Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Page 1

TREN KONFLIK DAN KEKERASAN BARU DI INDONESIA SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA

OLEH MANIK SUKOCO NIM 15730251008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses demokratisasi di Indonesia saat ini sudah menjadi perhatian dunia luar terutama sejak runtuhnya rejim otoriter Soeharto. Proses transisi demokrasi ini tidak berlangsung secara mulus tanpa hambatan. Sejak proses reformasi politik yang berlangsung pasca lengsernya Presiden Soeharto, beragam konflik dan kekerasan masih terjadi di berbagai wilayah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan, telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat mendasar. Konflik berskala besar di Indonesia secara statistik bisa dikatakan telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, jika meninjau kekerasan yang terjadi di Indonesia selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru. Menilik dari data statistik Conflict and Development Program yang dikembangkan oleh World Bank, kini muncul tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia. Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi khususnya dalam penyelengaraan Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme. Adapun kekerasan rutin berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga Halaman | 1


karena kekerasan tersebut berpotensi menciptakan budaya kekerasan dimana keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin dan kekerasan politik yang belakangan terjadi di Indonesia memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih serius karena potensi konflik dan kekerasan ini dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Dampak signifikan dan meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan menekankan perlunya pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan pencegahan konflik dalam agenda kebijakan.

Halaman  |  2   Â


BAB II PEMBAHASAN A. Konflik 1. Definisi Konflik Konflik merupakan serapan dari bahasa Inggris conflict yang berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan (Echols dan Hassan Shadily, 1990: 138). Konflik juga diartikan sebagai, “…a state of disaggreement or argument between opposing groups or opposing ideas or principles, war or battle, struggle to be in opposition; disagree (LDOCE2, 1987: 212)”. Konflik dalam definisi ini diartikan sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasangagasan yang berlawanan. Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam pihak yang berseberangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara beberapa pihak. Apabila dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa diartikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya membuatnya tidak berdaya. Konflik juga bisa diartikan sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan (Susan, 2010: 63). Konflik merupakan pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Ia merupakan warisan kehidupan sosial sebagai akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi atau pertentangan antara dua atau lebih pihak yang berlangsung terus menerus. (Susan 2010: 8). Sedangkan Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat diterima oleh satu individu dengan individu lain atau antara suatu kelompok dengan kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara individuindividu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi, perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan perbedaan kepentingan. Halaman | 3


Bagi Madjid (1993), konflik merupakan bentuk misinteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda. Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak bisa hidup sendiri. Dibanding makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau tumbuhan, manusia merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Dengan demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak terhindarkan. Dalam pola dan ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan, kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Manusia makhluk sosial. Ia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga lingkungan secara keseluruhan. Dengan demikian, interaksi menjadi keniscayaan. Interaksi antar manusia, kelompok atau antarnegara tidak pernah steril dari kepentingan, penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Interaksi bermuatan konflik pada prinsipnya setua sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8). 2. Konflik Sosial Konflik sosial merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan, perselisihan, atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dari kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun perbedaan kelompok. Menurut Irving (1995) pada umumnya konflik sosial Halaman | 4


mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antara pribadi, kelompok melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan Internasional. Konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumbersumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingansaingannya. Soerjono Soekanto (2006) menambahkan bahwa pertentangan masyarakat mungkin pula menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat. Adanya tertib sosial seperti adanya sistem nilai yang disepakati bersama tidak secara otomatis dapat menghilangkan konflik. Bahkan merupakan cerminan adanya konflik yang bersifat potensial dalam masyarakat (Munandar Soelaeman, 2008: 76). Kenyataan konflik ini padat dibuktikan dengan fakta sebagai berikut: a. Setiap struktur sosial di dalam dirinya mengandung konflik-konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, sehingga dapat merupakan sumber terjadinya perubahan sosial. b. Reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar yang tidak selalu bersifat mengatur. c. Sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat melekat (kronis). d. Perubahan sosial yang terjadi dalam suatu sistem tidak selamanya bersifat perlahan tetapi dapat pula terjadi secara revolusioner. 3. Potensi Konflik Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan primordial menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan, budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain sebagainya.

Pendapat

Giddens

menyiratkan

makna

bahwa

pendekatan

primordial melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik, dimana potensi konflik itu dibentuk melalui serangkaian proses panjang, yang diwariskan secara turun-temurun melalui sosialisasi dalam institusi keluarga. Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar dalam diri individu. Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primordial biasanya dapat muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam, prasangka (prejudice), dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh Halaman  |  5   Â


Soenarto (2003) didefinisikan sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciriciri yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional serta berada di bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang dianut telah disangkal melalui bukti-bukti nyata. Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru menjadi potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama. Senada dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras cenderung

mempunyai

semangat

dan

ideologi

yang

etnosentris,

yang

menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan tersebut dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh dari suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketegangan sosial. 4. Jenis-Jenis Konflik Sosial Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang dikuasai), serta konflik horizontal atau konflik yang terjadi di antara kelas yang sama. Abu Ahmadi (2007) membagi konflik menjadi 4 macam yaitu: a. Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peranperan dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri dalam mendapatkan penghasilan. b. Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial. c. Konflik-konflik antar kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak terorganisasi.

Halaman | 6


d. Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik. Antara negara atu organisasi-organisasi internasional. Adapun dilihat dari bentuknya, konflik sosial mempunyai bebarapa bentuk, antara lain adalah sebagai berikut: a. Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perorangan seperti pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedagang dan pembeli, atasan dan bawahan, dan sebagainya. b. Konflik kelompok yaitu pertentangan yang terjadi antar kelompok seperti pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara dua keseblasan sepak bola. Antara dua partai politik, dan sebagainya. c. Konflik antara kelas sosial, yaitu petentangan yang terjadi antara dua kelas sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang miskin, antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam, antara pemerintah (penguasa) dengan rakyat dan sebagainya. d. Konflik rasial, yaitu pertentangan yang terjadi antar ras, seperti ras kulit hitam dengan kulit putih (apartheid). e. Konflik politik, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena perbedaan paham dan aliran politik yang dianut, seperti pertentangan antara masyarakat penjajah dengan yang dijajah, antar golongan politik dan sebagainya. f.

Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat akibat akibat perbedaan budaya. Seperti pertentangan antara, budaya modern, antara budaya daerah yang satu dengan yang lainnya.

5. Situasi Konflik Abu Ahmadi (2007) membagi situasi konflik menjadi 3 tipe situasi yaitu: konflik inter-individu, konflik antar individu, konflik antara kelompok sosial a. Konflik Inter-individu. Konflik Inter-Individu adalah merupakan tipe yang paling erat kaitannya dengan emosi individu hingga tingkat keresahan yang paling tinggi. Lebih lanjut konflik muncul dari dua penyebab; karena kelebihan beban atau kerena ketidaksesuaian seseorang dalam melaksanakan peranan (person role incompatibilities). Kondisi pertama seseorang mendapat “beban berlebihan “akibat status (kedudukan) yang memiliki, sedang dalam yang kedua seseorang memang tidak memiliki kesesuain yang cukup untuk melaksanakan peranansesuai dengan statusnya. Halaman | 7


b. Konflik antara individu Antara individu seseorang dengan satu orang atau lebih, sifatnya kadangkadang subtansif menyangkut perbedaan gagasan, pendapat, kepentingan; atau bersifat emosional-menyangkut perbedaan selera, perasaan like/dislike (suka tidak suka). Setiap orang pernah mengalami situasi konflik semacam ini, ia banyak mewarnai tipe-tipe konflik kelompok maupun konflik oraganisasi. Karena konflik tipe ini berbentuk konfrontansi dengan seseorang atau lebih, maka konflik antar individu ini juga merupakan target yang perlu dikelola secara baik. c. Konflik antara kelompok sosial Konflik ini merupakan konflik yang banyak dijumpai dalam kenyataan hidup manusia sebagai mahluk sosial, karena mereka hidup dalam kelompokkelompok. Ada lima tipe kelompok sosial kategori statistik, kategori sosial, kelompok sosial kelompok tidak teratur, dan organisasi formal. Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) membagi konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya: a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi, kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir. b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi. c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi. d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat konflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua Halaman  |  8   Â


bagan yang terpisah, yakni: 1) fase keamanan jangka pendek (securitybuilding phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta 2) fase keamanan jangka panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan. 6. Faktor-Faktor Penyebab Konflik Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik sosial, politik, budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu dalam suatu interaksi seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Dalam ranah interaksi tersebut, konflik kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti dikemukakan Novri dengan konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik antar negara (interstate conflict). Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Konflik yang mengambil bentuk kekerasan merupakan proyeksi dari bagian-bagian gelap yang ditekan ke dalam bagian tidak sadar, yang kalau direpresi akan sangat berbahaya, bersifat jahat kemudian diproyeksikan pada orang lain (Friedmad, 1988: 22). Suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau kelompok terhalang upayanya dalam mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan paham terhadap tujuan itu sendiri, nilai-nilai sosial dan normanorrma sosial, maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Terlebih lagi sanksi atas pelanggaran yang terjadi di atas nilai dan norma tidak dilaksanakan dengan adil, konflik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan. Dewasa ini, konflik bisa disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural serta gerakan-gerakan pembebasan. Simmel dalam Susan (2010: 56-71), menyebut sumber konflik sebagai keagresifan atau permusuhan (hostile feeling) yang ada secara laten dalam diri manusia. Namun demikian, hostile feeling belum tentu menyebabkan Halaman | 9


konflik secara terbuka (covert conflict). Konflik terbuka bisa terjadi selain memang karena adanya hostile feeling, juga adanya perilaku permusuhan (hostile behavior) dalam masyarakat. Sedangkan bagi Nurcholis Madjid, diantara sebab konflik ialah pandangan dunia atau vision de monde yang keliru (Madjid, 1993:3). Konflik sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena beberapa faktor seperti: Pertama, perbedaan pendirian atau perasaan individu. Kedua, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Ketiga, Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik. Keempat, perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat (Friedmad, 1988: 97-106). Adapun faktor-faktor yang menjadi akar terjadinya konflik sosial menurut adalah sebagai berikut: a. Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan pertikain atau bentrokan antara mereka. b. Perbedaan pola kebudayaan, seperti perbedaan adat istiadat, suku bangsa, agama bahasa, paham politik, pandangan hidup dan budaya daerah lainnya, sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan bentrokan di antara anggota masyarakat tersebut. c. Perbedaan status sosial, seperti kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya,merupakan factor penyebab terjadinya konflik sosial. d. Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat baik secara pribadi maupun kelompok, seperti perbedaan kepentingan polik, ekonomi, sosial budaya, agama dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnyaa konflik sosial. e. Terjadi perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistem nilai, akibat masuknya sistem nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, juga menjadi faktor pemicu terjadinya konflik sosial (Abu Ahmadi, 2007: 291). Robbins Walton dalam Kenneth (1995: 220-225) mengemukakan bahwa konflik terjadi disebabkan oleh berbagai jenis kondisi pendahulu enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) meliputi: a) persaingan

terhadap

sumber-sumber

(competition

for

resources),

b)

Halaman | 10


ketergantungan tugas (task interdependence), c) kekaburan batas-batas bidang kerja (jurisdictional ambiquity), d) masalah status (status problems), e) masalah komunikasi (communication problems) dan f) sifat-sifat individu (individual traits) 7. Dampak-Dampak Terjadinya Konflik Sosial Konflik dapat memiliki dampak yang positif dan negatif. Kenneth (1995) mengatakan bahwa akibat-akibat negatif dari konflik terutama terletak pada kahancuran komunikasi, keterjalinan, serta kerja sama.

Sedangkan dampak

positif konflik adalah menguji kemampuan individu atau kelompok untuk mempertahankan ketegarannya serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang sedang berubah. Memperjelas pernyataan Kenneth, Abu Ahmadi (2007) meyatakan bahwa ada 2 akibat konflik sosial antara lain adalah sebagai berikut: a. Yang bersifat konflik 1) Bertambahnya

solidaritas

dalam

kelompok

sendiri

(in

group

solidarity). 2) Muncul pribadi-pribadi yang kuat atau tahan uji menghadapi berbagai situasi konflik. 3) Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam kekuatan seimbang. Misalnya, adanya kesadaran dari pihak-pihak yang berkonflik untuk bersatu kembali, karena dirasakan bahwa konflik yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak. b.

Yang bersifat destruktif 1) Retaknya persatuan kelompok 2) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (bahwa konflik sudah berubah menjadi kekerasan); 3) Berubahnya sikap dan kepribadian individu baik yang mengarah ke hal-hal yang positif maupun ke hal-hal yang negatif. Munculnya dominasi kelompok yang menang terhadap kelompok yang kalah.

