EAST Exhibition
Ade Koesnowibowo • Anugrah Eko Triwahyono • Sapto Adji • Haryanto Tok Basuki 14 - 28 April 2010
Kosmopolit (cosmopolite) sebagai sebuah konsep sesungguhnya sudah memiliki akar sejarah yang
cukup panjang. Sebelum para pemikir (filsuf) Yunani Kuno menciptakan konsep kosmos, realitas kehidupan masih dianggap keos (chaos). Konsep kosmos dan chaos dipandang sebagai dua watak yang bertentangan. Chaos terjadi karena unsur-unsur realitas aktif di dalam dan bagi dirinya sendiri dan karenanya kehidupan menjadi tak menentu dan tak bertujuan.
Alkisah, ketika orang Yunani Kuno pada sekitar abad ke-6 SM mulai tertarik untuk mempertanyakan inti
dari segala sesuatu atau realitas maka menyeruaklah konsep kosmopolit tersebut, bahwa inti realitas adalah materi, air, udara, api, terbatas, tak terbatas, cinta, benci, dan sebagainya. Plato kemudian menghantar persoalan filosofis tentang realitas ini pada keyakinan adanya sebuah “perekat” atas semua unsur kehidupan yang memungkinkan tak menuju pada ketiadaan atau kehancuran. Bagaimana membayangkan bahwa sesungguhnya keos nyaris tak eksis apabila tanpa ada suatu “perekat” atas unsur-unsur kehidupan. Kenyataannya, semakin ke depan semakin pasti bahwa realitas memiliki orde, tatanan, dan perekat dari setiap unsur alam kehidupan yakni logos (kata). Jadi, kosmos tak lain adalah rekatan antar setiap unsur oleh logos. Kosmos bagi orang Yunani adalah sebuah harmoni, prinsip ketertiban, logos itu sendiri. Maka Plato dengan sangat yakin mendirikan sekolah pertama di dunia yang dinamakannya Akademia, dengan dasar logos. Guru Plato, Socrates, sebelumnya sudah memproklamirkan dirinya sebagai warga dunia, warga kosmos.
PARADOKS KOSMOPOLIT Tommy Awuy, Kurator
Kosmos dalam pengertian sekarang diartikan sebagai rekatan antar benua yang lebih akrab dengan
sebutan global! Keberadaan pengertian ini terlebih lagi ditentukan oleh keterbukaan diri oleh setiap negara menjadi ”pergaulan dunia” terutama sejak didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sudah tentu hal ini tak terlepas dari kekuatiran bersama atas ancaman-ancaman yang sangat signifikan atas harmoni kosmos dengan terjadinya Perang Dunia I dan II setelah dibelah oleh ”penjajahan semantik” menjadi Dunia Barat (Occidental) dan Dunia Timur (Oriental). Tertib kosmos didasari pada konstruksi perdamaian dengan simbol masing-masing negara yaitu bendera yang kemudian menjadi tidak lagi begitu signifikan dengan munculnya teknologi informasi.
Kosmos, global, wolrd, universe, manca negara, merupakan sederetan istilah atau konsep yang paralel
dan sebenarnya memiliki problematika yang cukup kompleks secara politis, kultural, terlebih bisnis. Pergaulan dunia pun tidak secara langsung menjamin harmonisasi secara utuh karena kita bisa memilah-milah sudut pandang dan membuat pengertian sendiri tentang apakah yang kita maksudkan dengan kosmos, cosmopolite?
Pameran kali ini dengan thema Cosmopolite di Philo Art Space oleh Kelompok EAST, tidak lain mengacu
pada masalah kompleksitas di atas. Memilih thema ini memiliki alasan tertentu, pertama atas pertimbangan keberadaan dari kelompok EAST itu sendiri dengan personnya masing-masing: Eko (Anugrah Eko Triwayono) Ade Koesnowibowo (Ade Ebo), Sapto Adji, dan HaryantoTok Basuki. Pertemanan mereka dibina sejak tahun 1980-an ketika kuliah di ASRI-Yogya (sekarang ISI) dan sekalipun HaryantoTok Basuki tinggal di Australia tetap saja pertemanan mereka langgeng. Sudah tentu, hal ini karena teknologi informasi telah menjadikan luasnya kosmos seperti ”kampung gede”
(global village) dan memungkinkan terjadinya kontak setiap saat. Lebih pasti lagi, semangat berkesenian merupakan dasar perekat bagi pertemanan mereka.
