(Sam Ratu Langie 24 years old in 1914)
"We measure ourselves by many standards . . . our strength and our intelligence, our wealth and even our good luck. . . . But deeper than all such things and able to suffice unto itself without them, is the sense of the amount of effort we can put forth. . . .He who can make none is but a shadow; he who can make much is a hero." (The 19th-century psychologist: William James)
Sam Ratu Langie in Europe (1913 -1919) (In INDONESIAN and ENGLISH)
Sam Ratu Langie ke Nederland (1913)
For English see below
Pada peta kecil diatas kita dapat melihat betapa besar jarak antara Manado, Jawa dan Amsterdam. Perjalanan Batavia-Amsterdam di awal abad yang lalu memakan waktu kurang lebih satu bulan, yakni sekitar 3-4 minggu per kapal dari Batavia sampai Genoa, Italia, lalu dua-tiga hari per kereta api dari Genoa ke Amsterdam. Walaupun demikian banyak pemuda dan pemudi dari "Nederlandsch Indie" yang memimpikan kemungkinan dapat melakukan perjalanan ini dengan maksud khususnya untuk menimba ilmu dinegeri jiran.
Sam Ratu Langie (kanan) dengan saudara-saudara sepupunya (1905)
Dibulan Nopember 1912 nenek saya:Augustina RATU LANGIE GERUNGAN yang adalah ibunda dari Sam Ratu Langie meninggal di Tondano, sedangkan suaminya telah wafat beberapa tahun sebelumnya. Sam dan kedua kakak perempuannya: Kayes dan Wulan lalu membagi peninggalan kepemilikan pasangan Ratulangie-Gerungan dan membuat satu laporan dari pewarisan ini. Dokumen ini kemudian menjadi bahan rujukan penting pada penyusunan daftar kepemilikan yang dibuat oleh Sam beberapa bulan sebelum ia meninggal ditahun 1949, yakni sewaktu ia ditahan oleh rejim pendudukan Belanda. Dalam pembagian yang dilaksanakan antara lain ada satu kintal berupa rumah di Kampung Pondol kini berada di pusat kota dan merupakan gereja di Jalan Sam Ratulangi, Manado diwarisi oleh Wulan dan Sam.
Rumah ini dijual dan hasilnya digunakan untuk pendidikan lanjutan bagi keduanya. Wulan belajar menjadi guru di Jawa dan Sam ingin berangkat ke negeri Belanda Pada seri halaman web ini dan yang berikutnya saya mencoba menuturkan perihal informasi yang saya temukan di berbagai dokumen dan buku mengenai masa Sam berada di Eropa. (Lihat referensi dibawah). Sam Ratu Langie leaves for Europe (1913) On the little map above we can see how big the distance between Manado, Java and Asterdam is. Traveling that route in the beginning of the previous century took about one month, which is 3-4 weeks by boat from Batavia (now Jakarta) to Genoa (Italy) and then two-three days per train from Genoa to Amsterdam. Nevertheless there were many youngsters from "Netherlands Indie" who dreamt about making this journey in order to be able to study overthere. In November 1912 my Grandmother:Augustina RATU LANGIE GERUNGAN who was the mother of Sam Ratu Langie, passed away in Tondano, Northern Sulawesi. Her husband, my grandfather, had died a few years earlier. Sam and his two sisters. Kayes and Wulan made an assessment and division of the property left by the Ratulangie-Gerungan couple. This was reported in a document that became an important reference for an account of Sam’s property that he later made a few months before his death in 1949 when he was captured by the Durch occupation. Among the property of the parents was a house in Kampung Pondol, now in the centre of the city and is now a church at the Jalan Sam Ratulangi. This property was inherited by Wulan and Sam. The property was sold and the proceeds used for further education of both. Wulan studied for teacher in Java and Sam was to go to the Netherlands. In this and the following websites I try to describe the information found in various documents and books about the episode of Sam in Europe.
Sam Ratu Langie di Nederland (1913—1917) Kebangkitan nasionalisme dalam diri Sam Ratu Langie
For English text see below
Maka dibulan Mei atau Juni (??) 1913 Sam berangkat dari Manado ke Amsterdam.Menurut buku yang ditulis oleh Taulu perjalanan Sam adalah bersama satu keluarga Belanda yang tadinya memiliki percetakan di Manado dan pada waktu itu akan pulang kenegaranya. Beberapa waktu setelah tiba di negeri Belanda maka Sam sadar bahwa ia perlu meningkatkan sumber finansialnya dengan segera bekerja. Menurut satu sumber yang belum terkonfirmasi Sam mula-mula bekerja selama beberapa bulan disalah satu pelabuhan di Belanda. Namun karena Sam adalah seorang pemuda yang cerdas maka ia segera menyesuaikan dirinya dengan baik dengan situasi setempat. Dan ia juga menyadari bahwa bakatnya sebagai pengarang dapat membantunya dalam pencarian nafkah untuk dapat membiayai suatu kehidupan yang sederhana. Ia teringat bahwa di sekolah di Tondano maupun di Batavia ia selalu meraih angka-angka tinggi untuk mata pelajaran Bahasa Belanda.
Karena itu kini ia berupaya dan dapat sukses dalam penulisan naskahnaskah mengenai "Nederlandsch Indie", nama tanah airnya pada waktu itu. Tulisan-tulisannya berhasil diterbitkan di berbagai surat kabar dan mingguan di Nederland. Tercatat bahwa diakhir 1913 di majalah "Onze Kolonien" telah dimuat satu tulisan dari tangan Sam yang berjudul "Sarekat Islam" . Dalam uraian ini ia mengkritik pemerintah (Hindia) Belanda dan pers Eropa yang tidak mengerti keadaan sebenarnya dari pertumbuhan Sarekat Islam di Jawa. Pertumbuhan ini menurut hematnya adalah ekspresi yang tulus dari perasaan rakyat di Jawa dan bukan sebagaimana secara diskriminatif digambarkan oleh pers Belanda sebagai satu organisasi yang berbahaya dan perlu dilarang. Kesalah fahaman ini telah mengakibatkan satu kesenjangan antara rakyat dan pemerintah kolonial. Ia sangat memuji pergerakan "Boedi Oetomo" dan pemimpinpemimpinnya seperti Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi yang dianggapnya adalah orang-orang dengan kepribadian tinggi. Pada penutup uraiannya ia berkata: "De geschiedenis kan geen enkel volk aanwijzen dat eeuwig overheerscht is. Moge dan de onvermijdelijke scheiding een vriendschappelijke zijn, opdat hierna toch steeds de weldadige wisselwerking van cultuurelementen blijven bestaan tusschen Indie en Nederland, die zooveel eeuwen door de historie met elkander vereenigt zijn geweest" (Sejarah tidak dapat memperlihatkan adanya satupun diantara bangsabangsa terjajah yang mengalami penjajahan untuk selama-lamanya. Semoga perpisahan (antara Indie dan Nederland) yang memang tidak akan dapat dielakkan akan berlangsung dalam persahabatan, karena sesudahnya diharapkan dapat ada hubungan timbal-balik yang berguna dari unsur-unsur budaya antara Indie dan Nederland yang telah mengalami kebersamaan dalam sejarahnya selama berabadabad.) Tulisan ini mencengangkan publik ditahun 1913 karena seorang dari Minahasa yakni suatu daerah yang pada waktu itu terkadang dijuluki Propinsi ke-12 (Twaalfde Provincie) dari Nederland, dan nota bene berpenduduk mayoritas Kristen itu dapat menulis suatu analisa yang cermat mengenai perkembangan keadaan di pulau Jawa. Juga pandangannya yang jauh kedepan mengenai "perpisahan" antara Indie dan Nederland, kata-kata mana tak lain berarti kemerdekaan Indonesia, jelas kurang berkenan ditelinga penjajah.