B. Kekerasan Berbicara

mengenai

kekerasan

(violence)

berarti

kita

harus

membicarakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan. Douglas dan Waksler dalam Santoso (2002: 11) menjelaskan bahwa kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka atau tertutup dan baik yang Halaman | 11


bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain, sehingga kekerasan dapat diidentifikasi menjadi: 1) kekerasan terbuka, misalnya perkelahian; 2) kekerasan tertutup, misalnya mengancam: 3) kekerasan agresif, missal untuk mendapatkan sesuatu; 4) kekerasan defensif, misal untuk perlindungan. Mahatma Gandhi berpendapat bahwa kekerasan bisa dihapus kalau kita tahu penyebabnya. Penyebab kekerasan terletak pada struktur yang salah, bukan pada aktor jahat di pihak lain (Santoso, 2002, 168). Galtung (2002) menyatakan bahwa kekerasan didefinisikan sebagai penyebab perbedaan antara potensial dan yang aktual artinya apa yang bisa atau mungkin diaktualisasikan harus direalisasikan. Galtung juga membedakan antara kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat dinamis, mudah diamati, dan memperlihatkan fluktuasi hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak. Lain

halnya

dengan

Camara

(2000)

yang

menjelaskan

bahwa

ketidakadilan adalah sebuah kekerasan mendasar (kekerasan nomor 1), kemudian kekerasan nomor 1 itu memancing kekerasan nomor 2 berupa pemberontakan, selanjutnya kekerasan nomor 2 mengundang datangnya kekerasan nomor 3 yaitu berbentuk represi. Proses dari ketiga kekerasan tersebut seperti spiral karena kekerasan demi kekerasan saling mendorong atau terpilinpilin maka terbentuklah “spiral kekerasanâ€?. Gurr dalam Istania (2009: 3-4) membagi tiga macam kategori kekerasan pada satu wilayah ataupun bangsa berdasarkan magnitude atau daya rusaknya, yaitu: a) kerusuhan, ciri spontan, tidak terorganisir dengan tingkat partisipasi populer cukup besar, termasuk mogok berujung kekerasan, kerusuhan, benturan politik, dan pemberontakan lokal, b) konspirasi, ciri kekerasan politik terorganisasi secara baik dengan partisipasi terbatas, terorisme skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta, dan pembangkangan militer, c) perang internal, ciri kekerasan politik terorganisir rapih dengan partisipasi luas, didesain menjatuhkan rejim atau menghancurkan negara dan disertai dengan kekerasan meluas, termasuk terorisme skala besar dan perang gerilya, dan revolusi. Selanjutnya studi yang dilakukan Gurr dalam Surwandono (2009: 10), menguak bahwa kekerasan muncul sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif, yakni terdapatnya kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan (expectation) dengan sesuatu yang diperoleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan Halaman  |  12   Â


antara ekspektasi dengan apa yang diperoleh akan memperbesar peluang terjadinya konflik dan kekerasan. 1. Kekerasan Terkait Pemilukada Berbicara mengenai tren kekerasan terutama kekerasan politik yang terjadi di Indonesia belakangan ini, lembaga pengkaji masalah sosial politik, Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 Pemilukada yang diselenggarakan pada 2010 telah diwarnai aksi kekerasan. Misalnya kekerasan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan, dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. Temuan lembaga ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam Pemilukada dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara Pemilukada (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak independen dan tidak cerdas, serta konflik antar peserta Pemilukada. Data dari Crisis Group Asia Report N°197 (2010: i) menjelaskan bahwa jumlah kekerasan yang terjadi dalam 224 Pemilukada yang terjadwal pada 2010 tidak sampai 10% (20 kasus kekerasan), sedangkan sepanjang Pilkada 20052008 lembaga tersebut mencatat ada 13 kasus kekerasan. Penyebab dari kasus kekerasan tersebut antara lain, kemarahan masyarakat atas politik kekerabatan (incumbent

mengajukan

keluarga

sebagai

kandidat),

buruknya

tata

pemerintahan, termasuk kasus di Kabupaten Kaur Bengkulu pada 27 Juni 2005, aksi kekerasan terjadi ketika muncul kekecewaan dari pasangan calon beserta pendukungnya yang kalah dalam Pilkada (sejak 2010 istilahnya menjadi Pemilukada), kemudian membakar kantor KPUD, gedung DPRD, kantor Kecamatan

Kaur

Selatan,

termasuk

menghancurkan

dokumen-dokumen,

termasuk membakar rumah dinas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama dan Dinas Pekerjaan Umum, dlsb. Kekerasan juga terjadi dalam Pilkada di Kabupaten Tuban Jawa Timur, setelah pelaksanaan Pilkada pada 29 April 2006, yaitu pembakaran gedung-gedung milik pemerintah juga asset pribadi milik salah satu calon (incumbent), penyebabnya ada calon yang merasa menang dan merasa di atas angin ternyata kalah oleh incumbent, penyebab lainnya adalah kekecewaan para elit lokal termasuk pengusaha lokal yang sudah lama termaginalkan oleh keluarga incumbent (Marijan, 2007:4 & 6). Sementara

itu,

hasil

penelitian

LIPI

terhadap

Pilkada

di

491

kabupaten/kota antara Juni 2005 hingga 2008, menemukan sekitar 10-15% Pilkada telah diwarnai aksi kekerasan. Konflik yang muncul dalam Pilkada

Halaman | 13


tersebut lebih banyak karena faktor ketidak-puasan terhadap kepala daerah terpilih, yang diduga melakukan praktek politik uang. Sedangkan beberapa kasus kekerasan yang muncul saat penyelenggaraan Pemilukada sejak 2010, menurut data dari Crisis Group Asia Report N°197 adalah: §

Kasus di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (10 April 2010), massa dari bupati incumbent Zulkifli Muhadi dan lawannya Andi Azisi saling melempar batu setelah kelompok sang penantang mencoba menghalangi konvoi rivalnya. Pendukung Andi berunjuk rasa mempermasalahkan keaslian ijazah sang incumbent. Pada tanggal 28 April, ratusan demonstran bentrok dengan polisi ketika mereka menuntut KPUD untuk menghentikan proses rekapitulasi setelah berita kemenangan sang incumbent mulai terhembus. Mereka terus meminta polisi untuk menyelidiki keabsahan ijazah Zulkifli. Ketika mereka hendak merangsek ke dalam kantor KPUD, polisi menahan mereka dengan hantaman tongkat dan tembakan peringatan serta gas air mata.

§

Kasus di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (12 Mei 2010). Ribuan warga memblokir jalan menuju ibukota kabupaten di Larantuka sehinga anggota KPU pusat dan propinsi tak bisa masuk kota. Mereka tadinya ingin mengumumkan kebijakan menganulir keputusan KPUD Kabupaten Flores Timur yang mendiskualifikasi pencalonan incumbent Simon Hayon. Para demonstran menuntut agar proses Pemilukada diteruskan tanpa sang bupati dan merasa pihak pusat ingin mengintervensi politik tingkat lokal. Pada tanggal 14 Mei 2010, pendukung-pendukung Simon memaksa KPUD untuk mengikuti keputusan KPU yang lebih tinggi dan polisi menemukan mereka

membawa

bom

Molotov.

Pada

bulan

Juli

2010,

KPU

memberhentikan empat dari lima orang anggota dari KPUD yang menolak keputusan KPU itu. Pada tanggal 1 November 2010, KPUD baru dibentuk dengan dengan mandate untuk melaksanakan Pemilukada pada tahun 2011. §

Kasus di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (12 Mei 2010). Ratusan demonstran merusak kantor KPUD saat proses rekapitulasi setelah mendengar kabar bahwa incumbent Imran menang besar pada pemilu tanggal 8 Mei 2010. Mereka menuduh sang bupati telah menyalahgunakan jabatan dan membagi uang kepada pemilih. Pada bulan Juni, lawan politik Imran membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perlu dilakukan pemilihan ulang namun Imran tidak didiskualifikasi. Dalam Halaman | 14


pemilihan ulang 11 Juli 2010, sang incumbent malahan mendapatkan suara yang lebih banyak dan ini memicu protes yang lebih besar pada tanggal 19 Juli 2010 yang berakhir dengan bentrok antar pendukung. §

Kasus di Kota Sibolga, Sumatra Utara (15 Mei 2010). Empat kantor kecamatan yang menyimpan kotak-kotak suara dibakar dua hari setelah pemungutan suara tanggal 13 Mei 2010 yang diwarnai pertarungan antara wakil bupati Afifi Lubis dan mantan anggota DPR Syarfi Hutauruk yang berpasangan dengan menantu bupati yang tak dapat maju lagi. Pendukung Afifi menuduh sang bupati memakai jabatannya untuk menghalangi-halangi pencalonan wakilnya itu namun protes ini hanya terdengar setelah quick count meramalkan Syarfi unggul.

§

Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (12 Mei 2010). Warga merusak kantor KPUD dan Panwaslu setelah mereka mendengar lapo ran sementara yang mengindikaskan kemenangan untuk Suryadman Gidot pada pemungutan suara tanggal 19 Mei 2010 padahal wakil bupati itu diyakini melakukan tindakan korupsi. Pada tanggal 18 Mei 2010, seorang pendukung Suryadman tertangkap tangan membagikan uang kepada pemilih.

§

Kasus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (21 Mei 2010). Sebuah mobil milik KPUD dibakar orang tak dikenal setelah ada berita yang meramalkan Yasir Ansyari, putra bupati yang tidak bisa maju lagi, gagal mendapatkan 30 persen dari suara yang dibutuhkan untuk mencegah putaran kedua walau ia unggul dari calon-calon lainnya. Dalam putaran kedua, Yasir kalah dari Henrikus yang sebenarnya menempati urutan kedua di putaran pertama.

§

Kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (24 Mei 2010). Polisi melontarkan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara setelah demonstran menyerang mereka dengan batu. Mereka menuntut penghentian acara misi visi karena jagoan mereka tak diloloskan setelah terjadi suatu kebingungan terhadap keabsahan dukungan partai. Ada dua pihak yang mengatasnamakan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) yang mendukung dua calon yang berbeda, sang incumbent dan bakal calon yang tidak lolos itu. KPUD menerima pendukungan PPRN untuk incumbent dan memutuskan calon yang lain gagal memenuhi syarat dukungan.

§

Kasus di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (9 Juni 2010). Polisi

menembakkan

peluru

karet

ke

demonstran

yang

menuntut

penghentian proses rekapitulasi yang dilakukan KPUD setelah terjadi Halaman | 15


kerancuan penghitungan suara di kecamatan Sano Nggoang. Pada saat itu, laporan sementara menyebutkan wakil bupati Agustinus Dula unggul di pemungutan suara tanggal 3 Juni 2010. §

Kasus di Kabupaten Samosir, Sumatra Utara (10 Juni 2010). Ratusan pendukung seorang calon menghalangi kepergian bis-bis yang mengangkut 150 mahasiswa ketika mereka ingin keluar dari wilayah kabupaten setelah ikut pemungutan suara tanggal 9 Juni 2010. Para pendukung tersebut menuduh

bupati

incumbent,

Mangindar

Simbolon

telah

membayar

mahasiswa mahasiswa tersebut untuk menjadi pemilih gelap walau sebenarnya mahasiswa-mahasiswa tersebut merupakan penduduk Samosir yang tengah menempuh studi di Medan. Sang bupati mengaku mengongkosi perjalanan mereka kembali ke kampung halaman. §

Kasus di Kabupaten Kepulauan Anambas, Riau Islands (11 Juni 2010). Demonstran anti incumbent, melempar batu ke sebuah gedung yang dipakai KPUD untuk melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 26 Mei 2010. Mereka meruntuhkan pagar ketika memaksa masuk gedung pertemuan KPUD. Proses penghitungan yang lambat terjadi karena menunggu datangnya semua kotak suara ke tangan KPUD dari berbagai tempat di kabupaten yang terletak di pulau-pulau terpencil yang memiliki infrastruktur yang buruk. Padahal, berita bahwa bupati incumbent Tengku Mukhtaruddin

telah

menang

sudah

tersebar

beberapa

jam

setelah

pemungutan suara. Unjuk rasa sudah berlangsung sejak tanggal 27 Mei 2010 menuduh bupati melakukan penggelembungan suara dan menuntut hasil pemilu dibatalkan. Intensitas terus bertambah seiiring lambannya proses penghitungan yang memicu kecurigaan. §

Kasus di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 25 Juni dan Agustus-September 2010. Pendukung calon penantang Andi Maddussila memprotes suatu ramalan kemenangan untuk bupati incumbent Ichsan Limpo yang keluar dua hari setelah pemungutan suara. Mereka menuduh Ichsan memakai ijazah palsu dan menyandera seorang pendukung sang bupati yang mengakibatkan kelompok lawan untuk melakukan serangan balasan. Kedua kubu saling lempar batu sampai polisi berusaha melerai. Kejadian-kejadian bermunculan secara sporadis termasuk pembakaran bis, bangunan dan kantor cabang Golkar oleh orang-orang tak dikenal serta perkelahian antar pendukung setelah incumbent dilantik tanggal 14 Agustus 2010 yang meletup hingga bulan September. Keluarga Limpo adalah keluarga yang dominan dalam Halaman | 16


perpolitikan Sulawesi Selatan. Kakaknya Ichsan, Syahrul Limpo, adalah guberner Sulawesi Selatan sedangkan saudara-saudaranya yang lain menduduki kursi di DPRD. Mereka sebagian besar berasal dari Partai Golkar. §

Kasus di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku (20 Juli 2010). Pendukung bupati Abdullah Vanath dan lawannya Mukti Keliobas yang menjabat ketua DPRD berbaku hantam di jalanan setelah sang incumbent menang mutlak pada pemungutan suara 7 Juli 2010. KPUD menolak permintaan sang penantang untuk penghitungan ulang di pulau terpencil Gorom dimana penyelenggara pemilu ditenggarai telah menggelembungkan suara. Namun, Mukti melapor ke KPU propinsi yang akhirnya memerintahkan KPUD untuk memenuhi

tuntutan

itu.

