3 minute read

CERPEN

Next Article
KEDINASAN

KEDINASAN

HIJAU

Ma'wa Rimas Pawestri Bumiku hijau, untukku, untukmu, dan untuk mereka. Naira memandang miris hutan di depannya, jika mungkin masih bisa disebut hutan dengan tanah gersang tanpa pepohonan. Ya, hutan di depannya sudah lama hilang bertahun-tahun silam. Naira menggeleng dan kembali berjalan. Ia sudah bertekad akan menghijaukan hutan kotanya apapun yang terjadi. Mungkin itu terdengar naif, tapi bukankah itu hal yang bagus?

Advertisement

***

Menyusuri kompleks perumahan mewah dengan bersepeda mungkin terlihat ganjil. Well, bukan pemandangan umum melihat seorang remaja putri mengayuh sepeda padahal orang yang tinggal di sana tahu benar bahwa dia anak orang berada. Namun, siapapun juga tahu, bahwa sosok Naira Aliya Putri adalah orang yang sederhana. Bahkan saat ini pun ia tanpa canggung mengayuh sepeda dengan kantung plastik berisi berbagai jenis pohon.

Naira memasang wajah dingin ketika remaja sekelas dengannya memandangnya rendah seakan dia adalah sampah masyarakat. Jika bukan karena teringat akan tujuannya, mungkin sekarang dia sudah menarik rambut ekor kuda gadis itu.

"Wah, wah, lihat siapa ini. Naira kita sepertinya sibuk dengan para pohon, eh?" seru Bella-gadis menyebalkan kalau boleh Naira tambahkan membuat teman-temannya tertawa. Naira hanya menghela napas. Sebenarnya ia malas untuk menganggapi gadis jadi-jadian ini. Namun, jika ia tidak menanggapinya malah semakin menjadi-jadi. "Diamlah, Gadis Pesolek. Setidaknya bermain dengan para pohon lebih bermakna daripada mengurusimu," balasnya dengan nada sarkas yang tidak disembunyikan. Bella terdiam, berikut dengan teman-temannya. Gadis berambut panjang yang dikucir ekor kuda itu mendecih dan berlalu pergi. Naira yang melihatnya tertawa dalam hati. "Rasakan itu!" ***

Bukan keinginannya sekarang untuk berbaring di tempat yang penuh bau obat seperti ini. Jujur, ia sangat membencinya. Namun, apa yang bisa Naira lakukan selain menurut ketika tubuhnya terasa luluh lantak. Memejamkan mata, Naira kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ketika ia baru saja membeli selusin bibit pohon, kejadian yang tak terduga terjadi. Dia dirampok yang berakhir dengan dia di rumah sakit dengan luka sayat di sana-sini.

Naira tidak mengingat siapa yang membawanya ke sini. Yang pasti bukan orang tuanya. Mereka saat ini berada di luar negeri, bukan juga kakaknya yang kuliah di luar kota. Siapapun itu dia sangat berterimakasih.

"Kau sudah bangun?" Suara itu seakan membangunkan lamunannya. Mata Naira menyipit melihat siapa yang menyapanya. Bibirnya pucatnya menyunggingkan senyum dingin nan remeh. "Oh, aku tidak percaya ini. Kau menjengukku?" Bella, si penyapa memutar matanya imajiner. Ia bersedekap dan memandang gadis di depannya. "Walau lemah, mulutmu masih busuk seperti biasa." Naira tertawa mendengarnya. "Sebaiknya kau mengaca. Setan berteriak setan, bukankah itu lucu?" balasnya.

Bella memandang Naira kesal. Ia duduk di kursi samping tempat tidur Naira. "Seharusnya kau berterima kasih karena aku membawamu ke sini." Naira terkejut, ia tak menyangka gadis itu yang membawanya. Tunggu! Dia benar-benar Bella yang selama ini selalu mengejeknya, bukan? Seakan tahu apa yang dipikirkan gadis di depannya, Bella menjawab, "Ya, ini benarbenar aku, Bella."

Naira menetralkan ekspresinya. "Jadi, Tuan Putri. Kenapa kau menolongku? Seakan ini bukan dirimu." Dapat dilihat olehnya, Bella yang menunduk. Poni gadis itu menutupi matanya.

"Aku ... malu padamu," mata Naira melebar, "Selama ini kau selalu melakukan hal-hal di luar perkiraanku. Hal-hal yang bagiku tidak berguna. Namun, setelah kupikir-pikir ... hal yang kupikir tidak berguna itu sangat bermakna."

Naira melihat Bella yang menatapnya dengan pandangan mata cerah penuh tekad. "Jadi, bisakah aku membantumu setelah kau keluar dari rumah sakit ini?" pintanya. Naira tertegun sebentar, tak lama kemudian dia tertawa. Matanya memandang Bella dengan penuh semangat. "Baiklah, karena sepertinya kau sudah bertaubat, aku mengizinkanmu membantuku." Bella tersenyum cerah. Ia menjabat tangan Naira. Pertanda pertemanan dan kesepakatan mereka dimulai. "Terima kasih." ***

Naira menatap puas hasil kerja kerasnya. Tangannya kotor oleh tanah, begitupun dengan pakaiannya. Tak jauh berbeda dengan Bella yang berdiri tak jauh darinya. "Nah, selesai. Kuharap kalian bisa tumbuh besar dan menghijaukan bumi ini," gumamnya.

"Naira, kau sudah selesai?" Bella berdiri di sampingnya. Ia juga menatap tanah yang sebelumnya gundul perlahan berubah jadi hijau. Naira mengangguk. Sepertinya, kerja kerasnya dan Bella selama dua bulan menanam ratusan bibit pohon membuahkan hasil. Mereka juga menghimbau warga kompleks perumahan untuk mengikuti mereka. Yang untungnya disambut baik. Mereka berdua berharap, apa yang mereka lakukan membuahkan hasil yang maksimal. Untuk mereka, semua orang, dan yang terpenting ... bumi. aeg

TAMAT

This article is from: