Jong Indonesia

Page 1

| Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda | No. 1 - 17 Agustus 2009 |

1

JONG

I N D O N E S I A

Suka Duka Kuliah di Belanda No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun - JONG(Wageningen) INDONESIA Foto: Jimmy IPerdana


2

Salam “Apalah arti sebuah nama?” kata Shakespeare. “Bukankah mawar akan tetap harum, meski kita sebut dengan nama lain?” Mungkin, bagi Shakespeare nama hanya sekedar nama. Berbeda ketika Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang berdiri tahun 1908 diubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Nama buletinnya pun diubah dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka tahun 1924. Perubahan nama itu dan pencantuman nama Indonesia membawa pengaruh yang luar biasa. Setelah 101 tahun berlalu, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda, yang punya kaitan historis dan semantis dengan Indische Vereeniging dan Perhimpunan Indonesia, menerbitkan sebuah majalah online, untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan lewat media. Ada sekitar 1500 pelajar Indonesia di Belanda. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan militan. “Masa untuk menerbitkan sebuah majalah, tidak bisa?” Itulah yang menggerakkan penerbitan majalah ini. Proses inisiasi dan perekrutan dimulai sejak Maret 2009. Namun, memilih dan menentukan nama media itu tidak selesai dalam semalam. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul: Jembatan, Indonesia Muda, Agora, van Indonesie, Tinta Ilmu, Penggiat Indonesia, dan Indonesia Maju. Dari nama-nama itu akhirnya mengerucut menjadi dua: Indonesia Muda dan van Indonesie. Perdebatan di redaksi cukup alot. Ketika di-voting, hasilnya 50:50. Akhirnya, kami meminta warga PPI Belanda untuk menentukan nama majalah ini lewat poling online. Sebanyak 208 voters berpartisipasi. Ketika deadline ternnyata hasilnya masih sama 50: 50. Lalu dalam rapat online redaksi, muncul usulan nama Jong Indonesia Indonesia. Nama itulah yang akhirnya dipilih dan disepakati. Kenapa Jong Indonesia? Seperti kita tahu, menjelang Sumpah Pemuda 1928, banyak muncul perkumpulan seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Jong Indonesia atau Jong Indonesie adalah nama

Redaksi organisasi yang didirikan di Bandung 1927. Mereka menggunakan warna merah putih dan kepala banteng sebagai simbol. Nama organisasi ini kemudian diubah menjadi Pemuda Indonesia untuk yang berjenis kelamin laki-laki dan Putri Indonesia bagi yang perempuan. Pemuda Indonesia membuat kongres di mana pada kongres yang kedua menghasilkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, JONG Indonesia ingin mengajak para pemuda, khususnya pelajar Indonesia di Belanda, untuk menyumbangkan pemikirannya untuk Indonesia yang lebih baik. Majalah ini diharapkan menjadi media pembelajaran, transfer informasi dan pengetahuan; mempererat-memperluas persaudaran antarmahasiswa Indonesia di Belanda; dan memberikan masukan terhadap perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Penerbitan majalah versi online dipilih karena pertimbangan: lebih murah dan hemat kertas; dan pelajar Indonesia di Belanda sebagian besar bisa mengakses internet. Majalah online ini berbasis web di http:// majalah.ppibelanda.org. Format web juga memungkinkan untuk meng-update informasi-informasi penting dan aktual dalam bentuk berita (straight news). Versi majalah dengan format PDF juga kami sediakan, sehingga bisa diunduh dan dicetak. Jong Indonesia mengajak kawankawan PPI Belanda dan siapa saja untuk menulis dan berbagi. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Yohanes ’Masboi’ Widodo Pemimpin Umum/ Sekjen PPI Belanda JONG INDONESIA - Majalah online PPI Belanda. Pemimpin Umum: Yohanes Widodo (Wageningen) Pemimpin Redaksi: Yon Daryono (Denhaag) Sekretaris Redaksi: Yessie Widya Sari (Wageningen) Staf Redaksi: Asti Rastiya (Denhaag) Sujadi (Leiden) Dian Kusumawati (Amsterdam) Amar Ma’ruf (Amsterdam) Rahma Saiyed (Denhaag) Henky Widjaja (Denhaag) Prita Wardani (Denhaag) Meditya Wasesa (Rotterdam) Hosea Sapto Handoyo. Fotografer: Qonita S (Eindhoven) Jimmy Perdana (Wageningen)

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I


3

Utama “Wah enaknya, ya, bisa kuliah di Belanda.” Demikian komentar yang seringkali dilontarkan oleh teman atau kerabat terhadap orang yang belajar di luar negeri, khususnya di Belanda. Kuliah di Belanda itu enak, menyenangkan, bisa jalan-jalan, dan lain-lain. Benarkah demikian? Qonita S, Yessie Widya Sari, dan Asti Rastiya dari Jong Indonesia mengumpulkan kisah, pengalaman, dan komentar anggota PPI Belanda tentang suka, duka, perjuangan mereka selama belajar dan hidup di Belanda. Laporan dirangkum oleh Yohanes ‘Masboi’ Widodo. Redaksi

Suka Duka Kuliah di Belanda Picture is taken from http://www.readerbookpatch.com

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


4

Sukanya kuliah di Belanda

J

ika ditanya apa enaknya belajar di Belanda, yang mesti disebutkan pertama adalah bahasa. Ini harus diakui. NESO Indonesia, penyelenggara beasiswa Stuned, bahkan punya tagline: “In English, for sure!” Ya, meskipun kita belajar di Belanda namun kita ‘cukup’ menguasai Bahasa Inggris. Di Belanda, Bahasa Inggris bisa dibilang bahasa kedua. Hampir 80 persen orang Belanda bisa berbahasa Inggris. Dimanapun kita berada, setiap kali ketemu orang, mereka bisa berbahasa Inggris. Ini diakui oleh Arya Adriansyah dari TU Eindhoven, bidang Computer Science and Engineering, spesialisasi Architecture of Information System. “Sebagian besar orang Belanda bisa berbahasa Inggris, sehingga tidak terlalu sulit berkomunikasi, termasuk ketika kuliah,” ujar Arya. “Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Jerman, Italia, dan Perancis, orang Belanda lebih lebih foreigner friendly, relatif lebih rapi atau teratur,” ujar Renaldi, mahasiswa TU Eindhoven jurusan Sustainable Energy Technology. Kedua, banyaknya mahasiswa yang belajar di Belanda. Menurut catatan Nuffic, ada sekitar 1.500 pelajar Indonesia di Belanda. “Banyaknya teman-teman dari Indonesia memungkinkan proses adaptasi dengan lingkungan relatif cepat dan meminimalisir culture shock,” tambah Arya. Satu hal yang sangat menyenangkan bisa memasak dan makan bareng, pergi jalan-jalan bareng, dan nongkrongnongkrong bareng dengan temanteman Indonesia. Ketiga, kualitas universitas, perkuliahan dan pendidikan. “Dilihat dari semua sisi universitas di Belanda. Setidaknya, ia melihatnya dari tiga hal: human resource, fasilitas, dan support center universitas. Perkuliahan di kampus Belanda merupakan sistem yang lebih banyak diskusi dan berbagi pengalaman dengan sesama mahasiswa dari berbagai Negara, tidak melulu fokus pada buku teks,” ujar Dilli Sagala,

alumni ICHD KIT Amsterdam 2008. Dosen di Belanda berkompeten dan egaliter. “Para dosen terbuka untuk diskusi diluar jam kuliah dan melek teknologi. Dosen juga punya riset yang sejalan dengan kuliah, sehingga ilmu-ilmunya benar-benar

up to date, bahkan kadang-kadang punya tools sendiri,” papar Arya. “Dosen tidak pernah memaksakan idenya kepada mahasiswa. Dengan kata lain tersedia ruang untuk kebebasan dalam berfikir dan memaksimalkan potensi diri,” jelas Hustarna, master

Dr .Ir o, M.Sc. Dr.Ir .Ir.. Gembong Baskor Baskoro,

Belajar Kehidupan Technische Universiteit Eindhoven Jurusan Technologie Management (PhD 2001-2006). Saat ini Rektor Universitas Widya Kartika Surabaya

Kuliah tidak hanya belajar selama di kampus saja tapi juga dari faktor eksternal lingkungan, masyarakat, pergaulan, persoalan hidup, dan lain-lain. Selama saya di Belanda, kuliah sebagai AiO (PhD) dengan anak tiga orang, tentu saja merupakan perjuangan yang sangat berat. Namun pelajaran, hikmah, yang saya petik tiada bandingnya. Saya tidak hanya kuliah untuk diri saya sendiri, tapi kami sekeluarga dapat belajar banyak dari kehidupan selama di Belanda dan daratan Eropa. Selama kurun itu saya aktif bersama mahasiswa Indonesia (PPI) di seluruh Eropa dalam berbagai kegiatan PPI di berbagai kota Eropa. Tentu saja kegiatan lain yang berhubungan dengan kuliah saya juga berjalan paralel.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Pengalaman tersebut telah menempa kemandirian, kemampuan mengorganisir, mengambil keputusan, dan bersikap fokus seperti gaya managemen Belanda pada umumnya. Saya selama di kampus juga aktif mengikuti Phd Council dengan rekan-rekan dari berbagai negara untuk memperjuangkan kami di fakultas. Interaksi itulah yang memberikan pelajaran di luar akademis terhadap budaya managemen Belanda. Selain itu interaksi kami dengan keluarga asli Belanda juga merupakan pengalaman indah buat kami sekeluarga. Rasa gotong royong rakyat Belanda kami rasakan melebihi rakyat Indonesia pada umumnya. Empati akan sesama jauh lebih kuat, dan rasa sosial dan kesetia kawanan juga menonjol. Hal ini kami rasakan bukan sebagai teori namun kenyataan hidup kami sekeluarga. Saat ini dalam pekerjaan dan jabatan saya di tanah air, pengalaman tersebut dan jaringan yang ada sangat membantu kehidupan kami ditanah air. Kami tetap melanjutkan hubungan tersebut hingga saat ini.***


5

Irene Panuju, jurusan ICT, Fontys University of Applied Sciences, Eindhoven.

Aprilianto Eddy Wiria, Immunology Department of Parasitology, LUMC Leiden.

Arya Adriansyah, jurusan Computer Science and Engineering, TU Eindhoven

Linguistics di Radboud University Nijmegen menyoroti hubungan dosen dan mahasiswa yang setara. Mahasiswa bisa menyampaikan pendapat meski bertentangan dengan dosen atau fasilitator. “Fasilitatornya kebanyakan para pakar di bidangnya masing-masing yang berasal dari berbagai negara dan organisasi internasional, termasuk dari WHO, sehingga merupakan pengalaman yang sangat berharga,” tambah Dilli yang mengambil program internasional pembangunan kesehatan. “Dosen lebih berdedikasi. Mengajarnya jelas. Mata kuliah dikupas sampe sebiji-bijinya. Kalau kita ada komplain ke dosen, misalnya dia absen tanpa keterangan atau mengajar kurang jelas, bisa dilaporin ke universitas,” ujar Irene Panuju, mahasiswa tahun kedua jurusan ICT, Fontys University of Applied Sciences, Eindhoven. “Kita ditantang untuk berpikir secara kritis dan mandiri, bukan hanya menerima dan menelan mentah-mentah. Saya ingat pesan dosen saya: kita boleh saja lupa dengan semua rumus, toh itu bisa dilihat di banyak buku. Yang terpenting justru bagaimana kita mampu berpikir sistematis untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Mulai dari mencari penyebab sampai melakukan evaluasi dampak dari hasil kerja kita,” ujar Margaetha Siregar atau Margie, alumni UNESCO-IHE 2007-2009, Delft.

“Dosen bisa dipanggil langsung dengan namanya. Meski awalnya kurang sreg, tapi itu cukup efektif untuk menghilangkan jarak guru dengan murid dan menghindari feodalisme dalam dunia pendidikan,” ujar Selamet Hidayat, mahasiswa Royal Tropical Institute (KIT) Amsterdam, Jurusan Public Health. “Perbedaan strata antara dosenmahasiswa tidak keliatan. Jadinya, mahasiswa lebih berani berpendapat, berkreasi, nyari-nyari ide tanpa takut dapet nilai jelek karena dosennya tidak suka,” kata Renaldi. Fasilitas yang mendukung ilmu pengetahuan tersedia dengan melimpah ruah. “Universitas punya akses ke jurnal-jurnal aktual, kecepatan internetnya kencang tanpa batas. Di sini komputer diperbarui terus. Mahasiswa juga mendapat jatah printer gratis,” kata Arya. “Akses jurnal kedokteran yang lebih lengkap, seminar-simposiadiskusi melimpah ruah merupakan kemewahan bagi orang yang ingin menjadi ilmuwan,” kata Aprilianto Eddy Wiria, mahsiswa PhD jurusan Immunology Department of Parasitology, LUMC Leiden. Perpustakaan juga melayani mahasiswa secara penuh. “Rata-rata perpustakan dibuka hingga malam hari, terutama pada musim exam. Perpustakaan juga sedia buku-buku terbaru, langganan majalah-majalah yang memang menunjang,” tambah

Arya. Support center kampus juga diakui bagus. “Segala bisa diurus/ ditanyain ke Support Center, mulai dari cara apply residence permit, ijin kerja, nanya-nanya arti surat-surat berbahasa belanda, dan ngebantunya tidak pakai sinissinisan,” kata Arya. Arya pernah menanyakan tentang Internet ke Support Center dan mereka langsung telpon provider Internetnya. “Jika memerlukan surat keterangan juga relatif cepet. Mintanya pagi, dapatnya siang atau sore,” tambahnya. Selain itu, ada satu lagi yang penting menurut Arya. “Sekolah di Belanda kerjasama sama industrinya oke.” Menurutnya, riset-riset yang dikerjain banyak yang memang dibutuhkan oleh industri. Bahkan tools yang dikembangkan bisa jadi “dicontek” oleh produk-produk komersil. Disini juga disupport software-software komersil yang up to date. “Kemarin tutorku memesan satu software simulasi buat ngajar, dan berhasil dapet lisensi untuk 60 orang dalam waktu kurang dari tiga bulan. Padahal harga softwarenya lumayan,” katanya. Selain tentang kampus dan perkuliahan, beberapa anggota PPI menyoroti tentang transportasi dan lalu lintas di Belanda yang tertib dan teratur. “Sistem transportasi massal ‘luar biasa’. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Istilah dia ‘mendekatkan yang jauh dan merapatkan yang sudah dekat’

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


6

Rezki Lestari Arief, Institute of Social Studies The Hague Jurusan Economic of Development 2007. karena mudahnya koneksi. Di Belanda itu tidak ada kota yang jauh, semuanya dekat, “ ujar Selamet . “Jalanan di sini juga pedestrianfriendly. Trotoarnya lebar-lebar dan tidak dibajak PKL. Benar-benar melengkapi lingkungannya yang juga minim polusi, baik polusi udara, air, tanah, maupun suara,” ujar Irene Panuju. Di Belanda jalur pejalan kaki, jalur sepeda dan jalur mobil/bus/tram yang terpisah dengan baik. Tidak rebutan kayak di Indonesia. Mobil mengalah dengan sepeda, sepeda mengalah dengan pejalan kaki. “Apa tidak terharu lihat Mercedes atau Audi kinclong tiba-tiba mengerem mendadak karena ada sepeda bututku mau lewat? Di mana lagi bisa begini?” tanya Selamet. Belanda juga menjadi surga bagi pengendara sepeda. “Meski ada yang pernah bilang, Jogja juga kota sepeda, tapi kenyamana naik sepeda baru saya rasakan di Belanda. Tak perlu takut keserempet kendaraan seperti motor dan mobil. Keadaan di Belanda, membuat saya tahan meninggalkan tanah kelahiran demi cita-cita,” ujar Rezki Lestari Arief atau Kiki, lulusan Institute of Social Studies The Hague Jurusan Economic of Development 2007. Urusan makan juga tidak ada masalah. Hampir semua bahan makanan Indonesia tersedia di Belanda. “Bagi yang kangen makanan Indonesia, ada Toko Asia

“Buat saya hal paling worth it atau menyenangkan selama hidup di Belanda adalah adanya kartu “pathe”. Dengan kartu ini kita nonton bioskop sepuasnya dalam sebulan cuma dengan 18 Euro.” Wah Nam Hong di Centrum Den Haag. Tempat ini menjadi surga belanja bagi penikmat masakan Indonesia: ada daun salam, terasi, hingga tempe. Jadi, tidak usah takut kangen masakan Indonesia selama kuliah di Belanda,” tambah Kiki. Makanan apa yang paling disukai? “Durum kebab met knoflooksaus,” kata Rezon B. Jovian, Stenden Hogeschool, Jurusan Informatics. Menurut Dilli, kondisi lingkungan Belanda juga kondusif untuk berinteraksi dengan masyarakat, baik lokal maupun pendatang. Secara sosial, masyarakat Belanda juga menghargai perbedaan dan pluralisme. Kehidupan beragama dapat berjalan dengan baik. Bagi orang muslim terdapat fasilitas ibadah yang relatif baik untuk ukuran Eropa. “Buat yang muslim ada mushola (stillteruimte), ada mesjid, dan orangorang juga mengerti kalau muslim harus ibadah lima kali sehari,” ujar Arya. “Masyarakat Belanda terbuka, egaliter terus terang, namun tidak pendendam, “tambah Selamet. “Di sini kita bebas mengutarakan pendapat, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah,” ujar Aditya Tri Hernowo, PhD program Ophthalmology, UMC Groningen. Orang-orang Belanda juga dinilai disiplin dan respek dengan waktu. “Disini semuanya terjadwal, jadi

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Aditya Tri Hernowo, PhD program Ophthalmology, UMC Groningen.

gampang buat bikin personal schedule.” Orang Belanda juga tidak terlalu workaholic dibandingkan orang Asia. “Pada saat kerja ya kerja, pada saat libur ya libur,” tutur Renaldi. Belanda juga bisa dibilang surga untuk hiburan. Letak geografisnya yang dekat dengan negara-negara tetangga, sehingga dapat sekedar plesir walaupun cuma di akhir pekan. Bangunan tua atau bersejarah dirawat dengan baik. Itulah nilai plus kota-kota di Eropa mempertahankan ciri dan karakter mereka. Jadinya banyak obyek wisata bangunan tua yang menarik, serasa hidup di golden period di era 1800-an. “Buat saya hal paling worth it atau menyenangkan selama hidup di Belanda adalah adanya kartu “pathe”. Dengan kartu ini kita nonton bioskop sepuasnya dalam sebulan cuma dengan 18 Euro,” ujar Mackenzie Hadi, mahasiswa di Groningen. Hal paling sederhana yang bisa dipelajari dari orang Belanda? “On time. Disinilah saya belajar on time dan alhamdulillah sekarang saya sudah lumayan tidak ngaret seperti dulu lagi,” kata Selamet. “Manajemen dan ketepatan waktu yang mengagumkan, hidup hemat ala Belanda, perbedaan status sosial yang tidak mencolok, bersikap apa adanya tanpa menghakimi orang lain,” tambah Margie.***


7

Dukanya kuliah di Belanda

B

erbagai fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan oleh kampus serta keunikan alam yang ditawarkan negeri Kincir Angin menjadi magnet tersendiri bagi pelajar Indonesia untuk belajar di Belanda. Sehingga bisa dimaklumi histeria para calon pelajar Indonesia, manakala angin segar tersebut berubah menjadi kenyataan: kepastian bahwa dirinya akan berangkat ke Belanda, sebuah negera yang memiliki hubungan historis kuat dengan Indonesia. Berbeda dengan apa yang dialami Rara Diantari, penerima beasiswa Stuned yang belajar di Wageningen University. Keraguan akan segala kemampuan dirinya untuk bisa menyelesaikan studi justru mulai membayangi dirinya. Ketakutan Rara cukup beralasan, mengingat banyak aspek harus diadaptasi. Wajar jika histeria tersebut meluruh seiring berjalannya waktu. Bahkan, kebahagiaan tersebut mulai pudar sejak awal kedatangan. Tingginya minat pelajar Internasional untuk melanjutkan studi di Wageningen University membuat pihak universitas kesulitan untuk menyediakan apartemen. Beberapa pelajar Indonesia sempat mendapatkan imbasnya. Mereka harus mengungsi ke bungalow yang jaraknya sekitar 25 km dari kampus. Selain harus berjuang dengan masalah waktu dan jarak tempuh, mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dengan kondisi bungalow yang kurang kondusif. Fase kesulitan hidup sangat kental mewarnai bulan-bulan awal kehidupan pelajar Indonesia. Rindu kampung halaman alias home sick dapat dipastikan terjadi. Terutama bagi sang bunda yang meninggalkan ananda tersayang nun jauh di sana. Perbedaan gaya dan pola hidup adat ketimuran dan kebaratan, juga menjadi kendala, setidaknya dari pola makan dan adat istiadat di kamar mandi. Orang Indonesia bisa dibilang belum makan kalau belum menyantap nasi. Beruntunglah bagi mereka yang bisa segera

Rara Diantari, penerima beaiswa Stuned, Wageningen University menyesuaikan diri dengan mengonsumsi roti. Bagamana nasib rekan-rekan yang sistem metabolismenya belum bisa menyesuikan diri? Jangan khawatir. Beras dan bumbu-bumbu masak khas Indonesia tersedia di sini. Namun, jika tidak bisa masak, mau diapakan bumbu-bumbu tersebut? Urusan makanan juga terkait dengan harga-harga yang mahal, meski kita tahu kalau tdiak tepat membandingkan harga makanan di Eropa dengan di Indonesia. Hal lain, bagi teman-teman Muslim, adalah susahnya cari makanan ‘halal’. “Ini paling repot, jalan keluarnya kalau ndak dapet resto Turki ya terpaksa Patat lagi patat lagi‌â€? kata Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam. Perilaku di kamar mandi juga mendatangkan derita tersendiri. Jangan berharap mendapatkan gayung untuk membersihkan diri sehabis buang air. Jangankan gayung, airpun tak ada. Yang bisa ditemukan di kamar mandi hanya satu: tissue. Toilet di Belanda, dan juga di negara-negara lainnya di Eropa, adalah toilet kering, alias tidak pakai air. Beruntunglah bagi mereka yang sudah terbiasa dengan toilet kering sejak di Indonesia. Untuk

masalah tatakrama di toilet, beberapa teman mengakalinya dengan membawa air dalam botol. Perbedaan cara penyampaian pendapat juga bisa memicu cultural shock terutama bagi mereka yang terbiasa basa-basi. Memang, ada juga beberapa golongan masyarakat di Belanda yang memelihara pola basa-basi. Namun, mayoritas dari mereka lebih cenderung straight to the point. Kondisi ini bisa jadi masalah bagi mahasiswa Indonesia yang belum terbiasa menerima kritik secara terbuka. Selain masalah sosial, untuk bisa bertahan hidup di Belanda diperlukan kemampuan beradaptasi terhadap iklim. Pola hidup di negara yang memiliki empat musim pasti berbeda dengan pola hidup di Indonesia yang hanya memiliki musim hujan dan panas. Kenikmatan berganti jenis kostum antar musim serta kenikmatan melihat salju hampir dapat dipastikan menjadi imajinasi sebagian besar calon pelajar Indonesia, terutama mereka yang belum pernah tinggal di negeri empat musim.

Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam.

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


8 Kenyataannya? Kenikmatankenikmatan tersebut ternyata hanya sepersekian dari penderitaan yang dirasakan. Belanda dikenal sebagai negara yang memiliki tingkat ketidakteraturan cuaca. Jika pagi hari suhu sekitar 4 derajat Celcius, siang hari bisa berubah menjadi 20 derajat Celcius. “Cuaca sering tak jelas. Walaupun secara umum baik, cuman pergantian cuaca dari menit-ke-menit yang bisa drastis cukup membuat payah dan pusing tujuh keliling lapangan sepak bola. Jadi ketar-ketir kadang mau keluar pake kaos oblong sama celana pendek, entar tahu-tahu hujan bisa menggigil di jalan kan ndak lucu,” ujar Selamet Hidayat, mahasiswa KIT Amsterdam. Belum lagi perbedaan durasi siang dan malam yang berbeda, terutama memasuki musim panas. Siang yang lebih panjang dibandingkan malam menjadi kendala tersendiri bagi rekan-rekan muslim dalam menjalankan ibadah sholat lima waktu. Sebagai gambaran, memasuki musim panas, jarak antara Maghrib, Isya, dan Subuh sangat pendek. Maghrib sekitar pukul 22.00, Isya pukul 24.00, dan subuh pukul 03.00. Bisa dibayangkan bagaimana mereka harus berpandai-pandai mengatur waktu dan stamina. Bicara masalah moda transportasi, sebenarnya tinggal di Belanda jauh lebih menyenangkan. Namun hal ini bisa berbalik 180 derajat bagi rekan-rekan yang tidak bisa mengendarai sepeda. Kenapa begitu? Sepeda menjadi alat transportasi utama di Belanda tanpa memandang usia dan gender, tua-muda, laki-laki atau perempuan. Belanda merupakan negara dengan densitas sepeda terbesar di dunia. Transportasi publik seperti bus dan tram menjadi solusi bagi mereka yang tidak bisa bersepeda ria. Konsekuensinya, biaya hidup menjadi meningkat dan fleksibilitas waktu berkurang karena harus menyesuaikan diri dengan jadwal bus atau tram tersebut. Transportasi menjadi kendala utama bagi Yusdiana, penerima beasiswa Ford Foundation di Wageningen University yang seharihari menggunakan kursi roda. “Jika dibandingkan dengan negara Eropa

Yusdiana, penerima beasiswa Ford Foundation, Wageningen University

Siang lebih panjang dibandingkan malam. Ini menjadi kendala tersendiri bagi rekan-rekan muslim. Memasuki musim panas, jarak antara Maghrib, Isya, dan Subuh sangat pendek. Maghrib sekitar 22.00, Isya 24.00, dan subuh 03.00. lainnya, Inggris misalnya, fasilitas transportasi untuk tuna daksa di Belanda masih kurang memadai” ujar Diana. Sebagai contoh, beberapa universitas di Inggris menyediakan fasilitas antar jemput bagi mereka yang memiliki keterbatasan seperti Diana. Namun hal itu tidak terjadi di

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Belanda. Konsekuensinya biaya transportasi menjadi meningkat dikarenakan dia harus menggunakan fasilitas taksi untuk menunjang aktivitas kesehariannya yang menuntut mobilitas dari satu kampus ke kampus lainnya. Kehidupan akademik, penguasaan bahasa Inggris serta kemampuan manajerial waktu menjadi kendala tersendiri. Tak dipungkiri, penguasaan bahasa Inggris menjadi salah satu persyaratan untuk melanjutkan studi di Belanda. Nilai TOEFL atau IELTS yang tinggi seolah-olah menjadi penjamin kualifikasi calon mahasiswa. Kenyataannya, tidak demikian. Uji kualifikasi tersebut lebih bersifat normatif. Realitanya banyak aspek lain yang harus dikuasai. Kemampuan untuk bisa berkomunikasi verbal menjadi salah satu kendala tersendiri bagi pelajar Indonesia. Terutama bagi rekanrekan yang menggeluti bidang sosial yang dicirikan dengan tuntutan memiliki kemampuan mengemukakan pendapat. Minimnya penguasaan kosa kata, terutama kosa kata yang spesifik pada bidang ilmu tertentu juga ikut berkontribusi dalam memperlambat kemajuan studi. Sistem pendidikan di Belanda menuntut pelajarnya siap tempur sebelum turun ke medan perang. Mau tidak mau, bertumpuk artikel dan reader wajib dibaca sebelum aktivitas kelas dimulai. Belum lagi bertumpuk laporan menanti untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Hal lain yang sering bikin pusing dan ribet adalah berurusan dengan Asuransi. “Pengalaman beberapa teman, harus pake ribut dan minta bantuan kampus baru masalah beres. Pesan saya, be prepared dengan obat-obatan darurat dari rumah,” ujar Selamat Hidayat. Banyak pelajar Indonesia yang ingin mengisi waktunya dengan berbagai aktivitas ekstrakurikuler bahkan menjadi aktivis LSM. Di sinilah kemampuan manajerial waktu menjadi kunci keberhasilan studi. Kendala-kendala akademis itulah yang mengantarkan resit menjadi fenomena tersendiri di kalangan pelajar Indonesia. ***


9

Resit alias re-exam A yo kita bikin milis alumni resit. Yang belum pernah dapat resit, gak boleh jadi member!� Itulah usulan bermuatan canda seorang mahasiswa master saat berkumpul dengan temantemannya, sesama mahasiswa master dari berbagai kota di Belanda. Mereka berkumpul di kamar Diana Chaidir, mahasiswa Erasmus Universiteit Rotterdam, untuk bersama-sama melihat pesta kembang api dalam rangka pergantian tahun 2008-2009 di jembatan Erasmus, Rotterdam. Usulan tersebut timbul setelah mereka saling bertukar cerita dan menemukan kesamaan nasib: berkenalan dengan RESIT alias REEXAM. Pada dasarnya, tentu tak ada yang ingin berteman dengan resit. Tapi kenyataannya, cukup banyak mahasiswa Indonesia di Belanda yang mendapat resit. Apakah karena mereka bodoh? Tentu saja, bukan. Tak sedikit dari mereka yang termasuk siswa outstanding di jenjang studi sebelumnya. Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi penyebab mereka mendapat resit? Rata-rata, mahasiswa Indonesia mendapat resit di masa-masa awal kuliah. Seperti dialami mayoritas mahasiswa Indonesia di program Master of International Communication Management (MICM), The Hague University of Applied Sciences. Di program ini tak ada ujian di dalam kelas, tapi berupa assignments (paper) dan empat penelitian. Hampir semua courses menugaskan mahasiswanya membuat empat assignments selama kurang lebih dua bulan masing-masing course berlangsung. Pada assignment pertama dan kedua, di MICM grup B, hanya satu dari delapan mahasiswa Indonesia yang lulus (mendapatkan nilai 5.5 ke atas). Berhubung total mahasiswa di kelas tersebut hanya 20 orang, maka jumlah mahasiswa Indonesia yang mendapatkan resit terlihat cukup menonjol. Tiadanya masa penyesuaian diri

terhadap sistem belajar-mengajar di Belanda yang relatif berbeda dengan sistem belajar-mengajar di Indonesia, memaksa para mahasiswa Indonesia harus siap dengan dengan proses belajar mandiri. Saat bersamaan, mereka harus beradaptasi dengan lingkungan dan budaya baru. Kendala ini tentu tak hanya dirasakan oleh mahasiswa MICM, tapi juga mahasiswa di program dan universitas lainnya di Belanda. Selain kendala di atas, sejumlah mahasiswa Indonesia dari beberapa universitas di Belanda mengatakan perbedaan siklus ujian pun ikut penjadi penyebab mereka mendapat resit. Mahasiswa Indonesia terbiasa dengan sistem semester, dimana ujian dilakukan dalam siklus enam bulanan. Sementara di Belanda, siklus ujian berlangsung sekitar dua bulan sekali untuk beberapa courses sekaligus, sehingga waktu yang dimiliki untuk mempersiapkan diri sebelum ujian, terasa sangat minim. Kendala lainnya adalah bahasa. Bagi sebagian besar mahasiswa Indonesia, inilah kali pertama mereka harus mengikuti ujian dan membuat paper dalam bahasa Inggris, yang tentu saja menuntut kemampuan aca-

demic writing yang cukup baik. Amanda Coady dan Barr y Barry Verbeek erbeek, keduanya dosen di program MICM, memandang tingkat kemampuan bahasa Inggris sebagai penyebab utama cukup banyaknya mahasiswa mereka yang mendapat resit. Amanda menuturkan, lemahnya kemampuan bahasa Inggris dalam academic level menyebabkan para mahasiswa Indonesia membutuhkan lebih banyak waktu untuk membaca dan memahami literatur, yang otomatis mengurangi alokasi waktu untuk mengerjakan assignments (paper). Amanda menambahkan, kendala bahasa juga menyebabkan tulisan para mahasiswanya sulit dipahami dan rentan menyebabkan dosen salah interpretasi. Ia melihat banyak mahasiswa Indonesia yang pada akhirnya hanya menuliskan atau mengungkapkan apa yang mampu mereka katakan, bukan apa yang sesungguhnya ingin mereka katakan. Selain itu, Amanda juga melihat faktor budaya mempengaruhi sistematika dan logika berpikir mahasiswa Indonesia, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap kualitas tulisan mereka.

“We require a very linear approach, a clear rationale with one point leading to another and building up an argument with a clear conclusion. We expect points to make explicitly. There are other cultures which prefer a different approach: less direct, greater use of imagery or story telling, implying things rather than stating them explicitly etc. This means that work which might have been considered very high quality in their own country receives a low grade here,� ujar Amanda. No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


10

Mandirikreatif

Elsa Risfadona, mahsiswa Rijkuniversiteit Groningen

Amar Ma’ruf, mahasiswa VU Amsterdam

Kendala-kendala di atas relatif bersifat umum. Ada pula hal-hal lain, yang lebih bersifat personal, yang membuat sejumlah mahasiswa Indonesia terpaksa berkenalan dengan resit. Seperti yang dialami Amar Ma’ruf, seorang master student di VU Amsterdam. Di masa awal perkuliahan, ia menjalani jadwal kuliah yang padat dan mengerjakan setumpuk tugas di tengah bulan Ramadhan dengan waktu berpuasa yang lebih panjang dari Indonesia. Hal ini menyebabkan staminanya drop dan sulit konsentrasi belajar, sehingga ia gagal pada ujian course pertama. Kegagalan di ujian pertama, tak lantas membuat Amar patah semangat. Ia berusaha bangkit dengan mengubah strategi belajarnya, dari belajar sendiri menjadi belajar kelompok. Ia mengaku strategi ini sangat efektif, karena terbukti ia berhasil lulus di ujian ke-2, ke-3, dan ke-4. Selain itu, ia pun mengalokasikan hari tertentu, khusus untuk belajar di tengah-tengah kesibukannya bekerja part-time dan mengerjakan tesis, agar ia tak kembali berjumpa dengan resit. Meski tak sedikit mahasiswa Indonesia yang mendapat resit, tak sedikit pula mahasiswa Indonesia yang hingga saat ini sama sekali belum pernah berkenalan dengan resit. Salah satunya adalah Elsa Risfadona, mahasiswa master di Rijkuniversiteit Groningen. Ia melakukan sejumlah jurus-jurus yang membuat resit enggan mendekat.

Pertama, ia berusaha memahami sistem ujian setiap course, salah satu caranya dengan mempelajari soalsoal ujian tahun sebelumnya. Kedua, menanyakan sumber bahan ujian pada dosen yang bersangkutan. Ketiga, mendengarkan diskusi teman-teman sebelum ujian berlangsung. Keempat, ia tidak pernah meninggalkan jawaban kosong meski sebetulnya ia tak ada ide harus menjawab apa. Jurus ini perlu dilakukan karena terkadang dosen memberi nilai 0.1 sebagai “upah” menulis. Kelima, berdiskusi dengan teman sekelas, khususnya untuk membahas soal-soal. Keenam, selalu membaca literatur sebelum dan setelah kuliah. Ketujuh, berdoa sebelum ujian dan berusaha rileks. Menurutnya, jurus ini sangatlah penting agar hapalan yang sudah ada di kepala tak lantas menguap gara-gara rasa tegang. Sebagai jurus pamungkas, Elsa menambahkan managemen waktu, yaitu pandaipandai membagi waktu antara jalanjalan, chatting, fesbukan, dan belajar. Menyelesaikan study tanpa resit, tentu saja menjadi keinginan semua mahasiswa Indonesia. Tapi jika pun harus bersua dengannya, Aufarul Faroh, mahasiswa master di VU Amsterdam, menegaskan bahwa resit bukanlah hal yang memalukan. Senada dengan Aufarul, Amar memandang resit sebagai proses untuk menjadikannya seorang manusia yang lebih berkualitas: “Bagi saya nilai tidak begitu penting, tapi pengalaman belajar di sini yang alhamdulillah bisa membuat saya lebih tegar dalam menjalani hidup”.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Kemandirian dan kreativitas menjadi kunci keberhasilan. Seperti diungkapkan oleh Aprilianto Eddy Wiria: “Tahun 2006 saya merasakan suasana berbeda hidup di negara lain, bertemu teman-teman seperantauan baik kawan baru maupun sahabatsahabat yang lama tidak berjumpa. Mengawali pendidikan sebagai mahasiswa S3, banyak nilai-nilai kemandirian yang makin terbentuk. Semakin dijalani, saya makin menyadari bahwa yang terpenting dalam memajukan ilmu pengetahuan bangsa Indonesia adalah kreativitas. Hal-hal yang terasa berat di awal, terasa lebih menyenangkan di saat hasil yang kita harapkan sedikit demi sedikit bisa dianalisa, dan didapatkan halhal baru yang membuka mata pengetahuan saya.” Menurutnya, fasilitas hanya nomor sekian walau memang menjadi penunjang. “Bila kita kreatif, baik dalam menggali ideide maupun menjalin kerja sama, membuka diri, dan selalu belajar, anak-anak Indonesia tidak ada bedanya dengan siapa pun dari belahan dunia manapun,” tambahnya. “Dari sini saya merasakan harus lebih banyak lagi anak-anak Indonesia mendapatkan kesempatan seperti saya, dan juga bagaimana saya dan juga teman-teman yang sudah mendapatkan kesempatan berharga ini memanfaatkannya dengan baik sebagai duta bangsa, dan mengamalkan ilmu dengan lebih kreatif lagi, serta menjadi jembatan dan pembuka jalan bagi rekan-rekan lainnya,” tegasnya lagi. Segala suka, duka, dan dinamika perjuangan selama belajar dan hidup di Belanda membekali kita, bahwa kita belajar bukan untuk nilai, namun untuk hidup. Non scholae sed vitae discimus.


11

Hatta, Teladan Bangsa Oleh Meditya Wasesa “Pada umumnya, biografi hanya ditulis untuk mengidolakan seorang tokoh. Semakin inferior penulisan sebuah biografi, semakin besar tendensi pengidolaan terhadap tokoh tersebut. Dalam pandangan saya, saya lebih menyukai untuk mendengar atau membaca pernyataan-pernyataan yang mengulas kegagalan dan kejadian-kejadian memalukan dalam hidup saya daripada yang mengulas pujian dan pujaan.� (Moehammad Hatta) Dr. (H.C.) Drs. H. Muhammad Athar, yang lebih kita kenal sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Sejak bayi, Bung Hatta kecil sudah harus menjadi seorang yatim. Ayah Bung Hatta, Haji Mohammad Djamil, seorang ulama yang sangat disegani dari Batuhampar, Payakumbuh, meninggal dunia saat umur Bung Hatta masih kurang dari 8 bulan. Sepeninggal ayahnya, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga dari pihak ibunya. Dengan latar belakang keluarga yang kental akan nilai religi, Bung Hatta tumbuh dengan pemahaman akan kitab suci yang sangat baik. Di balik profil keagamaannya yang sangat kuat, beliau juga dikenal sebagai seorang dengan kombinasi kecakapan yang sangat revolusioner pada zamannya. Kecakapan agama warisan didikan keluarganya dikombinasikan dengan kecakapan dan pengetahuan formal barat bersatu serasi dalam seseorang pribadi sederhana yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Pemikiran-pemikiran ekonomi Bung Hatta yang selalu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat kecil secara kolektif tidak bisa lepas dari pendidikan dan pencerahanpencerahannya yang didapatnya selama hidup di Belanda. Bung Hatta

menghabiskan hidupnya di Belanda sekitar 11 tahun (1921-1932). Dalam periode hidupnya di Belanda, Bung Hatta berhasil meraih gelar doktorandus (Drs.) dalam bidang ekonomi dari Rotterdam aan de Handelshogeschool (sekarang Universitas Erasmus Rotterdam). Karena pencapaian akademis Bung Hatta yang tinggi, Hatta berkesempatan mengejar program doktoralnya di universitas yang sama. Walaupun sempat mengerjakan disertasi doktoralnya, namun kesibukan dan dedikasinya dalam pergerakan pra kemerdekaan menyebabkan disertasinya tidak sempat terselesaikan. Dari awal hidupnya di Belanda, Bung Hatta sangat aktif dalam organisasi Indische Vereeniging, sebuah pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 19 Februari 1922, Bung Hatta ditunjuk sebagai bendahara dari Indische Vereeniging. Tanggal ini juga sekaligus menjadi momentum bersejarah, karena pada tanggal ini pulalah Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak saat itu, para tokoh pergerakan setuju untuk mengganti penggunaan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia. Sebuah pergantian yang mengandung muatan politik yang

sangat besar, dan sangat riskan tentunya. Selain aktif melakukan pergerakan kemerdekaan melalui organisasi Indonesische Vereeniging, Bung Hatta juga aktif terlibat dalam pergerakan menentang penjajahan secara global. Tahun 1927, bersama Jawaharlal Nehru, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan India, Bung Hatta aktif dalam pergerakan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Aktivitasnya di Liga sempat mengantarkannya menikmati hotel prodeo di Belanda ini, meskipun melalui pidato pembelaannya yang bejudul Indonesia Free Bung Hatta akhirnya dibebaskan kembali. Tahun 1932 Bung Hatta kembali ke Indonesia dan meneruskan pergerakannya hingga akhir hayatnya. Bung Hatta adalah seorang teladan dengan kecakapan lengkap bagi masyarakat Indonesia. Profilnya sebagai seseorang yang taat dan menguasai agama dan seorang cendekia yang menguasai ilmu ekonomi barat dan mengaplikasikannya dalam pemikiran dan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Walaupun berasal dari keluarga priyayi berada, hal ini tidak membuatnya enggan untuk hidup dalam stigma anti kemapanan yang sederhana. Bung Hatta tidak suka menonjolkan diri. Meski bergelimang dengan nilai kebaikan tidak membuatnya ingin dikenal dan diapresiasi. Dialah teladan bangsa kita, seseorang yang lebih memilih untuk diingatkan kesalahannya dari pada dipuji kebaikannya. Dialah Mohammad Athar, Bung Hatta, seorang Indonesische Jongere yang riwayatnya hidupnya nyaris tanpa cacat. Dialah Bung Hatta, sang teladan bangsa. Meditya W asesa Wasesa asesa, RSM-Erasmus University Rotterdam

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


12 Cukup beralasan jika mereferensikan Negeri Van Oranje sebagai buku wajib bagi para calon pencari cita di negeri yang terkenal dengan kincir angin dan bunga tulip. Gaya bahasanya yang ringan cenderung ngebanyol serta detail pendeskripsian life style mahasiswa Indonesia di Belanda setidaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk menggugah keingintahuan apa dan bagaimana bertahan hidup di sana. Tidak hanya itu, buku inipun bisa jadi acuan bagi petualang berbekal tas punggung, backpacker istilah kerennya. Lihat saja, banyak ilustrasi yang diberikan untuk menggambarkan suasana kota yang mereka angkat sebagai setting tiap bab. Keunikan buku ini tidak hanya terletak pada spirit menuntut ilmu dan traveling, alur cerita yang dimainkannya pun menjadi tantangan bagi para pembaca. Bacaan ringan namun menuntut konsentrasi yang cukup tinggi dikarenakan aneka ragam setting waktu dan suasana serta lima karakter tokoh yang berbeda menghiasi jalan cerita. Kecerdikan penulis mengatur alur juga patut diacungi jempol. Memasuki bab De Waarheid, pembaca baru menyadari bahwa mereka ternyata telah melintasi waktu dan kembali ke situasi cerita bab Prolog. Scientific research pastilah dilakukan oleh penulis. Hal ini tercermin dari beberapa data historis serta isu-isu masa kini yang mereka sajikan, seperti sejarah perjalanan Belanda di masa keemasan era kolonialisme hingga isu illegal logging. Keterkaitan historis BelandaIndonesia pun tidak lupa mereka sajikan. Cerita kocak yang membungkus potret kehidupan lima pelajar Indonesia ini mulai terlihat sejak halaman 2, saat Banjar dengan tenangnya meninggalkan pramusaji yang terbengong-bengong melihat lembar uang yang diterimanya bertuliskan rupiah. Nuansa humoris yang diangkat penulis semakin muncul di lembarlembar berikutnya. Perut pembaca semakin terkocok saat

berbagai akses dunia maya, mulai dari messenger, berbagai jenis blog, hingga mailing list, kelima tokoh perlahan-lahan saling mengerti dunia keempat sahabat lainnya. Berderet kalimat dalam forum conference dan berkali-kali Oleh Yessie Widya Sari kesempatan hang out bersama ternyata tidak mampu menyembunyikan ketertarikan Banjar, Wicak, Daus, dan Geri terhadap sosok Lintang. Konflik sosial pun tak terhindarkan. Lagi, penulis lihai mengasah rasa keingintahuan dan keterkejutan pembaca dengan caranya yang apik dalam menuntaskan pertengkaran diantara mereka. Siapakah yang berhasil memikat hati Lintang? Banjar, Wicak, Daus, Geri? Atau bahkan ada tokoh lain? Pola hidup mahasiswa Indonesia di Belanda pun direpresentasikan dengan Judul Buku : Negeri van Oranje baik melalui lima tokoh Penulis : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, AAGABAN. Tergambar jelas Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana beberapa aktifitas Penerbit : PT. Bentang Pustaka keseharian mereka, ISBN : 978-979-1227-58-2 diantaranya bersepeda ria, masak dan makan massal, membayangkan bagaimana Wicak titip menitip barang bagi mereka yang dengan mulusnya mengecoh Tyas, mau datang dari tanah air tercinta, mahasiswa baru yang perlente, untuk penjemputan mahasiswa baru, lapor diri serta menunjukkan hingga berburu bumbu-bumbu khas paspornya ke supir tram. Sayang, Indonesia. Tak ketinggalan pula beberapa banyolan terkesan digambarkan euforia kelima tokoh dipaksakan. Gaya penulisan bab saat temu kangen dengan jajanan Koopen en Koken dan Leiden yang pasar, seperti nasi kuning, perkedel, lebih formil dan kaku dibandingkan risol, hingga klepon. Tersirat bahwa bab lainnya seolah tidak memberikan penulis ingin memberikan gambaran ruang bagi joke segar. kemudahan hidup di Belanda, Kepiawaian penulis menyajikan terutama urusan selera nusantara. cerita juga terlihat dari kesan Penulis seolah-olah juga naturalisme perjumpaan tak menyadari bahwa mereka harus disengaja kelima tokoh—Banjar, menghindarkan diri dari janji-janji Wicak, Daus, Geri, serta Lintang—di muluk dengan hanya memberikan sebuah stasiun kereta yang terletak cerita-cerita indahnya hidup di di kota Amersfoort. Bertolak dari Belanda. Oleh karena itu, mereka perjumpaan yang dipicu oleh petaka juga menyajikan cerita beberapa cuaca di Belanda inilah kemudian permasalahan yang dialami kelima lahir aliansi yang diberi nama tokoh, seperti kesusahan yang AAGABAN: Aliansi Amersfoort GAra- dialami Lintang saat kehilangan gara BAdai Netherlands. Jarak dompetnya ditengah-tengah tempat tinggal yang memisahkan kerumunan masal—ternyata tidak kelima tokoh ternyata tidak cukup jauh berbeda dengan kondisi tanah membendung kekompakan dan air—dan bagaimana Banjar harus keeratan AAGABAN. Terfasilitasi oleh bersusah payah merelakan