Akibat dari kegiatan tulis-menulis ini adalah bahwa ia mulai terkenal dikalangan para pemerhati "Indie" ini dan sering kali diundang untuk memberikan ceramah mengenai aneka topik tentang negerinya. Ia juga mulai berkenalan dengan baik dengan pemuda-pemuda Indonesia lainnya yang pada waktu itu mulai datang untuk belajar di Holland. Sam juga sering menghadiri pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh "Indische Vereeniging" . Perhimpunan ini pada awalnya khususnya dikunjungi oleh para senior-senior berbangsa Belanda yang kebanyakannya adalah pensiunan yang setelah selesai tugas mereka di Indie dan kembali ke tanah airnya. Kemudian "vereeniging" ini dimeriahkan oleh kehadiran para pemuda pelajar Indonesia. Perlu diketahui bahwa dengan semakin banyaknya hadirnya putera-puteri dari Indie "Indische Vereeniging" ini kemudian (ditahun 1928) menjadi "Perhimpoenan Indonesia". Kesan yang saya peroleh sewaktu membaca buku "In het Land der Overheerschers" ("Di Negari Penjajah") adalah bahwa pada awalnya para pengunjung Holland dari Indie biasanya terdiri dari para Pangeran-pangeran dan bangsawan dari Jawa Tengah yang lazimnya hanya tinggal untuk waktu yang singkat di Holland. Namun ada juga para pekerja atau pembantu rumah tangga yang diajak oleh majikannya sewaktu yang terakhir ini pulang setelah selesai melaksanakan tugasnya di Indie. Akan tetapi pada awal dari abad ke 20 mulai berdatang pemudapemuda brilyan dan terpelajar dari Indie ke negeri Belanda. Kedatangan pemuda-pemudi ini tentunya adalah dalam rangka menuntut ilmu namun tidak jarang keberadaan mereka di "Negeri Penjajah" menyebabkan timbulnya keinginan untuk dapat memperbaiki keadaan ditanah air. Hal ini disebabkan oleh karena setelah beberapa waktu di Nederland terasa oleh mereka betapa tertekan sebenarnya bangsa terjajah dinegeri sendiri. Di Nederland mereka berdiri setaraf dengan orang-orang Belanda pada hal dinegeri sendiri mereka selalu harus tunduk dan berada dalam status yang lebih rendah dari pada penguasa kolonial. Pada seri halaman web yang berikut saya mencoba menuturkan perihal informasi yang antara lain saya temukan disuatu berkas dokumen yang saya peroleh dari "Nationaal Archief", den Haag, Holland, mengenai masa Sam berada di Eropa.
Sam Ratu Langie, awakening nationalism (1913— 1917) And so it happened that in May or June (??) of 1913 Sam sailed for Amsterdam. According to sources (Taulu) Sam traveled together with a Dutch family who had owned a publishing business (drukkerij) in Manado and was sailing back to Holland. Upon arrival in Holland he apparently found out that he soon had to look for ways to increase his financial resources. According to unconfirmed information he has found a short time job at as a worker at one of Hollands ports. However being a smart young man he soon adapted himself to local circumstances. He also found out that his talent for writing could eventually provide him with some cash to be earned for a modest living. He remembered that In Tondano and later in Batavia he always had good marks at school for the "de Nederlandsche Taal". Therefore now in Holland, he tried to be successful in writing articles about "Nederlandsch Indie" as was the name of his native country at that time. He wrote articles in various papers and publications in the Netherlands. It is mentioned that at the end of 1913 in the publication "Onze Kolonien" an article titled"Sarekat Islam" .was published authored by Sam Ratu Langie. In this article he critisized the colonial government of the Netherlands Indies and the European press as ignorant of the real phenomenon of growth of the Sarekat Islam in Java. According to him this phenomenon of development was a sincere expression of the feelings of the people of Java, and not as was discriminatively described by the Dutch press as a dangerous organization which should be prohibited. This misunderstanding has caused a serious rift between the Javanese people and the colonial government. Sam Ratu Langie also gave high appreciation to the "Boedi Oetomo" movement and its leaders such as Tjipto Mangunkusumo and Soewardi whom he thought of as being people with high personality. At the end of the above mentioned article Sam wrote: "De geschiedenis kan geen enkel volk aanwijzen dat eeuwig overheerscht is. Moge dan de onvermijdelijke scheiding een vriendschappelijke zijn, opdat hierna toch steeds de weldadige wisselwerking van cultuurelementen blijven bestaan tusschen Indie en Nederland, die zooveel eeuwen door de historie met elkander vereenigt zijn geweest"
(History has no records of any nation that is colonialized forever. It is hopeful that the inevitable separation (of Indie and Nederland) will proceed in a peaceful way, which should make it possible that also thereafter the good interaction of cultural elements between Indie and the Netherlands, that are entwined throughout the many centuries of history, can continue.) This article surprised the public of 1913 because a Minahasan, from a region which is provokingly dubbed as the Twelfth Province (Twaalfde Provincie) of the Netherlands, and nota bene has a majority of inhabitants of Christian Believe could write such a careful analysis of a development in Java. Also about his vision on the future which would involve a separation of Indie and Netherland, which words actually mean the "independence" of Indonesia, clearly were not pleasant in the ears of the colonialists. As a result of his writings Sam became known amongst the people who are interested in Indie. He therefore was often also invited to present lectures on various topics of his country. He also beacame good friends with many young Indonesians, who started to come to Holland. Sam also often attended the meetings organized by the "Indische Vereeniging" . This organization was in the beginning mostly frequented by Dutch seniors, mostly pensionars returning from their duties in the colonies. At a later stage the younger people, students from Indie started to join. It is important to note that due to the fact that later more and more youths from Indie came, the "Indische Vereeniging" in 1928 changed to "Perhimpoenan Indonesia" According to records in the book: "In het Land der Overheerschers" (In the Country of the Oppressor) it seemed that in the beginning those people who came from Indie to visit Holland were mostly either princes or noblemen from Central Java, whose stay over there was only for a relatively short time, or also on the other hand there were servants who were brought by their Dutch masters to Holland. But in the beginning of the 20th century bright and educated young man and women came from Indie to Holland. These young man and women came to Holland to further their studies. But after some time of being overseas they recognized how badly the inhabitants of "Indie" were treated in their home country by the colonialists. In Holland the young people were treated as equals whilst in their own home country they always had to bow and to position themselves at a lower status than the oppressors.
In the following websites I try to tell something about the experience of my father based on what I read among others in a bundle of documents which I obtained some time ago from the "Nationaal Archief" in den Haag, Holland.
