Info Risiko Fiskal Edisi III

Page 1

IRF

INFO RISIKO FISKAL

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal

Edisi 3 Tahun 2011

Revitalisasi PT Dirgantara Indonesia: Untuk Mendukung Pertahanan Keamanan dan Perekonomian Indonesia

MP3EI : KIAT INDONESIA MENJADI NEGARA MAJU


IRF

INFO RISIKO FISKAL

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal Edisi 3 Tahun 2011

Proyeksi Goldaman Sach

Proyeksi Tidak Resmi dari Pemerintah

2050

2030 ? PDB nominal

2025 ? PDB Nominal :

US$3,76-4,47 Trilion ? PDB Nominal per

2014

Kapita : US$12,85516,160

PDB Nominal : US$1.206 Billion ? PDB Nominal per Kapita : US$4.803 ? Kekuatan Ekonomi 14 besar dunia

? PDB nominal :

:

US$26.679 Billion ? PDB Nominal per Kapita : US$20,60025,900 ? Kekuatan ekonomi 10 besar dunia

US$1.206 Billion ? PDB Nominal per

Kapita : US$78,478 ? Kekuatan ekonomi 6 besar dunia

bkpmd.maluku.com

DAFTAR ISI RUBRIK FISKAL

RUBRIK UTAMA MP3EI : Kiat Indonesia Menjadi Negara Maju

4

Oleh : Syahrir Ika dan Sofia Arie Damayanty

11

Oleh : Mohamad Nasir

Risiko Fiskal Yang Bersumber Dari BUMN Penjamin Kredit Usaha Rakyat

16

Oleh : Rangga Satyanegara

BUMN Panas Bumi: Beberapa Skenario

25 RUBRIK Inspiring dan Lainnya

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

40

RUBRIK EDUKASI

21

Oleh : Suska

36

Oleh : Novijan Janis

Revitalisasi PT Dirgantara Indonesia:Untuk Mendukung Hankam dan Perekonomian Indonesia

Menggagas(Lagi) Pendirian Bank Pertanian

2

Pemantauan Risiko Fiskal dari Sektor Keuangan Mandatory Spending vs Spending Quality

Oleh : Wiloejo Wirjo Wijono

Oleh : Hadi Setiawan

32

Oleh : Abdul Aziz

RUBRIK BUMN Menakar Peran Perusahaan Plat Merah dalam Kebijakan Fiskal APBN

Opsi Strategi Pembiayaan Penanganan Bencana Alam Dalam Rangka Mengendalikan Risiko Fiskal Indonesia

Krisis Utang AS dan Eropa, Pelajaran Berharga Bagi Pemerintah Indonesia

43

Oleh : Syahrir Ika

29

Proyek Spektakuler KPS “Jembatan Selat Sunda”

48

Oleh : Freddy R. Saragih

Sekilas Peristiwa

50


KATA PENGANTAR

P

uji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami dapat merampungkan buletin Info Risiko Fiskal (IRF) Edisi III Tahun 2011 dengan tulisan-tulisan update yang tetap pada tema dasar yaitu kebijakan fiskal dan risikonya, serta kebijakan dukungan dan penjaminan pemerintah terhadap program percepatan penyediaan infrastruktur. Dalam edisi kali ini, kami membagi buletin Info Risiko Fiskal (IRF) dalam 5 (lima) bagian yaitu : Rubrik Utama, Rubrik BUMN, Rubrik Fiskal, Rubrik Edukasi, serta Rubrik Inspiring dan lainnya. Dalam Rubrik utama mengangkat “MP3EI : Kiat Indonesia Menjadi Negara Maju� yang berisi ulasan usaha-usaha kita yang tertuang dalam masterplan indonesia menuju negara maju serta berbagai negara-negara pembanding yang sudah maju lebuh dulu. Rubrik BUMN berisi tulisantulisan yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan atas BUMN-BUMN yang ada di Indonesia serta berbagai risikonya. Sementara itu dalam Rubrik Fiskal lebih memperlihatkan bagaimana sudut pandang fiskal dalam melihat risiko-risko yang ada dan terjadi di Indonesia. Adanya Rubrik Edukasi menambah wawasan kita bagaimana kita membangun Indonesia dari berbagai sektor serta menjadi support dan spirit dalam mengelola keuangan negara yang baik dan benar serta transparan. Rubrik Inspiring dan Lainnya merupakan manivestasi I Have A Dream pada edisi selanjutnya yang mengupas isu-isu terhangat yang sedang muncul. Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penerbitan buletin ini, terutama kepada para penulis yang telah meluangkan waktu dalam kesibukan rutinitas sehari-hari untuk menulis artikel. Akhir kata, kami berharap semoga apa yang disajikan dapat bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi dalam kegiatan sehari-hari. Kami senantiasi menerima saran dan kritik dari pembaca untuk peningkatan kualitas IRF ke depan. Selamat membaca dan bekerja untuk menjadi lebih baik.

Susunan Redaksi Penanggung Jawab

:

Freddy R. Saragih Pandu Patriadi

Penyunting/Editor

:

Brahmantio Isdijoso Fajar Hasri Ramadhana Syahrir Ika Riko Amir Insyafiah

Redaktur

:

Mohamad Nasir Sigit Purnomo

Desain Grafis dan Fotografer

:

Aan Rustandi David Rizkiawan

Sekretariat

: Akhmad Yasin Moh. Kharis Syukron Krista Napitupulu

Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5 maksimal 5 halaman. Artikel dapat dikirim ke risiko.fiskal@gmail.com . Isi buletin ini tidak mencerminkan kebijakan Badan Kebijakan Fiskal.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN KEBIJAKAN FISKAL Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, lantai 4 Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710,Telp. 021-3846785, Fax. 021-3452751

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

3


RUBRIK UTAMA

MP3EI : Kiat Indonesia Menjadi Negara Maju Oleh : Syahrir Ika dan Sofia Arie Damayanty Latar Belakang Indonesia akan menjadi negara maju, mimpi itu dituangkan dalam dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yang kemudian menjadi acuan dalam menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Visi Indonesia 2025 tersebut, mengacu pada prediksi yang dibuat Golman Sach, Standard Chartered Bank, dan Komite Ekonomi Nasional (KEN). Dalam laporan terbaru berjudul 'N-11 : More Than an Acronym', Goldman Sach memprediksi kekuatan ekonomi Indonesia akan berada pada peringkat 14 tahun 2025 dengan PDB nominal sekitar US$3,8-4,5 triliun dan pendapatan per kapita sekitar US$13,000-16,000. Pada tahun 2050, Standar Chartered Bank memprediksi kekuatan ekomomi Indonesia akan berada pada nomor 7 dunia setelah China, AS, India, Brazil, Meksiko, dan Rusia, dengan PDB nominal sekitar US$ 61 triliun dengan pendapatan per kapita mencapai US$78,478 (Box-01). Bila menggunakan prediksi Goldman Sach, maka untuk mencapai visi 2025, diperlukan kecepatan sekitar 6 (enam) kali dibandingkan dengan posisi Indonesia saat ini (PDB sebesar US$700 miliar dan pendapatan per kapita sebesar US$3,005). Mengenal visi suatu negara (Indonesia), tidak cukup hanya dengan membaca angka-angka (pendapatan nasional atau pendapatan per kapita), tetapi harus lebih konkrit, hasilnya dapat dilihat dan dirasakan masyarakat. Menurut UU Nomor 17 Tahun 2007, vision statement untuk Indonesia 2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Setiap unsur visi ini dibuat parameternya, misalnya Indonesia yang maju terukur dari kualitas SDM, tingkat kemakmuran, serta kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum. Begitu juga Indonesia yang makmur terukur dari tingkat pemenuhan seluruh kebutuhan hidup (Box-02). Strategi atau persyaratan yang dibutuhkan untuk mencapai Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur, telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 (Box-03).

Proyeksi Goldaman Sach

Proyeksi Tidak Resmi dari Pemerintah

2030

2014 PDB Nominal : US$1.206 Billion ? PDB Nominal per Kapita : US$4.803 ? Kekuatan Ekonomi 14 besar dunia

Box-01: Visi Indonesia 2025

Mandiri

Maju

Adil

Makmur

? Mampu mewujudkan

? Diukur dari kualitas SDM,

? Tidak ada Diskrimnasi

? Diukur dari tingkat

Sumber : RPJPN Tahun 2005-2025, Bappenas

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

? PDB Nominal : US$3,76-4,47 Trilion ? PDB Nominal per Kapita : US$12,85516,160

Sumber: Materi Rapimnas PII (persatuan Insnyur Indonesia), Jakarta 20-21 Juli 2011

kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri

4

? PDB nominal : US$26.679 Billion ? PDB Nominal per Kapita : US$20,60025,900 ? Kekuatan ekonomi 10 besar dunia

2025

2050 ? PDB nominal : US$1.206 Billion ? PDB Nominal per Kapita : US$78,478 ? Kekuatan ekonomi 6 besar dunia

tingkat kemakmuran, serta kemantapan sistem dan kelembagaan politik dan hukum

dalam bentuk apapun, baik antarindivisu, gender maupun wilayah

pemenuhan seluruh kebutuhan hidup


RUBRIK UTAMA Box-03 : Strategi Untuk Mencapai Visi Indonesia Yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur 1. Langklah bersama mewujudkan masyarakat yang bermoral, berbudaya dan beradab (civilized). 2. Demokrasi yang mengandung harmoni 3. Indonesia yang aman, damai, dan bersatu 4. Pemerataan pembangunan yang berkeadilan 5. Indonesia yang asli dan lestari 6. Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, dan kuat 7. Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia 8. Adanya komitmen dari kepemimpinan nasional