Alasan lainnya adalah perenungan mereka atas makna hidup tak pelak terpengaruh oleh isu-isu
keseharian yang melintas di hampir semua benak manusia seperti; kekuasaan, kekerasan, harapan, arogansi, optimisme, ketakberdayaan, dan sebagainya. Berbagai persoalan hidup seperti ini memang sama-sama mengemuka dan seolah mengiang dan terus melayang-layang bebas di ruang kesadaran maupun ketaksadaran manusia masa kini, bahwa di balik kecanggihan pencapaian teknologi yang dihasilkannya ternyata seringkali ia masih terpedaya oleh naluri-naluri yang menutupi akal sehat. Situasi ataupun kondisi paradoksal kehidupan antara awal anjakan dan lompatan jauh kedepan tetap saja terus memunculkan banyak persoalan kosmopolit yang sangat menarik untuk dijadikan alasan kreativitas.
Kelompok EAST tidaklah bermaksud mengangkat semua persoalan kosmopolit dengan tampilannya
sebagaimana kita bisa saksikan sehari-hari di media massa. Mereka tidak menangkap atau merekam kesemarakan dan kesemrawutan peristiwa sebagaimana adanya lalu terkesan verbal namun lebih melihat pada kesankesan kemanusiaan yang dimunculkannya. Ujung-ujungnya kosmopolit bagi mereka sesungguhnya merupakan masalah antropologis, pergulatan manusia itu sendiri dalam memaknai keseharian hidupnya, bergulat dengan ruang, warna, dan tingkah laku yang bukan hanya dipahami dan dipraktekkan oleh orang per orang tapi oleh antar-individu. Berharap hidup dalam ruang dan warna dan perilaku yang menyejukkan hati dan semangat untuk memaksimalisasikan potensi diri tentu saja bersemayam di setiap benak manusia dan itulah sebenarnya yang ingin dicapai oleh konsep kosmopolit itu.
Eko misalnya sangat mengedepankan dimensi kemanusiaan yang terkait langsung dengan ruang
hidup keseharian dalam karya-karyanya. Ia merefleksikan realitas yang nampak tidak nyaman untuk dihuni karena ketimpangan perilaku manusia itu sendiri termasuk dirinya sendiri sebagai subyek di dalamnya. Nampaknya ketimpangan, penderitaan, kesengsaraan tidak beranjak jauh dari sejarah manusia dan khususnya sejarah bangsabangsa. Problem kosmolopit masih menyisakan proyek keadilan (justice) yang harus diselesaikan sekalipun jelasnya sisi antropologis manusia itu sendiri yang seringkali menghalang, misalnya pada usaha pengambilan keputusan. Karya berjudul Sama-Sama Kepala Batu adalah contoh satirik dari masalah relasi antar manusia yang menyebabkan hidupnya gampang terkotak dan masing-masing mengambil posisi yang tak mengenakkan.
Merenungkan fenomena kosmopolit bagi Eko harus dimulai dari kaki kita sendiri untuk mencoba berdiri
tegak. Kelima karyanya merupakan sebuah narasi anak negeri yang pada dasarnya melangkah masih terseokseok di antara kemegahan dan kemewahan yang membekukan. Kegemasan untuk eksis acapkali berakhir dengan ketidakberdayaan secara total sehingga diri tak lagi mampu bergerak, bahkan lebih jauh lagi matapun tak sanggup memandang dunia kehidupan sekitarnya sebagaimana pada karyanya No Action. Eko sengaja mencampuraduk sikap optimistik dan pesimistik untuk kemungkinan kita bisa belajar mengambil sikap terhadapnya dan jangan lupa, bagaimanapun tetap masih saja ada sesuatu yang kuat tetap tinggal, yakni rasa cinta betapapun negeri ini coreng-moreng adanya, My Lovely Country.