Spirit Negeri van Oranje

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I


13 kehilangan masa-masa indahnya di akhir pekan demi mengejar penghasilan tambahan dengan bekerja paruh waktu pada salah satu restoran milik warga Indonesia. Tak lupa, mereka mengajak pembaca untuk tenggelam dalam pergulatan penyelesaian tesis di hari-hari akhir

penyelesaian studi mereka dan suka cita saat mereka dinyatakan layak menyandang gelar master. Lompatan-lompatan waktu yang dinamis, ide cerita yang mengalir dengan smooth, kekuatan karakter AAGABAN, dan tentu saja tips-trik bertahan hidup di Belanda seolah

Untuk lebih mengetahui kisah dibalik novel Negeri Van Oranje (NvO), Yessie Widya Sari dari Jong Indonesia mewawancarai Rizki Pandu Permana, salah satu penulis yang kini sedang menyelesaikan studi doktoral di Utrecht University. Berikut kutipannya:

Bisa diceritakan asal muasal novel ini? Sebenarnya ide ini muncul saat kami berempat nongkrong sambil ngopi. Kami tidak muluk-muluk, hanya ingin sekedar berbagi pengalaman dengan teman-teman yang ada di Indonesia. Sayang kalau pengalaman itu hanya menjadi kenangan kami sendiri. Dari situlah kami kepikiran untuk melahirkan novel ini. Penulis NvO ada empat orang, lalu kenapa memunculkan lima tokoh? Kenapa menciptakan tokoh baru, bukan mengangkat diri kalian masing-masing sebagai tokoh? Alasannya sederhana saja, supaya kami bisa bebas berekspresi. Kalau diri kami yang diangkat sebagai tokoh, wah bisa ketahuan nanti aib-aib kami. Dari mana mendapatkan inspirasi pembentukan masingmasing karakter AAGABAN? Tiap penulis mengusulkan satu karakter, karakter tokoh kelima kami tentukan bersama. Dalam menentukan satu tokoh AAGABAN, kami berusaha mengamati karakter teman-teman yang ada di sekitar kami dan kami coba campurkan berbagai macam karakter dalam satu karakter. Walaupun banyak teman-teman kami yang sudah membaca novel ini akhirnya bisa menebak di tokoh yang mana karakter masing-masing penulis muncul. Bagaimana cara kalian mengatur kemunculan karakter di tiap bab yang kalian tulis? Penulisan bab di novel ini kami bagi berempat. Tiap penulis diberi

Rizki Pandu Permana kesempatan menjadikan tokoh ciptaanya sebagai central character di bab yang dia tulis. Tentu, untuk menciptakan keharmonisan jalan cerita, tiap penulis diwajibkan mengerti empat karakter lainnya. Novel ini kalian tulis justru saat sebagian besar penulisnya sudah kembali ke Indonesia. Lalu bagaimana cara kalian supaya menjaga kesinambungan antar bab yang kalian tulis? Nggak beda dengan cara tokoh AAGABAN berkomunikasi: internet. Kami biasanya memanfaatkan messenger dan mailing list untuk berdiskusi dan saling berbagi. Naskah yang ditulis tiap penulis akan dikritisi oleh penulis lainnya. Dengan cara ini diharapkan watak tokoh AAGABAN ciptaan yang bersangkutan tetap terjaga. Selain itu, tentu, kami bisa saling mengisi kekurangan yang ada di tiap bab. Ada hambatan saat menyelesaikan novel ini? Tentu ada. Kesulitan awal kami adalah perbedaan gaya penulisan masing-masing penulis. Ada yang bisa dengan mudahnya ngebanyol, ada yang tidak. Masalah ketidakseragaman mood masingmasing penulis juga berkontribusi dalam lamanya waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan novel ini, sejak Anis (Nisa Riyadi-red) belum

menjadi magnet bagi mereka yang sedang mencari semangat baru untuk melanjutkan studi dan juga bagi mereka yang ingin berkelana menjelajah benua eropa. Sayang, beberapa kalimat yang disampaikan dalam bahasa Belanda tidak disertai translasinya. *** hamil, hamil, b a h k a n melahirkan. Kalau ditotal, sekitar satu tahun. K a l a u dibaca lebih teliti, masih banyak aspek kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda yang belum diangkat di NvO. Sengaja untuk memunculkan sequel berikutnya atau memang terlewat? Betul, masih banyak aspek yang belum kami tulis. Kami hanya khawatir kalau ditulis semua, bisabisa nanti bukunya setebal karya J.K. Rowling. Puas tidak dengan hasil karya kalian? Sejauh ini kami merasa puas. Bahkan kami tidak menyangka kalau penerbit hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk memasuki cetakan keempat. Total buku yang sudah tercetak hingga cetakan ketiga sudah mencapai 10.000 buah. Pangsa pasar pembaca kami juga cukup luas. Berbicara pesan moral yang ingin kalian sampaikan, yaitu spirit dan travelling, apakah kalian merasa sudah sampai ke sasaran? Boleh dikatakan iya. Ada beberapa pembaca menghubungi kami dan bertanya mengenai studi di Belanda. Tidak hanya mereka yang mau ambil gelar master atau doktor bahkan banyak juga lulusan SMA yang ingin ambil bachelor di Belanda. Untuk travelling, kami juga sudah dihubungi beberapa pembaca, bahkan ada yang berkeinginan menjadi backpacker setelah membaca novel kami. (yws)

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


14

T

asem Atmareja merentang tangan seperti hendak menari. Lensa kamera digital yang semula hendak dipasang untuk mengambil close up wajah pun diundurkan. Akhirnya seluruh badan yang diambil. Ini kesempatan langka karena pada awalnya untuk bertutur mengenai riwayat hidupnya pun Tasem terkesan menghindar. “Ternyata masih cantik. Masih ada kasihe,” katanya ketika melihat hasil jepretan. Kasihe adalah daya tarik pada yang memandang. Tasem yang telah berumur 60-an masih melihat aura kecantikan pada wajahnya di kamera. Ia mengenakan baju tipis lengan panjang warna coklat muda. Rambutnya berselubung kain penutup. Daya tarik itu pertanda bahwa Indang Kastinem masih menemani dan melindungi dirinya. Indang adalah roh yang oleh para ronggeng dan masyarakat setempat diyakini mampu merasuk ke dalam diri seseorang yang ‘meminta’ atau mendapatkan ‘anugerah’. Kastinem adalah nama seorang ronggeng yang entah hidup pada tahun berapa dan rohnya tinggal di sekitar Desa Gerduren Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sehingga perpaduan Indang Kastinem menjadi daya dukung spiritual bagi para ronggeng di desa tersebut. “Waktu saya kecil, saya tinggal di pinggir desa dekat hutan. Saya sering mendengar suara tetabuhan lesung di Bukit Garut. Tetapi kalau didekati ya, tidak ada orangnya,” tutur Tasem. Desa Gerduren dilingkupi bukit pada sisi utara, timur dan barat. Sisi selatan dipisahkan oleh Sungai Tajum, dekat dengan jalan raya Purwokerto-Bandung. Di salah satu titik ruas jalan Purwokerto-Bandung itulah budayawan Ahmad Tohari tingal yang dari tangannya lahir novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan diterjemahkan lebih dari lima bahasa. Tempat tinggal Ahmad Tohari hanya terpisahkan oleh Sungai Tajum dengan Desa Gerduren, sebuah desa yang menyimpan dinamika kehidupan Ronggeng tua di wilayah Kabupaten Banyumas. “Samben Kemis ngadeg. Meja itu tingginya sedada saya,” papar Tasem. Ia bertutur mengenai masa kecilnya ketika mulai berkenalan

Dunia Batin Seorang Ronggeng Oleh: Sutriyono (rsutriyon@yahoo.ca) dengan dunia ronggeng. Kala itu dirinya sedikit lebih tinggi dari meja 80 centimeter. Usianya sekitar 8 tahun. Setiap Kamis malam, tatkala kelompok ronggeng di desanya latihan, ia ikut serta ditengah-tengah mereka. Sekedar membantu persiapan atau bersih-bersih selepas latihan. Sebagai seniman, Tasem ditempa oleh alam desa dan lingkungan sosialnya. Inisiasi itu dimulai ketika teman dan orang-orang dewasa menilai suara Tasem bagus. Ia bisa menirukan lagu-lagu seorang ronggeng. Seorang ronggeng tua lantas datang dari belakang sambil memegang kusan, alat menanak nasi berupa anyaman bambu berbentuk kerucut. “Krep, krep, krep, ping telu,” kata sang ronggeng tua seraya menangkupkan kusan ke kepala Tasem. Tiga kali kusan itu ditangkupkan ke kepala gadis kecil Tasem. “Itu biar tidak malu,” katanya. Dalam keseharian, kusan hanya ada di dapur. Ruang yang menjadi

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

tempat keseharian perempuanperempuan Jawa. Ketika tidak terpakai, kusan yang sudah bersih dicuci itu akan diletakkan dalam posisi menelungkup. Ujung runcing di bagian atas. Tetapi ketika kusan itu dipakai, ujung runcing di bawah, di dalam dandang, dan bertugas menyelesaikan pekerjaan panci atau kuali yang menanak beras menjadi nasi setengah matang. Di kusan di dalam dandang dengan diuapi air mendidih itulah nasi setengah matang selanjutnya dituntaskan menjadi nasi – atau kadang menjadi tumpeng. Di dalam tradisi ronggeng Desa Gerduren, kusan yang hanya di dapur itu dibawah ke ruang publik. Dalam posisi telungkup, kusan menangkup kepala gadis kecil calon ronggeng. Kusan sebagai alat menanak nasi makanan pokok untuk kehidupan, digunakan untuk srana atau alat antara membangkitkan kepercayaan diri. Itulah sarana untuk menjadikan seorang perawan desa


15

Ronggeng sekarang di sebuah perayaan Kabupaten Banyumas. Mereka tidak menjalani laku matiraga seperti Tasem. yang barangkali hanya mengenal dapur dan tanah lahan-lahan bukit serta sawah menjadi berani tampil di depan publik, keluar dari Desa Gerduren yang terpencil. Keliling desa-desa, menari dan menyanyi. Tidak malu. Laku matiraga dijalani Tasem. Pada malam-malam tertentu ia mandi di tujuh sumur tua. Laku itu dimulai selepas tengah malam, ketika tamutamu pemuda dari desa-desa tetangga yang hendak melihat pesona lengger Desa Gerduren sudah pulang. Beranjak dari satu sumur, di situ ia mandi. Lantas, ketika sudah kering, berangkat lagi ke sumur berikutnya. Demikian seterusnya, menyusuri jalanan setapak desa. Meskipun dingin, terus dijalani. Meskipun lelah, kaki terus melangkah. Biasanya subuh baru tuntas. Ketika mandi, disertai juga dengan doa-doa. Laku mandi tujuh sumur tersebut disertai juga laku puasa atau pantang. Demikianlah, adakah yang lebih berharga bagi kehidupan selain air? Air adalah sumber kehidupan. Tujuh sumur tua itu menjadi sumber pengharapan bagi Tasem. “Bot-bote pengin dikasihi Mas,� kata Tasem dengan maksud menjelaskan daya pesona seorang ronggeng terpancar karena laku mandi dini hari hingga subuh itu dijalani.

Dengan daya pesonanya, Tasem dan kelompok ronggeng Desa Gerduren menerima permintaan pentas tiada henti. Itu juga berarti Tasem mendapatkan sejumlah rupiah. Sumur tua adalah mata air di sudut-sudut pekarangan atau di ujung bawah bukit yang dirimbuni pohon bambu. Tak ada pasangan bata-semen di situ, hanya cekungan tanah yang digenangi air yang tak pernah habis. Diameternya antara 12 meter. Beberapa mata air mengalir persis di bawah pohon beringin atau

pohon bulu besar. Tasem dan ronggeng lain mengatakan, mata air itu telah ada sebelum dirinya lahir. Beberapa sumur bahkan sebenarnya juga sumber air keseharian beberapa keluarga di sekitarnya. Ketika kemarau panjang, sumur-sumur itu menjadi rujukan masyarakat setempat untuk mendapatkan air. Bersama penghargaan akan sumur-sumur tua, Tasem dan masyarakat Desa Gerduren menghargai pohon. Di bukit Garut, sisi utara desa setempat, dulu masyarakat mengenali dua pohon bulu besar. Pohon tersebut mirip pohon beringin. Pada pohon yang di puncak bukit, diyakini berdiam roh Kakek Garut. Sementara satu lagi yang terletak sedikit lebih ke bawah dari bukit tersebut, diyakini menjadi rumah tinggal roh Indang Kastinem. Kakek Garut diyakini semacam kamitua ronggeng dan Kastinem adalah ronggengnya. Seseorang telah membakar pohon bulu tersebut. Belakangan, seniman ronggeng generasi selepas Tasem menanam pohon bulu kembali di dua titik bekas pohon terdahulu. Alam dan pohon adalah berkat bagi para ronggeng seperti Tasem. Menjelang pentas Selasa Kliwon, Tasem minum air kelapa muda. Bukan sembarang kelapa muda tetapi jenis kelapa hijau. Buahnya dipilih dari tangkai yang menjulur ke timur. Seekor cacing gelang direndam terlebih dahulu dalam air kelapa muda itu. Sehari kemudian baru diminum.

Dua cucu Tasem di Sumur Sepi, salah satu mata air yang digunakan untuk mandi ronggeng. No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


16

Akses keluar masuk Desa Gerduren “Rekasa, ora sugih seprene kur nggo riwayat thok,” kata Tasem. Laku dan tirakat seorang ronggeng bagi Tasem tidaklah ringan, juga tidak membuatnya menjadi kaya secara materi. Tetapi ia tidak mengelak ketika ditanya bahwa hal itu membuat dirinya gembira. Ia dipuja ketika pentas. Keterangan Warsun, penduduk setempat yang segenerasi dengan Tasem menggambarkan bagaimana gairah kaum muda memuja para ronggeng. Ketika para ronggeng pentas di satu desa tetangga, maka dalam beberapa hari berikutnya anak-anak muda di desa tersebut berduyun-duyun ke Desa Gerduren. Bertamu ke tempat para ronggeng tersebut dan mencoba meraih hatinya. “Saya biasanya diminta teman saya mengawasi tamu,” kata Warsun. Tasem sendiri menikah dengan Atmareja pada tahun 1953. Pemuda desa setempat, anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang kelak pada tahun 1979 menjabat sebagai polisi desa. Sebelum menikah, Atmareja menyusul kemanapun Tasem pentas. Ia heran dengan keberanian Atmareja. Tidak takut dimusuhi anakanak muda setempat. Walau dirinya tahu Atmareja menyukainya, waktu itu ia belum mau menanggapi. Atmareja terus saja mengikuti kemana ia pentas.

“Ya hanya ikut di antara penonton. Ketika saya sudah melihat sosoknya, lantas menyingkir.” tambah Tasem. Selain menari sambil menyanyi, dalam pementasan seorang ronggeng juga melayani tayub. Dalam tayub, seorang pria akan menari berpasangan dengan ronggeng. Tarian ini dimulai dengan tawaran ronggeng. Ia membawa soder atau selendang untuk menari. Soder tersebut diletakkan di atas piring. Sang ronggeng berjalan ke arah pria sasaran. Kepadanya diberikan soder, sementara si pria menaruh sejumlah uang ke dalam piring tersebut. Urutan para pria yang menari mengikuti derajat kepangkatan mereka. Bila di situ ada camat, maka camatlah yang ditawari terlebih dahulu, baru perangkat-perangkat di bawahnya. Bila yang hadir di situ paling tinggi lurah, maka lurahlah yang ditawari untuk tayub lebih dulu. “Mereka tidak menolak, karena hadir di situ artinya bersedia ikut nayub,” kata Tasem. Biasanya para istri pejabat desa juga hadir di situ. Tidak ada yang cemburu dengan tayuban suaminya. Beberapa ronggeng Desa Gerduren diperistri pejabat perkebunan atau aparat kepolisian, pria-pria yang memiliki derajat dan pangkat lebih tinggi dari pada umumnya penduduk Gerduren. Maka ronggeng sekaligus menjadi jalan kenaikan strata sosial.

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Seorang ronggeng akan berhenti menjadi ronggeng ketika menikah. “Tetapi kalau ada permintaan nadar ya harus dituruti,” kata Tasem. Ia pernah tampil kembali meronggeng sesudah menikah. Salah seorang teman mantan ronggeng sakit. Matanya buta. Dan ia ber-nadar, ketika sembuh akan mengundang Ronggeng Tasem pentas. Dan Tasem memenuhinya. Masa menjadi ronggeng bagi Tasem sendiri telah lewat sekitar setengah abad yang lalu. Tetapi suaranya masih bening ketika menembang. Dalam wangsalannya: Jampang amben,dlika kapitan galar Adoh katon wis perek durung kelakon. Jampang amben, dlika kapitan galar maksudnya adalah bambu kerangka dipan. Adoh katon wis perek durung kelakon artinya jauh terlihat, sudah dekat belum juga menjadi pasangan. Wangsalan ini menggambarkan saat dimana Atmareja mengejarngejar dirinya. Suara yang indah itu pula yang telah meruntuhkan hati Atmareja. Seorang pekerja keras yang kini meninggali rumah besar hanya berdua dengan Tasem. Sementara anak-anak mereka telah memiliki rumah sendiri-sendiri. *** Sutriyono Sutriyono, penulis lepas tinggal Jalan Gereja No 3 Purwokerto.


17

Pemilih Pemula dan Terobosan Politik Bangsa Indonesia telah selesai menyelenggarakan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2009 sebagai satu sarana konstitusional dalam menentukan arah kehidupan berbangsa bernegara. Bagaimana menyikapi apatisme pemilih pemula, dan melakukan terobosan untuk menampung aspirasi poltik mereka? Pengamat sosial politik dari Universitas Paramadina Eka Wenats mengatakan, pendidikan kewarganegaraan yang berlaku saat ini belum memberikan pengetahuan yang cukup, khususnya bagi para pemilih pemula dalam memahami sistem dan budaya demorasi seperti mengenai Pemilu. “Pemahaman pendidikan kewarganegaraan yang masuk ke ranah politik sebaiknya dimulai masyarakat dari keluarga dan di sekolah, seperti budaya memilih ketua kelas atau budaya membiasakan anak mengekspresikan pendapat dan ide-idenya,” ujar Eka. Kelemahan di Indonesia, tambah Eka, budaya sosial politik dalam lingkup keluarga dan sekolah umumnya masih diwarnai budaya otorisme dan diktator, seperti ‘Ayo, ini gurumu jadi turuti apa kata gurumu’, atau ‘Ayo,ini orang tuamu yang lebih tahu mana yang benar dan yang salah, jadi turuti saja.’ Masyarakat pun menjadi terbiasa dengan budaya otoriter seperti itu. Menurut Eka, pemilih pemula di Indonesia berjumlah sekitar 20-30% dari 170 juta pemilih di Indonesia. “Merekalah yang turut menentukan arah jalannya kehidupan berbangsa bernegara, dalam jangka pendek melalui pilihan mereka dalam Pemilu dan dalam jangka panjang melalui partisipasinya dalam setiap proses politik. Mereka bisa menjadi simpatisan aktif/pasif dalam partai politik atau merupakan swing voter,” ujar Eka. Ada tiga kecenderungan perilaku swing voter dalam momen Pemilu. Pertama, memiliki antusiasme yang tinggi disebabkan faktor pengalaman pertama memilih tapi belum memiliki

Oleh C.T Adhikara (ctadhikara@yahoo.com)

pilihan partai politik dan calon legislatif. Kedua, pilihan akan dipengaruhi oleh pilihan keluarga (orang tua, kerabat, pasangan hidup). Nilai-nilai yang dianut keluarga akan menjadi panduan dalam memilih. Ketiga, pilihan juga turut dipengaruhi oleh peer group (kelompok di lingkungan yang menjadi sarana berkumpul dan bergaul) seperti kelompok motor, grup/individu ”A” fans club dan lain-lain. Yuke Yurike, calon legislatif dari PDI-P mengalami budaya tidak demokratis di lingkungan masyarakat seperti yang diutarakan Eka Wenats. Tapi, menurutnya, budaya yang menjurus kurang baik ini sebaiknya diubah. Salah satu caranya adalah dengan masuk ke dalam sistem seperti menjadi anggota partai politik yang aktif dalam arti ikut serta dalam proses pengambilan keputusan jalannya parpol. Menurutnya, generasi muda sebaiknya ikut serta dalam proses politik, seperti dahulu ketika Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, yang usianya antara 26-35 tahunan tapi telah turut mewarnai perpolitikan di nusantara dan kecenderungan di dunia saat ini adalah tampilnya tokoh-tokoh politik usia muda yang berkwalitas. Dalam Pemilu, pemilih pemula disayangkan bila hanya mengikuti euforia atau kemeriahannya saja. Idealnya turut dicarilah informasi tentang partai politik dan individu-

individu yang ikut dalam pencalonan sebagai anggota legislatif. Pemilu adalah salah satu sarana pembelajaran politik dan partai politik sebaiknya mengambil momen ini sehingga selain menghindarkan masyarakat dari pilihan Golput juga akan menjadikan pemilih pemula menjadi smart voter (pemilih cerdas). Golput adalah fenomena yang terkadang menjadi simbolisasi pemilih pemula. Andaikan parpol senantiasa menjadi sarana yang mumpuni dalam menampung ekspresi politik dan juga menjadi sarana pusat pengetahuan tentang Pemilu dan Demokrasi secara keseluruhan, Golput dapat diminimalkan. Ralie M.S, calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) 20092014 menambahkan, keapatisan terhadap kondisi dan situasi bangsa negara, khususnya bila mengenai sosial politik, tampaknya menghinggapi generasi muda Indonesia. Padahal Indonesia terwujud karena pemuda. Kebangkitan Nasional dipelopori dengan berdirinya organisasi Trikoro Darmo oleh pemuda Sutomo, Wahidin dan Multatuli. Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak persatuan bangsa diadakan para pemuda yang rata-rata berusia 20 tahunan. Kemerdekaan Indonesia diwujudkan para pemuda yang ratarata berusia 30 tahunan. Berbagai peristiwa yang menjadi momentum nasional juga digerakan oleh kaum muda seperti Peristiwa Malari, Gerakan Reformasi 1998 dll. Bagaimana supaya apatisme dapat tergantikan menjadi optimisme? ”Melihat kondisi saat ini, wajar bila generasi muda menjadi pesimis dan apatis. Kondisi sosial politik tidaklah menunjukkan kepanutan dan keidealismean. Tindak kriminal dilakukan oleh para individu-individu yang seharusnya menjadi pemimpin, seperti terlibat dalam tindak korupsi, suap,malas dll. Kondisi lingkungan juga sudah diwarnai oleh iklim globalisme yang cenderung menjadikan generasi

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


18 muda hanya objek pasar belaka bahkan pola yang terjadi adalah membawa bangsa ini menjadi ”terjajah” oleh iklim globalisme budaya, ekonomi dan sosial. Globalisme mungkin tidak salah, namun masyarakat, khususnya generasi muda belum disiapkan dengan baik untuk menghadapi ini semua. Akibatnya, berimbas pada apatisme dalam memperhatikan sosial politik,” ujar Ralie. Karena itu, diperlukan peran parpol yang dapat memberikan panutan dan pengetahuan mengenai kewarganegaraan. Salah satu fungsi parpol yaitu memberikan pendidikan politik. Sayangnya, parpol di Indonesia belum maksimal menjalankan fungsinya. Tapi diharapkan, masyarakat janganlah pesimis. Kondisi ini sebaiknya diminimalkan dan yang melakukannya adalah dari masyarakat itu sendiri juga. Pendidikan politik khususnya tentang demokrasi disaat ini sangat kurang dibanding dengan masa lalu. Pada masa lalu, pemuda termotivasi untuk ikut serta dalam proses politik oleh adanya kolonialisme Belanda. Ada baiknya pendidikan politik dan demorasi diperbanyak kapasitasnya.