Sebagai CEO Indonesia, SBY menyatakan keyakinannya bahwa pada abad ke 21 Indonesia akan mampu menjadi negara maju dan sejahtera. Maju karena memiliki daya saing (competitiveness), memiliki productivity dalam mengelola semua potensi yang dimiliki. Keyakinan itu disasarkan pada 4 (empat) kekuatan, yaitu : (i) Indonesia dapat mengatasi persoalan bangsa sepanjang sejarahnya, termasuk krisis ekonomi, (ii) Indonesia memiliki modal dan potensi nasional yang besar (wilayah, kekayaan alam, dan penduduk), (iii) trend perkembangan negara Indonesia yang minus diskontinuitas, minus shock, dan trend line positive dari periode ke periode, dan (iv) ada peluang di depan kita, baik secara nasional maupun regional dan global. Oleh karena itu, terlepas dari berbagai prediksi di atas, apakah benar atau salah, apakah memiliki tujuan politik atau tidak, rakyat Indonesia harus optimis, bahwa Indonesia memiliki alasan untuk menjadi negara maju. Optimisme itu setidak-tidaknya didukung oleh 4 (empat) kekuatan yang disebutkan Presiden SBY. Optimisme pemerintah dan masyarakat akan mampu menjadi penggerak perubahan bila kendala-kendala besar bisa diatasi dengan baik, terutama yang terkait d e n g a n m a s a l a h i n f r a s t r u k t u r, penguasaan teknologi dan informasi, pelayanan publik, dan sumber daya manusia. Sebarapa rumit tantangan tersebut, bisa tergambar pada indeks daya saing negara. The Global Competitiveness Report 2011-2012 yang diditerbitkan Word Economic Forum (WEF) melaporkan bahwa daya saing Indonesia masih kurang baik,

berada di peringkat 46 dari 142 negara. Dari semua aspek daya saing yang disurvei, fasilitas pelabuhan adalah yang terburuk (peringkat 103), disusul pasokan listrik (peringkat 96), kesiapan teknologi (peringkat 94), kondisi infrastruktur daya saing Indonesia (peringkat 76), dan kinerja lembaga publik (peringkat 71). Survei lain yang dilakukan Global Petroleum (2010) menunjukkan investasi migas di Indonesia merupakan yang terburuk di dunia, yaitu di posisi 111 dari 133 negara (Kurtubi, Tempo Interaktif, 26 Juli 2011). Hal ini antara lain disebabkan selama 10 tahun terakhir tidak ada pembukaan lapangan minyak baru di Indonesia. Selain itu, UNESCO dalam Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education, melaporkan bahwa Indeks Pembangunnan Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Indonesia menempati peringkat ke 69 dari 127 negara, lebih buruk dari Brunei dan Malaysia yang menempati ranking 34 dan 65 (www.kompas.com, 2 Maret 2011). Dengan demikian, tantangan terberat pemerintah untuk mencapai visi Indonesia 2025 adalah bagaimana pemerintah mampu mengatasi kelemahan atau hambatan sebaimana tergambar pada indeks daya saing (competitiveness) dan indeks pendidikan untuk semua (Education For All- EFA).

Mengenal MP3EI Mengapa MP3EI MP3EI merupakan dokumen perencanaan yang berisi terobosan sejumlah aksi pengembangan aktivitas ekonomi yang konkrit, dan mendorong

keterlibatan peran swasta sebagai aktor utamanya. Melalui Masterplan ini diharapkan arah dan kebijakan pembangunan menjadi lebih jelas, ada road map pembangunan ekonomi dalam jangka panjang yang menjadi pedoman para pemangku kepentingan, dan ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih kuat bahkan bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Menurut Presiden SBY, Masterplan ini memiliki target yang jelas seperti meningkatnya kesejahteraan rakyat, pengurangi angka kemiskinan, mengurangi pengangguran dengan terbukanya ribuan lapangan kerja (Investor Daily, 27 Mei 2011). Pada tanggal 27 Mei 2011, Presiden SBY telah meresmikan implementasinya MP3EI, di mana pada tahap awal pemerintah meluncurkan 17 proyek infrastruktur baru senilai Rp190 triliun. Untuk mendukung percepatan dan perluasan ekonomi, pemerintah membagi zona kekuatan ekonomi ke dalam 6 (enam) koridor, menentukan sektor dan program prioritas yang harus dikembangkan dan dukungan infrastuktur dan pembiayannya. Sektor Prioritas dan Strategi Utama Pemerintah menetapkan 7 (tujuh) sektor prioritas yang akan didorong percepatannya (lihat Box-04). Pemerintah juga telah menetapkan inisitaif trategis dan strategi utama untuk mendorong percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia (lihat Box-05). Bahwa Indonesia memiliki potensi ekonomi yang besar, itu akan diproduktifkan melalui pengembangan pusat-pusat keunggulan di 6 (enam) koridor ekonomi. Masing-masing koridor ekonomi akan memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional melalui keunggulan masingmasing. NTT (yang saat ini dinilai miskin) bisa menjadi pusat keunggulan peternakan yang mampu mensuplai daging sapi ke seluruh Indonesia. Bali dan NTB bisa menjadi pusat keunggulan di sektor pariwisata. Sejumlah propinsi di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, akan menjadi pusat keunggulan dalam INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

5


RUBRIK UTAMA Box-04 : Prioritas Sektor Ekonomi Dalam MP3EI

Box-05: Inisiatif Strategis dan Strategi Utama MP3EI

Box-06: Koridor Ekonomi, Sektor Prioritas, dan Kebutuhan Infrastruktur Koridor

Sektor Industri/Jasa Prioritas

Jawa

Baja, makanan, minuman, tekstil, mesin peralatan, dan perkapalan

Sumatra

Kelapa sawit, karet, food estate, non-food estate, batubara, minyak dan gas

Kalimantan

Produksi dan pengolahan hasil petanian, pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional.

Sulawesi dan Maluku Utara

Produksi dan ngolahan hasil petanian, perikanan, perkebunan, migas, dan pertambangan nasional

Papua dan Maluku

Produksi dan pengolahan hasil pertanian, perikanan, energi, dan pertambangan nasional

Bali, NTB, NTT

Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional

Jalan

Pelabuhan & Bandara

Listrik

Jembatan

Air Minum

Kereta Api

Sumber: Disarikan dari dokumen MP3EI

Kebutuhan Investasi Total investasi yang dibutuhkan untuk mendukung proyek-proyek MP3EI periode 2011-2025 mencapai sekitar Rp4.000 triliun, yang akan ditanggung BUMN, Swasta, Pemerintah dan juga diharapkan dari investasi langsung Asing (FDI). Dari jumlah investasi tersebut, sekitar Rp1.800 triliun diantaranya ditujukan mendukung pembangunan infrastruktur (jalan raya, jembatan, pelabuhan, bandar udara, rel kereta api, dan listrik) melalui skema public private patnership (PPP). Dalam periode 2011-2014, kebutuhan dana investasi untuk membiayai proyek-proyek infastruktur mencapai sekitar Rp755 triliun. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana mengatakan separoh dari anggaran infrastruktur ini akan diambil dari kas pemerintah (Rp544 triliun atau Rp136 triliun per tahun), selebihnya akan dibiayai dari proyek kerja sama (joint sharing) antara awasta dan pemerintah sebesar Rp211 triliun (Republika.co.id). Alokasi dana APBN untuk mendukung pembangunan jalan sebesar Rp143 triliun, rel kereta api sebesar Rp138 triliun, pelabuhan sebesar Rp49 triliun, bandara udara sebesar Rp14 triliun, energy sebesar Rp288 triliun, air bersih sebesar Rp8 triliun, dan infrastruktur lainnya sebesar Rp13 triliun. Armida juga mengatakan bahwa dana infrastruktur tersebut akan dialokasikan di koridor ekonomi Jawa sebesar 28% (Rp213 trilun), dan selebihnya (72% atau Rp542 triliun) dialokasikan ke koridor ekonomi luar Jawa. Mengingat terbatasnya investasi pemerintah melalui APBN, maka peranan dunia usaha, termasuk BUMN sangat diperlukan. Komitmen BUMN dalam MP3EI terbagi dalam 435 proyek investasi maupun dukungan infrastruktur pembangunan di di 6 (enam) koridor ekonomi utama (Menteri Negara BUMN, Mustapa Abubakar, bataviase.co.id, 27/05/2011). Bila memperhatikan isi dokumen MP3EI, proyek-proyek investasi tersebut merupakan proyek dari sejumlah BUMN antara lain PT Antam Tbk, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk, PT Krakatau Steel Tbk, PT Telkom Tbk, dan PT PGN Tbk, PT Pertamina, 6

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011


RUBRIK UTAMA dan beberapa PTPN. Sedangkan dukungan infrastruktur diharapkan akan di-support sejumlah BUMN seperti PT Jasa Marga Tbk, PT PLN, PT Pelindo I, PT Pelindo II, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Angkasa Pura I dan II, PT Kereta Api dan PT Semen Gresik Tbk. Respon Para Gubernur Sejumlah Gubernur telah menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan dan mensukseskan MP3EI. Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, telah meminta pemerintah propinsi dan kabupaten/kota segera menyiapkan diri, mulai dari perbaikan aturan lokal, perubahan budaya kerja, pelayanan, inventarisasi dan penyiapan lahan (Harian Analisa, 30 Mei 2011). Dua Gubernur di koridor ekonomi Bali dan Nusa Tanggara, juga telah mengatakan kesiapannya. Gubernur NTT Frans Lebu Raya, akan menjadikan NTT sebagai lumbung ternak melalui program satu orang satu sapi, sehingga dengan penduduk sebanyak 5 juta orang akan menghasilkan 5 juta ekor sapi atau 40% dari total poluasi sapi secara nasional (Suara Pembaharuan.com). Gubernur Bali akan menjadikan Bali sebagai pintu gerbang pariwisata, mengingat dari segi infrastruktur, Bali sudah memiliki bandara internasional Ngurah Rai, Pelabuhan Kapal Pasiar Tanah Ampo serta pelabuhan laut baik untuk kapal penumpang maupun kapal barang. Di koridor ekonomi Kalimantan, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, telah meminta para Bupati/Wali Kota untuk mendukung MP3EI, khususnya proyek pembangunan Pupuk Kaltim 5 di Bontang yang memerlukan pembiayaan sekitar Rp7 triliun, pembangunan pelabuhan Kariangau di Balikpapan dengan biaya sekitar Rp1,3 triliun, serta perluasan pembangunan terminal Bandara Internasional Sepinggan dengan biaya sekitar Rp1,8 triliun. Penilaian Para Ekonom Sejumlah ekonom, termasuk mantan Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla, memberikan penilaian yang bervariasi tentang MP3EI dan visi Indonesia 2025

(lihat Box-05). Ada yang mendukung, ada yang tidak mendukung, dan ada yang tidak berterus terang mendukung, tetapi memberikan saran perbaikan. Box-05: Pandangan Beberapa Ekonom Mengenai MP3EI Ekonom

Penilaian Terhadap MP3EI dan Visi Indonesia 2025

Anggito Abimanyu

Anggito menilai MP3EI tak mampu dorong PDB hingga 10 persen (Inilah.com, 26/7/2011). Menurutnya, faktor geliat ekonomi China harus menjadi pertimbangan pemerintah, bagaimana China mempengaruhi Indonesia, bagaimana global mempengaruhi Indonesia. Anggito juga menilai bahwa target PDB dalam MP3EI tidak realistis. Ia memperkirakan PDB Indonesia pada tahun 2025 baru mencapai 7 persen atau sekitar US$3 triliun dengan pendapatan per kapita sekitar Rp10.000,- Dengan benchmark ke China, Anggito mengatakan untuk tumbuh 10 persen per tahun, China butuh invetasi 40 persen terhadap total partumbuhannya, sementara Indonesia pada tahun 2009 baru bisa mencapai 30 persen dari total pertumbuhan.

Faisal Basri

Faisal menilai MP3EI adalah kompensasi gagalnya pembangunan jangka pendek RI, khususnya dalam mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan (okezone.com, 23/08/2011). Faisal juga menilai koridor ekonomi tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Ia mengambil contoh koridor ekonomi BaliNTT, tidak mendukung apa yang dibutuhkan daerah-daerah di kawasan tersebut, yang mereka butuhkan adalah infrastruktur pelabuhan, khususnya sarana transportasi laut, ternyata tidak masuk dalam MP3EI di kawasan itu. Konsep yang ditawarkan lebih menjawab kebutuhan jangka panjang.

Didik J.Rachbini

Didik menilai MP3EI masih jauh dari sempurna karena tidak memberi ruang bagi penyerapan tenaga kerja berketerampilan rendah yang saat ini masih mayoritas (Bisnis Indonesia, 6 Juni 2011). Menurut Didik, mayoritas proyek MP3EI adalah milik swasta sehingga pemerintah tidak bisa mengklaim sebagai hasil karya pemerintah. Hal mendasar yang harus dibenahi pemerintah adalah kebijakan industri dan kebijakan fiskal (terutama menyangkut alokasi subsidi yang tidak efektif dan kebijakan fiskal yang lebih longgar sehingga pemerintah memiliki cukup uang untuk bangun infrastruktur).

Tony Prasetiantono

Iwan Jaya Azis

Jusuf Kalla

Tony Presetiantono menilai pemerintah memiliki peluang untuk mencapai target pertumbuhan dalam MP3EI bila difisit APBN diperbesar. Menurut Tony, bila pemerintah bisa memperbesar defisit APBN, dari 1,5 persen menjadi 2 persen, maka belanja modal akan bertambah sekitar Rp52 triliun menjadi Rp221 triliun sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 2011 menjadi 7 persen dan bisa menambah modal untuk mendukung visi yang sudah dicanangkan dalam MP3EI (wilayahPertahanan,com). Iwan menilai PM3EI tidak menjamin tercapainya integrasi perekonomian, tidak menjamin ekonomi akan sejahtera (Koran Jakarta, 15/09/2011). Ia menilai, belum tentu konektivitas menghasilkan integrasi karena sistem ekonomi yang terintegrasi juga bisa menimbulkan risiko ekonomi. Iwan mengambil contoh di Italia, selalu timpang karena bantuan ke Italia Selatan di-spend ke Italia Utara sehingga aliran bantuan semakin banyak dan otomatis pertumbuhan di Italia Utara cepat. Kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia, sehingga Iwan menyarankan pemerintah perlu hati-hati dalam membangun infrastruktur. Menurutnya, konektivitas baik lokal maupun internasional itu ada soft dan hard. Membangun infrastruktur adalah untuk mempermudah kelancaran perdagangan internasional dan lokal. Kalau pembangunan infrastruktur tidak berhasil, maka integrasinya juga tidak bisa dikatakan berhasil. Dalam konektivitas internasional, menurut Iwan, sangat penting memperhatikan kesamaan standar barang yang saling diakui sehingga arus barang antarnegara benar-benar mengalir mudah dan saling menuntungkan. JK mengatakan Ia tidak paham dengan MP3EI yang memperkirakan Indonesia bakal menikmati bonus demografi pada tahun 2025 (Kompas 20/08/2011). Menurut JK, untuk bisa tampil sebagai negara maju, hal yang harus dibenahi adalah sumber daya manusia dan etos kerjanya. Ukuran negara dan sistem pemerintahan, menurut JK, tidak menjamin patokan negara bisa maju atau tidak. JK juga berargumen bahwa perkembangan teknologi seharusnya membuat semuanya bisa diraihnya dalam waktu singkat.

Kendala MP3EI Presiden SBY memberikan warning kepada para pemangku kepentingan bahwa probabilitas kesuksesan dan kegagalan MP3EI sama besarnya. Ada 5 (lima) penyakit yang mengganggu percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi di Indonesia, yang menurut SBY harus segera dibasmi. Kelima penyakit tersebut adalah (i) birokrasi lambat, (ii) proses politik terselubung yang tidak sehat, (iii) Pemda memiliki kepentingan tersendiri, (iv) tidak memperbaiki regulasi yang menghambat, serta (v) investor dan dunia usaha ingkar janji (ke lima penyakit ini disampaikan Presiden ketika meresmikan peluncuran MP3EI pada tanggal 27 Mei 2011). INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

7


RUBRIK UTAMA

Belajar Dari Pemimpin dan Negara yang Sukses Theodore Roosevelt Roosevelt, adalah salah satu Presiden AS (1901-1909) yang diakui sukses karena di masa kepemimpinannya, AS bangkit sebagai negara adikuasa. Roosevelt mengembangkan Angkatan Laut kelas satu dunia, mendorong dibangunnya Terusan Panama, menolak asing untuk membangunkan pangkalan militer di daerah Karibia, menegosiasikan perdamaian antara Rusia dengan Jepang dan berhasil menambahkan luasan tanah-hutan di bagian barat Amerika. Mahathir Muhamad Dr Mahathir Muhamad merupakan Perdana Menteri ke-4 Malaysia (19812003). Mahathir mempekenalkan slogan Kepemimpinannya yaitu Melalui Tauladan dan Dasar Pandang ke Timur. Mahathir berhasil merubah cara pandang rakyat Malaysia menghadapi era globalisasi dan liberalisasi pada abad ke-21, baik dalam pemikiran ekonomi dan pendidikan maupun dalam pemikiran sosial dan budaya. Salah satu keberania Mahathir adalah mematok mata uang Ringgit terhadap Dollar AS, yang kemudian mendapat kritik pedas dari para pejabat IMF dan Bank Dunia. Mahathir juga berhasil merealisaikan impian (vision) selaras dengan kehendak wawasan 2020 ke arah kemajuan negara, dan visi ini diperkenalkan dan dijadikannya sebagai asas dan panduan untuk mencapai negara yang maju dan sistemik dari sisi sains dan teknologi, serta ekonomi dan infrastruktur bertaraf dunia. Deng Xiaoping

penting visinya tercapai. Deng mempunyai visi yang jelas, Ia tahu arah dan tujuan yang ingin ditempuhnya untuk membawa China yang miskin, dan terisolasi dari dunia luar, berubah menjadi mózhe shítóu guó hë (membuka diri, tumbuh dan bangkit di panggung dunia) yang menjadi pepatah yang terkenal di China. Visi Deng X adalah “China yang kaya, makmur, modern, dan kuat”. Untuk merubah visinya menjadi visi bersama, Deng berulang-ulang menyerukan kepada rakyat China perlunya melakukan modernisasi menjadi bangsa yang bisa berdiri sejajar, yang layak mendapat pengakuan, dihormati dan dihargai oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia (lihat buku 'The Best of Chinese Heroic Leaders', yang ditulis Leman Yap). Deng juga menginspirasi rakyatnya dengan slogan 'menjadi kaya itu mulia (zífÚ shí guângróng), yang kemudian mendorong banyak perusahaan berperilaku kapitalis dan menjadi lokomotif modernisasi ekonomi China.

Deng menjadi PM China pada 1976-1997. Visi Deng adalah ingin melihat China yang kaya dan makmur. Dua pernyataan Deng yang sangat poluler untuk mewujudkan visinya adalah : (i) tidak peduli kucing hitam atau kucing putih asal saja bisa menangkap tikus, (ii) biarlah sementara orang menjadi kaya lebih dahulu. Walaupun harus mengikuti jalan kapitalis, yang

Deng membangun strategi yang jitu untuk mewujudkan mimpinya, antara lain : (i) Deng melakukan perubahan secara gradual, berurutan, dan berkelanjutan (fan ke weí zhù) untuk menjamin sistem kapitalisme bisa berjalan dengan baik. Deng membuka ekonomi tetapi memegang teguh ideologi (Gaige kaifang). Menurut Deng,

8

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

stabilitas politik lebih penting dari pada segala-galanya (wëndíng yâdâo yíqíë). Tragedi Tiananmen tanggal 4 Juni 1989 yang mematikan ribuan orang, merupakan perintah Deng kepada militer untuk mengambil tindakan tegas. Gaya otoriter dibutuhkan ketika ada acaman yang membahayakan stabilitas dan menciptakan kehancuran negara, (ii) Pertanian menjadi perhatian penting karena menjadi 'basic drive' ke sektorsektor lainnya. Petani China yang dulunya tertindas di zaman Mao, kini boleh memilih dan memproduksi komoditas yang hendak ditanam. Walaupun tanah masih menjadi milik negara, tetapi keuntungan dan kerugian dari hasil panen menjadi tanggung jawab masing-masing petani, (iii) Membangun banyak Kawasan Ekonomi Khusus, dan (iv) Mengembangkan kualitas SDM. Visi kepemimpinan Deng yang kuat tersebut telah membuat wajah China telah berubah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tiga dunia setelah AS dan jepang, bahkan diramalkan akan melampaui Jepang pada tahun 2015 dan melampaui AS pada tahun 2040 (Proyeksi Goldmann Sach, 2011). Kini, cadangan devisa China terbesar di dunia (US$2,85 triliun). PDB China merupakan tersebesar ke dua pada tahun 2010 (US$5,9 triliun) setelah AS (US$14,6


RUBRIK UTAMA triliun). Sedangkan pada tahun 2030, diramalkan PDB China akan naik ke urutan ke satu dunia (US$73,5 triliun) mengalahkan AS. Kenaikan PDB China yang fantastis itu karena kemampuan ekspornya. Jack Welch Orang-orang yang tidak suka a t a u t a k u t b e r m i m p i b e s a r, sebaiknya perlu mendengar nasihat Jack Welch (CEO General Electric). Manurut Welch, perubahan (transformasi) adalah hal yang baik, karena itu jangan takut pada perubahan, bukalah diri anda terhadap ide-ide baru. Untuk memiliki mimpi (baca: visi) yang besar, hilangkan kata mustahil dalam diri anda. Jika anda mau sukses, segera bentuk visi anda mulai sekarang (lihat buku berjudul Jach Welch Winning, yang ditulis Suzy Welch, 2005). Pemimpin, menurut Welch, harus memiliki semangat yang berkobar-kobar untuk mendorong orang-orang yang tidak hanya memiliki banyak energi tetapi juga dapat memberdayakan mereka yang dipimpinnya (Janet Lowe, 2001). Welch bukan pemimpin negara, Ia hanyalah CEO sebuah perusahaan berskala dunia di AS dan mampu memimpin perusahaan dengan sukses. Beberapa nasehatnya yang mungkin berguna buat para pemimpin Indonesia dalam mensukseskan MP3EI : (i) Berkaitan dengan gagasan membangun organisasi yang besar, Welch menasehati bahwa menjadi perusahaan besar serta gesit adalah lebih baik dari pada menjadi perusahaan kecil dan gesit. Satusatunya alasan mengapa orang menjadi orang kecil adalah karena mereka tidak dapat menjadi besar. (ii) Berkaitan efektivitas suatu rencana perubahan, Welch menasehati bahwa perubahan secara incremental tidak terlalu efektif. Jika perubahan Anda tidak terlalu besar, tidak revolusioner,

Berkaitan dengan peran BUMN, Welch menasehati bahwa bisnis dan pemerintahan adalah mitra dalam menciptakan masyarakat yang makmur. Ia mengutip pernyataan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad di hadapan para CEO BUMN di Malaysia bahwa kalian adalah karyawan saya. Sukses kalian itu penting bagi program-program saya. Kalau saya ingin membangun j a l a n d a n pendidikan,

Singapura. Pemerintah Singapura bekerja cepat melayani para usahawan, birokrasinya efisien, tidak ada pungutan liar, semua urusan pelayanan publik dapat disajikan secara transparan dan semua informasi diakses secara online, cukup dua minggu, izin usaha sudah keluar. Kini, mimpi Lie Kwan Yew sudah menjadi kenyataan, Singapura semakin maju dan diakui dunia. Global Competitiveness Report yang diterbitkan WEF-World Economic Forum (2011) menempatkan Singapura di urutan 2 dunia. Tranformasi Ekonomi CHINDIA

saya perlu kalian sukses karena saya mendapatkan 40 persen dari kalian dalam bentuk pajak, saya adalah pemegang saham kalian yang paling besar. Dengan sukses itu, saya dapat mendidik orang-orang Malayu dan membangun jalan-jalan. Lie Kwan Yew Perdana Menteri Singapura, Lie Kwan Yew, yang berkuasa pada era 1960an, adalah salah satu contoh pempimpin negara yang memiliki visi kuat dan berhasil mewujudkan mimpinya. Ia bermimpi Singapura di masa yang akan datang menjadi negara yang makmur, bersih, indah, dan menjadi pusat perdagangan dunia. Ia menularkan visinya tersebut kepada rakyatnya dengan mengirimkan kartu pos, yang di dalamnya terdapat gambar pemandangan kota yang bersih, taman tempat bermain anak-anak yang nyaman, masyarakat Singapura yang sedang memakai jas dan dasi berlalu lalang di kota (lihat www.pkpu.or.id). Ia telah menaruh fondasi dan visi yang kuat dan jelas untuk masa depan

China dan India (CHINDIA) sedemikian berjaya karena kedua negara ini saling melengkapi kekuatan masing-masing (Pete Engardio, 2007). Jalan yang mempercepat China dan India adalah keterampilan teknik dan manajemen yang dimiliki oleh masingmasing negara. China akan tetap dominan dalam manufaktur masal, elektronika dan industri berat, sementara India akan tetap dominan dalam perangkat lunak, desain dan pelayanan serta industri yang membutuhkan presisi. Analis Forrester Research Inc., Navi Radjou, memperkirakan jika industri China dan India dapat berkolaborasi, maka mereka bakal mengambil alih teknologi industri dunia. AS dan negara maju lainnya harus belajar dan memberi ruang kepada China dan India, karena dalam hampir semua dimensi –sebagai pasar konsumsi, investor, produsen, serta pengguna energi dan komoditasmereka diperkirakan akan menjadi juara kelas berat pada abad ke-21. Kunci sukses lainnya dari China dan India adalah kedua negara ini memiliki banyak insinyur (sarjana teknik). Dalam bukunya berjudul CHINDIA (2007), Engardio menulis bahwa China dan India bersama-sama meluluskan sekitar 500 ribu insinyur dan ilmuan setiap tahun dibandingkan dengan hanya sekitar 70 ribu insinyur dan ilmuan di AS. McKinsey Global Institute juga memproyeksikan jumlah insinyur muda di kedua negara tersebut INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

9


RUBRIK UTAMA akan tumbuh sebesar 35% menjadi 1,6 juta insinyur pada tahun 2008. Sebaliknya, jumlah insinyur di AS justru mengalami penurunan sebesar 11 persen menjadi 760 ribu orang (catatan: PII-Persatuan Insinyur Indonesia melaporkan bahwa jumlah insinyur Indonesia baru mencapai sekitar 603 ribu orang atau 0,45% dari jumlah penduduk Indonesia). Selain rajin mencetak para insinyur, APBN di kedua negara ini juga memihak pada pembangunan infrastruktur. Pemerintah China mengalokasikan anggaran infrastruktur sekitar 20 persen dari PDB, sementara pemerintah India mengalokasikan sekitar 6 persen (Chetan Ahya dari Morgan Stanley-Bombay, dalam Peter Engardo, 2007). perusahaan-perusahaan China menempatkan 12,8 persen labanya menjadi modal.

Penutup Mimpi menjadi negara maju merupakan awal dari kemajuan ekonomi Indonesia untuk bisa sejajar dengan negara maju lainnya. Adalah wajar bila Indonesia ingin menjadi negara yang besar dan bergerak lincah, dan tidak ingin menjadi negara besar tetapi bergerak lamban, apalagi tetap menjadi negara kecil dan bergerak lamban. Begitu juga meletakkan posisi Indonesia pada jajaran 5 atau 6 besar kekuatan ekonomi dunia di tahun 2025, merupakan strategi positioning yang tepat, disamping bisa memberikan insipirasi dan motivasi bagi rakyat Indonesia untuk memandang Indonesia sebagai negara yang mampu memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Persoalannya adalah bagaimana membuat program-program MP3EI bisa berjalan efektif sesuai rencana dan road map menuju visi 2025. Beberapa pemikiran penulis di bawah ini (Box-07) mungkin dapat dipertimbangkan pemerintah. Walaupun demikian, tidak satupun dari kita saat ini yang mampu menjamin bahwa visi Indonesia 2025 bisa terwujud. Barangkali yang menjadi pedoman kita adalah sebagaimana nasehat ulama berikut ini. Man Jadda Wajada, siapa yang melaksanakan sesutu dengan sungguh-sungguh, ia akan dapat. Man Nasaro Wasola, siapa yang berjalan, ia akan mencapai tujuan atau visinya. Man Tsabatah Nabatah, siapa yang melakukan sesuatu secara konsisten, ia akan tumbuh. Jadi, kiat utama untuk meraih visi 2025 melalui MP3EI adalah kerja sungguh-sungguh, tidak boleh berhenti, dan jangan mengubah arah. Semoga.

DAFTAR PUSTAKA

Box-07 : Efektivitas Implementasi Program-program MP3EI ISU

PENDAPAT PENULIS

1.

Kualitas Leadership

Strong leadership dari Presiden harus diikuti dengan strong leadership dari Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan CEO BUMN

Armida Alisjahbana, 32 Proyek PPP Dukung MP3EI, www.okezone.com, diakses 30 September, 2011,

2.

Implementasi Visi Indonesia 2025

pemerintah harus menjadikan visi 2025 sebagai visi bersama rakyat Indonesia, dan untuk mengajak partisipasi semua masyarakat Indonesia, pemerintah perlu menjelaskan seperti apa gambaran konkrit mengenai keadaan Indonesia yang diinginkan pada tahun 2030 nanti

Education for All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education.(http://edukasi.kompas.com/read/2011/0 3/02/18555569/Indeks.Pendidikan.Indonesia.Menu run , diakses 30 September, 2011)

Kerja Sama Ekonomi

pemerintah perlu menjajaki kemungkinan Indonesia menggandeng China dan India dalam kerja sama Chindianesia

3.

Enggardio P, 2008. Chindia. Alih Bahasa oleh Lie Charlie, Buana Ilmu Populer, Jakarta: Gramedia.

4.

Kualitas dan Kompetensi SDM

Indonesia perlu memperbanyak jumlah dan kompetensi Insinyur (Sarjana Teknik) untuk mendukung proses percepatan pembangunan infrastruktur, pengembangan tekonologi, dan penciptaan nilai tambah, khususnya pada Industri-industri yang menjadi prioritas (fokus) MP3EI

Engineer Monthly Nomor 47, Maret 2011, Persatuan Insinyur Indonesia-Jakarta.

5.

Kualitas Pelayanan Publik

Pemerintah perlu membaiki perilaku birokrasi dengan melanjutkan program reformasi birokrasi mulai dari tahap seleksi PNS, pengembangan kompetensi, hingga penerapan grading dan manajemen kinerja, pemberian remunerasi dan penegakan disiplin. Menurut penulis, pembenahan pada manajemen SDM, lebih strategis dibandingkan dengan moratorium PNS yang hanya fokus pada rasionalisasi jumlah PNS

Goldman Sach. 2007. Global Economic Paper No.153.(http://www.chicagobooth.edu/alumni/clubs /pakistan/docs/next11dream-march%20'07goldmansachs.pdf, diakses 03 Oktober 2011)

6.

7.

Kompas, 29 September 2011, Tajuk: Berada Sejajar Dengan Bangsa Lain-Jakarta.

Konflik Politik

Pemerintah harus berani melakukan terobosan besar di bidang politik, termasuk melakukan reformasi struktur politik dan mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis. Selama jumlah Partai Politik masih masih banyak seperti saat ini, sangat sulit untuk menghilangkan konflik politik, tarik menarik kepentingan, dan saling menjebak antar tokoh politik, sehingga menguras habis waktu dan tenaga pemerintah dan para pemangku kepentingan. Mungkin pemerintah perlu belajar pada pengalaman Jepang (Restorasi Meiji) mapun pengalaman Deng memimpin China (wëndíng yâdâo yíqíë atau stabilitas politik lebih penting dari pada segala-galanya).

