IN BETWEEN Legal Artist Series/03/MES56/LA/2011
Kurniadi Widodo Curated by Akiq AW
IN BETWEEN Pengantar Kuratorial | Akiq AW Di balik gambar-gambar yang sederhana tapi indah ini, sebenarnya terdapat kerumitan yang aku temukan setelah banyak mendiskusikannya dengan kolega-kolegaku di MES 56. Karya-karya Kurniadi Widodo bukanlah hal baru, jika kita perhatikan bagaimana pilihan subject matter dan teknikartistiknya. Orang akan membandingkannya dengan karya-karya Agung Nugroho Widhi, Paul Kadarisman, dan termasuk dengan beberapa karya awalku. Itu sah dan beralasan untuk membandingkannya. Namun, sebagai kurator dalam pameran ini, aku akan memberikan gambaran tentang kerumitan yang aku nyatakan diatas, yang nantinya akan memberikan pemahaman kepada kita mengapa karya-karya Kurniadi Widodo ini berbeda. 1. Jika kita lihat arsip digital Kurniadi Widodo, maka kita akan menemukan dua koper besar yang berisi dua kecenderungan yang berbeda, yang ternyata secara berbarengan dipraktekkan olehnya hingga sekarang. Satu koper berisi karya-karya human interest, dengan moment-momen yang dia pilih secara menakjubkan; di koper lain adalah karya-karya bergaya tipologi modern ala Dusseldorf School, yang turunannya bisa anda lihat dalam pameran kali ini. Setelah aku amati dan berdiskusi dengannya, kedua gaya ini memiliki kesamaan pada bagaimana ia menggunakan salah satu fitur terkuat dari fotografi, yaitu framing. Jika dalam karya-karya berobyek manusia-peristiwa yang berbasis momen ia mengeksploitasi framing fotografi secara time framing, maka dalam karya yang lainnya ia menggunakan space framing. Dalam time framing, ia akan mengamati peristiwa, menemukan alurnya, dan memutuskan kapan ia harus merekamnya. Sebuah momen dia pilih untuk dimasukkan ke dalam frame sedangkan momen yang lain akan ia tinggalkan. Sedangkan space framing merujuk pada praktek framing yang mengacu pada satuan ruang yang harus ia negosiasikan, antara dunia nyata yang ada didepannya dengan frame fotografis sebagai ruang kerjanya. Space framing ini merupakan framing sebagaimana yang dipahami umum selama ini. Khusus untuk karya-karya yang ada dalam pameran ‘In Between’ ini, aku melihat bahwa praktek framing yang ia lakukan merupakan kunci yang membedakannya dengan karya-karya yang dihasilkan fotografer lain. Dalam prakteknya, Kurniadi Widodo tidak mendasarkan diri pada hubungan-hubungan antar obyek yang terberikan, bahwa kenyataan tidak dia rekam sebagaimana adanya. Dialah yang mengatur hubungan-hubungan antar benda tersebut. Coba amati bagaimana ia dengan sengaja mengambil angle tertentu sehingga sebuah tugu dan kebun jagung menjadi sebuah peristiwa baru yang seolah memiliki hubungan; atau bagaimana sebuah gambar kuda di tembok, kabel listrik dan bayangannya, dan batang-batang pohon menjadi sebuah kesatuan peristiwa. Dari kedua gambar diatas, kita bisa nyatakan bahwa hubungan-hubungan yang terjadi tidaklah ada begitu saja, tapi dengan sengaja diberikan dan dinyatakan oleh fotografernya. Begitupun jika kita liat pada karya-karya lainnya; kita akan minimal menyadari bahwa ada upaya aktif dari fotografernya untuk memberikan sebuah pemahaman baru atas kenyataan yang ia rekam tersebut.