Ade Ebo di sisi lain tapi dengan asumsi yang hampir sama menampilkan geliat pencarian diri manusia.
Teknik dan ekspresi estetiknya tak beranjak jauh dari pilihannya semula, dunia perwayangan namun terus berusaha menisik relevansinya dengan kondisi kekinian. Kita lihat saja dan selayaknya bertanya bagaimana relasi antara tampilan tokoh-tokoh perwayangan, laptop, fesyen kontemporer, minyak, rakyat kecil, red wine,dan sebagainya? Sekilas unsur-unsur tersebut hanya dimunculkan begitu saja dan nyaris tanpa makna. Namun tak terhindarkan justru gejala deformatif seperti itu merupakan gambaran yang tidak bisa dipaksakan untuk menerima suatu referensi lalu dari
2
sana memampukan kita mendefinisikan realitas.
Ade dengan penuh rasa optimisme menganggap bahwa apa yang kita pahami sebagai kondisi kosmopolit
adalah sebuah kelit-kelindan berbagai unsur yang dari sana justru bisa membebaskan imajinasi kita untuk memaknai hidup. Kenyataan demikian mencolok mata bahwa pemisahan secara dikotomistik antara realitas yang masuk akal dan tidak masuk akal justru dengan sendirinya mempertanyakan akal itu sendiri. Lagi-lagi paradoks tidak bisa dihindari betapapun di satu sisi keinginan kuat membangun rasionalitas itu ada. Watak manusia modern terutama urban senantiasa menuju pada hasrat pemenuhan kebutuhan hidup tak peduli masih terasa kuat kendala-kendala ekonomi dan pengetahuan yang harus diatasi. Media massa seakan tak pernah istirahat sedetikpun membombardir kegemerlapan hidup lewat iklan-iklan yang terasa wajib untuk memilikinya meski bukan sebagai kebutuhan dasar dan sebenarnya tak cukup punya modal untuk itu. Dan media massa pun di balik itu menawarkan janji-janji dengan berbagai referensi termasuk menghidupkan kembali primbon sebagai petunjuk mencapai kesuksesan. Ade sangat jelas menyampaikannya lewat karya berjudul Ketig Reg....Karakter kosmopolit atau globalisme di sini adalah primbonisme.
Sedangkan Sapto Adji memandang kosmopolit adalah sebuah paradoks antara kekerasan dan kelembutan
sebagaimana dengan mencolok ditampilkannya dalam karya Raflesia dan Doa dari Biara. Konsep kosmopolit di sini mencuat sebagai bentukan yang bernapaskan kekuasaan sebagaimana pada karya Kosmos Milikku, The Best Actor dan Drakula Tanah Leluhur, dan kenyataannya hal itu tak bisa lepas dari simbol maskulinitas dan feminitas; bunga, doa, dan peluru.
Kekuasaan pada intinya selalu menampilkan dua wajah arogansi dan rayuan. Sapto mengambil contoh
yang demikian dekat untuk sekarang ini sebagaimana terlihat pada karya Kosmos Milikku. Wajah dalam karya ini memiliki referensi kuat sebagai wajah Presiden Amerika, yang bagi Sapto dilihat dari sudut kekuasaan maka selayaknyalah seorang presiden dari negara adikuasa untuk bersikap arogan jika ingin disegani oleh kawan maupun musuh-musuhnya. Hanya orang yang memiliki jiwa arogan yang mampu membuat janji-janji, lalu apakah itu akan ditepati atau tidak, urusannya belakangan saja dan ketika janji-janji itu disampaikan akan dengan sendirinya dibangun oleh senyuman semanis mungkin.