Kementerian Koordinator RI, 2011. Pokok-pokok Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025. Jakarta.

8.

Kurtubi. 2011. Tajuk: Investasi Migas di Indonesia Terburuk di Dunia. (http://www.tempo.co/hg/bisnis/2011/07/26/brk,201 10726-348435,id.html , diakses 03 Oktober 2011)

Pemerintah perlu memperbaiki semua regulasi yang menghambat, caranya membuat paket deregulasi dan debirokratisasi sebagaimana yang pernah dipraktekkan Presiden Soeharto pada era 1980-an. Pembuatan regulasi secara parsial hanya menimbulkan masalah baru di kemudian hari sehingga pemerintah akan kehabisan tenaga dan waktu untuk terus menerus menyempurnakan regulasi.

9.

Peraturan Perundangan

Lowe Janet, 2001. Jack Welch Speaks. Alih Bahasa oleh Arwin Saputera, Batam : Interaksara

Pembiayaan Infrastruktur

Pemerintah perlu melakukan reengineering dalam konsep dan proses kerja sama pemerintah swasta dalam membangun infrastruktur melalui skema PPP. Dukungan pemerintah mestinya tidak hanya fokus pada penjaminan atas risiko gagal bayar utang swasta (seperti pada proyek listrik 10.000 MW) atau pemberian margin (sebagaimana diterapkan pada PT PLN dan PT Pertamina) karena hal itu tidak cukup memberikan dorongan kepada swasta untuk lebih atraktif. Pemerintah sebaiknya ikut dalam sharing modal (investasi), misalnya 20-30 persen dalam skema PPP dalam pembiayaan infrastruktur, bahkan untuk sektor kereta api dan air bersih yang kurang menguntungkan, mestinya full financing by the government. Pilihan kebijakan ini di satu sisi berkonsekuensi meningkatkan alokasi anggaran belanja modal dalam APBN, tetapi di sisi lain dapat mengatasi salah satu penyakit yang disebut Presiden SBY, yaitu investor dan dunia usaha ingkar janji

Peran Pemda dan CEO BUMN

Pemerintah perlu mempertimbangkan kemungkinan mengkaitkan alokasi transfer daerah dengan kesuksesan implementasi MP3EI, walaupun hal ini harus menambah tugas pusat untuk merancang dan menetapkan KPI (key performance indicator) MP3EI untuk setiap Kepala Daerah. Begitu juga dengan kepentingan BUMN, penulis sependapat dengan kebijakan Menteri Negara BUMN yang telah memasukan implementasi MP3EI dalam unsur KPI Direksi dan Komisaris BUMN

10 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

10. Maxwell J.C. 2001. The 21 Irrefutable Laws of Leadership. Alih Bahasa oleh Arwin Saputra, Batam : Interaksara 11. Persatuan Insinyur Indonesia. 2011. Materi Rapimnas PII (Persatuan Insinyur Indonesia), Jakarta, 20-21 Juli 2011 12. Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, (http://www.bappenas.go.id/node/123/26/uu-no-17tahun-2007-tentang-rencana-pembangunanjangka-panjang-nasional-tahun-2005-2025-/ , diakses 03 Oktober 2011) 13. Visi Indonesia 2030, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum. (http://www3.weforum.org/docs/WEF_GCR_Repor t_2011-12.pdf , diakses 03 Oktober 2011) 14. Wlech, Suzy. 2005. Jack Welch Winning. London : HarperCollins Publisher.


RUBRIK BUMN

MENAKAR PERAN PERUSAHAAN PLAT MERAH DALAM KEBIJAKAN FISKAL APBN Oleh : Mohamad Nasir Pengantar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sesungguhnya merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Dalam kerangka kebijakan fiskal, peranan BUMN sangat diharapkan, terutama untuk memperkuat kemampuan fiskal (fiscal capacity). Jumlah BUMN saat ini (per Mei 2011) mencapai sekitar 142 BUMN (sebagian besar diantaranya berbentuk Perseroan Terbatas), dan total aset semua BUMN sampai dengan akhir tahun 2010 telah mencapai sekitar Rp2.505 triliun. Namun demikian, apakah banyaknya BUMN dan besarnya aset perusahaan plat merah tersebut mampu berperan secara signifikan dalam memperkuat kapasitas fiskal ?

Tujuan Pendirian BUMN Pada awalnya, sebuah BUMN perlu ada untuk menjadi 'perintis' kegiatankegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta dan koperasi, serta turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah. Karena itu, dahulu ada BUMN yang 100% berorientasi sosial (Perjan), ada BUMN yang sudah harus belajar memupuk keuntungan agar mengurangi beban APBN (Perum), dan ada juga BUMN yang 100% memupuk keuntungan (PT-Perseroan Terbatas). Kini, BUMN yang berbentuk Perjan sudah tidak ada, BUMN yang berbentuk Perum tinggal sedikit, sebagian besar BUMN saat ini berbentuk PT, di mana beberapa diantaranya sudah mencatatkan sahamnya di pasar modal (go public), dalam arti negara memberi kesempatan kepada publik untuk ikut memiliki (share) dan bertanggung jawab mengelola BUMN. Pembentukan BUMN juga dimaksudkan sebagai alat pelaksana kebijakan Pemerintah atau public service obligation atau PSO (pasal 2, UU No. 19 Tahun 2003) sehingga sejumlah BUMN yang diamanatkan untuk menyelenggarakan kemanfataan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hidup orang banyak. BUMN-BUMN seperti ini sebut saja PT PLN, PT Pertamina, PT Telekomunikasi Indonesia, PT Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia, PT Pelni, PT Garuda Indonesia, PT Jasamarga, Perum Bulog, Perum Pegadaian, Perum Damri, dan sebagainya. Peranan setiap jenis BUMN ini terhadap negara tentunya berbeda-beda tergantung misi masing-masing BUMN tersebut yang diamanatkan Pemerintah kepadanya, sejumlah BUMN memang diarahkan memupuk keuntungan untuk memperkuat kapasitas fiskal, sementara BUMN lainnya lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum sehingga harus disubsidi. PT Pelni misalnya, adalah salah satu BUMN yang mendapat tugas PSO. Ada dua misi utama perusahaan ini, yaitu : pertama, mengelola dan mengembangkan angkutan laut guna menjamin aksesibilitas untuk menunjang terwujudnya wawasan nusantara, dan kedua, meningkatkan kontribusi pendapatan bagi negara, karyawan serta berperan dalam pembangunan lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, misi utama Pelni adalah jaminan aksesibilitas dan INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 11


RUBRIK BUMN kontribusi pendapatan kepada negara. Untuk menjalankan misi besar ini, PT Pelni memiliki rute pelayaran ke seluruh wilayah perairan Indonesia, mencakup sekitar 91 pelabuhan, dengan jumlah armada sebanyak 28 unit kapal penumpang dan 4 unit kapal barang, dengan kapasitas mulai dari 500 penumpang hingga 3.000 penumpang. PT Pelni harus masuk ke pelabuhanpelabuhan yang secara bisnis tidak ekonomis, ini untuk menjalankan misi pemerintah. Pelni membeli kapal-kapal yang cukup mahal dari Jerman tetapi harus beroperasi juga di wilayah yang tidak ekonomis, akibatnya perusahaan ini terus merugi. Pendapatan Pelni memang cukup lumayan, tahun 2009 dan 2010 sekitar Rp1,8 triliun, tetapi kerugian pada tahun 2010 mencapai sekitar Rp80 miliar (economy.okezone.com, 8 Januari 2011). Setiap tahun Pelni memperoleh dana PSO dari APBN, tahun 2010 sebesar Rp600 miliar sementara tahun 2011 ditingkatkan menjadi Rp900 miliar. Contoh BUMN lainnya yang melaksakan PSO adalah PT PLN, misi utamanya adalah menjalankan bisnis ketenagalistrikan dan menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Jumlah pelanggan PLN di seluruh Indonesia telah mencapai 42,4 juta pelanggan, dengan total daya tersambung mencapai 67.439,29 MVA. Tugas PLN sangat berat karena harus mampu menyambungkan listrik secara merata ke seluruh Indonesia. Saat ini, rasio elektrifikasi secara nasional baru mencapai sekitar 65 persen, di mana sebagian besar daerah di wilayah Indonesia Timur masih di bawah 40 persen. Untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, PLN membutuhkan dana yang cukup besar, untuk tahun 2011 mencapai sekitar Rp5 triliun (Anggoro Dewo,Direktur Keuangan PLN, waspada online 2 April 2011). Perusahaan ini selalu menderita rugi, dalam dua tahun terakhir ini mencetak untuk karena ada margin PSO dari pemerintah (Rp11,6 triliun untuk tahun 2010). Pemberian margin ini penting berkaitan dengan upaya menambah 12 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

kapasitas pembangkit, di mana pemerintah harus menjamin risiko utang PLN melalui peninkatkan CICR (consolidated Interest Coverage Ratio) sebesar 3,43 kali untuk bisa menarik pinjaman sebesar Rp27,69 triliun. Pemerintah juga masih memberikan subsidi listrik kepada PLN untuk menutup biaya pokok pembangkitnya, di mana pada tahun 2010 direalisasikan sebesar Rp55,1 triliun. Peningkatan ini disebabkan konsumsi listrik yang meningkat dan terbatasnya suplai gas, di sisi lain TDL tidak dinaikan. Selain Pelni dan PLN, ada sejumlah BUMN lainnya yang juga memperoleh penugasan PSO (lihat Tabel).

pelaksanaan PSO tidak optimal, maka kebijakan fiskal tidak terlaksana dengan baik. Kedua, peran BUMN sebagai aset investasi Pemerintah yang diharapkan dapat menambah penerimaan negara atau sumber pembiayaan Pemerintah APBN. Peran ini dapat diketahui dari kinerja keuangan yang meliputi pencapaian laba dan peningkatan nilai saham atau modal yang tidak disebabkan oleh penambahan ekuitas oleh Pemerintah. Kinerja keuangan yang buruk ini dapat mempengaruhi penurunan penerimaan dan sumber pembiayaan APBN.

