Akar Edisi 5 (April 2015)

Page 1


PRAKATA

Selamat berjumpa kembali! Tidak terasa lebih dari satu tahun lamanya kami tidak terbit memuaskan gairah membaca rekan-rekan sekalian. Oleh karena itu, saya mewakili redaksi memohon maaf yang sebesar-besarnya karena hilang tiba-tiba dari peredaran. Percayalah, kami sangat ingin untuk tetap terbit selama lebih dari satu tahun ke belakang ini, namun terlalu banyak halang rintang yang menghambat pengerjaan konten hingga membuat kami gagal terbit. Lalu, sampailah kita ke edisi ini, edisi ke-5. Sayangnya edisi ini merupakan edisi terakhir yang akan dipersembahkan oleh redaksi berformasi Yasser, Faradha, Okti, Waskitha, Nugi, Dwas, dan Gumai. Edisi ini adalah edisi perpisahan oleh kami yang akan meninggalkan dunia kampus sebentar lagi. Tapi jangan takut, meskipun kami sudah tidak menjadi redaksi selepas edisi ini, majalah AKAR akan terus berlanjut dengan formasi redaksi yang baru. Percayalah kalau perpisahan ini hanya Sementara. Buah Jiwa Bersalin Rupa akan tetap ada memuaskan dahaga setiap insan yang mencintai literasi dan seni visual di lingkungan kampus Universitas Indonesia.

SENARAI Aforisme………………1 Ulas………………4 Teroka………………7 Matra………………14 Pardika………………15 Plot………………17 Pukau………………21

B U AH J I W A B ERS AL I N RU P A

Pemimpin Redaksi Yasser Mandela Editor Faradha Layouting Nugi Wicaksono Ilustrasi Okti P. Zakaria Dwas Syahbanu Multimedia Waskitha W. Galih Dwas Syahbanu Gumai Akasiwi

Salam Jati Diri, Bumi, Nol, Cokelat dan Sementara. Gambar sampul: Janu Prasetya © 2015 Majalah AKAR.


?

aforisme

KEMATIAN ADALAH PINTU

YASSER MANDELA

Bicara tentang kematian bagi saya entah mengapa selalu menarik. Sebab setiap dari kita pastilah bertemu dengan sang ajal, dan bukankah lebih baik mengetahui tentang akhir dari hidup daripada tidak mengetahui sama sekali? Maka mari kita mengenal kematian. Setidaknya tentang gambaran besar dari kematian itu sendiri, apakah kematian adalah akhir dari segalanya? Ataukah kematian hanyalah pintu menuju kehidupan selanjutnya? *

*

*

Kematian dan kepercayaan adalah dua hal yang seakan tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Sebab orang yang telah mati itu sendiri tidak pernah dapat bercerita kepada kita yang masih hidup, dan jadilah kita menganut ‘satu’, ‘beberapa’, atau ‘tidak sama sekali’ kepercayaan tentang kematian. Tentang apakah kematian adalah akhir dari segalanya? Jika tidak, lalu apa yang terjadi setelah kita mati? Dan seterusnya, dan seterusnya. Mungkin bagi mereka yang ateis––maafkan jika saya salah, kehidupan pascamati tidaklah ada dan kita hidup memang hanya di dunia

ini. Benarkah begitu? Untuk mengkajinya lebih dalam, ada baiknya kita belajar dari kepercayaan ataupun agama-agama yang ada di dunia ini sejak dahulu kala. *

*

*

Kebudayaan Yunani Kuno mempunyai dewa bernama Hades, yang memiliki kekuasaan di dunia kematian. Dalam mitologi Yunani, mereka percaya kalau orang yang telah mati di dunia akan masuk ke dalam dunia kematian, dimana didalamnya terdapat tempat untuk masing-masing orang sesuai dengan perbuatannya di dunia.

Kematian dan kepercayaan adalah dua hal yang seakan tidak dapat dipisahkan. Fields of Asphodel, tempat untuk arwah biasa, yang tidak melakukan kejahatan besar selama hidupnya, namun juga tidak melakukan kebai-

april 2015 akar. 1


AFORISME kan besar di masa hidupnya. Fields of Punishment, tempat penghukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan besar di masa hidupnya. Tentunya terdapat juga Elysium, tempat mereka yang telah melakukan kebaikan-kebaikan besar semasa hidup. Keberadaan dunia kematian ini telah membuktikan kalau kebudayaan Yunani Kuno percaya akan kehidupan setelah mati, percaya kalau manusia hidup di dunia ini untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal setelah mati. Seperti dalam kebudayaan Yunani Kuno, Islam dan Katolik juga percaya kalau apa yang kita dapatkan di kehidupan selanjutnya sebanding dengan apa yang kita lakukan di dunia. Perbedaan paling signifikan adalah pada Islam dikenal fase alam barzah, atau alam kematian sebelum sampai ke hari kiamat dan kemudian hari penghitungan, sedangkan dalam Katolik dikenal suatu fase bernama purgatory, sebagai tempat bagi mereka yang ditakdirkan untuk masuk surga mengalami penyucian sebelum sampai ke surga. Kedua agama ini juga sama-sama mempercayai surga dan neraka yang merupakan tempat terakhir bagi setiap orang yang telah mati.

