harapan bagi bangsa ini beranjak menjadi bangsa yang besar. Adalah Cholil Mahmud vokalis dari band Efek Rumah Kaca, beberapa tulisannya mengenai nasionalisme dan permasalahan bangsa ini kerap dimuat di media massa nasional. Bandnya sendiri Efek Rumah Kaca hingga kini sudah menelurkan dua album, diantaranya: Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2008). Lirik lagu diatas adalah sebagian ciri dari karakter lagulagu Efek Rumah Kaca yang sebagian ditulis oleh Cholil: peka terhadap kehidupan sosial dan politik negeri ini. Pada suatu kesempatan Suaka berhasil menemuinya di tengah aktivitasnya mengisi acara di salah satu kafe di kota Bandung, berikut petikan wawancara Suaka dengan pengagum Sutan Sjahrir ini mengenai arti nasionalisme dan semua hal tentang kebangsaan.
Apa makna nasionalisme bagi anda? Nasionalisme itu artinya bagaimana kita bisa melakukan yang terbaik. Kita asumsikan semua orang lahir dengan hal-hal yang baik. Jadi, kita punya sisi baik yang universal. Jadi, kita ngelakuin hal yang terbaik buat kita, keluarga kita, masyarakat kita, negara kita dan buat dunia. Jadi, kadang kalau itu berbenturan, bisa runtuh itu batas-batas negara. Tapi, kalau menurut kamu nasionalisme yang artinya nation dalam artian negara, batasan-batasan geografis itu kadang-kadang bisa runtuh ketika berbenturan dengan universalitas. Kayak kita harus peduli nggak dengan negara kita yang ngejajah negara orang lain? Terus kita perang. Perdebatannya kan gitu. Sebenernya saya nggak peduli dengan negara kita tapi kita harus peduli dengan kemanusiaan. Kalau sampe dalam tahap itu, kita harus milih kemanusiaan. Tapi, ketika tidak ada permasalahan itu, batasan-batasan geografis secara naluriah kita dukung juga. Pengejawantahannya dalam kehidupan sehari-hari? Semuanya. Karena kita sudah mau memanusiakan manusia, jadi semua hal yang kita lakuin itu bukan hanya buat bangsa lagi, tapi ya untuk memanusiakan manusia. Dan menurut saya hal ini jauh diatas itu (nasionalisme-red). Jadi, ketika kita nggak nyerobot antrian, itu kamu sudah memanusiakan manusia. Itu levelnya sudah diatas nationalisme. Jadi, kalau kita mau membawa negara kita menjadi negara yang
Waw
SUA
Karena kita sudah mau memanusiakan manusia, jadi semua hal yang kita lakuin itu bukan hanya buat bangsa lagi, tapi ya untuk memanusiakan manusia benar, orang-orang di dalamnya juga harus benar. Negara yang benar punya keteraturan, tentunya kalau kita sepakat bahwa keteraturan adalah yang paling baik. Ya gitu, mau antri. Yang kecil-kecil aja sih. Nggak buang sampah sembarangan juga misalnya, nggak nyerobot lalu lintas. Yang kecil-kecil aja, yang rileks-rileks. Nggak nyogok misalnya. Kalau korupsi kejauhan lah. Itu terlalu di awang-awang, walaupun sebenarnya penting. Apa yang anda sesalkan dari Indonesia? Saya nggak nyesel jadi orang Indonesia. Ketika saya jadi orang Inggris saya jadi orang yang lebih baik? Saya nggak bisa ngebayangin itu. Tapi kalau kesal? Ya kesal lah sama hal-hal itu tadi. Yang sudah kita sepakati, mereka nggak menyadari bahwa mereka menyepakati itu. Misalnya, aturan, hukum. Orang yang korupsi, apa segala macam kan kita kesal, itu kan duit pajak kita. Kita sebel, tapi ya setelah sebel masalah nggak selesai. Kita harus ngelakuin upaya-upaya apapun yang kita bisa agar bisa jadi lebih baik. Itu aja. Untuk bisa memanusiakan manusia. Kalau kamu korupsi berarti kamu nggak memanusiakan manusia. Jatahnya orang yang bekerja keras dengan jujur, diambil, membuat iri, membuat kompetisi jadi tidak seimbang. Karena ada orang yang pakai jalan pintas, ada orang yang berlaku curang, ini akan membuat orang yang berlaku jujur jadi ingin cepat menikmati hasilnya. Jadi berpotensi bikin orang jadi iri. Menurut anda sampai sejauh mana keterpurukan negara ini? Sejak zaman apa nih? Kalo soal ekonomi, beda dari zaman dulu sampai sekarang. Ya, kita harus mengukur dengan parameter-parameter yang baru juga. Soalnya kalau pakai parameter dulu belum tentu fit dengan apa yang kita rasakan sekarang. Kalau prestasi banyak sih ya, silih berganti. Toleransi antar umat beragama k a c a u . S e b e n a r n y a s i h ke t i d a k m a u a n pemerintah. Masyarakat harus memberdayakan dirinya sendiri. Kalau pemerintah bisa kita andalkan ya oke, kalau nggak bisa ya kita lakuin yang lain. Soalnya kok kayaknya masalah-
masalah ini diciptakan dan dipelihara. Jadi, kita harus pakai strategi lain.
Bagaimana pandangan anda mengenai keberagaman dan toleransi di Indonesia? Toleransi tuh kan hal yang berat. Membiarkan perbedaan. Artinya kita mengerem ekspresi kita untuk membiarkan orang lain berekspresi. Gitu kan ya kira-kira. Ya berat. Dibandingkan kita bisa melakukan banyak hal kan lebih enak. Tahapan demokrasi namanya juga. Kalo kita hanya menjalankan demokrasi sebagai formalitas, bukan hanya pemilu, lalu selesai. Dan kita lalu disebut negara yang berdemokrasi. Menurut saya sih, nggak sekedar itu. Masih banyaklah. Terus apakah orang nggak ikut pemilu, artinya dia nggak berhak protes? Nggak. Jadi, ya proses demokrasi itu banyak dan bukan hanya sekedar pemilu. Kamu terlibat di masyarakat, kamu melakukan pemantauan terhadap kinerja pemerintah, ya melakukan halhal yang kamu bisa. Jadi, ketika kamu menanamkan nilai-nilai toleransi dan membuat mereka nyari jalan yang gampang aja pasti orang milih jalan yang gampang. Karena pada dasarnya masyarakat sudah capek. Kehidupan sudah keras. Banyak orang yang berlaku curang, kehidupan jadi berlaku keras terhadap dia (masyarakat-red). Akhirnya mereka nggak mau melakukan kecurangan, tapi apatis. Hal-hal yang apatis itu yang kayaknya perlu ditrigger. Menurut saya sih, kita menerapkan sistem demokrasi yang Amerika sendiri lewatkan berpuluh-puluh tahun, jadi ya kita (Indonesiared) masih bayi lah untuk melakukan proses demokrasi ini. Pengennya cepat, pemilunya nggak formalitas. Tapi substansial, bahwa kita harus tenggang rasa dan segala macam. Menjalankan hak tapi tidak juga berbenturan dengan hak orang lain. Itu kan namanya toleransi. Kesadaran akan hal itu tuh yang belum tertanam. Kita perlu distimulasi agar lebih cepat (demokrasi-red). Amerika a j a n g a l a m i n G re a t D e p re s s i o n t a h u n 1920.
A
SU
Opin
Nasionalisme Rekayasa Oleh Sukron Abdilah
D
UA PULUH tahun yang lalu, setiap hari Senin, saya selalu menjadi seorang pemimpin upacara di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Waruga, Garut. Selain suara saya yang tinggi dan kencang bagaikan penyanyi rock; juga senang menghormat bendera merah putih. Saya akan siap maju ke depan ketika teman-teman saya ogah-ogahan menjadi pemimpin upacara. Bendera dan saya – saat itu – merupakan luap nasionalisme yang membekas. Suatu ketika saya mengikuti kegiatan Pramuka di gunung Papandayan. Saat mengikuti upacara pengibaran bendera dan menciumi “Si Merah Putih”, saya menitikkan air mata. Usia saya waktu itu, sekitar 10 tahun. Saya yakin, air mata itu ialah wujud dari nasionalisme saya. Alam pikiran yang menggerakkan saya mencintai pusaka tercinta Indonesia, Merah Putih. Kini, setelah 20 tahun lamanya melewati masa SD, saya memiliki pemikiran berbeda ikhwal rasa nasionalisme. Saya tidak pernah mengikuti upacara. Tetapi, bukan berarti saya tidak memiliki rasa nasionalisme. Saya masih tetap memelihara pohon nasionalisme yang telah saya taburi pupuk, untuk kepentingan bangsa. Tentunya dengan ideologi yang berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Kalau dulu, menangis ketika menyaksikan bendera tak berkibar saat bulan Agustus; kini menangis ketika negeri ini dipenuhi zombie-zombie berdasi yang menjadikan pancasila sebagai madah di forum. Sementara itu laku korup dipelihara di setiap instansi pemerintahan. Saya setuju dengan pandangan Daniel Dhakidae ikhwal ideologi kebangsaan, bahwa “Ideologi adalah alam pikiran, bukan sanjungan dalam madah; puja-puji. Ideologi adalah sikap dan prinsip hidup. Dan, sejarah menunjukkan bahwa hampir semua ideologi yang hidup di Nusantara bertumbuh dari jenis ideologi penantang, termasuk pancasila” (Jurnal Prisma, 08/08/1979). Dia menyimpulkan pancasila sebagai ideologi sejatinya terbenam dalam jiwa sehingga membentuk sikap dan prinsip hidup. Persoalan kini, pancasila ditetapkan sebagai ideologi NKRI, yang dicurigai hanya menempatkan butir-butir pancasila sebagai sesuatu yang dipuja-puji selangit. Tetapi mereka lupa: disamping puja dan puji, nilai yang dikandung pancasila luput dari kesadaran. Dalam bahasa lain, pancasila hanya arca yang tak bisa disentuh dan diamalkan. Dhakidae, menjelaskan secara historik, sebuah ideologi, termasuk pancasila, lahir karena ada gugatan dan penentangan rakyat atas ideologi mapan. Ini artinya, ketika pancasila telah menjadi bagian dari kemapaman, dan rakyat tidak merasa puas dengan efek
samping bagi pejabat dalam bernegara, boleh jadi akan memicu ideologi-ideologi baru. Kasarnya, pancasila terancam menjadi seonggok landasan negara yang tersingkirkan dari negara, seperti halnya – dalam catatan historik – bahwa pancasila pernah menggulingkan ideologi kolonialisme kaum penjajah yang tengah berkuasa. Apabila tidak ingin terpinggir di negeri ini, para pejabat dan aparat kenegaraan wajib menjadikan pancasila sebagai landasan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan KKN. Rasa nasionalisme seperti itulah yang harus membungkus kedirian kita hari ini. Pancasila, seperti yang selalu saya lihat di dinding kelas, saat SD dulu, menjadi mati dan mandul bila rasa nasionalisme kita hanya “rasa rekayasa”. Rasa yang hanya dibentuk saat 17 Agustus saja. Rasa yang hanya bangkit pada 1 Juni saja. Dan, rasa yang hanya dihidupkan saat perayaan hari-hari besar kenegaraan saja. Nasionalisme dan pancasila ialah dua hal yang berbeda. Setiap rasa memiliki dan mencintai bumi pertiwi, itulah nasionalisme. Ketika saya mencium bendera merah putih dan menangis, saat kecil dulu; itulah rasa nasionalisme saya waktu itu. Sementara Pancasila, seperti dibilang Dhakidae, ialah sikap, prinsip, dan tindakan hidup berbangsa. Akhirnya – maaf kepada sastawan UIN Bandung – saya kutip gelisah hati W.S Rendra yang berteriak, “Siallah pendidikan yang aku terima” pada Sajak Gadis dan Majikan, “diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, dan tata cara”. “Tetapi...” lanjutnya, “lupa diajarkan: bila dipeluk majikan dari belakang/lalu sikapku bagaimana!”. “Mereka ajarkan aku membenci dosa/ tetapi lupa mereka ajarkan bagaimana mencari kerja.” Karena itulah, kita harus terus memupuk rasa nasionalisme dan tidak menjadikan “pancasila” sebagai “pancasial”. Pun di kampus UIN Bandung ini, bila pendidikan hanya dijadikan projek kelompok atau pribadi, pantas disebut “pendidikan pancasialis”. Tidak nasionalis kampus ini apabila kesempatan beasiswa, misalnya, hanya dapat diakses orang-orang dekat. Mengutip intisari sajak Rendra, ajarkanlah “bagaimana mencari kerja” bukan “pokoknya gue harus kerja” kepada mahasiswa. Dengan begitu, bangsa ini akan menjadi bangsa jujur dan adil. Kita muaikan dari kampus tercinta! []Penulis adalah Alumni Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Bandung, Pemimpin Redaksi sunangunungdjati.com
SUAK
Jelaj
SUAK
Kebun Raya Bogor,
Warisan Kolonial untuk Ilmu Pengetahuan Oleh Salman A. Nahumarury
K
isaran tahun 1815-1816, kurun waktu dimana Belanda mengalami kelesuan akibat peperangan yang terjadi di negaranegara Eropa. Kondisi tersebut menyebabkan Belanda ingin menegakkan kembali kejayaanya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kekayaan alam Indonesia tak luput dari incaran Belanda. Reinwardt, ahli botani kebangsaan Jerman yang juga merupakan Direktur Pertanian, Seni dan Pendidikan untuk Pulau Jawa pada masa kolonial Belanda kala itu menginginkan didirikannya pusat botani di Indonesia. Baron Van Der Capellen, Komisaris Jendral Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu), menyetujui gagasan Reinwardt. Pada 18 Mei 1817, Slands Plantentiun te Buitenzorg (sekarang Kebun Raya Bogor), secara resmi didirikan tepat di jantung kota Bogor sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan Biologi, terutama bidang botani. Kebun Raya Bogor (KRB) yang kita kenal sebagai tempat rekreasi ternyata punya peran besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia, bahkan di dunia internasional. Iteng Dayana, Humas KRB menuturkan, mulanya KRB dijadikan wahana konservasi tanaman-tanaman tropis
Indonesia dan tanaman khas dunia. Pada perkembangannya, area sebesar 87 hektar ini menjadi pusat penelitian, pendidikan, dan pelatihan dibidang pertanian. “Saat itu, Kebun Raya Bogor juga berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi para buruh pertanian di Indonesia,� ucap Iteng Masa kolonial memang identik dengan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh penjajah di Indonesia yang datang silih berganti. Berbeda dengan KRB, Belanda tidak serta merta menjadikan KRB sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan bagi negaranya. Belanda sengaja membentuk KRB sebagai titik balik kelesuan akibat perang yang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. “Pengaruh Belanda memang besar, tetapi KRB adalah kelas dunia. Daripada menggunakan tanaman untuk dana perang, lebih baik cari dana lain, jadi koleksi disini tetap utuh,� tambah Iteng. Dalam perkembangannya, KRB terbukti memberikan sumbangsih yang nyata bagi dunia botani di Indonesia seperti halnya tanaman karet yang berasal dari Brasil. Pada saat itu masyarakat belum mengetahui fungsi dari tanaman karet, hingga kemudian diteliti di KRB sehingga
Assa
SUAK
memiliki nilai guna. Masyarakat yang tidak menyianyiakan kesempatan ini mulai membudidayakan tanaman karet tersebut sehingga bisa dijadikan produk yang bermanfaat. Begitu pula tanaman singkong yang berasal dari Amerika. Setelah ditanam dan diteliti di KRB, tanaman ini baru bernilai guna. Pun sama halnya dengan talas, alpukat, dan tanaman obat lainnya. “Ketika masyarakat belum tahu, berbagai tanaman mulai diteliti dan memiliki hasil guna, baru setelah itu masyarakat mampu mengembangkannya,” lanjut Iteng. Selama kurang lebih 142 tahun, KRB berada dibawah kekuasaan kolonial. Baru pada tahun 60an secara resmi KRB dikelola oleh pemerintah Indonesia. Seiring dengan kemajuan di bidang botani, koleksi tumbuh-tumbahan khas di KRB semakin banyak. Saat ini KRB memiliki koleksi mencapai 13.500 tanaman yang terdiri dari 3.340 jenis tanaman dan 212 keluarga tanaman. Objek Wisata Pemandangan yang menarik seketika memanjakan mata setelah memasuki gerbang utama. Jalanan lurus yang bersih dan pepohonan yang rindang akan membuat kesan tersendiri bagi para wisatawan. Sekitar 100 meter dari gerbang utama, terdapat taman air teratai. Di sekelilingnya ramai oleh para pengunjung yang datang untuk sekedar melepas penat dihari libur bersama sanak saudara. Di kejauhan, nampak bagian belakang dari Istana Bogor berhiaskan rusa totol yang hilir mudik menanti makanan dari pengunjung baik hati. Selama 8 hari libur lebaran Agustus lalu, pengunjung KRB sudah mencapai 18.000 wisatawan dari seantero nusantara bahkan dari seluruh penjuru dunia. Seperti yang dilakukan oleh rombongan dari TK Hikmah Jakarta. “Tempatnya
asri, gak banyak polusi. Saya puas datang kesini. Pokoknya, cocok untuk tempat reakreasi,” ujar Desi, salah seorang guru TK Hikmah. Terlihat kegembiraan dari wajahnya, setelah melepas penat dari hiruk pikuk ibu kota. Senada dengan yang diucapkan Desi, Ane Siti Nuraini, seorang mahasiswi asal Tanggerang mengaku sudah 10 kali mengunjungi KRB. “Awalnya sih datang kesini karena ada studi tentang botani waktu SMA. Disini surganya tumbuh-tumbuhan. Walaupun terletak di tengah kota, tapi suasananya tetap asri,” katanya. Ane yang juga datang bersama kekasihnya ini merasa KRB cocok untuk sekedar memadu kasih bersama pujaan hatinya. Taman yang juga merupakan halaman belakang Istana Bogor ini memiliki banyak daya tarik. Salah satu daya tarik yang selalu ditunggu oleh wisatawan adalah Amorpophalus Titanum atau yang biasa disebut bunga bangkai. Bunga terbesar di dunia ini bisa dibilang maskot KRB. Saat mekar, bunga ini bisa mencapai tinggi 2 meter dan menebarkan aroma yang tidak sedap. Saat ini, Amorpophalus Titanum yang ada di KRB sedang mengalami fase tidur. Selain bunga bangkai, objek lain yang tak kalah pesonanya adalah rumah kaca anggrek yang terletak di bagian timur laut KRB. Lapangan Astrid, Lapangan Stopanthus, Taman Air, Taman Mexico, Taman Sujana Kassan juga menjadi pilihan yang sayang untuk dilewatkan. Jarak bukan lagi jadi masalah. Koen Hesselink, wisatawan dari negeri bunga tulip ini rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk menikmati keindahan tempat ini. “Nice and beautiful,” dua kata yang menggambarkan kebanggaan kota Bogor ini, tutur Koen mengakhiri.
Quo Vadis, Sarjana? Oleh Nasrul Afidin arjana merupakan gelar akhir bagi mahasiswa yang telah selesai melakukan proses pendidikan, penelitian dan pengabdian selama kurang lebih empat tahun pada suatu perguruan tinggi. Pada Setiap tahunnya, Perguruan Tinggi meluluskan ratusan ribu alumnus diploma dan sarjana negeri maupun swasta sesuai dengan prodi dan keahlian masing-masing. Namun, ironisnya daya serap kepegawaian dan lapangan pekerjaan cenderung menyempit, maka tidak salah realita saat ini banyak sarjana yang masih menganggur sampai batas waktu yang tidak bisa di tentukan. Selain itu, peran dan kontribusi sarjana terhadap masyarakat dipandang perlu untuk mencerminkan seberapa jauh keahlian dan pengabdian diri terhadap masyarakat. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) mencatat sejumlah pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Pada Tahun 2010 tercatat 1.530.148 sarjana negeri dan swasta. Pada tahun 2011 pengangguran terdidik mencapai 1.105.060 orang. September 2012, UIN Bandung saja sudah meluluskan 1704 diploma dan sarjana, belum lagi universitas lainnya. Diperkirakan, pada tahun 2013 terdapat lebih dari 2 juta penganggur bergelar sarjana Pemerintah telah mempunyai data tentang tenaga kerja terdidik yang mengang gur. Pemerintah juga mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini sektor depan akan didorong oleh ekspansi sektor-sektor keuangan dan sektor yang padat modal-padat teknologi, sehingga tidak ada ruang gerak yang leluasa untuk mempergunakan asumsi pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja. Mengenai hal tersebut, Asep Saepul Muhtadi, Guru Besar UIN Bandung mengatakan “Masalah keterserapan sarjana dalam dunia kerja menjadi masalah bersama.� Laki-laki yang akrab disapa Samuh pun menduga bahwa banyaknya sarjana menganggur dari berbagai prodi dan perguruan tinggi di Indonesia ini karena kurangnya bekal kompetensi yang dimiliki oleh sarjana sehingga tidak sanggup beradaptasi dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian ia bergantung pada sektor industri tertentu untuk bekerja.