Ta k b i s a d i b a y a n g k a n seandainya PT Pelni tidak ada, barangkali penduduk di daerah-daerah perbatasan seperti Papua, Maluku dan NTT berpotensi memilih memisahkan diri dari NKRI, sebuah risiko yang harus diwaspadai pemerintah. Begitu juga bila sebagian besar masyarakat di daerah Indonesia Timur yang sulit mendapatkan akses listrik, akan selalu hidup terbelakang, baik dari sisi pendidikan maupun dari sisi ekonomi. Bila hal ini dibiarkan, maka tujuan bernegara sebagaimana yang dimanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945 menjadi sulit terwujud.

Secara umum program PSO dapat dilaksanakan oleh BUMN. Namun demikian, dalam pelaksanaannya sering muncul dipermukaan permasalahan kualitas PSO dan pricing biaya pengadaan PSO. Kualitas PSO yang mencakup faktor kualitas jasa/produk dan faktor delivery yang dilaksanakan oleh BUMN terkesan “ala kadarnya, yang penting dilaksanakan”. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa contoh produk PSO seperti jasa pelayanan kereta api kelas ekonomi yang kotor, bau, dan tidak tepat waktu, dan kualitas beras raskin yang banyak banyak pasirnya

BUMN Sebagai Pelaksana PSO

Tabel-01 : BUMN yang Ditugaskan Melaksanakan PSO No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

BUMN PT PLN (Persero) PT Pertamina (Persero) PT Kereta Api Indonesia (Persero) PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) PT Pos Indonesia (Persero) Perum BULOG PT Asuransi Kredit Indonesia PT Pupuk Sriwidjaja

PENUGASAN PSO Penyediaan Tenaga Listrik Penyediaan Bahan Bakar Minyak premium dan diesel Penyediaan transportasi darat kelas ekonomi Penyediaan transportasi laut antar pulau kelas ekonomi Penyedia jas pos antar daerah Penyedia logistik pangan (beras rakyat miskin) Penjamin Kredit “Kredit Usaha Rakyat” untuk UKM Penyediaan Pupuk

Peran BUMN Terhadap Fiskal : Belum Optimal Peran BUMN terhadap kondisi fiskal dapat dianalisis dari dua sudut pandang. Pertama, peran BUMN dalam pelaksanaan kebijakan fiskal pemerintah, seperti pelaksanaan PSO atau subsidi atau kebijakan stabilisasi harga. Bila kinerja BUMN dalam

(suarametro, 2011). Kenapa begitu ? BUMN beralasan karena nilai PSO yang dibayarkan oleh Pemerintah tidak sepadan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut, sehingga sulit menyediakan kualitas jasa/produk PSO yang layak. Pricing PSO juga isu yang tak kalah pentingnya.


RUBRIK BUMN Selain itu, PSO nampaknya memberikan efek negatif bagi proses pembelajaran dan inovasi di BUMN. Kepastian pasar BUMN yang sudah jelas dan tidak diikuti sistem reward dan punishment yang adil tidak membuat BUMN mendorong para pegawainya (SDM) untuk berfikir inovatif dan berfikir ke depan (forward looking) dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing BUMN. Sebagai contoh, BUMN penghasil listrik dengan gampang menggunakan BBM untuk menggerakan turbin pembangkit ketika pasokan gas habis. BUMN tersebut terkesan tidak peduli dengan peningkatan BPP listrik sebagai penggunaan BBM karena pada akhirnya akan dibayar oleh Pemerintah. Contoh yang lainya adalah BUMN percetakan. Seiring dengan berkurang order PSO, BUMN ini semakin hari semakin mendekati kebangkrutan karena kalah bersaing dengan industri percetakan swasta. Tidak semua kelemahan ini merupakan kelemahan BUMN, pemeritah sebagai pemberi tugas PSO juga memiliki kelemahan, misalnya apakah Pemerintah bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan BUMN-BUMN tersebut bisa menjalankan tugas PSO secara efektif, baik dalam hal perbaikan regulasi yang menghambat maupun dari segi pembiayaan dan penjaminan. Dari sisi kontribusi BUMN terhadap APBN, Meneg BUMN, Mustapa Abubakar menyebut angka Rp130 triliun, baik dalam bentuk dividen maupun penerimaan pajak (infobanknews.com, 23 November 2 0 1 0 ) , d a n p a d a t a h u n 2 0 11 dianggarkan sebesar Rp160 triliun (www.bumn.go.id). Dari Rp130 triliun kontribusi BUMN tersebut, sekitar 81 persen (Rp105 triliun) dikontribusi oleh 25 BUMN (18 persen) sementara 117 BUMN lainnya (82%) hanya menyumbang Rp25 triliun ke penerimaan APBN atau rata-rata sekitar Rp214 juta/BUMN, suatu jumlah yang sangat kecil. Bila membandingkan kontribusi pendapatan BUMN tersebut dengan total aset BUMN yang

mencapai Rp2.500 triliun lebih, maka poduktivitas aset BUMN juga sangat rendah, hanya mencapai 5,2 persen. Hal ini selain disebabkan beberapa BUMN ditugaskan pemerintah melaksanakan PSO, juga disebabkan beberapa BUMN merugi, seperti PT Askrindo (Rp224,5 miliar), PT PAL Indonesia (Rp112,8 miliar), PT Industri Sandang (Rp103,5 miliar), PT Jakarta Liyod (Rp70 miliar), PT Kertas Kraft (Rp67,5 miliar), PT Garam (Rp47 miliar), PT PN-IV (Rp28,1 miliar), PT Iglas (Rp16,9 miliar), dan PT Perikanan Nusantara (Rp9,5 miliar). BUMN sebagai Aset Investasi Pemerintah Sebagai aset Pemerintah, produktivitasnya dapat diukur dari indikator trend aset, ekuitias, dividen dan ROI (Return on Assets). Dari indikator trend dividen, setoran dividen BUMN pada APBN dari tahun 2004 s.d. 2010 secara rata-rata mengalami kenaikan. Pada tahun 2004, BUMN hanya menyetor dividen sebesar Rp.9.85 triliun, kemudian merangkak naik menjadi sebesar Rp.30,09 triliun pada tahun 2010. Pencapaian 2010 merupakan peningkatan 15,51% dari setoran tahun sebelumnya yang mencapai Rp.26.05 trilun, atau meningkat 3,44% dari tahun 2008. Sementara dari indikator return on asset, secara rata-rata terdapat indikasi peningkatan produktifitas pengelolaan aset, namun tidak signifikan. Pada tahun 2004, ROA hanya mencapai 2,63%, turun menjadi 2,01% pada tahun berikutnya, kemudian pada tahun 2006 menembus angka 3,51%. Kemudian kinerja ROA turun lagi menjadi 3,24% dan 3,25% pada tahun 2007 dan 2008, dan akhirnya pada tahun 2010 mencapai 4,08% (lihat Gambar-01). Gambar-01 : Produktivitas Aset BUMN 20% 18% 16% 14% 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0%

35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 2004

2005 Deviden

2006 ROE

2007 ROA

2008 G.Aset

2009 2010 G.Equity

Sumber : Kementerian BUMN, 2011, diolah.

Kinerja BUMN juga terlihat pada indikator return on equity, di mana terdapat kecenderungan yang meningkat pada indikator ini. Peningkatan per tahunnya kurang dari 2%. Namun, jika dilihat dari besaran ROE rata-ratanya, indikator ini sudah menembus angka di atas 10%. Pada tahun 2006, ROE rata-rata BUMN mencapai 12,2%, kemudian terus naik menjadi 12,4% di tahun 2008, lalu naik lagi menjadi 15,1% pada tahun 2009, dan kemudian menjadi 16,8% pada tahun 2010. Untuk mengukur apakah ROE sebesar itu menggambarkan kondisi yang baguis atau tidak, kita bisa membandingkannya dengan yield obligasi pemerintah. Pada tahun 2008, rata-rata ROE BUMN mencapai 12,4% sementara yield bond 10 Y sebesar 10% atau gap 2,4%. Kemudian pada tahun 2010, ROE 16,8% sedangkan yield bond 10 Y berkisar 7% atau gap 9,8%. Dengan demikian terjadi pelabaran gap antara ROA BUMN dan yield obligasi pemerintah, yang menggambarkan bahwa performance BUMN cukup bagus. Dari sisi aset dan ekuitas, kedua indikator ini menunjukan peningkatan yang positif secara nominal, namun mengalami penurunan apabila dilihat dari tren pertumbuhannya. Pertumbuhan aset mengalami puncaknya pada tahun 2007 yang mencapai 18,5%, padahal tahun sebelumnya hanya mencapai 11,96%. Pada tahun INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 13


RUBRIK BUMN 2008, pertumbuhan menurun menjadi 14.7% per 2008 dan menjadi 11,24% per 2010. Sementara itu, pertumbuhan ekuitas mengalami puncaknya pada tahun 2006, yaitu sebesar 12,67%, naik sekitar 9% dari tahun sebelumnya. Selanjutanya perlahan-lahan menurun dan drop menjadi 6,04% pada tahun 2010. Selain indikator dividen, ROA, ROE dan lainnya tersebut di atas, Pemerintah setiap tahunnya juga melakukan penjualan BUMN untuk pembiayaan APBN dan penambahan modal (PMN) untuk restrukturisasi atau peningkatan kinerja BUMN. Khusus untuk pembiayaan yang bersumber dari hasil privatisasi BUMN, Pemerintah telah menghentikannya sejak tahun 2009. Tabel-02 menggambarkan penerimaan dan pengeluaran dari kedua kegiatan ini. Tabel-02 : PMN dan Hasil Privatisasi BUMN NO

Uraian

1.

PMN dan Restrukturisasi BUMN

2.

Privatisasi Selisih

Tahun 2005

2006

2007

2008

-5,195.1

-1,972.0

-2,700.0

0

2,371.7

3,004.3

82.3

0

0

0

-5,195.1

399.7

304.3

-2,417.7

-11,674.0

-6,038.6

-7,130.3

-2,500.0

2009 -11,674.0

2010

2011

-6,038.6

-7,130.3

Sumber : Kementerian Keuangan, LKPP 2005-2010 dan APBN 2011, diolah.