Ketika

KPUD

memutuskan

untuk

tak

menggubrisnya, pendukung Mukti menyerang markas lawan dan membakar kantor-kantor pemerintahan. Pada bulan Agustus 2010, MK menolak tuntutan penghitungan ulang itu dan memastikan kemenangan Vanath. §

Kasus di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah 23-24 September 2010. Pendukung Sugianto Sabran mengamuk setelah keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menganulir kemenangan calonnya dalam pemungutan suara 5 Juni 2010 karena Mahkamah Konstitusi menganggap terjadi usaha pembelian suara yang massif. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, juga menetapkan bupati incumbent Ujang Iskandar sebagai pemenang dan langkah ini memicu tuduhan suatu konspirasi dari Jakarta untuk menggagalkan gerakan pro-perubahan di daerah itu. KPUD menolak untuk

mengeksekusi

keputusan

tertanggal

7

Juli

2010

di

tengah

meningkatnya ketegangan di daerah itu. Hal ini mendorong KPU Pusat untuk memberi peringatan kepada KPUD pada tanggal 22 September 2010. Keputusan kedua yang berasal dari Jakarta ini memperkuat persepsi bahwa kekuatan pusat sedang mengintervensi urusan daerah dan memicu pembakaran monumen Adipura yang berada di ibukota kabupaten. Lembagalembaga setempat menolak melaksanankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu karena takut menjadi target dari kemarahan kelompok Sugianto sehingga daerah itu dipimpin seorang penjabat sementara sampai sekarang yang tak memiliki hak menentukan anggaran. Pejabat di daerah telah meminta Menteri

Dalam

Negeri

untuk

melaksanakan

keputusan

Mahkamah

Konstitusi, namun ia masih enggan. Inilah satu-satunya kasus kekerasan yang diakibatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.

Halaman | 17


§

Kasus di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (24 Oktober 2010). Sebuah bom meledak di kantor KPUD tengah malam, beberapa jam setelah polisi mendorong mundur demonstran yang menggugat kemenangan bupati petahana Ferry Zulkarnain secara sporadis. Salah satu anggota tim sukses dari sang bupati divonis telah melakukan pembelian suara lima hari sebelum pelantikan tanggal 9 Agustus. Pengadilan memutuskan Ferry tidak terlibat dalam tindak pidana tersebut.

§

Kasus di Kabupaten Karo, Sumatra Utara (1 November 2010). Ratusan orang membakar ban di jalan dan melempar batu ke arah hotel dimana KPUD sedang melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 27 Oktober 2010. Para demonstran itu menuntut pemilu ulang dan menuduh kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak telah melakukan pembelian suara. Polisi melontarkan gas air mata dan menggunakan tongkat untuk membubarkan massa. Pada tanggal 6 November 2010, sebuah gedung pemerintahan dibakar ditengah malam. Sengketa ini telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga putaran kedua menjadi tertunda.

2. Kekerasan Rutin di Provinsi Rawan Konflik Adapun konflik kekerasan lain yang timbul sejak proses transisi demokrasi di Indonesia antara lain konflik separatis di Aceh yang mengakibatkan ribuan korban tewas sebelum terselenggaranya perjanjian damai pada 2005, dan konflik di Papua yang masih berlanjut dengan intensitas kekerasan rendah. Konflik etnis di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Jakarta juga telah merenggut ribuan korban jiwa. Kekerasan antaragama-etnis pecah pada 1999 di Maluku dan di Maluku Utara serta pada 1998 dan 2000 di Sulawesi Tengah. Aksi-aksi teroris, meski jarang terjadi, tetap memakan korban. Selain itu, berbagai wilayah telah terkena dampak dari konflik kekerasan rutin berskala kecil akibat persoalan perebutan sumber daya, masalah politik, dan identitas. Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, selama 5 tahun terakhir, data menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru. Pada enam provinsi rawan konflik, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat terdapat tingkat konflik kekerasan rutin yang tinggi – yang seringkali berupa bentrokan antar kelompok geng (preman),

Halaman | 18


demonstrasi politik yang berujung ricuh, pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan. Dari bentuk-bentuk konflik kekerasan tersebut, sejak 2011-2015 terjadi rata-rata 2.000 insiden konflik kekerasan per tahun. Kekerasan pada enam provinsi yang dihuni 4 persen dari penduduk Indonesia tersebut telah menelan korban tewas lebih dari 600 orang, 6.000 korban luka-luka, dan lebih dari 1.900 bangunan hancur. Mengingat meluasnya kekerasan berskala besar pada masa lalu diawali oleh insiden kekerasan berskala kecil, tingginya tingkat kekerasan rutinmenandai potensi eskalasi konflik (Conflict and Development Program, 2015: 18-23). Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi menciptakan budaya kekerasan di mana keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu

dapat

dimobilisasi

dan

berkontribusi

pada

ketegangan-

ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Dampak signifikan dan meningkatnya

jumlah

insiden

konflik

kekerasan

menekankan

perlunya

pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan pencegahan konflik dalam agenda kebijakan. Sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir. Bentuk dari insiden kekerasan yang marak terjadi pun berubah. Meski kerusuhan dan bentrokan antarkelompok masih terjadi, frekuensinya telah berkurang, dan insiden penganiayaan dan perkelahian yang paling banyak menyebabkan korban tewas pada beberapa tahun terakhir. Isu penghakiman atas isu moral menyebabkan korban tewas terbanyak. Satu setengah dekade yang lalu, kebanyakan korban tewas akibat konflik separatis atau konflik antarsuku-agama berskala besar. Sebaliknya, antara 2012 dan 2016, insiden terkait identitas walau hanya mencapai 2 persen dari total insiden konflik, tetapi menyebabkan 10 persen dari korban tewas akibat konflik (Conflict and Development Program, 2015: 24-40). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah insidennya lebih kecil, konflik kekerasan terkait Halaman  |  19   Â


identitas memiliki risiko korban tewas yang tinggi. Isu-isu administratif, sumber daya, dan politik juga ada, namun proporsi korban tewas yang ditimbulkannya kecil. Isu dominan dalam tindak kekerasan akhir-akhir ini dan yang berakibat hampir setengah dari jumlah korban tewas (dan 55 persen dari jumlah insiden), adalah isu moral/tersinggung. Kategori ini mencakup: reaksi kekerasan terhadap hal yang dianggap pelanggaran moral seperti masalah seksual/selingkuh, pemerkosaan, mabuk, utang, atau dukun santet (12 persen dari jumlah korban tewas selama 2011-2015); reaksi kekerasan terhadap pelaku tindak kejahatan seperti pencurian, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, dan pengerusakan (11 persen dari jumlah korban tewas); dan juga reaksi kekerasan karena rasa tersinggung atau malu (27 persen dari jumlah korban tewas). Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan (Conflict and Development Program, 2015: 41-47). Bentuk

insiden

kekerasan yang terjadi juga mengalami perubahan.

Kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang tadinya dominan, terus terjadi pada kurun waktu 2011-2015, namun dalam jumlah kecil. Justru penganiayaan dan perkelahian merupakan bentuk yang paling banyak menimbulkan korban tewas akhir-akhir ini. Kebanyakan konflik kekerasan selama 1999-2002 terjadi dalam bentuk kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang mengakibatkan kehancuran berskala besar. Sedangkan konflik antara tahun 2002-2008 sudah tidak begitu didominasi oleh kerusuhan dan bentrokan antar kelompok namun oleh kekerasan rutin yang terjadi di masyarakat. Adapun selama periode 2011-2015, 14 persen dari seluruh korban tewas terjadi akibat bentrokan antarkelompok, sedangkan kerusuhan hanya menimbulkan persentase jumlah korban yang kecil (demikian juga dengan serangan teroris, yang banyak diliput media nasional). Sebaliknya, insiden berskala kecil seperti penganiayaan (kekerasan sepihak) dan perkelahian menyebabkan lebih dari 75 persen korban tewas akibat konflik. Penggunaan senjata api masih relatif kecil kecuali di Aceh. Data menunjukkan bahwa senjata yang paling banyak digunakan dalam kasus kekerasan yang menimbulkan korban tewas adalah senjata tajam seperti pisau. Penggunaan Halaman  |  20   Â


senjata api oleh masyarakat biasa dalam insiden yang menimbulkan korban tewas masih relatif rendah, kecuali di Aceh pasca penandatanganan perjanjian damai dimana 7 persen insiden kekerasan melibatkan penggunaan senjata api. Insiden-insiden ini mengakibatkan 19 persen dari jumlah korban tewas di Aceh selama periode 2011-2015 (Conflict and Development Program: 2015: 48-55). Adapun respon aparat keamanan terhadap konflik kekerasan masih lemah. Hanya 7 persen konflik kekerasan yang terdata dalam database selama 2011-2015 ditangani secara langsung oleh pihak militer atau kepolisian, termasuk Brimob. Konflik antarunsur atau elemen dalam tubuh militer atau kepolisian, yang sempat menghambat efektivitas penegakan hokum selama periode konflik berskala tinggi, terus terjadi dan menyebabkan insiden yang mematikan. Untuk semua insiden kekerasan, ketika aparat berupaya melakukan intervensi, intervensi tersebut berhasil menghentikan tindak kekerasan dalam 66% dari kasus yang ditangani. Akan tetapi, intervensi yang diupayakan untuk menghentikan tindakan pengeroyokan dan kerusuhan kurang berhasil, dengan tingkat keberhasilan hanya 32% untuk insiden pengeroyokan dan 57% untuk insiden kerusuhan (Conflict and Development Program, 2015: 52-58). Konflik antarunsur satuan keamanan, yang sempat menghambat efektifitas penegakan hukum selama periode konflik berskala besar, masih berujung pada insiden mematikan. Dari tahun 2011 hingga 2015, data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015), mencatat 107 insiden kekerasan antara anggota polisi (termasuk Brimob) dan anggota militer yang mengakibatkan 24 orang tewas. Terdapat variasi yang besar antarprovinsi dalam frekuensi dan dampak konflik kekerasan selama beberapa tahun terakhir. Papua tercatat memiliki tingkat tertinggi konflik kekerasan, disusul Maluku. Selama 2011-2015, dilaporkan 40 insiden kekerasan separatis di Papua, yang mengakibatkan korban tewas 30 orang. Sebaliknya terdapat 3.308 insiden konflik kekerasan yang terkait dengan isu lain, yang mengakibatkan 318 orang tewas (Conflict and Development Program, 2015: 46-66). Akan tetapi analisa kajian media memastikan bahwa banyak insiden separatis tidak diberitakan oleh surat kabar lokal karena dianggap sensitif. Pentingnya konflik separatis tidak terikat pada jumlah insiden tetapi tingginya tingkat kekerasan rutin dalam konteks Papua yang disertai angka ketegangan sosial terkail gerakan separatis, perasaan anti-pendatang, isu kesukuan dan isu eksploitasi sumber daya, menandai risiko eskalasi konflik. Halaman  |  21   Â


Peningkatan paling drastis pada frekuensi konflik kekerasan terjadi di Maluku. Di Maluku, lokasi konflik kekerasan terkait agama paling besar di Indonesia akhir-akhir ini. Jumlah insiden konflik kekerasan terus-menerus meningkat sejak 2002. Yang paling sering terjadi adalah insiden terkait isu moral/tersinggung, tetapi juga terjadi sejumlah insiden konflik akibat perebutan sumber daya dan persoalan administratif. Kekerasan

separatis

di

Aceh

berakhir

dengan

penandatanganan

perjanjian damai pada 2005, namun konflik kekerasan rutin terus meningkat, dan seringkali terkonsentrasi di wilayah yang ‘panas’ selama konflik separatis. Pada tahun 2011 terjadi 193 insiden konflik kekerasan, sedangkan pada 2015 jumlah

insiden

konflik

telah

meningkat

menjadi

468

insiden.

Isu

moral/tersinggung dan perebutan sumber daya adalah isu dominan. Kebanyakan insiden pascaperjanjian damai di Aceh terjadi di kabupaten yang mengalami tingkat kekerasan tertinggi selama konflik separatis yaitu: Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Sedangkan kawasan Banda Aceh dan Lhokseumawe mengalami kekerasan yang relatif lebih sedikit ketika konflik separatis karena keberadaan aparat dalam jumlah besar. Adapun variasi konflik kekerasan di dalam tiap provinsi dalam kurun waktu 2011-2015 sangatlah beragam. Frekuensi, bentuk, dan dampak insiden kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Di Papua misalnya, dalam kurun waktu tersebut, lebih dari setengah korban konflik di Papua tercatat di dua wilayah: Kota Jayapura dan Kabupaten Mimika. Di Kabupaten Mimika, lebih dari setengah dari korban tewas akibat konflik terkait identitas, biasanya dalam bentuk bentrokan antarsuku, sering juga sebagai aksi balas dendam atas kekerasan sebelumnya. Namun di Kota Jayapura, isu moral/tersinggung paling banyak terjadi, dan bentuknya lebih berupa penganiayaan berskala kecil daripada bentrokan antarkelompok. Demikian juga perbandingan antara dua wilayah yang paling banyak mengalami konflik kekerasan di Provinsi Sulawesi Tengah, mengungkapkan bahwa 58 persen insiden konflik kekerasan di Palu sejak 2006 terjadi dalam bentuk penganiayaan, sedangkan di Poso bentuk kekerasan yang menonjol dalam periode yang sama adalah serangan teror yang menggunakan alat peledak (43 persen). Variasi antarwilayah dalam provinsi tersebut menandakan dengan jelas peran factor lokal dalam pola konflik (Conflict and Development Program, 2015: 60-74). Jumlah konflik kekerasan di Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir Halaman | 22