Sementara HaryantoTok Basuki menampilkan pemahamannya tentang kosmopolit lebih sebagai wilayah
bentuk dan dengan demikian dia membacanya sebagai simbol khususnya pada karya-karyanya yang bergaya abstrak. Hal ini mengingatkan kita pada awalnya konsep kosmos itu muncul. Kosmos sebagai sebuah konsep memang adalah dunia abstrak menurut Plato, logos, dan hanya bisa kita pahami lewat penalaran (rasio).
Ruang-ruang dinamis dan warna-warna ceria bagi Tok Basuki menyimbolkan optimisme dan harapan.
Namun pada karya figuratif berjudul Hero kita mungkin saja terkejut dan digoda untuk bertanya, optimisme dan harapan seperti apa kalau wajah sebenarnya dari simbol ternyata adalah sebuah tengkorak? Belum sempat kita bersoal-jawab secara tuntas, kita sudah disodorkan lagi dengan pertanyaan, apakah maksudnya dengan figur badak sebagai Penjaga Alam? Atau dilihat sebaliknya pun, dari Penjaga Alam ke Hero misalnya, tetap saja simbol-simbol ini menyimpan misteri atau lebih tepatnya paradoks. Lagi-lagi kosmopolit tak lain adalah sebuah realitas paradoksal, dan akan di sana kita bermain-main, di satu sisi ruang kita seperti tercengkram oleh struktur yang tak kenal kompromi tapi di satu sisi dalam ruang yang sama itu kita pun bisa dengan seliar mungkin berimajinasi. Selamat berpameran!
3
Ade Koesnowibowo /Ebo Badranaya Bercermin, Acrylic on Canvas, 200 x 185 cm
4
Ketik REG...., Acrylic on Canvas, 183 x 137.5 cm
5
Nyanyian Putri Negeri, Acrylic, Colour Pencil on Canvas, 100 x 120 cm
6
Rembulan Jejak Matahari, Acrylic on Canvas, 140 x 200 cm
7
Anugrah Eko Triwahyono Sisi Gelap Sisi-sisi Gelap, Oil on Canvas, 200 x 140 cm
8
Sama-sama Kepala Batu, Mixed Media on Canvas, 200 x 140 cm
9
No Action, Oil on Canvas, 193 x 140 cm
10
Berusaha Untuk Berdiri Tegak, Mixed Media on Canvas, 200 x 140 cm
11
Sapto Adji Kosmos Milikku, Oil on Canvas, 115 x 170 cm
12
The Best Actor, Oil on Canvas, 115 x 170 cm
13
Dracula Tanah Leluhur, Oil on Canvas, 140 x 140cm
14
Doa Dari Biara-Dalai Lama, Oil on Canvas, 165 x 165 cm
15
H a r y a n t o To k B a s u k i Hero, Resin Colour and Acrylic on Canvas, 140 x 120 cm
16
Penjaga Alam, Resin Colour and Acrylic on Canvas, 120 x 200 cm
17
Untitled, Resin Colour and Acrylic on Canvas, 140 x 120 cm
18
Untitled#2, Resin Colour and Acrylic on Canvas, 140 x 120 cm
19
List of Artwork Ade Koesnowibowo
Anu g r a h E k o Tr i w a h y o n o
Nyanyian Puteri Negeri - 100 x 120 cm Acrylic, Colour Pencil on Canvas - 2010
Sama-sama Kepala Batu - 200 x 140 cm Mixed Media on Canvas - 2009
Rembulan Jejak Matahari - 140 x 200 cm Acrylic on Canvas - 2010
No Action - 193 x 140 cm Oil on Canvas - 2010
Ketik Reg ‌ - 183 x 137,5 cm Acrylic on Canvas - 2010
Sisi Gelap Sisi-sisi Gelap - 200 x 140 cm Mixed Media on Canvas - 2009
Krisis Bahan Bakar - 200 x 140 cm Acrylic on Canvas - 2010
Berusaha untuk Berdiri Tegak - 200 x 140 cm Mixed Media on Canvas - 2009
Badranaya Bercermin - 200 x 185 cm Acrylic on Canvas - 2010
My Lovely Country - 193 x 140 cm Oil on Canvas - 2010
20
S ap to Ad ji
Har y ant o To k B a s u k i
The Best Actor - 115 x 170 cm Oil on Canvas - 2009
Penjaga Alam - 120 x 200 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2009