Puisi-Puisi Bagus Kumara Bagus Kumara adalah ‘nama pena’ Bambang S. Santoso, kini tinggal di Abu Dhabi. Kumpulan puisinya A DI NEGERI berjudul ANGIN CIT CITA BELANDA: Suntingan Sajak dan Sanjakelana Dari masa studi studi, pernah ‘diperbanyak’ oleh PPI Delft, 1985. Berikut dua buah puisinya.

Schiphol Airport di Awal Cerita DC10 “Irian Jaya” merapat di pier A pada ujung perjalanan yang panjang meninggalkan pertiwi, kampus Ganesha dan Si Dia tercinta: tak kan kulupa desahmu kemarin malam, dalam haru perpisahan antara cinta dan padang pengembaraan, mengungkap misteri di belakang sejuta tanda tanya

Semangat adalah yang membedakan pemuda di era 1920an dengan pemuda di era saat ini. Bagaimana menumbuhkan semangat itu kembali, itulah salah satu tugas parpol dan politikus. Para caleg dan politisi seharusnya melakukan perubahan sehingga dapat memotivasi rakyat untuk turut melakukan perubahan. Di sisi lain, pemilih belum menjadi prioritas karena politisi sekarang memberikan panutan negatif, sehigga ada kekhawatiran bahwa politikus berikutnya dan bila yang saat ini terpilih kembali, maka mereka tetap melakukan kenegatifan tersebut. Ralie M.S. mengatakan, suasana saat itu adalah suasana terjajah, saat ini adalah dalam kondisi globalisasi. Seharusnya semangat tetap ada karena globalisasi juga bisa menjadikan bangsa ini terjajah kembali khususnya secara ekonomi. Parpol adalah salah satu institusi yang seharusnya memotivasi dan memberikan edukasi politik.Pihakpihak lain yang berkompeten pun sebaiknya juga dapat memberikan pendidikan politik. Sedangkan DPD bertugas mengawasi penggunaan dana, pembuatan kebijakan dan

pemekaran wilayah. Yuke menambahkan, edukasi politik sekarang secara bertahap mulai diperhatikan, khususnya oleh parpol. Paling penting adalah pendidikan politik harus dilakukan dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan sekolah. Eka Wenats mengatakan, salah satu sarana edukasi politik adalah melalui media masa dan internet. Situasi sosial dan budaya juga berpengaruh dalam edukasi politik tapi yang berpengaruh besar adalah tingkah wakil rakyat atau politisi itu sendiri. Edukasi politk akan menyebabkan masyarakat mempelajari pilihanpilihan yang diutarakan politisi sekaligus mencari tahu jejak pemikiran dan aktivitas para politisi. Edukasi juga menyebabkan masyarakat tahu dan bisa menuntut kewajiban pemimpinnya. Generasi muda sebaiknya ikut berperan, minimal memperhatikan proses politik (proses Pemilu). Memilih dan terlibat secara aktif dalam proses politik adalah wujud keterlibatan dalam proses perbaikan politik Indonesia. *** C.T C.T.. Adihikara Adihikara, JejakLangkah Study Club (JLSC).

pulau seribu melambai di luar jendela kaca, Singapura, Bangkok lalu Abu Dhabi, terlintas begitu saja diiringi irama Get Away yang parau tertelan kepak sayap Sang Garuda perkasa

meninggalkan padang pengembaraan tercinta mengulang perjalanan larut penuh kisah rakyat raya dengan kegilaan nestapa dan gelandangan pemabuknya

tersentak kuterjaga di atas Roma bagai mimpi dalam lompatan yang hilang angkasa Eropa penuh garis-garis putih halus menggurat langit biru muda tegas membekas stempel imigrasi di pasporku dan kumelangkah tak berpaling lagi.Mei 1976

Kereta Terakhir ke Rijswijk tiga kereta antara Leeuven dan Rijswijk (selepas ikut sepotong kecil dari penjelajahan antar benua, rekan FM dan EI bersama Mazda 323 nya) berlari menggeram

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

kuacuh terhenyak di kabin kelas dua dekat WC bau pesing ketak ketik kaca tebal disisiku menyambut butiran salju muda berirama roman perburuan kerap dan kencang sementara dingin menyelinap lewat dua helai lapis tipis menyentuh dadaku nan pepat kala si karcis dilubangi tanpa senyum terlampau banyak tanya dalam denyut hari-hari terakhir hingga suatu "selamat jalan kawan ...." tanpa kuperinci kemana mauku dan apa yang terbuang.12 Nopember 1978


19

Nyong Ambon Pung Gaya Imajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota Ambon Oleh Hatib Abdul Kadir Kota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang publik anak muda secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat yakni Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Karena sempitnya ruang publik ini, persebaran gosip, isu dan perkembangan anak muda sangat cepat. Gaya atau pola tingkah anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala pelosok. Anak muda akan segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang dikenalnya, dan tempat ia sering duduk-duduk. (1) Pakaian, selera makanan dan minuman, dan pilihan musik menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus diartikulasikan hingga pasca konlik tahun 2002. Pencuatan gaya dikalangan anak muda disinyalir karena dua hal yakni: anak muda yang memasuki masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok; dan anak muda yang memiliki kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di tengah modernitas sebuah kota (Ewen, 47-54: 1988).

(Pemuda Indonesia), Jong Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa), dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai berbagai potensi yang masih tertanam (Ryter, 47, 58: 1998). Salah satu karakter pemuda Indonesia seperti yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rejim tidak terbatas pada waktu tertentu (timeless) (Anderson 3: 1999). Antropolog James T Siegel melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah “remaja�. Ini sebuah istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik.(2) Kata remaja juga mengacu kepada anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan, yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtivitas yang tinggi (Ryter, 58: 1998; Siegel, 203-4: 1986; Shiraishi, 1997: 149). Pada masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan. (3) Sebagai misal konsep remaja yang

berkelindan dengan makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara 10 hingga 21 tahun. Namun, terdapat kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu, mereka berhak mendapatkan surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok, meminum minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan identitas tubuh seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak. Mengenai konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara, berikut adalah bagan yang dibuat buat berdasarkan hasil pembacaan terhadap beberapa literatur mengenai anak muda di Indonesia. Bagan di kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri (1982-1983) bahwa mahasiswa dijadikan seperti macan kehilangan taring. Demikian pula istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai

Konstruksi Anak Muda versi Negara Anak muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik terhadap wacana anti kolonial. Munculnya Jong Java (Pemuda Jawa), Indonesia Muda No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


20 musuh negara karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali atau geng jalanan. Bagan di kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP (Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya) (Ryter, 63: 1998). Negara menyebut anak muda ini sebagai ”preman sadar”, karena terdiri dari preman yang dibina negara (4), dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama menjadi backing perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai ”oknum”, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut (Ryter, 63-8: 1998). Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar (AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak usia 40 tahun. Begitu juga dengan Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang memasukkan institusi-institusi dengan kata ”muda” seperti diatas. Moder nitas Kolonial dalam T ubuh Modernitas Tubuh Anak Muda Ambon Harus diakui bahwa agama Kristen menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk perkembangan gaya (5) dan identitas modern pada anak muda di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Karena kondisi ini, identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam beberapa kluster,

antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik kolonial. Pada pertengahan abad XVII, awal dari kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon sejak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan birokrasi, pakaian, pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh. Kekuasaan juga mengkonstruksi landscape kota yang menegaskan hadirnya penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu permasalahan memilih agama tidak terlepas dari unsur kepentingan politik. Jika merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem yang dibentuk semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik dan gengsi tubuh (Bartels, 4-5: 1976; 3-4: 1990). Di sinilah saya memperkirakan bahwa koloni (modernitas) memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya. Seruan gaya tubuh dengan datangnya abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, distrategikan dengan

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

semangat demi menumbuhkan gaya sebagai “keangkuhan” dan kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas identitas keetnisan di manapun kaki diinjak (Bartels, 1990: 5-6). Dengan bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan anak muda Ambon. Salah satu modernitas yang dihasilkan adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah “sekolah madras” sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama. Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi (lagu-lagu rohani) (Leirizza, 2004: 76). Saya mensinyalir bahwa munculnya sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger (pegawai) menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang bukan orang kota dan bukan orang terdidik. Di sisi lain anak muda Ambon Islam juga banyak yang mengapropriasi [membenarkan] budaya kolonial, hal ini tampak pada


21 banyaknya mereka yang direkrut the native child in general would menjadi tentara KNIL. Demikian pula rather associate have with native than ketika ide mengenai Nasionalisme with the European and prefers to menyebar hingga ke Ambon, anak- speak Malay than Dutch, with the anak muda terpelajar Islam juga Ambonese its just the reverse, as menjadi penggerak utama dalam much as possible the ambonese want menentang sistem kolonialisme to be Dutchmen and it is their good (Chauvel, 1990: 198). Namun fortune than in Ambon a certain indemikian, tetap bersatunya orang termingling between European and Kristen dan Islam modern ke dalam native axists” (Historisch overzicht identitas “Orang Ambon” tak lain 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: karena kepercayaan terhadap 31). satunya tradisi kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka. (6) Pasca tahun 1930, pendirian sekolah tak lepas dari ide-ide Nasionalisme seperti yang diusung anakanak muda di Syarekat Ambon. Salah satu idenya a d a l a h memunculkan Mode pakaian anak muda keturunan Buton yang dianggap pendidikan untuk tidak memenuhi syarat bergaya anak muda Ambon mencegah anak muda melakukan Van Chijs mengobservasi sistem migrasi ke kota-kota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu menjadi pra- gaya bersekolah pada sekelompok syarat mencerdaskan anak muda di kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di dalam komunitas kota Ambon sendiri. Kaum Nasionalis juga sekolah, kesempatan pendidikan diperluas dibanding menganggap bahwa belajar Bahasa lebih Belanda adalah bentuk alienasi, kesempatan yang didapat elit agama karena itu perlu pendidikan dengan lokal dan elit adat. Beberapa penyebab “deman bahasa Ambon sendiri, yang di dalamnya juga belajar tentang kultur sekolah” tak lepas dari adanya Malaise pada tahun 1930. Tak sedikit orAmbon (Chauvel, 1990: 152-3). Ide mengenai “Nasionalisme ke- ang-orang Ambon keluar dari wilayah Ambonan” mulai digulirkan melalui Maluku untuk menjadi tentara. Jaman pendidikan. Sekolah menempati Malaise menyebabkan anjloknya posisi pengalaman penting dalam harga cengkeh di pasaran dunia dan upaya “Pembaratan”. Ajaran dan merosotnya lowongan untuk bekerja lingkungan pendidikan dianggap di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61% dari anak muda sebagai momen terjadinya transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda, Kristen Ambon yang terdidik mulai yang oleh Bartels menyebutnya bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi kolonial, guru, misionaris sebagai “White Power”. Sebagaimana ketika inspektur dan tentara. Anak-anak mereka pendidikan J.A. van Chijs, yang mendapat standar posisi yang lebih mengunjungi Ambon pada tahun tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan mobilitas 1869 melaporkan: “Among the pupils the knowledge sosial yang lebih luas, dibandingkan of our language is much more devel- dengan mereka yang tinggal di oped than among for example the dalam kota Ambon. Javanese or Malays. In many reHal ini menunjukkan bahwa, spects our manners and customs “nasionalisme ke-Ambonan” lebih have become theirs. While in Java, mengacu kepada produk sistem

pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam komunitas Kristen urban. Demikian pula ”nasionalisme ke-Ambonan” ini juga melanda di kalangan anak muda urban Islam (Chauvel, 1990, 205-8). Konstruksi Image Anak Muda Ambon Paska Kolonial Kiblat gaya anak muda beralih paska kolonial. Dekolonisasi besarbesaran yang dilakukan negara Indonesia hingga tahun 1950 menjadikan anak muda Ambon berdiaspora ke kota-kota yang mulai pesat membangun, yakni kota-kota di Jawa. Image “pergi lihat“ atau tinggal di kota-kota besar di Jawa mengacu kepada kesuksesan ekonomi atau sekedar berbelanja, belajar bahkan bekerja. Karena sepulang dari sana ada narasi yang diceritakan di sesama anak muda Ambon. Migrasi anak muda Ambon yang dilakukan paska kolonial, seperti tertera dalam tulisan M Fauzi yang menceritakan kembali pengalaman Maun Sarifin, yang pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di stasiun Jatinegara: “Yang namanya calo dari dulu ada di bioskop. Tapi kita bukan ngituin suku ya. Yang banyakan tuh anakanak yang dari Ambon. Dulu, waktu itu anak-anak itu kan masih apa sih anak emas gitu ya ama Belanda kan. Jadi seolah-olah dia tuh paling tinggi di situ. Jadi dikuasai oleh orang-orang itu, anak-anak itu.” (Sebagaimana diungkapkan oleh pelaku sejarah Sarifin, dalam Fauzi, 2004: 21). Bahkan penduduk di Batavia pun punya bayangan terhadap gaya anak muda Ambon. Diaspora mereka di kota-kota besar di Jawa mengkonstruksi image tersendiri bagi penduduk di Jawa. Identitas anak muda yang hanya lahir di kota Ambon atau orang tua mereka berasal dari Ambon, disebut sebagai Ambon Card. Ambon Card ini menempati posisi gengsi tertinggi dalam image anak muda di Kota Ambon. Karena generasi Ambon Card dianggap mempunyai nilai lebih untuk mengetahui tentang dunia kota-kota besar di luar kota Ambon, dan dalam hidupnya, mereka kemudian menjadi sukses secara ekonomi. (7) Suku bangsa yang tidak mempunyai pengalaman pertemuan dengan koloni adalah Buton. Anak

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


22 muda Buton nyaris tidak mempunyai tempat khusus di mata Belanda dan birokrasi modern. Selama melakukan migrasi ke kota Ambon, anak muda Buton hidup dari membuat makanan, menjadi tukang becak dan di beberapa sektor jasa informal lainnya. Dibanding anak-anak muda Ambon, mereka jauh lebih tidak terdidik. Sehingga dalam penentuan dan kebijakan politik kota, anak muda Buton nyaris tak masuk dalam perhitungan. Dimata anak muda Ambon Kristen maupun Islam, anak muda Buton dianggap backward

Persepsi asal-usul mereka ditolak dari dua arah, di Ambon dan Buton sekaligus. Salah satu sebab termasuknya orang Buton ke dalam kategori polutif, sebagaimana dilaporkan oleh Palmer: “Migrants often recall how Ambonese people swear at friends when they meet them, spend what they have immediately, and live to be fashionable (bergaya), in contrast to the migrants being polite, saving their money, and not being as interested in looking trendy. When the discussion turns to life in Buton, the returnees often mention how people here are stingy with money, not helping each other like how it is done in Ambon.” (Palmer, 2004: 92). “Kesederhanaan” bergaya anak muda Buton justru dianggap sebagai bagian dari kepelitan mereka untuk tidak mengalokasikan uang untuk berdandan dan bergaya. Dalam pandangan anak muda Ambon, gaya berpakaian trendi yang merepresentasikan solidaritas Paska kerusuhan (1999-2003), dominasi gaya klas menengah antarteman tidak Cina Ambon sirna, dan kini gaya anak muda Islam dominan. diterapkan dalam people. Namun inferioritas ini tetap kultur lokalitas anak muda Buton. tidak menutup kemungkinan anak Gaya berpakaian kemudian muda muslim Ambon untuk menikah menciptakan batas antara “kita” dan dengan orang-orang Buton. Anak ”mereka” dalam struktur kekuasaan muda Islam Ambon menganggap anak muda Ambon. Di sisi lain gaya tubuh menciptakan bahwa perempuan Buton adalah dandan pekerja keras, hemat dan mempunyai seperangkat kecemburuan sosial diantara anak-anak muda Buton yang jiwa pengusaha. itu hanya rekaan Hal terpenting bahwa mereka tak melihat gengsi untuk memilih berbagai “kesombongan” yang dikonstruksi pekerjaan apapun yang dapat anak-anak muda . dilakoninya. Rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya lapangan Konstruksi Image Anak Muda Ambon kerja membuat anak-anak muda Paska Konflik Agama (1999-2002) Konflik selama lebih dari tiga Buton sering dianggap menjadi pelaku kriminal di kota. Juga, mereka tahun di Ambon telah menyebabkan berangasan dalam bertetangga. tajamnya disparitas identitas anak Rusuh-rusuh kecil pada malam hari muda hingga saat ini. Identitas tidak menjadi biasa di kampung-kampung lagi terbelah antara anak muda urban dengan non-urban, kumuh yang ditempati rata-rata ambon migran Buton, seperti di wilayah melainkan antara anak muda Ambon yang beragama Kristen dengan anak Silale, Soabali dan Abdulali’e. Di kota Ambon, orang-orang muda Ambon yang beragama Islam. Buton ini tidak diterima sepenuh hati Anak-anak muda migran yang sebagai orang Ambon kota. Mereka selama ini inferior, seperti anak muda tidak memiliki identitas yang pasti. Buton, Jawa dan Makasar berafiliasi JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

ke anak muda Islam Ambon. Meski telah damai, kota Ambon masih menyisakan batas-batas kultural yang semakin menguat perbedaannya antara Kristen dan Islam. Pada bentuk pilihan musik misalnya. Anak-anak muda Islam lebih menyukai Pasha dan Band Ungunya, dikarenakan dua hal. Pertama, band ini menjadi salah satu pengiklan utama pakaian distro bernama Black Id. Sebuah perusahaan pakaian independen yang bermarkas di Bandung. Kaos dari Black Id ini sering dipakai oleh Pasha. Paska konflik, aspirasi terhadap pakaian independen (baca: Indie) semacam Black Id ini justeru lebih banyak menyebar di anak muda komunitas Islam, mengingat barang yang masuk melalui pelabuhan dagang diakses terlebih dahulu oleh pedagang di pesisir yang notabene Muslim. Kedua, Band Ungu mengkonstruksi dirinya sebagai band Muslim ketika pada bulan puasa/ ramadhan 2006 mengeluarkan sebuah album rohani Islam. (8) Sedangkan pada ruang kota dapat dilihat pada satu-satunya mall di Ambon, yakni Ambon Plasa, menjadi saksi transformasi kelas menengah keturunan Cina yang menghilang paska konflik dan tergantikan dengan gaya anak muda Islam yang sangat dominatif. Tatkala saya memasuki lantai dasar Ambon Plasa, para pedagang di stan-stan tak berhentinya mengajukan pertanyaan “cari apa abang?” (9) Begitu memasuki plasa, nuansa keislaman langsung dapat dirasakan. Dua pintu utama yang berada di dalam mall ini menjual perangkat busana muslim dan kopyah. Pada busana muslim di depan etalase didominasi oleh warna merah muda dan putih. Terdapat sebuah patung kepala perempuan berwajah putih beralis tebal yang diberi kerudung. Sedangkan penjualan tasbih, kopyah dan sajadah berada pada mulut pintu utama di bagian timur. Beberapa penjual berjenggot lebat dan mengenakan celana hingga di atas mata kaki. Sesekali mereka bersalaman tatkala menemui beberapa rekan yang ternyata juga tengah berbelanja. (10) Karena terletak di pesisir yang dikuasai oleh komunitas Islam, Ambon Plasa otomatis menjadi milik kekuasaan anak muda Islam. Tak sedikit anak


23 muda Kristen yang merasa was-was untuk datang ke tempat ini. Pada tingkatan imajinasi, disparitas konstruksi ruang perkotaan paska konflik ditindaklanjuti dengan perbedaan-perbedaan superficial seperti makna kecantikan. Di kalangan anak muda Kristen, image ketampanan, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan AmbonBelanda. Sedangkan pada anak muda Ambon Islam, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan Ambon-Arab. Dua model keturunan ini terdapat di kota Ambon, dan dianggap sebagai manusia yagn berfisik ideal, pada masing-masing komunitas Kristen maupun Islam. Kesamaan konstruksi tubuh ideal di antara komunitas anak muda Kristen dan Islam adalah, sama-sama berhidung tinggi alias mancung, baik dari keturunan Ambon-Arab dan Ambon-Belanda. Inilah mengapa kemudian anak muda Ambon tak begitu mengidealkan kecantikan ala perempuan Jawa ataupun Sunda yang secara fisik dianggap berkulit pucat, berhidung

idealitas fisik anak muda pasca konflik menunjukkan pasca konflik di Ambon, perbedaan masih tetap terpelihara, dan pengusung penting dari perbedaan ini adalah anak muda.