...apakah kematian akhir dari segalanya? Ataukah kematian hanyalah pintu menuju kehidupan selanjutnya?

2 akar. april 2015

Jika beberapa kepercayaan yang telah disebutkan tersebut percaya akan keberadaan surga dan neraka, lain halnya dengan Hindu dan Buddha. Agama Hindu memercayai apa yang disebut dengan “reinkarnasi�, dimana setiap atman (jiwa) terperangkap dalam sebuah lingkaran kematian dan hidup kembali atau yang disebut samsara. Bagi mereka, samsara merupakan suatu proses yang tidak menyenangkan karena hidup di dunia mereka anggap sebagai satu penderitaan dan mereka mengejar apa yang disebut dengan moksha, yang berarti pembebasan dari lingkaran reinkarnasi tak berujung dan bergabung dengan kosmik Brahma. Sementara itu, agama Buddha juga memercayai lingkaran reinkarnasi seperti Hindu, namun Buddha memercayai kalau apa yang membuat reinkarnasi itu terus terjadi adalah desire/nafsu, yang dalam hal ini nafsu untuk memperoleh sesuatu di dunia. Buddha memercayai kalau untuk keluar dari lingkaran reinkarnasi adalah dengan membebaskan diri dari reinkarnasi dan mencapai apa yang disebut dengan Nirvana. *

*

*

Itu adalah penjelasan mengenai kematian dan kehidupan setelah mati dalam beberapa kepercayaan. Mungkin apa yang saya jabarkan tidaklah terlalu jelas atau mungkin juga yang saya jelaskan mengenai konsep kematian di beberapa kepercayaan tersebut ternyata salah. Bila begitu, maafkanlah saya yang lancang, dan tentunya kritik akan sangat membantu.


AFORISME Namun demikian, itu tidak akan mengubah esensi dari pertanyaan apa yang sebetulnya ingin saya capai lewat tulisan ini; apa yang Anda percayai tentang kematian dan kehidupan setelah kematian? Apakah Anda bagian dari mereka yang percaya kalau kematian adalah akhir segalanya? Ataukah Anda bagian dari mereka yang meyakini ada kehidupan lain setelah mati? * * * Karena manusia biasa hanya bisa menerka apakah kehidupan ini abadi ataukah hanya sementara. •••

april 2015 akar. 3


ulas

ROCKET RAIN (2013) Sutradara Produser Penulis Pemeran Negara

C

WASKITHA W. GALIH

ulapo (Anggun Priambodo) seorang seniman video yang sedang menggarap proyek terbarunya dikunjungi oleh seorang teman, Jansen (Tumpal Tampubolon), yang sudah lama tidak menghubunginya. Pertemuan terakhir mereka adalah di pernikahan Jansen yang beradat Batak. Kini, Culapo bertemu Jansen saat Jansen sedang mengalami masalah pernikahan dan sedang mempertimbangkan perceraian. Culapo menawarkan Jansen untuk tinggal bersamanya selama ia mengerjakan proyek videonya. Jansen setuju dan sesekali membantu Culapo dalam mengerjakan proyek videonya itu. Pada waktu-waktu senggang, terjadi dialogdialog yang jujur di antara merekamengenai berbagai hal, terutama pernikahan, keluarga, dan perceraian. Sehari-hari, mereka ditemani oleh Pak Kancil (Narpati Awangga/”oomleo”), sopir

4 akar. april 2015

: Anggun Priambodo : Meiske Taurisia (BABIBUTAFILM) : Tumpal Tampubolon : Anggun Priambodo, Tumpal Tampubolon, Rain Chudori, Narpati “oomleo” Arwangga. : Indonesia

travel mereka yang sedang berbahagia dengan istri bulenya. Pak Kancil yang percaya mistis dan berlibido tinggi —yang salah satunya bisa dilihat sebagai antitesis kondisi Jansen dan Culapo. Di tengah cerita, mereka juga bertemu dengan Rain (Rain Chudori), sosok karakter bak ‘peri’ yang membawa keceriaan —dan juga keabsurdan dalam cerita 10 hari Culapo dan Jansen bersama. Rocket Rain adalah film panjang pertama dari sutradara Anggun Priambodo. Anggun sebelumnya dikenal sebagai seorang seniman visual, terutama video-video klipnya yang ia buat bersama Jadugar. Di tahun 2003, Anggun bersama Jadugar pernah meraih penghargaan ‘Best Director’ di ajang Indonesia MTV Music Awards untuk video musik LAIN – ‘Train Song’. Naskah film ini ditulis oleh Tumpal Tampubolon yang baru saja menjadi Penulis Skenario Asli Terbaik di FFI 2014 untuk film Tabula Rasa. Rocket Rain diproduseri oleh Meiske Tau-