S
SUAK
Lapo
Di UIN Bandung khususnya, penyaluran tenaga kerja atau informasi terkait pekerjaan para sarjana di tangani sepenuhnya oleh IKA (Ikatan Keluarga Alumni) yang saat ini di pimpin oleh Deding Ishak Ibnu Suja'. Saat ini Deding tidak dapat ditemui karena menjadi anggota DPR RI di komisi hukum. Menurut Sakrim, Kabag Humas UIN Bandung menjelaskan, “UIN Bandung sudah menyerahkan sepenuhnya kepada IKA, karena secara struktural mereka bukan lagi mahasiswa UIN Bandung, tetapi statusnya sudah menjadi alumni,” tuturnya saat di wawancara Suaka. Paradigma Pemerintah Pada zaman penjajahan belanda ratusan tahun silam. Belanda sangat efektif mejajah Indonesia, salah satunya lewat ideologi perdagangan. Mereka melarang pribumi berkecimpung atau menguasai perdagangan dan memberikan keleluasaan kepada etnis yang terhitung “marjinal”, yaitu kelompok China, karena mereka mudah di kontrol dan seringkali “diperas”. Oleh karena itu, Belanda mendorong kerajaankerajaan di Jawa (terutama Jawa Tengah) untuk memberikan berbagai gelar bangsawan kepada lingkungan keraton dan orang-orang yang dinilai perlu diberi gelar. Bersamaan dengan itu, dikembangkan (dan akhirnya berkembang secara alami) pemahaman bahwa pribumi adalah bangsawan, dan bangsawan adalah tabu berdagang, mereka paling pantas menjadi ambtenaar alias pegawai negeri. Dengan demikian, pemahaman tersebut menjadi berakar pinak dalam benak pribumi indonesia. Sejalan dengan kasus tersebut, nampaknya ada paradigma pemerintah yang relevan dengan keadaan sekarang ini, bahwa lembaga-lembaga pendidikan harus menghasilkan tenaga kerja, atau tenaga kerja siap pakai, atau yang link and match, yang tepatnya adalah konsep pendidikan yang mencetak para pencari kerja. Sedangkan, menurut prinsip Prof. Tilaar, Pakar Pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan bertujuan menyiapkan manusia untuk menjadi pengambil keputusan yang penting akan dirinya sendiri. Meskipun memang, bekerja adalah keputusan penting akan dirinya sendiri,
namun jika menjadi seorang pekerja menurut Rian Nugroho, Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia “Konsep ini sudah ketinggalan zaman. Pendidikan hari ini harus berkonsep ganda yaitu menciptakan pelaku kerja dan sekaligus pencipta kerja.” Menanggapi hal tersebut Samuh pun memberikan saran, bahwa sebaiknya kurikulum pendidikan itu memberikan kompetensi kepada mahasiswa yang apabila telah lulus menjadi sarjana bukan menjadi pekerja melainkan menjadi sosok pembaharu, atau sosok kreatif yang berinovasi membuka lapangan pekerjaan. “Bagusnya ia berinovasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Bisa berkolaborasi dengan sarjana lain yang berada dalam suatu daerah. Kalaupun pemerintah ingin merekrut sarjana, bukan hanya untuk menjadi pegawai negeri melainkan untuk bersama-sama mengolah negara ini supaya lebih produktif,” ujar Samuh. Hal senada pun di sampaikan oleh Rian Nugroho, beliau mengembangkan pemikiran kolega-koleganya, bahwa disetiap jenjang pendidikan, utamanya Perguruan Tinggi, di setiap jurusan, diberikan mata kuliah manajemen, untuk tahu bagaimana memanajemen fakta, setiap peluang, bahkan diri mereka sendiri agar menjadi insan yang efisien (menghargai keharusan untuk setiap sumber daya) dan efektif (menghargai keharusan untuk memberikan kontribusi). Selain itu, mata ajar entrepreunership agar pembangunan mental pada diri sarjana sudah terbangun sehingga mereka yang tidak siap menjadi pekerja, menjadi pencipta kerja. Itu yang diharapkan bersama. “Seharusnya ketika masuk kuliah harus diberi pemahaman, diberi ideologis bahwa tidak hanya toh pendidikan saja melainkan perlu pengalaman,” kata Rahmat Kurnia, Sarjana Psikologi. Jadi ketika sudah lulus, tambahnya sudah siap segalanya, tidak kaku dan mampu bersaing. Ia pun menyayangkan faktor lapangan kerja yang sedikit dan ketidakcerdasan mahasiswa itu sendiri karena malas atau sudah merasa di zona nyaman, uang mengalir terus dari orang tua. “Seharusnya mencoba keluar dari zona tersebut agar bisa
Samuh pun menduga bahwa banyaknya sarjana menganggur dari berbagai prodi dan perguruan tinggi di Indonesia ini karena kurangnya bekal kompetensi yang dimiliki oleh sarjana sehingga tidak sanggup beradaptasi dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari
Lapo
mandiri dan lebih kreatif, perbanyak pengalaman dan link yang terpenting,” ujarnya penuh semangat. Peran dan Kontribusi Sarjana Samuh menjelaskan bahwa sarjana adalah seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu. Misal sarjana dakwah, tentunya ia ahli dalam hal sosial, Sarjana Matematika tentunya ahli di bidangnya, jika Sarjana Matematika di suruh mengurusi masalah sosial kemungkinan ia tidak bisa, maka keahlian teknisi yang dimiliki sarjana itulah yang disumbangkan kepada masyarakat dan masyarakat tidak boleh menuntut lebih dari kemampuanya. “Ketika terjun ke masyarakat ajak sarjana untuk membangun daerah” ujarnya. Sakrim pun memberikan komentarnya, “Seorang sarjana artinya sudah menyelesaikan semua tugas-tugas perkuliahan sesuai dengan prodi yang diambilnya, maka har us mampu mengaplikasikan apa yang diperolehnya,” tegasnya. Meskipun memang ketika kembali pada lingkungan segala teori yang diperoleh lewat proses perkuliahan terkadang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat, tetapi Samuh mengatakan bahwa sarjana mempunyai kelebihan yaitu memiliki kemampuan dasar dan kreatif. Bahkan Sakrim menambahkan, bahwa sarjana harus mampu menganalisisa dengan tajam dan memiliki kecerdasan intelektual dalam segala hal. Peran sarjana di masyarakat menurut Komara Ningsih, Kepala Sanggar Kreatifitas Zahwa, adalah pengabdian, yaitu mengabdi kepada masyarakat, terlepas dari match atau tidak match dengan basic knowledge yang dimiliki, itu akan menjadi kompetetif. Tergantung seberapa aktif dan seberapa besar dahulu mereka berkecimpung dalam organisasi, bagi mereka yang aktif tentunya akan lebih mudah memahami keadaan sekitar. Sehingga proses pengabdian kepada masyarakat bukan lagi menjadi hal yang tabu. Selain itu, lanjutnya, peran sarjana tidak bisa hanya dilihat dari pekerjaan, tetapi juga sisi spiritualnya, “Jadi hidup di dunia ada sisi spiritual yang harus seimbang,” tuturnya. Antara misi pribadi dalam artian mengejar karier dan melakukan pengabdian kepada masyarakat pun harus balance. Namun, pada kenyataannya orang-orang yang setiap harinya disibukkan dengan pekerjaan, mereka seperti tidak mengerti akan lingkungan, tetapi ada pula kemungkinan lingkungan itu sendiri yang tidak kondusif untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. “Bukan tidak peduli, mungkin belum,
karena masih memikirkan pemenuhan target misi pribadinya, ya, minimal ia telah berkontribusi pada dirinya sendiri. Tetapi alangkah lebih baiknya bisa saling share ilmu kepada orang lain,” ujarnya. Sarjana UIN identik dengan keagamaan, maka wajar ketika masyarakat mengetahui bahwa ada salah seorang lulusan UIN, pandangan mereka langsung tertuju pada statement bahwa sarjana UIN mampu melakukan hal-hal yang berbau agamis. Hal ini dibenarkan oleh Rahmat kurnia, ”Ya memang, tidak semua mahasiswa lulusan pesantren dan bisa dakwah tapi ya memang daya jual UIN adalah itu, seharusnya mahasiswa itu sadar ketika memilih masuk Universitas Islam ia harus mau memasuki dunia islam itu sendiri,” ujarnya. “Ketika tahu bahwa ia adalah seorang sarjana UIN, mereka tidak mempertanyakan jurusan apa, dan bagaimana prosesi perkuliahan, yang mereka tahu bahwa kita adalah sarjana UIN, itu berarti harus sudah bisa baca tulis al-quran, dan mampu menjadi imam atau khotib.” jelas Sakrim. Oleh karena itu, tambahnya, pihak UIN sudah berusaha mengadakan Ma'had Aljamiah dan sesuai dengan intruksi rektor yang mewajibkan lulusan UIN bisa baca tulis Al-quran dan hafal qur'an 1 juz. "Hal tersebut harus direspon oleh semua elemen kampus, khusunya pemangku jabatan yang ada di fakultas baik itu dekan, pembantu dekan, ketua jurusan dan para dosennya,” tegasnya. Pada akhirnya, ketika mahasiswa menjadi agen of chance maka sarjana menjadi agen pembaharu yang mencerminkan kompetensi diri, lebih kreatif, inovatif, produktif dan bermanfaat bagi khalayak. Dedi Ismatullah selaku Rektor UIN berpidato kepada para sarjana pada saat melepas wisuda ke 56, Sabtu (15/9), ia berharap, “Semoga ilmu yang diperoleh selama perkuliahan dapat berguna di masyarakat dan diamalkan sesuai bidang dan keahlianya masing-masing.” Pun Komara Ningsih mengajak kepada mereka yang sudah memberi kontribusi, sebisabisanya mengajak orang lain yang belum. Bagi yang sedang memberi kontribusi harus siap mental karena banyak tantangan di depan. Harus istiqomah, dan meluruskan niat di awal, ditengah dan di akhir. []Tim Liputan: Ririn Purwaningsih/SUAKA
SUAK
Lapo
Bandung Agamis, Abdi Mahasiswa untuk Masyarakat
Oleh Abu Nur Jihad dan Iqbal Tawakal
S
ebuah cerita yang pelik untuk diketahui dari Bandung, sang Kota Kembang. Tidak jauh berbeda sebenarnya, dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia. Bandung juga dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial. Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kenakalan remaja hingga kerusakan lingkungan. Untuk mengurangi permasalahan tersebut Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bekerjasama dengan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung membuat progam “Bandung Agamis”. Dari namanya saja, sudah jelas bahwa program ini lebih mengarah kepada keagamaan. Pemkot mencanangkan tujuh program prioritas, meliput bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup, olah raga, seni budaya dan agama. Bidang agama dijadikan sebagai pusat perhatian pembangunan melalui program “Bandung Agamis” ini. Persis dengan kondisi penduduk kota Bandung yang heterogen dan terkenal religius. Dari jumlah penduduk 2.197.734 jiwa, 88,8 % penduduk Kota Bandung adalah Islam, 1 % Katolik, 8,8 % Protestan, 0,5 % Hindu dan 0,9 % Budha. Program Bandung Agamis 2008 adalah implementasi dari visi kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat). Penggunaan istilah agamis dalam program unggulan Kota Bandung ini sangat tepat
karena membantu meminimalisir pro dan kontra di masyarakat. Dengan istilah ini pro dan kontra tidak lagi menjadikan lebih relevan karena istilah agamis konotasinya lebih bersifat netral dan bisa diterima oleh semua pemeluk kepercayaan agama. Berbeda misalnya dengan penggunaan istilah Islami atau Syari'at Islam. (BPS 2004) Prog ram Bandung Agamis sendiri dirumuskan oleh dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, Asep Saepul Muhtadi yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Litbang (Penelitian dan Pengembangan) MUI kota Bandung. Gagasan desain tersebut langsung direkomendasikan kepada Dada Rosada selaku Walikota. Pencanangan program “Bandung Agamis 2008” ini bersamaan dengan program bidang lainnya yaitu “Bandung Cerdas 2008”, “Bandung Sehat 2007”, ” Bandung Berwawasan Lingkungan Hidup 2008”, “Bandung Makmur 2008”, “Bandung Kota Seni Dan Budaya 2008” dan “Bandung Berprestasi Olah Raga 2008”. Hal ini berbanding lurus dengan kesepakatan pemikiran bahwa pembangunan bidang agama tidak akan sukses bila tanpa berdampingan pembangunan bidang lainnya. Asep Saepul Muhtadi melakukan presentasi di depan Walikota Bandung, tentang desain kota yang agamis, tapi saat itu, kapasitas dosen yang akrab disapa Samuh ini tetap
Assa
SUAK
mengatasatasnamakan MUI, tidak mengatasnamakan profesinya sebagai dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung. Untuk mensosialisasikan progam “Bandung Agamis”, pemerintah kota juga pernah 2 kali menerbitkan buku seputar masalah progam tersebut. “Saya banyak mengoreksi dan memberi masukan dalam buku cetakan kedua tersebut,” ucap Samuh. Samuh menilai Program “Bandung Agamis” adalah program yang paling relevan dengan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Namun Samuh menuturkan bahwa Fakultas Dakwah dan Komunikasi kurang sigap dengan program pemerintah ini. “Sebenarnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi itu sendiri kurang tanggap atas program ini, seharusnya UIN Bandung harus progresif. Sejak awal harusnya ditangkap oleh UIN Bandung,” ujarnya kepada Suaka di gedung Pasca Sarjana. Ia juga menegaskan keterkaitan mahasiswa terhadap masyarakat yang akhirnya menjadi 'laboratorium' mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi berperan paling depan dalam menuntaskan masalah ruhaniah publik. Samuh melanjutkan, masjid adalah pusat segalanya bila kembali mengevaluasi pada zaman Rasulullah. “Harus ada pemberdayaan masyarakat melalui masjid, jadi masjid bukan sekedar tempat shalat ataupun ibadah, melainkan sebagai pusat peradaban.” Keberadaan “Bandung Agamis” sendiri tidak merusak tatanan kurikulum yang sudah dirancang oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi, namun bagi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi yang biasanya hanya melakukan job training ke setiap media kini harus mengikuti Praktek Profesi Mahasiswa (PPM). Samuh menyatakan penerapan “Bandung Agamis” itu baik bagi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, asalkan tidak membingungkan mahasiswa. Karena selain memenuhi kebutuhan akademik, mahasiswa juga langsung terjun ke masyarakat,” lanjutnya. Hal tersebut senada dengan Asep Muhyidin, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Ia menyatakan program Bandung Agamis memang cocok dengan prestasi luhur fakultas Dakwah dan Komunikasi. “Program Bandung Agamis ini memang sinkron dengan visi-misi fakultas Dakwah dan Komunikasi.” Tegasnya pada Suaka. Atjep Mukhlis, sebagai ketua panitia program Bandung Agamis, menyebutkan bantuan pemerintah kota memberi bantuan sebesar Rp. 1,92 miliar pada program kerjasama pemkot dengan
fakultas Dakwah dan Komunikasi, saat dikonfirmasi Suaka di ruangan kerjanya. “Pemerintah kota Bandung mengucurkan bantuan sebesar Rp. 1,92 Miliar kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, dalam rangka mensukseskan Program Bandung Agamis ini,” ungkapnya. Atjep Mukhlis juga memaparkan 8 kecamatan yang sudah dibidik. “Mahasiswa fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) disebar ke 8 kecamatan di wilayah Bandung. Antara lain Cibiru, Ujungberung, Panyileukan, Arcamanik, dan beberapa kecamatan lainnya. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dituntut mengoptimalkan potensinya sesuai jurusan masing-masing.” Sambungnya. Perguruan tinggi saat ini layaknya seperti menara gading, artinya mahasiswa enggan menuntaskan langsung problem masyarakat. Pola belajar-mengajar di Indonesia memang belum bisa diandalkan dan terkesan kolot. Seyogyanya mahasiswa akan kembali pada masalah-masalah yang menyangkut kemanusiaan. “Justru yang saya tahu kampus di negara manapun ikut terlibat dalam proses pembangunan, jadi tidak berjalan masing-masing. Ada match antara perguruan tinggi dan pemerintah. Tidak seperti di Indonesia, ahli planologi tata kota ada di Bandung, tapi Bandung tetap saja semrawut. Hal itu terjadi karena pemerintah tidak melibatkan akademik kampus. Harusnya kampus dengan pemerintah itu saling berdampingan. Jadi sebetulnya akademik kampus juga punya gagasan yang bisa diimplementasikan,” jelasnya. Samuh juga mengilustrasikan kompetensi mahasiswa yang seharusnya terkoneksi pada masyarakat. “Saya kira langkah awal ini terus ditindaklanjuti, misalnya pada progam KKN, pada saat yang sama melaksanakan SKS-nya mahasiswa juga dituntut untuk mampu mengimplementasikannya di masyarakat, jadi KKN itu tidak liar alias semaunya sendiri,” ujarnya. Sudah lama masyarakat mengetahui slogan mahasiswa sebagai agent of change, namun selama ini mahasiswa merasa tidak menjadi pusat perubahan pada makna sebenarnya, saat pemerintah mempunyai program atau kebijakan baru sekalipun, mahasiswa tidak pernah singkron dengan progam pemerintah tersebut. Mestinya mahasiswa dengan pemerintah itu bersatu dan bisa duduk berdampingan merealisasikan progamprogam pemerintahan.
Lapo
SUAK
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Dibalik Berdirinya FISIP L
Oleh Salman A. Nahumarury ima tahun adalah penantian yang cukup panjang untuk membentuk sebuah Fakultas. Beberapa jurusan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung kini boleh bernafas lega karena telah bernaung di bawah fakultas yang semestinya. Terhitung sejak Maret 2012, Fakultas Sosial Ilmu Politik (FISIP) secara resmi berdiri. Pembentukan FISIP di UIN SGD Bandung ternyata menempuh proses yang cukup lama. Tahun 2007 adalah titik awal sebelum akhirnya Jurusan Sosiologi, Administrasi Negara (AN), dan Manajemen bernaung dibawah FISIP. Untuk Administrasi Negara dan Manajemen, sebelumnya berada di bawah Fakultas Syari'ah dan Hukum, sementara Sosiologi berada di bawah Fakultas Ushuludin. Berdasarkan penuturan dari Sahya Anggara, Dekan FISIP, ada beberapa tahapan sebelum membentuk sebuah fakultas. Pada tahun 2007, UIN SGD Bandung mengajukan proposal pembentukan fakultas baru yang awalnya bernama Fakultas Ilmu Sosial, Politik, dan Ekonomi (SOSPOLEK). Tiga tahun berselang, tepatnya
pada 11 Mei 2010, UIN SGD Bandung yang diwakili oleh Sahya mempresentasikan FISIP, dan akhirnya dinyatakaan lolos dan layak untuk menjadi sebuah fakultas. Proses pembentukan tidak berhenti sampai disitu. Banyak yang harus diperbaiki dalam proposal termasuk nama. Dalam perjalannya, fakultas yang baru ini mengalami tiga kali pergantian nama sebelum akhirnya berdiri. “Nama SOSPOLEK ini dianggap tidak familiar, nomenklaturnya aneh. Setelah itu diperbaiki, namanya dirubah, bukan SOSPOLEK lagi, tapi menjadi FISIPOLEK,� ungkap Sahya, saat diwawancara ruangannya, Senin (17/8). Namun, pada awal 2012 langkah ini lagi-lagi memiliki hambatan karena nama FISIPOLEK yang dianggap tidak cocok untuk menjadi nama sebuah fakultas. Akhirnya, pada 29 Maret 2012 D i r e k t o r a t Je n d e r a l Pe r g u r u a n T i n g g i mengeluarkan Surat Keputusan untuk mendirikan sebuah fakultas baru di UIN SGD Bandung dengan nama FISIP. Sahya menuturkan, setidaknya ada beberapa syarat sebelum mendirikan sebuah fakultas. Diantaranya adalah kurikulum, sarana dan
prasarana, tenaga pengajar, studi kelayakan, jurusan atau prodi yang harus sudah mendapat izin. “Jurusan-jurusan atau prodinya harus mendapat izin. Setelah itu barulah dibuka prodinya. Setelah prodi-prodi itu diakreditasi dan segala macamnya, barulah dikumpulkan dan dibentuklah sebuah fakultas,” ujar Sahya. Namun, dua prodi yang bernaung dibawah FISIP yaitu manajemen dan administrasi Negara ternyata belum memiliki akreditasi. Kendati memiliki masalah akreditasi, Sahya menjelaskan bahwa permasalahan itu bisa diurus belakangan. Proses akreditasi prodi Manajemen dan Administrasi Negara sudah diajukan ke Badan Akreditasi Perguruan Tinggi (BAN PT) dan saat ini kedua prodi tersebut baru selesai divisitasi dan selangkah lagi menuju akreditasi. Seperti yang dilansir dari www.suakaonline.com, polemik akreditasi mengakibatkan 6 mahasiswa Administrasi Negara dan Manejemen terpaksa menunda kelulusan sampai akreditasi disahkan oleh BAN PT.“Kendala kita untuk menyelenggarakan sidang kelulusan bagi mahasiswa manajemen dan Adminstrasi Negara adalah terbenturnya dengan aturan negara yang menyatakan bahwa mahasiswa sah dinyatakan sebagai sarjana itu harus dari prodi yang sudah diakreditasi. Sedangkan untuk Manajemen dan Administrasi Negara baru satu bulan di visitasi. Tinggal menunggu hasil dari BAN PT,” ujar Sahya kepada Suaka, Kamis (6/9). Ia pun menambahkan, apabila Fakultas memaksakan untuk tetap menyelenggarakan sidang kelulusan dan meluluskan mahasiswa dari prodi yang baru dibentuk pada tahun 2007 ini, lembaga dan mahasiswa akan mendapatkan sanksi. “Jika kita memaksa tetap menyelenggarakan ada sanksi hukumnya, seperti dicabut gelar akademik mahasiswa yang lulus dari prodi yang belum terakreditasi. Selain itu penyelenggara akan terkena hukuman 10 tahun penjara dan denda 1 Milyar dan lembaga akan dibekukan,” pungkas Sahya. Beliau hanya bisa memperkirakan bahwa akreditasi akan keluar sekitar 3 – 4 bulan kedepan karena keputusan akreditasi itu adalah hak prerogatif BAN PT.
Berbagai Jurusan dan Fakultas yang bersifat umum didirikan sebagai bentuk perubahan dari IAIN ke UIN. FISIP adalah salah satu bentuknya. Tidak cukup menaungi tiga prodi yang ada di bawahnya, kini FISIP sedang mengupayakan untuk membentuk 6 prodi tambahan. 6 prodi tersebut adalah Hubungan Internasional, Ilmu Politik, Sosiologi Ag ama, Kesejahteraan Sosial, Administrasi Bisnis Islam, dan Administrasi Keuangan. Sampai saat ini, tahapannya baru sampai pada pengajuan izin. “Kita sudah melangkah jauh kedepan. Selama lima tahun kebelakang kita memang sudah mempersiapkan semuanya,” ucap Sahya. Selain mempersiapkan 6 prodi tambahan, UIN SGD Bandung kini tengah membangun gedung baru untuk FISIP yang berada di samping gedung Al-jamiah. Disaat UIN SGD Bandung yang tengah melangkah lebih maju, Farid Kurniawan, mahasiswa Manajemen semester VII punya anggapan yang berbeda perihal bergabungnya Manajemen kedalam FISIP. Farid mengungkapkan, bergabungnya Sosiologi dan Administrasi Negara memang sepatutnya berada dibawah FISIP, tapi tidak untuk Manajemen. Bergabungnya Manajemen kedalam FISIP tidak akan mempunyai pengaruh yang signifikan, karena seharusnya Manajemen berada dibawah Fakultas Ekonomi. “Kalau boleh diibaratkan, permintaan beras sangat banyak, tapi kita malah menyediakan singkong. Kita yang seharusnya ada di Fakultas Ekonomi malah ada di FISIP, kan gak nyambung, tidak akan membawa perubahan yang signifikan,” ujar Farid, Sabtu (23/9). Ia Menambahkan, hal tersebut juga diamini oleh salah satu dosen saat mengajar di kelas. Di tengah kondisi yang ada, Sahya hanya berharap bahwa FISIP nantinya akan memberikan terobosan-terobosan yang yang dalam dunia pendidikan. Selain itu, beliau menginginkan akan FISIP mampu melahirkan sumber daya manusia yang handal di bidangnya. Pelantikan Sahaya Anggara Sebagai Dekan FISIP
Pembangunan, Imbas Tak dengan Solusi
Oleh Charis Abdussalam
T
ahun ini UIN SGD Bandung kembali melaksanakan proses pembangunan. Sebelumnya, UIN SGD Bandung telah melakukan renovasi bangunan-bangunan yang sudah ada seperti beberapa fakultas dan gedung perkuliahan. Fakultas yang sudah direnovasi diantaranya, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Syari'ah dan Hukum serta Fakultas Adab dan Humaniora. Pembangunan yang dipimpin oleh Fisher Zulkarnain ini direncanakan akan selesai selama satu tahun, kecuali untuk gedung Fakultas Ushuludin, berakhir pada akhir tahun 2012. Dalam satu tahun itu, ada 11 bangunan baru yang didanai oleh Islamic Development Bank (IDB) sebesar US$22 juta beserta sarana dan prasana seperti laboratorium. Adapun 11 bangunan tersebut yaitu, Pusat Bahasa, Ruangan Perkuliahan, Perpustakaan, Fakultas Psikologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Fakultas Sosial Politik dan Ekonomi, Student dan Training Center, Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Komputer, Gedung Serbaguna, Asrama Laki-laki dan Asrama Perempuan Menurut Jaenudin selaku Kabag Umum, dana pembangunan tersebut merupakan dana pinjaman dari IDB. “Saya tidak hafal benar nilainya, kurang lebih Rp153 milyar untuk 11 bangunan, dana tersebut dipinjam bukan atas nama UIN Bandung, akan tetapi dari negara melalui BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional). UIN Bandung hanya menerima dana dari Kementrian Agama, ungkap Jaenudin. Jaenudin menambahkan bahwa biaya sarana pendidikan yang dibebankan kepada mahasiswa baru ini akan dipergunakan untuk pemeliharaan gedung, pemeliharaan halaman, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharan mesin dan lampulampu serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Lapo
Pembangunan ini sudah berjalan sangat lama,tapi sebagian pihak mengatakan bahwa perencanaannya kurang matang
“Sebenarnya dana tersebut tidak akan cukup bila tidak ditunjang oleh dana Anggaran Pendapatan Belajar Negara (APBN),” lanjutnya. Selama proses pembangunan berlangsung, Rektor UIN Bandung, Deddy Ismatullah menginstruksikan kepada seluruh civitas akademika UIN Bandung untuk tidak membawa kendaraan pribadi masuk ke area kampus tanpa terkecuali. “Sebelumnya kendaraan ber-plat merah masih diperbolehkan masuk ke area kampus, namun setelah dikaji ulang maka kebijakan tersebut pun diubah. Semua kendaraan bermotor tidak diperbolehkan masuk ke area kampus,” ungkap Fathujaman selaku Kabag Kemahasiswaan. Kebijakan tersebut dinilai sebagian orang tidak disertai solusi yang matang. Jalanan sekitar kampus UIN Bandung macet, akibat beberapa tempat di sekitar kampus dipakai sebagai tempat parkir warga UIN Bandung selama melakukan aktivitas kampus. Keadaan tersebut tentu sangat mengganggu masyarakat sekitar dan pengendara yang melewati kampus UIN SGD Bandung. Seperti yang terjadi di halaman masjid Kifayatul Akhyar, dalam sekejap halaman masjid tersebut dipenuhi kendaraan milik mahasiswa. Tentu tidak ada pilihan lain bagi mahasiswa untuk memarkirkan kendaraannya karena belum ada kepastian mengenai lahan parkir resmi dari pihak kampus. Ada tanggapan lain soal ini. “Pembangunan ini sudah berjalan sangat lama, tapi sebagian pihak mengatakan bahwa perencanaannya kurang matang,” ujar Enjang A.S, salah satu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi. “Civitas akademika UIN Bandung rata-rata membawa kendaraan, semestinya sudah dipersiapkan sejak awal, di mana tempat parkir, dan bagaimana penataan parkirnya, jangan sampai ada persoalaan di tengah masyarakat. Lahan atau rumah masyarakat digunakan tempat parkir, baik kendaraan dosen,
mahasiswa dan karyawan. Hal itu akan membuat tidak nyaman warga yang tempatnya digunakan tempat parkir,” tegasnya. Enjang yang juga merupakan Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik memberikan alternatif lain bagi mahasiswa yang biasa membawa kendaraan bermotor yang tempat tinggalnya tidak terlalu jauh, untuk menggunakan sepeda ke kampus. Enjang menggunakan sepeda untuk memenuhi kewajibannya sebagai dosen di UIN Bandung. “Kalau saya sih sudah biasa bersepeda, karena jarak tempuh ke kampus dari rumah tidak terlalu jauh,” tambahnya. Mengenai lahan parkir resmi, Fathujaman memberikan komentarnya, “Setelah mencari di berbagai tempat, pihak kampus berencana untuk menyewa lahan kosong seluas 2400 m yang terdapat di Pertamina. Namun semua itu harus melalui mekanisme yang sudah diatur karena menyangkut uang negara. Jadi sekarang masih dalam proses dan belum bisa digunakan,” tambahnya. Tempat parkir di Pertamina tersebut rencananya akan disewa selama satu tahun dan tidak akan dikenakan biaya parkir. Selain masalah lahan parkir resmi, civitas akademika UIN SGD Bandung sangat terganggu dengan adanya debu-debu yang berkeliaran di lingkungan kampus selama pembangunan berlangsung. Mengenai hal tersebut Fathujaman menuturkan solusinya. “Solusinya dengan memakai masker, hanya teknisnya belum saya koordinasikan dengan yang lain. Saya juga menghimbau kepada peker ja proyek pembangunan agar melakukan penyiraman jalan minimal 2 kali sehari, agar bisa mengurangi dedudebu yang mengganggu kenyamanan warga kampus,” ungkapnya. Senada dengan Fathujaman, Jaenudin pun menyarankan agar dilakukan pembagian masker gratis untuk mengantisipasi gangguan debu tersebut,” pungkasnya.