Penutup Konstruksi gaya yang dibangun pada masa kolonial adalah anak muda dan kedekatannya dengan Dua anak muda Belanda berketurunan Ambon. Syarat dari Belanda. Paska kegagahan dan ketampanan ideal yang diinginkan perempuan kolonial, perbedaan Ambon. lebih ditekankan pada berdasarkan ketegangan Kristen-Isinteraksi antar etnis dibanding agama lam. (11) - anak muda Ambon (baik Kristen Gaya dan identitas tubuh maupun Islam) lebih menganggap dikosntruksi berdasarkan replikasi bahwa anak muda migran Buton, dari kekuasaan kaum kulit putih, Jawa dan Makasar lebih inferior dijalankan masyarakat pribumi dibanding mereka. Sedangkan dengan melakukan inkorporasi ke konstruksi identitas ketiga adalah, dalam berbagai variasi terjadinya disparitas ruang dan kehidupannya. Gaya tubuh menjadi imajinasi identitas antar agama yang strategi unifikasi masyarakat pribumi baru saja berkonflik, yakni Islamterhadap masyarakat koloni. Kristen. Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa gaya tubuh bukan hanya milik koloni Belanda, melainkan juga dinarasikan kembali oleh pemiliknya, yakni masyarakat pribumi Ambon yang mengolahnya kembali pada masa paska kolonial. Bahkan gaya itu ditransformasikan kembali pada periode pasca kerusuhan 1999-2002. Transformasi kemodernan yang memunculkan kesadaran akan gaya tubuh dikonstruksi melalui empat interaksi: pengalaman militer, pendidikan, pakaian dan agama. “Ila Fadila…Nona manis arab ambon..e..” Adalah “image” kecantikan yang direkonstruksi pada Pada tahun 1895, di kalangan anak komunitas urban Islam. Ini adalah sebuah judul lagu yang dibawakan Oleh Doddy Latuharhari, muda keinginan untuk menjadi vokalis Nanaku, dengan Judul “Lampu Lima” tentara dan pegawai negeri semakin marak, ini dikarenakan menurunnya pesek dan mempunyai karakter yang Nasionalitas yang dibangun oleh harga cengkeh di pasaran terlalu lembek. Prasyarat fisik sangat anak muda Ambon selama masa internasional. Juga dikarenakan penting, mengingat kebagusan tubuh Orde Baru, adalah dengan adanya monopoli harga yang pada pasangan kekasih berperan membedakan konsep antara “negeri” dilakukan koloni Belanda. penting untuk menaikkan gengsi laki- dengan “negara“. Dalam Abad ke-19 merupakan laki yang berada di jalanan kota. mengkonstruksi negara, anak muda transformasi besar-besaran; orang Tujuan dari keinginan untuk Ambon secara ambigu menyatakan Ambon mulai mereorientasi atribut mendapatkan perempuan, oleh anak iri sekaligus terkagum terhadap apa yang hendak dijadikan sebagai muda Ambon karena nantinya akan kemajuan yang terjadi di pusat gaya tubuhnya. Ambisi yang di pamerkan ke wilayah publik. Ia pemerintahan negara, yakni Jawa. dilakukan tidak hanya memeluk dijadikan kebanggaan di depan Berbeda halnya dengan “negeri“, agama Kristen, namun juga mencari teman-teman, hingga kemudian akan mengacu kepada tanah Maluku dan sekolah alternatif yang lebih menciptakan perbincangan yang kota Ambon khususnya yang prestisius, demi mendapat mengandung nilai salut di kota yang bermuatan emosional, penuh dengan kedudukan sebagai pegawai berukuran kecil ini. Lebih dari itu, tangis kerinduan yang tidak No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


24 pemerintahan sipil atau menjadi tentara di tangsi-tangsi. Munculnya gengsi dan gaya orang Ambon, karena posisi politik, pendidikan, ekonomi dan kedudukan militer yang cukup istimewa. Perasaan superioritas terisi di antara orang Ambon yang menjadi tentara KNIL. Pada masa paska kolonial, konstruksi image terhadap kota di luar Ambon lebih ditentukan oleh dua hal. Pertama, pola perpindahan anak muda Ambon justeru bukan dihadirkan dari ruang-ruang televisi, melainkan melalui tingkat narasi yang dilakukan dengan cara pengkomparasian ruang kota. Untuk menyamakan dengan ibukota, sebuah ruang publik di Jakarta selalu dibandingkan dengan ruang publik di Ambon yang berkali-kali lipat ukurannya, sehingga anak muda mempunyai rasa ingin tahu dan segera ingin membuktikannya. Begitu anak muda berada di luar dari kota Ambon, koreksi dan repetisi tubuh bukan berarti akan gugur. Gaya dan identitas tubuh justru tetap

Catatan: 1. Duduk-duduk diidentifikasikan sebagai kekuasaan anak muda. Menempati suatu wilayah yang diduduki dengan serombongan anggota mengakibatkan diketahuinya oleh orang lain, bahwa si A sering berdomisili di suatu tempat. Sehingga jika kita mempunyai permasalahan dengan si A, atau minimal merasa segan, tak jarang harus memutar haluan mencari jalan alternatif untuk tak berpapasan atau diketahui oleh si A. Dengan sendirinya, duduk-duduk menghasilkan selektifitas orang-orang yang melewati di depannya. Duduk-duduk mempunyai konsep yang serupa dengan Hanging Out; Kongkow; Nongkrong. Dalam bahasa Jawa Timur istilah ini disebut Cangkruk, sedangkan dalam bahasa Jawa Yogyakarta disebut Tete’. Chua Beng Huat menyebutnya sebagai “Nothing is Happening�, yakni kegiatan menghabiskan waktu luang oleh anak muda. Tak terjadi apa-apa, hanya dudukduduk semata, sembari menggosip dan melihat-lihat makhluk hidup yang berkeliaran. Lebih jauh periksa Beng Huat (41-55:2003). 2. Momentum struktural adalah ketika dilakukan depolitisasi anak muda dengan diberlakukannya NKK/BKK oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Daud Jusuf di tahun 1983. Keputusan itu ditujukan untuk memberangus semua gerakan anak muda yang dianggap merongrong stabilitas pembangunan. Seperti dalam peristiwa Malari dan gerakan

dipertahankan karena inginnya menunjukkan identitas ke-Ambonan. Mengetahui anak muda Ambon di kota-kota di Jawa bahkan di Belanda misalnya, cukup memerlukan radar yang sangat mudah. Bukan hanya dari air muka dan rambut, namun juga dalam bentuk gaya jalan dan penampilan. (12) Kedua, gaya sebagai kebudayaan generik. Gengsi dan gaya sebagai kebudayaan generatif membuat anak-anak pada usia sebelum remaja, dikonstruksi seperti anak muda. Anak muda Ambon mencoba mempertahankan masa kebebasan selama mungkin. Cara yang dilakukan tidak harus dengan menunda pernikahan, melainkan meski menikah namun tetap mempunyai kebebasan seperti ketika sebelum menikah. Untuk mempresentasikan tubuh di ruang publik, anak muda urban Ambon terus dipantau secara reguler dan diatur agar selalu tetap muda. Strategi mempertahankan gaya muda dilakukan seperti meluruskan

rambut, mengenakan topi dan bertindak dijalanan secara maskulin. Agar tampak muda, maka dilakukan pembalikan terhadap konsep sejarah nasib tubuh yang dipandang selalu bermuatan linear. Dari kecil sampai besar, dari muda sampai tua dan dari lahir sampai mati, termanipulasi ke dalam bentuk tubuh yang dikondisikan agar selalu dalam keadaan muda. Dukungan yang begitu kuat dari berbagai elemen masyarakat, membuat gaya pada anak muda Ambon tidak mengandung resistensi yang berarti, melainkan hanya mengandung nilainilai mimikri. Tubuh hanya melakukan peniruan dan adaptasi dari gaya luar yang kemudian dikritisi dan dikreasikan kembali ketika memasuki kancah pergaulan di kota Ambon.***

anak muda dan mahasiswa tahun 1978 merupakan gerakan yang telah digagalkan oleh negara. Secara garis besar, saya membagi anak muda urban yang berbasis pada universitas di Indonesia ke dalam tiga tipe, yakni mereka yang tegabung dalam aktivitas politik kekirian yang terepresentasi oleh PRD (Partai Republik Demokrat). Anak muda ini rata-rata berbaju seadanya, seperti kaum hippies di negara dunia ketiga, dan para perempuannya tak jarang yang menghembuskan asap rokok disela-sela diskusi. Gerakan anak muda ini mulai muncul pasca tahun 1996. Tipe kedua adalah anak muda modernis, berafiliasi pada organisasi keagamaan yang telah mapan dan aman semenjak awal Orde Baru, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Tipe mahasiswa ketiga adalah mereka yang bersifat apolitis, yakni anak muda yang hanya mementingkan nilai kuliah. Mereka mempunyai jalur yang sama ketika berangkat dan pulang kuliah. Hari-hari hanya diisi dengan pembicaraan ringan seperti diskusi tentang pacaran, menggosip dan berbelanja. 3. Pembelokkan makna kata pada Orde Baru, juga dilakukan pada kata rakyat yang digantikan maknanya degan massa. Kata ini dialamatkan untuk mengeluarkan masyarakat dari berbagai partisipasi dan kepentingan politik parsial. Dan kata massa mengacu pada masyarakat yang tidak alami, jika ia menumpuk pada satu titik dan

melakukan demonstrasi maka dianggap membahayakan bagi stabilitas pembangunan. Saya Shiraishi dalam karya etnografisnya menganalogikan bahwa mahasiswa yang melakukan demonstrasi di jalanan sama seperti anak kecil yang membuat kegaduhan (noise) di dalam kelas. Karena itu mereka pantas diperingatkan, jika perlu digebug (Shiraishi, 123-30: 1997). 4. Anak muda Ambon masuk dalam kategorisasi tersebut patuh pada Negara. Tidak ada resistensi berarti dari komunitas anak muda Ambon, kecuali membentuk gank yang juga secara tidak langsung merupakan representasi dari gejolak politik buatan Negara Seperti ketika anak-anak Ambon di Jakarta, menjadi perhatian publik tatkala dipulangkannya mereka kembali ke Ambon. Paska rusuh Ketapang di Jakarta Utara, 1998 ratusan preman muda Ambon yang terkenal dengan berbagai bisnis narkotika, prostitusi, perjudian hingga penagih hutang, harus rela kembali ke kota asalnya (Human Rights Watch. March 1999, Vol. 11, No.1 (C) 3; Timer, 2002: 15). Gerakan anak muda ini sangat mudah “diombangambingkan� oleh gelombang politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai misal, hingga menjelang konflik di Ambon pada tahun 1999, terdapat dua gangster terkemuka di Jakarta yang berasal dari Ambon. Gangster yang rata-rata berisi anak muda Ambon ini berlatar belakang Islam yang dipimpin oleh Ongen Sangadji dan gangster berlatar belakang Kristen dipimpin

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Hatib Abdul Kadir Kadir,, antropolog muda. Tulisan ini dipresentasikan dalam Forum Interseksi 2008, Yogyakarta 17 Juni 2008


25 oleh Milton Tua Kota. Rivalitas keduanya tak berhenti karena mantan isteri dari Ongen adalah perempuan yang kemudian dinikahi oleh Milton. Di satu sisi Ongen merupakan peliharaan dari Geng Cendana berpayung Bambang Trihatmodjo, sedangkan Milton mengaku berteduh pada Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut). Kabar tentang perseteruan mereka di Jakarta terdengar hingga oleh anak-anak muda di kota Ambon yang membawa kebanggaan masing-masing. Hingga pada akhirnya peperangan dan pengiriman besar-besaran kembali kedua geng ini ke kota Ambon dianggap sebagai salah satu pemicu kerusuhan kota pada tahun 1999. Dari pihak geng Ongen Sangadji saja mereka memulangkan 604 preman. 5. Pembahasan mengenai “gaya” mengacu kepada beberapa hal berikut. Pertama, gaya mengacu kepada kebagusan fisik, perangkat yang tengah dikenakan tubuh dan kepemilikan barang lainnya. Misalnya seorang anak muda yang tidak ganteng sekalipun akan dikatakan gagah jika ia mengenakan sepatu Adidas seharga 600 -800 ribu, atau mempunyai gadget keluaran terbaru dari Creative dan I-Pod. Kedua, mengacu pada kekuatan mabuk pada laki-laki. Ketiga, di kalangan anak mudanya, minuman keras telah dikenal semenjak abad 17 ini (Knaap, Gerit J, 1991: 116-7). Laki-laki yang dianggap gagah bukan hanya berani bertempur dalam konflik, namun di sisi lain ia mempunyai daya tahan untuk menahan tubuhnya ketika mabuk bersama rekan-rekannya. Bahkan konstruksi gagah akan semakin tidak terbantahkan jika dalam keadaan mabuk justru terlihat semakin bijak dan berwawasan luas. Keempat, makna gagah juga ditambah dengan kekuatan oral dan pembicaraan yang ekspresif. Untuk mencapainya, maka strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan ancaman yang sifatnya hiperbolis, seperti: “Beta pukul se satu kali, ose marayap“; “Beta pukul se satu kali, ose tuli“; “Beta pukul se satu kali, ose mulu bengkok mangkali ka apa?“; “Balah dia!“ (Sembelih dia!); “Racun dia di tengah hutan“; “Buang dia di air masing“ (Air laut). Kata hiperbolik dan superlatif bukan hanya dilakukan pada nada ancaman seperti di atas, melainkan juga ditujukan pada gerakan di ranah keromantisan. “Biar kata ose gagah“, dalam artian gagah secara fisik, tapi sebagai pelengkap memainkan katakata juga harus bagus. Orang lain bisa memakan kita punya gagah, karena “pihak lawan“ bermain lebih halus dan romantis. Kepandaian dalam berkata-kata ini merupakan senjata untuk menaklukkan perempuan yang diinginkan dalam jangka waktu yang lebih singkat, dan menimbulkan kesan gaya bagi anak muda yang berhasil menaklukkan perempuan dalam waktu singkat. 6. Agama Nunusaku digabungkan

dengan agama modern ketika masuknya jaman koloni. Superioritas kekuasaan yang ditancapkan pada tubuh orang Ambon dengan menekankan bentuk sinkretisme. Bartels mensinyalir bahwa konsepsi dan gagasan mengenai kekuasaan yang disampaikan oleh Ben Anderson pada masyarakat Jawa, menjadi perkecualian di wilayah Maluku Tengah ini. Konsep ini mengacu kepada kekuatan sakral dan magis yang dikerahkan oleh salah satu pemimpin supranatural dan dapat ditemukan dimana mana, seperti pada laporan RR. Marrett pada masyarakat Iroquis di Amerika hingga Melanesia di sepanjang Pasifik. Lebih lanjut lihat: Bartels 1979: 283. 7. Keberadaan Ambon Card juga dapat ditemui di kota Makassar, istilah yang mirip dengan Ambon Card ini adalah ATL singkatan dari Ambon Tembak Langsung, dalam artian mereka yang lahir di Ambon dan ketika menginjak usia remaja mulai menjajaki kota lain. Ambon Card di Makassar tepatnya berada di dua wilayah, yakni di Jalan Gunung Nona dan di Jalan Cendrawasih, sekitar Stadion Mattoangin. Kedua wilayah ini disebut juga sebagai ”Ambon Kamp”. Sebagian lainnya tersebar di daerah Pantai Losari, meski tidak sedominan dua tempat sebelumnya. Ciri khas dari komunitas Ambon Card ini berbicara dalam dialek Melayu Ambon, dengan beberapa campuran kosakata Belanda di dalamnya. Komunitas yang sebenarnya juga merindukan suasana kotaAmbon ini juga menjaga identitasnya dengan menggunakan konsep “kampong dalam mulu” atau kampung yang hanya ada di dalam mulut. Mulut juga menjadi bagian dari identitas gaya dalam pergaulan, karena dialek Melayu Ambon yang digunakan sangat mudah dilafalkan dengan menggunakan gerak seperti seorang rapper yang mempunyai percaya diri demikian tinggi dalam setiap ucapan yang dikeluarkannya. Selain itu, di titik-titik wilayah Ambon Card tentunya banyak ditemui nama fam atau marga Ambon seperti Pattiasina; Pattinaya; Pattipelohi; Siahaya; Wattimena; Manusama; Picanussa; Reuwpassa; Tapilattu; Karuwal hingga marga Paays. Marga di Makassar sekaligus menunjukkan identitas negeri asal mereka, seperti marga Paays dari Lateri; marga Picanussa dan Karuwal datang dari kampung Aboeboe di Nusalaut; marga Pattisiana dari kampung Boi di Saparua, Pattipelohi dari kampung Itawaka yang juga di Saparua dan marga Latuheru dari Kilang. 8. Band Ungu pada bulan Puasa 2006 atau yang dikenal oleh umat Islam dengan Bulan Ramadhan mengeluarkan sebuah album rohani, dengan judul “Surgamu“. Album yang berisikan 10 track ini terdiri dari 5 buah track versi audio dan 5 buah track versi karaoke. Beberapa lagunya berupa pujaan kepada Nabi Islam bernama Muhammad, dan beberapa judul lagu yang

menunjukkan keislaman seperti “ Selamat Lebaran“. 9. Istilah abang adalah panggilan untuk anak muda Islam, sedangkan panggilan Bu yang merupakan singkatan darri Bung adalah panggilan untuk anak muda Kristen. 10. Nuansa Islami semakin kental tatkala berada di lantai dua Ambon Plasa. Di sisi barat lantai dua, merupakan wilayah yang tak terlalu riuh untuk dilewati dan dikunjungi. Terdapat sebuah masjid, salon, dan warung makan. Beberapa laki-laki berjenggot, berpakaian ala pasukan Taliban, keluar dari tempat ibadah ini. Mereka usai melakukan peribadatan di siang hari, yang dinamakan “sholat dhuhur”. Di samping masjid terdapat tempat wudlu dan toilet perempuan. Beberapa orang tua di dalam menempatkan masjid di dalam plasa ini layaknya masjid di tengah-tengah kampung. Mereka duduk berlama-lama untuk berdo’a kemudian mengobrol dengan beberapa rekan hingga waktu yang tidak ditentukan. Wilayah barat di sudut plasa lantai 2 ini sangat bernuansa islami. Lantainya sangat basah dan licin, karena beberapa orang menghambur keluar dari tempat wudlu dan membawa air yang terserap di dalam sandal-sandal karetnya. Hampir tak ada anak muda dan para gadis yang berada di sekitar area ini. Kaum muda tersebut hanya melewati sebuah rumah makan disamping masjid, kemudian berbelok kembali menuju bagian tengah lantai dua plasa, sebagai titik yang paling padat. 11. Di Silale, tempat pengungsian yang telah berdiri rumah-rumah permanen, saya mengunjungi seorang ibu kepala sekolah, Sausei Tualisa. Ia mempunyai empat orang anak yang telah beranjak dewasa. Anak sulungnya lahir di tahun 1980, nomer dua terlahir tahun 1983, anak nomer tiga terlahir tahun 1988 yang kini duduk di bangku SMA. Sedangkan bungsu duduk kelas dua di bangku SMP. Mama Yenny menempatkan empat pot berukir indah, di ruang bagian tamu. Empat pot tersebut dibuat demi menandai kelahiran masingmasing anak Mama Tualisa. Masingmasing pot tertera kata “semoga berguna bagi negeri“. Kata negeri disini mengacu kepada konsep Ambon, yang diharapkan untuk dibangun oleh anak-anak yang terlahir dan besar di kotanya sendiri. 12. Beberapa orang Ambon di Belanda diakui masih mempunyai gaya berjalan yang khas. Cara berjalan digambarkan Hulsboch dalam wawancara mendalamnya dengan orang Ambon di Belanda, cirik khas mereka adalah variasi gaya berjalannya yang terkesan sempoyongan, terhuyung, memandang dengan tajam, bergerak dengan sesekali sedikit lompatan, mengayun pasti, namun seakan-akan tersorong atau tergelincir dan pinggul yang bergoyang dnegan cepat penuh keangkuhan (Hulsboch, 173, 182: 2004)

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


26

Pelajar Indonesia di Belanda Suka Jalan-Jalan Kemana? Oleh Qonita S Satu hal yang menyenangkan selama belajar di Belanda adalah bisa jalan-jalan ke luar Belanda. Lantas, negara mana saja yang menarik untuk dikunjungi oleh pelajar Indonesia? Untuk mengetahui hal itu, Jong Indonesia mengadakan survei atau jajak pendapat online melalui milis PPI Belanda. Survei ini diikuti 85 orang responden. Mayoritas responden memilih Jerman, Belgia dan Prancis sebagai negara-negara yang paling diminati untuk dikunjungi. Sebanyak 56 % responden memiliki pemasukan sebesar 900-1.200 euro per bulan. Dengan uang segitu, dapat dipahami bahwa responden yang memiliki uang extra memiliki kesempatan lebih untuk mengunjungi dan menikmati negara-negara di Eropa. Ya, mumpung di Eropa! Mayoritas responden berusia 2730 tahun. Sebanyak 77 % responden menyebutkan, mereka berada di Belanda untuk mengikuti pendidikan S2. Sebanyak 53 % dari responden ‘baru’ tinggal di Belanda (kurang dari satu tahun). Dengan mayorias usia yang cukup muda, penghasilan yang memadai, didukung oleh visa Schengen yang memudahkan untuk travelling, besarnya animo untuk meng-eksplore benua Eropa dapat dipahami. Lantas, negara mana yang paling ingin dikunjungi, dan kenapa? Dari 10 negara yang paling banyak dikunjungi merupakan bagian dari daerah Schengen. Wajar, karena paspor Garuda memang sering kepentok persyaratan bikin visa. Tentu saja responden memilih yang jauh seperti Spanyol tapi tidak butuh visa, daripada Inggeris Raya yang dekat. Negara-negara yang belum pernah dikunjungi oleh ke-85 responden ini adalah: negara-negara Uni Europa yang belum masuk Schengen (Bulgaria, Cyprus, Romania), negara-negara ex-Yugoslavia (Bosnia, Croatia, Macedonia,

Usia responden (tahun)

Beasiswa/penghasilan responden (Euro)

Sudah berapa lama di Belanda?

Sedang apa di Belanda?

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Montenegro), negara-negara Afrika utara (Algeria, Tunisia), dan negaranegara ex-Uni Soviet (Albania, Armenia, Azerbaijan,Usia responden (tahun) Belarus, Georgia, Kazakhstan, Moldova, Russia, Ukraine). Negara Schengen pun ada yang belum pernah dikunjungi oleh responden (Malta). Walaupun demikian, ada perkecualian seperti Serbia (ex-Yugoslavia), Morocco (Afrika utara), Turkey (perbatasan Eropa-Asia), Monaco, Liechtenstein, San Marino (negara-negara kerajaan yang punya open border dengan negara Schengen terdekat). Dilihat dari alasan yang paling banyak dikemukakan “Dekat dengan Belanda”, tampaknya ada korelasinya dengan belum dikunjunginya negara-negara ex-Uni Soviet dan negara-negara ex-Yugoslavia yang tergolong jauh dari Belanda. Alasan kedua yang umumnya dipilih responden adalah ketertarikan responden akan kehidupan di kota-kotanya. Uniknya, alasan ketiga adalah adanya promo tiket transportasi. Ongkos transportasi di Eropa memang cukup tinggi, sehingga promo-promo tiket transportasi harus dipergunakan sebaik mungkin. Terlebih dengan adanya internet, akses untuk melihat tiket-tiket promo cukup mudah dan website-website seperti www.ryanair.com, www.wizzair.com atau www.nshispeed.nl mungkin tidaklah asing bagi pencari tiket murah. Alasan lain-lain untuk mengunjungi sebuah negara, adalah “Tertarik pada sejarahnya”, dan “Tertarik pada makanannya” (wow). Ada juga alasan sekedar jalan-jalan, diajak oleh teman, bahkan karena sepakbola. Memang, beberapa negara-negara di Eropa seperti Spanyol dikenal sepakbolanya. Bagi para mania bola, walau tidak menonton bola secara langsung, setidaknya menginjakkan kaki ke kandang klub idola, mengunjungi sta-


27 dium, berfoto-foto atau membeli souvenir asli dari official store bisa membawa kenikmatan tersendiri. Disisi lain, ketertarikan akan teknologi bukanlah hal yang menarik untuk dipelajari dan menjadi alasan tertentu untuk berwisata ke suatu negara. Kesimpulan lainnya, tampak bahwa para pelajar Indonesia yang tinggal di Belanda telah cukup banyak menjelajah Eropa. Dari peserta jajak pendapat yang sebagian besar baru kurang dari satu tahun tinggal di Belanda, ternyata sudah banyak negara yang dikunjungi. Ini belum termasuk liburan musim panas tahun ini, karena liburan kuliah baru dimulai akhir Juni atau awal Juli 2009. Dengan melihat kelompok penerima beasiswa terbesar adalah 900-1200 Euro per bulan, maka fakta ini cukup masuk akal. Hidup di Belanda bisa cukup dengan 600 Euro per bulan, sehingga masih ada cukup banyak sisa untuk ditabung dan jalan-jalan. Walaupun demikian, perlu dilakukan uji statistik lebih lanjut, apakah benar mereka yang jalanjalan adalah mereka yang berpenghasilan besar? ****

Selain asyik untuk jalanjaan, Eropa juga menjadi ‘surga’ bagi ‘tukang foto’. Foto: Jimmy Perdana (Wageningen)

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


28

Diplomasi Pelajar Indonesia di Belanda Oleh Yohanes Widodo dan Rahmadi Trimananda Era ini ditandai adanya perubahan maka diplomasi publik lebih dilakukan wakil-wakil pemerintah, paradigma: peran masyarakat ditekankan pada hubungan sekaligus dapat memberikan menguat, sementara peran negara pemerintah ke masyarakat atau masukan dan cara pandang yang berkurang. Perubahan itu juga terjadi bahkan hubungan masyarakat ke berbeda dalam memandang suatu di ranah diplomasi. Globalisasi masyarakat. Tujuannya, agar masalah. Diplomasi publik menjadi membuka ruang keterlibatan publik masyarakat internasional mempunyai penting dalam menciptakan citra dalam diplomasi. Diplomasi bukan persepsi baik tentang negara, bangsa Indonesia, berperan aktif lagi melulu urusan pemerintah. sebagai landasan sosial bagi menciptakan perdamaian dunia, dan Hubungan internasional tidak lagi hubungan dan pencapaian merajut persaudaraan antarbangsa. semata-mata dipandang sebagai kepentingan yang lebih luas (Benny Diplomasi publik menekankan h u b u n g a n pada cara-cara antarnegara, tapi juga berkomunikasi meliputi hubungan dengan publik antar masyarakat negara lain. internasional (Benny Pelakunya, selain Susetyo, 2008). d i p l o m a t D i p l o m a s i profesional, bisa tradisional (first track juga individudiplomacy) ala individu atau pemerintah kini lembaga swasta. berkembang menjadi Tujuan diplomasi diplomasi publik atau publik adalah bisa juga disebut untuk �menjual� diplomasi informal pada masyarakat (second track diplonegara lain halmacy). Isu diplomasi hal yang menarik publik ini mengemuka dari negara dan karena pemerintah— bangsa pelaku. jika berjalan Sarananya sendirian—tidak lagi antara lain, mampu secara efektif k e g i a t a n Tarian Yospan (Papua) oleh PPI Wageningen dalam perayaan 17 Agustus 2009 menyampaikan kebudayaan, pesan-pesan diplomasi dalam situasi Susetyo, 2008). pertukaran mahasiswa, pemutaran dan isu-isu yang semakin kompleks. Diplomasi publik adalah suatu film, pertunjukan teater dan lain-lain. upaya memerjuangkan kepentingan Diplomasi publik bisa dikatakan mirip Diplomasi Publik nasional melalui penyebaran tugas hubungan masyarakat Diplomasi didefinisikan sebagai informasi atau memengaruhi (Susanto Pudjomartono, 2008). seni dan praktek bernegosiasi di pendapat umum yang dilakukan Seperti halnya fungsi hubungan antara perwakilan-perwakilan dari dengan memanfaatkan sarana masyarakat, diplomasi publik adalah kelompok-kelompok atau negara budaya dan komunikasi: menjelaskan proses komunikasi yang bertujuan (Susanto Pudjomartono, 2008). dan mengadvokasi kebijakan Indone- membangun citra positif terhadap Sementara itu, Pamela H. Smith sia, memberikan informasi tentang gambaran mengenai kehidupan dan (2008) mendefinisikan diplomasi Indonesia, dan masyarakatnya, nilai- dinamika politik Indonesia. publik sebagai upaya mencapai nilainya, lembaganya; dan Gambaran positif ini sangat kepentingan nasional suatu negara membangun hubungan yang saling penting bagi dunia untuk untuk memahami, menginformasikan, memahami melalui pertukaran meningkatkan kerja sama dan memengaruhi masyarakat luar informasi dan wacana. antarnegara, sehingga tercipta negeri dalam rangka Diplomasi publik menjadi upaya sebuah kepercayaan bahwa bangsa mempromosikan kepentingan alternatif agar diplomasi berjalan Indonesia memiliki potensi untuk nasional dan memerluas dialog lebih efektif dan memberikan dampak mengembangkan kerja sama semua dengan relasi di luar negeri. yang lebih luas dan besar pada aspek politik, ekonomi, budaya, dan Jika proses diplomasi tradisional masyarakat internasional. pendidikan. Misi ini pada gilirannya dikembangkan melalui mekanisme Keterlibatan publik ini dapat akan membawa efek kesejahteran hubungan pemerintah ke pemerintah, membuka jalan bagi negosiasi yang bagi masyarakat. JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I


29 Pelajar Indonesia dan Diplomasi sia karena beberapa hal. Pertama, Di era perjuangan kemerdekaan, Publik dari segi sejarah dan sosial budaya, peran diplomasi PPI Belanda menjadi Eksistensi pelajar Indonesia di luar Belanda punya tempat yang khusus bagian tak terpisahkan dari upaya negeri—salah satunya tergabung karena memiliki hubungan yang khas konfrontasi melawan Belanda. Bung dalam Perhimpunan Pelajar Indone- dengan Indonesia. Hubungan Indo- Hatta dan kawan-kawan menjalankan sia (PPI)—sangat strategis untuk nesia Belanda juga khas karena sejak aksi dan diplomasi untuk memainkan peran diplomasi publik tahun 1900-an, ada puluhan ribu mewujudkan Indonesia merdeka. dan menjadi duta bangsa orang ke pelajar Indonesia yang belajar dan Paska kemerdekaan, peran orang (person-to-person ambassa- menimba ilmu di Belanda. Kedua, diplomatik PPI Belanda juga tetap dor) dalam membangun opini positif dari sisi ekonomi, Belanda penting. Misalnya, ketika terjadi guna meningkatkan manfaat merupakan pintu gerbang Eropa. konfrontasi Irian Barat tahun 1960-an, hubungan Indonesia dan dunia Pelabuhan Rotterdam menjadi mahasiswa Indonesia, salah satunya internasional. Dengan kemampuan, pelabuhan tempat masuknya barang diwakili oleh Kwik Kian Gie, secara keterampilan, dan pergaulannya dagangan Indonesia ke Belanda dan langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat di mana ia Eropa. Ketiga, secara politik saat ini mendapat imbas dari perubahan belajar, PPI bisa membangun hubungan Indonesia dan Belanda politik itu. Kwik, sebagai salah satu semangat kerja sama abtarbangsa sedang dalam kondisi yang sangat aktivis PPI Belanda, bahkan dengan dasar ikatan saling harmonis. Untuk pertama kalinya melibatkan diri untuk memperjuangmenghargai, menghormati, kan kepentingan Indonedan memiliki. sia. Dengan memanfaatkan Kini, dalam situasi jalur kampus serta langkahhubungan diplomatik Indolangkah akademis, peran PPI nesia-Belanda yang sangat menguntungkan sedang dalam tahap dalam menciptakan wacana “kemesraan”, PPI Belanda yang kondusif serta turut ambil bagian dalam mengklarifikasi pernyataandiplomasi publik. PPI pernyataan media yang Belanda berupaya seringkali berat sebelah. membangun citra dan Seminar-seminar kampus kesan yang baik tentang serta tulisan-tulisan para Indonesia. Di sisi lain PPI pelajar yang bernilai Belanda tetap menjunjung akademis mengenai Indonesikap kritis terhadap sia akan sangat membantu dinamika pembangunan memberikan acuan dalam Diplomasi lewat ‘makanan’: Rector Magnificus Wageningen Univ. dan pemerintahan Indonekancah adu pendapat dan sia. opini publik. PPI bisa mengadakan Perdana Menteri Belanda Jan Ada beberapa peran diplomatik kegiatan-kegiatan seminar yang Balmemende hadir dalam perayaan yang secara aktual dimainkan oleh melibatkan institusi pemerintah dari hari kemerdekaan Indonesia 2008. PPI Belanda. Pertama, PPI Belanda dua negara serta merancang Setelah itu disusul kunjungan Wakil berperan aktif memainkan fungsinya kegiatan-kegiatan yang menarik bagi Presiden Indonesia Jusuf Kalla ke dalam diplomasi budaya. Keragaman media, untuk menyuarakan Belanda. budaya, tradisi, kesenian dan barang kepentingan dan pembangunan citra PPI Belanda sebagai organisasi kerajinan merupakan daya tarik yang Indonesia. pelajar Indonesia di Belanda telah dapat menunjang promosi wisata InPeran PPI tidak hanya berperan aktif dalam diplomasi publik donesia, sebagai bagian dari berdiplomasi ke luar tetapi juga ke dan mengkomunikasikan Indonesia diplomasi budaya di luar negeri. PPI dalam. Dengan kapasitas dan ke masyarakat Belanda dan Belanda menjadi ikon Indonesia yang kritisismenya, PPI bisa memberikan masyarakat Indonesia di Belanda. memperkenalkan Indonesia lewat masukan dan umpan balik kepada PPI Belanda membangun hubungan kegiatan-kegiatan kebudayaan, pemerintah dan masyarkat, sehingga yang baik dengan mereka lewat seperti Malam Indonesia (Indonesian pembangunan dan stabilitas nasional transfer informasi dan kebudayaan. Night) dan keterlibatan PPI dalam yang dinamis bisa berjalan. PPI juga Peran diplomatik PPI Belanda kegiatan-kegiatan yang bersifat lintas bisa menjadi aktor diplomasi telah mengalami perjalanan yang negara dan lintas budaya. kebudayaan. Kebudayaan ini panjang dan mengalami mengalami Kedua, dalam bidang sosial menjadi sangat penting karena pasang surut. Karena sejarahnya politik, PPI Belanda juga turut ambil memainkan peranan yang penting yang panjang, peran PPI Belanda bagian. Ketika kasus film Fitna yang sebagai identitas kita dalam juga memiliki kekhasan dan diproduksi oleh Geert Wilders, PPI hubungan dengan pihak lain. dinamikanya sendiri. Peran itu sudah Belanda membuat pernyataan yang dimulai sejak berdirinya Perhimpunan mengedepankan bahwa muslim InPeran Diplomasi Pelajar Indonesia di Indonesia (Indische Vereniging) donesia adalah pro perdamaian dan Belanda tahun 1908, yang menjadi cikal bakal anti kekerasan, tidak seperti yang Belanda memiliki arti yang penting Perhimpunan Pelajar Indonesia di digambarkan oleh Geert Wilders dalam hubungan diplomatik Indone- Belanda. lewat filmnya. No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


30 Ketiga, PPI Belanda turut menginisiasi terbentuknya Jaringan Kerja Diaspora Indonesia (JKI) sebagai rumah bersama dan ruang dialog antara pelajar Indonesia di Belanda, pemuda Indonesia yang lahir dan besar di Belanda, serta orang-orang Indonesia yang hidup dan menetap di Belanda. Salah satu kepedulian JKI adalah menjalin kontak, memberi bantuan hukum, dan melindungi para pekerja tak tercatat (undocumented workers) asal Indonesia yang tinggal di Belanda. Hal ini ditujukan agar mereka mendapatkan hak-haknya. Keempat, PPI Belanda mewakili para pelajar dan pemuda Indonesia untuk berhubungan dengan komunitas-komunitas di Belanda dan juga komunitas Internasional di Belanda. Posisi PPI Belanda sangat strategis dalam proses diplomasi ini, mengingat komposisi masyarakat di Belanda yang sangat beragam (multinasional dan multikultural). Didukung oleh hubungan sejarah yang panjang antara Indonesia dan Belanda, PPI bisa belajar dari para pendahulu yang mengawali pergerakan pemuda Indonesia di Belanda, sebagai cikal bakal pergerakan pemuda Indonesia melalui PPI di seluruh dunia. Proses pembelajaran tersebut akan sangat bermanfaat bagi kemajuan PPI dan peranan pemuda Indonesia di luar negeri untuk masa yang akan datang. Tantangan ke Depan Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Deplu Andri Hadi menjelaskan, kebijakan diplomasi publik luar negeri Indonesia memiliki dua sasaran. Pertama, menampilkan wajah Indonesia baru yang moderat, demokratis dan progresif. Kedua, membangun konstituen diplomasi dengan bekerjasama dan merangkul semua kalangan seperti ulama, cendekiawan dan masyarakat umum (Antaranews, 6 September 2008). Dua sasaran ini sekaligus menjadi tantangan bagi peran diplomasi publik PPI di luar negeri sebagai upaya konkret peran diplomasi PPI ke depan. Pertama, penerapan teknologi komunikasi modern untuk diplomasi publik. Penyebaran informasi di era digital ini begitu cepat, demikian pula dengan proses terbangunnya opini publik bisa tercipta dalam hitungan detik.

Diplomasi lewat Internet merupakan alternatif mudah dan murah. PPI bisa memainkan peran penting dalam revolusi informasi ini. Melalui internet, para pelajar bisa membangun jaringan dan menampilkan substansi yang kreatif dan inovatif sehingga bisa menjadi sumber informasi bagi publik di luar negeri serta melakukan kampanye diplomasi publik secara efektif. Kedua, aktif mempromosikan karya-karya dan prestasi anak negeri. Kemajuan yang diraih Indonsia dan keberhasilan putera-puteri Indonesia dalam berbagai ajang lomba internasional perlu diapresiasi dan dipublikasikan, misalnya lewat situs Internet tersebut. Karya-karya musik sejumlah grup musik Indonesia ternyata mempunyai penggemar di banyak negara. Ketiga, kontribusi positif bagi upaya pemulihan citra Indonesia. Misalnya, lewat diskusi atau dialog tentang kehidupan demokrasi dan kehidupan beragama di Indonesia. Sebagai negara demokrasi yang sebagian besar penduduknya beragama Muslim kehidupan beragama di Indonesia penuh dengan toleransi dan kebersamaan perlu disosialisasikan kepada masyarakat Internasional. Keempat, kerjasama aktif dengan pemerintah. Mengingat begitu luas jangkauan jenis budaya yang ingin kita ‘jual’, kita harus mempunyai strategi yang menjangkau jauh ke depan. Pemerintah harus menjaga kerjasama dan hubungan baik dengan para pelajar Indonesia dan harus lebih aktif mempromosikan dan memerkenalkan Indonesia kepada masyarakat dan komunitas di luar negeri. Diplomasi publik dan diplomasi praktis diperlukan untuk menjaga hubungan antara Indonesia dan luar negeri ke arah yang semakin positif. Jika diplomasi praktis dilaksanakan secara menyeluruh oleh setiap elemen masyarakat Indonesia di luar ngeri, ini akan membantu meringankan dan mendukung tugas para diplomat berkerah putih. Pemikiran seperti ini perlu disadari dan ditekankan kepada pelajar Indonesia yang ada di luar negeri. *** Yohanes Widodo, Widodo Sekjen PPI rimananda Belanda; Rahmadi T Trimananda rimananda, Wakil Sekjen PPI Belanda

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Yuk, Nulis! Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda pernah menorehkan sejarahnya lewat perjuangan media. Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang berdiri tahun 1908 pernah menerbitkan buletin Hindia Poetera. Pada September 1922, organisasi ini berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Mereka kembali menerbitkan majalah Hindia Poetra dengan Hatta sebagai pengasuhnya. Hindia Poetra ini menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Pada dua edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktek sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani. Tahun 1924, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 nama organisasi Indionesische Vereeniging resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan lewat media ini, PPI Belanda bermaksud menerbitkan majalah online sebagai jembatan informasi dan aktualisasi idealisme pelajar Indonesia dengan nama JONG INDONESIA . “Jong” (Bahasa Belanda) artinya PEMUDA. Menjelang Sumpah Pemuda 1928, banyak muncul perkumpulan seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, majalah JONG INDONESIA ingin mengajak para pelajar di negeri untuk menyumbangkan pemikirannya untuk Indonesia yang lebih baik. JONG INDONESIA diharapkan menjadi media pembelajaran, transfer informasi-pengetahuan; mempererat dan memperluas persaudaran serta memberikan masukan menuju Indonesia yang lebih baik. Kami mengundang Anda, untuk mengirimkan tulisan berupa artikel, opini, dan lain-lain untuk mengisi rubrik-rubrik: SURAT PEMBACA; SAINS dan TEKNOLOGI; LINGKUNGAN; SOSIAL POLITIK; BUDAYA; JALANJALAN; RESENSI BUKU; dan lain-lain. Kirimkan tulisan Anda melalui email: majalahjong@yahoo.com Redaksi JONG INDONESIA


31

Kincir Angin, Riwayatmu Dulu Oleh Dian Kusumawati dan Meditya Wasesa Di balik keindahannya, kincir angin memiliki peran dalam era kolonialisasi. Pernah ke Kinderdijk atau Zaansche Schans? Dua tempat tersebut sangat populer untuk melihat kincir angin yang masih tersisa di Belanda. Jika dulu setiap dua ribu orang terdapat satu kincir angin, sekarang di Belanda hanya tersisa sekitar 100 kincir angin yang sengaja dilestarikan. Mari kita melihat sejarah kincir angin ini dan hubungannya dengan penjajahan di negara kita. Kincir angin secara umum bisa dikategorikan berdasarkan tampilan dan fungsinya. Berdasarkan fungsinya, kincir angin dibagi tiga kategori: kincir angin penggiling jagung, kincir angin pengeringan air/ lahan, dan kincir angin industri. Kincir angin yang terdapat di Kinderdijk adalah untuk pengeringan air/lahan, sedangkan yang di Zaanse Schans untuk keperluan industri. Berdasarkan tampilan luarnya, kincir angin dibagi menjadi lima.

Pertama, Kincir Angin Standar (Standaardmolen/ Post Mill). Kincir angin jenis ini adalah jenis kincir angin tertua dan merupakan cikal bakal dari pengembangan kincir angin jenis lainnya. Kincir angin standar digunakan untuk pengeringan air/lahan. Saat ini terdapat tidak lebih dari 40 buah kincir angin standar di seluruh Belanda.

Ketiga, Kincir Angin Pengeringan Besar (Kloeke Poldermolen/Large Drainage or Polder Mill). Seiring dengan kebutuhan akan kincir angin berdaya besar, sekitar pertengahan abad ke-16, kincir angin pengeringan berdaya besar atau large polder mill dikembangkan di daerah perairan Belanda utara. Dibandingkan dengan wipmolen, bagian atas polder mill dibuat lebih kecil dan bagian badannya dibuat lebih besar sehingga dapat menghasilkan daya yang lebih besar. Sebagai konsekuensi dari modifikasi konstruksinya, ruangan yang tersedia untuk sarana tempat tinggal pun menjadi lebih besar.

Kedua, Hollow Post Mill (Wipmolen). Ditemukan terutama di Belanda selatan dan Friesland, wipmolen hampir selalu digunakan untuk pengeringan air/lahan. Wipmolen merupakan pengembangan dari kincir angin standar. Kincir angin jenis ini biasanya dicat dengan warna yang sangat cerah sehingga terlihat mencolok, mengingat lokasi dari wipmolen yang biasa terdapat di dataran rendah. Pada awal abad ke15, wipmolen berukuran kecil namun dalam perkembangannya wipmolen dibuat semakin besar. Pada umumnya, wipmolen ini juga dilengkapi dengan sarana tempat tinggal kecil di dalamnya.