Peningkatan Transparansi dan Pengukuran Kinerja Yang Jelas Kinerja pelaksanaan PSO bisa dikatakan tercapai, namun kualitas PSO dan pricing PSO masih menjadi tanda tanya. Sementara itu, kinerja keuangan BUMN juga secara keseluruhan menunjukan perkembangan yang positip. Pertanyaannya adalah sudah maksimalkah kedua kinerja yang telah tercapai ini ? Nampaknya, pencapaian ini masih di bawah harapan, dan jauh tertinggal bila dibandingkan dengan kinerja perusahaan swasta. Di samping itu, pencapaian kinerja keuangan tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh kinerja keuangan BUMN-BUMN privatisasi atau go public yang luar biasa sehingga kinerja BUMN non privatisasi yang sebagian besar mengalami kerugian tertutupi. Untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan PSO, Penulis memandang transparansi BPP mestinya tersebar di masyarakat. Selama ini, jangankan untuk mendapatkan informasi BPP, untuk mengakses laporan keuangan BUMN (khususnya BUMN Non Go Public) saja masyarakat mengalami kesulitan. Padahal transparansi dapat menjadi media pengawasan terhadap kinerja BUMN. Masyarakat akan dapat menilai kewajaran besaran BPP. Mengapa sebagian besar BUMN belum menerapkan praktik transparansi? Bisa jadi manajemen BUMN merasa khawatir kalau BPP diketahui para investor dan melemahkan posisi BUMN di mata kompetitor (perusahaan swasta). Kekhawatiran seperti ini mestinya tidak perlu, justru dengan adanya komitmen transpransi BPP oleh manajemen BUMN, akan mendorong BUMN berpraktek efisien, karena akan ada dorongan untuk melakukan perbaikan proses dari waktu ke waktu. Bila sebagian besar BUMN melakukan praktik seperti ini, diharapkan dapat meningkiatkan posisi bersaing BUMN dan efisiensi ekonomi secara nasional. Transparansi BPP juga bisa menjadi media pembelajaran masyarakat. Sebagai contoh, informasi BPP BBM bersubsidi dan listrik. Ketika masyarakat mengetahui dengan benar informasi BPP kedua produk contoh tersebut, masyarakat yang bernalar akan mengerti betapa mahal energi itu, betapa besar subsidi yang telah dibayar Pemerintah, dan yang terpenting adalah masyarakat akan dapat memahami kebijakan-kebijakan penyesuaian Pemeritah yang akan diambil apabila terjadi kondisi-kondisi yang tidak diharapkan terjadi seperti naiknya harga minyak mentah dunia. Selain transparansi, melibatkan perusahaan swasta domestik dalam pelaksanaan PSO dapat merupakan opsi yang perlu 14 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

dipertimbangkan oleh Pemerintah. Opsi ini dapat memunculkan persaingan antara swasta dan BUMN sehingga mendorong BUMN lebih efisien dan berkualitas untuk memenangkan persaingan dalam pelaksanaan PSO. Sementara itu, terkait dengan kinerja keuangan, terdapat indikasi kuat bahwa BUMN yang telah diprivatisasi mempunyai kinerja jauh lebih baik dibandingkan dengan BUMN non privatisasi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Kusuma A.C.M. pada tahun 2009, di mana BUMN yang telah diprivatisasi lebih dahulu memiliki tingkat profitabilitas yang lebih dibandingkan dengan performa BUMN yang diprivatisasi belakangan. Selain itu, privatisasi memberikan tekanan pengawasan yang berbeda terhadap suatu entitas usaha, sehingga bekerja lebih baik ketika belum privatisasi. Privatiasasi memberikan akses swasta lebih besar, dan masuknya swasta ke BUMN berarti pengawasan lebih optimal dan bertambah dibandingkan dengan BUMN yang dimiliki 100% oleh Pemerintah (Alchian dan Demsetz dengan "the property right theory", 1972). BUMN yang telah diprivitasasi melalui IPO akan di awasi tidak hanya Pemerintah saja, tetapi juga lembaga pasar modal, investor, dan lembagalembaga keuangan. Semakin banyak pengawas dapat meminimalisir penyelewengan di BUMN oleh direksi dan pegawai, penyalahgunaan BUMN oleh oknum aparat Pemerintah dan oknum politikus. Dalam pengelolaan BUMN, Pemerintah adalah pemegang saham BUMN, sedangkan direksi dan pegawai BUMN adalah agen Pemerintah (agency theory). Pemegang saham dan agen mempunyai arah kepentingan yang berlawanan. Pemerintah menginginkan nilai saham nya naik atau tujuan pendirian BUMN tercapai dengan baik. Sementara itu, direksi dan para pegawai merasa cukup melakukan tugas dengan baik dan mencetak laba, dan tidak begitu concern dengan upaya mencapai laba maksimum sebagaimana yang diharapkan oleh


RUBRIK BUMN pemegang saham atau pemilik modal. Di sisi lain, Direksi dan para pegawai tetap mengharapkan gaji, tunjangan, bonus, dan tantiem yang besar serta fasilitas-fasilitas lainnya yang luar biasa. Karena itu, dalam manajemen modern, pemilik modal mempersilahkan para agen untuk mendapatkan remunerasi yang tinggi, sepanjang mereka bisa mencapai target yang ditetapkan, apalagi melebihinya. Pemikiran inilah yang kemudian mendorong pemerintah menerapkan kontrak manajemen dengan para Direksi dan Komisaris BUMN pada setiap kali RUPS. Para Direksi juga membangun sistem manajemen kinerja, sistem grading, dan menerapkan KPI (Key Performance Indicators) bagi semua pegawai mulai level atas hingga level terendah. Penilaian KPI menjadi salah satu pertimbangan manajemen dalam menerapkan reward and punishment bagi para pegawainya, begitu pula Pemerintah, selaku pemegang saham atau pemilik modal, juga menerapkan reward and punsihment system bagi para Direksi dan Dewan Komisaris BUMN. Pelaksanaan reward and punishment dapat meningkatkan kinerja keuangan BUMN (Williamson, 1975). Dalam penyusunan indek kinerja agen, Pemerintah perlu mempertimbangkan karakterisktik BUMN yang berbeda-beda. Beban kerja dan risiko yang dihadapi agen seharusnya menjadi dasar pertimbangan umum dalam menyusun indek kinerja. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangan dalam penyusunan indek kinerja antara lain : jumlah dan perkembangan aset yang dikelola, pelaksanaan PSO (khusus BUMN yang melaksanakan PSO) yang mencakup faktor kualitas PSO dan efisiensi BPP. Indikator lainnya adalah kinerja keuangan, yang mencakup harga saham (untuk BUMN go public), likuiditas perusahaan, pencapaian laba bersih, serta provitabilitas (ROE dan ROA). KPI untuk BUMN pelaksana PSO tentunya, untuk beberapa indek harus berbeda dengan BUMN non pelaksana PSO. Faktor lainnya yang penentu peningkatan kinerja BUMN adalah willingness, yaitu kemauan Pemerintah untuk bersikap tegas terhadap para agen yang tidak perform dalam melakukan tugasnya sebagai agen. Ketegasan tersebut mestinya didasarkan pada sikap professional dan tidak untuk kepentingan pribadi, atau golongan tertentu semata. Bila pemerintah bisa melakukan hal ini secara konsisten, maka kontriubsi BUMN terhadap kapasitas fiskal (APBN) akan semakin meningkat, dan mampu menjadi penyangga utama ekonomi nasional. Mungkinkah ?

flickr.com

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 15


RUBRIK BUMN

Oleh : Wiloejo Wirjo Wijono

Pengantar Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) telah memasuki tahun keempat sejak digulirkan pertama kali pada akhir tahun 2007 sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Program KUR bertujuan untuk memperluas akses pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK) terhadap sumber pembiayaan dari perbankan, mengingat selama ini UMKMK masih menghadapi permasalahan dalam mengatasi kesulitan permodalan terutama yang bersumber dari lembaga keuangan formal dan perbankan, akibat berbagai persyaratan perkreditan perbankan yang belum dapat dipenuhi oleh UMKMK. Untuk mendukung program KUR, Pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahaan penjamin KUR, yang dialokasikan sebesar Rp2 triliun per tahun dalam periode 2010 – 2014. Meningkatnya PMN berpotensi menimbulkan risiko bagi fiskal apabila program KUR tidak terkelola dengan baik begitu juga dengan perusahaan penjaminan terganggu kesehatan keuangannya. Tulisan ini akan mengupas secara singkat mengenai risiko fiskal yang bersumber dari kegiatan perusahaan penjamin KUR yaitu PT Asuransi Kredit Indonesia (PT Askrindo) dan Perusahaan Umum Penjaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Apakah kedua BUMN ini mampu mengelola dana APBN yang sangat besar tersebut secara efektif dan meminimalkan risiko fiskal.

southeastasia.org

16 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011


RUBRIK BUMN perjalanannya kinerja PT Askrindo dan Perum Jamkrindo menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Pada awal program KUR sampai dengan 2009, jumlah penjaminan KUR di PT Askrindo lebih besar daripada Perum Jamkrindo. KUR yang dijamin oleh PT Askrindo hampir seluruhnya berasal dari Bank BRI sedangkan Perum Jamkrindo sebagian besar menjamin KUR dari bank-bank selain Bank BRI. Disisi lain, PT Askrindo menanggung beban klaim yang lebih tinggi dibandingkan dengan Perum Jamkrindo, yang terlihat dari tingginya rata-rata non performing guarantee 1 (NPG) PT Askrindo sebesar 6% dan sebaliknya rata-rata NPG Perum Jamkrindo hanya sebesar 1,07%. Pesatnya penjaminan yang dilakukan oleh PT Askrindo menyebabkan tingkat gearing ratio-nya meningkat hingga melewati batas maksimal 10 kali pada tahun 2009.