Menimba ilmu untuk menjadi guru matematika
For English see below
Pada halaman-halaman web saya yang terdahulu saya menulis mengenai pengalaman-pengalaman ayah saya setelah tiba di Nederland. Mungkin oleh karena tekanan ekonomi Sam mulai menulis artikel-artikel mengenai daerahnya dan juga mengenai tanah airnya pada umumnya, yang dimasa itu masih dinamakan "Nederlandsch Indie". Tulisan-tulisannya sempat dimuat diberbagai media cetak. Topik-topik yang sering ia pilih adalah yang mengenai hal-hal di kampung halamannya: Minahasa. Berkaitan dengan kegiatan ini maka Sam mulai terkenal bagi para pemerhati "Nederlandsch Indie". Orang-
orang ini adalah terutama para pensiunan yang kembali ke Holland setelah melaksanakan tugas kolonialnya di Indie. Namun bukan saja orang-orang yang cukup tua ini yang tergolong pembaca yang setia dari tulisan Sam, akan tetapi juga pemuda-pemuda yang brilyan yang datang untuk belajar di Nederland tertarik untuk membacanya. Adapun sesungguhnya cita-cita Sam adalah untuk dapat menjadi guru matematika agar dapat turut mencerdaskan bangsa dengan menjadi pengajar bagi putera-puteri bangsanya.Oleh karena itu ia mendaftarkan dirinya pada sek olah guru matematika dari Universitas Amsterdam (UVA), yang waktu itu belum lama sebelumnya didirikan oleh Prof. Dr. Korteweg dan asistennya Dr. de Vries. Lembaga ini sampai kinipun masih ada dan bernama: “Korteweg de Vries Instituut voor Wiskunde (KdVIW)" dan merupakan bagian dari Faculteit der
Natuurwetenschappen, Wiskunde en Informatica dari Universiteit van Amsterdam. Kebetulan pada masa itu (akhir abad ke 19) ilmu alam klasik sedang berada pada puncak pertumbuhannya, khususnya di Eropa. Dan agaknya Sam terpukau akan peran matematika dalam mendasari ilmu alam ini dan juga ilmu-ilmu fisika terapan yang semakin berkembang. Demikianlah maka setelah dua tahun Sam menempuh ujian untuk memperoleh Sertipikat K I dan berhasil. Adapun pemegang ijazah ini mendapat otorisasi untuk menjadi guru ilmu matematika pada sekolah lajutan.
Ternyata ini hanyalah mungkin JIKALAU seandainya Sam Ratu Langie berkebangsaan Belanda dan bukan adalah "inlander" yang adalah nama penghinaan bagi orang pribumi di "Nederlandsch Indie" pada masa itu.Hal ini dialami oleh Sam sebagaimana diuraikan dibawah ini. Ditahun 1916 Sam mengajukan satu permohonan kepada Menteri Urusan Jajahan agar dapat diangkat menjadi guru matematika di sekolah menengah atau sekolah teknik yang sesuai di Indie. Hal ini adalah sesuai dengan cita-citanya seperti yang tersebut diatas. Ruparupanya permohonan ini oleh Menteri diteruskan ke Nederlandsch Indie melalui Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie (yakni pejabat tertinggi dari pemerintahan penjajah) dan Sam menunggu jawaban atas surat lamarannya ini. Sambil menunggu ia berusaha memperoleh pekerjaan pada kementerian urusan Jajahan ini. Ia diterima dan ditempatkan dibagian statistik dari kementerian ini. Adapun rupa-rupanya kinerja Sam pada jabatan ini bagus, sampaisampai atasannya mempertimbangkan untuk mengusulkan Sam sebagai pimpinan pada pendirian "Pensioen Fonds" (Jawatan Dana Pensiun) yang pada masa itu sadang dipersiapkan dan akan ditempatkan dikota Bandung. Namun ini jelas hanyalah harapan belaka. Dan seperti disebut diatas, Sam tetap berpegang pada citacitanya untuk menjadi guru matematika dinegeri di tanah airnya dan menunggukan jawaban atas surat permohonannya. Bagi Sam memang cukup jelas bahwa pemerintah di Nederland tidak berwenang untuk menentukan secara langsung penempatan pejabat-pejabat di Indie. Dalam pada itu Sam telah bertemu dengan seorang gadis Belanda bernama Emilie Suzanne Houtman kelahiran Batavia, 12 Agustus 1890. Iapun menikah dengannya pada tanggal 21 Oktober 1915 di Amsterdam. Suzanne telah lulus menjadi dokter dan sedang mengerjakan disertasinya di Utrecht.Rupa-rupanya ia adalah seorang yang menaruh perhatian pula akan perkembangan-perkembangan politis di Indie. Ia juga berpartisipasi secara aktip pada kegiatankegiatan Indische Vereniging di Holland. Kembali kepada surat balasan GG yang ditunggu-tunggu dan diharapkan oleh Sam dan isterinya memang tiba akan tetapi tidak memberikan jawaban positip . Mula-mula disebutkan bahwa pemilikan Ijazah K I tidak merupakan bukti langsung bahwa ybs. berkemampuan untuk mengajar, lalu kemudian diberitakan bahwa kalaupun ada mungkin ia dapat diterima menjadi guru pada kelas 3 dari suatu Sekolah Dasar Cina-Belanda ("Hollandsch-Chinese Lagere School") berarti satu Sekolah DASAR dan bukan sekolah MENENGAH.
Kembali pula Sam harus merasakan satu penghinaan rasial seperti yang pernah dialaminya sewaktu ia pada umur 18 tahun akan memulai pekerjaannya sebagai teknisi pada Jawatan Kereta Api ("Staats Spoorwegen") di Jawa Barat. Namun pengalaman-pengalaman ini tidak mematahkan semangat Sam karena ia mengerti bahwa perlakuan semacam ini adalah akibat dari sistim kolonial dimana penduduknya dianggap manusia kelas dua jika dibandingkan terhadap manusia penjajah dan hal ini tak tergantung dari pada status intelektualnya. Ada pula satu surat dari GG yang menyatakan bahwa isteri Sam (Suze Ratu Langie-Houtman) dapat memperoleh pekerjaan sebagai dokter pemerintah dengan gaji Fl 300,- per bulan. Kasus Ratu Langie ini, yang tidak dapat diberikan posisi sesuai dengan kwalifikasinya sempat sampai masuk ke "Tweede Kamer" (DPR Belanda). Oleh beberapa Anggauta DPR diajukan pertanyaan kepada Menteri Urusan Jajahan mengapa bisa sampai ada pemuda terdidik sekalipun tidak dapat memperoleh pekerjaan ditanah airnya sendiri. Jawaban yang diberikan oleh menteri adalah bahwa (seperti disebut diatas) tidak ada bukti bahwa Ratu Langie itu mampu mengajar dan olehnya ditambahkan bahwa itu hanya dapat dibuktikan bila ia memiliki ijazah Ilmu Keguruan ("Paedagogiek"). Adapun keinginan Sam begitu besar untuk dapat mengajar di tanah airnya, sehingga segera setelah ia mendengar jawaban Menteri Urusan Jajahan atas pertanyaan mengenai kasusnya, iapun langsung mempersiapakan diri dan mendaftarkan namanya untuk menempuh ujian Ilmu Keguruan tersebut. Dalam jangka waktu 4 (empat) hari ia mempersiapkan diri untuk melaksanakan ujian tertulis dan ia lulus. Untuk ujian lisan ia perlu mengambil les privat selama dua bulan, dimana ia sambil bekerja sekalipun mempersiapkan dirinya. Ternyata kali inipun ia berhasil lulus. Keberhasilan ini segera dilaporkan olehnya kepada Menteri Urusan Jajahan yang meneruskannya ke Nederlandsch Indie, namun berbulan-bulan ia menunggukan jawabannya yang tak kunjung-kunjung tiba. Suze menulis surat terbuka yang diterbitkan diharian "Bataviaasch Handelsblad" tanggal 10 September 1917 berjudul "De Kortzichtigheid van de Regering" (Pemerintah yang tidak mempunyai visi) dalam mana pada intinya menilik pada "kasus Ratu Langie" ia mengatakan bahwa “Ethische Politiek in Indie� (politik etis di Indie) yang katanya ditempuh di Indie hanya merupakan lipservice saja dan sama sekali tidak diimplementasikan. Ia juga memberitakan bahwa kini ybs. telah berangkat ke Zuerich (Swis) untuk melaksanakan disertasinya dalam Ilmu Matematika di jurusan Filsafat Alam dari Universitas Zurich,
ketimbang menunggu-nunggu pada hasil keputusan sesuatu pemerintahan yang tidak berkenan pada dirinya.
Studying to becaome a mathematics teacher. In my previous websites I mentioned about the experience of my father, who, upon arrival in Holland from Manado, presumably, due to financial pressure, began writing in various Dutch papers about topics that primarily concerned his country which at time was still known as Nederlandsch Indie. Especially situations and happenings in his region of birth: Minahasa were often chosen as topics. Due to this activity in writing he gradually became known to people who were interested in “Nederlandsch Indie”. These were primarily the returned pensioners from their colonial duty, who were generally elderly people of Dutch nationality. But also gifted youngster from “Indie” who came to study in Holland. As for Sam, it was his objective to become a mathematics teacher and to teach mathematics in his home country. It was the time that the classical mechanics and physics was at its peak especially in Europe. And Sam, who seemingly was enchanted by the way mathematics serve these sciences in its practical applications, enrolled at the mathematics teachers college of the Universiteit van Amsterdam (UvA) . At that time this institute of the UvA was newly established by Prof. Dr. Korteweg and Dr. de Vries, and now it still exists named “Korteweg de Vries Instituut voor Wiskunde (KdVIW)". (See the "Organogram" above) And so Sam took up the course to become a middle school teacher in mathematics at this institute and within two years obtained the certificate K I which entitled him to teach mathematics at a middle school. At least that was what usually could be reached IF Sam Ratu Langie should have been a Dutchman and not an “inlander” which is the name for the inhabitants of “Nederlandsch Indie”. In 1916 he submitted a request to the Minister for Colonies, to be able to obtain a position as a teacher in mathematics at a suitable middle or technical school in his home country. The Minister forwarded the request to the Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie (which is the highest post in the colonial government of Ned. Indies.
Whilst awaiting for the answer Sam found a job at the Statistics Department of the “Ministerie voor Kolonien”. At this job he apparently performed well. The Department Head even had considered to propose Sam as leader in a soon to be established “Pensioenfonds” in Bandoeng. But this were of course only dreams and Sam still maintained his ideals to become a teacher in his home country and he therefore stood by his request to the Minister to send him to Ned. Indie for that purpose. Sam understood that it was beyond the authority of the officials of the Ministerie in Holland to suggest and decide directly over personnel positions in Nederlandsch Indie. In the mean time Sam had met a girl named and married Emilie Emilie Suzanne Houtman born on 12 August 1890 in Batavia. They married on 21 October 1915 in Amsterdam. Suzanne had studied medicine in Utrecht and was working on her dissertation in Utrecht. She was apparently politically interested and actively participating at the meetings in the Indische Vereeniging in Holland. At last there was a letter from the Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie in which however no positive response to the requests of Sam and his wife was given. In the beginning it was mentioned that there was an opinion from the involved authorities in Ned. Indie that having a K I in mathematics certificate “does not automatically proof that the owner of the certificate was able to teach” later it was written that EVENTUALLY Sam could teach at the third grade of the Hollandsch-Chinese LAGERE School (which means at a PRIMARY school). Again a humiliating and discriminating experience for the Sam, who previously already had a taste of racial discrimination when he was 18 years old and was starting his job as a technician at the “Staats Spoorwegen” in West Java. These experiences did not discourage Sam but he understood that these were the consequences of being from a country which is colonialized and where its inhabitants are second rated as compared to the colonializers, whatever their intellectual status. There was a letter however mentioning that Sam’s wife (Suze Ratu Langie Houtman) could eventually be accepted as a “Gouvernementsch arts” to be placed in Ned. Indie on a salary of Fl 300,- per month. The case of Ratu Langie who could not get a teaching position according to his qualifications even reached the Dutch Parliament, "de Tweede Kamer" in the Netherlands. A few members of the parliament questioned the Minister for Colonies on how it was possible that a well educated young person from Indie could not get reasonable appreciation to be able to work in his home country. The answer given by the Minister was that
there was no proof that Ratu Langie could be a good teacher, as such only could be guaranteed by having a Teachers College Certficate. Sam’s eagerness to reach his ideal job was so big that he directly tried to fulfill this demand and registered to obtain his degree in Paedagogiek (teaching). Within four days after the anouncement at the parliament he succeeded in passing his written examination. Further on he had to take private lessons for two months, besides of working at the Ministry, to prepare himself for the oral examination in Paedagogiek. In this again he succeeded smoothly. This progress was reported by him to Minister who again furthered it to the Ned. Indie government and Sam waited for months and months and still no answer was obtained to his request. His wife wrote a letter that was placed in the “Bataviaasch Handelsblad” of 10 September 1917 in which she informed the public about the case Ratu Langie as being what she called: “De Kortzichtelijkheid der Regering” (The myopia of the -colonialgovernment ) in which she said that the words of “Ethische Politiek in Indie” (The ethical Policy in Indie) really were only words and that they are not implemented at all. She also added that Sam Ratu Langie had already left for Zuerich in Zwitserland to make his dissertation over there, rather than to keep waiting for decisions from a government that does not approve of him.
G.S.S.J. Ratu Langie, Zuerich, Swiss (1917 - 1919) Belajar dan membina persahabatan internasional.
Zurich University (rear view) For English see below
Sebenarnya keinginan Sam adalah untuk meneruskan pelajarannya pada Prof. Dr. Korteweg dari Universiteit van Amsterdam. Kepribadian,jiwa kepeloporan, pandangan dan pesona professor ini agaknya cocok dengan jiwa Sam. Jiwa pembaharu yang membutuhkan suatu keyakinan yang tentunya juga ditopang oleh penguasaan keahlian dibidangnya seperti yang dimiliki oleh Prof. Korteweg seakanakan mejadi suri tauladan bagi Sam. Sam ingin melaksanakan disertasi dibidang matematika di lembaga ini dan rupa-rupanya telah meminta tugas ataupun tema untuk ini. Prosedur administratip pun dimulai dengan mengajukan permohonan kepada pihak universitas. Namun nama Ratu Langie telah mulai mendengung diarena politik Belanda berkaitan dengan tulisantulisannya di berbagai media dan juga terkait interpelasi di Tweede Kamer mengenai tidak diperolehnya bidang pekerjaan bagi Sam di Nederlandsch Indie.