Lapo
SUAK
Belum Jadi Bangsa Pembaca Oleh Asep Gunawan
O
ctavio Paz (1903-1988) berujar ketika dalam pidato penerimaan nobel sastranya tahun 1990, bahwa membaca buku baginya merupakan aktivitas melawan pemborosan atau penghamburan waktu. Di dalamnya ada praktek konsentrasi mental dan moral yang menuntun kita ke dalam dunia yang tidak atau belum kita ketahui. Bagi Octavio Paz, membaca menjadi aktivitas yang tak pernah bosan-bosan ia lakukan. Di masa Islam abad pertengahan, aktivitas membaca menjadi sebuah keharusan. Seperti Syekh Nawawi Al-Bantani yang sering menghabiskan malam-malamnya dengan membaca dan menulis buku. Pun para ulama sebelum memutuskan suatu masalah selalu membuka dan membaca kitab-kitab ulama terdahulunya untuk kemudian mengutip dan mengakurkannya dengan Qur'an dan Hadits, sebelum memutuskan fatwa. Dengan terlebih dahulu membaca, mereka menghindari suatu tindakkan yang tak diketahui sebelumnya. Tradisi membaca jaman Islam dulu itu, sekarang malah banyak diadopsi di negara-negara yang mayoritas warganya non-muslim. Negaranegara maju seperti Prancis, Inggris, Jerman dan Jepang sudah sadar betul akan nilai guna dari aktivitas membaca buku. Walau pun dengan industrialisasi yang begitu mobile — yang membuat mereka jadi super sibuk dan tak punya banyak waktu— aktivitas membaca buku selalu mereka selipkan di sela-sela waktu luang seperti ketika menunggu bis, atau kereta di stasiun. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika ukurannya adalah aktivitas membaca tadi, maka pantas saja peradaban Indonesia cenderung jalan ditempat— jika tak mau dibilang mundur. Pentingnya membaca itu belum terlalu dirasa urgen di Indonesia sekarang ini. Membaca menjadi hal yang masih dirasa asing bagi kebanyakan orang, baik di desa atau pun di kota. Beberapa waktu belakangan ini, kebiasaan membaca buku tergantikan oleh kebiasaan membaca sms atau membaca status-status di facebook atau jejaring sosial lainnya. Anggapan yang masih kental di pikiran kita tentang membaca buku, bahwasanya membaca buku hanya membuang-buang waktu belaka, dan
SUAK
Opi cenderung lebih terlihat sebagai aktivitas yang kontra produktif. Hal ini diperkuat dengan masih sangat langkanya melihat orang-orang asyik membaca buku di tempat-tempat umum (terbuka). Kebanyakan mata kita akan disuguhi pemandangan orang-orang yang asyik dengan gadget-nya. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009, yang dirilis untuk mengetahui seberapa besar minat penduduk terhadap membaca. Survei dilakukan kepada penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Hasilnya sungguh mengejutkan, hanya 18,94 persen yang menyenangi aktivitas membaca buku, surat kabar atau majalah. Lemahnya minat baca tersebut otomatis berpengaruh pada kualitas manusia Indonesia sendiri. Berdasarkan Human Development Index (HDI) tahun 2011 yang dikeluarkan The United Nations Development Program (UNDP) Indonesia berada di posisi ke 124 sebagai negara yang kualitas manusianya rendah. Indonesia jauh berada di bawah negara ASEAN lainnya, di mana Singapura menempati posisi (ke26), Brunei (ke-33), Malaysia (ke-61), Thailand (ke103), dan Filipina (ke-112). Memang benar dari realitas sekarang, kita belum terlalu akrab dengan aktivitas membaca. Dari pagi hingga malam, raga dan pikiran kita hanya disibukan dengan urusan materi, hingga seolah tak memberikan ruang dan waktu sedikit pun untuk membaca. Padahal, sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab (2007), bahwa membaca adalah sebuah aktivitas utama yang menyokong peradaban bangsa. Majunya peradaban suatu bangsa bisa diukur dari seberapa sering manusianya membaca. Apalagi jika dilihat dari kacamata Islam, ayat pertama yang turun pada Muhammad adalah diksi “Iqra� (baca), artinya semua hal di dunia ini harus dimulai dari aktivitas membaca. Karena membaca merupakan aktivitas berpikir yang membuat kita tahu, sadar, dan mampu membawa pemikiran kita ke arah yang lebih terang. Kurang etis rasanya, ketika kesibukanlah yang menjadi alasan utama kita melupakan aktivitas membaca. Jika manusia Indonesia sudah akrab dengan membaca, maka hanya tinggal menunggu waktu saja bagi kita, untuk terlepas dari belenggu krisis multidimensi dan menjadi negara maju. Penulis, Alumnus Sastra Inggris UIN Bandung, bergiat di Sasaka dan FAS (Forum Alternatif Sastra) Bandung.
Mewujudkan Masyarakat Belajar (Sebuah Ikhtiar Pencitraan Moral Bangsa)
Opi
Oleh Ridwan Rustandi
SUAK
“Jadilah kalian kaum Rabbani, karena kalian selalau mengajarkan kitab (Qur'an) dan selalu mempelajarinya” (Q.S. 03 :79) Humanisasi Pendidikan mencita-citakan perwujudan adanya masyarakat belajar yang memahami signifikansi pemikiran dan pendidikan dalam kehidupan kita. Masyarakat belajar adalah masyarakat yang menyadari sepenuhnya pentingnya bersikap empatik dalam kehidupan nyata. Sikap empatik yang terbentuk, terbina dan terpupuk merupakan kepribadian bangsa yang harus dipelihara. Melalui masyarakat belajar ini dimungkinkan terciptanya harmonisasi kehidupan masyarakat madani yang mengedepankan kepekaan sosial dalam menjalani kehidupan ini. Masyarakat pendidikan tidak diukur dari setinggi apa gelar kependidikan yang didapat, melainkan bagaimana proses pengejawantahan dari pengetahuan yang didapat dari proses pembelajaran yang ada. Masyarakat belajar ini merupakan modal dalam membentuk, membina dan memelihara kepribadian bangsa serta keinginan untuk memajukan kehidupan sosialnya. Dan masyarakat belajar ini perlu mendapat perhatian yang lebih sebagai bagian dari usaha pendistribusian dan pendeskripsian karakter pendidikan bangsa yang humanis dan mengedepankan aspek persamaan sebagai manusia. Dalam hal ini, kampanye media massa dalam membentuk masyarakat empatik dan ruang belajar tersebut. Masyarakat sosial yang empatik, didasarkan pada kesadaran nyata tentang kehidupan sosial, memungkinkan keberlangsungan kehidupan manusia yang mengatasnamakan cita-cita luhur demi terwujudnya kehidupan sosial yang sesuai dengan apa yang kita harapkan, sebab : “sayangilah apa yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan mengasihanimu”(al-hadits). Satu hal yang penting dalam sistem pendidikan kita adalah perliu adanya rekonstruksi sistem pendidikan nasional yang benar-benar dapat memfasilitasi karakteristik kepribadian bangsa sebagai bangsa berdaulat dan beragama. Seiring dengan cita-cita yang tertera dalam legislasi bangsa Indonesia yakni mengembangkan kecerdasan bangsa yang berdasar pada keimanan
dan ketakwaan terhadap Tuhan, memelihara kemuliaan dan pekerti luhur, dan mengembangkan segenap potensi diri sebagai bagian dari cita-cita mencerdaskan bangsa. Reorientasi pendidikan Indonesia ialah bahwa perlu ada sebuah upaya, evolusi pendidikan dengan segenap sistem yang dijalankan di dalamnya dalam proses belajar-mengajar. Bagaimana pendidik mengajar dengan hati, mengutamakan etika guna mewujudkan kecerdasan afeksi. Dan anak didik mampu memahami dengan hati pula sehingga transfer pengetahuan yang dilakukan benar-benar berlangsung, tanpa ada gangguan yang kiranya dapat menyebabkan pesan pendidikan terhalang. Reorientasi ini pun dimaksudkan untuk membentuk citra masyarakat belajar. Sebuah kondisi masyarakat yang menyadari sepenuh hati akan pentingnya pendidikan. Masyarakat belajar senantiasa melestarikan tradisi intelektual dan tradisi sosial yang ada. Sekali lagi, cita-cita ini adalah sebuah upaya. Maka elemen terpenting yang harus dimiliki dalam mewujudkan masyarakat belajar adalah kecerdasan IQ (Intelectual quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) dan AQ (Adversity Quotient), (Yunsirno. Keajaiban Belajar. 2010, h. 44-46). Islam mencita-citakan adanya masyarakat belajar, dimana masyarakat yang senantiasa melakukan segalanya dengan hati. Dalam Islam kesadaran adalah yang terpenting, dan yang membedakan mukmin yang baik dengan yang lainnya adalah aspek Zaidan (kesadaran penuh) yang terpelihara, keyakinan yang sepenuh hati (Q.S 112 : 1), dan perbuatan yang tidak hanya sekedar ucapan melainkan ada nilai aplikatif dalam kehidupannya (Q.S 61: 2-3). Demikian pentingnya pendidikan karakter sebagai upaya perwujudan masyarakat belajar dalam upaya membangun bangsa, “Dan Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam)” (Q.s 10 : 25). []Penulis adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), aktif di LPIK, pendiri komunitas menulis Exellent Bee.
Vak Bukan Sekedar Museum
SUAK
Oleh Alin Imani
M
useum entah kenapa dan sejak kapan, selalu identik dengan hal-hal yang membosankan. Museum rupanya hanya berisi pameran koleksi, guiding materi per koleksi. Selain itu, dilihat dari jumlah pengunjung pun, porsi terbesar bisa dikatakan hanya dari pelajar. Sayangnya, itupun bukan berdasarkan niatan individu, misalnya ingin memperluas wawasan. Mereka berkunjung ke museum karena ada jadwal kunjungan dari sekolah masing-masing. Turis juga menjadi pengunjung terbanyak selain pelajar. Museum rupanya menjadi salah satu tempat berwisata untuk beberapa orang. Hal itulah yang akhirnya membuat sebuah museum yang terletak di pusat kota Bandung mencoba menarik diri dari tradisi museum konvensional yang selama ini terjadi. Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) adalah salah satu museum di Indonesia yang bisa dikatakan memberikan hal lebih dari sekedar pameran koleksi dan guiding yang membosankan. Terletak di Jln. Asia Afrika No 65, museum yang dulunya merupakan bangunan kolonial bernama Societit Concordia yang berada dibawah naungan Kementerian Luar Negeri ini menawarkan hal lain dari museum lain yang kita jumpai. MKAA yang berisikan tentang sejarah Konferensi Asia Afrika yang membuat Bandung menjadi kota yang sangat berpengaruh di kawasan Asia Afrika ini menawarkan banyak kelas bahasa dan budaya juga membidani kelahiran berbagai komunitas, dari sekian komunitas, Asian African Reading Club (AARC) adalah salah satu komunitas yang aktif dan produktif di MKAA. Adalah Adew Habtsa (35), seniman asal Bandung ini mencetuskan idenya untuk mendirikan AARC di tengah maraknya komunitas
lifestyle di Kota Bandung. Dibentuk pada tanggal 23 Agustus 2009, AARC didirikan untuk ikut menjawab permasalahan bangsa yang lupa akan masa lalu dan lupa akan jati diri. Tujuan dibentuknya AARC ini adalah untuk memaknai nilai-nilai Konferensi Asia Afrika yang harus dijaga kelestariannya hingga sekarang. Terdapat 4 hal yang menjadi tujuan itu, diantaranya goodwill (niat baik), egaliter (kesetaraan), hidup damai berdampingan dan kerjasama. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, terdapat banyak kegiatan yang dilakukan AARC. Diantaranya adalah tadarusan buku, penerbitan buku dan tur kebangsaan. Dari tiga kegiatan ini, tadarusan buku menjadi kegiatan primadona yang rutin dilakukan oleh AARC. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang Audiovisual, MKAA setiap hari Rabu pukul 17.00-20.00. Tadarusan buku, jika dilihat dari nama tadarusan yang diidentikan dengan membaca AlQur'an secara bersama-sama ini memang secara utuh diaplikasikan oleh AARC. Para anggota (mudaris) akan membacakan buku beberapa halaman dengan suara yang dikeraskan dan akan dibaca secara bergantian. Kemudian di akhir kegiatan akan diberi penjelasan tentang hal-hal yang terdapat di dalam buku tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Proses tadarus buku ini akan dilakukan sampai buku itu selesai. Bisa memakan waktu beberapa bulan sesuai dengan ketebalan buku dan jumlah mudaris yang hadir setiap minggunya. Kemudian setelah selesai biasanya akan dilanjutkan dengan tur kebangsaan atau napak tilas ke tempat-tempat yang menjadi sejarah yang tertera pada buku tersebut untuk lebih mendalami kejadiannya. Untuk napak tilas ini AARC sudah berziarah
ke Jakarta dan Bogor menindaklanjuti khatamnya buku yang mereka baca setelah 6 bulan yaitu, The Bandung Connection yang ditulis oleh Alm. Roeslan Abdulgani. Buku ini termasuk literatur yang langka yang tidak dijual dengan bebas diluar. Dalam rangka napak tilas ini, AARC sudah mengunjungi rumah Roeslan Abdulgani, makam dari mantan perdana menteri pertama Indonesia, Mr. Ali Sastroamidjojo di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Kita mengunjungi, menziarahi tempat bersejarah itu untuk menjaga ingatan kita akan masa lalu. Karena persoalan bangsa ini adalah lupa akan masa lalu dan lupa akan jati dirinya,” ujar Adew bulan Juli lalu. Tidak melulu membaca dan diskusi, AARC juga senang bermusik. Di komunitas ini sudah satu album dikeluarkan oleh Adew Habtsa and Friends yang berisi lagu-lagu kebangsaan yang easylistening yang pada milangkalanya yang ketiga dilaunching di MKAA pada tanggal 12 September 2012 dan dihadiri oleh puluhan penggiat MKAA.
Anggotanya juga berasal dari berbagai latar belakang profesi. “Anggotanya macem-macem, ada masyarakat, tokoh, mahasiswa, PNS, karyawan, pelukis, penyair, pemain teater dan lainlain,” katanya sambil berkelakar. Namun sebagai komunitas yang berlatar sosial, AARC tidak mempunyai aturan rumit agar bisa menjadi salah satu anggotanya. Cukup datang ke MKAA dan ikut kegiatannya dengan rutin maka anda akan menjadi salah satu orang yang peduli dengan sejarah masa lalu khususnya Bandung dan lebih jauh menghidupkan kembali semangat Bandung Ibukota Asia Afrika yang didengungkan oleh tokoh fenomenal kesayangan Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru saat memberi pidatonya di Gedung Merdeka pada tahun 1955. Semoga semangat komunitas ini terus lestari, menjadi bulir-bulir mutiara dalam membentuk kepribadian wargi Bandung yang sesungguhnya dan Bangsa yang peduli pada sejarah.
Kamu bisa jual atau beli secara online setiap saat.
Kunjungi sekarang juga!!
www.kopmauinbandung.co.id
Info lebih lanjut: @kopmauinbandung 089655921877 salman
SUAK
Vak
Sengkarut Kasus HAM di Bumi Pertiwi
Oleh Iqbal Tawakal
S
ikap pemerintah atas penanganan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini dinilai belum maksimal, baik kasus yang telah terjadi di masa lampau, atau kasus-kasus terbaru saat ini. Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) atau Organisasi Masyarakat (Ormas) yang konsern dalam kajian hukum dan HAM pada nyatanya kini terus merongrong pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus hukum dan HAM yang belum mengasilkan keputusan. Sebagian temuan-temuan hasil penyidikan Komnas HAM terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya sampai pada meja Kejaksaan Agung tanpa proses tindak lanjut dari Pemerintah. Pemerintah seakan menutup mata terhadap kasuskasus pelanggaran HAM berat masa lalu, mulai dari kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I dan II, penculikan aktivis tahun 1997/1998, kasus Talangsari (Lampung), kasus Wasior dan Wamena hingga pelanggaran HAM berat 1965-1966. Diantara deretan kasus pelanggaran HAM tersebut, sementara ini hanya sampai pada tahap penemuan penyelidikan Komnas HAM, jalan terjal penuntasan justru berada di Kejaksaan Agung. Tindakan Presiden untuk mengusut tuntas temuan-temuan kasus tersebut pun masih dalam tahap verbal saja. Presiden SBY pernah berujar bahwa negara punya kewajiban moral menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat seadil-adilnya (KOMPAS, 26 Juli 2012). Adalah Bedjo Untung (65) salah satu korban sekaligus saksi tragedi 1965-1966 yang masih hidup. Kepada Suaka Bedjo mengatakan bahwa ia bersama korban yang lainnya sangat mengapresiasi hasil temuan Komnas HAM yang telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung pada 20 Juli 2012 lalu, bahwa tragedi 1965-1966 merupakan pelanggaran HAM berat. Bahkan ia mengatakan temuan tersebut diluar dugaan para korban. Namun, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 ini cukup pesimis terhadap kelanjutan temuan kasus tersebut apabila dibawa melalui jalur yudisial. Ia berpendapat bahwa mekanisme negara masih meneruskan politik Orde Baru. Dan orang dalam Kejaksaan Agung sendiri masih bagian dari orangorang dari rezim Orde baru. “Bola terakhir berada ditangan Kajaksaan Agung, dalam penyelesaian kasus ini kami berharap presiden mengeluarkan dekrit dan kasus ini harus ditempuh melalui jalur
Sel
SUAK
non yudisial,� terang Bedjo kepada Suaka beberapa waktu yang lalu. Hasil penyidikan Komnas HAM terkait peristiwa 1965-1966 menemukan sembilan pelanggaran HAM berat seperti, pembunuhan, pemusnahan, pemerkosaan, perbudakan, penganiayaan, penghilangan secara paksa, perbudakan, pengusiran penduduk secara paksa dan perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik. Selama proses penyelidikan yang dimulai sejak tahun 2008 lalu, tim ad hoc Komnas HAM mewawancarai 349 saksi termasuk para korban dan pelaku yang masih hidup. Para korban rata-rata merupakan orang yang diduga sebagai pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI), simpatisan dan warga sipil yang sama sekali tidak terkait dengan gerakan politik pada saat itu. Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikan akhir kepada Kejaksaan Agung pada tanggal 20 Juli 2012. Hingga saat ini kasus tersebut sedang dalam tahap penelitian oleh tim Kejaksaan Agung. Seperti yang dilansir dari Tempo.co (14/09/2012), Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andhi Nirwanto mengungkapkan bahwa sampai saat ini pihaknya masih terus meneliti laporan Komnas HAM. Sebagai ketua tim peneliti, Andhi tak mau banyak bercerita sampai dimana perkembangan kasus tersebut Bedjo Untung dan korban peristiwa 19651966 lainnya terus menuntut agar peristiwa yang telah menimpa dirinya cepat diselesaikan. Sudah empat tahun mereka menggelar aksi unjuk rasa yang mereka beri nama Aksi Diam Kamisan di depan Istana Presiden, hal tersebut dilakukan demi menarik simpati negara untuk segera menangani kasus ini dengan serius. “Perlu dicatat bahwa kami hanya ingin menuntut kebenaran dan keadilan dari negara, untuk maslah penuntutan rehabilitasi dan konvensasi kami nomor duakan, meskipun itu adalah hak kami," pungkas Bedjo. Political Will Ari Yurino selaku aktivis Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan bahwa mandegnya berbagai upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia menunjukkan bahwa untuk menangani persoalan masa lalu setelah masa kediktatoran memang tidak mudah bagi pemerintah. Upaya-upaya untuk menyelesaikan pelang garan HAM dan menghadapi kekerasan masa lalu di masa transisi (dari pemerintahan otoritarian ke pemerintahan demokrasi) harus menghadapi beberapa tantangan
yang serius, antara lain sistem peradilan yang korup dan tidak efisien serta keengganan pemimpin baru untuk menghadapi elemen (unsur dari kekuatan) dari otoritas lama (penguasa yang lama). Kondisi ini semakin diperparah dengan belum kuatnya legitimasi pemerintahan baru, perdamaian yang rapuh, institusi dan infrastruktur yang lemah dan korup, serta adanya budaya impunitas. Ia pun mengatakan bahwa Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara di Amerika Latin yang mampu menuntaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Untuk penanganan kejahatan di masa lalu di dunia, negara-negara di kawasan Amerika Selatan menjadi cukup penting karena merupakan inisiatif utama untuk melawan transisi yang terlalu kompromis dan menarik perhatian publik yang signifikan. Argentina, misalnya, bisa dianggap sebagai salah satu negara yang pemerintahnya paling ambisius dalam menangani kejahatan di masa lalu. Selain itu, kita juga bisa berkaca pada penanganan kejahatan masa lalu yang dilakukan oleh negara-negara di Amerika Selatan lainnya. Sementara itu Dede Kania salah satu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung yang mengampu mata kuliah Hak Asasi Manusia, menilai bahwa menggantungnya penanganan kasus HAM berat masa lalu dikarenakan tidak adanya political will dari penguasa. “Sebenarnya penguasa sadar bahwa tragedi tersebut merupakan pelanggaran HAM berat, dan penguasa pun sebenarnya dapat dengan mudah mengusut pelanggaran HAM tersebut. Mekanisme Ekstra Yudisial pun sebenarnya dapat dikedepankan oleh pemerintah, sebagai sebuah aternatif yang layak untuk menjadi perhatian terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, akan tetapi kasuskasus tersebut terbentur dengan sejarah dan kehormatan nama-nama pelaku, mengakibatkan penguasa sangat sulit menindakalanjuti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,� terangnya kepada Suaka. Ruwetnya penanganan kasus HAM di Indonesia pun dapat dijadikan alasan mengapa kasus-kasus pelanggaran HAM sulit dicairkan, Dede menilai negara ini belum mampu menyeleng arakan peneg akkan HAM, ia menganggap bahwa ketidakterbukaan negara terhadap asas-asas penegakan HAM itu sendiri belum berjalan dan belum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. []Tim Liputan: Resita/SUAKA
SUAK
Sel
Lirik Gangnam Style Berisi
Kritik Sosial Oleh Nirra Cahaya Pertama
M
erebaknya virus Korean Pop (K-pop) di Indonesia semakin menghipnotis kawula muda terutama remaja untuk ter us mener us deng an setia mengikuti perkembangannya. Dimulai dari fashion, koreografi, film, video klip sampai update single terbaru. Jika sebelumnya kita mengenal Boy Band dan Girl Band, kali ini K-pop menyajikan single Gangnam Style. Sebuah singel K-pop tahun 2012 yang dinyanyikan oleh rapper asal Korea Selatan bernama Park Jae Sang atau yang lebih dikenal dengan nama PSY. Lagu ini pertama kali dirilis pada tanggal 15 Juli 2012 dan langsung menduduki tangga lagu Korea Selatan, Gaon Chart. Dalam videonya Psy menyuguhkan ritme humor dan catchy dengan menampilkan tarian yang tidak biasa. Seperti gaya menunggang kuda yang lucu dan muncul di lokasi yang tak terduga di sekitar Gangnam seperti di sesi yoga, di luar ruangan dan di bak mandi air panas. Gangnam Style atau gaya Gangnam menjadi video K-pop yang paling banyak ditonton di Youtube. Ketika dirilis pertama kali, lagu ini hanya diketahui oleh para penggemar K-pop saja. Namun, para penggemar K-pop kemudian mulai berbagi di situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tidak lama kemudian, pengguna internet di luar komunitas K-Pop mulai mengetahui lagu ini. Bahkan, selebritis-selebritis internasional juga turut memberi tweet tentang Gangnam Style yang pada akhirnya memicu efek bola salju. Namun, jika menilik lirik yang ditulis oleh Psy. Sebenarnya lirik tersebut berisikan tentang kritik sosial atas kemewahan yang ditawarkan Distrik Gangnam dengan menceritakan gaya lelaki Gangnam yang kaya raya dan disukai banyak wanita. Hal ini terlihat pada bagian kedua lirik yang jika diubah kedalam bahasa Indonesia menjadi: Aku adalah seorang pria. Seorang pria yang akan menghangatkanmu di siang hari. Seorang pria yang akan menemanimu meminum kopi sebelum dingin. Seorang pria yang hatinya meledak ketika malam tiba. Seorang pria
yang seperti itu. Secara keseluruhan lirik tersebut menceritakan tentang perilaku lelaki dan perempuan berkelas Gangnam. Ada pula lirik yang menyiratkan sex, seperti pada lirik: seorang gadis yang semakin panas ketika malam datang. Dalam lagu ini, lelaki Gangnam dipanggil dengan sebutan Oppa. Panggilan dari seorang perempuan kepada saudara lelaki. Bisa juga menjadi kata ganti orang pertama atau ketiga yang lebih tua. Berdasarkan norma-norma budaya yang lebih baru, istilah ini biasanya digunakan untuk merujuk kepada pacar atau pasangan laki-laki. Dengan demikian terjemahan harfiah dari "Oppan Gangnam style" adalah "kakak atau pacar lakilakimu seorang Gangnam Style". Gangnam memang dikenal sebagai simbol kekayaan dan pendapatan yang melimpah. Letaknya yang dekat dengan sungai Han membuat daerah ini makmur dan trendi di Seoul. Sebagai area elit disini banyak artis papan atas, publik figur, maupun para chaebol dan orang terkenal lainnya bermukim. Kantor management artis yang sangat besar pun banyak berdiri disana, seperti S.M. Entertainment (Super Junior, SNSD, dsb) dan JYP Entertainment (Wonder Girls, 2PM, Miss A, dsb). Sehingga wilayah tersebut menjadi salah satu distrik yang terkenal dengan kehidupan mewah, glamour dan selera fashion yang sangat tinggi. Selain itu sekitar 90% dari 300-an klinik operasi plastik di Korea Selatan terdapat di distrik Gangnam ini. Maka tidak heran dengan segala kehidupan mewah yang ada di dalamnya, Distrik Gangnam sering dijuluki Beverly Hills-nya Korea.Terlepas dari itu semua, single Gangnam Style ini memang mendapatkan tempat dihati penggemarnya. Seperti yang diungkapkan Pandutomo Pramukti, salah satu mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Youngsan University. “Disini Gangnam Style heboh banget. Dimana-mana orang ngomongin Gangnam Style, jadi trendsetter-lah terus lagunya jadi peringkat pertama� paparnya saat diwawancarai melalui jejaring sosial. Hal ini terlihat dari banyaknya pengguna Youtube yang menyaksikan video tersebut sampai 24 juta lebih klik dan banyaknya artis papan atas yang meniru tarian Gangnam Style. []Dari berbagai sumber.
Inter
SUAK
Sor
SUAK
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Pejuang Ilmu dari Negeri Seberang Oleh Zaenal Mustofa
P
aras mereka tak jauh berbeda dari orang Indonesia kebanyakan. Cara berpakaian mereka pun sama, layaknya mahasiswa pada umumnya. Namun siapa yang tahu bahwa mereka tidak berasal dari Indonesia. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswi UIN SGD Bandung yang berasal dari negara tetangga, yaitu Thailand, Malaysia, dan Singapura. Butuh sedikit kejelian untuk memahami aksen mereka yang sedikit berbeda, terutama mereka yang baru beberapa pekan berada di Indonesia. Adalah Fatimah Sama-ae salah satu pendatang yang berasal dari Thailand. Mahasiswi semester I yang mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) ini baru tiga bulan menginjakan kakinya di Indonesia. Bersama puluhan temannya, Fatimah menaruh harapan besar untuk menjunjung cita-citanya di UIN Bandung. “Saya ingin menjadi guru agama di Thailand. Di sana, penduduk Islamnya sangat sedikit. Mayoritas Islam hanya terdapat di Patani (Thailand bagian Selatan), tempat dimana saya tinggal. Saya ingin mengajar agama secara lebih mendalam lagi. Oleh karena itu saya dan temanteman lain dari Thailand berkuliah di sini,” katanya, Kamis (13/9). Bukan hal mudah bagi Fatimah untuk beradaptasi di Indonesia, ia mesti mengenali cara masyarakat setempat berinteraksi terlebih dahulu. “Banyak hal-hal berbeda yang saya rasakan. Saya masih belajar untuk bisa memahami apa yang orang Indonesia bicarakan, termasuk saat sedang
kuliah. Kalau sudah bingung, paling-paling saya tanya pada teman,” lanjutnya dengan logat melayu yang kental. Fatimah bukan tak beralasan memilih kuliah di UIN Bandung. “Saya dan teman-teman direkomendasikan oleh guru di Thailand yang pernah belajar di Indonesia. Katanya, di UIN Bandung bagus. Setelah di saya berkuliah disini, ternyata memang bagus,” paparnya. Tidak jauh berbeda dengan Fatimah, mahasiswa dari negeri seberang lainnya, Muhammad Arifin, mahasiswa asal Malaysia ini pun belajar di Indonesia atas saran dari salah satu dosennya di Malaysia. “Sebelumnya, saya kuliah D3 di Instutut Kemahiran Islam Malaysia Sarawak. Kemudian saya disuruh melanjutkan kuliah di UIN Bandung bersama teman-teman yang lain. Sekarang saya semester V, melanjutkan studi yang dulu,” ungkapnya dengan bahasa melayu yang tidak terlalu kentara, (15/9). Arifin yang baru tinggal di Indonesia selama dua minggu ini merasa bangga bisa kuliah di UIN Bandung. “Saya bangga kuliah di sini. Banyak pengalaman yang tidak saya dapatkan di Malaysia,” lanjutnya. Disinggung masalah proses pembangunan di UIN yang tak kunjung usai, Mahasiswa yang mengambil jurusan Komunikasi Penyiaran Muhammad Arifin
Islam (KPI) ini menyunggingkan senyumnya. “Saya sih tidak masalah, yang penting saya bisa menuntut llmu. Seperti apapun tempatnya karena niat awal saya adalah belajar, ya saya enjoy,” tuturnya. Siti Al-Adawiyah mengamini perkataan Arifin. Mahasiswi yang lahir di Singapura ini tidak mempermasalahkan semerawutnya proses pembangunan. “Mencari ilmu dimana saja sama, yang penting luruskan dulu niat kita. Kendalakendala jelek bukan malah menjadi jadi penghalang. Semangat!” ungkap gadis yang akrab disapa Al ini. Mahasisiwi yang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) mengungkapkan rasa bangganya. “Kalau bukan penduduknya yang bangga, siapa lagi? Lagi pula, pembangunan itu hanya beberapa proses saja untuk menjadikan UIN Bandung lebih baik,” tutur Al yang telah resmi menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) ini. Meskipun begitu, sistem yang diterapkan di Indonesia tentu sangat berbeda dengan tempat dulu Al tinggal, yaitu Singapura. “Maaf saja, tapi sistem di Singapura jauh lebih baik. Sekitar tahun 2004, saat pertama kali saya pindah ke Indonesia, saya kaget akan keadaan sekolah di sini yang masih banyak berlantaikan tanah. Penduduknya banyak yang tidak disiplin. Kalau di Singapura, anak kecil aja sudah harus diajarkan untuk bersikap disiplin. Misalnya, datang ke sekolah tepat waktu, bersikap sopan, dan lainnya,” katanya. Arifin pun ikut beropini mengenai perbedaan sistem pendidikan di Malaysia dan di Indonesia. “Sebenarnya, pendidikan di sana dan di sini kurang lebih sama. Tapi, di sana setelah lulus SMA tidak bisa langsung kuliah S1, paling D3 dulu,” katanya. Fatimah punya penuturan yang senada dengan Arifin. “Tidak jauh berbeda sih. Walaupun saya harus mengiyakan bahwa pendidikan Islamnya lebih bagus di Indonesia. Maka dari itu, saya senang di sini. Tapi kalau di Thailand, SD, SMP, dan SMA belajar dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Jadi intensitas belajarnya lebih banyak,” katanya saat diwawancara melalui pesan singkat. Siti Al-Adawiyah
Berbicara mengenai pengalaman, dengan penuh antusias Al menceritakan pengalamannya di Indonesia. “Saya suka lucu mendengar orangorang Indonesia di Betawi yang kalo ngobrol, kayak berantem. Agak serem juga sih. Tapi orang-orang Indonesia itu jiwa sosialnya sangat tinggi. Berbeda dengan di Sigapura yang cenderung individualis. Orang Indonesia juga ramah-ramah. Itu yang membuat saya betah,” katanya. Berbeda dengan Al, Arifin punya pengalaman yang cukup riskan. “Di hari kedua menginjakkan kaki di Indonesia, kami jalan-jalan ke kota Bandung, pulangnya kami tesesat akibat miss communication yang tejadi antara kami dan supir angkot. Kami malah di bawa ke arah Cimahi. Tapi kami bersyukur karena orang Bandung baik serta ramah banget, kami pun dibantu oleh supir angkot untuk kembali ke UIN Bandung,” ungkapnya sembari tersenyum. Para mahasiswa dari negeri sebrang ini kemudian menuturkan harapannya untuk UIN Bandung, Arifin ingin agar UIN Bandung bisa lebih dikenal lagi. “Kualitas mahasiswa dan prestasinya ditingkatkan lagi supaya bisa lebih dikenal, tidak hanya secara nasional tapi internasional,” tutur mahasiswa yang hobi traveling ini. Berbeda dengan Arifin, Siti Al-Adawiyah mengharapkan perbaikan terhadap sistem UIN Bandung. “Saya berharap agar UIN Bandung lebih bijak dalam penyaringan calon mahasiswa yang akan kuliah di sini. Pilih yang bermutu, jangan asal masukin aja. Agar menghilangkan kesan bahwa UIN Bandung itu universitas buangan,” katanya. T i d a k m a u k a l a h , Fa t i m a h p u n mengungkapkan harapannya. “Saya ingin agar UIN Bandung menyediakan komunitas diskusi yang memadai. Kalau bisa disediakan juga taman hijau, supaya enak diskusinya,” tuturnya. Baik Fatimah, Arifin, maupun Al sangat menjunjung tinggi rasa kebanggaannya terhadap Almamater. Mereka mampu mengambil pemikiran yang bijak dalam menyikapi permasalahan yang ada di UIN Bandung. Sudah sepatutnya kita, mahasiswa yang justru merupakan warga negara asli Indonesia ikut memupuk perasaan bangga yang lebih dari mereka untuk UIN Bandung.
Hadiri diskusi bersama komunitas!! Komunitas Kabel Data. Setiap Rabu jam 18.00 WIB di Asrama Dua Saudara Kaum Desainer. Setiap Senin jam 18.00 WIB di Asrama Dua Saudara Komunitas Anak Tangga. Setiap Sabtu jam 14.00 WIB di Ma’had Aliy
Kontak: 085722423655 Ojan 089655921877 Alfarisi 081809529297 Itawakal
SUAK
Sor
SUAK
Sor
Bike To Campus Oleh Riska Amelia
S
epeda merupakan alat fungsional yang semula merupakan sarana transportasi sederhana dan murah itu kini tak bisa dipandang remeh. Di beberapa negara Asia seperti Jepang dan negara di berbagai belahan Eropa, bersepeda sudah menjadi gaya hidup masa kini. Masyarakatnya peduli dengan lingkungan, kesehatan, serta dapat mengurangi dampak pemanasan global. Di Indonesia, gaya hidup bersepeda sudah mulai dicanangkan beberapa tahun silam. Tingginya minat masyarakat untuk bersepeda berimbas pada munculnya berbagai komunitas sepeda di berbagai kawasan tertentu hingga di perkotaan. Seperti komunitas pekerja bersepeda yang memiliki slogan Bike to Work, dicetuskan di Jakarta sejak tahun 2004. Bike to Work merupakan sebuah identitas perjuangan untuk melepaskan ketergantungan aktivitas masyarakat di perkotaan pada penggunaan kendaraan bermotor. Gaya hidup bersepeda pun kemudian mulai diikuti oleh kalangan mahasiswa dengan slogannya Bike to Campus. Di Bandung terdapat sejumlah komunitas sepeda kampus dari berbagai universitas baik negeri maupun swasta. Bahkan di
UNPAD dan ITB sudah disediakan tempat parkir khusus sepeda sebagai bentuk dukungan terhadap program Bike to Campus. Anggi Majid Abdullah, mahasiswa Jurusan Informatika Fakultas Sains dan Teknologi, menggiatkan program Bike to Campus di UIN Bandung. Dengan bersepeda, maka kita termasuk orang yang mengurangi polusi udara seperti karbon monoksida yang banyak dikeluarkan angkutan umum dan mobil pribadi yang berseliweran di jalanan, selain itu bersepeda juga dapat membuat tubuh lebih sehat. “Bersepeda bisa menekan polusi, mendukung prog ram Go Gr een bahkan mempererat silaturahmi antar mahasiswa pengguna sepeda. Begitupun untuk individu, disamping bisa irit ongkos ke kampus tanpa isi bensin, bersepeda dapat menyehatkan paru-paru kita,� ujar Anggi saat diwawancara, Senin (20/8). Minim fasilitas Mobil dan motor menjadi alat tranportasi yang paling diandalkan oleh manusia untuk berpergian. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Kota Bandung, sampai dengan akhir
Di beberapa universitas negeri di Bandung, sudah disediakan sarana parkir khusus sepeda sebagai wujud kepedulian kampus terhadap program Bike To Campus. (foto kiri: area parkir sepeda di UPI, foto kanan: area parkir sepeda di ITB)
tahun 2011, jumlah kendaraan di Kota Bandung mencapai angka 2 juta, dengan 400 ribu di antaranya merupakan kendaraan roda empat. Padahal pembangunan infrastruktur Kota Bandung hanya dipersiapkan untuk menampung 360 ribu kendaraan roda empat. Namun sepeda pun tak kalah diminati oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat meyakini bersepeda berpotensi digemari dan dikembangkan, namun sayangnya hingga saat ini belum diimbangi dengan sarana yang memadai. Meskipun begitu makin banyak orang bersepeda, walau sebagian besar hanya untuk olahraga. Di dunia kampus, tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa sangat bergantung pada kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Jarang sekali ditemui mahasiswa yang menggunakan sepeda ke kampus. Tingkat animo bersepeda meningkat hanya pada waktu-waktu tertentu saja sepeti pada event Car Free Day di Dago, Bandung. “Menggiatkan program bersepeda itu enggak mudah. Biasanya orang sepedahan itu buat leisure, bukan lifestyle. Kebanyakan manusia di Indonesia bersepeda pas weekend. Baik itu on road maupun off road. Mereka ini sebutannya "Weekend Warrior,” ujar salah satu anggota komunitas Goweser Bandung Timur dan komunitas Bike to Unpad, Han Awal Pandu, saat diwawancarai, Selasa (28/8). Mahasiswa jur usan Hubungan Internasional UNPAD ini sudah menjalankan gaya hidup bersepeda sejak masih duduk di bangku SMA di Jakarta. Di Unpad sendiri, meski belum disediakan sarana jalur sepeda, namun bisa ditemukan beberapa tempat parkir khusus sepeda sebagai bukti kepedulian kampus dalam mendukung program Bike to Campus. Program sepeda kampus merupakan realisasi dari program transportasi internal ramah lingkungan guna mewujudkan universitas konservasi, yaitu universitas yang mampu membuat, menjaga dan memperbaiki ekosistem di dalamnya. Dengan adanya program sepeda kampus diharapkan dapat mengurangi dampak dari emisi gas buang yang muncul apabila mobilisasi yang dilakukan oleh civitas akademik kampus yang menggunakan kendaraan bermotor. Namun tampaknya program tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan atau dapat dikatakan bahwa target tujuan dari program sepeda kampus
SUAK
Sor
di UIN Bandung belum pernah ada. Sarah, merupakan salah satu mahasiswa UIN Bandung yang menggunakan sepeda sebagai kendaraan untuk pergi ke kampus. Mahasiswa jurusan Bahasa Inggris ini sehari-harinya menggunakan sepeda dari rumahnya di Panghegar menuju kampus, meski dengan sarana pendukung yang terbatas. “Sarana dan prasarana buat sepeda itu sangat penting banget, kadang saya juga suka iri sama anak-anak kampus lain yang sudah difasilitasi tempat parkir untuk sepeda, sedangkan di UIN Bandung mana? Parkir untuk motor aja masih gak jelas tempatnya,” ujar Sarah saat diwawancara, Jumat (7/9). Dising gung tentang kenyamanan bersepeda di kampus Sarah memaparkan bahwa bersepeda di kampus sangatlah tidak nyaman karena kontur jalan yang tidak rata dan banyak bebatuan. Selain bersepeda ke kampus Sarah juga sering berpergian ke tempat-tempat lain dengan menggunakan sepeda. “Selama jalan itu bisa ditempuh pake sepeda ya gak masalah, mulai ke Ujungberung, Buah Batu, dan tempat-tempat lainnya,” tambahnya. Sarah berharap para bikers sejati di UIN Bandung jumlahnya dapat bertambah untuk membantu memperbaiki ekosistem kampus . Ia pun berharap kepedulian dari rektorat UIN Bandung agar lebih memperhatikan mahasiswa yang menggunakan sepeda ke kampus. Dukungan dari pemerintah pun sangat diharapkan agar secara perlahan sepeda bisa menjadi lifestyle. Ini diharapkan akan membantu mewujudkan sepeda sebagai modal transportasi yang sehat dan nyaman untuk menunjang aktivitas kampus. []Tim liputan: Nanang/SUAKA
PU BUAT PENYAIR Teruslah kalian, mengurus kata yang baik,yang ramah yang sumringah, yang sungguh-sungguh, kemudian memberinya makanan, minuman, gizi yang cukup dan sisanya taburi dengan doa. Kata-kata akan berlesatan menggapai menara mesjid,tower provider,penangkal petir. Bukankah katakata yang takperlu sudah dibuang, sudah dipotong, karena takut melukai hati bening Teruskanlah menerkam geram, menjunjung anggun, kendati saya dikelola rindu bertalutalu. Di belakang saya melihat katakata bermain sirkus, lincah, menyanyikan lagulagu lama musik baru, tentang asyik. 2010
TUHAN, BERI AKU SATU WAKTU Resah saat badai menghantam hancurkan jutaan mimpi dalam bangunan anganku menepis gurat senyum di kelopak mataku buyar hapus inginku Gelisah ketika senyum-senyum itu berubah menjadi hantu amarah pun perlahan menjelma batu tangisku dalam, hapus rona bahagia runtuh berserak di tepian asaku Takut datang tanpa permisi padaku membabi buta merobek-robek jiwa biarkan aku terkapar asing Do'aku Tuhan, beri aku satu waktu agar hari tak lagi kelabu September 2012
JERIT TANPA SUARA SETELAH SHUBUH Setelah shubuh, kujelajahi puting dunia, sembari merayakan kesedihan zakar yang takjadijadi membunuh gelisah ranjang. Siapa kini di sampingku, memberi mentari, menerima angin dari perutku seperti terkena terjangan topan. Shubuh sudah lusuh, lampu menyala terang, potongan menit takserius, lagu lady gaga membiarkan benakku menganga. Siapa kini yang mengusap rambut, mengelus punggung berbaju bajuku. Tampaklah kesabaranmu yang sabar, meski matahari yang sesungguhnya menahan hajat, menampung kering dan puting dunia menjadi penting sepagi ini. 2010 Adew Habtsa, lahir di Bandung,bergiat di FLP Bandung,Majelis Sastra Bandung,dan Asian African Reading Club.
Hai kalian yang duduk di kursi goyang dengarkan beta berteriak dalam hati saat kalian bangga menghisap cerutu yang mengembang Kami sedang berjuang mengais kehidupan Terkutuk kalian penguasa kecurangan hidup dari keringat buruh harian tanpa dahi berkerut Kalian buncitkan perut padahal kalian takkan bisa mendengkur di dalam kubur Kami memang kecil hanya bisa menjerit di dalam sempit tapi Tuhan tidak pernah lupa pada Kami September 2012 Al-Hilal, Alumni Pendidikan Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara 2012 program 3 tahun. Sedang kuliah di Perguruan Tinggi Sumatera Utara (STAIS). semester VII dan saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI_Medan).
SUAK
SAHILA (PADA SELEMBAR PUISI) akan kau temukan selawai rasa pada selembar puisi yang terjuntai-juntai memangku bayang pada hamparan bintik pelangi saat hening menyulam wajahmu dalam imaji kabutpun perhalan surut menyusut beriring senandung mimpi selipat bahagia itu terbuka lagi pada selembar puisi tumpah dalam bait-bait samar yang memendam sisa nafas penuh ingin menjamah sebiru bola mata yang menempel indah merangsak masuk dan mengendap dalam kenang seriuh hati tlah menghembus pada selembar puisi menerjang tihang-tihang menyapu dedaun yang terserak serta mengubah udara ;dingin Sahila, dingin juga ikut membekukan darah yang mengalir entah disimpang mana kau akan mecairkannya Engkau adalah seharum mawar pada taman Tuhan Ahmad Kurniawan, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, UIN SGD Bandung
SHIMPONI Berderet kata hendak menikam nadi Terkelupas keluguan ngilu waktu Diantara bercak darah & kasih sayang Kita bertanya Sesekali mengiba belantara Berceloteh bersama angin Berbagi resah Tuhan, Mengapa tidak disini Di hari ini Kau utus kembali nabi ! 22 SEPTEMBER 2012 IBU Sunyi ini milik kita, ibu Antara anak panah gelisah Yang siap melesat dari busur kerinduan 09mei2012 Dede Yadi, mahasiswa Pendidikan Agama Islam semester V Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, aktif di Teater Awal, UIN SGD Bandung.
PEMBERONTAKAN berjalan membelakangi matahari lalu menghisap rembulan ke dalam ingatan ia adalah sesaat namun seperti lapar yang menggerogoti perut dahaga, hanya sebatas kenangan kala esok siang disapa dengan segelas es kelapa jangan marah tapi terserah itu hak Jamaluddin Husein penulis adalah mahasiswa jurusan Sains Matematika yang aktif di Teater Awal, UIN SGD Bandung. ANGIN Orang bilang , tak bisa dilihat namun dapat dirasakan Menghembuskan kesejukan bagi siapa saja Membuat mereka tersenyum Seakan engkau membawa terbang semua risau mereka Angin Menjadi petunjuk bagi semua orang Kemana mereka harus melangkah Kemana mereka harus berlayar Angin Bisakah kau membantuku ? Membisikkan semua mimpi ku pada-Nya Membujuk-Nya agar mengabulkan semua inginku Atau bisakah kau menerbangkan semua asaku yang tak mungkin bisa ku gapai ? Membawa semua hal yang mustahil untuk ku dapat Dan mengirimkan mimpi – mimpi baru yang bisa ku wujudkan atas ridho-Nya Harapku bersama angin Bisa terbang dengan bebas Tak merisaukan beban yang ada Karena ringan yang ku rasa Lia Lathifah, Jurusan Ilmu Komunikasi Jurnalistik, UIN SGD Bandung
PU
SUAK
Pui
SUAK
KITA BERTUKAR TUBUH
AIR LANGIT
kita sepakat bertukar tubuh malam ini, izrail aku dihidupmu, kau menjelma aku jangan sesali menjadi bagian kefanaan sebab aku pun ikhlas berbaju ancaman mulai detik ini aku terlahir sebagai malaikat yang tak disusui tak mengenal rupa cinta hidup tanpa tahu kebencian dan tiba di jalan-jalan kegaiban izrail, aku adalah peluru tuhan memburu nafas-nafas yang gaduh menebar ancaman dan kefanaan pasti mati ditanganku sementara kau hidup sebagai manusia disusui ibu penuh cinta merasakan benci pada kebohongan. hingga dihantam gamang tentang makna diri dan gelap hati sehabis itu aku datang merenggut nyawa dan kematian menjadi harga paling lumrah tak terelakan lenyap tanpa isyarat. 17.06.2012
Tidak sebentar ku menunggu hadirmu Entah dimana tempat berdiammu Kau yang membuat rindu ini yang kian hari kian menebal Hingga kau menyapaku di setengah sore ini Disaat engkau datang mengetuk senja ini Setiap mata tertuju padamu Basahi kemarau yang menyelimuti hari Tumbuhkan ketenangan pada setiap jiwa yang kering Tidak sedikit yang menunggu kepergianmu Karena sebagian mereka ingin memutar kembali roda kehidupan Sebagian yang lain menanti kecantikan dari kepergianmu Lapisan warna yang terlukis di langit tualah yang telah mereka nantikan Berbagai warna yang timbul jauh disana Berikan sebuah arti di dalam kehidupan Bahwa setelah tangis akan ada sesuatu yang indah Hadirkan kedamaian seusai perginya resah Mentari tidak lama lagi akan padam Senja jingga menyambut datangnya gulita malam Ceritakan sesuatu yang baru di atas kertas batu semesta Menggenggam erat duri abadi di dalam sebuah harapan
TANPA KUBURAN tahun-tahun silam adalah puisi tak berbayang adalah abad yang tak lahir dimeja makan barangkali menjadi sampah sebab tak ada gizi dan baunya sungguh busuk dibuanglah ia, lalu dibakar bahkan dihujani beribu rincik kemudian mati tanpa kuburan tanpa nisan dan tanpa ingatan.
Arif Hidayat, penulis adalah mahasiswa jurusan Sains Agro Teknologi semester 1 BOCAH KECIL
Langit kelam di langit utara di bulan September Menanti akan turunnya harapan di saat mendung Aras Abdul Rasyid, mahasiswa Aqidah Filsafat, UIN Seorang bocah mengadah menanti turunnya harapan SGD Bandung, aktif di Komunitas Mapah Layung. Setitik air yang menjulang ke bawah, dengan senyum miris Semua orang berkata tidak akan mungkin ini terjadi Bagi anak itu, harapan akan selalu ada bagi yang percaya Anugrah terbesar manusia ketika ia petrcaya sebuah keajaiban Kejaiban yang diperuntukan bagi mereka yang berusaha Jangan lelah, wahai bocah kecil! Mereka terbutakan dunia. . Dunia yang mereka genggam hanyalah kekecewaan atas hidup Teruslah percaya dab mempercayai anugrah itu, itulah jalanmu Jalan kehidupanmu, sampai saat mereka percaya aka nada saat itu Chandra Saeful Bahri, mahasiswa Ilmu Komunikasi, UIN SGD Bandung
Hari Kesepuluh Oleh: Pedi Ahmad
INILAH hari dimana hari selalu berubah setiap saat. Inilah hari ke sepuluh Aku menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Apakah ibadahku diterima atau tidak, dapat pahala atau tidak, bagiku kini tidaklah menjadi penting. Hal semacam untung-rugi hanyalah cara beribadah para pedagang. Inilah hari dimana hari tetaplah hari yang terus membentang setiap kita menghembuskan nafas. Inilah hari ke sepuluh. Mungkin hari sudah mulai bosan melihat keseharianku yang hanya duduk diam di kamar, meneruskan membaca buku, melamun, SMS-an, dan mungkin akan membusuk juga di dalam kamar. Hari yang menyatakan bahwa aku hanya bagian kecil dari semesta. Namun, hari masih memberiku kesempatan untuk mengisinya dengan semua; duduk, diam, teriak, gumam. Inilah hari ke sepuluh. Aku masih menunggu orang yang datang ke kamarku. Namun tak satu orang juga iblis pun yang datang. Maka hari adalah hari yang mana punya kuasa atas dirinya. Namun, hari berusaha memaksaku untuk bertemu seseorang. Hari ini sudah larut malam, atau sudah berpindah ke hari selanjutnya. Hari memanglah hari yang memaksaku bertemu dia, si Penjual cuanki. Sebenarnya aku malas untuk keluar, tapi cacing dalam perutku terus protes kapan dia akan dikasih makan. Ini memang sudah lewat buka puasa, yang tadarus pun sudah tidak terdengar, ini sudah lebih dari jam sebelas malam. * “Mang beli empat ribu saja, bisa kan?” Aku menawar dulu pada Mang cuanki, karena takut tidak bisa membeli dengan uang empat ribu. Bukannya irit atau apa, tapi Aku tidak mempunyai uang lebih besar dari itu. Namun empat ribu juga masih tetap besar bagi orang yang penghasilannya kurang dari empat ribu sehari. Tapi apakah hari ini ada orang yang berpenghasilan kurang dari itu? Dia diam sambil tersenyum kuning, namun kemudian menjawab, “ia bisa atuh Kang!” Penjual cuanki bergegas membuka dagangannya. “Ok. Tunggu sebentar ya Mang, bawa mangkok dulu.” Aku bergegas jalan tujuh langkah, lalu mengambil mangkok.