Kosmos Milikku - 115 x 170 cm Oil on Canvas - 2009
UNTITLED#1 - 140 x 120 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2009
Doa dari Biara (Dalai Lama) - 165 x 165 cm Oil on Canvas - 2009
UNTITLED#3 - 140 x 120 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2010
Dracula Tanah Leluhur - 140 x 140 cm Oil on Canvas - 2010
HERO - 140 x 120 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2009
Raflesia - 165 x 165 cm Oil on Canvas - 2009
MORNING-GLORY - 140 x 120 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2009
UNTITLED#2 - 140 x 120 cm Resin Colour and Acrylic on Canvas - 2010
21
B I O D ATA Ade Koesnowibowo / Ebo TempatTanggal lahir: Jakarta , 22 November 1961 PENDIDIKAN: •1988: Lulus SI/Seni Lukis/Fakultas Seni Rupa dan Disain “Institut Seni Indonesia” Yogyakarta; •2008: Memperoleh Sertifikat Pendidik/Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan dinyatakan sebagai GURU PROFESIONAL bidang studi GURU KELAS, dari Universitas Negeri Jakarta 2008. AKTIFITAS PAMERAN: •Pameran Beber Seni ke XII, “Gebrah Guru Gambar” di Taman Budaya Yogyakarta. 2009; •Pameran ”Indonesia; Art Award For Teachers” di Lobby Kantor Pusat Mendiknas Senayan, Jakarta. 2008; •Festival Seni International II ”Indonesia Art Award For Teachers” di Galeri PPPPTK Yogyakarta. 2008; •Pameran Lukisan bersama ‘reKREASI 80’ Yogya National Museum, Yogyakarta Indonesia 2007 PENGHARGAAN: •Penghargaan Karya Sketsa Terbaik dari ASRI,Yogyakarta 1981; •Nominasi karya lukisan terbaik dalam Dies Natalis II ISI Yogyakarta 1986; •Nominasi karya lukisan terbaik dalam Dies Natalis IV ISI Yogyakarta 1988; •The Best 5 in the Teachers’ Painting Competition and Exhibition of International Arts Festival, Yogyakarta 2008; •Memperoleh Certificate of Appreciation dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai Ketua Dewan Juri Lomba Melukis dan Mewarnai Bagi Putra-putri Keluarga Besar BPKP dalam rangka Hari Ulang Tahun BPKP ke 24. Jakarta 2007; •Penghargaan Juri Lomba Melukis Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depertemen Pendidikan Nasional di Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta, 2008 •Penghargaan Juri Lomba Seni lukis Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depertemen Pendidikan Nasional pada Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Sekolah Khusus/SLB di Yogyakarta, 2009
Anugrah Eko Triwahyono PENDIDIKAN: •SLTA: Tahun 1979/1980 di Probolinggo, Jawa Timur; •Seni Lukis/ Fakultas Seni Rupa dan Disain “ Institut Seni Indonesia” Yogyakarta tahun 1980-1987 AKTIFITAS PAMERAN: •2007: Pameran bersama RE-Kreasi 80, Yogyakarta; •2004: Pameran tunggal, Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta; •1993: Pameran tunggal, “KARTA PUSTAKA” Yogyakarta; •1992: “Binal Exsperimental ARTS”, Yogyakarta FKY IV,Yogyakarta; •1990: BIENNALE II, Yogyakarta FKY II,Yogyakarta; •1987: Mendapat penghargaan AFFANDI PRIZE di ISI Yogyakarta; •1989:FKYI, Yogyakarta Seniman Taman Sari, Yogyakarta; •1988: BIENNALE I, Yogyakarta; •1987: Pameran bersama Dies ISI ke3, Yogyakarta; •1986: Pameran bersama “Pameran Lima Puluh Pelukis Jakarta” Jakarta; •Pameran bersama Dies ISI