3 minute read
"Kemerdekaan Batin "
Dok. Rm. Palma, Pr
Advertisement
Masing-masing dari mereka mengalami perjumpaan yang berkesan dan mendapat inspirasi hidup dari romo, frater, bruder yang dijumpai. Sharing-sharing ringan tapi bernas dari romo, frater, bruder saat makan bersama turut menguatkan panggilan. Di beberapa tempat, seminaris juga dilibatkan dalam kegiatan - kegiatan seperti mengajar anak-anak SD, mengajar anak-anak PIA, berkunjung ke Yayasan Dinamika Edukasi Dasar Mangunan, pelayanan pastoral, Misa Wilayah, Misa Lingkungan hingga berkebun.
Kegiatan yang juga disebut Live-in Lembaga Hidup Bakti (live-in LHB) ini memang merupakan salah satu program pembinaan semester I di Medan Utama di mana para seminaris Medan Utama diberi kesempatan untuk hidup bersama imam, frater/bruder dari komunitas Ordo/Diosesan tertentu selama beberapa hari. Lewat kegiatan yang berlangsung dari hari Kamis, 22 September 2022 sampai dengan Minggu, 25 Agustus 2022, seminaris diajak untuk semakin mengenal Ordo/Diosesan yang hendak dipilih, semakin kenal rumah formasi berikutnya, semakin mantap dalam pilihan panggilannya, dan semakin menyiapkan diri untuk menjalani solisitasi pada awal tahun 2023 nanti.
Pada tanggal 12-15 Oktober yang lalu, para seminaris kelas XII sebanyak 41 orang mengadakan Retret Penegasan (confirmatio) di RR. Panti Semedi, Klaten. Sementara ada tiga seminaris kelas XII yang sakit dan akan mengikuti kegiatan retret susulan.
Semoga melalui rangkaian live-in dan retret penegasan, para seminaris semakin mantap dalam membuat pilihan hidup dengan sukacita! Mohon doa dan dukungannya...
>>> Para semminaris kelas XII mengadakan Retret Confirmatio di RRPS, Klaten (12-15 Oktober 2022)
Rm. Evodius Sapto Jati Nugroho, S.J.
- Prefek Spiritual
Seorang seminaris bercerita tentang pengalaman makan ayam goreng saat liburan di rumah. Ibunya memasak ayam goreng di hari pertama liburannya. Saat mencium aroma ayam goreng yang disiapkan Ibunya, seminaris ini menjadi tidak sabar untuk menyantapnya. Saat tiba jam makan malam, ia mengajak orang tuanya untuk makan bersama. Ia memimpin doa makan. Ibunya mengambilkan sepiring nasi hangat untuknya dan sepotong paha ayam goreng. Ia tidak langsung memakannya tetapi ia perlahan mencium aroma hangatnya nasi dan ayam goreng tersebut. Rasa syukur atas makanan menyelimuti batinnya.
Dalam perjumpaan dengan saya, ia merefleksikan pengalaman rasa syukur pertama-tama bukan karena lauk yang akan disantap tetapi karena sikapnya terhadap ayam goreng. Ia menyadari bahwa ada perbedaan sikap, sebelum dan sesudah di seminari. Sebelum di seminari, ayam goreng adalah menu yang biasa ia makan dan bahkan sampai-sampai ia merasa bosan. Saat bosan, ia tinggal buka HP dan memesan makanan lewat aplikasi gofood yang lebih enak, cepat, dan kekinian. Setelah di seminari, ayam goreng adalah menu yang istimewa. Maklum, selama ia hidup di seminari, menu ayam goreng adalah menu yang langka sekaligus paling dinanti-nanti oleh para seminaris. Kesederhanaan menu makanan di seminari mengubah kesadaran seminaris ini. Ia menyadari bahwa formasi di Seminari membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang mudah untuk bersyukur.
Ia pun semakin merasakan hati yang merdeka dalam hal makan. Ia tidak menjadi pilih-pilih tentang apa yang hendak dimakan. Ia sadar bahwa kemerdekaan ini tumbuh berkat latihan-latihan untuk menyantap apa pun makanan yang telah disajikan oleh seminari. Latihan-latihan ini memang tidak mudah. Kerap kali, keluhan spontan muncul dari mulutnya saat makanan yang disajikan tidak sesuai harapan. Kerap kali perasaan enggan dan bahkan bosan itu muncul. Semua perasaan ini diolahnya dengan keyakinan bahwa formasi yang tidak nyaman ini akan berbuah suatu saat nanti. Kini ia merasakan buah dari formasi itu. Buahnya bukan sekadar rasa syukur tetapi juga pengalaman latihan-latihan yang membuatnya yakin bagaimana harus menjadi pribadi yang merdeka.
Dalam Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis no. 18 dituliskan demikian, “Tujuan seminari menengah adalah untuk membantu pertumbuhan remaja dan manusia kristiani, yang manifestasikan benihbenih panggilan untuk pelayanan imamat jabatan. Benih tersebut berkembang dengan cara yang sesuai dengan usia mereka, bahwa kemerdekaan batin yang mendorongnya untuk memberikan tanggapan terhadap rencana Allah bagi kehidupan mereka. ”
Bahan Refleksi/Konsiderasi:
Ungkapan “kemerdekaan batin” menjadi sesuatu yang penting, bukan pertamatama sebatas syarat dari formasi tetapi buah dari latihan-latihan kecil yang harus dilakukan untuk membentuk diri. Pengalaman menjalani latihan-latihan ini, termasuk latihan makan makanan yang sederhana di seminari ternyata melahirkan kemerdekaan batin bagi seminaris.
Pengalaman kemerdekaan batin ini meyakinkan mereka untuk berani mengambil inisiatif: bertekun dalam latihan-latihan sehingga semakin berkembang sebagai calon imam yang terus mencari Tuhan dalam hidup, bahkan merefleksikan sepotong ayam goreng :)
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengalami kemerdekaan batin?