“Ini Mang mangkoknya. Sengaja pakai mangkok sendiri teh biar Mang gak usah nunggu.” “Ia itu lebih bagus, biar gak cape nyuci mangkok juga si Mang-nya Kang.” Mang cuanki tersenyum. Eh ia, kenapa dia senyam-senyum saja ya? Aku tidak tahu, tapi aku lihat dia belum gila. “Mang kenapa jualannya malam-malam? Inikan sudah jam sebelas lebih!” Aku bertanya seolah perhatian. Mang cuanki masih tetap tersenyum, tibatiba menjawab, “ya bagaimana lagi atuh Kang, namanya juga usaha.” Sambil menunggu mie-nya matang, dia masih tetap tersenyum. “Ah Mang, kalau usaha mah, jam sebelas siang saja atuh jualannya. Pasti laku.” Jawabku bercanda sambil mengusir dingin malam yang mulai menusuk leher dan kedua tepalak tanganku. Apakah si Mang kedinginan? Aku tidak tahu pun tidak merasakannya. Tapi dia pake jaket hitam yang mulai lusuh, menggunakan celana jeans, pakai topi, dan memakai sepatu kats yang terlihat gaul dengan jahitan di luar sepatunya seperti gigi ikan hiu yang tajam, namun kakinya masih tetap terlihat karena sepatunya jebol. Maka setiap hari adalah baru. Hari-hari yang penuh dengan semangat juang untuk melakukan ibadah. Bukan hanya shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Tapi bagaimana seseorang menjadi berarti bagi orang lain. Seseorang mampu menilai dirinya dengan sesuatu yang melampaui hal-hal konvensional. Mang cuanki dengan dagangannya tanpa henti mengelilingi lorong-lorong, masuk dari kampung ke kampung, mungkin dengan itu ia mensukuri nikmat hidupnya. “Malu sama yang tidak kelihatan atuh, jualan siang-siang di Bulan Puasa mah.” Mang cuanki nadanya agak tinggi. Seolah serius tapi masih tetap dia tersenyum. Aku tahu sekarang, mungkin dia mantan bintang iklan pasta gigi karena dia terus saja tersenyum sembari giginya keliatan. Tapi itu baru mungkin, karena kulitnya agak hitam dan badannya agak lebar namun tidak terlalu tinggi. Itu cocok buat bintang iklan pasta gigi, bukan? Atau dia seperti itu karena dia terbiasa jualan cuanki siang-
C
siang, kulitnya terbakar panas sinar matahari dan membawa beban yang lumayan berat. “Apa Mang yang tidak kelihatan itu? Kenapa malu juga, kan tidak kelihatan!” jawabku sambil bergurau, walaupun mungkin Aku sudah tahu maksud si Mang. Kenapa mesti bergurau ya? Mungkin hidup memang senda-gurau, di dalamnya ada permainan juga kekonyolan. Sejauhmana kita bermain-main dengan hidup? sejauhmana kita mengenal gurauan itu?! Ah tidak pentinglah itu hidup yang serius. “Ah si Akang mah suka pura-pura gak tahu gituh!” “Eh Mang kan tidak kelihatan, jadi cuek saja,” sahutku pada si Mang cuanki, “tidak bakalan ada yang marah kok. Bukannya menolong orang yang lapar itu termasuk ibadah?!” “Hahahahaha...” Si Mang tertawa, “ia Kang, tapi kan ini bulan puasa, jadi lapar siang-siang mah biasa.” Senyumnya masih saja nempel di wajah itu. Dia mungkin orang kampung atau pernah mesantren. Dari raut wajahnya, paling dia baru berusia 28 tahunan. Nama si Mang aku tidak tahu. Mungkin saja namanya Udin, Tagore, Gibran, Omed, Sukab, Yaqzan, Ibrahim, Bernand Shaw, Bambang, Ojan, Miko, lutfi, Icon Syhab, Muhammad, Asep, Nietzsche, atau apalah. Tapi apalah artinya Nama jika sudah bersih dari diri. “Itu mang udah matang mie-nya, cepat angkat.” Ucapku agak tegas, mungkin itu cacing dalam perut yang bicara. “Ia Kang.” Kamu tahu ekspresi wajahnya bagaimana? Dia masih tetap saja tersenyum. Mungkin dia tahu bahwa senyum adalah ibadah. Atau dia sengaja senyum karena ingin dibeli olehku, itu sangat tidak mungkin. Mungkin dia sedang mempraktekan 7000 rupa senyum seseorang. “Basonya dua saja, sisanya cuanki ya Mang!” “Siap komandan!!!” “Hahahaha...” Aku tertawa melihat si Mang berucap a la militer namun wajahnya masih tetap saja tersenyum. Hanya butuh lima menit untuk menghabiskan cuanki satu mangkok. Mang cuanki
sudah pergi entah ke mana untuk menjajakan dagangannya biar cepat laku. Mungkin dia sedang berbicara sama yang Tidak Terlihat, atau sedang merasa diawasi oleh Sepasang Mata Terjaga. Demi hari yang semakin malam namun tidak kelam, maka harap terus terjaga. Mungkin karena sesuatu yang membuat Mang cuangki mau berdagang di tengah malam melawan dingin, menelusuri gang-gang kecil melawan sepi. Mungkin ekonomi yang melatar belakangi dia berdagang malam-malam, dan sekaligus juga bukan ekonomi. Mungkin tanggungjawab, namun bukan tanggungjawab juga. Mungkin sesuatu yang luar biasa yang membuat dirinya mau melakukan itu. Sesuatu yang menjadi penting sekaligus sering terlupakan, sesuatu yang sangat dibutuhkan ketika perlu ketenangan, sesuatu yang entah apa itu namanya. * Hari tetaplah hari dimana setiap hari punya jalan ceritanya sendiri. Hari selalu membawa sesuatu yang baru dan ada cerita baru di sana. Jadi tidak mungkin kehabisan cerita untuk menuangkan gagasan. Maka aku percaya setiap orang menuliskan ceritanya masing-masing. Setiap pencerita tidak akan kehabisan cerita. Dalam cerita selalu lahir tafsiran-tafsiran yang menciptakan realitasnya sendiri. Maka hari menjadi kaya dengan semua jalan cerita dan tafsirannya. Hari adalah hari, hari ini adalah hari ke sepuluh di bulan Ramadhan, atau mungkin sudah masuk hari ke sebelas. Dingin terkadang dibawa hari ketika malam. Sunyi, sepi, itu pun bagian dari hari yang sangat intim dengan kita. Mungkin hari ini diturunkannya al-Syifa, bukan hari ke tujuhbelas karena hari ini hari yang digoreskannya cerita tentang semua bagi setiap orang yang peka terhadapnya. Hari yang selalu utuh ketika mampu mengamati, bukan dengan memikirkannya. Hari tetaplah hari. inilah hari ke sepuluh, Aku dan Mang cuanki yang punya jalan ceritanya sendiri dan harus dilakoni. /2011-2012/ []Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakulstas Ushuluddin, aktif di Komunitas Verstehn
Kri Satire Fable dalam Novel Animal Farm Oleh Pungkit Wijaya “Manusia tidak mengabdi kepada kepentingan makhluk lain selain dirinya sendiri. Dan di antara kita para binatang, ciptakan persatuan yang utuh seutuh-utuhnya. Kuatkan persaudaraan di dalam perjuangan. Semua manusia adalah musuh. Semua binatang adalah kawan” (Babi Mayor) Milan Kundera, seorang novelis Cekoslavia menuliskan “perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa” pernyataan tersebut dinyatakan Mirek, salah satu tokoh dalam novel The Book of laughter and forgetting. Pelupaan; ketidakadilan absolute dan pada saat yang sama adalah pelipur lara. Dengan demikian dalam tema terbesar sebuah novel tentang kealpaan terdapat dalam novel Orwell; kealpaan yang ditetapkan oleh sebuah rejim totalitarian, tutur Kundera selanjutnya. Apa yang dikatakan Kundera menarik, jika kita membaca novel George Orwell yang berjudul Animal Farm (1942) yang beberapa tahun kebelakang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bagi sebagian pembaca sastra duniatermasuk Indonesia- novel tersebut didaulat sebagai mimesis pergolakan rezim totalitarian, rekam jejak kemanusiaan Eropa, yang dikoyakmoyak perang dunia I hingga perang dunia II, pergolakan penganut kolonialisme-kapitalismeimprealisme, gerakan komunisme internasional melawan rezim fasisme; letupan pergolakan Savo Bolsehevik, Lenin, dan Stalin. Maka, Animal Farm (Perkebunan Binatang) menjadi satire fable karya seorang Eric Arthur Blair, pria kelahiran India (1930) nama asli dari Orwell, sebab nama Goerge Orwell adalah nama pena yang sering ia gunakan untuk menulis fiksi atau sebagai jurnalis di Spanyol, London dan Irlandia. Novel itu menceritakan kisah pergolakan secara satir dan di antaranya adalah kisah lupa. Kisah itu dimulai dari situasi disebuah peternakan binatang. Metafora Binatang Pertama-tama ketika membaca novel ini, kita akan disuguhkan dengan latar peternakan. Sudut pandang pengarang (narrator) orang ketiga sebagai pencerita dengan mengambil jarak yang sangat
intens untuk merekam, menarasikan semua peristiwa dipeternakan sangatlah baik, sehingga membimbing kita (pembaca) untuk terus hanyut, bergolak hingga menemukan konflik, klimak dan anti klimak yang menimbulkan letupan pergolakan dengan alur yang sederhana, daya dobrak dialog; diksi hingga kalimat pemberontakan dalam nuansa “revolusi” seperti penindasan, tuan tanah, penanam modal dan binatang sebagai perbudakan. Misalkan tokoh Tuan Jones adalah pemilik Pertanian Mayor, setting para binatang yang keseluruhannya menjadi tokoh dalam novel ini. Tuan Jones dibiarkan Orwell tetap sebagai karakter tokoh manusia sebagai tuan pemilik peternakan tersebut. Tuan disebuah peternakan adalah sang penanam modal, mengurusi binatang dan menjual hasilnya hingga dapat keuntungan dari peternakan itu. Di sisi lain juga para tokoh binatang; babi, anjing, tikus, kuda, burung, ayam, bebek dsb, menjadi subjek yang berbicara, binatang menjadi bisa berbicara dengan bahasa dialog manusia, mungkin wujud lain dari “peternakan manusia” dan yang paling menarik binatang itu menjadi idiom metafor yang membangun medan makna bagi kita. Binatang adalah sifat lain dari manusia, konon dalam unsure dasar sifat manusia ada sifat binatang selain sifat Tuhan, maka babi, anjing, tikus, kuda adalah sejumlah kata, serupa simbol yang menimbulkan efek metaforis bagi kita, m a nu s i a ! M e t a f o r a d a l a h m a j a s y a n g memanfaatkan sepatah kata atau ungkapan yang “menjelaskan” sesuatu dengan menyebut dua benda atau lebih yang hakikatnya tidak cocok, misalkan “aku adalah babi”, metafor mampu sekaligus menyarankan berbagai peranti bahasa lain yang berkaitan dengan perlambangan, pelataran, ironi, paradox, kontras dsb. Babi Pemimpin Revulusi Maka, lazimnya disebuah peternakan, binatang menempati posisi tertindas dan manusia adalah penindas. Ayam diberi makan bergizi agar telurnya bisa dijual dengan harga mahal, kuda dimandikan dan diberi dedak kualitas tinggi agar bisa menarik beban dengan baik, babi diurus
dengan cukup apik agar dagingnya yang wangi itu harga jualnya. Pokoknya, semua binatang menempati posisi diurus untuk kemudian diperas. Lalu ada seekor babi tua, Mayor namanya dengan sebutan Willingdon Beauty, yang cukup kaya pengalaman dan bijaksana mengusulkan revolusi. Babi Mayor inilah yang mengumpulkan semua binatang dipeternakan untuk melakukan pertemuan-pertemuan rahasia. Semua binatang disadarkan bahwa ada kesadaran magis dan naïf yang diidap oleh semua binatang. Kesadaran magis adalah cara pandang yang melihat kerja untuk mensejarterakan manusia merupakan hal alamiah yang sudah seharusnya. Sedang kesadaran naïf adalah cara pandang yang sudah menyadari adanya penindasan dan ketidakadilan namun mereka menyalahkan dirinya sendiri bahwa semua disebabkan kebodohan. Babi Mayor itu beragitasi dan memprovokasi bahwa binatang harus bekerja untuk kesejahteraan binatang, karena itu tidak ada hak makhluk lain untuk mengambil keuntungan dari keringat binatang. Mayor lalu menambahkan manusia tidak pernah peduli pada kesejahteraan para binatang melainkan hanya pada kesejahteraan mereka sendiri. Kesadaran ter us tumbuh. Mayor menambahkan provokasinya dengan meletakan dasar dari ideologi pembebasan: bahwa binatang setara dengan manusia. Ketika binatang mulai tersadarkan akan hak emansipasinya, inilah rancang bangunan konflik dari novel itu. Mayor mati karena sakit dan sudah tua. Kepemimpinannya diambil alih secara komunal oleh kelompok babi. Pilihan ini didasarkan asumsi bahwa babi-lah yang paling cerdas. Mayor adalah salah satu buktinya. ` Sehingga alur berjalan dengan semestinya, di tengah pergolakan itu kelompok babi menjadi penentu dan penggerak arah pemberontakan. Untuk memperkuat arah perjuangan Snowball dan Napoleon, dua tokoh utama babi, membuat sejumlah aturan; 1) apapun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh 2) apapun yang berjalan dengan empat kaki atau memiliki sayap adalah teman 3) tiada binatang yang boleh mengenakan pakaian 4) tiada binatang yang boleh tidur 5) tiada binatang yang boleh meminum alkohol 6) tiada binatang yang boleh membunuh sesama binatang lainnya 7) semua binatang sederajat. (hal.17).
Lewat aturan itu semua binatang membangun identitas binatangisme. Sebelumnya Snowball sebagai tokoh terbaik menulis di antara babi “mengambil sebuah sikat dengan kedua buku kakinya, menghapus tulisan “PERTANIAN MAYOR” pada bagian paling atas palang gerbang digantikan dengan tulisan “PERTANIAN BINATANG” (hal 17). Identitas yang membagi kenyataan menjadi “kami” dan “mereka”. Kami adalah yang baik dan pasti benar, sedang mereka pasti salah dan sesat. Identitas ini dikentalkan secara sistematis sehingga semua binatang siap untuk memberontak. Klimaks terjadi pada satu momen penderitaan para binatang telah sampai pada puncaknya. Dengan disadari ideologi yang sudah tumbuh dalam dirinya, spontan mereka memberontak dan sanggup mengusir manusia. Dengan demikian secara de jure, para babi terus menjadi pemimpin mereka. Mulailah pemerintahan baru. Pada awalnya semua undangundang yang enam berjalan dengan lancar. Lalu dengan alasan tugas khusus, para babi mendapatkan jatah makan yang lebih banyak ketimbang yang lain. Ketika ada sekelompok binatang protes atas ketidakadilan itu-dan pelanggaran undang-undang tentu saja- para babi menghukum mati para pemberontak. Dan tibatiba undang-undang no.6 telah berubah; tiada binatang yang boleh membunuh semua binatang yang boleh membunuh sesama binatang lainnya. Artinya dengan alasan stabilitas peternakan binatang tidak boleh membunuh binatang lainya. Para babi itu semakin lama semakin lupa diri. Mereka menjelma seperti penguasa lama, bahkan lebih kejam. Untuk kepentingan itu mereka membenahi undang-undang dengan kata-kata pengecualian. Binatang lain tidak bisa menggugat, karena pada dasarnya mereka tidak secara ontentik undang-undang mereka. Para babi yang punya kemampuan baca-tulis, para babi yang membuat undang-undang. Pada saat itu semua binatang merasakan penderitaan yang lebih berat ketimbang sebelumnya dan “menemukan sosok manusia dalam wajah para nabi”. Makanan, Identitas, Lupa Makanan dalam novel ini menjadi peletup pergolakan sosial binatang. Ada beberapa momen yang menunjukan peran makanan. Pertama, Mayor sebagai phandito ratu para binatang pertama kali membakar semangat emansipasi lewat sense terhadap makanan. “hilangkan manusia dari pandangan! Maka akar masalah kelaparan dan
pemerasan akan terhapus untuk selamanya� demikian ungkap babi Mayor itu, lewat cara itu semua binatang membayangkan kenikmatan mendapatkan jatah makan-atau sejenisnya-yang berlimpah, kedua, pemberontakan meletup ketika tuan Jones-pemilik peternakan tertidur dan lupa memberi makan para babi, mereka berang merasakan ketidakadilan. Ketiga, ketidakpuasan para binatang terhadap para babi bermula dari ketidakadilan pembagian makanan. Para babi mendapatkan jatah makanan yang lebih banyak padahal mereka hanya memerintah, sedang binatang lain mendapatkan jatah seadanya padahal mereka bekerja keras melakukan pembangunan. Dari ketiga hal itu sudah bisa diturunkan menjadi rumusan dasar teori perubahan sosial binatang. Yaitu pada dasarnya seluruh perubahan sosial-baik berupa revolusi atau reformasihanyalah perkara untuk mendapatkan makanan lebih banyak dna nikmat. Ketika seseorang meneriakan ketidakadilan itu karena dirinya tidak mendapatkan jatah yang sama. Setelah makanan kita akan membincangkan masalah identitas. Identitas dalam novel ini diceritakan dalam medan makan identitas politik binatang. Di antarannya terdapat pada undangundang nomor 1 dan 2: yang berkaki dua adalah jahat dan lawan; sedang yang berkaki empat dan bersayap adalah baik dan kawan. Identitas sebenarnya hanyalah ciri khusus
untuk membedakan satu dan lainya, namun ketika ia menekankan bahwa ciri tertentu masuk dalam kategori kawan atau lawan, pada saat itu identitas tidak sekedar untuk membedakan namun melenyapkan yang berbeda. Di luar pagar adalah musuh yang harus dilenyapkan, demikian rumus dari identitas politik binatang. Jadi untuk memiliki identitas, para binatang harus merumuskannya dengan cara melenyapkan apa atau siapa yang dianggap sebagai penghalang kepentingan. Membaca cerita dari novel Animal Farm karya George Orwell tentu saja berbeda dengan novel popular Twilight karya Stephenie Meyer yang memberi makna dimensi cinta antara manusia dan serigala. Namun siratan itu genting mengingat Dokter Jose Rizal- pejuang Filiphina berkata. “pahlawan hari ini adalah penindas di masa di hari kemudian� ungkapanya tentu bukan igauan, tapi kesaksian terhadap perilaku para pahlawan di negerinya. Sehingga medan makna bagi kita, bisa ditafsir; janji manis ketika kampanye dan mobil pribadi setelah kampanye, mengkritik untuk mendapatkan kekuasaan, bungkam setelah mendapatkan jatah, sepertinya itu adalah bukti nyata dari binatangisme kita, tamsil menyatakan “manusia adalah binatang berpikir atau berpoitik� sebagai binatang berpikir, manusia akan menggunakan strategi logikanya dan episteme untuk menjalankan identitas binatangismenya! Eksponen Sasaka, alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Judul : Animal Farm: A Fairy Story Penulis : George Orwell Tahun Terbit : 1945 Negara : UK Halaman : 112 Penerbit : Seeker and Warburg (London)
Kaum Desainer Kamu punya hobi desain, ide kreatif dan punya karya? jangan ragu untuk bergabung di kaum desainer. @kaumdesainer Kaum Desainer kaumdesainer.blogspot.com 089655921877
Mengoreksi Pola Kepemimpinan Politik Oleh Riska Amelia
P
ada era revolusi, Bung Karno meminta 10 pemuda untuk mengubah dunia. Di era reformasi, kita memiliki harapan besar kepada pemimpin karena mereka dianggap bisa memberi arah untuk memandu proses reformasi. Namun sekarang terjadi krisis kepercayaan kepada partai politik yang notabene merupakan tempat lahir nya calon-calon pemimpin neg ara. Kepemimpinan politik sekarang dihadapkan pada ekspetasi masyarakat yang lebih besar. Demokrasi Indonesia sejauh ini bisa dikatakan belum berhasil mengangkat orang terbaik, namun efektif dalam menghalangi orang yang salah untuk menjabat. Banyak elit politik partai dinilai korup dan diragukan integritasnya hingga kepercayaan masyarakat menurun terhadap calon pemimpin. Pemimpin bar u bisa dimunculkan asalkan kita berani keluar dari perangkap-perangkap pemimpin lama. Fenomena kehadiran Jokowi dalam pesta demokrasi pemilihan Gubernur DKI Jakarta perlu diapresiasi. Meski saya merupakan orang yang tidak mudah terpengaruh pencitraan, tapi saya sangat setuju bahwa antusiasme masyarakat dalam memilih pemimpin saat ini lebih kepada sosok pribadi dan track record (rekam jejak) masa lalunya. Jokowi maju ke pilkada Jakarta karena instruksi partai. Tapi kini lihatlah, bukan partai politik melainkan rakyatlah yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Inilah prinsip suara rakyat suara tuhan dalam sistem perpolitikan di indonesia. Masyarakat umumnya sudah tidak lagi bisa ditipu dengan janji-janji yang muluk dan tidak lagi bisa diperdaya dengan uang. Bahkan, hasil survey dari berbagai lembaga survey di indonesia tidaklah bisa dijadikan acuan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin. Rakyat semakin cerdas dan tahu sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk perubahan yang lebih baik. Proses Politik Melenceng Sejak orde baru proses politik tidak lagi didasarkan pada upaya untuk mencari ideologi, tetapi telah melenceng menjadi profesionalisasi politik. Berpolitik tidak lagi dimaknai sebagai upaya mewujudkan ideologi tertentu, tetapi menjadi sarana untuk memperoleh sumbersumber ekonomi. Berkaca ke sejarah, dalam proses perekrutan
kader sejak sebelum zaman orde baru sudah berlaku sistem pewarisan atau faktor kedekatan. Bahkan setelah zaman orde baru runtuh, proses rekrutmen kader seperti itu masih berlanjut, dan bahkan ditambah deng an adanya pola transaksional politik di dalam partai, yaitu siapapun anggota partai dapat menjadi calon pemimpin rakyat bergantung kepada kemampuan finansial mereka. Bayangkan, jika kita memiliki calon pemimpin yang hanya bermodalkan uang, calon seperti itu tidak memiliki basis ideologi yang kuat. Tak heran kini istilah konsultan politik kini marak terdengar. Konsultan politik menawarkan ide-ide kampanye kepada partai politik untuk melicinkan kemenangan bakal calon pemimpin. Pola-pola proses profesionalisasi politik seperti ini ditiru dan diimitasi oleh organisasiorganisasi masyarakat, uang menjadi modal utama dalam pemilihan umum, mulai dari kepala desa, walikota, hingga gubernur dan jajaran legislatif. Realita yang dapat kita lihat, partai politik sudah menjadi semacam lembaga bisnis. Apabila partai politik tidak bisa merubah paradigma politiknya, bukan tidak mungkin jikalau kematian partai politik bisa saja terjadi. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai politik akan semakin turun. Singkat kata, kepribadian yang baik kini telah modal utama untuk bersaing di tengah-tengah hegemoni politik uang, politisi bermodal atau politisi instan. Memilih pemimpin yang mempunyai rekam jejak dan prestasi baik yang diakui banyak pihak, merupakan pelajaran politik bahwa kemenangan pemimpin itu bukan hanya soal dukungan partai politik dan banyaknya uang yang dikeluarkan untuk kampanye. Bukan juga soal menjatuhkan lawan dengan isu SARA dan diskriminasi, tapi soal bagaimana menghadirkan seorang pemimpin yang ideal. Ini merupakan babak baru pembelajaran demokrasi di Indonesia. Semoga bisa menjadi faktor penting dalam meng oreksi pola kepemimpinan politik dan menjadi salah satu jalan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang berkualitas. []Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, UIN SGD Bandung, aktif di LPM SUAKA.
Ko
Perpustakaan Bertaraf Internasional
Oleh Zaenal Mustofa adan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Bapusipda) Jabar bekerja sama dengan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan sedang merampungkan proses pembangunan perpustakaan bertaraf Internasional. Pe m b a n g u n a n p e r p u s t a k a a n b e r t a r a f internasional ini dilakukan dalam rangka mewujudkan misi Bapusibda Jabar poin 3, yakni “Mengembangkan Budaya Baca Masyarakat Guna Mewujudkan Masyarakat Belajar (Learning Society)”. Dudi Wahyudin, selaku pengelola Humas Bapusipda menjelaskan bahwa proses pembangunan sudah sampai 75 %. “Pembangunan ini ada tiga tahap. Tahap satu dan dua telah rampung dengan menghabiskan dana sekitar 20 milyar, jadi tinggal satu tahap lagi. Kira-kira tahap terakhir membutuhkan dana sekitar 25 milyar,” ujarnya. (21/09) “Angka 25 milyar itu sendiri untuk pengadaan rak buku, escalator, design interior, dan lain-lain”, lanjutnya. Bantuan demi bantuan datang dari berbagai pihak, baik personal maupun institusi. “Proyek ini banyak yang membantu, diantaranya dana dari APBD, APBN, Ang gota Dewan, Badan Perencanaan Pembangunan, bahkan beberapa pihak luar seperti Singapore International Foundation (SIF)”. SIF menyumbangkan 3000 buku, laptop, dan mobil. “Tanggal 27 September 2012 nanti akan diadakan penyerahan mobil dari SIF kepada gubernur Jawa Barat secara simbolis,” ungkap Dudi. Dudi juga menyebutkan bahwa buku-buku untuk perpustakaan internasional masih kurang 3,8 juta buku lagi. “Rencananya akan ada 4 juta buku, namun sekarang baru tersedia 200 ribu buku. Tapi kami punya e-library yang terkoneksi dengan berbagai perpustakaan di SMA dan Univertitas. Itu bisa menjadi salah satu solusi dalam kekurangan
B
kami,” ujarnya Untuk sosialisasi, pihak Bapusibda telah melakukan kerjasama dengan tiap-tiap kabupaten kota, khususnya di Jawa Barat. “Kita telah dan akan mengadakan road show, storytelling, workshop, dan lainnya. Bekerjasama memberdayagunakan masyarakat gemar membaca. Untuk anggaran sosialisasi itu berasal dari APBN,” lanjutnya. Perpustakaan bertaraf internasional yang nantinya berlokasi di Jalan Kawaluyaan Indah II No. 4 Kota Bandung ini tidak hanya berisi bukubuku saja, namun akan ada kantin, hotspot, elibrary, dan lainnya, tentu dengan interior yang megah. “Kita akan menghilangkan kesan perpustakaan yang membosankan. Akan ada daya tarik untuk membuat orang-orang datang. Tapi, kita tidak menghilangkan nyawa dari perpustakaan itu sendiri sebagai media baca dan belajar”. Perpustakaan bertaraf internasional merupakan satu-satunya dan pertama kali di Indonesia. “Alhamdulillah, Jawa Barat dipercaya dan diyakinkan kepada gubernur untuk membangun perpustakaan bertaraf internasional pertama di Indonesia, Perpustakaan bertaraf internasional ini akan launching pada bulan Desember 2012 oleh Gubernur Jawa Barat,” ungkapnya. Dudi dan segenap pihak Bapusipda sangat berharap bahwa nantinya perpustakaan benarbenar dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat. “Kiranya pembangunan ini bisa benar-benar dimanfaatkan dengan baik guna menjadikan masyarakat yang lebih bermutu, terutama dalam bidang pendidikan,” katanya. Untuk mewujudkan misi dan harapan itu, akan diadakan hari kunjung perpustakaan. “Di hari itu, kita mengundang para siswa, mahasiswa, bahkan seluruh lapisan masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan,” pungkasnya. [] Tim Liputan: Siti Sarah/SUAKA
Ter
Ter
VS
Jasa Pos di Tengah Geliat Media Sosial Oleh Penny Yuniasri
D
ewasa ini komunikasi antar manusia sudah terbilang bisa dilakukan dalam sekejap mata. Derasnya arus globalisasi membuat berbagai macam jenis media komunikasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu seiring dengan kebutuhan manusia yang juga semakin berkembang. Maraknya berbagai jenis media sosial saat ini, tak dipungkiri merupakan hasil dari geliat globalisasi. Media sosial menurut Wikipedia Indonesia adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat. Menurut Jhoni Tuerah, Associate Client Advisor TNS Indonesia yang dikutip dari tempo.co.id, di tahun 2012 kegiatan berjejaring sosial dilakukan 90 % pengguna internet. Angka ini naik hanya 1 % dari tahun 2011. Padahal tiga tahun sebelumnya, kegiatan di ranah media sosial terus mengalami peningkatan. Hasil ini berdasarkan riset Yahoo TNS Net Index yang dilakukan terhadap 3.365 responden di berbagai kota di Indonesia. Tetapi walaupun kegiatan berjejaring sosial stagnan di tahun 2012. Menurut data yang dihimpun oleh eMarketer, Indonesia masih menjadi negara kedua dengan pertumbuhan pengguna jejaring sosial terbesar di dunia setelah India, mengalahkan China dan AS yang total
penduduknya lebih banyak. Chandra, mahasiswa jurusan Hubungan Masyarakat mengaku temasuk orang yang ketergantungan media sosial. “Untuk zaman informatika ini, jejaring sosial sangat penting untuk mengetahui informasi yang terjadi di lingkungan sekitar maupun luar,� tuturnya (07/09). Selain sebagai media pemberi informasi, media sosial juga menjadi sarana komunikasi bagi masyarakat. melalui media sosial, masyarakat bisa lebih cepat dalam berkomunikasi. Dulu kita lebih mengenal surat sebagai alat informasi dan komunikasi yang biasanya membutuhkan waktu satu sampai dua hari untuk sampai ke tujuan. Namun kini melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, informasi apapun bisa kita update kapan pun dengan cepat, bahkan melaui layanan pesan di Facebook, kita dapat melampirkan informasi penting sekalipun. Kini sudah jarang kita temui, kalangan muda yang menggunakan surat untuk berkomunikasi, mereka lebih memilih pesan elektronik atau media sosial agar bisa mengefisienkan waktu dan tenaga. Karena melaui media sosial atau pesan elektronik mereka tidak perlu pergi ke kantor Pos untuk mengirim surat. Terkait hal tersebut Chandra berpendapat bahwa eksistensi Pos tidak akan mati tergerus media sosial karena masing-masing mempunyai keunggulan. Pos masih diperlukan orang-orang yang tinggal di pedalaman untuk berkirim uang,
membayar tagihan motor, listrik dan sebagainya. Sedangkan media sosial digunakan masyarakat yang lebih modern untuk bersosialisasi dan berbagi informasi. Perkembangan media sosial seperti Facebook, Twitter, Email, dan MySpace yang semakin berkembang di Indonesia tidak dapat begitu saja membuat Pos Indonesia (Persero) tergantikan. Tidak sedikit masyarakat yang masih berminat menggunakan jasa Pos. Seperti yang dikutip dari kabartop.com ANTARA, Humas dan Protokoler Pos Indonesia, Atjep Djuanda mengatakan bahwa sampai saat ini pengguna jasa Pos Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Akhmad, Kepala Kantor Pos UIN Bandung. “Peran Pos sangatlah banyak bagi masyarakat. Pos ada di desadesa, bahkan di ujung gunung pun ada. Misalnya, untuk orang-orang yang ingin membayar listrik dan cicilan motor bisa juga melalui Pos,� ungkapnya, Kamis, (26/07). Salah satu upaya Pos Indonesia tetap bertahan di tengah geliat media sosial dan persaingan bisnis jasa pengiriman barang yaitu dengan terus meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Peningkatan pelayanan tersebut
diantaranya yaitu menyediakan Pos Surat Standar dan Pos Surat Prioritas. Pos Surat Prioritas dibagi ke dalam dua bagian yaitu Kilat Khusus yang waktu pengirimannya 2 x 24 jam dan Pos Express yang pengirimannya 1 x 24 jam. Selain itu, Pos Indonesia juga menyediakan pelayanan One Stop Service, yaitu pelanggan hanya tinggal mengirimkan data melalui soft copy atau email saja, selanjutnya untuk pencetakan, penyampulan, pengiriman, dan pelaporan dilakukan oleh Pos Indonesia. Saat ini Pos Indonesia telah bekerja sama dengan Western Union dari AS untuk pengiriman ke luar negeri. Dan baru-baru ini Pos Indonesia juga bekerja sama dengan Pos Malaysia untuk melayani para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ingin mengirimkan uang ke Indonesia melalui Pos. Pos Indonesia (Persero) juga berencana mendiversifikasi lini-lini bisnisnya selain pengiriman surat dan parsel. Pos saat ini tengah membidik pengembangan di jaringan virtual. Dikutip dari okezone.com, Direktur Utama PT. Pos Indonesia, I Ketut Mardjana mengatakan, “Dari sekitar 3.800 kantor Pos kita, 3.700 kantor sudah bisa online. Jadi memang sedikit sekali yang belum online.� Dengan begitu, media sosial maupun Pos mempunyai peran tersendiri bagi masyarakat. meski kalangan muda masa kini lebih banyak memilih media sosial sebagai alat bertukar informasi, namun Pos Indonesia juga masih menjadi prioritas utama masyarakat untuk mempermudah segala keperluan, seperti pembayaran tagihan listrik, dan pengiriman barang meskipun untuk jasa pengiriman surat sudah tidak sebanyak dulu.
Segenap Kru LPM Suaka Mengucapkan Selamat dan sukses atas diwisudanya: Bayu Herlambang, S.Sos (Pemimpin Umum 2010-2011) Ikhmah U. Maida, S.Sos (Sekretaris Redaksi 2010-2011) Nora Meilinda Hardi, S.Sos (Sekretaris Redaksi 2009-2010) Tri Mastuti Handayani, S.Sy (Manajer Keuangan 2010-2011) Tina Suhartini, S.Sy (Redaktur 2009-2010)
Semoga menjadi sarjana yang mabrur dan mabruroh
Nur Alam, Memahami Gamis Sebagai Sunah Rasul Oleh Panshaiskpradi
B
erbadan tinggi besar dengan jubah putihnya, mungkin sudah tak asing lagi bagi kalangan mahasiswa dan dosen di Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung. Kehadirannya tetap menjadi sebuah keunikan dikarenakan gamis yang selalu dikenakannya ketika kuliah. Adalah Nur Alam Ulumuddin, mahasiswa semester lima jurusan Perbandingan Madzhab & Hukum yang lahir pada 29 Agustus 1990 yang dalam kesehariannya selalu mengenakan gamis (pakaian khas Timur-Tengah) ketika pergi ke acara yang bersifat formal, termasuk ke dalam kampus sekali pun. Cara berpakaiannya yang berbeda serta begitu mencolok tentu menarik perhatian bagi kebanyakan warga kampus, baik dosen maupun mahasiswa, mereka mengetahui sosok berjubah putih tersebut meskipun tidak mengenalnya secara dekat. Memahami Gamis sebagai Sunah Rasul Sedikit berbeda dalam memahami Islam sebagai ajaran Allah dan Rasul-Nya, Nur Alam kecil (panggilan akrab dirinya) tumbuh besar dalam tradisi keagamaan keluarganya. Ketika itu Nur Alam kecil mengikuti apa yang menjadi kebiasaan ayahnya, Wakijo (52), dalam berpakaian mengenakan gamis. “Dalam istilah fikih mungkin ketika itu saya hanya bertaklid saja, yaitu mengikuti suatu amalan ibadah tanpa mengetahui dalil atau alasan yang mendasarinya,” tuturnya kepada Suaka. Dirinya mengaku baru mengetahui landasan hukum berpakaian gamis ketika masuk di kelas satu Tsanawiyah di Pondok Pesantren (Ponpes). Dalam pemaparannya kepada Suaka, Nur Alam mengatakan dirinya tumbuh besar dalam pendidikan di sebuah Ponpes Fathiyyah alIdrisiyyah (FADRIS) yang terletak di Cisayong Kab. Tasikmalaya. Ponpes yang di tempatinya dalam menuntut ilmu itu berbasis lebih kepada aliran tarekat al-Idrisiyyah. Selama mengikuti pendidikan di Ponpes, Nur Alam bercerita bahwa syeikh mursyidnya menganjurkan kepada santrinya untuk menggunakan gamis dengan kedudukan
Nur Alam Ulumuddin Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum
hukum hampir kepada wajib tetapi tidak sampai wajib. Berbicara kedudukan hukum memakai gamis, ulama pun berbeda pendapat dalam memahaminya. Ummu Salamah ra. dalam riwayatnya berkata “Pakaian yang amat dicintai oleh Rasulullah saw. ialah baju gamis,” sedangkan Ibnu Abbas ra. bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda, “Kenakanlah yang berwarna putih dari pakaian-pakaianmu itu karena sesungguhnya yang putih itu adalah yang terbaik di antara pakaianpakaianmu...” berangkat dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Timirdzi ini Nur Alam menyakini bahwa pakaian gamis adalah salah satu bagian dari Sunah Rasul. Pembantu Dekan III Bagian Kemahasiswaan Fakultas Syariah dan Hukum, Ahmad Fathoni, dalam menanggapi salah satu mahasiswanya yang selalu mengenakan gamis ketika kuliah, dirinya berkomentar bahwa hal tersebut sebagai bentuk pemahaman terhadap apa yang dibaca dan dipahami, khususnya tentang pakaian apa yang pantas dan layak di pakai olehnya. Pandangan agama dalam berpakaian, Fathoni berpendapat bahwa agama hanya mengatur dalam hal aurat. “Jika ada yang beranggapan bahwa memakai gamis adalah salah satu bentuk bagian dari sunah tidaklah tepat,” tuturnya kepada Suaka. Dalam pandangannya, Pathoni memahami sunah dalam pengertian apakah yang berimplikasi hukum atau sunah yang tidak berimplikasi hukum. Dirinya pun berpendapat bahwa gamis adalah sebagai pakaian budaya bangsa Arab. “Selagi dia nyaman dan menikmati dalam berpakain seperti itu, tak masalah.” komentarnya mengakhiri pembicaraan. Senada dengan Fathoni, Arip Budiman, mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat yang mengetahui sosok Nur Alam berpendapat tidak menjadi persoalan baginya melihat Nur Alam yang selalu mengenakan gamis. Tapi dirinya menyanggah jika beralasan mengapa berpakaian seperti itu untuk mengikuti sunah rasul. “Mungkin
ya dahulu Rasul mengunakan pakaian itu. Cuman ada satu cerita, bahwa Rasul pernah diberi pakaian bagus oleh sahabatnya, tapi Rasul menolak dengan beralasan bahwa dirinya ingin berpakaian khalayak orang banyak, agar lebih merakyat. Itu artinya kan pakaian nasional Arab,” ungkapnya kepada Suaka. Dirinya memahami bahwa Rasul pun dalam berpakain seperti itu agar bisa lebih dekat dengan rakyat. “Saya pikir dengan berpakaian seperti saya inilah (kemeja dan celana jeans) itu sudah mengikuti sunah Rasul. Kalo memang landasannya ingin mengikuti sunah Rasul ya bermasyarakatlah!” lanjut Arip mengakhiri. Menanggapi orang yang beranggapan bahwa baju gamis adalah sebagai bentuk dari budaya Arab, Nur Alam menuturkan bahwa setiap orang mempunyai pendapat dengan argumentasinya masing-masing. “Saya kira kita harus toleran dan kembali melihat bagaimana seseorang menafsirkan dan memahami hal itu,” ucapnya. Nur Alam meyakini bahwa gamis adalah salah satu bentuk dari sunah Nabi saw. dilihat dari sisi sesuatu hal yang disukainya. “Ya awalnya memang tradisi, Muslim maupun kafir sama-sama pakai, Abu Jahal juga mengenakan gamis, tetapi akhirnya ada penyesuaian antara sunah dengan tradisi Arab,” tuturnya. Nur Alam justru merasa lebih nyaman dengan berpakaian seperti itu. “Malah kalo pergi ke acara formal atau kuliah tidak mengenakan gamis, saya sendiri merasa seperti di telanjang,” pungkasnya kepada Suaka. Ketika ditanya apakah pernah dirinya mendapat ejekan dari mahasiswa maupun dosen, Nur Alam bercerita bahwa ada saja orang yang tiba-tiba meneriakan salam kepadanya tapi dirinya tidak tahu siapa yang mengucapkannya, tidak hanya itu bahkan ada mahasiswa yang datang menghampiri dan lantas mencium tangannya. “Saya tidak tahu masalah niat hati seseorang, mungkin bisa saja mereka meledek dan memperolok-olok atau justru sebaliknya memberi Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. [Q.S. Huud :9]
Iklan Layanan Masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM SUAKA
salam dengan tulus. Tapi bagaimana pun saya berhuznudon saja,” tuturnya kepada Suaka. Ada kisah lucu yang Nur Alam sampaikan kepada Suaka. Waktu semester II dirinya sedang mengikuti mata kuliah Bahasa Arab. Ketika itu ada mahasiswa yang mengenakan kaos oblong ke dalam kelas, dosen yang melihat mahasiswa tersebut sontak langsung menyuruhnya keluar dan tidak mengijinkannya untuk mengikuti perkuliahan. Lain hal dengan Nur Alam yang kebetulan mengenakan gamis dengan model tidak berkerah alias oblong, dosen ketika itu hanya berucap “keun si Alam mah teu nanaon, da eta mah teu termasuk kaos oblong, eta mah ngaranna geus gamis. Kaos ya kaos, gamis ya gamis...” cerita Nur Alam sambil tertawa. Nandang, dosen Hukum Perdagangan di Fakultas Syariah dan Hukum mengomentari mahasiswanya yang selalu mengenakan gamis ke dalam kelas perkuliahan. “Selama inikan ada aturan Dekan tentang berpakaian, salah satu pointnya adalah larangan berpakaian kaos oblong, di luar itukan tidak ditentukan seperti apa selain oblong tadi, maka bisa dipahami sepanjang tidak pakai kaos oblong berarti tidak ada larangan, itu logikanya,” tuturnya. Dirinya menilai tidak ada keanehan dan hal itu wajar-wajar saja, justru bagaimana pun kita harus menghargainya karena tidak ada satu pun yang ia langgar. “Kita tidak bisa melarangnya,karena dia berpakaian seperti itu merasa bagian dari iman,” cetusnya. Seperti yang diungkapkan oleh Firman teman sekelas Nur Alam. “Mungkin sesuatu yang sudah menjadi prinsip itu sulit untuk diganggu gugat,” katanya kepada Suaka. Itulah Nur Alam Ulumuddin, dirinya menger jakan suatu amalan berdasarkan pemahamannya atas apa yang ia tafsiri, sebagaimana orang-orang yang beranggapan bahwa gamis adalah produk budaya yang tidak mengandung unsur pahala sama sekali.
SO
SSCB, Komunitas Peduli Bangsa
Oleh Nirra Cahaya Pertama emuda layaknya sang pengubah, dimana menjadi sebuah batu pijakan untuk kehidupan. Begitu pula dengan mimpi anak-anak yang tengah meniti masa depan. Namun, apa artinya bila pemuda sekarang ini harus bertelanjang kaki, buta huruf serta mengais rezeki di jalanan. Kekhawatiran, terus muncul ketika anak jalanan semakin bertebaran di setiap sudut kota. Hal ini begitu kentara jika disandingkan dengan negara kita yang sudah merdeka. Keresahan dan kecemasan akan generasi penerus kemerdekaan bangsa itulah yang membuat beberapa pemuda Bandung yang tergabung dalam Komunitas Save Street Child Bandung (SSCB) yang merupakan jaringan kepedulian terhadap anak jalanan. Jaringan yang dimaksud yaitu wadah pemersatu lembaga atau yayasan pemerhati anak jalanan dalam mengayomi kebutuhan dan memberikan pemberdayaan anakanak jalanan. Berkat dukungan dan perijinan dari Save Street Children Jakarta sebagai pioneer, akhirnya Save Street Child terdesentralisasi di Bandung pada 15 Juni 2011. Agung Dwi Prabowo yang kini menjadi General Coordinator SSCB mengaku awalnya tidak mudah menyentuh anak-anak jalanan terutama di daerah Buah Batu yang terkenal keras. Selain itu juga kondisi traumatis anak-anak pada komunitas. Namun selama setahun ini SSCB menunjukkan gerakannya dengan riil. Bukan sebagai komunitas belaka, namun menempatkan diri sebagai keluarga yang mengenal kondisi anak jalanan. Dengan beragam kegiatannya seperti SSCB Charity, Kakak Asuh, Mari Menabung, Sahabat Pena dan masih banyak yang lain. Akhirnya SSCB yang sudah menginjak satu tahun telah menjalin
P
hubungan yang erat dan rasa saling percaya dengan anak-anak jalanan Buah Batu. Menurut Rizky Azhari Ramdhani, ketua Divisi Publikasi setiap satu minggu sekali, tepatnya dihari sabtu sebanyak 30 orang anak jalanan dengan tingkatan pendidikan dimulai dari sekolah d a s a r s a m p a i s e ko l a h m e n e n g a h a t a s menyempatkan waktu untuk belajar di masjid belakang SPBU Buah Batu. “Kita rutin mengadakan kegiatan belajar mengajar sama anak jalanan itu hari sabtu sore. Tempat belajarnya dulu kita pakai taman yang dekat Buah Batu, tapi sekarang udah pindah ke masjid belakang pom bensin Buah Batu.� Meskipun tujuan SSCB adalah meningkatkan taraf kesejahteraan anak-anak jalanan dalam aspek pendidikan dan pemberdayaan kreatifitas. Namun, SSCB tidak hanya fokus pada kegiatan belajar mengajar saja. SSCB juga memiliki program seni dan rekreasi seperti tamasya dan mengadakan bakti sosial bersama komunitas lainnya. SSCB juga menyelenggarakan pendidikan karakter serta mental counseling. Bulan Ramadan lalu SSCB juga banyak diundang komunitas untuk buka bersama dan mengapresiasi kemampuan masing-masing seperti musik dan yang lainnya. Kegiatan lainnya yang mereka lakukan adalah membagikan bingkisan kepada anak jalanan. Paket yang mereka berikan berisi uang, buku dan pakaian. Siapapun bisa bergabung menjadi volunteer SSCB, asalkan memiliki rasa kepedulian, kebersamaan, dan rasa ingin berbagi bersama anak jalanan. Volunteer SSCB memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Mulai dari mahasiswa, pegawai, aktivis sosial, jurnalis dan penyiar.
PJKA, Nyayian dari Gerbong Oleh Hilda Kholida
P
JKA, ada yang mengenal istilah ini? Bagi yang setiap harinya menggunakan fasilitas umum kereta api mungkin ingat dan kenal apa itu PJKA, ya Perusahaan Jasaraharja Kereta Api. Salah satu fasilitas yang diberikan pemerintah sebagai solusi untuk menghindari kemacetan di jalan raya. Berupa rangkaian gerbong-gerbong besar yang melintas diatas jalur besi yang saling menyambung. Namun bukan PJKA itu yang akan dibahas dalam halaman ini. Kali ini kita akan mengenal sebuah kelompok yang sangat cinta dengan seni musik. Dan setia berkaya di bidang yang satu ini. Mereka menamai dirinya sebagai PJKA atau Pengamen Jalur Kereta Api. Anggota yang terdiri dari, Kaka, Abi, Doer, Yayang, Agus dan Obos ini menamai grup mereka sebagai PJKA, karena biasa mengamen di stasiun yang berada di wilayah Rancaekek. Meski ngamen bukan pekerjaan pokok mereka, namun mereka senantiasa mengamen bersama-sama di jalur kereta. Seperti Kaka dan Abi, selain mengamen mereka juga masih ikut bekerja di bidang listrik. Atau Yayang yang biasa sambil berjualan koran di stasiun Rancaekek. Alkisah grup ini terbentuk pada tahun 2001. Bermula dari kumpulan anak-anak jalanan di sekitar daerah Rancaekek yang kemudian membuat sebuah paguyuban, mereka yang merasa dekat dan klop satu sama lain mulai berinisiatif membuat grup musik bernama PJKA. Dengan personil yang berisi 6 orang mereka menggunakan gitar sebagai alat musik utamanya, selain itu juga mereka menggunakan biola, kontra bass dan juga jimbe sebagai penyempurnaan lagu yang mereka bawakan. Bagi calon penumpang kereta api, kelompok musik ini berbeda dengan pengamen lainnya. Mulai dari bermacam alat musik yang dimainkan juga lagu-lagu yang mereka bawakan. PJKA lebih sering membawakan lagu-lagu lama sehingga calon penimpang bisa bernostalgia bersama lamunannya, atau pendamping hidup yang ada di sampingnya. Ciee,, Pak Dedi dan Ibu Aas misalnya, pasangan orang tua ini merasa terhibur dengan adanya penyanyi yang disebut PJKA ini. Dan mereka
merasa para pengamen di statsiun ini begitu santun. ''Agak terhibur dengan adanya PJKA, dibanding banci yang ngamennya. Dan kayanya santun-santun aja, saya sukanya lagu-lagu nostalgia 'sekuntum bunga indah' ciptaan Iis Haryati. Kebetulan punya lagunya di rumah. Dan mereka sering menyanyikan lagu itu�, jelas pak Dedi yang baru 2 kali datang ke Rancaekek, (22/09). ''Terusin aja kalo punya bakat. Kalo memang itu adalah pilihan buat bernyanayi ya terusin aja. Karena dulu waktu keluar dari STM saya suka nyanyi. Dan saya seneng sama anak-anak yang suka nyanyi. Kalo ini pilihan terbaik, terusin aja. Gambarannya gini, Bang Haji aja dulu pernah ngamen'', tambah Pa Dedi. Saat merasa jenuh, PJKA ini juga sesekali mengamen di jalur bis-bis kota dan berkunjung ke kota-kota lain seperti Pangandaran hingga Bali. Selain itu PJKA juga sering mendapati sebagai pengisi acara dalam resepsi pernikahan. Bahkan acara resmi yang diadakan di hotel dari perusahaan besarpun pernah mengundang mereka. Yang lainnya adalah mereka juga pernah diundang dalam acara perpisahan sekolah SMA yang diadakan di Hotel Khatulistiwa, Jatinangor. Mereka begitu senang ketika masyarakat biasa menerima mereka di lingkungannya. Meski begitu, mereka juga pernah merasakan kecewa saat sedang mengamen di jalur kereta api. '' Dulu sering naik ke kereta, cuma kalo ketahuan sering dirampas, kalo sekarang sudah dilarang. Jadi sekarang standby aja di statsiun'', singkat Kaka, salah satu personil PJKA, yang memegang vokal, (22/9). Meski hanya sekedar pengamen jalur kereta api, namun mereka memiliki harapan dan cita-cita. ''Kemungkinan kita ingin beranjak lebih jauh, ga Cuma di statsiun kereta api. Namun di statsiun tv. Meski pernah ada tawaran, namun gak kita ambil, soalnya personilnya lagi gak lengkap waktu itu�, cerita Abi dan Kaka dengan sedikit canda tawa. Apapun seni yang dicintai masyarakat, kita harus senantisa menghargai dan saling mendukung. Karna sesunggguhnya kepercayaan diri yang dibuat atas dukungan satu sama lain akan membangun sebuah paradigma positif untuk menggapai citacita dan harapan.
OP
Cinta Rasul dan Bahasa Agama Oleh Ibn Ghifarie
A
pa pun alasan dan motifnya atas pembuatan film The Innocence of Moslem karya Sutradara Sam Bacile (Nakoula Basseley Nakoula) yang jelas harus dipahami maraknya aksi protes umat Islam di berbagai belahan dunia (Mesir, Iran, Libya, Indonesia) merupakan salah satu bentuk nyata atas kecintaan pengikutnya terhadap nabinya (Muhammad) yang berjuang menyebarkan risalah Tuhan selama tidak melakukan tindakan kekerasan, mengusak fasilitas umum (negara). Pasalnya, tindakan kekerasan bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan justru akan melahirkan budaya balas dendam. Menurut Afif Muhammad, hilangnya, unsur keibuan (kasih sayang, cinta, rahmah) sekaligus ketidakberdayaan agama di tengahtengah derasnya arus industrialisasi, kolonialisasi, galobalisasi, kemajuan sains dan teknologi membuat pudarnya nilai-nilai spiritual dan semakin teralenasi peran agam. Pada dasarnya yang mehirkan kekerasan itu mata rantai dari peradaban. Alih-alih melahirkan perdamaian dan memeratakan keadilan, industrialisasi dan globalisasi justru menciptakan kekerasan dan penindasan. Persaingan akan mendorong pihak yang lemah untuk mempertahankan diri. Jika keadilan tetap tidak diwujudkan dengan cara damai, maka kekerasan pun akan terus ber munculan. Walhasil, yang sebenarnya menciptakan kekerasan adalah ketidakadilan itu sendiri. Kondisi inilah yang merubah manusia menjadi barbar. Jika Rousseau mengatakan manusia pada dasarnya merupakan ciptaan yang polos, mencintai diri secara spontan, alturis dan tidak egois, maka tampilnya Hobbes yang menegaskan kekerasan merupakan keadaan alamiah manusia (state of nature) dan hanya suatu pemerintahan yang menggunakan kekerasan dan memiliki kekuatanlah (leviatant) yang dapat meng atasi keadaan itu. Kekerasan itu menyebabkan manusia modern melarikan diri dan bergabung dalam kelompok-kelompok radikal,
seperti Jim Johnes, David Coresh, Heavenis Bate pemimpin Marshall App Lewhite (Afif Muhammad, 2006: 21-27) Kuatnya, perilaku kekerasan ini di mata Ahmad Syafii Maarif dikarenakan sudah menjadi mata pencaharian. Betapa tidak, tumbuh suburnya gerakan kekerasan berbaju agama yang telah merambah ke mimbar-mimbar Jumat, media massa, televisi, buku-buku laris banyak yang menggunakan ayat-ayat 'keras'. Padahal ayat-ayat 'keras' itu ada konteksnya dan jumlahnya sedikit sekali. Sebagian besar ayat-ayat yang menebarkan kasih sayang, menentang kemiskinan. Ayat-ayat itu yang harus dibaca para khatib Jumat dan mau belajar Islam lebih dalam. (Majalah Madina No. 09, Tahun I, September 2008) Dengan demikian, tindakan kekerasan bukan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan segala persoalan. Apalagi yang melakukan perbuatan tak lalim itu beragama Islam. Ini akan memperburuk sekaligus menegaskan citra Islam (Islamophobia) yang sangat akrab dengan kekerasan. Cinta Rasul Mari kita meneladani sosok Muhammad dengan cara yang arif dan bijaksana sekaligus mengevaluasi ulang ihwal kecintaan kita kepadanya. Sebagai contoh, apa jadinya bila Rasulullah bertamu ke rumahmu dan ikut menonton film kontroversi karya Nakoula Basseley Nakoula ini? Bagi Bambang Q-Anees menjelaskan tentu dapat dipastikan, bila datangnya Rasul itu pagi hari dengan pakaian sederhana pada saat aku sibuk dengan tanaman hias di depan rumahku. Aku akan bersifat wajar. Tak akan segera menunda pekerjaan. Lantas mempersilahkan masuk. Namun, bila yang datang pejabat dengan pakaian mewah dan mengendarai kendaraan, pastilah bergegas mempersilahkan masuk. Ironis memang! Padahal nabi pernah berkata pada Aisyah, “Wahai Aisyah! Sesungguhnya orang yang kedudukanya paling buruk di sisi Allah swt pada
hari kiamat kelak ialah orang yang menjauhi orang lain karena keburukan hati dan kejahatannya. Saat ini Rasul sehabis menerima tamu yang wajah dan penampilannya sangat kasar dan jelek, tapi rasul tetap menyambut dengan lembut, sopan dan penuh hormat. Ini agak berdeda dengan kita. Sekali lagi, kita akan acuh tak acuh kedatangan Rasulullah. Pasalnya, penutup nabi ini sudah meninggal dan tak akan kembali lagi. Pertanyaannnya, bila memang terjadi sekaligus datang; Apakah Muhammad saw akan tersinggung? Tidak! Karena Rasul bukan tokoh suci yang gila hormat. Konon, ia tak memiliki kursi duduk khusus, baik di rumah maupun mesjid. Ia duduk sama dengan yang lain. Melihat perilaku aku saat menjamu tamu, layaknya tak pernah membaca hadits tentang menghargai tamu. Rasul pun begeleng-geleng kepala sambil bergumam, “Bukankah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak? Mencermati aksi kekerasan dalam menyikapi atas penghinaan Nabi. Jangan-jangan kemarahan kita kepada sekelompok orang mencaci-maki (ayat-ayat fitna) Muhammad; menggambarkannya (karikatur, film) sebatas kesal. Tapi tidak mengenal sosoknya. Pesan Bambang Q-Anees, daripada membahas hinaan, lebih baik menghadirkan kembali sosok Rasulullah dalam kehidupan kita. Lebih baik lagi kita menggunakan seluruh hidup (tenaga), pikiran, kesadaran kita untuk merealisasikan seluruh sikap dan sifat Rasul secara bertahap penuh kesadaran. Ya, daripada menghabiskan waktu untuk membalas menghina, aku memilih untuk mencoba memasukkan hadits ini ke dalam seluruh tindakan. “Allah semakin memperbanyak kenikmatannya kepada seseorang karena Ia banyak dibutuhkan orang lain. Barang siapa yang enggan memenuhi kebutuhan orang lain, berarti ia telah merelakan lenyapnya kenikmatan bagi dirinya.” (HR al-Baihaqi) Dengan sikap ini, bila Rasulullah benarbenar bertamu kita bisa menyambutnya tanpa rasa malu. Kita akan dipeluknya dengan air mata penuh haru, beliau akan menepuk bahu kita. “Kalian memang saudaraku, tidak pernah bertemu denganku. Namun, begitu gigih mengamalkan akhlak terbaik.” Inilah sosok Muhammad. “Aku
melihat seorang lelaki dengan wajah berseri-seri dan bercahaya, berkulit bersih, badannya tidak kurus juga tidak gemuk, wajahnya elok rupawan, bola matanya hitam, bulu matanya lentik, alis matanya panjang bertautan. Jika dia diam, tampaklah kharismanya. Jika ia sedang berbicara, tampak agung dan santun. Ia adalah orang yang tampak paling muda dan rupawan bila dipandang dari kejauhan, juga paling tampan dan mempesona di antara rombongannya. Ucapannya menyejukkan kalbu, perkataannya jelas, tidak sedikit; juga tidak bertele-tele. Beliau adalah orang yang paling menarik dan kharismatik di antara ketiga sahabatnya. Jika beliau berbicara, maka para sahabat yang menyertainya dengan khusyuk mendengarkan segala nasihat dan mematuhi segala perintahnya.” (Bambang Q Anees, 2009:24-25 dan 128-129) Bahasa Agama Disadari atu tidak, sering terjadinya tindakan kekerasan diakibatkan ketidakmampuan kita dalam memahami bahasa agama. Ingat, dalam memahami bahasa agama ada kalanya dijumpai wilayah remang-remang, jelas dan mencerahkan. Dikatakan remang-remang karena dalam memahami teks keagaman, sikap kritis dan beriman bercampur satu sama lain. Bahasa ritual sebagai medium tidak selalu berupa ucapan, tetapi bisa gerakan tubuh (body language) yang bersifat isyarat atau sikap tubuh (performative languange). Dalam semua agama akan ditemukan bahasa agama yang mengambil bentuk performative language. Dengan demikian, bahas agama tidak sekedar berhenti sebagai medium dan alat komunikasi, tetapi memiliki dimensi ontologis dan eskatologis. Kekuatan bahasa dan ekspresi keagamaan merupakan manisfesto komitmen moral dan iman dari orang-orang yang beragama secara saleh yang dialamatkan dan diminta disaksikan oleh Tuhan. Itulah sebabnya acara konversi agama dinamai dengan ikrar kesaksian.” Ungkapan keagamaan bagaikan puncak gunung es di lautan yang di permukaanya kecil, tetapi bagian bawahnya besar, sehingga kapal bisa tenggelam bila menabraknya. Ketersinggungan umat beragama bila bahasa agamanya dilecehkan.