ke2, Yogyakarta •1985: Pameran bersama Pelukis Muda Indonesia BIENNALE ke6,Jakarta; •Pameran bersama Berempat di Balai SENI RUPA Fatahillah2, Jakarta; •1984:Pameran bersama Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta; •Pameran bersama Pelukis Muda Indonesia BIENNALE ke5,Jakarta; •1982: Pameran bersama “ENVIRONMENTAL ART” di Parangtritis,Jogja; •1981: Pameran bersama Hima STRSI ”ASRI” di monument Persatuan Surakarta; •1979: Mendapat hadiah I Kejuaraan Seni Lukis se Kodya Probolinggo, Jatim PENGHARGAAN: •2008:Mendapat nominasi Lomba desain batik khas Probolinggo,Jawa Timur; •1985: Mendapat penghargaan “Karya Terbaik Seni Lukis”di ISI Yogyakarta
22
Sapto Adji Tempat Lahir: Magelang PENDIDIKAN Seni Lukis/ Fakultas Seni Rupa dan Disain “ Institut Seni Indonesia” Yogyakarta tahun 1980-1987 AKTIFITAS PAMERAN: •Aktif Pameran Tunggal dan bersama dari tahun 1980 -2010; •Mendirikan Gress Studio sebagai Pekerja Seni Dekorasi Event baik di Mall; •Hotel, Ruang pamer, Apartemen dan lain-lain
Haryanto Tok Basuki Born April1957: Purbolinggo, Java, Indonesia. EDUCATION: 2002-2004 Honours Visual Arts, University of South Australia, majoring in painting; •1989-1992 Bachelor of Design, University of South Australia; •1980-1984 I.S.I (Institute Seni Indonesia) Jogyakarta Indonesia, majoring in painting; •1975-1979 SMSR (Sekolah Menengah Senirupa) Denpasar Bali. Selected Group Exhibitions and Activities: •2009: POST Exhibition. 20 Tennyson Street, Richmond Melbourne; •2009: JNM Art Space Jakarta – Persemaian # 1; •2008: Koong Gallery Jakarta – Redline District Project; •2007: ‘reKREASI’ Yogya National Museum, Indonesia; •2006: Working in collaboration with Heri Dono, for Contemporary Wayang performance at Flinders University Pendopo (Asian Studies) Australia; •2003: University of South Australia Art Museum Underdale, Adelaide Australia Selected Solo Exhibitions: •2009: URBAN LANDSCAPE a solo exhibition, Jogya National Museum , Yogyakarta Indonesia •2004: ‘innergy’ Premier Art Gallery , Adelaide Australia;• 2003: Liverpool Street Gallery, University of South Australia city west, Adelaide Australia Artist in Residence: •2008: Jogya National Museum, Jogyakarta Indonesia; •2009: Jogya National Museum, Jogyakarta Indonesia, follow by solo exhibition on 28 February – 14 March 2009.
23
This catalogue is published in conjunction with a Group Painting Exhabition of
COSMOPOLITE by kelompok EAST
April 14 - April 28, 2010 @Philo Art Space Jl. Kemang Timur 90 C South Jakarta 12730 Indonesia t/f: (62 21) 719 84 48 m: +62 811 10 60 47 e: philoartspace99@gmail.com Curator: Tommy F Awuy Special thanks: Heri Dono Ade Koesnowibowo, Anugrah Eko Triwahyono, Sapto Adji, Haryanto Tok Basuki Photography of Artwork: F.B. Sudjuanda, Graphic Designer: F.B. Sudjuanda, Pratama Jovanka Printed By: Mahameru Offset Printing, jakarta Published by Philo Art Space 026/2010 CopyRights Š Philo Art Space All rights reserved. No part of this publication may be reproduced stored in a retrival system or transmited in any form or by any means, electronic, mechanical, photography, recording or otherwise, without the written permission from Philo Art Space
24