ini. Di luar Provinsi Aceh, jumlah konflik kekerasan rutin meningkat secara cukup signifikan. Setelah penandatanganan perjanjian damai di Aceh, jumlah insiden kekerasan rutin justru meningkat dari 200 kasus pada 2011 menjadi lebih dari 500 kasus pada 2015. Meski jumlah korban tewas akibat kekerasan komunal berskala besar telah berkurang, konflik kekerasan rutin yang makin meluas berdampak signifikan. Sejak 2011, terdapat rata-rata 200 korban tewas dan 2.400 korban luka-luka setiap tahun akibat konflik di enam provinsi, yang dihuni hanya 4 persen penduduk Indonesia (Conflict and Development Program, 2015: 55-59). Adapun studi lain, yang dilakukan di Jawa Timur, NTT, Lampung, Bali, dan Jawa Barat, menunjukkan bahwa konflik kekerasan serupa juga terjadi di provinsi-provinsi selain keenam provinsi rawan konflik tersebut (Lihat ICG 2003; Barron dan Madden 2004; Welsh 2008; serta Barron, Diprose dan Woolcock 2011). Di antara enam provinsi yang menjadi subjek penelitian Conflict dan Development Program (2015), Papua merupakan provinsi dengan tingkat jumlah insiden kekerasan tertinggi dan Provinsi Maluku tercatat mengalami kenaikan yang paling tajam dalam jumlah insiden kekerasan pada beberapa tahun terakhir. Di Provinsi Aceh, kekerasan separatis berakhir pada 2005, namun sebaliknya jumlah insiden terkait isu moral/tersinggung justru meningkat sejak saat itu. Adapun

kekerasan

pasca

perjanjian

damai

(penandatanganan

MoU)

terkonsentrasi pada wilayah yang merupakan pusat kekerasan sebelum MoU juga. Di keenam provinsi rawan konflik (Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat), tingkat, bentuk dan dampak konflik kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa signifikannya faktor lokal dalam mendorong terjadinya insiden kekerasan. C. Implikasi Kebijakan Untuk membahas kasus-kasus kekerasan politik dalam Pemilukada, menurut Ritzer (2003), ada tiga paradigma dalam sosiologi yang dapat dipakai, yaitu: 1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu, 2) paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat, 3) paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang Halaman | 23


bersangkutan. Dengan demikian, paradigma yang paling cocok untuk dipakai dalam pembahasan kasus-kasus kekerasan mengenai Pemilukada adalah paradigma definisi sosial. Sedangkan teori yang mendukung pembahasan ini adalah teori tindakan komunikasi dari Jurgen Habermas. Habermas (1990) menyatakan bahwa politik dapat dirasionalisasikan dalam upaya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan memulihkan peran manusia sebagai subyek yang mengatur sejarahnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Weber dalam Siahaan (1983: 218220), bahwa tindakan sosial seseorang dipengaruhi oleh zweck rational, yaitu tindakan sosial yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional di dalam merespon kondisi eksternalnya (termasuk tanggapan terhadap orang lain di luar dirinya dalam upaya mencapai tujuan yang maksimal dengan

pengorbanan

yang

seminimal

mungkin).

Sedangkan

tindakan

komunikatif menurut Habermas (1971) adalah titik tolak dari kritik rekonstruksi teori rasionalitas Weber, bahwa ada tindakan dasar manusia yang diarahkan oleh norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara subyek yang saling berinteraksi. Kemudian dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas dalam Hardiman (1993: 116) dengan paradigma komunikasi, mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat. Sejak Pemilukada digelar di kabupaten/kota di Indonesia, kerusuhan dan kekerasan acapkali terjadi atau bahkan sudah menjadi bagian integral dari pelaksanaan Pemilukada. Kondisi tersebut disebabkan karena penyelenggara Pemilukada (KPUD) tidak melakukan komunikasi dua arah yang efektif dengan peserta/calon/kandidat, sehingga terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD dapat dikatakan merupakan lembaga yang super body. Hal ini menyebabkan massa pendukung calon/kandidat melakukan protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah kerusuhan sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang ada hanya informasi-informasi yang tidak jelas. Dengan demikian kerusuhan sosial terkait pelaksanaan Pemilukada sebenarnya merupakan akibat ketidakdewasaan rakyat dalam menyikapi suatu komunikasi yang macet, yang sekaligus menggambarkan level rasionalitas pelakunya dalam merespon kondisi tersebut. Di sisi lain, Habermas dalam Hardiman (2009: 128) menjelaskan bahwa ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana Halaman  |  24   Â


diskursus masyarakat agar warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif, sebab ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi. Habermas dalam Hardiman (2010: 185) juga menjelaskan bahwa ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga dan merupakan wadah dimana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik tidak hanya diwujudkan dalam bentuk fisik, berupa sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan merupakan usaha warga untuk menjalin komunikasi diantara mereka. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik harus mudah diakses semua orang. Dalam konteks Pemilukada, rakyat yang terlibat dalam hingar bingar peristiwa politik, masih berperan sebagai objek bukan subjek. Tingkat partisipasi rakyat dalam peristiwa politik ini sangat rendah karena posisinya hanya sebagai pelengkap jika dibandingkan dengan posisi calon/kandidat yang sangat dominan dan dikuasai oleh kapitalistik. Dengan demikian rakyat yang terlibat dalam Pemilukada, jika dikaitkan dengan teori masyarakat komunikatif Habermas, tidak memiliki power reflective yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk bertindak secara otonom dalam ruang politik yang seharusnya dapat menciptakan kesepahaman bagi kepentingan bersama, atau meyusun sebuah konsensus. Konsensus hanya dapat dilahirkan jika rakyat mampu mengembangkan masyarakat komunikatif yang memiliki otonomi. Adapun meningkatnya konflik kekerasan rutin berskala kecil selama beberapa tahun terakhir, dengan jumlah dampak yang signifikan, membawa resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian menguat dari pemerintah dan masyarakat tentang perlunya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif. Beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk menyusun sebuah kerangka kebijakan tersebut, yang mencakup penyusunan draf Strategi Besar Pencegahan dan Pengelolaan Konflik (Grand Strategy for Conflict Prevention and Management) dan penyusunan Kerangka Pencegahan Konflik (Conflict Prevention Framework). Data statistik mengenai konflik yang berkembang di Indonesia, baik dari hasil penelitian ICG (2003), Barron dan Madden (2004), Halaman | 25


Welsh (2008), Barron, Diprose, dan Woolcock (2011), Conflict and Development Program (2011-2015), memberikan penegasan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut seyogyanya mempertimbangkan isu dan upaya kunci berikut ini: 1. Secara sistematis mengupayakan penyelesaian faktor-faktor struktural di balik

konflik

kekerasan

besar

pada

masa

lalu

sambil

tetap

memprioritaskan pengelolaan secara efektif konflik kekerasan rutin di masa mendatang. 2. Menetapkan pembagian tugas yang secara lebih jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara pemerintah dan masyarakat madani, dalam mencegah konflik kekerasan. 3. Mengikutsertakan

pemerintah

daerah

dalam

merumuskan

dan

melaksanakan kebijakan pencegahan dan pengelolaan konflik agar persoalan-persoalan lokal ikut dipertimbangkan secara memadai dalam kerangka kebijakan nasional. 4. Menginformasikan

lembaga/institusi

keamanan

formal

akan

perkembangan dinamika konflik di wilayahnya dan memperkuat kemampuan mereka agar efektif dalam menangani kekerasan. 5. Memperkuat