Mencermati aksi kekerasan dalam menyikapi atas penghinaan Nabi. Jangan-jangan kemarahan kita kepada sekelompok orang mencaci-maki (ayat-ayat fitnah) Muhammad; menggambarkannya (karikatur, film) sebatas kesal.Tapi tidak mengenal sosoknya.
Karena, didalam dan melalui teks keagamaan itu petanda artikulasi dan cita-cita keselamatan hidup ditambatkan. Kendati tidak luput dari ketersinggungan (kemungkinan) distorsi dan deviasi penafsiran. Dengan demikian bahasa agama adalah wahana dan reservoir bagi nilai-nilai agung. Kepadanya orang beriman menimba dan mereguk inspirasi dengannya mereka mempertautkan diri dengan Tuhan serta menjalin ukhuwah dengan sesama anggota komunitas orang beriman. Tentu, bila figur Yesus, Sidharta Gautama, Muhammad, Lotze, Musa, dilecehkan akan memancing reaksi dari umatnya. Pasalnya, bagi orang beriman mereka itu diyakini sebagai manisfestasi jalan keselamatan. Inilah pentingnya kekuatan bahasa agama sebagai artikulasi keselamatan. (Komarudin Hidayat, 1998:4-7 dan 105-109). Bila tidak ingin umat Islam disebut pelaku yang akrab dengan kekerasan, maka ikhtiar menyelesaikan segala permasalahan keumatan dan kemanusiaan harus dimuai dengan tata cara yang baik, seperti diperintahkan oleh Allah SWT dalam al-Nahl 125; "Berserulah ke jalan Tuhanmu dengan (metode) hikmah, mauizah hasanah dan diskusi dengan cara baik". Kiranya, sikap Rasulullah yang pernah diusir, dicaci maki, dilempari batu oleh kaum yang tidak menghendaki ajaranya, sampai malaikat turun dan menawarkan diri kepada Nabi untuk menghukum (membalas) tindakan mereka yang menganiayanya, tapi Muhammad tidak melakukan kekerasan, justru malah mendoakan dan memohon ampun kepada Allah atas perbuatan lalim mereka yang belum mengenal kemuliaan Islam. Ini perlu kita renungkan secara bersam-sama dan di amalkan dalam kehidupan seharhari sebab Nabi Muhammad telah memberikan teladan untuk membalas segala bentuk tindakan kejian, biadab dengan cara yang lebih baik, elegan, arif, bijaksana dan beradab. Apalagi mengingat maraknya aksi kekerasan antaragama, kelompok, dan etnis di bumi nusantara. Hal ini menjadi pertanda pudarnya sikap saling menghormati perbedaan dan pemberian keteladanan dari pemuka agama, pejabat. Mari kita mencintai Rasul dengan tidak melakukan budaya balas dendam dan tindakan kekerasan dalam menebarkan ajaran Islam yang mencintai kasih sayang, perdamaian, menjunjung tinggi sikap toleransi dan menyelesaikan setiap persoalan dengan cara berdialog. Semoga. [] Penulis adalah Koordinator Post Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) Bandung dan bergiat di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
O Oleh : Taufik Nurrohim
B
eberapa pekan kebelakang media elektronik dan media cetak di Indonesia dihebohkan dengan isu sertifikasi ulama yang di lontarkan oleh Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kalau kita cermati dengan seksama ada kesalahan berpikir yang dilakukan oleh Irfan Idris ini yakni over-generalization yaitu penggunaan satu-dua kasus untuk mendukung argumennya. Wacana sertifikasi ulama muncul beringinan dengan maraknya fenomena terorisme yang mengatasnamakan agama di Indonesia yang pelakunya merupakan jebolan dari pondok pesantren tertentu, dengan alasan itulah Irfan Idris melontarkan wacana sertifikasi ulama dalam upaya strategi deradikalisasi dalam mencegah terorisme seperti yang dilakukan di negara malaysia. Itulah over-generalization yang mengemuka dalam argumennya itu. Masih banyak pihak menilai bahwa agama bertentangan dengan nasionalisme. Bahkan ia sering dianggap sebagai faktor perusak keutuhan sebuah bangsa. Akan tetapi, mereka tidak melihat ternyata sejarah di Indonesia membuktikan agama menjadi salah satu faktor perekat bangsa (integrating force) dan sekaligus bisa menjadi basis ikatan solidaritas sosial yang kuat (supra identity) antarwarga bangsa. Dalam rangka melakukan gerakan melawan dan menolak lupa terhadap sejarah. Penulis akan mengajak pembaca untuk melacak dan mengingat kembali peranan ulama dan komunitas pesantren dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Perkembangan komunitas ulama, baik pada tataran pemikiran maupun tataran perjuanganya berkaitan erat dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan negara Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan saat sekarang. Dalam hal ini, Kartodirjo (1981) menyatakan bahwa peristiwa penentangan sosialpolitik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan pemerintah Belanda sendiri, dipelopori
oleh ulama sebagai pemuka agama agama, para haji dan guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang pula dalam gerakan tersebut para ulama menjalin kerja sama dengan kalangan bangsawan Jawa (Steenbrink, 1984 : 17-31). Perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa memang tidak terlepas dari peranan ulama dan komunitas pesantren. Pembentukan tentara Hizbullah-Sabilillah, keterlibatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan adanya fatwa Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asyari yang menetapkan hukum wajib dan mempertahankan kemerdekaan merupakan wujud dari peranan aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Horikoshi (1987:232) menyatakan bahwa dalam konteks dinamika modernitas peran ulama adalah patron kelompok Islam, yang berusaha mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Hal itu karena para ulama memposisikan dirinya sebagai pengantar dalam menjalin hubungan dengan dunia luar. Bagi umat Islam, ulama tidak saja dinilai sebagai pemimpin informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga sebagai wujud penerus Nabi Muhammad S.A.W. Predikat ke-ulama-an disematkan oleh masyarakat atas dasar keunggulan yang dimilikinya, misalnya kedalaman ilmu, keturunan dan kekayaan ekonomi. Keunggulan tersebut dipergunakan oleh mereka untuk mengabdi kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, para ulama selalu menyatu dengan lingkungan dan masyarakat, termasuk lingkungan bangsa dan negara (Ziemek 1986 : 192). Kedudukan itu tentunya memungkinkan ulama mempunyai peranan yang signifikan di dalam masyarakat yang menjadi pengikutnya, baik di bidang keagamaan maupun bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan. Ulama di Era Pra Kemerdekaan Keterkaitan para ulama dengan perkembangan bangsa dan negara bisa dilacak
sejak kedatangan Islam di Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Dhofier (1928 : 58), sejak Islam menjadi agama resmi orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam atau ulama dalam bentuk hirarki kekuasaan yang lebih rumit. Sebab para ulama yang sepanjang hidupnya meminpin aktivitas kehidupan keagamaan masyarakat juga telah memperoleh pengaruh politik. Dalam konteks yang sama, Moertono (1955: 35) menyatakan bahwa perebutan pengaruh antara penguasa dan para ulama biasanya selalu dimenangkan oleh pihak penguasa dan para ulama biasanya selalu dimenangkan oleh pihak penguasa. Akan tetapi, tarik menarik pengaruh tersebut tidak pernah padam dan tetap berlangsung sampai sekarang, dan para ulama tetap memainkan peran politik yang sangat menentukan. Ulama di Era Pasca Kemerdekaan Memasuki awal kemerdekaan kita akan mengenal peristiwa 10 November 1945 sering kita pering ati sebag ai Hari Pahlawan Naisonal dengan tokohnya yang gagah berani yakni Bung Tomo. Namun, siapa yang tahu bahwa peristiwa heroik 10 N ove m b e r 1 9 4 5 y a n g diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional itu tidak terlepas dari peran fatwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang dideklarasikan oleh para ulama se-Jawa dan Madura pada tanggal 22 Oktober 1945 dengan tokohnya Hadrotussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari. Inilah yang hampir luput dicatat oleh tinta emas sejarah Indonesia. Keterangan tentang Resolusi Jihad serta KH. Hasyim Asy'ari sangat minim atau bahkan hampir tidak ada sama sekali dalam literatur sejarah Indonesia. Bagi warga Nahdliyin (sebutan bagi warga NU) mungkin tidak asing lagi ketika mendengar nama K.H. Hasyim Asyari sebagai ulama kharismatik pendiri organisasi Nahdlatul Ulama. Namun sedikit yang tau pemikiran beliau tentang kebangsaan dan kiprah beliau dalam perjuangan melawan penjajah. Sebagai seorang ulama K.H
Hasyim Asy'ari sangat berperan besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah. Itu semua bisa dilihat dari sepak terjang beliau di masa penjajahan, bagaimana fatwa-fatwa beliau yang mengatakan Hindia Belanda adalah negara Islam, padahal status Indonesia dijajah. Bukankah beliau melakukan pemberontakan politis dalam hal ini terhadap penjajah? Kemudian fatwa beliau yang mengatakan bahwa Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila secara fiqih sah hukumnya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan umatnya untuk membela Indonesia, Karena membela Indonesia berarti membela Islam. Pa d a t a n g g a l 2 2 Oktober 1945, delapan minggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, peperangan di Surabaya. Untuk memobilisir dukungan umat Islam, K.H. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa untuk tetap memper tahankan kemerdekaan Re publik Indonesia. Fatwa-fatwa tersebut adalah sebagaimana berikut: 1). Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan. 2). Republik Indonesia, sebagai satusatunya pemerintahan yang sah, har us dijag a dan d i t o l o n g. 3 ) . M u s u h Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. 4). Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. 5). Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 Kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang (Lathiful Khuluq : 143-144). Fatwa resolusi jihad ini merupakan contoh yang paling jelas mengenai usaha para ulama
sebagai pemimpin umat untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Bukan hanya berupa fatwa saja namun juga ada peran komunitas pesantren yang terdiri dari ulama dan para santrinya tentara Hizbullah-Sabilillah menjadi garda terdepan dalam menghadapi penjajah di Surabaya. Para ulama, santri, rakyat dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dikomando oleh Bung Tomo bahu membahu melawan agresi militer ke II Belanda dan para sekutunya. Ulama di Era Orde Baru Selanjutnya ketika Indonesia memasuki era orde baru yang dikenal dengan pemerintahan otoriter dan represif, nasionalisme para ulama diuji kembali ketika Presiden Soeharto ingin menerapkan pancasila sebagai ideologi tunggal bangsa ini. Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W (Desember 1983), Presiden Soeharto kembali menegaskan perlunya asas tunggal Pancasila bagi partai politik dan Golongan Karya, serta bagi seluruh ormas di Indonesia (Pidato Presiden 1982 : 137). Gagasan asas tunggal Pancasila ini menimbulkan pro-kontra selama tiga tahun sampai diundangkan dalam UU nomor 5/1985 dan UU nomor 8/1985 tentang keharusan mendaftar ulang bagi ormas dan diberi batas akhir tanggal 17 Juli 1987. Ormas yang tidak menerima Asas Tunggal tidak akan didaftar, dengan konsekuensi dibubarkan (Ali Maschan Moesa: 124). Dalam perkembangannya, justru para ulama yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama yang pertama kali menuntaskan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam Munas (Musyawarah Nasional) alim ulama NU tahun 1983, dengan mulus diputuskan penerimaan Pancasila sebag ai asas org anisasi dan meng embalikan NU sebag ai org anisasi keaagamaan (jam'iyyah diniyyah), sesuai dengan Khittah 1926, Munas tersebut juga berhasil mendeklarasikan hubungan Islam dan Pancasila. Dalam konteks ini, Bruinessen (1992 : 136) menegaskan bahwa yang paling berperan dalam merumuskan penerimaan asas tungga ini adalah KH. Achmad Siddiq. Bahkan, dengan sangat meyakinkan beliau mampu membujuk ulama dan komunitas pesantren untuk menerima pancasila dengan rumusan yang sesuai dengan paham Aswaja yang dianut oleh mereka. Ulama di Era Orde Reformasi Kemunculan orde reformasi membawa
landmark baru dalam dunia politik Indonesia: “penghijauan” elite politik. Meskipun partai-partai Islam (baik yang berasa Islam maupun Pancasila) gagal meraih suara mayoritas dalam pemilu, namun kepemimpinan kenegaraan dan birokrasi pemerintahan memperlihatkan representasi kaum santri yang mencolok, yang tidak ada bandinganya dalam sejarah indonesia pascakolonial (Yudi Latif: 1). Tentu tidak perlu disebutkan lagi kemunculan Presiden B.J. Habibie dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai presiden beserta kabinetnya yang didominasi ulama dan muslim intelegensia. Bahkan ketika tongkat pemerintahan beralih kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, proporsi ulama dan muslim intelegensia dalam kabinet dan lembagalembaga kenegaraan lainnya masih hidup dominan. Di luar pemerintahan, tokoh-tokoh cendikiawan Muslim seperti Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Ahmad Syafi'i Maarif, Azyumardi Azra, dan KH. Mustofa Bisri menunjukan kepemimpinan intelektual ulama yang menonjol dalam wacana politik Indonesia. Penutup Dengan demikian, peranan ulama dan komunitas pesantren dalam proses perubahan sosial di Indonesia sangat vital. Dan sebagaimana paparan di atas pengalaman sejarah ulama dan komunitas pesantren di Indonesia menunjukan adanya ketegangan abadi antara proses Islamisasi dan sekularisasi dalam jagad politik di negeri ini. Kedua proses ini berjalan secara simultan. Masingmasing arus berusaha menguasai medan baru dengan risiko kehilangan penguasaan medan atas medan lama; capaian di satu sisi, kehilangan di sisi lain; gerak sejarah dari “atas” diimbangi oleh gerak sejarah dari “bawah”. Dan yang perlu kita rekontruksi yaitu ingatan kolektif bangsa kita bahwa predikat ulama selalu berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan pemuliaan dan pengakuan yang diberikan masyarakat secara sukarela kepada ulama Islam yang dipercaya memiliki peran yang dituntut oleh masyarakat, yaitu berlomba dalam berbuat kebajikan (musabaqah fi al-khairat), yang titik tolaknya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh mahluk di alam sementara ini (rahmatan lil 'alamin) dan tidak memerlukan sertifikasi ulama dari pihak atau lembaga tertentu yang sifatnya hanyalah duniawi semata.
A PEDOMAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN INTRA (POKI) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG NOMOR: Un.05/I.2/PP.00.9/032/2012 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN INTRA (POKI) UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG REKTOR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG Menimbang : a. Bahwa dalam rangka membina dan mengembangkan kehidupan kemahasiswaan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dipandang perlu adanya organisasi kemahasiswaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; b. Bahwa untuk kelancaran tugas dan tertib administrasi dalam meningkatkan kehidupan kemahasiswaan tersebut dipandang perlu adanya pedoman dasar organisasi kemahasiswaan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; c. Oleh karena itu, dipandang perlu segera diterbitkan surat keputusan Rektor yang mengatur tentang pedoman Dasar Organisasi Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2005, tentang perubahan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006, tentang Tata Kerja UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 5. Keputusan Dirjen. Pendidikan Islam Nomor: Dj.1/253/2007, tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan PTAI; 6. Surat Keputusan Rektor Nomor: 20 tahun 2008, tentang Tim Implementasi Keputusan Dirjen. Pendidikan Islam Depag Republik Indonesia Nomor: Dj.1/253/2007; 7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2010, tentang Statuta UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: B.II/3/15.252/2011 tanggal 22 Nopember 2011, tentang Pengangkatan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Memperhatikan : 1. Keputusan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung Nomor: 0251 Tahun 2011 tanggal 29 Maret 2011, tentang susunan Tim Amandemen Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 2. Hasil kerja tim amandemen Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) tanggal 19 s/d. 21 Juli 2011 di Hotel Kanira Bandung; 3. Hasil rapat senat UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 2012. MEMUTUSKAN Menetapkan : KEPUTUSAN REKTOR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG TENTANG PEDOMAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN INTRA (POKI) Pertama :
Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana dalam lampiran Surat Keputusan ini; Kedua : Dengan ditetapkannya Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, maka Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) selama ini dinyatakan tidak berlaku; Ketiga : Segala sesuatu akan ditinjau kembali apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan Keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal di tetapkan. Ditetapkan di : Bandung Tanggal : 09 April 2012 Rektor, Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH., M.H. NIP. 19570705 198703 1 004 TEMBUSAN disampaikan kepada Yth.: 1. Menteri Agama RI di Jakarta; 2. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI di Jakarta; 3. Rektor UIN di seluruh Indonesia; 4. Para Dekan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 5. Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 6. Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. PEDOMAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN INTRA (POKI) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG MUKADDIMAH Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung merupakan lembaga pendidikan ting gi yang bertugas menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi, yakni: pendidikan dan pengajaran; penelitian; dan pengabdian pada masyarakat. Ketiga dharma tersebut dituntut berorientasi pada visi, misi, dan tujuan universitas. Untuk mencapai cita-cita tersebut, semua civitas akademika dituntut secara konsisten secara bersama-sama untuk melaksanakan visi, misi, serta tujuan tersebut secara sinergis, dinamis, sistematis, dan konstruktif. Berkenaan dengan itu, diperlukan Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas yang berfungsi sebagai wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan, peningkatan kecendekiaan, dan integritas kepribadian mahasiswa menuju terciptanya tujuan pendidikan nasional yang berkualitas. Dengan demikian, Organisasi Kemahasiwaan Intra Universitas bertugas melaksanakan kegiatan kemahasiswaan yang bersifat ekstrakurikuler meliputi kepemimpinan, penalaran, minat dan bakat, serta kesejahteraan mahasiswa. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya, Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas diniscayakan untuk dapat menyelenggarakan kegiatan yang terkelola dengan baik. Pengelolaan kegiatan yang baik dan optimal dapat terjadi bila pedoman tata kelola organisasi kemahasiswaan disusun secara baik, sistematis yang memenuhi berbagai dinamika, tuntutan, dan kebutuhan mahasiswa. Sejalan dengan hal tersebut, telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia Nomor: Dj.I/253/2007 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam, yang menjadi
Ci
rujukan utama dan pedoman umum bagi tata kelola Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas. Untuk operasionalisasi lebih lanjut dari pedoman umum tersebut, diperlukan derivasi dan elaborasi dari pedoman tersebut dalam bentuk Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung adalah sebagai wahana dan sarana pengembangan diri ke arah perluasan wawasan, peningkatan kecerdasan, dan integritas kepribadian untuk mencapai tujuan Universitas (2) Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung merupakan organisasi kelengkapan Universitas (3) Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra adalah Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. BAB II ASAS DAN SIFAT ORGANISASI Pasal 2 Asas Organisasi Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung berasaskan Islam dan Pancasila. Pasal 3 Sifat Organisasi Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung bersifat normatif, aspiratif, dan demokratis. BAB III DASAR, TUJUAN DAN FUNGSI ORGANISASI Pasal 4 Dasar Organisasi Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung diselenggarakan berdasarkan statuta UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Tujuan Organisasi Tujuan Organisasi Kemahasiswaan Intra UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah: (1) meningkatkan kecendekiaan dan integritas kepribadian mahasiswa yang berakhlak karimah; (2) meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial, seni dan budaya, dan penelitian; (3) meningkatkan pengabdian kepada masyarakat; (4) menumbuhkembangkan minat dan bakat mahasiswa; dan (5) meningkatan kesejahteraan mahasiswa. Pasal 6 Fungsi Organisasi Organisasi Kemahasiswaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung mempunyai fungsi sebagai wahana dan sarana: (1) perwakilan mahasiswa Universitas untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program kegiatan kemahasiswaan; (2) komunikasi antar mahasiswa; (3) pengembangan potensi mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna bagi masyarakat; (4) pengembangan intelektual, minat dan bakat, pelatihan keterampilan, organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa; (5) pembinaan dan pengembangan kader-kader agama dan bangsa yang berorientasi dalam melanjutkan kesinambungan pembangunan nasional; dan (6) pemeliharaan dan pengembangan ilmu dan keagamaan yang dilandasi oleh norma akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan.