ULAS

risia di bawah bendera rumah produksi BABIBUTAFILM, sebuah rumah produksi yang identik dengan film-film arthouse independen, seperti Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), Kebun Binatang (2012), Someone’s Wife in The Boat of Someone’s Husband (2013) dan lainlain. Di film ini, BABIBUTAFILM juga bekerja sama dengan rumah produksi BUTTONIJO. Rocket Rain banyak berbicara tentang dinamika pernikahan, termasuk keluarga, perceraian, dan tentu saja, seks, dari sudut pandang pria —terutama pengalaman pribadi Anggun. Terdapat beberapa dialog yang berusaha mendekonstruksi posisi pernikahan dalam hubungan manusia, terutama manusia Indonesia. Misalnya, bagaimana pernikahan di Indonesia disikapi sebagai sebuah alat pemersatu bagi dua keluarga. Seorang Indonesia yang menikah, ia tidak hanya menikahi orang yang ia cintai saja, tetapi lebih luas lagi, pernikahannya berarti bersatunya keluarga dari kedua mempelai. Ini yang membuat segala keputusan dalam pernikahan menjadi lebih rumit karena melibatkan keluarga besar, termasuk —dan terutama, keputusan untuk bercerai. Terdapat pula bahasan yang lebih pribadi dalam film ini. Misalnya, karakter Culapo yang bercerita mengenai perpisahannya dengan sang istri, ketidaksiapannya menjadi seorang suami sekaligus seorang ayah. Atau keluh kesah Jans-

april 2015 akar. 5


ULAS en yang sedang resah dengan rumah tangganya yang tengah di ambang kehancuran. Sebagai seorang suami, ia bingung bagaimana mewujudkan keluarga yang mapan dan memenuhi harapan keluarganya. Apabila meninjau kembali tema besar Rocket Rain,tema dinamika pernikahan ini memiliki kerentanan untuk terjebak dalam eksekusi sinematik yang banal dan dibalut dengan melodrama. Tetapi, Anggun dan Rocket Rain lebih memilih pendekatan yang realis melalui dialogdialog panjang dan berbagai komposisi gambar yang realis. Uniknya, pendekatan realisme dalam film ini dipadukan dengan berbagai sekuens surealis yang apabila dilihat sebagai sebuah kesatuan, akan nampak dan terasa seperti sekuens-sekuens yang absurd. Cara terbaik untuk menikmati perpaduan antara sekuens surealisabsurdis dan dialog-gambar realis dalam Rocket Rain adalah dengan melihat masing-masing rangkaian sekuens dalam film sebagai rangkaian gagasan atau pemikiran, bukan sebagai runtutan kejadian atau peristiwa, yang dalam film-film arus utama disebut sebagai plot. Menonton Rocket Rain adalah pengalaman sinematik yang baru dan unik—terutama dalam skena perfilman Indonesia. Sebuah film penting dengan cerita yang seakan tidak bergerak dan sementara, namun sesungguhnya mengalir ke berbagai sisi, mengeksploitasi tema besarnya dengan pendekatan yang tidak dibesar-besarkan. Sebuah film yang mungkin hanya seorang Anggun Priambodo yang bisa menyajikannya dengan pendekatan yang demikian. •••

6 akar. april 2015


teroka

GUMAI AKASIWI

Gambar: http://favim.com/orig/201104/15/Favim.com-18624.jpg

IA YANG MATI DI MINGGU PAGI, HUJAN* OKTI P. ZAKARIA

“…Apa kau percaya Tuhan?”

“Ada kalanya ya, ada kalanya tidak. Tapi bahkan ketika aku percaya, aku masih sedikit ragu. Gampang bagimu untuk percaya pada Tuhan karena kau mempunyai kehidupan yang gampang. Ceritanya berbeda untukku.”**

april 2015 akar. 7


TEROKA Pria berwajah tampan, namun berpakaian lusuh dan tampak pucat itu berjalan menyusuri salah satu jalan terlengang dikotanya. Saat ini pukul setengah empat pagi, hari Minggu di bulan Desember. Suhu udara cukup rendah untuk membuat tubuh pria yang sudah dua hari tidak mengisi lambungnya dengan apapun itu menggigil kedinginan. Ia merapatkan kemeja hitamnya, memeluk dirinya sendiri, sambil menggosokgosokkan telapak tangan ke sikunya. Pria itu sekarat, dalam arti kiasan dan sebenarnya, setiap hari. Tanpa anak, isteri, dan keluarga. Ia kehilangan pekerjaan dua bulan lalu, divonis menderita penyakit mematikan yang hanya menyisakan beberapa bulan hidup untuknya, dan diusir oleh pemilik dari kamar yang disewanya. Semua fakta itu yang membuatnya berakhir di jalanan kota ini sendirian, setelah seluruh sisa uang hasil ia mengumpulkan barang bekas hari ini diambil orang tidak dikenal yang menodongkan pisau ke lehernya. Tik. Satu tetes air jatuh tepat di atas kelopak mata pria itu, membuat matanya yang terlampau lelah agak terusik. Tik. Satu tetes air lagi jatuh, kali ini menenai ibu jarinya. Hujan? Oh tidak. Tidak sekarang. Batinnya khawatir. Ia benci hujan, apalagi dalam kondisinya saat ini. Tapi sialnya, bahkan sebelum ia sempat menyelesaikan protes dalam benaknya, ratusan, ribuan, mungkin jutaan tetes air berikutnya dengan cepat menyergap kota, tak terkecuali