mekanisme-mekanisme

informal

untuk

penyelesaian

sengketa dan akses terhadap keadilan di tingkat local dengan melatih pemimpin local mengenai cara-cara resolusi konflik untuk mencegah eskalasi sengketa menjadi konflik kekerasan. 6. Terus melakukan program pembangunan perdamaian (peace-building) di provinsi-provinsi pascakonflik, secara khusus juga di Papua mengingat wilayah ini mengalami tingkat kekerasan tinggi dengan konteks penuh ketegangan yang sedang meningkat. 7. Melakukan kajian sistematik berkala untuk mengumpulkan informasi terbaru mengenai pola dan dampak konflik kekerasan di propinsi lain dan melakukan pemantauan secara kontinu terhadap perkembangan konflik di wilayah-wilayah ‘panas’ seperti Papua dan Maluku. Upaya pemantauan tersebut memerlukan kemitraaan yang kokoh antara lembaga pemerintah dan nonpemerintah, dimana peran lembaga nonpemerintah sebaiknya mencakup pengumpulan dan penganalisa data sehinggga dapat menjadi panduan bagi penanganan konflik yang dilakukan pemerintah.

Halaman | 26


BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru. Tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan adalah: 1) kekerasan terkait penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin seperti bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia. Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat dalam penyelengaraan Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme. Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi menciptakan budaya kekerasan di mana keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu

dapat

dimobilisasi

dan

berkontribusi

pada

ketegangan-

ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015) mencatat bahwa sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas akibat konflik pada beberapa tahun terakhir.

Halaman  |  27   Â


Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok

pendatang

dan

masyarakat

setempat,

sehingga

menampilkan

ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan. B. Saran Terkait dengan kekerasan Pemilukada, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakseimbangan atau kemacetan komunikasi antar lintas stakeholder politik yang akhirnya menimbulkan kekerasan yang menjurus ke anarkisme secara struktural. Oleh karena itu, berdasarkan teori Habermas, maka konsep masyarakat komunikatif menjadi alternatif yang mampu melahirkan konsensus baru yang harus ditaati dalam proses politik untuk menguraikan kekerasan dan kerusuhan social dalam Pemilukada. Sedangkan dari konflik kekerasan rutin yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia dapat disimpulkan bahwa perlu adanya sebuah perubahan pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan yang terpadu dan komprehensif dan mengadopsi pendekatan preventif. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain: a) investasi pada kegiatan pemantauan konflik secara sistematis, khususnya di wilayah rawan konflik sebagai instrumen pendukung sistem peringatan dini, b) upaya-upaya peningkatan kemampuan para penegak hukum agar efektif menanggulangi dan menangani kekerasan, c) penguatan mekanisme lokal dalam menyelesaikan sengketa untuk meningkatkan kohesi sosial masyarakat dan mencegah

eskalasi

konflik,

d)

investasi

terus-menerus

pada

program

pembangunan perdamaian (peace-building) di wilayah pascakonflik, dengan mengedepankan kepemimpinan lokal, e) partisipasi dan keterlibatan penuh para aktor lokal dalam perumusan kerangka kebijakan nasional.

Halaman  |  28   Â


DAFTAR PUSTAKA Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoeddin, and Rizal Panggabean (2008). Creating datasets in information-poor environments: patterns of collective violence in Indonesia, 1990-2003. Journal of East Asian Studies 8: 361-394. Bridget Welsh (2008). Local and national: keroyakan mobbing in Indonesia. Journal of East Asian Studies 8 (3): 473-504. Camara, Dom Helder. (2000). Spiral kekerasan. Terjemahan: Komunitas Apiru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Conflict and Development Program (C&D) (2008). “Using newspapers to understand variation in violent conflict: towards a database of violence in Indonesia.” Policy Brief: Understanding Conflict Dynamics and Impacts in Indonesia No. 1. Jakarta: World Bank. Conflict and Development Program (C&D) (2015). Using newspapers to understand variation in violent conflict: towards a database of violence in Indonesia.” Policy Brief: Understanding Conflict Dynamics and Impacts in Indonesia No. 3. Jakarta: World Bank. Echols dan Hassan Shadily. (1990). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Friedmad, Maurce. (1988). Menggapai dunia damai. Diterjemahkan S. Maiman dkk dengan judul asli: The power of violence and the power of nonviolence. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Gerry van Klinken (2007). Communal violence and democratization in Indonesia: small town wars. London: Routledge Gurr, Ted Robert. (1998). Early warning of ethnopolitical rebellion: in preventive measures. Lanham, MD: Rowman & Littlefield. __________ and Barbara Harff. (1996). Early warning of communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations University Press. Habermas, J. (1971). Toward a rational society. London: Heinemann. __________. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi. Alih Bahasa: Hasan Basri. Jakarta: LP3ES. Hardiman, Fresco Budi. (1993). Menuju masyarakat komunikatif. Yogyakarta: Kanisius __________. (2009). Demokrasi deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. __________. (2010). Ruang publik. Yogjakarta: Penerbit Kansius. International Crisis Group (ICG) (2003). “The perils of private security in indonesia: guards and militias on Bali and Lombok.” Asia Report No. 67. Jakarta/Brussels: ICG.

Halaman | 29


Istania Ratri. (2009). Potensi konflik etnis-religius di tingkat lokal. bahan ajar mata kuliah dinamika politik lokal. Jakarta: STIA LAN. Jacques Bertrand (2004). Nationalism and ethnic violence in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press John T. Sidel (2006). Riots, pogroms, jihad: religious violence in Indonesia. Ithaca, N.Y.:Cornell University Press LDOCE2. (1987). Longman dictionary of contemporary english, new edition. UK: Longmans Group UK Limited Madjid. (1993). Pandangan dunia alqur’an: ajaran tentang harapan kepada allah dan seluruh ciptaan. Alqur’an dan tantangan modernitas, cet. i. Yogyakarta: SIPRESS, 1993, h. 3 Marijan, Kacung. (2007). Resiko politik, biaya ekonomi, akuntabilitas politik, dan demokrasi lokal . Paper. Jakarta: Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Patrick Barron, Rachael Diprose, and Michael Woolcock (forthcoming 2011). Contesting development: participatory projects and local conflict dynamics in Indonesia. New Haven: Yale University Press Patrick Barron and David Madden (2004). Violence and conflict resolution in ‘non-conflict’ regions: the case of Lampung, Indonesia. Indonesian Social Development Paper No. 2. Jakarta: World Bank Ritzer, George. (2003). Sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. ed.1., cet.4. Alih Bahasa: Alimandan, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada Santoso, Thomas. (2002). Teori-teori kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia Siahaan, Hotman (et al.). (1983). Struktur sosial kebudayaan masyarakat tepian kota. Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga. Surwandono. (2010). Studi EWS dalam Pemilukada. surwandono.staff.umy.ac.ic. Diakses 13 Juni 2016. Susan, Novri. (2010). Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Jakarta: Kencana

Halaman | 30


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.