Keempat, Kincir Angin Bertingkat (Stellingmolen/ Tower Mill with a Stage). Kincir angin jenis ini adalah yang paling mudah dikenali dari ukuran dan tingginya. Jenis ini dikembangkan sekitar awal abad ke17 dan digunakan untuk industri penggilingan jagung. Stellingmolen biasanya terdiri dari 6 atau 7 tingkat dan setiap tingkat digunakan untuk proses penggilingan jagung yang berbeda. Lantai pertama dan kedua biasanya digunakan untuk tempat tinggal. No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


32

Kelima, Paltrok Molen. Paltrokmolen dikembangkan di daerah Zaan yang dikenal sebagai tempat pembuatan rumah kayu dan kapal. Oleh karena itu, kincir angin ini umumnya digunakan untuk industri penggergajian kayu. Kincir angin serupa juga biasa digunakan untuk jenis industri lain, misalnya untuk industri kertas atau minyak. Biasanya perbedaan terletak pada konstruksi interiornya.

Matinya Kincir Angin di Belanda Kincir angin pertama mulai dikembangkan sekitar tahun 1200– khusus kincir angin untuk pengeringan air dikembangkan pertama kali tahun 1414. Tahun 1850, penggunaan kincir angin berada di puncak kejayaannya, jumlahnya mencapai 9000 buah saat itu. Setelah 1850, jumlah kincir angin semakin berkurang seiring dengan berkembangnya teknologi. Penemuan mesin uap oleh James Watt memicu punahnya kincir angin di Belanda. Stasiun pompa (pumping station) bertenaga mesin uap pertama di Belanda terdapat di tahun 1825, yang digunakan untuk pengeringan Zuidplaspolder. Meski masyarakat Belanda awalnya ragu akan keamanan penggunaan stasiun

pemompa air bermesin uap sebagai pengganti kincir angin pengeringan (poldermolen), kebutuhan untuk mengeringkan dan mereklamasi danau besar Harleem tidak memberikan pilihan lain. Menggunakan tiga buah mesin uap, Danau Harleem berhasil dikeringkan dalam jangka waktu empat tahun (1848-1852). Seiring berjalannya waktu, popularitas mesin uap meningkat. Lambat laun masyarakat mulai merasa ketinggalan zaman jika tidak menggunakan mesin uap. Akhirnya penggunaan stasiun pemompa air bertenaga mesin uap berhasil menggantikan penggunaan kincir angin tradisional. Hal serupa terjadi juga pada kincir angin industri. Banyak pabrik bertenaga mesin uap didirikan sehingga penggunaan kincir angin semakin ditinggalkan, bahkan beberapa kincir angin industri juga dialih fungsikan menjadi pabrik bermesin uap. Akibat dari kondisi ini, pada akhir abad ke-19 hanya tersisa tidak lebih dari 2500 kincir angin di Belanda.

Schelmerpolder dihancurkan dan diganti dengan metode pengeringan mekanis. Semakin lama semakin banyak kincir angin yang tidak lagi berfungsi, bahkan dihancurkan. Hal ini menginisiasi berdirinya asosiasi preservasi kincir angin, pergerakan Dutch Windmill Society atau De Hollandsche molen, Vereeniging tot Behoud van Molens in Nederland, di tahun 1923 oleh warga Belanda yang peduli akan kelestarian kincir angina. Asosiasi inilah yang memperjuangkan kelestarian kincir angin sehingga saat ini kita masih bisa menyaksikan beberapa kincir angin sebagai peninggalan sejarah. Kincir angin bisa dianggap sebagai monumen simbol peperangan Belanda terhadap musuh utamanya, yaitu air. Jika 1000 tahun sebelum Masehi Belanda tidak bisa ditinggali karena terbatasnya daratan kering, maka atas perkembangan kincir angin pada tahun 1400, Belanda mulai berhasil dalam usahanya mereklamasi lahan.

D.F Wouda Pumping Station di Lemmer, provinsi Friesland, dengan cerobong uapnya, yang didirikan tahun 1920 dan merupakan pumping station bermesin uap terbesar dan masih beroperasi hingga sekarang. Penemuan motor listrik pada awal abad ke-20 semakin mematikan keberadaan kincir angin, baik kincir angin pengeringan maupun industri. Dataran rendah yang belum menggunakan mesin uap (pumping station) menggantikan fungsi kincir angin pengeringan dengan stasiun pemompa bertenaga listrik. Misalnya, proyek pengeringan Hazerswoude (1913) menggunakan tiga stasiun pemompa bertenaga listrik dan mematikan 15 kincir angin di kompleks tersebut. Tahun 1927, sebanyak 50 kincir angin pengeringan yang digunakan di

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Seiring dengan waktu, kincir angin pun ikut berevolusi meyesuaikan diri dengan tuntutan zamannya. Hingga puncak kejayaannya sekitar pertengahan abad ke-19, kincir angin memiliki peran sangat penting dalam perkembangan industri, termasuk industri-industri pengolah bahan bahan mentah hasil pendudukan negara-negara jajahan Belanda. Dengan berkembangnya waktu dan teknologi, penggunaan kincir angin pun menyurut karena tidak lagi mampu memenuhi tuntutan kebutuhan warga Belanda.***


33

Islamisasi Sains Oleh: M. Ihsan Dacholfany Sains merupakan tubuh pengetahuan (body of knowledge). Dari penger tian ini muncul penemuan ilmiah yang dikelompokkan secara sistematis. Sains juga dapat berupa produk. Produk yang dimaksud adalah faktafakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dll. Sains juga dapat berarti suatu metoda khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Sains sebagai proses dapat berupa metoda ilmiah yang merupakan hal yang sangat menentukan pembuktian suatu kebenaran yang objektif. Sains sebagai proses yang dilakukan melalu metoda ilmiah ini, terbukti ampuh memecahkan masalah ilmiah sehingga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada. Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat menghasilkan suatu produk. Produk tersebut biasa disebut dengan teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Contohcontoh sumbangan konsep dan ide sains diantaranya: 1.. “Teori Relativitas Einstein”, yang telah mengubah pandangan orang secara drastis akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang dianggap tetap; 2. “Pengamatan bintangbintang oleh Edwin Hubble melalui teleskop di gunung Wilson” pada tahun 1920-an misalnya,, yang telah membawa beberapa implikasi seperti adanya galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah dengan makin populernya teori ledakan besar (Big Bang); 3. “Teori Grafitasi Newton”, yang dapat membuktikan bahwa planet berputar pada porosnya dan bergerak mengelilingi matahari pada lintasan tertentu..

http://www.gregladen.com Dari ketiga contoh di atas kadang manusia lupa, siapa yang menciptakan ruang, masa dan waktu yang disampaikan Einstein tersebut? Siapa yang menciptakan bintang dan benda-benda langit lainnya yang diamati Hubble? Dan siapakan yang menciptakan grafitasi dengan bumi planet lainnya yang diamati Newton? Melupakan yang causal itulah yang membuat orang sekuler! Jadi untuk menghindari sekulerisme tersebut dalam sains diperlukan suatu bimbingan, yang berupa agama diantaranya Islam. Islamisasi Sains “ Islamisasi sains”” tidak hanya berarti menyisipkan ayat-ayat suci AlQuran yang sesuai dengan konsep tertentu dalam sains tetapi terfokus pada bagaimana Islam sebagai pondamen nilai yang mengikat sains (value bound ). Bisa juga diartikan bagaimana pemahaman sains dapat meningkatkan kadar iman dan takwa terhadap Sang Khâliq. Jadi penulis membuat istilah Islamisasi Sains ke dalam dua katagori: “Islam to Sains” dan “Sains to Islam”. Dasar pemikiran tersebut berangkat dari lima ayat dalam Surat Al-Alaq: “bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah! dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena; mengajar manusia

hal-hal yang belum diketahuinya,” (Q. S. Al-‘Alaq:1-5) . Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah (firmanfirman Tuhan). Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya. Mari kita kaji kedua katagori tersebut ke dalam contoh berikut: teori klasik menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air. Mari kita analisa, disadari atau tidak oleh kita, isyarat itu mewarnai apa yang kita pelajari tetang alam ini; mengapa daratan dibuat dengan ketinggian yang berbeda, tentunya agar air dapat mengalir melewati sungai, sehingga memberi kehidupan pada makhluk yang dilewatinya. Demikian juga dengan tekanan dan suhu udara. Tekanan dan suhu udara dibuat berbeda-beda di setiap lapisan (atmosfer) dan di setiap tempat. Hal itu menyebabkan timbulnya angin. Dan angin dapat menimbulkan perubahan cuaca, salah satunya dapat menimbulkan hujan. Hujan dapat menyuplai air ke permukaan bumi, dimana air merupakan sumber kebutuhan utama bagi kehidupan manusia. Marilah kita renungkan, baik fenomena alam yang terjadi disekitar kita, maupun aktivitas yang kita lakukan sehari-hari. Berapakah ketinggian gunung, kedalaman laut, tekanan udara, kelajuan angin dan banyak lagi penomena alam lainya. Demikian juga keadaan fisik dan aktivitas yang kita lakukan. Berapakah berat badan kita, tinggi badan kita, suhu badan kita, lama hidup kita di dunia, dan banyak hal lain lagi yang dapat dianalisa

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


34 sebagai bahan renungan kita terhadap kebesaran yang maha kuasa. Oleh karena itu, kita “wajib” meyakini bahwa bukan manusia, hewan atau tumbuhan yang telah menciptakan benda dengan berbagai ukuran, tetapi “Allahlah” yang telah menciptakannya seperti apa yang diisyaratkan oleh Allah dalam Quran Surat Al-Qomar ayat 49, yang artinya: “Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. Besaran-besaran yang dapat diukur itu merupakan besaran fisika atau biasa disebut dengan besaran fisis. Allah telah menciptakan ketinggian, suhu, tekanan, kelajuan, berat, waktu dan banyak lagi besaran fisika lainnya. Semuanya diciptakan Allah memiliki ukuran tertentu yang dinyatakan dalam satuan ukur. Dari salah satu contoh sains di atas, maka dari esensinya, sains sudah Islami. Hukum hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teoriteori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana. Contoh lain adalah kekeliruan analisis terhadap hukum kekekalan massa dan energi. Massa tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat berubah ke dalam bentuk lain. Hukum konservasi massa dan energi ini dinilai menentang “tauhid”. Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami? Jadi,, “Islamisasi Sains” bukan menempatkan Ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. Tidak ada “sains Islam” dan “sains non-Islam”, yang ada “saintis Muslim” dan “saintis nonMuslim”. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang

dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Maka, riset saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karenaNya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga diri, melainkan dengan ungkapan: “Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini siasia,”(Q. S. 3:191). Uraian di atas

http://www.dunyabulteni.net menunjukan Islam to sains, yaitu riset saintis muslim yang berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam semesta, dan keyakinan itu bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sekarang bagaimana memahami “Sains to Islam”?. Marilah kita mulai dengan sebuah contoh. Apa yang ada dalam benak pikiran kita tentang api? Api adalah panas; api adalah terang atau berwarna. Api adalah panas dan panas adalah kalor serta kalor berhubungan dengan suhu/ temperature (T). Warna apa sajakah yang kita lihat dari api ? merah, kuning, hijau, biru, dll. Warna adalah gelombang dan gelombang berhubungan dengan panjang gelombang/lamda (ë). Mana yang lebih panas api merah atau api biru? Besar manakah panjang gelombang merah atau panjang gelombang biru? Hubungan antara panjang gelombang dengan suhu merupakan sebuah teori dan fakta yang biasa disebut dengan konsep. Dan konsep merupakan sains. Lalu apa yang merupakan sumber dari api ?

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Mengapa api panas ? Dan siapa yang menciptakan warna? Dari pemahaman konsep sains tersebut dapat menggiring manusia kepada keyakinan bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan yaitu Allah SWT. Jadi “Sains to Islam” adalah suatu keyakinan terhadap Tuhan berdasarkan analisis terhadap bukti yang diciptakan-Nya. Dan analisis terhadap bukti yang diciptakaNya dapat dilakukan dengan suatu metode, yaitu metode ilmiah. Dalam tulisan ini diajukan sebuah paradigma sains alternatif. Untuk tujuan ini harus dikatakan, bahwa kata “iman” dan ragam bentuk turunannya amat banyak dibicarakan dalam al Qur’an, sehingga sesungguhnya lebih layak dipakai sebagai basis sains daripada kata “tauhid” yang sama sekali tidak dipakai dalam Al Qur’an. Bahkan jibril seolah membagi Al Qur’an ke dalam sebuah sistematika tertentu, yaitu iman, islam, ihsan, dan sâ‘ah. Al Qur’an harus dipandang sebagai kerangka sistem aksiomatika ilmu -terutama ilmu sosial- karena tidak ada keraguan di dalamnya ( la rayba f î hi ), bahkan memberi penjelasan atas segala sesuatu (tibyânan li kulli shay’in). Al Quran tersusun oleh kerangka teoretik ilmu-ilmu sosial (ayat-ayat muhkamat ) sedangkan lainnya merupakan penjelasan kerangka teori ilmu-ilmu sosial tersebut yang disajikan melalui perumpamaanperumpamaan astronomi, biologi, fisika, dsb. (ayat-ayat mutahyabbihat ). Jadi, perbedaan antara muhkamat dan mutashabbihat adalah perbedaan antara isi/kandungan dengan bungkus/kandang, bukan anatara ayat yang jelas dan yang tidak jelas. Sebab jika hal ini menyangkut ayatayat yang jelas dan tidak jelas, kedudukan Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup tidak bisa lagi dipertahankan. Al Qur’an sendiri mengajukan definisi sains, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Rahmân. Lima ayat pertama surat Al-Rahmân memberi definisi sains alternatif, yaitu saat mendefinisikan al-bayy â n sebagai rangkaian informasi dari Allah SWT. tentang astronomi, biologi, dan kehidupan sosial. Model kognitif atau metodologi sains alternatif bisa dirumuskan dengan


35 memperhatikan surat Yunus: 5 yang menggambarkan metodologi sains ini melalui perumpaman astronomi. Jika realisme dan naturalisme dapat diibaratkan sebagai sebuah metode gerhana bulan (moon eclipse), dan idealisme sebagai gerhana matahari (sun eclipse ), maka metodologi alternatif ini adalah metode nongerhana. Jika bulan melambangkan manusia, bumi melambangkan alam, dan matahari melambangkan Sang Pencipta, maka gerhana bulan menggambarkan penyembahan manusia atas alam semesta, sedangkan gerhana matahari menggambarkan penuhanan manusia atas dirinya sendiri. Penuhanan diri sendiri yang sering dilakukan oleh para pemimpin agama gadungan digambarkan Qur’an melalui upaya-upaya kadzdzaba , yaitu “ yaktub û na alkitâba bi aydîhim, thumma yaqûlûna hâdzâ min ‘indillâh, liyashtaruu bihî thamanan qal î lan ”. Sementara penuhanan pada alam dilakukan oleh para saintis melalui prosesproses “pencurian” ilmu (tawallay), dengan mengatakan penemuanku daripada mengatakan “sunnatullah”. Perlukah Islamisasi Sains? Untuk menjawaban pertanyaan diatas, kita kaji lima ayat Al-Quran berikut: bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah, dan Tuhanmu yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena; Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-‘Alaq:1-5) . Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah . Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah . Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya. Maka dari esensinya, sains sudah Islami, hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teoriteori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran

nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana. Al Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja “Islamisasi Sains atau Ilmu”, yaitu: menguasai disiplindisiplin modern, menguasai khazanah Islam, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan Khazanah ilmu pengetahuan modern, dan mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah. Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhîd. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami? Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. “Teori evolusi” dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud. Ide Islamisasi Sains Mendesak ? Untuk menjawab pertanyaan di atas, ungkapan di bawah ini mungkin bias membantu menemukan jawabannya. Sebab ilmu yang rusak, adalah sumber dari kerusakan, dari ilmu yang rusak, lahir pula ilmuwan atau saintis yang rusak, bahkan ulama yang rusak, padahal tujuan ilmu mengantarkan manusia tidak syirik, melahirkan kebahagiaan dan peradaban yang maju. Coba renungkan juga ungkapan Imam AlGhazali dalam Ihy â ’ ‘Ul û mudd î n : “Rakyat yang rusak gara-gara penguasa/pemimpin yang rusak, dan penguasa rusak gara-gara

ulama yang rusak, dan ulama rusak terjangkit penyakit “hubbu al-dunyâ” ). (Cinta Dunia). Penutup Dalam rangka keluar dari krisis manusia modern sebagai krisis ilmu ini, ummat Islam perlu bekerja keras untuk membangun kerangka paradigmatik sains alternatif, dengan ciri pokok sebagai berikut: 1. Menjadikan Al Qur’an sebagai sebuah sistem aksiomatika sains sosial (sunnaturrasûl); 2. Sains alam (ayat-ayat mutashabbih â t ) menyediakan data-data penjelasan bagi sains sosial (ayat-ayat muhkam â t ) –sosiologi, ekonomi, politik, sejarah. Sains sosial berada dalam hirarki ilmu yang lebih tinggi daripada sains alam; 3. Ilmu dikembangkan dengan model kognitif atau metodologi nongerhana, sebut saja metode “ibda’ bismillah wa akhkhirha bil hamdulillah di mana Allah swt sebagai wakil, manusia sebagai mutawakkil, dan alam sebagai ladang pengabdian manusia pada Allah swt yang senantiasa dilakukan “dengan asma Allah, dan diakhiri dengan alhamdulillah. Terlepas dari perdebatan tentang perlu tidaknya Islamisasi Sains atau bagi yang mengganggap perlu kemudian juga berdebat tentang pengertian dan metode Islamisasi tersebut, adalah sungguh menarik kita melihat perkembangan pemikiran tersebut. Tradisi berfikir ilmiah, realistis sekaligus idealis, namun tidak ‘jauh’jauh’ dari wahyu ini tentu saja perlu untuk menjadi contoh bagi perkembangan intelektualitas ummat selanjutnya. Gambaran tokoh-tokoh di atas yang dalam kurun dua dasawarsa telah menyumbangkan sebuah ‘pentas’ perdebatan yang tak jarang meninggalkan dokumen otektik berupa buku, makalah atau dokumentasi lainnya kemudian mungkin meninggalkan sebuah pertanyaan. Mungkinkah upaya ini masih banyak dibaca oleh generasi selanjutnya? Apakah upaya yang menghabiskan waktu, tenaga dan fikiran itu bisa menjadi dasar untuk bangkitnya ilmuan Islam selanjutnya? M.Ihsan Dacholfany Dacholfany,, M.Ed., Sekretaris PPI UKM 2001-2002 dan Mahasiswa S3 UNINUS Bandung

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


36

Sam Ratulangi

Bapak Bangsa dari Timur Oleh Basri Amin

Si Tou Timou Tumou Tou. Prinsip hidup Minahasa ini artinya ‘manusia hidup untuk menghidupi manusia lainnya’. Ungkapan ini mendapatkan bukti hidupnya lewat Sam Ratulangi. Setelah hidup dengan prinsip ini Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie meninggalkan bangsa ini untuk selamanya pada usia 59 tahun (1890-1949). Sebelumnya, dari tempat pembuangannya di Serui, Papua Barat, Sam Ratulangi diterbangkan tentara Sekutu ke Yogyakarta pada tanggal 5 April 1948. Setahun kemudian pada tanggal 30 Juni 1949 ia wafat di Jakarta karena kesehatannya memburuk . Jenasah Sam Ratulangi dibawa ke Manado dengn kapal laut, kemudian di makamkan di Tondano, Minahasa (2 Agustus 1949). Sam Ratulangi adalah sosok pribadi yang kaya dengan karya kehidupan. Semangat sumekolah (baca: bersekolah) telah ia capai ‘puncak’ formalnya. Patriotisme dan nasionalismenya telah ia buktikan dalam kiprah perjuangannya sejak di Persatuan Minahasa, volksraad (Dewan Rakyat) dan Gubernur Sulawesi (1945-1949). Hidup Lewat T ulisan Tulisan Intelektualitasnya bagi pencerdasan bangsa yang lebih luas dipersembahkannya melalui majalah Nationale Commentaren dan Penindjauan. Ia juga rajin menulis di Mingguan Menara (1933), dan menulis buku Indonesia in den Pacific, kernproblemen van den Aziatischen Pacific (Batavia, 1937, 151 halaman). Mieke Schouten (1981) dalam Minahasa and Bolaang Mongondow, an Annotated Bibbliography 18001942 (KITLV, bibliographical series 10, editied by I. Farjon) telah mendaftarkan 17 tulisan Sam

Ratulangi yang dilengkapi ringkasan singkat pada masing-masing karangan tersebut. Dari daftar ini cukup jelas bahwa karya tulis Sam Ratulangi lebih banyak terdaftar antara tahun 1913-1938. Dalam periode inilah intensitas tulisan Bung Sam demikian mengagumkan. Dialah ”Doktor” pribumi pertama ilmu pasti alam (natuur philosophie) di negeri ini yang piawai menulis beragam topik dengan kredibilitas analisis. Ia membahas berbagai topik penting antara lain: stagnasi kependudukan di Minahasa, perkembangan asal-usul kata ‘Manado’, legenda-legenda bulan bintang di Minahasa, sebuah novel tentang kehidupan di Minahasa, karakter budaya Minahasa, tingginya status wanita di Minahasa dan kebiasaan-kebiasaan di Minahasa. Selain itu ia juga menulis tentang pendidikan perempuan di Minahasa, kondisi pamong praja, konflik antara kerja paksa dan nilai mapalus (kultur ‘gotong royong’ di Minahasa), reformasi administrasi desa (walak) di Minahasa, pengaruh Kristen dan peradaban Barat dalam identitas individual di Minahasa, asal usul dan metode-metode kerja asosiasi Kristen

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

di Minahasa dan dinamika perkembangan pendidikan, anti tesis antara pemerintahan Belanda dan Indonesia dan pengaruh Perserikatan Minahasa di Sulawesi, hukum agraria/adat, tanah Kalakeran Minahasa dan perkembangan wilayah urban di Manado (Schouten, 1981). Meskipun demikian sampai saat ini relatif terbatas studi-studi yang mendalam tentang Sam Ratulangi. Diantaranya: (1) Nationalism and Regionalism in a Colonial Indonesia: Minahasa in the Dutch East Indies karya David E.F. Hanley (Australia National University, 1996). (2) Migrant Moralities: Christians and Nationalist Politics in Emerging Indonesia, a biographical approach karya Gerry van Klinken, (University of Griffith, Brisbane-Australia, 1996). Karya Gerry van Klinken secara khusus mengulas pergumulan perjuangan dan gagasan Sam Ratulangi lewat tinjauan biografis. Selain itu sampai kini, kita bisa mengakses kurang lebih 13 tulisan– dalam Bahasa Indonesia–, berupa paper dan artikel yang meninjau tentang sosok Sam Ratulangi, tentang kiprah perjuangan dan gagasan-gagasannya, serta beberapa buku kecil dalam format biografis. Karena keluasan wawasan pengetahuan dan visi hidup yang dipatrikannya selama ini sebagian besar dalam bentuk tertulis, maka kita dapat ‘membacanya’ setiap saat, dan tak akan menemui kesulitan berarti dalam mengeksplorasinya lebih dalam. Tak pernah tampak ‘citra mitologis’ dalam sosok pribadi Sam Ratulangi. Semuanya ‘terbuka’ untuk dipelajari dari generasi ke generasi, lembar demi lembar dari seluruh tulisan dan pidato-pidatonya. Nasionalisme futuristik Sam Ratulangi adalah sosok yang berhasil mensintesa dan mentransformasi aspek lokalitas (primordial) dalam bangunan