8 akar. april 2015

tubuhnya yang hanya berbobot seratus delapan pon dengan tinggi enam kaki. Dalam hitungan detik, tubuhnya basah total, membuat giginya bergemeretak makin keras. Mungkin Tuhan ingin aku mati di bawah hujanNya ini, mungkin, kalau Ia benar-benar ada. Pria itu menyimpulkan dalam hati, matanya memandang lurus ke langit. Tiga puluh menit, akhirnya tubuhnya ambruk, nyaris kehilangan kesadaran. Dari kejauhan seorang anak berusia sepuluh tahun berpayung hitam berlari-lari kecil ke arahnya, anak itu gelandangan di pasar tidak jauh dari tempat pria itu berada sekarang. Ia membawa sekotak makanan yang baru saja ia temukan di depan rumah makan Cina, ia belum makan apapun sejak kemarin siang. Tak sabar ingin menyantap makanan itu segera. Ia berhenti sejenak di trotoar, kehabisan napas. Tepat saat ia hampir melanjutkan langkahnya ia mendengar pria itu merintih pelan. Ia penasaran, berjalan mendekat dan mendengar pria itu menggigil kedinginan. Anak kecil itu mengguncang pelan bahu si pria, memastikan ia masih hidup, mengangsurkan payungnya dan kotak makanan temuannya pada pria itu. “Untukmu,” ujar bocah itu cepat. Si pria hanya menatap tidak percaya pada anak kecil di hadapannya. Ia tahu anak itu gelandangan di pasar, yang tempo hari pernah ia marahi karena mengajaknya bermain saat ia sedang berusaha mencari sedikit uang untuk makan siang. “Ka…kau yakin? Bagaimana denganmu?” Anak itu tersenyum kecil. “Ayahku bilang, aku harus menolong


TEROKA orang yang membutuhkan bantuanku sebelum memikirkan diriku sendiri,” anak itu mengencangkan tali sepatunya dan bersiap berlari menerjang hujan sebelum pria itu akhirnya berkata. “Terima kasih, nak. Bisakah kau sampaikan salamku pada ayahmu?” Mendengar katakata pria itu, si anak tersenyum sekali lagi dan menjawab sambil berlari ke arah pasar. “Maaf paman, tapi sebaiknya kau minta tolong pada Tuhan untuk itu. Ayahku bersamanya sekarang.” Pria itu sekali lagi mengarahkan pandangannya ke langit, tapi kali ini ada seulas senyum di wajahnya. Selagi ia menyantap makanannya penuh rasa syukur, hujan perlahan mereda dan akhirnya berhenti seluruhnya, berganti sinar mentari pagi yang nampak malu-malu keluar dari horison. Hujan hanyalah bagian dari siklus air. Air yang memuja mentari dan dibawanya menguap ke angkasa, terbuai dalam gumpalan awan putih yang indah, lalu melebur menjadi titik-titik air hanya untuk kembali ke tempat asalnya di bumi, dan mengulangi semuanya lagi tanpa merasa lelah atau bosan. Ia ada, mencinta, dan hancur karenanya, hanya untuk terlahir kembali. Karenanya, pada akhirnya semua hanyalah kesementaraan yang akan bertransformasi dan tak ada yang abadi. Karenanya, pada akhirnya hujan pasti berhenti. Pria itu memandang ke langit sekali lagi sambil tersenyum. Ada perubahan besar yang terjadi di sana. Pria itu tidak lagi sendiri.••• *) Hujan /hu·jan/ n 1 titik-titik air yg berjatuhan dr udara krn proses pendinginan; 2 ki yg datang dsb banyakbanyak. (KBBI). **) John Grisham, The Confession, terjemahan cet. kedua (Jakarta: Gramedia, 2014), hlm. 21

april 2015 akar. 9


TEROKA

TISU SENYAMPANG GUMAI AKASIWI

Gambar: http://www.conceptart.org/forums/showthread.php/166814-magicnmyth-s-sketchbook”

