![](https://static.isu.pub/fe/default-story-images/news.jpg?width=720&quality=85%2C50)
4 minute read
Opinion
O O P P II N N II O O N N Dilematika Lulusan
Pendidikan Vokasi dan Sarjana Farmasi
Advertisement
Pendidikan vokasi → pendidikan tinggi program diploma dengan keahlian terapan dimana rasio antara praktikum dan teori dalam kurikulumnya adalah 70:30. Pendidikan akademik → pendidikan tinggi program sarjana dengan arahan ke penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi
Dari definisi tersebut dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan profil lulusan yaitu pada D3 yang fokus pada keahlian terapan, sementara pada S1 fokus pada keilmuan.
Dalam dunia pekerjaan farmasi kita mengenal istilah Tenaga Kefarmasian yang terdiri dari apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). TTK adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. Dari definisi yang diambil dari PP no 51 tahun 2009 tersebut dapat diketahui bahwa seorang lulusan sarjana farmasi dan lulusan D3 farmasi berada ditingkat yang sama yaitu TTK
Bagaimana hal tersebut menjadi sebuah permasalahan?
Secara tingkat pendidikan, dengan kompetensi yang berbeda, S1 farmasi setara dengan D4 farmasi dan lebih tinggi dibandingkan D3 farmasi. Namun, dalam dunia pekerjaan kedudukannya sama yaitu TTK. Dengan tingkatan pendidikan yang lebih rendah, recruiter pekerjaan akan cenderung untuk merekrut lulusan D3 farmasi karena profil lulusan yang terampil dan lebih siap untuk bekerja dibandingkan profil lulusan S1 farmasi yang lebih fokus dalam keilmuaan. Dengan tingkatan D3 farmasi yang lebih rendah, recruiter juga dapat memberikan gaji yang lebih rendah sehingga preferensi terhadap lulusan D3 dalam prospek pekerjaan juga meningkat.
Dimana akar permasalahannya?
Seorang sarjana S1 farmasi seharusnya disiapkan untuk menjadi seorang apoteker melalui Program Studi Profesi Apoteker (PSPA). Pada pendidikan kedokteran, Prodi sarjana kedokteran dan profesi kedokteran sudah menjadi satu paket. Sementara pada pendidikan kefarmasian, masih ada ketimpangan antara Prodi S1 Farmasi dan PSPA. Isu mengenai moratorium farmasi memang sudah lama meluap namun nyatanya jumlah PSPA dan S1 Farmasi akan sulit untuk diseimbangkan. Dan ternyata setelah dikaji lebih dalam, permasalahan tersebut dapat mengakar ke dilematika dalam memilih Program Pendidikan Kefarmasian. Seorang lulusan S1 Farmasi idealnya dipersiapkan untuk menjadi seorang apoteker melalui PSPA dan mendapat STRA. Namun pada realitinya PSPA tidak mencukupi sehingga dengan tuntutan pekerjaan mereka harus mengambil uji kompetensi lain yaitu STRTTK. Di sisi lain, seorang lulusan D3 farmasi juga mendapat gaji yang lebih rendah dibandingkan S1 Farmasi dengan kemungkinan beban kerja yang sama.
Solusi
Pengesahan RUU Kefarmasian yang selanjutnya juga mencakup mengenai pendidikan kefarmasian Bijak dalam memilih Program Pendidikan Kefarmasian yang akan dijalani dengan menimbang kompetensi yang akan didapat
O O P P II N N II O O N N
Istilah “Zero Apoteker ” di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Isu ini muncul dari fakta terkait kondisi
penerimaan CPNS 2 tahun terakhir yang tidak lagi mengutamakan apoteker maupun S1 Farmasi untuk tenaga Pengawasan Farmasi dan Makanan Ahli Pertama.
Berdasarkan yang disampaikan oleh apt. Chazali H Situmorang yang saat ini terpilih menjadi Ketua Dewas PP IAI pada Kongres IAI ke XXI, Recruitment CPNS di lembaga pemerintah tidak lepas dari sebuah subjektivitas kebijakan Kepala BPOM yang memang kebetulan bukan seorang apoteker tetapi sarjana Teknik lingkungan dari ITB. Kepala BPOM juga memang sudah beberapa periode tidak dipimpin oleh apoteker, silih berganti dengan dokter, dan sarjana lainnya.
Peran apoteker di BPOM dapat dilihat dari job
desknya. Apoteker berperan dalam mengevaluasi obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan. Apoteker juga mengawasi obat yang beredar di pasar melalui audit rutin, pengujian sampel, dan monitoring efek samping obat dan obat tradisional. Apakah ada profesi lain yang dapat melaksanakan tugastugas itu, secara jujur jawabannya adalah “Tidak Ada.”
Untuk memastikan persoalan zero apoteker di BPOM dan menyimak apa yang menjadi tugas utama/peran apoteker di BPOM yang diuraikan di atas, kita dapat melihat formasi recruitment CPNS BPOM tahun 2021. Hal ini tertuang dalam Pengumuman BPOM Nomor: KP.03.01.2.24.07.21.22 Tentang Revisi Pengumuman Penerimaan CPNS Badan POM Tahun Anggaran 2021, yang diterbitkan pada tanggal 23 Juli 2021.
Pada halaman 6, latar belakang formasi yang dibutuhkan untuk jabatan Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Pertama adalah : S-1 Teknik Lingkungan/S-1 Teknik Kimia/ Dokter/S-1 Kimia/ S-1 Biologi/S-1 Gizi/S-1 Teknologi Pangan/S-1 Kesehatan Masyarakat/S-1 Kriminologi/S-1 Hukum Pidana/Dokter Hewan/S-1 Kriminologi/S-1 Hukum Pidana/S-1 Ilmu Komunikasi /*Apoteker*.
Nah, Kita dapat menyimpulkan bahwa BPOM untuk prioritas kebutuhan jabatan Pengawas Kefarmasian dan Makanan Ahli Pertama adalah S1 bukan Farmasi/Apoteker. Profesi apoteker ditempatkan pada urutan paling akhir. Suatu kebijakan yang “menohok” profesi apoteker. Lebih ironinya lagi, Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Ketua Seleksinya yang merupakan seorang apoteker. Hasilnya sudah dapat diduga. Hanya sedikit sekali apoteker yang diterima untuk penempatan di 34 provinsi.
Memang tidak ada jaminan pengawasan obat dan makanan berjalan dengan baik ditangan apoteker yang integritas dan moralitasnya rendah. Akan tetapi, Hal tersebut akan lebih remuk lagi jika pengawasan obat dan makanan berada di tangan oknum yang tidak berkompeten dan tidak profesional
Jikalau kebijakan zero apoteker terus dilanjutkan, niscaya akan semakin banyak persoalan-persoalan obat dan makanan yang terjadi di masyarakat. Contohnya adalah persoalan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) di industri, kontrol izin edar obat dan makanan, penatalaksanaan obat dan makanan, serta penetrasi obat-obat ilegal yang membahayakan masyarakat dan perekonomian Indonesia.