Walaupun didukung oleh Prof. Korteweg permohonan Sam ditolak oleh Dewan Universitas. Alasannya adalah karena Sam tidak memiliki Ijazah Hogere Burgerschool (HBS), Lyceum ataupun Gymnasium hal mana (katanya) dipersyaratkan untuk dapat diizinkan menempuh ujian doktor. Sam hanya memiliki ijazah Sekolah Teknik, dan ternyata ijazah K 1-nya sama sekali tidak dipertimbangkan. Pada hal ada satu kasus pendahulu mengenai seorang yang berkebangsaan India yang pernah berhasil mengerjakan dan lulus pada ujian doktor di UVA walaupun tidak memiliki ijazah HBS, Lyceum atau Gymnasium. Berkat hubungan baik yang diperoleh Sam melalui Indische Vereeniging, dimana ia pernah menjadi ketua selama satu periode (1915-1916) maka Sam mempunyai banyak kenalan orang Belanda (senior) antara lain seorang yang bernama Mr.J.H.Abendanon . Adapun Mr. Abendanon ini adalah pensiunan Direktur Pendidikan dan Kebudayaan (Departement Onderwijs en Eeredienst) di Batavia dan merupakan sosok pemerhati putra-putri bumi putera yang berbakat. Isteri Mr. Abendanon adalah kawan pena dari R.A. Kartini yang mana surat-suratnya kemudian diterbitkan dalam satu buku: "Door Duisternis tot Licht" (Dari gelap terbitlah terang). Sam memohon nasihat kepada Mr. Abendanon dan beliau mengusulkan agar Sam berupaya meneruskan studinya ke Negeri Swis, misalnya di Universitas Zuerich. Hal ini dilaksanakan oleh Sam, dan dengan membawa Ijazah serta surat rekomendasi dari Prof. Korteweg mendaftarkan dirinya pada Natur-Philosophischen Fakultaet Universitas Zuerich. Ia berhasil diterima untuk meneruskan studi doktoralnya. Untuk membiayai kehidupannya di Swis Sam harus banyak menulis dan juga memberi ceramah. Ia sempat ditugaskan sebagai wartawan oleh suatu media cetak dari Nederland untuk mengcover satu Konperensi Internasional di Wien. Di celah-celah pembahasan resmi konperensi itu di Press-room ada pula diselenggarakan satu pertandingan tidak resmi, dimana antara para wartawan yang hadir ditandingkan kemampuan penguasaan berbagai bahasa. Yang menguasai paling banyak bahasa ternyata adalah kakak kandung dari R.A. Kartini, bernama R. Sosrokartono yang diutus dari Amerika Serikat dimana ia sedang bekerja sebagai wartawan. Beliau ini menguasai lebih dari duapuluh macam bahasa sedangkan yang kedua adalah Sam yang mampu berbahasa Belanda, Jerman, Inggeris, Perancis, Melayu dan Tondano.
Pada waktu itu negeri Swis banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh karena Swis adalah negara yang netral dalam Perang Dunia ke I yang waktu itu sedang melanda di Eropa. Universitas-universitas Swis Juga menarik bagi para pemuda dari Asia untuk belajar. Sam yang bersifat mudah bergaul banyak mendapat kawan dari berbagai negara. Konon sebagai rekan Sam tercatatJawaharlal Nehru, pejoang kemerdekaan India. Bersama kawan-kawannya mereka bersefaham untuk mendirikan satu asosiasi: "Association d'Etudiantes Asiatique" (Asosiasi Mahasiswa Asia), dan Sam dipilih untuk menjadi Ketua yang pertama asosiasi ini. Dalam pada itu di Holland, khususnya di Ministerie van Kolonien (Kementerian Urusan Jajahan) masih terus diproses permohonan Ratu Langie untuk memperoleh pekerjaan sebagai guru matematik di Indie. Dalam kumpulan dokumen-dokumen dari Nationaal Archief ada laporan dari satu rapat pada sekretariat kementerian tersebut dimana dinyatakan bahwa Menteri ingin mengetahui APA yang sebenarnya sedang diperbuat Ratu Langie itu di Swis. Kebetulan Menteri mengenal Rektor dari Universitas Zuerich yang bernama Prof. Dr. C. Schroeter. Menteri pernah bertemu dengan profesor ini sewaktu berkunjung ke Suriname. Iapun melayangkan surat kepada profesor tersebut dalam mana ia memohon kiranya dapat diberikan informasi secara konfidensial perihal seorang mahasiswa yang bernama Ratu Langie yang katanya membuat disertasinya dalam ilmu matematika. Ternyata Rektor menjawab atas permintaan ini dalam dua surat: dalam surat pertama (23 Oktober 1917) rektor mengatakan bahwa ia telah mengecheck pada pengajar ilmu matematika : Prof. Dr. Fueter, yang mengatakan bahwa memang ada mahasiswa yang bernama Ratu Langie sedang rajin mengerjakan disertasinya dan akan selesai dalam beberapa waktu lagi. Dalam surat yang kedua (15 Desember 1917) beliau mengucapkan terima-kasih atas kiriman majalah-majalah (mungkin khusus mengenai Suriname) dan juga memberi kabar bahwa beliau telah sempat menghadiri satu seminar yang diselenggarakan oleh Persatuan Mahasiswa Belanda di Zuerich, bernama "Hollandia". Pada acara ini Sam Ratu Langie menjadi penceramah dan ia membahas perihal "Volksbewegung" (Pergerakan Nasional) di negerinya: Ned. Indie. Prof. Schroeter menilai presentasi ini sangat menarik dan komentarnya adalah bahwa materi disajikan dengan sangat objektip dan "loyaal" (Editor: Mungkin dimaksudkan disini adalah "setia kepada Kerajaan Belanda"). Rektor menyatakan bahwa pada umumnya ia mendapat kesan yang sangat baik dari pemuda itu. Memang pada waktu itu sekalipun, Sam sudah tahu bahwa ia harus
berhati-hati dalam tutur kata, agar tidak diberikan predikat "opruier" (penghasut). Namun karena ia memiliki perbendaharaan kata yang cukup luas ia berhasil menjaga keselamatan dirinya, dan tidak pernah mendapat kesulitan dengan pihak berwajib selama di Eropa. Selain dari pada upaya untuk mengetahui tindak-tanduk Ratu Langie di Swis melalui para pengajar, menteri juga merasa perlu mengetahui mengenai persyaratan dan peraturan yang berlaku untuk dapat melaksanakan "doktorarbeit" (karya doktor) pada universitas di negeri Swis. Informasi ini diperolehnya dari tangan Mr. Abendanon. Dibulan Maret 1918 Mr. Abendanon menyampaikan dua surat kecil (kattebelletje) yang mana mencantum nama pengirim dipojok kiri atas.
Gambar 1.
Dalam surat yang pertama ia memberitahukan bahwa judul thesis yang sedang dilaksanakan oleh Sam adalah: "Lineare Kegelschnitten (Systemen/Geweben) in vollstaendigen Ebenen und ihre raumliche analogen." (Lihat Gambar 1). Diberitahukan juga bahwa topik ini termasuk bidang "Synthetische Geometrie" dimana ahli-ahli khusus bidang ini yang ada di Nederland adalah: Dr. Hendrik de Vries, Amsterdam (Editor: murid dari Prof. Korteweg, Amsterdam), Dr. Jan de Vries dari Utrecht dan Prof. Dr. Schuh dari Delft. Selain dari pada itu sebagai lampiran beliau sampaikan sebuah booklet berjudul "Reglement ueber die Erteilung der Doktorwuerde an der mathematisch-naturwissenschaftlichen Abteilung der philosophischen Fakultaet der Universitaet Bern" yang dititipkan oleh Sam Ratu Langie kepadanya. (Sebagaimana diketahui: Bern adalah satu kota di Swis yang berdekatan dengan Zurich.)
Gambar 2.
Dalam surat kedua (Lihat Gambar 2) tercantum nama-nama 6 (enam) Orang Belanda yang lulus Doktor di Universitas Swis dan mendapat kedudukan yang cukup tinggi di Ned. Indie yakni: Dr. Bernard, Kepala dari "Stasiun" teh (Bogor), Dr. .... (?) Kepala dari ....."Stasiun" garam(?), Dr. Visser (?), Kepala dari "Stasiun" tembakau (Medan), Dr. Schmidt, Kepala dari "Stasiun" gula (Pasuruan), Dr. Nieuwenhuis, Pejabat Pemerintah (Kolonial) di Batavia dan Dr. Burger, Pejabat pada Departemen Pertanian. Data-data ini disampaikan oleh Mr. Abendanon kepada Kementerian Urusan Jajahan dari dan atas permintaan Sam Ratu Langie.Dari isi kedua kattebelletje ini kita dapat simpulkan bahwa hubungan Mr. Abendanon dengan Sam Ratu Langie adalah sangat dekat dan bagaikan hubungan seorang "mentor" terhadap anak asuhnya.
Studying and gaining international friendships in Switzerland (1917 - 1919) Actually it is Sam's desire to continue his studies as a doctoral candidate of Prof. Dr. Korteweg of the Universiteit van Amsterdam. This Professor's character: his personality, his drive to open up new "territories"in science, his views, which of course were based on his expertise in his field, seemed to synchronize with those of Sam's. As he intended to continue his studies in this institution, for which he seemingly already obtained an asignment, he began with the administrative procedures. However because Sam's name was already associated with his writings in the various media and especially also in
relation to what had happened in the Dutch Parliament, the University did not approve his request although he was recommended by Prof. Korteweg. The reason for this as mentioned by them was due to the fact that Sam did not possess a certificate of neither the Hogere Burger School (HBS) nor the Lyceum or Gymnasium, which as they claim was necessary for the doctoral studies at the UVA. Sam only had a certificate of a technical school, and his K 1 certificate was totally ignored. This was even though there was a previously nearly similar case that happened to a doctoral candidate from India who was allowed to further study at the UVA to finish his doctoral study even though he was not in the posession of mentioned higher middle school. Among the good relations which Sam had through the Indische Vereniging, where he was chosen to be a chairman for one period (19151916) was Mr.J.H.Abendanon . The latter was previously Director of Education and Culture in Batavia, and was very friendly to gifted students from Nederlandsch Indie. This attitude he maintained even after his retirement when he returned to the Netherlands. His wife was a penfriend of R.A. Kartini and these letters were later published in a book titled "Door Duisternis naar Licht" (From Darkness to Light). Sam sought advice from Mr. Abendanon about what he should do. Mr. Abendanon suggested to him to try to finish his doctoral studies at theNatur-Philosophischen Fakultaet of the University of Zuerich. This was done by Sam and he brought with him his certificates and also a recommendation letter from Prof. Korteweg. This time he was successful to be accepted and he could start to continue his doctoral studies. To provide for his living in Switzerland Sam had to work hard and he wrote many articles and gave various presentations. He even was send by a Dutch newspaper to cover a conference in Vienna. Parallel to the official conference in Munich, an in-official competition was arranged in the pressroom. The question was WHO of the available journalists had good command of the most number of languages. It turned out that the winner was an Indonesian: R. Sosrokartono , who at that time was assigned by an American (US) newspaper as journalist to cover the conference. He was able to speak over twenty different European and Asian languages. Sosrokartono was the elder brother of R. A. Kartini. And as second in place came Ratu Langie who could speak at least six languages fluently: Dutch, German, English, French, Melayu and the Tondanese language. At that time Switzerland was visited by many young people from abroad. It was because the country took a neutral stance in the First World War that was going on in Europe. Swiss universities were also attracting young
people from the east to study. Since Sam had an easy going character he got many friends from other Asian countries. It was said that among the friends of Sam was also a student from India who was visiting Swiss named Jawaharlal Nehru when he was in Switzerland. Together with his Asian friends Sam established a student association: "Association d'Etudiantes Asiatique", and became its first chairman. In the mean time in Holland, specifically at the Ministry for Colonial Affaires, Sam's request for a mathematics teaching job in Indie was being processed further. Among the documents from the Nationaal Archief in my posession is a report of a meeting in which the Minister mentioned that he wanted to know WHAT actually was done by Ratu Langie in Swtzerland. It was a coincidence that the Minister was aquainted with the Rector of the Zurich University named Prof. Dr. C. Schroeter whom he has met during a visit to Suriname. A letter was sent to the professor asking about a student named Ratu Langie. There were two letters as answer from the Rector to the minister. The first was that there gave the information that the student Ratu Langie is indeed studying diligently, working at his Doktoarbeit and this might be completed within two semesters more. was indeed a student named Ratu Langie. He further informed that he willask the Mathematics professor of the University: Prof. Dr.Fueter about this student. In the second letter the of Prof. Scroeter he thanked the Minister for sending him periodicals about Suriname. He further Prof. Schroeter also informed that he has attended an event organized by the Dutch student association "Hollandia". On this occasion Ratu Langie gave a lecture about the developments in the social movement in his country. Prof. Schroeter found the presentation very interesting and assured the Minister that it was held in an objective and "loyal" tone. (It might be that herewith was meant :"loyal to the Kingdom of the Netherlands". It was true that even at that Sam already knew that he should be very careful in the choice of his words, in order not to be alleged as an "opruier" (A person who drives other people to negative actions). But due to Sam's vast vocabulary he was always able to safe himself from any dificulties with the Dutch government officials as long as he was in Europe. Besides of the efforts of the minister to know the activities of Sam through his Professors, he also wanted to know what the criteria and regulations are for someone to be able to make his doctoral studies at a University in Switzerland. In the month of March 1918 Mr. Abendanon delivered two small letters: the so called "kattebelletjes" carrying his name on the left upper corner. In the first letter he informed the Minister
Exhibit 1.
In the first letter Mr. Abendanon informed the Minister of the title of Sam's dissertation was: "Lineare Kegelschnitten (Systemen/Geweben) in vollstaendigen Ebenen und ihre raumliche analogen." He also added that this topic belongs to the area of "Synthetische Geometrie" and that the experts in this field in Holland are: Dr. Hendrik de Vries, Amsterdam (Editor: Assistent of Prof. Korteweg, Amsterdam), Dr. Jan de Vries of Utrecht and Prof. Dr. Schuh dari Delft. Besides of that he also attached a booklet titled: "Reglement ueber die Erteilung der Doktorwuerde an der mathematisch-naturwissenschaftlichen Abteilung der philosophischen Fakultaet der Universitaet Bern" which he forward from Sam Ratu Langie's hands.
Exhibit 2.
In the second letter Mr. Abendanon mentioned the names of 6 (six) individuals who were Doctorates of the University of Zurich and had high positions in Nederlandsch Indie: Dr. Bernard, Head of the Tea Station at Bogor, Dr. .... (?) Head of the Salt Station(?), Dr. Visser (?), Head of the
Tobaco Station (Medan), Dr. Schmidt, Head of the sugar Station (Pasuruan), Dr. Nieuwenhuis, Government Official at Batavia and Dr. Burger, Official at the Agricultural Department. All f these data were submitted by Mr. Abendanon to the Minister of Colonies on kind request of Sam Ratu Langie. From all of this we may conclude that Mr. Abendanon was as a "mentor" to Sam Ratu Langie.
Menteri Urusan Jajahan, Gubernur Jenderal dan Sam Ratu Langie Membaca dokumen-dokumen dari Nationaal Archief sangat mengasyikkan. Pertama-tama perlu dikagumi ketekunan dalam berarsip dimana semua dokumen yang saya dapatkan tertata rapih. Kemungkinan besar selama bertahun-tahun disimpan dengan baik dan belakangan ini mungkin dalam bentuk microfiche. Adapun dokumen-dokumen yang saya peroleh kebanyakannya berupa draft (konsep) surat dan juga ada beberapa laporan intern dan beberapa surat masuk. Sebagaimana biasa, draft ini disusun oleh Sekretaris. Pada dokumen-dokumen yang saya temukan draft setiap halaman dibagi dua. Paruh halaman sebelah kanan dipakai untuk menulis draftnya.Paruh halaman sebelah kiri dipakai untuk koreksi yang dirasakan perlu ditulis oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini Menteri Urusan Jajahan waktu itu. Kesemuanya ditulis tangan dengan tulisan zaman dulu yang dalam bahasa Belanda disebut "schoonschrift" (tulisan indah). Cara menulis ini saya masih sempat pelajari, yakni dengan irama "dun-dik" (tipis-tebal). Namun jikalau yang harus ditulis berjumlah besar maka tulisan sang sekretaris sudah tidak begitu "schoon" lagi, bahkan sulit bagi saya untuk membacanya. Perlu diingat bahwa waktu itu belum semua instansi yang mampu membeli mesin tik, sedangkan mesin fotokopy belum ada sama sekali. Jadi kebanyakan dokumen yang saya peroleh berupa "surat keluar" hanya draft-nya saja, sedangkan asli dari surat keluar tidak ada. Hal ini walau bagaimanapun memberikan satu "insight" juga mengenai nuansanuansa yang (mungkin) ada dalam pemikiran pejabat kolonial terkait. Disamping ini perlu juga diingat bahwa bahasa Belanda seratus tahun lalu (sangat) berbeda dengan yang digunakan sekarang. Apalagi bahasa resmi yang wajib digunakan dalam surat/dokumen dulu terkadang sangat sulit dikomprehensikan oleh saya.