Lalu kemudian muncul pertanyaan: Kan karya-karya fotografer lain juga seperti itu? Memberikan pemahaman dan atau hubungan-hubungan baru atas sebuah fenomena yang ia rekam? Lalu dimana letak perbedaanya? Menurutku, letak perbedaannya adalah pada bagaimana hubungan-hubungan itu dibangun. Banyak sekali seniman yang membangun penyataan tidak dalam skala satuan gambar, tapi pada skala antar gambar. Maksudnya, asumsi yang dibangun si seniman berlandaskan pada hubungan antara foto satu dengan foto yang lainnya, yang kemudian dia nyatakan sebagai sebuah kebenaran atau pemahaman baru yang ia ajukan. Sebaliknya, Kurniadi Widodo melakukannya dalam satuan gambar, artinya ia menyusun hubungan-hubungan antar obyek itu ketika memutuskan dari sudut mana dan dengan teknik apa ia akan merekamnya. Peristiwa atau hubungan baru antar obyek yang ia bangun ada dalam tiap-tiap gambar yang ia hasilkan. Karya dalam ‘In Between’ ini mampu secara mandiri berdiri sendiri, karena premis dari si seniman telah ada dalam setiap gambar yang ada dalam pameran ini. 2 Pilihan pada Kurniadi Widodo sebagai Legal Artist #3 didasarkan pada pemahaman bahwa kedepannya, karya-karya seperti ini akan tetap memiliki ruang pengembangan dan apresiasi yang cukup besar. Jika aku lihat beberapa tahun terakhir, memang ada beberapa anak muda yang memiliki gaya seperti ini namun menurutku tidak cukup konsisten sehingga tidak menghasilkan sebuah karya utuh yang bisa dipertanggung jawabkan di depan publik. Kurniadi Widodo memiliki konsistensi, meski sebenarnya ia masih dalam proses mencari gaya dia sendiri. Mungkin perlu juga aku berikan sedikit gambaran bahwa Program Legal Artist ini tidak melulu soal seniman muda berbakat atau karya yang bagus, namun lebih jauh menuntut bahwa artist dan karya yang di pamerkannya harus memiliki kekuatan di inovasi, tradisi dan masa depan. Yang di pertimbangkan adalah bahwa praktek kesenian yang dijalankan memiliki akar yang kuat serta memiliki kemungkinan pengembangan, baik dari sisi wacana hingga teknikartistiknya. Sedangkan inovasi yang aku maksud adalah pada penemuan cara-cara baru, subject matter serta estetika-estetika baru. In Between dalam presentasinya mencoba meyakinkan publik, bahwa keraguan untuk menjadikan karya seni lebih fungsional bisa diatasi dengan cara yang cerdas. Pilihan untuk menjadikan karya-karya dalam In Between ini menjadi wallpaper sebenarnya berangkat dari pemahaman bahwa teknologi dan material wallpaper ini sudah jamak, dan kemungkinan-kemungkinan aplikasinya dalam fotografi juga bukan barang baru. Persoalannya hanya perlu mencari kemungkinan-kemungkinan artistik yang sesuai, disini Legal Artist Series memberikan penegasan bahwa teknik dan material ini acceptable... anda sendiri bisa menilainya. Judul pameran ‘In Between’ mencerminkan posisi seniman dalam alur kerja dan apresiasi karyanya, dimana ia berada diantara kenyataan sebagaimana yang dikenal, dengankenyataan fotografis yang ia nyatakan ke publik. Ia menjadi agen atas agenda dia sendiri. Selain itu, ‘In Between’ juga menggambarkan bahwa sebagai sebuah ungkapan, karya-karya fotografi selalu mengalami perubahan; pertentangan, negosiasi dan kompromi. Karena pada dasarnya, gambar-gambar itu tak berarti apa-apa. Manusialah yang memberikan makna, mencari arti untuk mengerti. Akhirnya, selamat menikmati. Salam.
TROUBLE SHOOTING Riksa Afiaty
Kurniadi Widodo melihat dunianya sebagai permasalahan visual yang tidak menyenangkan dan carut marut, maka Wid -panggilan akrabnya, memutuskan untuk menseleksi apa yang dia lihat menjadi dunia yang seharusnya dia inginkan untuk dilihat. Dunia yang terekam oleh kameranya adalah dunia pemangkasan dari realita utuh yang nampak. Memotret menjadi pilihan untuk menseleksi dan membingkai objek, secara sadar Wid melihat potensi untuk menyelesaikannya dengan mengolah bentuk-bentuk estetik yang ada di dunianya nyata menjadi sebuah bentuk baru. Modus Wid dalam berkarya adalah dengan de-obyektifikasi (de-objectification) benda-benda sekitar, benda-benda yang biasa kita lihat diubah dan dimaknai ulang dan diberikanya sebuah konsep ideal di kepalanya. Dia melihat benda-benda tidak sebagai objek yang biasa kita lihat dengan indra penglihatan, dia melihat karakter yang lebih spesifik atas benda-benda itu sebagai garis, bentuk dan warna. Dan seperti itu pulalah ia mengajak kita melihat melihat dunia ini; melalui dunia lain yang ada di kepalanya. Fotografi bagi Wid adalah sebuah pemecahan masalah atas berbagai persoalan visual di dunia nyata tanpa harus secara langsung mengubahnya. Dia secara sadar bergeser dan bergerak