10 akar. april 2015


TEROKA

Maaf telah membangunkan tidur lelahmu Tisu Sudahlah jangan sendu, pasir itu kan sudah berlabuh Tidak ada lagi yang ditunggu Tisu Pasir tidak habis, dia masih ada, tapi sudah berhenti Tisu semua itu masalah waktu Kesucian kau tak kurenggut jika benar kasih yang kuungkap Kau pula hanya bisu saat aku samakan kau dengan mawar Padahal dia tumbuhan yang bisa diapakan saja Lantas ketika aku diperkosa filantropi Sontak aku tersadar ku diterkam nelangsa Tisu Saat aku tatap wadah dua setengah oval itu, isinya ikut habis Sama habis dengan hasrat yang kumiliki Tisu waktunya aku pergi Tenang saja Aku akan merindu jemari kau yang bermain bertempo lagu Aku akan merindu pintu yang kau buka ketika aku kelabu Tenang saja Akan ada kau yang lain diluar situ entah itu kain, karet, atau batu Kemudian aku ingat sering memanggil kau tisu Yang kupakai dan kubuang setelah tertuju kemauanku Atau tolong putar balikkan lagi wadah itu Nanti kau tidak kupanggil lagi tisu •••

april 2015 akar. 11


TEROKA

TOILET

(SUATU ESAI RENUNGAN) NUGI WICAKSONO

K

orelasi antara ‘hal-hal yang sementara’ dan kemampuan saya menangkap fenomena visual untuk selanjutnya diabstraksikan itu––kali ini–– susah-susah gampang. Lebih pelik ketika sudah banyak-banyak bulan terlewati tanpa menghasilkan tulisan––kecuali tugas kuliah hehehe. Seringkali saya bilang ke Pemred bahwa inspirasi menulis saya sudah tidak terasa lagi; jiwa dan nalar sedang tumpul-tumpulnya. Gak bisa gila. Rasanya bukan diri saya lagi. Ibarat berkelana jauh dari rumah, lalu kembali dalam wujud seorang banci. Lalu bingung di depan dua pintu toilet, lupa mau masuk ke mana. Lupa diri.

12 akar. april 2015

Padahal masuk ke toilet toh tidak untuk selamanya. Meski kadang terasa seperti selamanya. Barangkali gambar di atas hanya ingin mengingatkan kalau kita sering sekali singgah di ruangan itu; meski cuma sebentar. Sekedar kencing, berak, cuci tangan, atau membetulkan pakaian. Mungkin sering juga kita singgah hanya untuk bersolek. Sisanya saya serahkan kepada pembaca sekalian tentang apa yang bisa (dan tidak bisa) dilakukan di dalam ruangan itu. Umumnya toilet punya cermin. Lalu kita


TEROKA bersolek menggunakan cermin. Kira-kira yang kita tanyakan di depan cermin; kira-kira begini sudah menarik kah? Apa kerah ini sudah sejajar? Apa saya kelihatan gugup? Kenapa ini rambut gak mau rapi? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? (Beneran, mungkin pertanyaan tentang filsafat keberadaan manusia bisa terlontar di depan cermin.) Atau yang muncul tidak berupa pertanyaan, namun pikiran-pikiran yang hanya lewat selintas, tentang apa yang akan kita lakukan, sedang kita lakukan, yang telah kita lakukan. Kita melihat diri kita sendiri di depan cermin sambil memikirkan hal-hal semacam itu (atau saya terlampau baper*?). Tempo hari saya bertemu teman lama di toilet sebuah mal. Pertemuan itu sangat kikuk; kami berdua tidak menyangka akan saling bertemu, alih-alih di tempat buang hadas. Setelah sempat sedikit basa-basi, kami kembali dengan urusan masing-masing. Saya mafhum kali ini kalau toilet pada dasarnya hanya ruangan biasa. Tidak perlu ada kultus tertentu. Paling-paling yang perlu diingat adalah suatu ruangan hendaknya dijaga kebersihannya, tidak lebih. Tak perlu bilang toilet itu tempat jin berkumpul–– kecuali kalau kita senang punya pikiran demikian. Pokok utama tulisan ini hanya satu; kita singgah ke toilet untuk membersihkan diri, atau dalam pengertian yang seluas-luasnya, bersalin rupa. Selanjutnya kembali dengan urusan masing-masing. Se-sederhana itu. Misal sebuah perjalanan, kita harus singgah sebentar untuk istirahat, bersalin rupa menuju keadaan yang lebih memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.

Yaitulah yang tadi kerap disinggung; urusan kita masing-masing, sebuah perjalanan. Mau-tidak mau, suka atau tidak suka, percaya-tidak percaya, dengan tulisan yang muter-muter ini, saya ingin sampaikan kalau tulisan ini––yang gayanya nampak seperti tulisan Pemred di setiap awal edisi––adalah untuk merayakan hal yang demikian. Merayakan persinggahan. Merayakan hal-hal yang sementara. Terakhir, saya ingin sempitkan hidup menjadi urusan-urusan yang kita hadapi seharihari. Urusan-urusan itu terbingkai bagai suatu perjalanan, hingga pada akhirnya kita mengambil kesimpulan kalau hidup ini merupakan suatu perjalanan. Namun anehnya perjalanan ini dimulai dan diakhiri bukan atas kehendak masingmasing. Kita mengawali hidup bukan atas kemauan sendiri, mengakhirinya pada suatu saat yang tidak pasti. Mungkin berakhir pada detik selanjutnya, hari selanjutnya, bulan, tahun selanjutnya ––atau mungkin sudah berakhir jauh lama sebelum sekarang. Namun di antara awal dan akhir yang tidak ketahuan itulah, kita bisa berkehendak untuk singgah sementara, lalu melanjutkan urusan kita kembali. ••• *) baper = bawa perasaan.