37 nasionalisme Indonesia moderen. Membaca semangat ini, Dr. Th. Sumartana (1997) menulis: “…visi nasional harus benar-benar berakar dari kepentingan dan visi daerah. Berawal dari daerah, maka visi nasional dibangun.” Visi nasionalisme futuristik yang dikembangkan Sam Ratulangi disebut George Aditjondro (1985) sebagai ‘Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik’. Atau dalam bahasa Dr. Daniel Dhakidae dalam 1000 Tahun Nusantara (2000, hal. 631), ia menyebut Sam Ratulangi sebagai ‘Pijar-Pijar Bintang Kejora dari Timur”. Ditinjau dari aspek praktisnya, gagasan-gagasan Sam Ratulangi dalam Nationale Urgentie Program hingga kini masih relevan. Menurutnya, Indonesia memiliki keharusan dan kemampuan untuk membangun kesejahteraan ekonominya melalui: konsolidasi demokrasi daerah otonom, perimbangan anggaran belanja dan pendapatan negara, nasionalisasi pengembangan dan konsolidasi sistem pendidikan, pengembangan pertanian rakyat, perikanan dan modernisasi industri rakyat dengan dasar koperasi. Semua ini bisa dicapai karena adanya keunggulan khas ekonomi Indonesia dalam percaturan ekonomi dunia. Menurutnya posisi geografis Indonesia yang terletak ‘di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi bagi dunia’, kaya sumberdaya alam, luasnya tenaga kerja, iklim yang mendukung dan adanya modal keuangan yang cukup (Adwin Ratulangi, 1999). Salah satu idealisme politiknya yang mendasar tentang orientasi politik bernegara di Indonesia tercatat dalam Risalah sidang BPUPKI (terbitan Mensetneg R.I, 1992) mengenai konstitusi, dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu hal eksplisit tentang posisi daerah dalam sistem pemerintahan diungkapkannya sebagai berikut: “…Supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurusi keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerahdaerah itu adalah daerah daripada Indonesia, dari satu negara…”

Pandangan ini, lebih lanjut sering dikutip oleh tokoh LSM Bert Andrian Supit (2001) berdasarkan dokumen Nini Sugandi-Ratulangi bahwa dalam suatu wawancara di tahun 1949 Sam Ratulangi berkata: ”…bahwa dalam Kongres Pasoendan yang diselenggarakan di Buitenzorg (Bogor), di tahun 1930 saya diundang untuk memberikan suatu pandangan pemikiran saya tentang bentuk ketatanegaraan Indonesia atas dasar prinsip federalistik. Saya ini adalah seorang penganut bentuk struktur federalistik bagi Indonesia merdeka yang mengusung satuan-satuan territorial federasi, agar satuan-satuan ini secara politis-psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh…”

Substansi kutipan di atas akan lebih dimengerti kalau merujuk pada tulisan-tulisan Sam Ratulangi sejak tahun 1929 yang secara luas dapat dibaca dalam studi David Hanley (1996: 117-140). Ia telah menggunakan kata “desentralisasi” (decentralisatie dalam Staatblad 64 tahun 1919) dan “wilayah otonom” yang diinginkannya untuk wilayah Minahasa. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan historis, etnik dan demarkasi sosial budaya, serta dengan memperhitungkan kapasitas partisipasi penduduk Minahasa dalam pemilihan pimpinan pada setiap perkumpulan yang ada. Federasi politik berdasarkan unit-unit teritorial sebagai kerangka awal yang penting dirumuskan karena adanya bangsa-bangsa yang beragam (pidato Sam Ratulangi 1928). Jadi, argumentasi tentang

“federalisme” tidaklah pantas dilihat sebelah mata, sebagai sebuah ekspresi minor dalam sejarah pertumbuhan gagasan politikkenegaraan di Indonesia. Meskipun tidak pernah sepenuhnya menjadi mainstream politik Indonesia, tetapi perspektif federalistik perlu dipahami konteks historisnya, dan mempertimbangkan dimensi-dimensi masa depannya, setidak-tidaknya kalau kita menggali kembali pemikiran Sam Ratulangi dan Bung Hatta. Kedua tokoh ini dalam narasi utama (grand narration) Indonesia cenderung dikesankan sebagai tokoh ‘luar’ tanah Jawa yang menggunakan argumen ‘kedaerahan’ secara ilmiah dalam perdebatan politik. ‘Wawasan kedaerahan’ yang cerdas dijelaskan Sam Ratulangi dalam dinamika gerakan nasionalisme Indonesia sebelum kemerdekaan. David Hanley (1996) menyebut kondisi ini sebagai ‘regional nationalism’. Sebuah nasionalisme ideal yang dibangun di atas keteguhan sikap ‘nasionalisme bangsa Minahasa’ (demikian tulisan Sam Ratulangi dan F. Laoh tahun 1917). Seluruh gagasan Sam Ratulangi bila dimengerti secara mendalam sesungguhnya bukanlah ekspresi radikal bagi bangsa Indonesia, sebab keaslian ide-idenya didasarkan pada kenyataan objektif yang ada dan kondisi-kondisi masa depan yang dibutuhkan. Atas pijakan itulah maka gagasan dan praktik nasionalisme yang dikembangkan Sam Ratulangi tidak pernah dilakukan dalam sebuah bentuk kekerasan dan militansi sebagaimana ditampilkan oleh Perserikatan Minahasa. Adalah menarik pula untuk mempelajari lebih lanjut wawasan-wawasan Sam Ratulangi yang lain, misalnya tentang posisi dan kontribusi agama-agama dalam pergumulan kebangsaan, tentang gerakan komunitas Islam misalnya (baca: Titik Balik Sejarah, Th. Sumartana, 1997). Sam Ratulangi benar-benar menjadi personifikasi bangsa Minahasa sejak 1924 sebagai sosok manusia ultra modern yang sangat sukses sebagai intelektual dan pemimpin. Singkat kata, dialah yang dikenal sebagai ‘Bapak Minahasa’. Dialah simbol kunci dari sebuah ‘moral komunitas’ dari sebuah

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


38 bangsa yang hendak mengukuhkan harga diri dan jati dirinya. Peran keaktoran Sam Ratulangi dan ekspresi gagasan-gagasan dia tentang ke-Minahasa-an dalam konstruksi kebangsaan Indonesia amat mendasar untuk dipelajari dan dipahami. Dalam hemat saya, hanya dengan membaca naskah-naskah tulisan Sam Ratulangi sendiri secara langsung (antara lain: Ratulangie, 1920-1924, Tjahaja Sijang, 1923, Fikiran, 1930 dan Nationale Commentaren 1937-1942), barulah kita benar-benar bisa merasakan dan memahami maksud-maksud substantifnya, karena aspek-aspek tekstual ini bukanlah sekedar retorika tulisan, atau sekedar rangkaian pidato yang ditranskripsi. Peran penting tokoh-tokoh Minahasa dan kekuatan diaspora sosial-politiknya sejak 1920-an dalam wacana dan pergerakan kebangsaan Indonesia hanya mungkin muncul karena adanya prasyarat intelektualitas, organisasi, publikasi, idealisme komunitas, kosmopolitanisme dan kepemimpinan yang mumpuni. Pr ediksi Perang Pasifik Prediksi Di tahun 1937 Sam Ratulangi hidup di penjara selama empat bulan, dan setelah itu di-skors tiga tahun dari Volksraad. Dalam suasana inilah, Sam Ratulagi menulis buku Indonesia in den Pacific dan terbit selepas dari penjara. Penting dicatat bahwa walaupun tradisi menulis memang intensif dilakukan banyak tokoh Indonesia, apalagi seorang Sam Ratulangi yang memang adalah penulis (jurnalis), tetapi Indonesia in den Pacific itu agak beda dengan yang lainnya, yakni pada pendekatan akademiknya. Ini terasa pada fokus masalah yang ditulis, sistematika penulisan, penggunaan data dan referensi, analisis dan kesimpulankesimpulan akhir yang dicapainya. Sam Ratulangi menggunakan sebanyak 26 pustaka dengan kutipan yang sangat ketat. Sam Ratulangi telah dengan konsisten sedemikian rupa menggunakan data yang memadai dalam membangun argumentasinya tentang kondisi dunia pada saat itu, khususnya posisi Asia Pasifik dan peranan Jepang yang signifikan secara politik dan ekonomi. Pandangan-pandangan politik

Secara teknis maupun substansinya, sangat jelas bahwa majalah ini mengukuhkan integritas keintelektualan, komitmen kebangsaan dan visi perjuangan Sam Ratulangi mempersiapkan Indonesia merdeka. internasional Sam Ratulangi tergolong visioner dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya saat itu. Ia dengan mengagumkan menjadikan tema-tema internasional, tentang kemungkinan Perang Pasifik dan pergeseran gerakan ekonomi dunia terutama, dalam berbagai tulisan dan pidatonya sejak 1928. Karya ini mengabsahkan wawasan Pasifik dalam pendekatan ilmiah di Indonesia. Kita nyaris melupakan bahwa kajian ekonomi dan politik internasional juga dimulai dari seorang Sam Ratulangi. Artefak intelektual Sam Ratulangi lainnya yang tak bisa dilupakan adalah bahasan-bahasan dia pada majalah mingguan yang didirikan di Bandung, Nationale Commentaren, 8 Desember 1937. Secara teknis maupun substansinya, sangat jelas bahwa majalah ini mengukuhkan integritas keintelektualan, komitmen kebangsaan dan visi perjuangan Sam Ratulangi mempersiapkan Indonesia merdeka; sekaligus

JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

menjelaskan arah dan gagasangagasan yang kokoh tentang bagaimana seharusnya sebuah bangsa merdeka membangun martabat diri dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sejak 1937 sampai 1942 Nationale Commentaren menjadi ‘corong suara’ yang penting bagi gerakan kalangan nasionalis Indonesia (Hanley, 1996:123). Ini sangat terlihat bagaimana peran Nationale dalam mempublikasi kritikan dan perdebatan antara Volksraad dengan pihak Kolonial (Mrazek, 2002: 183184). Gerakan ‘pencerdasan’ yang dilakukan Sam Ratulangi patut diulas ulang. Betapa tidak, Nationale Commentaren sangat sarat dengan analisa politik, ekonomi dan kebudayaan dengan sengaja ia peruntukkan sebagai sarana pertukaran gagasan para pemikir dan pejuang ketika itu. Hampir tak bisa diragukan bahwa majalah ini telah sukses menjembatani peran seluruh cendekiawan Indonesia dari berbagai kalangan dengan mutu bahasa yang tinggi dan ulasanulasan yang cerdas. Nationale Commentaren dapat terbit sebanyak 215 edisi selama 5 tahun dengan total seluruh halaman sampai akhir terbitan tahun ke-5 nomor 7 sebanyak 4.185, dan dicetak 1500 eksemplar setiap terbitannya. Setelah itu, majalah ini tidak terbit lagi karena dibubarkan penguasa Jepang (Sigarlaki & Manus, 1981; Dhakidae, 2000). Lewat tulisan dan hidupnya Sam Ratulangi menulis ulang Si Tou Timou Tumou Tou . Dalam hidup tak ada yang begitu ia khawatirkan, termasuk hidupnya sendiri, tetapi ada satu yang ia jelas khawatirkan sebagai bangsa. ‘Sebuah bangsa jangan sampai kehilangan cita-cita’. Antara hidup dan cita-cita seorang manusia tergambar jelas cita-cita bersama. Ketika sebuah bangsa kehilangan cita-cita, maka manusia atau individu di dalamnya menjadi individu yang tercerai berai. Atau dalam bahasa yang lain, Si Tou Timou Tumou Tou kehilangan konteks atau kerangka bergerak. Basri Amin, alumnus Universitas Sam Ratulangi, Manado; Mahasiswa Antropologi Sosial di Universitas Leiden


Malaikat maut sibuk hari ini. Mbah Surip meninggal dunia dan harus digendong ke surga. Tak hanya Mbah Surip, masih ada sekian korban yang harus digendong akibat tabrakan kereta Ekspres Pakuan di Bogor tadi pagi (4/8), sebelumnya Merpati jatuh di Papua. Malaikat maut pasti tak akan mengeluh, ia tahu Mbah Surip pernah menggendong jutaan rakyat Indonesia saat mereka sepi dan sendiri dalam Pemilu 2009. Jauh sebelum dia ngetop, ’Bob Marley Indonesia’ ini berseliweran di berbagai acara. Saya paling sering melihatnya di Kenduri Cinta Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mbah Surip bobok di mana? Sekalinya manggung untuk acara Kenduri Cinta, gitar bolongnya putus senar. Ia hanya tertawa. Tawanya menguat ketika anak band lain meminjaminya gitar listrik. ”Ha..ha…ha…Cakep tho gitarnya, kayak saya…ha…ha…ha…..” Kami pun hanya tersenyum simpul. Cukup jauh jarak antara gitar listrik dan Mbah Surip. Tetapi ’entah bagaimana genjrengannya masuk. Bukan Tak Gendong yang dinyanyikannya. Tapi, Balonku. Karya lagu Mbah Surip jumlahnya 200-an. Ijo Royo-royo, Siti Maelan, Indonesia Satu, Bonek, Barang Baru dan Bangun Tidur, merupakan karyakarya ciptaannya. Dibuat ketika ia menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya. Kawasan Bulungan di Jakarta Selatan, Taman Ismail Marzuki (TIM) hingga Pasar Seni Ancol pernah jadi bagian dari daerah jelajahnya. Kubilang pernah, karena Mbah Surip sudah tidak terlihat lagi. Dulu sekali, hidupnya tergantung dengan hasil ngamen dan siapa saja yang ada di dekatnya. Tapi sejak Tak Gendong yang jadi Ring Back Tone (RBT) membuatnya tak lagi perlu menggelandang. Mbah Surip jadi pengamen elit. Siang di TV anu, sore di Bali, malam pulang ke Jakarta lagi. Bhumy, anakku, ketawa ngakak ketika presenter TV menayangkan Mbah Surip yang dibonceng motor kemana-mana oleh asistennya. Jutawan baru ini memang ’boncengers sejati’. Mbonceng motor kemana-mana. Rambut gimbalnya pun hanya ditutup dengan helem ala kadarnya. ”Tidak ada helm yang muat,” ujar Mbah Surip. ”Mosok disebut boncengers, Bunda?” tanya

http://riskan.deviantart.com

39

Mbah Surip

Marhaen 2009 Oleh Emmy Kuswandari Bhumy. Ia heran dengan istilah presenter TV itu. Anakku baru lima tahun, masih banyak kata yang baginya asing. Terbukti Mbah Surip tak hanya disenangi orang dewasa, anak kecil yang belum mengerti kata ’sedih’ pun juga merasa kawan Mbah Surip. Simak dialog kami, ketika tahu Mbah Surip pergi. ”Bhumy sedih?” tanyaku. ”Kalau Bunda?” ”Sedih karena Mbah Surip ndak bisa bisa menyanyi lagi.” ”Kenapa kalo meninggal harus sedih?” ”Kenapa kalau meninggal tidak bisa menyanyi lagi?” ”Kalo meninggal Mbah Surip bobok di mana?” Pertanyaan-pertanyaan Bhumy membuatku belajar menjadi manusia. Tak hanya itu, butuh beberapa tahun lagi bagi Bhumy untuk mengerti meskipun Mbah Surip ’masih ada’ di TV, tetapi di saat yang sama Mbah Surip juga sudah tiada. Marhaen 2009 Urip Ariyanto, ini nama asli Mbah Surip. Ia mendadak ngetop di Bulan Mei lalu. Ketika lagu Tak Gendong laris manis bak kacang. Status di Facebook pun banyak mencupliknya. Di hari kematiannya, lagi-lagi Mbah Surip merajai Twitter. Setiap detik microblogging ini di-refresh, jumlahnya makin banyak tentang Mbah Surip. Meski dandan ala Bob Marley, Mbah Surip mengaku tak tahu kalau musiknya digolongkan dalam genre tersebut. Meski begitu ia pernah berpesan, “Reggae itu kan musik perdamaian, jadi damai terus.”

Sebelum ia ’pergi’, Mbah Surip masih punya keinginan untuk duet dengan Manohara. Lagunya sudah disiapkan. Judulnya Thank You very Much. Bukan karena Mano sedang ngetop, tapi menurut Mbah Surip, suara Mano reggae sekali. Aku tidak tahu apa yang ia maksud. Ayah empat anak dan kakek empat cucu ini lahir di ”Jerman” alias Jejer Kauman, Magersari, Mojokerto, Jawa Timur. Mbah Surip tertutup soal keluarga. Ia pun tak mempermasalahkan kekayaan yang dimilikinya kini. Mbah Surip memang jadi fenomena tersendiri. Di tengah dunia hiburan yang serba bling-bling alias banyak polesan dan tempelan, Mbah Surip tampil apa adanya. Tak risih bonceng motor kemana-mana. Jadi penyanyi tidak perlu nyogok kanankiri atau tidur dengan produsernya. Tak perlu baju mewah dan mobil terbaru. Buatku, ia proletar. Mungkin juga Marhaen versi 2009. Sulitnya politikus Indonesia membahasakan hidup orang biasa malah dijawab tepat oleh Mbah Surip. Bu Mega, anaknya Bung Karno pun juga sulit meraba ’rasa Marhaen’, buktinya Bu Mega tak menang. Tapi lain dengan Mbah Surip, ya karena Mbah Surip hidup dengan itu, ia tampil apa adanya dan ’kena’. Mbah Surip juga tidak seperti SBY yang pakai tim sukses untuk terjemahkan rakyat. SBY masih terlalu jauh untuk ’menggendong’ rakyat. Padahal perkara ’menggendong’ itu perkara biasa. Kaya mendadak, matipun mendadak itu kan kata orang. Hidup dan kaya seperti bangun pagi dan melihat cahaya dari bingkai jendela. Amat biasa. Mbah Surip, hidup bagimu ’hanya mampir ngamen’. Mungkin benar juga kata-kata Chairil Anwar, ’Sekali berarti sesudah itu mati’. Di saat rakyat galau melihat politikus yang gemar bergincu dan menyembunyikan kebenaran dalam kata-kata aneh, Mbah Surip ada dan menjawab santai untuk rakyat yang tak mendapat tempat dalam Pemilu, ”Ta gendong aja, jangan susah.” Kemunculan dan popularitasnya seolah menegaskan pilihan rakyat terhadap Mbah Surip. Ah, lelaki itu membuatku tersenyum. ”Mbah, malaikat siapa yang nggendong kamu ke surga?”*** Jakarta, 4 Agustus 2009

No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I - JONG INDONESIA


40

Indria Sari dan Widyoseno Juara Kompetisi Foto dan Video Neso-Ikaned Indria Sari (Amsterdam) dan Widyoseno (Groningen) memenangkan kompetisi foto dan video yang diselenggarakan oleh Nuffic Neso Indonesia dan Ikaned 2009, yang berakhir 20 Juli 2009 lalu. Tim juri kompetisi foto terdiri dari Arbain Rambe, wartawan foto koran Kompas, Marrik Bellen, Direktur Nuffic Neso Indonesia dan Irma R. Damayanti, wartawan The Jakarta Post, lulusan Universitas Utrecht, mewakili alumni Belanda. Jumlah total foto yang diterima oleh panitia melalui email sebanyak 211 buah dari 50 peserta yang sedang melanjutkan studi dan tinggal di beberapa kota di Belanda. Untuk kompetisi video, panitia menerima 18 karya yang dikirimkan oleh 10 mahasiswa Indonesia. Seleksi dilakukan berdasarkan kriteria foto dan video yang telah diberikan. Pertama dari segi orisinalitas, kemudian kreativitas dan ketiga kesesuaian tema, yakni studi dan tinggal di Belanda. Setelah melalui diskusi dan argumentasi, tim juri berhasil memilih sejumlah foto untuk akhirnya terpilih 3 terbaik yakni: * Juara ke-1 (300 Euro): Indria Sari, program master, KIT (Royal Tropical Institute) Ámsterdam. * Juara ke-2 (250 Euro): Taufikurrahman Pua Note, program master, Institute for Housing and Urban Studies, Erasmus University Rótterdam. * Juara ke-3 200 Euro): Iwan Fauzi, program master, Radboud Universiteit Nijmegen. Pemenang kompetisi video studi di Belanda, sebagai berikut: * Juara ke-1 (300 Euro): Widyoseno E Muchsin, program bachelor, Hanze University of Applied Science. Link: http://www.youtube.com/watch?v=sqjFw1mNZzs * Juara ke-2 (250 Euro): Rikrik Gantina, program master, TU Delft, Link: http://www.youtube.com/ watch?v=45tY0tCrKbY * Juara ke-3 (200 Euro): Sukasa Ahmad, program master, IHS Erasmus University of Rotterdam. Link: http:// www.youtube.com/watch?v=SeviAqxm7TA Mengenai foto juara pertama, Arbain Rambei berkomentar, “Foto pemenang pertama berhasil menangkap suasana keseharian mahasiswa Indonesia dan menggambarkan kondisi penegakan hukum di Belanda dalam cara yang ‘fun’. Foto ini unik karena terlihat spontan, ekspresif dan idenya orisinall” Sedangkan untuk video pemenang pertama, Marrik Bellen mengatakan, ”video karya Widyoseno E Muchsin memenuhi kriteria yakni kreatifitas, teknik yang baik dan berhasil menyampaikan pesan untuk memberikan informasi yang lengkap tentang studi di Belanda.” Seluruh pemenang akan dihubungi oleh Nuffic-Neso Indonesia untuk pengiriman hadiahnya. Selamat kepada para pemenang dan teruslah berkarya! **** Info tentang Nuffic NESO Indonesia bisa dilihat di: http://www .nesoindonesia.or .id http://www.nesoindonesia.or .nesoindonesia.or.id JONG INDONESIA - No. 1 - 17 Agustus 2009 - Tahun I

Juara I: ” Bersepeda pun bisa kena TILANG!!” (Indria Sari-Amsterdam)

Juara II: “I am from Indonesia” (Taufikurrahman Note-Rotterdam)

Juara III: “Perpustakaan universitas (Commeniuslan)” (Iwan Fauzi-Nijmegen)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.