Misalnya antara lain terdapat satu DRAFT untuk surat dari Menteri Urusan Jajahan masa itu (1917 - 1919) kepada Gouverneur Generaal (masa itu). Surat ini dikirim tanggal 16 Maret 1918 dimana satu potongan dari draftnya adalah seperti tertera pada Gambar 3. Didalamnya tertera bahwa setelah uraian panjang lebar mengenai temuan-temuan yang diperoleh dalam rangka penelitian (lihat Website terdahulu) yang telah dilaksanakan oleh Menteri mengenai "de zaak Ratu Langie" (Kasus Ratu Langie) ia menulis (lihat koreksi diparuh kiri Gambar 3.):
Gambar 3.
"...... en alsdan dient mijns inziens, .... ter voorkoming van den indruk, dat de Regering het ondernemen van hoogere studien door Inlanders onwelwillend gezind is, over formeele bedenkingen tegen de plaatsing van den heer Ratu Langi in Landsdienst, zoveel mogelijk te worden heen gestapt. Gaarne zou ik dan ook van U.E. vernemen of na kennisneming van het voorstaande, nog bepaald overwegende bezwaren tegen de uitzending van den heer Ratu Langie blijven bestaan, zoo niet dan stel ik mij voor hem na zijn promotie daarvoor uit te zenden." " ..... dan menurut pendapat saya, .... untuk menghindari kesan bahwa Pemerintah tidak menyukai upaya para "Inlander", untuk menuntut
ilmu pendidikan tinggi, kiranya keragu-raguan formal mengenai penempatan tuan Ratu Langi sedapat mungkin dapat teratasi. Karena itu saya akan sangat menghargai untuk dapat mengetahui apakah dari pihak Yang Terhormat Tuan (Gubernur Jenderal) masih ada keberatan-keberatan tentang pengiriman Ratu Langie, dan jika tidak maka saya mengusulkan untuk mengirimnya setelah ia menyelesaikan promosinya." Jawaban atas usul ini disusun oleh Gouverneur Generaal dalam satu telegram yang dikirim dari "Weltevreden"(Jakarta, Menteng) tanggal 19 Nopember 1918 dan diterima di 's Gravenhage (den Haag) pada tanggal 29 Nopember 1918.Telegram adalah sebagai balasan dari surat tanggal 13 Maret 1918 (!!!) dan pada intinya menyampaikan bahwa Gubernur Jenderal setuju dengan usul Menteri.
The Minister for Colonial Affairs, the Governor General and Sam Ratu Langie Reading the articles of the Nationaal Archief is extremely interesting. Firstly I salute the consistence in the archiving, where all documents which I obtained were very orderly put together. Many decennia the documents were kept safely and it could be possible that lately they were kept as microfiches in the archive. The documents which I received mainly were copies of "drafts" of letters and internal reports and also some incoming letters. As usually done drafts are made by the Secretary, at those documents which I got most of the sheets were divided in two parts. The right half was used to write down the draft whilst the left part was used by the executive involved, in this case the Minister for Colonies at that time. It was all written inwhat the Dutch called " Schoonschrift" (the beautiful writings). This way of writing even I had to learn when I was at the Grammar School. This writing has a rythm of "thin-bold-thin-bold" and really looks beautiful when done well. But when you have to write much and fast it becomes rather distorted and not "schoon" anymore, and for me difficult to read. It should be kept in mind that at that time not all offices are able to buy typing machines, whilst the photocopying machine was not invented yet. This however on the other side made it possible for me to get some insight on the nuances which possibly were in the mind of the respective colonialists. Besides that it is important to note that the Dutch language differs (very much) of that used today. Especially the formal written
language that one was obliged to use sometimes turned out to be difficulut to comprehend for me. As an example there was a letter of the then Minister for Colonial Affairs (1917-1919) to the Governor General (of the time). This letter was dated March 16th 1918 and a part of it I scanned as is on Exhibit 3. In that letter, after a long story about the investigations made by the Minister in Holland regarding the "Zaak Ratu Langie" (Ratu Langie Case) (see my previous website) it was stated that (as can be seen at the left half of Exhibit 3):
Exhibit 3.
"...... en alsdan dient mijns inziens, .... ter voorkoming van den indruk, dat de Regering het ondernemen van hoogere studien door Inlanders onwelwillend gezind is, over formeele bedenkingen tegen de plaatsing van den heer Ratu Langi in Landsdienst, zoveel mogelijk te worden heen gestapt. Gaarne zou ik dan ook van U.E. vernemen of na kennisneming van het voorstaande, nog bepaald overwegende bezwaren tegen de uitzending van den heer Ratu Langie blijven bestaan, zoo niet dan stel ik mij voor hem na zijn promotie daarvoor uit te zenden."
" ..... and according to my opinion, .... to prevent the impression that the Government dislikes the effort of the "Inlander" to the pursuit of higher education, the formal uncertainties of the assignment of Mr. Ratu Langi in the countries service, should be overcome as much as possible. I would appreciate it to know from Your Excelence side after being informed of the previously mentioned, whether there still are any complaints against sending Mr. Ratu Langie, and if not I would propose to send him after his promotion." The answer on this proposal was given in a telegram from the Governor General sent from "Weltevreden" (Jakarta, Menteng) on the November 19th, 1918 and received in 's Gravenhage (the Hague) on November 29th, 1918 (!!!) and essentially informed that the Governor General agreed with the proposal of the Minister.
Surat penting dari Dr.G.S.S.J. Ratu Langie dan lampiran yang hilang. Didalam berkas saya ada kopy dari 9 (sebilan) surat dari Sam Ratu Langie kesemuanya diarahkan kepada Y.M. Menteri Urusan Jajahan. Surat yang ke enam tertanggal 2 Januari 1919 saya scan dan hasilnya adalah seperti pada Gambar 4:
Gambar 4.
Surat itu pada pokoknya memberitakan bahwa : Pada tanggal 17 Desember 1918 ia telah lulus di Zurich memperoleh "Doctorsgraad" dalam bidang Ilmu Pasti dan Alam (Filsafat). Juga bahwa ia mendengar tentang adanya lowongan untuk pengajar ("leeraar") ilmu pasti (pada sekolah menengah di Indie) dan memohon agar ia dipertimbangkan untuk mengisi lowongan itu. Disamping itu pula bahwa bersama surat itu ia melampirkan "Afschrift" dari Ijazah Doktor-nya dimana "aslinya telah dilihat oleh Yang Mulia Tuan Sekretaris Menteri". Namun, sayang dibalik sayang, dalam berkas yang saya peroleh "Afschrift" Ijazah Doktor itu TIDAK ADA. Entah bagaimana mungkin hal ini dapat terjadi saya sampai kini tidak mengerti. Dokumen-dokumen selanjutnya adalah mengenai persetujuan Menteri Urusan Jajahan untuk mengangkat (Draft Surat Keputusan) Dr. G.S.S.J. Ratu Langie untuk ditempatkan di Indie sebagai guru ilmu pasti pada salah satu sekolah menengah, sedang isterinya diangkat sebagai
pejabat kesehatan, masing-masing dengan gaji bulanan yang cukup besar sehingga memberikan kesempatan kepada kedua-duanya untuk hidup layak bagaikan layaknya orang kolonial di Nederlandsch Indie.