april 2015 akar. 13


matra

“Biarkan pergi untuk kembali.� Gambar: Okti P. Zakaria pastel on A4 paper

Gambar: Dwas Syahbanu acrylic on canvas, 40x60 cm

14 akar. april 2015


pardika

BERIBU TEPI FARADHA

Ia ciptakan segala berputar Sejarah berulang Maka jangan pelajaran kau buang Ia ciptakan segala berputar Hidup mati berganti Maka jangan perjuangan kau henti Ia ciptakan segala berputar Siang malam menghampiri Maka jangan tiap detik tak kau indahi Ia Mahabijaksana Sebab Ia berikan segala singkat adanya Ia tak ingin kita bingung akan masa selanjutnya Ia tak ingin kita khawatir dapat jadi apa Ia tak ingin kita bosan selalu begini saja Aku mengilhami ini sebagai bentuk kasihNya Diberikannya kepada kita sebuah persimpangan Untuk melangkah dengan garis ‘mulai’ yang baru Agar kita miliki tujuan Agar kita tahu kapan harus berhenti Agar kita dapat merasakan lagi bagaimana mengawali Segala bukanlah untuk mengakhiri Tapi hanya tepi Ia beri beribu tepi •••

april 2015 akar. 15


PARDIKA

BARET MERAH YASSER MANDELA

Ucap janji terus mengalir dari bibirmu malam tadi. Senyumanmu merekah seiring mendaratnya kecup di keningku. Andai aku bisa percaya kepadamu, pastilah gundah gulana tak akan mengepak bagai kupu yang hinggap dalam perut kecilku. Aku tahu dan selalu tahu, kecupmu adalah pertanda akan pergi yang tak hingga. Pergi yang tak kembali. Janji; Janji; Janji. Kau ucap ‘sementara’ bagai kata sakti penebus dosa di depan tangis ibu yang mengalir jatuh di loreng patriot kebanggaanmu. Kau hembus nafas panjang pertanda lega akan keikhlasannya melepas pergimu. Tapi aku masih di sini, berdiri setinggi sabuk hitammu : meringis tak berbisik. Aku masih di sini, menunduk ke arah bot hitam enambelas lubangmu. Aku masih di sini, membayangkan hari-hari cerah di dunia fantasi. Aku masih di sini, mengenggam jemari ibu yang bertransformasi menjadi kepala keluarga ini. Ya, aku masih disini, bergetar kecil tak terlihat di bawah kelopak matamu. Pergilah jika memang harus. Andai bung besar masih hidup, pastilah dia bangga akan dustamu hari ini. Pergilah jika memang harus. Andai jendral setengah paru masih hidup, pastilah dia mendapukmu menjadi mata bilah pisau. Pergilah jika memang harus. Andai londo-londo Wilhelmina masih hidup, pastilah mereka menggigil melihat kehadiranmu. Maka ayahku, pergilah jika memang harus. •••

16 akar. april 2015


plot

MONGGO PINARAK WASKITHA W. GALIH

Dipun sami ambanting sariranira Cêgah dhahar lan guling Darapon sudaa Nêpsu kang ngômbra-ômbra Rêrêma ing tyasirèki Dadi sabarang Karsanira lêstari

(Tembang Macapat “Durma”)

“Biasakanlah melatih dirimu untuk prihatin dengan mengurangi makan dan tidur agar berkurang nafsu yang menggelora, heningkan hatimu hingga tercapai yang kau inginkan.”

Matahari sudah turun setengah.

Beberapa petani di sawah membereskan peralatan mereka. Mengenakan caping, memikul cangkul dan membawa rantang-rantang bekal makanan, mereka beramai-ramai kembali ke desa, ke rumah masing-masing. Setelah seharian bertani di siang yang panas terik, mereka berjalan kembali ke rumah dengan suka cita. Beberapa dari mereka terlibat obrolan hangat. Panen raya semakin mendekat. Melihat kondisi sawah yang sekarang; hama tidak begitu banyak, air irigasinya cukup, hujan juga jarang-jarang, besar kemungkinan panen musim tanam kali ini hasilnya akan memuaskan.

Di desa, Sapto membersihkan meja-meja di warungnya. Bapak dan keenam kakak lakilakinya akan datang dari sawah sebentar lagi. Sapto, si bungsu, baru pulang dari kota. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan D3 manajemennya. Sapto merupakan warga desa yang kedua setelah Pak Priyo, kepala desanya, yang memiliki ijazah tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari Sekolah Menengah Atas. Semenjak ia pulang seminggu yang lalu, bapaknya tidak memperbolehkannya untuk ikut bertani di sawah. Bapaknya bilang lebih baik Sapto menyiapkan lamaran kerjanya saja. Lagipula, Sapto memang tidak pernah menikmati bertani di sawah. Ia

april 2015 akar. 17


PLOT: MONGGO PINARAK lebih suka membantu Mboknya di warung. Makanya, ia berusaha keras mendapatkan beasiswa untuk sekolah di kota agar tidak terjebak bertani di desa untuk selamanya. Meja terakhir sudah selesai ia bersihkan ketika tepat di depan warungnya berhenti dua buah mobil berwarna hitam. Ia memperhatikan plat mobil-mobil itu. Satu merah dan satu hijau. Ia menghitung, tujuh orang turun dari dua mobil itu. Dua orang berpakaian rapi; satu pria dan satu wanita, satu orang tambun memakai batik lengan panjang, dua orang berseragam safari pegawai negeri sipil (PNS), satu orang berseragam hijau tentara, dan satu orang berseragam polisi.

Sapto merupakan warga desa yang kedua setelah Pak Priyo, kepala desanya, yang memiliki ijazah pendidikan yang lebih tinggi dari Sekolah Menengah atas. Beberapa saat kemudian, ada seorang pria mengendarai sepeda motor juga berhenti. Ternyata orang itu adalah Pak Priyo, sang kepala desa. Pak Priyo menyalami satu persatu ketujuh orang itu. Dibanding tubuh orang-orang itu yang tinggi dan besar—kecuali seorang wanita, Pak Priyo nampak ringkih dan kecil. Sapto tersenyum melihatnya. Setelah selesai menyalami orang-orang itu, Pak Priyo mengajak mereka untuk masuk ke warung Sapto.

18 akar. april 2015

“Sapto, ini ada tamu dari kota mau makan. Mbokmu ada?” tanya Pak Priyo sambil berjalan masuk ke dalam warung. Para tamu itu tanpa sungkan langsung menghampiri etalase berisi makanan-makanan yang ada, melihat-lihat dan menimbang apa yang akan mereka makan. “Monggo pinarak,” sambut Sapto, sedikit gugup, kemudian meminta izin untuk memanggil Mboknya di dalam. Sapto masuk ke dalam rumah, sedikit berjingkat masuk ke kamar Mboknya, supaya Mboknya tidak terkejut. Mboknya telah renta, mengejutkannya bukan suatu hal yang baik bagi kesehatannya. Ternyata, Mboknya sedang tidur pulas. “Mbok…Mbok…punika, wonten tamu badhe dhahar,” Sapto berusaha selembut mungkin membangunkan Mboknya. Si Mbok perlahan membuka matanya, bangkit dari ranjang dan dengan dituntun oleh Sapto berjalan ke ruang depan. Si Mbok duduk di sebuah kursi, tersenyum pada para tamunya. Memang, Si Mbok tidak selalu menyajikan sendiri makanan pada tamu-tamunya, seperti kali ini, Sapto yang menyajikan. Tetapi, Si Mbok harus selalu hadir menemani setiap ada tamu yang makan di warungnya. Meskipun itu hanya bocah-bocah yang makan selepas mengaji di langgar. Meskipun Si Mbok tidak berbicara sepatah kata apapun. Kehadiran fisiknya adalah yang terpenting. Sapto yang sibuk melayani para tamu, sedikit kewalahan. Mereka makan dengan porsi yang sangat banyak, kecuali tamu yang seorang wanita. Pak Priyo juga makan dengan porsi yang lebih banyak daripada ia biasanya makan di situ. Mungkin karena sudah yakin makanannya kali


PLOT: MONGGO PINARAK ini akan ditraktir para tamu dari kota itu. Setelah semua tamu mendapatkan pesanannya dan sekaligus minumannya, Sapto menemani Mboknya duduk, mengamati para tamunya makan. “Jadi, Pak Priyo, setelah ini kami langsung peninjauan saja ke lahan sawah yang nanti akan jadi tapak pabrik,” kata pria berkemeja rapi. “Sejauh ini ‘kan yang masih belum bebas itu lahan sawah 180 hektar,termasuk 80 hektar lahan bengkok desa. Nanti didata saja, Pak Priyo, milik siapa saja itu lahannya, nanti serahkan pada kami untuk dibicarakan kesepakatannya. Lahan ini penting, Pak Priyo. Nantinya lahan ini untuk pabrik kami.” Pak Priyo manggut-manggut sambil menikmati ikan lele gorengnya. “Kalau yang untuk tambang, 2.800 hektar sudah aman ‘kan, Pak Aman?” tanya pria berkemeja itu lagi, kali ini pada pria berseragam safari PNS yang ia panggil Pak Aman. “Ya, jelas aman, Pak Frans. ‘Kan sudah sebulan keluar Amdalnya. Perhutani tinggal membantu Pak Frans dan Mbaknya saja, hehehe…” Pak Aman tertawa lepas. Perempuan yang digoda Pak Aman tersipu, menyeruput es jeruknya. “Ya, nanti tinggal butuh bantuan pengamanan saja paling ke dua bapak-bapak ini,” tambah bapak tambun berbaju batik, menunjuk Pak Tentara dan Pak Polisi yang lahap menikmati makanannya. “Apapun lah buat Bapak Dewan. ‘Kan kami melayani rakyat… Dan wakilnya!” Pak Polisi berkata kemudian terbahak yang disambut tawa renyah tamu yang lain. “Bapak Dewan nambah saja, Pak, sambalnya! Nikmat, ya, Pak,

sampai-sampai batiknya basah kuyup begitu!” Para tamu kembali tertawa. Pria tambun berbatik yang dipanggil Bapak Dewan itu pun menambah sambalnya.