untuk menemukan sudut pandang, komposisi dan balance; hal yang ia sebut sebagai "memasukan elemen-elemen tanpa merusak yang lain". Bagi Wid, solusi itu terletak "in camera". Kita mengenal cara kerja ini dengan istilah framing, yaitu menempatkan atau tidak menempatkan sesuatu dalam foto. Seleksi tentang apa yang ingin dilihat dan yang tidak. Sebagian orang mungkin melewatkan apa yang dilihat oleh Wid, namun dia mempertimbangkannya sebagai sebuah kesatuan; dari detail, keseimbangan, komposisi dan sudut pandang. Secara teknik fotografi, framing adalah cara yang dilakukan untuk memfokuskan perhatian dan secara estetis memberi keseimbangan pada subjek yang difoto. Disini terjadi pertimbangan untuk memasukan atau membuang objek-objek yang akan disusun.Ini merupakan masalah estetika seorang fotografer, melakukan penyusunan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dan menemukan sisi estetis mereka sendiri yang unik. Wid bermain sangat rapih dan bersih, semuanya tertata dengan well-ordered. Dia memiliki kecenderungan untuk menyusun dan menempatkan pola dan garis secara proporsional. Gambaran yang terekam begitu sederhana dan mudah dicerna secara visual. Visual tersebut terbentuk dari pola; teksture, warna atau elemen fisik dalam sebuah scene, seperti yang terlihat dalam karyanya yang berupa barisan pagar, rerumputan hijau, dan pohon sebagai latar belakangnya. Garis digunakan untuk mengarahkan kepada sesuatu di dalam frame, seperti jalan setapak yang menuntun pada birunya langit, selang air yang membelah di tengah scene atau garis yang membagi gambar menjadi beberapa ruang imaginer dan ruang nyata. Dalam berkarya, ia tidak secara khusus setia pada sebuah tema tertentu sebelumnya. Ia menemukan banyak persoalan yang akan ia selesaikan secara fotografis, dijalanan, perkotaan, desa dan lanskap-lanskap. Setelah terbentuk kumpulan-kumpulan foto yang memiliki kecenderungan serupa, Wid membangun benang merah diantara gambar-gambar tersebut. Penyelesaian yang dilakukannya murni estetik dan sangat organik, yaitu mencari sebuah hubungan antara elemen-elemen yang secara visual membentuk karakter yang sama menjadi sebuah bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Problematik dunia nyata yang rumit disajikan dengan bahasa visual yang sederhana adalah cara yang lebih pas untuk menjelaskan karya Kurniadi Widodo. Yang ia lakukan seperti menyusun sebuah puzzle, dimana ada permasalahan yang berserakan dan solusi yang belum jelas namun terselesaikan melalui fotografi. Memotret dengan segala caranya adalah pendekatan untuk mengenali diri sendiri.
28 Dec 2011 - 10 Jan 2012 at Rumah Kelas Pagi Yogyakarta Jl. Brigjend Katamso, Prawirodirjan GM II / 1226 Yogyakarta- Indonesia Opening 27 Dec 2011 | 19.00 WIB Artist conversation 7 Jan 2012 | 16.00 WIB Programmer Ruang MES 56 | Curator Akiq AW Kurniadi Widodo | Lahir di Medan pada tahun 1985, mengenal dan mempelajari fotografi secara otodidak sejak tahun 2006 pada saat menempuh pendidikan di jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan di Universitas Gajah Mada (2003-2006), juga sempat kuliah di jurusan Fotografi di Akademi Desain Visi Yogyakarta (2006-2007), walau keduanya akhirnya ditinggalkan. Dalam berkarya di bidang fotografi memilih jalur dokumenter, dengan ketertarikan utama pada pendokumentasian visual perkotaan dan isu-isu urban. Pada tahun 2010, bersama 7 orang fotografer muda lainnya membentuk Cephas Photo Forum, forum fotografi yang berfokus pada diskusi aktivitas fotografi. Saat ini tinggal dan bekerja sebagai fotografer lepas di Yogyakarta. Riksa Afiaty | Lahir di Bandung tahun 1986. Tahun 2004 foto Henri Cartier-Bresson "behind Saint Lazare Station, Paris, France" (1932) mendorongnya untuk belajar fotografi. Pernah mengikuti workshop fotografi "Jalan-Jalan in Bandung (Discover Bandung)" with Rosa Verhoeve dan Henry Ismail di tahun 2008. Tahun 2009 magang sebagai asisten Public Relation di CCF Salemba Jakarta. Tahun 2010 mengikuti Workshop Penulisan Seni Rupa dan Budaya Visual di Ruang Rupa, Jakarta. Tahun 2011 mengikuti Cultural Studies Lecture dengan Yasraf Amir Piliang. Berpameran tahun 2010 SHE di Padi ArtGround, Bandung, dan Project # 00 dalam rangka ARTSEM di Galeri Semarang, Semarang. Tahun 2011 Project # 00, Photography and Video Exhibition, di Galeri Soemardja, Bandung, dan Beyond Photography, Ciputra Artpreneur, Jakarta bersama RISET INDIE: Polaroid. Saat ini bekerja pada beberapa artist initiative dan menjadi bagian dari tim riset RISET INDIE: Polaroid di Bandung dan mengembangkan minat menulisnya di bidang fotografi