Ternyata jabatan ini oleh Sam Ratu Langie hanya diemban selama 2 tahun lebih. Alasan untuk berhenti dari jabatan yang telah diperjuangkannya selama bertahun-tahun dengan begitu gigih belum saya temukan, akan tetapi satu kemungkinan adalah bahwa ia jenuh dengan hidup bagaikan "zwarte Hollander" (Belanda Hitam). Pergaulan dengan berbagai Ondernemings Directeuren (Direktur-direktur Perkebunan) dan orang-orang Bule sejenisnya sesuai dengan "rang en stand" (pangkat dan tingkat hidup) pegawai negeri Belanda. Rekreasi di "Societeit" yang hanya teruntuk bagi orang kulit putih yang arogan dan melihat rendah pada "inlander" yang patutnya (menurut mereka), hanya cocok sebagai jongos dan babu saja. Dalam satu kesempatan ia turut serta dalam satu Seminar mengenai Ilmu Pasti di Bandung dan menyampaikan satu kertas kerja yang berkenaan dengan Euclides. Mungkin disana pula ia bertemu dengan rekan-rekan seperjuangan dulu di Nederland dan atas dasar pertemuan ini ia memutuskan untuk berwira-swasta dan pindah ke Bandung. Ia mendirikan perusahaan asuransi yang dinamakannya "Assurantie Maatschappij Indonesia". Papan nama yang terpampang didepan kantor domana tercantum: "Indonesia"menarik perhatian dari seorang mahasiswa Technische Hoogeschool yang kebetulan liwat dengan bersepeda. Mahasiswa itu masuk dan bertemu dengan pemilik Assurantie Maatschappij ini. Ternyata mahasiswa tersebut adalah Soekarno, bakal Presiden Pertama Republik Indonesia. Meninjau kembali sambil menulis ini, hanyalah dua pertanyaan yang timbul pada benak saya pertanyaan pertama adalah: "Mengapakah mesti begitu sulit untuk Ayah saya agar ia dapat mengajar kepada anak-anak bangsanya sesuai dengan haknya dan keahliannya?" Jawaban akan pertanyaan ini bagi kita telah tahu dan tak perlu dikemukakan disini lagi. Jawabannya adalah sama dengan jawaban pada pertanyaan: "Mengapakah Ayahanda dari Sam Ratu Langie yakni Jozias Ratu Langie (Kakek saya) setelah selesai dengan studinya menjadi guru di negeri Belanda ditahun 1887 - 1889 tidak diizinkan meneruskan pendidikan untuk menjadi pendeta karena ditolak oleh Pemerintah (kolonial) Nederlandsch Indie?" Sedangkan pertanyaan kedua adalah: "Mengapakah setelah lebih dari 50 tahun ayah saya meninggal masih ada yang merasa perlu untuk menjelekkan namanya dengan melancarkan berbagai isyu?" Bahkan sekarang juga masih ada dilaksanakan "penelitian" yang bertujuan dijadikan isyu baru untuk mendiskreditkan Alm. Ayah saya.
Pertanyaan kedua ini tidak terjawab semudah pertanyaan pertama, namun kita simak sendiri-sendiri saja.
An important letter of Dr.G.S.S.J. Ratu Langie and a missing attachment. In my folder there are copies of 7 (seven) letters of Sam Ratu Langie, alladdressed to the Minister for Colonial Affaires. I have scanned the sixth letter and the resuld is on Exhibit 4:
Exhibit 4.
In essence the letter conveys the following informations: That on 17 December 1918 he obtained his "Doctors degree" in Mathematics and Physics (Philosophy). Also that he had information on a vacancy for a teacher in mathematics at a secondary school in Indie and he applies for to fill this vacancy. He also informed that attached with that letter was an "Afschrift" (written copy) of his Doctor Certficate, of which the original has already been seen by "His Excellency the Secretary of the Minister". But it is truly a pity that this document (the written copy of the Doctor Certificate) was not in the file which I received. How this could be possible I do not understand until now. Further documents are about the approval of the Minister for the appointment of Dr. G.S.S.J. Ratu Langie as a science teacher at a secondary school, whilst his wife became an officer at the health department, each of them with good renumeration to be able to live well as a colonial official in Netherlandsch Indie.
It turned out later that Sam Ratu Langie only was at that position for somewhat more than two years. I can only make guesses about the reason why he quit the job for which he had fought fiercely for years, but one of the reasons could be that he was fed up with a life as a "black Dutchman" amongst plantation directors and other white people of that kind, according to "rang en stand" (position and standing) as expected of a Dutch Government official. Recreation at the "Societeit" which is only for arrogant whites who in fact look down at the "inlander" who (according to them) are only suitable to become jongoses and maids. There was an opportunity for him to attend a Seminar on Mathematics in Bandung where he presented a paper on something related to Euclid. It was possible that there he met again with his "old comrades" from the time he studied in Holland. He decided to become self employed and opened an insurance company: "Assurantie Maatschappij Indonesia". The billboard with the company name "Indonesia" attracted the attention of a student of the Technische Hogeschool who happend to be a passerby on his bike. The student entered the office and met with the owner of the company. It turned out that the student involved was Soekarno, the future first President of the Republic of Indonesia.
In retrospect whilst writing this there are only two questions which have to be answered: "Why must was it made so difficult for my father to be able to teach youngsters of Indonesia according to his rights and expertise?" The answer to this question is clear to everyone now and might be the same answer as to the question: " Why was it that the father of Sam Ratu Langie: Jozias Ratu Langie, after finishing his teachers education in Holland in (1887 - 1889) was not allowed to proceed to study to become a cleric by the colonial government of Nederlandsch Indie?" Whilst the second question is: "Why must it be so that even more than 50 years after my fathers death it is for some people still of importance to discredit him with sorts of issues?" Even now there are some people doing "research" with the objective to find new issues to discredit my father. The answer to this question is not easy to be found, but let each of us try to find out anyhow.
Menghadap Presiden Soekarno di Istana Yogyakarta pada 22 Maret 1948,setelah dilepaskan oleh Belanda dari pengasingan di Serui, Papua (Visiting President Soekarno in the Yogyakarta Palace on March 22nd,1948 after release from exile in Serui, Papua, by the Dutch colonial government)
REFERENCES: 1. "In het land van de overheerser" Harry A. Poeze, Foris Publications, Dordrecht, Holland (1986), pages 104-7, 111-2, 116, 120, 122, 125, 12930, 136-8, 156 2. Inv. Nr. 1804 Ministerie van Kolonien (1901-1950), Alg Rijksarchief Depot (87 pages) 3. Inv. Nr. 1939 Ministerie van Kolonien (1901-1950), Alg Rijksarchief Depot (32 pages)
4. Other Documents and Communications. UCAPAN TERIMA KASIH / ACKNOWLEDGEMENT Terima kasih kepada Ny. Madelon HARLAND di Melbourne, Australia untuk tip mengenai item # 2 dan 3 diatas Many thanks to Mrs. Madelon HARLAND of Melbourne, Australia for her tips on item # 2 and 3 above.