BAB IV BENTUK DAN KELENGKAPAN ORGANISASI Pasal 7 Bentuk Organisasi (1) Bentuk Organisasi Kemahasiswaan Intra UIN Sunan Gunung Djati Bandung terdiri dari tingkat universitas dan organisasi intra tingkat fakultas yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan. (2) Organisasi intra tingkat universitas terdiri atas: (a)Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U) sebagai badan pelaksana kegiatan kemahasiswaan di tingkat universitas; (b)Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U) sebagai badan tinggi normatif mahasiswa di tingkat universitas; (c)Lembaga Yudikasi Kemahasiswaan Universitas (LYK-U) sebagai badan tinggi yudikatif; (d)Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kegiatan Khusus (UKK) sebagai pelaksana spesifik kegiatan kemahasiswaan, dengan ketentuan pendirian dan pembubaran UKM/ UKK ditetapkan dalam aturan tersediri berdasarkan hasil musyawarah mahasiswa. (3) Organisasi intra tingkat fakultas terdiri atas: (a)Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) sebagai pelaksana kegiatan kemahasiswaan di tingkat fakultas; dan (b)Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPM-F) sebagai badan tinggi normatif organisasi mahasiswa tingkat fakultas; (c)Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan/ Program Studi (BEMJ) sebagai pelaksana kegiatan kemahasiswaan di tingkat jurusan/ program studi; Pasal 8 Kelengkapan Organisasi Kelengkapan organisasi kemahasiswaan tingkat universitas dan fakultas ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan statuta UIN Sunan Gunung Djati Bandung. BAB V KEPENGURUSAN, MASA BAKTI, DAN ANGGOTA Pasal 9 Kepengurusan (1) Struktur personalia Pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas terdiri dari: (a) Pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas pada masing-masing tingkat sekurang-kurangnya terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang-bidang, dengan sebutan untuk masing-masing jabatan ditetapkan dalam peraturan tersendiri. (b) Bidang-bidang yang dimaksud dalam ayat (1) poin (a) diatur dalam aturan tersendiri; (2) Ketua Badan Eksekutif Organisasi Kemahasiswaan Intra UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada semua tingkatan, dengan tata cara dan mekanisme yang ditetapkan dalam aturan tersendiri berdasarkan hasil musyawarah mahasiswa; (3) Calon Ketua Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas diharuskan memiliki integritas moral, spiritual, prestasi akademik yang baik dan dedikasi yang tinggi; (4) Calon Ketua Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas harus memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 3,25 dan telah menempuh sekurang-kurangnya 100 sks atau semester lima untuk tingkat universitas; dan (5) Calon Ketua Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas harus memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 3,25 dan telah menempuh sekurang-kurangnya 80 sks atau semester lima untuk tingkat fakultas dan maksimal duduk di semester delapan; (6) Calon Ketua Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas di tingkat jurusan harus memperoleh rekomendasi kelayakan administratif dari Ketua Jurusan, untuk tingkat fakultas harus memperoleh rekomendasi kelayakan administratif dari Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan, dan untuk tingkat
Ci
universitas harus memperoleh rekomendasi kelayakan administratif dari Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Pasal 10 Masa Bakti (1) Masa bakti pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas pada masing-masing tingkat selama satu tahun sejak dilantik; (2) Khusus untuk ketua tidak dapat dipilih kembali untuk periode berikutnya. Pasal 11 Anggota Anggota Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas adalah seluruh mahasiswa yang aktif terdaftar di bagian akademik dan kemahasiswaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. BAB VI KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB ORGANISASI KEMAHASISWAAN INTRA UNIVERSITAS Pasal 12 Kedudukan Kedudukan Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas merupakan kelengkapan struktural pada organisasi dan tata laksana Kemahasiswaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dengan ketentuan: (1) Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-U), Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U), dan Lembaga Yudikasi Kemahasiswaan Universitas (LYK-U), serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Unit Kegiatan Khusus (UKK) berkedudukan di tingkat Universitas; (2) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (DPM-F) berkedudukan di tingkat Fakultas; (3) Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan/ Program Studi (BEM-J) berkedudukan di tingkat Jurusan/ Program Studi. Pasal 13 Tanggung Jawab (1) Mekanisme tanggung jawab Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dan Rektor atau Dekan sesuai dengan kedudukan/ tingkat organisasi, dengan ketentuan bahwa Rektor atau Dekan merupakan penanggung jawab segala kegiatan di Universitas; (2) Pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas disahkan oleh Rektor atau dekan sesuai dengan kedudukan/ tingkat organisasi yang bersangkutan. BAB VII PEMBIAYAAN Pasal 14 Pembiayaan (1) Sumber pembiayaan Organisasi Kemahasiswaan Intra Universitas terdiri atas: (a)Anggaran UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang bersumber dari PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak)/ SPP Universitas; (b)Dana Penunjang Pendidikan (DPP) yang berasal dari mahasiswa baru; dan (c)Usaha-usaha lain yang halal dan tidak mengikat. (2) Alokasi dana dan mekanisme penggunaan angaran kegiatan kemahasiswaan diatur dalam peraturan tersendiri; (3) Penggunaan keuangan dipertanggungjawabkan kepada Rektor sesuai peraturan yang berlaku. BAB VIII KETENTUAN TAMBAHAN Pasal 15 Hal-hal yang belum diatur dalam Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI), akan diatur kemudian. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 16 Semua Organisasi Kemahasiswaan Intra di Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Djati Bandung yang telah ada, pada saat ditetapkannya Pedoman Organisasi Kemahasiswaa Intra ini, agar menyesuaikan dengan keputusan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 (1) Dengan berlakunya keputusan ini, Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebelumnya dinyatakan tidak berlaku; (2) Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan akan ditinjau kembali apabila dipandang perlu. Ditetapkan di : Bandung Tanggal : 09 April 2012 Rektor, Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH., M.H. NIP. 19570705 198703 1 004z A KODE ETIK DAN TATA TERTIB MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG NOMOR: Un.05/I.2/PP.00.9/32A/2012 TENTANG KODE ETIK DAN TATA TERTIB MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG REKTOR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG Menimbang : 1. Bahwa dalam rangka membina dan mengembangkan kehidupan kemahasiswaan dan menciptakan suasana Kampus yang kondusif di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung dipandang perlu adanya etika dan tata tertib yang yang mengatur dasar-dasar perilaku dan etika kehidupan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung; 2. Bahwa untuk kelancaran tugas dan tertib administrasi dalam meningkatkan kehidupan kemahasiswaan tersebut dipandang perlu adanya pedoman kode etik dan tata tertib mahasiswa di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 3. Oleh karena itu, dipandang perlu segera diterbitkan surat keputusan Rektor yang mengatur tentang pedoman kode etik dan tata tertib mahasiswa pada Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi; 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2005, tentang perubahan IAIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2006, tentang Tata Kerja UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 5. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor: Dj.1/255/2007, tentang Tata Tertib Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam; 6. Surat Keputusan Rektor Nomor: 20 tahun 2008, tentang Tim Implementasi Keputusan Dirjen. Pendidikan Islam Depag Republik Indonesia Nomor: Dj.1/253/2007; 7. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2010, tentang Statuta UIN Sunan Gunung Djati
Ci
Bandung; 8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: B.II/3/15.252/2011 tanggal 22 Nopember 2011, tentang Pengangkatan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Memperhatikan : 1. Hasil kerja tim penyusun kode etik dan tata tertib mahasiswa di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 2. Hasil rapat senat UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 2012. MEMUTUSKAN Menetapkan: KEPUTUSAN REKTOR UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG TENTANG KODE ETIK DAN TATA TERTIB MAHASISWA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG Pertama : Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagaimana dalam lampiran Surat Keputusan ini; Kedua : Dengan diberlakukannya Surat Keputusan ini, maka semua ketentuan yang berkenaan dengan pedoman sikap, perilaku dan perbuatan atau kode etik mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebelumnya yang bertentangan dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa ini, dinyatakan tidak berlaku lagi; Ketiga : Segala sesuatu akan ditinjau kembali apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan Keempat : Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal di tetapkan. Ditetapkan di Bandung Tanggal 09 April 2012 Rektor, Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH., M.H. NIP. 19570705 198703 1 004 TEMBUSAN disampaikan kepada Yth.: 1. Menteri Agama RI di Jakarta; 2. Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI di Jakarta; 3. Rektor UIN di seluruh Indonesia; 4. Para Dekan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 5. Direktur Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung; 6. Organisasi Kemahasiswaan di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. KODE ETIK DAN TATA TERTIB MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG MUKADDIMAH Sebagai sebuah perguruan tinggi Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung telah menetapkan tujuan utama pendidikannya yaitu menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan keunggulan akademik dan profesional yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, teknologi dan seni dengan keimanan dan ketaqwaan. Berdasarkan tujuan di atas, maka proses pendidikan yang diterapkan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung tidak hanya menekankan pada aspek transfer of knowledge melalui sistem pendidikan dan pengajaran dosen kepada mahasiswa, tetapi lebih dari itu, pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung berupaya memadukan dan menyeimbangi antara transfer of values (pengalihan nilai-nilai) dan transfer of principles (pengalihan prinsip-prinsip) sebagai suatu kerangka sistem pendidikan yang utuh, dalam membentuk watak, sikap dan karakter mahasiswa yang beridentitas muslim. Dalam kaitan ini, sebagai komunitas ilmiah yang terikat dengan
aturan dan disiplin lingkungannya, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa tersendiri yang sekaligus berfungsi sebagai unsur pembeda dirinya dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Perbedaan itu, paling tidak, tercermin dari penampilan dan perilaku kesehariannya yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah dan nilai-nilai Islamiyah. Oleh karena itu, disusunlah Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai acuan normatif dalam mewujudkan cita-cita di atas. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Kode Etik Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, yang dimaksud dengan: 1. Kode etik adalah tata peraturan yang mengatur sikap, perkataan dan perbuatan mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai kerangka filosofis yang bersifat etis, yang berisi nilainilai luhur tentang sosok dan karaktersitik ideal mahasiswa dalam posisi dan peranannya sebagai seorang muslim, sebagai anggota civitas akademika, maupun sebagai warga negara dan/ atau warga masyarakat. 2. Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah anggota masyarakat yang sedang mengikuti proses pendidikan dan tercatat sebagai mahasiswa di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 3. Rektor adalah pimpinan tertinggi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 4. Pimpinan UIN terdiri dari dari Rektor, Pembantu Rektor, dan Dekan. 5. Dekan adalah pimpinan tertinggi di fakultas. 6. Pimpinan fakultas terdiri dari Dekan, Pembantu Dekan, dan Ketua Jurusan. 7. Ketua Jurusan adalah pimpinan tertinggi pada jurusan yang ada di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 8. Pimpinan Jurusan terdiri dari Ketua jurusan dan Sekretaris Jurusan. 9. Pelanggaran Kode Etik adalah setiap sikap, perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan Kode Etik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang diketahui pada waktu, sedang, atau setelah melakukan berdasarkan laporan atau pengaduan dari keluarga besar khususnya UIN Sunan Gunung Djati Bandung umumnya, serta pihak lain yang dirugikan. 10. Proses pemeriksaan adalah usaha yang dilakukan dalam rangka mencari dan menemukan bukti-bukti, keterangan dan informasi tentang ada atau tidaknya pelangaran Kode Etik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 11. Tindakan disiplin adalah tindakan yang dikenakan kepada Mahasiswa yang terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota satuan pengamanan, dosen dan karyawan terkait. 12. Sanksi adalah suatu konsekuensi dan atau sebagai suatu akibat hukum atas pelanggaran oleh Mahsiswa yang memiliki fungsi agar Kode Etik ditaati. 13. Pembelaan adalah upaya mahasiswa yang dinyatakan telah melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk mengemukakan alasan dan atau bukti-bukti yang meringankan dan atau yang membebaskannya dari sanksi. 14. Rehabilitasi adalah pemulihan hak mahasiswa yang terkena tindakan disiplin atau sanksi. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 1 Maksud Maksud diadakannya Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah untuk: 1. Menegakkan dan menjunjung tinggi perintah agama Islam. 2. Menanamkan sikap dan perilaku akhlaqul karimah dalam
Ci
kehidupan mahasiswa. 3. Memberikan landasan dan arahan kepada para mahasiswa dalam bersikap, berkata dan berbuat selama menjalani studi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pasal 2 Tujuan Tujuan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah: 1. Untuk menjadi pedoman bagi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam berbicara, bersikap, dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai seorang muslim, sebagai anggota civitas akademika, maupun sebagai warga negara dan/ atau warga masyarakat 2. Untuk menjadi pedoman sekaligus frame of reference bagi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam membentuk mental 3. Terpeliharanya muru'ah (harga diri) UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai bagian dari lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 4. Terciptanya situasi yang kondusif bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. 5. Menjadikan lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebagai cendekiawan yang berakhlaqul karimah. BAB III KARAKTERISTIK DAN PERAN MAHASISWA Pasal 1 Karakteristik Karaktersitik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah: 1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. 2. Percaya pada kemampuan diri sendiri 3. Bersifat terbuka dan tanggap terhadap perubahan bagi kemajuan diri dan lingkungannya 4. Senantiasa berorientasi ke masa depan 5. Bersikap objektif, rasional, kritis dalam berpikir, bersikap, dan bertindak 6. Menjaga kehormatan diri dan nama baik almamater 7. Menghargai perbedaan dan santun dalam pergaulan 8. Jujur dalam berbicara, dan adil dalam perbuatan 9. Aktif, kreatif, dan inovatif 10. Memiliki kesadaran bahwa apa yang diperbuatnya akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Rabb al-Jalil Pasal 2 Peran Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki peran: 1. Sebagai cendekiawan muslim yang memiliki tanggung jawab untuk senantiasa mempelajari, mendalami, memelihara, mengembangkan, serta mengamalkan ilmu-ilmu terkait lainnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2. Sebagai agent of changes dan problem solver dalam mewujudkan citacita masyarakat madani melalui internalisasi, insttitusionalisasi, dan fungsionalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam dalam pembangunan masyarakat dan bangsa 3. Sebagai generasi penerus estafeta kepemimpinan bangsa yang memiliki kepedulian dan tanggung jawab moral terhadap terwujudnya masyarakat yang adil, sejahtera, dan bermartabat 4. Sebagai kekuatan moral dan kekuatan kontrol dalam memperjuangkan tegaknya kebenaran, kejujuran, dan keadilan BAB III ETIKA DALAM KEHIDUPAN AKADEMIK Pasa 1 Etika Belajar Sebagai insan akademis, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung senantiasa memilki pandangan dan sikap, bahwa: 1. Belajar merupakan suatu proses ikhtiar sepanjang hayat untuk kemajuan dan kebaikannya di masa depan. 2. Belajar merupakan tugas pokok yang harus diemban dan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT., keluarga, masyarakat dan almamaternya.
3. Ilmu adalah suatu alat untuk mencapai kemajuan yang hanya diperoleh melalui niat yang sungguh-sungguh dan kerja keras. 4. Menghargai bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga yang harus digunakan sebaik-baiknya. 5. Buku adalah mitra dan sahabat dalam belajar. 6. Keberhasilan terhadap pencapaian cita-cita berawal dari keseriusan dan ketekunannya dalam belajar. 7. Kegagalan adalah proses belajar awal menuju sebuah kesuksesan. Pasal 2 Etika Diskusi Sebagai insan akademik yang kritis, objektif, kreatif, inovatif dan dinamis, maka mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam berdiskusi: 1. Aktif dan santun dalam mengemukakan pendapatnya. 2. Senantiasa kritis dan menghargai pendapat orang lain. 3. Menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan pendapat adalah rakhmat dan khazanah dalam mengembangkan dan menguji suatu kebenaran. Pasal 3 Memanfaatkan Fasilitas Dalam memanfaatkan fasilitas kampus, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung akan bersikap dan berlaku: 1. Menjaga kebersihan, kelestarian dan keindahan lingkungan kampus. 2. Menjaga kebersihan, kerapihan dan ketertiban ruang belajar. 3. Menggunakan perpustakaan sebagai sumber pengetahuan dengan mematuhi tata tertib dan peraturan serta persyaratanpersyaratan yang berlaku di perpustakaan. 4. Menggunakan laboratorium sebagai sarana pengembangan ilmu dan peningkatan keahlian dengan mematuhi tata tertib dan peraturan serta persyaratan-persyaratan yang berlaku di laboratorium. 5. Menggunakan aula dan gedung perkantoran kegiatan mahasiswa sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya dengan senantiasa menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan. 6. Menggunakan seluruh fasilitas yang berada pada lingkungan kampus dalam jam 07.00-17.00, termasuk di dalamnya penggunaan seluruh fasilitas gedung dan halamannya, kecuali mesjid untuk kegiatan keagamaan. Untuk penggunaan di luar waktu tersebut diperlukan ijin khusus dari penanggungjawab fasilitas tersebut Pasal 4 Administrasi Akademik Sebagai insan akademis, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam melaksanakan administrasi akademik: 1. Memenuhi kewajiban membayar SPP dan iuran lainnya yang telah ditentukan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung sesuai dengan waktunya. 2. Melaksanakan kuliah tatap muka dan mengumpulkan tugastugas yang diberikan oleh dosen. 3. Mematuhi dan mengumpulkan Kartu Rencana Studi (KRS) yang telah ditentukan oleh fakultas dan/ atau jurusan. 4. Mematuhi dan melaksanakan praktek ibadah, praktek tilawah, praktek profesi/ job training dan atau praktek-praktek lainnya yang telah ditentukan oleh Fakultas/ Jurusan. 5. Melaksanakan seminar usulan penelitian, ujian komprehensif dan ujian munaqasah setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. 6. Menjauhi perbuatan tercela dalam bidang akademik berupa plagiasi karya ilmiah orang lain dan/ atau membuatkan karya ilmiah orang lain. 7. Menghindari dan menjauhi segala bentuk penipuan nilai, tanda tangan, stempel dan lain-lain. 8. Mematuhi dan mengikuti kegiatan TaĂĄruf, Orientasi Studi, program Pra Kuliah dan program-program sejenisnya yang ketentuannya diatur oleh masing-masing penyelenggara. 9. Mengikuti dan melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM). 10. Mengikuti dan mematuhi bimbingan akademik dan atau bimbingan skripsi kepada dosen yang telah ditentukan dengan
Ci
menggunakan buku bimbingan studi. Pasal 5 Kemahasiswaan Sebagai bagian dari unsur penting perguruan tinggi, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam melaksanakan kegiatan kemahasiswaan: 1. Aktif, kreatif dan selektif dalam mengembangkan minat, bakat dan keahliannya melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan yang sudah ada. 2. Senantiasa menjaga nama baik dan kehormatan almamater. 3. Mengedepankan kegiatan yang lebih berorientasi pada kegiatan penalaran ilmiah. 4. Menghindari dan menjauhi kegiatan-kegiatan yang bernuansa kekerasan baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. 5. Mengutamakan nilai-nilai rasional dan objektif ilmiah dengan cara-cara demokratis dalam menyuarakan kebenaran dan/ atau keadilan. BAB IV ETIKA PERGAULAN DAN PENAMPILAN Pasal 1 Pergaulan dengan Sesama Mahasiswa Sebagai insan akademis yang berbudi pekerti luhur, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam menjaga pergaulannya dengan sesama mahasiswa: 1. Bersikap toleran dan menghargai pendapat dan sikap temanya. 2. Menjalin persahabatan dan meningkatkan ukhuwah Islamiyah dengan sesama mahasiswa tanpa mengenal perbedaan ras, suku, etnik dan bahasa. 3. Memahami dan mengerti serta berupaya membantu kesulitan yang dialami temannya. 4. Mengingatkan dan menasehati sikap dan perilaku buruk temannya. 5. Mengajak dan menganjurkan kebaikan kepada sesamanya. 6. Senantiasa berpikir positif (positive thinking) terhadap apa yang dilakukan temannya. 7. Menghindari dan menjauhi ajakan dan perbuatan menyimpang yang dilakukan temannya. 8. Menjaga batas-batas pergaulan antara pria dan wanita sesuai dengan kaidah-kaidah urf dan norma-norma Islam. Pasal 2 Pergaulan dengan Dosen Sebagai insan akademis yang berbudi pekerti luhur, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam menjaga pergaulannya dengan dosen: 1. Menghormati dan selalu bersikap santun dalam berbicara dan bertindak. 2. Menghargai pendapat dan pandangannya walaupun berbeda. 3. Menghargai peran dan posisinya sebagai guru sepanjang hayat. 4. Mematuhi dan mentaati segala bentuk perintahnya selama tidak bertentangan dengan norma dan kaidah agama. BAB V JENIS TINDAKAN DISIPLIN DAN SANKSI Pasal 1 Jenis Tindakan Jenis tindakan disiplin dan sanksi yang dapat diterapkan pada setiap pelanggaran Kode Etik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung terdiri atas: 1. Tidak boleh mengikuti kegiatan akademik (baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler). 2. Tidak berhak mendapatkan pelayanan akademik. 3. Tidak boleh memasuki kantor di lingkungan universitas (berurusan administrasi). Pasal 2 Jenis Sanksi Jenis sanksi yang dapat diterapkan pada setiap pelanggaran Kode Etik mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung terdiri atas: 1. Membayar ganti rugi untuk sebagian atau seluruhnya terhadap akibat yang ditimbulkan dari pelanggaran Kode Etik ini. 2. Larangan mengikuti semua kegiatan yang diadakan oleh UIN Sunan Gunung Djati Bandung untuk jangka waktu tertentu
(skorsing). 3. Diberhentikan (drop out) dengan hormat dari kedudukannya sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 4. Diberhentikan (drop out) dengan tidak hormat dari kedudukannya sebagai mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. BAB VI PELAKSANAAN TINDAKAN DISIPLIN DAN SANKSI Pasal 1 Pelaksanaan Tindakan Disiplin 1. Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dilarang melakukan perbuatan di lingkungan kampus, sebagai berikut: a.Mengganggu proses belajar mengajar dan ketertiban umum b.Melakukan demonstrasi/ unjuk rasa tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada pihak yang berwenang dalam menjaga keamanan kampus (2X24 jam) c.Berpakaian tidak sopan, seperti memakai baju kaos, celana atau baju yang disengaja disobek. d.Memakai sandal atau sepatu bertumit tinggi. e.Mengecat rambut. f.Mahasiswa memakai celana pendek, berambut gondrong, memakai aksesoris seperti kalung, gelang kaki atau gelang tangan dan anting-anting. g.Bertato. h.Mahasiswi mengenakan busana tidak menutup aurat, berpakaian tipis/ jarang, pakaian sempit/ ketat, memakai celana panjang dengan berbagai bentuknya. i.Mahasiswa dan mahasiswi berboncengan sepeda motor layaknya suami isteri atau muhrim. j.Mahasiswa putera dan puteri berkhalwat (berdua-duaan) di suatu tempat yang dikhawatirkan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang oleh agama. k.Melakukan kegiatan dengan mengatasnamakan institusi (UIN, Fakultas, Jurusan) tanpa seizin institusi tersebut. l.Terlambat memasuki ruang kuliah. m.Mahasiswa putra/ putri duduk dalam kelompok lawan jenisnya (bercampur aduk) dalam mengikuti perkuliahan. n.Membuat keributan di dalam maupun di luar ruang kuliah sehingga menggangu proses belajar mengajar yang sedang berlangsung. o.Menjiplak/ menyontek sewaktu ujian. 2. Mahasiswa yang melakukan perbuatan sejalan degan bunyi ayat (1) di atas dikenakan tindakan disiplin sebagaimana yang diatur oleh pasal 13. 3. Pemberian tindakan disiplin dilakukan oleh pimpinan atau anggota satuan pengamanan, dosen atau karyawan terkait. Pasal 2 Perbuatan di Dalam dan di Luar Lingkungan Kampus Setiap mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dilarang melakukan perbuatan sebagaimana disebut di bawah ini, baik di dalam lingkungan kampus maupun di luar lingkungan kampus. 1. Berkata dan berbuat tidak senonoh, seperti mencaci-maki, memberi gelaran yang tidak baik kepada seseorang, dan perbuatan lain yang tidak menyenangkan. 2. Berkelahi 3. Melakukan perusakan 4. Melakukan perjudian 5. Melakukan pencurian 6. Meminum minuman keras 7. Melakukan penipuan 8. Melakukan pemerasan 9. Melakukan zina 10. Membunuh 11. Membawa dan menggunakan senjata tajam atau sejenisnya degan tujuan mengancam jiwa orang lain. 12. Memiliki, membawa, menyimpan, memperdagangkan, menyebarkan atau membuat obat terlarang atau NAPZA (narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainya), baik digunakan untuk diri sendiri atau orang lain di luar tujuan untuk mengobati. 13. Memalsukan sesuatu/ dokumen untuk memperoleh
Ci
keuntungan. 14. Perbuatan-perbuatan pidana lain yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan terbukti dilakukan dengan putusan pengadilan. 15. Berada di tempat-tempat maksiat tanpa tujuan yang dibenarkan oleh agama, etika moral dan keilmuan. Pasal 3 Berkata dan Berbuat Tidak Senonoh Pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 2 (dua) semester. 1. Perbuatan seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun yang disampaikan kepada pimpinan universitas, fakultas maupun jurusan terkait secara tertulis. 2. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (1) akan dilakukan oleh pimpinan UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 4 Berkelahi 1. Pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 1 (satu) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (2) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada pimpinan fakultas maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (2) dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 5 Melakukan Pengrusakan 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (3) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 2 (dua) semester dan atau membayar ganti rugi sesuai dengan nilai kerusakan yang ditimbulkan. 1. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (3) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada pimpinan fakultas maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 2. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (3) dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 6 Melakukan Perjudian 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 1 (satu) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (4) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (4) dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 7 Melakukan Pencurian 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (5) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 4 (empat) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (5) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (5) ini dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 8 Meminum Minuman Keras 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (6) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 2 (dua) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (6) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari
pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (6) ini dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 9 Melakukan Penipuan 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (7) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 2 (dua) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (7) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada pimpinan universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (7) dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 10 Melakukan Pemerasan 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (8) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu 2 (dua) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (8) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (8) dilakukan oleh pimpinan UIN melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 11 Melakukan Zina 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (9) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (4) dan/ atau ayat (5). 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (9) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada pimpinan universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (9) dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 12 Membunuh 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (10) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (4). 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (10) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (10) ini dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 13 Membawa dan Menggunakan Senjata Tajam atau Sejenisnya dengan Tujuan Mengancam Jiwa Orang Lain 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (11) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu maksimal 2 (dua) semester. 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (11) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. 3. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (11) dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 14 Memiliki, Membawa, Menyimpan, Memperdagangkan, Menyebarkan atau Membuat Obat Terlarang atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya), Baik Digunakan untuk Diri Sendiri atau Orang Lain di Luar Tujuan untuk Pengobatan 1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (12) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (4). 2. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (12) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari
Ci
3.
1. 2.
3.
1. 2.
3.
1. 2.
3.
pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (12) ini dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 15 Memalsukan Sesuatu/ Dokumen untuk Memperoleh Keuntungan Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (13) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu maksimal 3 (tiga) semester. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (13) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (13) dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 16 Perbuatan-Perbuatan Pidana Lain yang Dilarang oleh Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia dan Terbukti Dilakukan dengan Putusan Pengadilan Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (14) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (2) maksimal selama jangka waktu maksimal 3 (tiga) semester. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (14) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas, maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (14) ini dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan. Pasal 17 Berada di Tempat-tempat Maksiat Tanpa Tujuan yang Dibenarkan oleh Agama, Etika Moral dan Keilmuan Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 16 ayat (15) dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 14 ayat (4) maksimal selama jangka waktu paling lama 2 (dua) semester. Perbuatan seperti yang dimaksud pasal 16 ayat (15) akan ditangani apabila terdapat laporan dan atau pengaduan dari pihak manapun kepada universitas, fakultas maupun kepada pimpinan jurusan terkait secara tertulis. Pemberian sanksi atas ketentuan pasal 16 ayat (15) dilakukan oleh pimpinan Universitas melalui penerbitan Surat Keputusan.
BAB VII PEMBELAAN Pasal 1 1. Mahasiswa yang diduga melanggar Kode etik ini dapat mangajukan pembelaan dengan alasan-alasan dan saksi-saksi yang meringankan atau membebaskan pelanggar dari sanksi.
2. Dalam pembelaannya mahasiswa dapat meminta bantuan hukum dari pihak manapun dan/ atau pembelaaan dari organisasi kemahasiswaan intra kampus.
1. 2. 3.
4.
BAB VIII KEBERATAN Pasal 1 Mahasiswa yang terkena sanksi seperti yang diatur dalam pasal 14 ayat (1), (2), (3) dan (4), dapat mengajukan keberatan kepada pimpinan universitas. Keberatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diajukan secara tertulis oleh mahasiswa yang bersangkutan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya surat keputusan. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak merima keberatan dari pihak mahasiswa yang bersangkutan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) di atas, Dekan terkait dan/ atau Rektor memberikan jawaban kepada mahasiswa yang bersangkutan. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam ayat (3) tidak memperoleh jawaban dari Dekan terkait atau Rektor, maka pengajuan keberatan dianggap dikabulkan.
BAB IX REHABILITASI Pasal 1 1. Setelah menjalani sanksi dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan (2), mahasiswa yang bersangkutan dapat direhabilitasi. 2. Rahabilitasi diberikan oleh pimpinan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. BAB X PENUTUP Pasal 1 1. Kode Etik Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung diberlakukan setelah ditetapkannya keputusan ini. 2. Dengan diberlakukannya Surat Keputusan ini, maka semua ketentuan yang berkenaan dengan pedoman sikap, perilaku dan perbuatan atau kode etik mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung sebelumnya yang bertentangan dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa ini, dinyatakan tidak berlaku lagi. Ditetapkan di : Bandung Tanggal : 09 April 2012 Rektor, Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH., M.H. NIP. 19570705 198703 1 004
Ci