“Apapun lah buat Bapak Dewan. ‘Kan kami melayani rakyat... Dan wakilnya!” Pak Polisi berkata kemudian terbahak... “Bapak dan mas-masmu masih belum pulang, Sapto?” tanya Pak Priyo pada Sapto, masih mengunyah makanannya. “Belum, Pak,” jawab Sapto. “Jadi, Sapto ini baru pulang dari kota, Pak Frans. Baru selesai kuliah dia. Manajemen, ya, Sap? Ya, mungkin nanti kalau pabrik dan tambangnya sudah beroperasi Sapto bisa kerja di sana, Pak Frans. Biar ndak kayak bapak sama mas-masnya yang tani,” kata Pak Priyo. “Kalau mau kerja sekarang juga bisa, kok, Pak Priyo. Nanti kamu datang saja ke kantor desanya Pak Priyo, titipkan surat lamaran saja. Nanti biar saya lihat,” jawab Pak Frans. Sapto mengangguk bersemangat. “Ya, nanti kalau sawah bapaknya Sapto sudah terjual ‘kan bisa buat beli barang-barang, misalnya motor lah. Nanti rumah-rumah kayak rumah Sapto yang bambu ini kami bantu untuk dibangun jadi bata dengan semen dari kami, Pak Priyo. Kalau bambu begini, nanti ada angin kencang ‘kan bisa terbang, hahaha…” “Wah, bagus sekali Pak Frans. Memang

april 2015 akar. 19


PLOT: MONGGO PINARAK kedatangan semennya Pak Frans ini berkah bagi desa, ya,” kata Pak Priyo senang. “Ya, pokoknya jangan ada rame-rame aja, lah, Pak Priyo. Capek dan lama kalau ada yang demo-demo begitu. Kamu dan pemuda-pemuda lain juga ndak usah jadi rame ya, Sapto. Biar kamu juga bisa kerja cepat. Makin cepat pabrik jadi, semakin cepat kamu dan yang lain bisa kerja di pabrik.” “Siap, Pak Frans. Itu dengerin Pak Frans, Sap. Nanti kalau rame, ‘kan, ada dua bapak ini yang menenangkan, hehehe…” kata Pak Priyo menunjuk Pak Tentara dan Pak Polisi yang sudah menyelesaikan makanannya dan kini menikmati rokok masing-masing. Pak Tentara dan Pak Polisi hanya tersenyum tipis, tidak tergelak seperti saat menanggapi guyonan dari Bapak Dewan sebelumnya.

“Ya, pokoknya jangan ada ramerame aja, lah, Pak Priyo. Capek dan lama kalau ada yang demodemo begitu...” Beberapa saat kemudian, para tamu telah menyelesaikan makanannya. Pak Frans membayar semua makanan itu dengan menambahkan beberapa puluh ribu, alasannya, harga makanan di warung Sapto terlalu murah. Para tamu mengakhiri persinggahan sementaranya di warung, beranjak pergi menuju tempat tujuan mereka selanjutnya, meninjau lahan. Sapto membereskan piring-piring dan gelas-gelas. Si Mbok memperhatikan dua mobil itu meninggalkan warungnya. Tidak lama kemudian, Bapak dan kakakkakak Sapto sampai di rumah. Si Mbok mencium tangan suaminya, beranjak menuju dapur, hendak menyiapkan pisang goreng dan kopi hitam untuk suaminya dan keenam anaknya yang baru pulang dari sawah. Bagi Si Mbok, selama

20 akar. april 2015

ia hidup, harus ia sendiri yang menyajikan makanan dan minuman untuk suami dan anakanaknya. Selesai mencuci piring dan gelas, Sapto bergabung dengan Bapak dan kakak-kakaknya beristirahat di warung, sembari menunggu giliran mandi. Mereka melanjutkan obrolan mereka di jalan. Membicarakan apa-apa yang akan dilakukan setelah panen raya. Prioritas utama adalah membereskan atap yang sudah banyak bocor sehingga merepotkan saat hujan. Kemudian mereka ingin mengecat ulang dinding bambu rumah mereka. Tidak lupa, alokasi anggaran untuk membeli bibit dan pupuk. Berikutnya, mereka bergiliran berbicara, mendaftar keinginan mereka masing-masing. Sapto sesekali ikut nimbrung dalam keseruan obrolan dan tertawa-tawa. Sesaat kemudian ia beranjak dari duduknya. Sapto berjalan ke kamar tidur. Kemudian, ia mengambil dan membuka laptop hasil perolehan beasiswa yang ia pakai selama kuliah. Sapto mulai mengetik, “Perihal: Lamaran Pekerjaan”. SELESAI •••


pukau

april 2015 akar. 21



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.