Kondisi ini menyebabkan sebagian bank-bank penyalur KUR mengalihkan penjaminan KUR kepada Perum jamkrindo yang masih memiliki kecukupan tingkat gearing ratio. Hal ini berdampak pada penjaminan KUR di Perum Jamkrindo pada tahun 2010 yang melonjak drastis hingga mencapai 6,39 triliun melebihi jumlah penjaminan PT Askrindo yang hanya 3,2 triliun. Kondisi ini terus berlanjut hingga semester II tahun 2011. Disamping itu, upaya untuk menyeimbangkan gearing ratio diantara kedua BUMN penjamin tersebut adalah dengan dilakukannya penjaminan bersama (co-guarantee) antara kedua perusahaan tersebut sejak tahun 2010, penjaminan bersama ini pada intinya membagi pendapatan IJP dan biaya klaim KUR sesuai dengan komposisi yang telah disepakati. Ringkasan kinerja penjaminan KUR pada PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Kinerja Penjaminan KUR PT Askrindo dan Perum Jamkrindo BUMN PT Askrindo Akumulasi penjaminan KUR (miliar Rp) Rata-rata tingkat NPG (%) Rata-rata Gearing Ratio (kali) Perum jamkrindo Akumulasi penjaminan KUR (miliar Rp) Rata-rata tingkat NPG (%) Rata-rata Gearing Ratio (kali)

2007

2008

2009

2010 Akumulasi

30.57 -

8,621.97 7.43 10.18

4,147.60 3.88 11.64

3,224.50 7.07 8.01

16,024.64 6.13 9.94

21.71 -

2,529.89 0.08 4.22

1,640.55 1.77 4.91

6,398.06 1.35 6.04

10,590.21 1.07 5.06

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (diolah)

Tabel 3. Kinerja Keuangan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo BUMN PT Askrindo Total Aktiva Total Kewajiban Total Ekuitas Laba Bersih Return on equity Debt to equity ratio Perum Jamkrindo Total Aktiva Total Kewajiban Total Ekuitas Laba Bersih Return on equity Debt to equity ratio

2007

2008

2009

2010

1.793,3 65,5 1.727,9 48,7 2,82% 3,79%

1.962,3 207,1 1.755,3 36,7 2,09% 11,80%

1.668,7 279,1 1.389,7 -101,1 -7,27% 20,08%

2.472,0 392,8 2.079,2 -191,2 -9,20% 18,89%

1.126,0 180,4 945,6 58,6 6,20% 19,08%

1.267,2 209,0 1.058,2 133,8 12,64% 19,75%

1.661,5 227,5 1.434,0 113,2 7,89% 15,86%

2.993,0 1.097,0 1.896,0 148,4 7,83% 57,86%

Sumber: Nota Keuangan APBN Tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. 1

NPG menunjukkan perbandingan antara jumlah klaim yang ditagih oleh pihak yang dijamin dan jumlah keseluruhan kredit yang telah diberikan penjaminan.

Kinerja penjaminan KUR yang telah dicapai oleh PT Askrindo dan Perum Jamkrindo diperkirakan memberi pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan masing-masing. Sejak tahun 2009 hingga 2010 PT Askrindo membukukan kerugian masing-masing sebesar 101,08 miliar dan 191,21 miliar, sehingga tingkat kesehatan perusahaan ini berdasarkan kriteria Kementerian Negara BUMN digolongkan tidak sehat. Kerugian ini tidak terlepas dari tingginya beban biaya klaim yang harus dibayar yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima perusahaan, klaim KUR yang tinggi pada tahun 2009 dan 2010 pada dasarnya berasal dari KUR yang dijamin pada dua tahun sebelumnya yang pada saat itu pendapatan IJP yang diterima masih sebesar 1,50%. Faktor lainnya adalah permasalahan yang dihadapi oleh PT Askrindo adalah kerugian dalam penempatan investasi sebagian dana PMN. Sebaliknya kinerja keuangan Perum Jamkrindo sejak awal program KUR hingga tahun 2010 terus membukukan keuntungan. Beberapa hal yang menyumbang kontribusi positif kinerja Perum Jamkrindo antara lain (i) rendahnya penjaminan KUR di tahuntahun awal yang saat itu hanya mendapatkan pendapatan IJP sebesar 1,50%, sedangkan pada saat penjaminan meningkat sejak tahun 2010 telah mendapatkan IJP dengan tarif baru yaitu 3,25%, (ii) rendahnya beban klaim yang diajukan oleh bank pelaksana KUR, dan (iii) kehati-hatian Perum Jamkrindo dalam penempatan instrumen investasi dana PMN. Selain itu masih terdapat “bom waktu� yang sewaktu-waktu akan menjadi beban besar bagi PT Askrindo maupun Perum Jamkrindo yaitu adanya tagihan klaim dari bank dalam jumlah besar yang masih tertunda pembayarannya yang sebagian besar terkait masalah agunan berlaku surut pada tahun 2009 dan hingga kini belum ditetapkan penyelesaiannya oleh Komite Kebijakan. Ringkasan kinerja keuangan PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dapat dilihat pada tabel 3. INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 17


RUBRIK BUMN Perkembangan Penjaminan KUR Perkembangan penjaminan KUR berbarengan dengan realisasi KUR. Semakin besar realisasi penyaluran KUR, semakin besar pula nilai penjaminan yang diperlukan. Pada tahun 2007, realisasi penyaluran KUR baru mencapai Rp981,7 miliar dengan nilai penjaminan sebesar Rp52,28 miliar. Pada tahun 2008 nilai penjaminan KUR naik menjadi Rp11,13 triliun karena penyaluran KUR mencapai Rp11,47 triliun. Namun menjelang pertengahan tahun 2009 penjaminan KUR mulai melambat, hanya bertambah sebesar 5,79 triliun, karena melambatnya penyaluran KUR oleh bank pelaksana. Perlambatan ini antara lain disebabkan (i) KUR hanya diperuntukan bagi debitur baru yang berimbas bank lebih selektif dan berhati-hati untuk memberikan kredit, (ii) perpindahan kredit dari semula debitur KUR ke debitur kredit komersial karena adanya batasan plafon KUR yaitu maksimum 500 juta (KUR Ritel), sehingga debitur yang mengajukan penambahan plafon melebihi jumlah tersebut akan dialihkan ke kredit komersial, (iii) kecenderungan peningkatan NPL sehingga bank lebih selektif dalam menyalurkan kredit, (iv) penurunan plafon KUR sesuai dengan angsuran yang telah dilaksanakan, dan (v) permasalahan penutupan penjaminan kepada perusahaan penjamin kredit (Bank Indonesia: 2010). Pada tahun 2010, penjaminan KUR meningkat kembali hingga mencapai 9,62 triliun sehingga akumulasi KUR yang telah dijamin sebesar Rp26,59 triliun. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah melakukan revitalisasi program KUR dalam bentuk (i) pencanangan target penyaluran KUR sebesar 20 triliun per tahun selama periode 2010 – 2014 sehingga total penyaluran selama lima tahun dapat mencapai 100 triliun, (ii) penambahan bank-bank pelaksana KUR, dengan mengikutsertakan 13 BPD sebagai penyalur KUR, dan (iii) pelonggaran mengenai ketentuan penyaluran KUR, seperti persyaratan calon debitur KUR tidak harus baru, penerima kredit konsumtif diperbolehkan menerima KUR, dan tidak adanya kewajiban menyerahkan agunan bagi KUR Mikro. Pelonggaran tersebut memacu bank-bank untuk meningkatkan penyaluran KUR. Peningkatan ini terus berlanjut hingga semester I tahun 2011 yang terlihat dari KUR yang disalurkan mencapai 14,58 triliun atau 73,2% dari target 20 triliun, bahkan terdapat rencana pemerintah untuk menambah target penyaluran KUR tahun 2011 sebesar 3 triliun (Bisnis Indonesia: 2011). Perkembangan penjaminan KUR sejak tahun 2007 s.d. Juni 2011 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Penjaminan KUR Uraian Penyaluran KUR (miliar Rp) Akumulasi (miliar Rp) Penjaminan KUR (miliar Rp) Akumulasi (miliar Rp) Penyertaan Modal Negara (miliar Rp) Akumulasi (miliar Rp) Gearing Ratio (kali) Non Performing Guarantee (%)

2007

2008

2009

2010

Juni 2011

981.70 981.70 52.28 52.28 1.450,00 1.450,00 -

11,474.87 12,624.10 11,130.15 11,182.43 1.450,00 7.60 0.04

4,732.75 17,356.85 5,788.15 16,970.58 500,00 1.950,00 8.54 2.78

17,228.63 34,585.48 9,622.56 26,593.14 1.800,00 3.750,00 8.01 4.95

14,578.89 49,164.37 7,449.81 37,235.73 2.000,00* 5.5750,00* 8.26 2.19

*) Belum dicairkan Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (diolah)

Sejalan dengan program Pemerintah “pro poor�, penyaluran KUR harus terjangkau ke seluruh wilayah tanah air Indonesia. Namun, bank-bank pelaksana yang menyalurkan KUR juga harus menjaga keamanan dananya, maka pemilihan nasabah menjadi selektif serta terkonsentrasi di beberapa daerah dan beberapa sektor ekonomi. Penyebaran penjaminan KUR menunjukkan adanya konsentrasi baik menurut bank pelaksana, propinsi maupun sektor ekonomi, yang dapat dilihat pada gambar 1. Bank yang paling banyak menyalurkan KUR adalah BRI (64%). Propinsi-propinsi di pulau Jawa lebih banyak menerima dana KUR dibandingkan dengan luar Jawa. Sementara sektor ekonomi yang banyak memperoleh dana KUR adalah sektor perdagangan. 18 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Gambar 1. Penyebaran Penjaminan KUR per 31 Juni 2011 Menurut Bank Pelaksana BPD 9%

BNI, MANDIRI BTN, BUKOPIN BSM 27%

BRI 64%

Menurut Propinsi

Sulawesi 10%

Maluku dan Papua 3%

Sumatra 22%

Kalimantan 10% Bali & NT 5% Jawa 50%

Sektor Ekonomi Lain-Lain 8% Jasa 7%

Pertanian 17%

Pengangkutan 1%

Industri Pengolahan 3%

Konstruksi 2%

Perdagangan 62%

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (diolah)

Kinerja BUMN Penjamin KUR dan Risiko Fiskal Dua BUMN yang dipercaya untuk menjadi penjamin KUR adalah PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Walaupun sama-sama sejak awal mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk melakukan penjaminan KUR, namun dalam


RUBRIK BUMN Kinerja keuangan yang diraih oleh PT Askrindo dan Perum Jamkrindo pada gilirannya akan berpengaruh pada risiko fiskal. Sebagaimana diketahui penjaminan KUR yang dilakukan oleh kedua BUMN ini ditopang oleh dana APBN baik dalam bentuk penyediaan modal untuk ekspansi penjaminan KUR maupun pembayaran biaya-biaya yang timbul. Risiko fiskal dari BUMN penjamin KUR terkait dengan kewajiban pemerintah adalah (i) kemungkinan tidak mencukupinya dana alokasi PMN untuk membantu peningkatan kapasitas perusahaan penjamin, dan (ii) kemungkinan meningkatnya kebutuhan dana IJP untuk menutup biaya-biaya yang timbul dan sebagai kompensasi kepada perusahaan penjaminan atas penugasan yang diberikan. Risiko fiskal juga timbul apabila terjadi penurunan nilai kekayaan negara pada BUMN penjamin kredit, proses transmisi dampak risiko fiskal terjadi melalui perubahan kinerja keuangan perusahaan penjamin KUR. Kerugian yang ditanggung oleh PT Askrindo dalam usaha penjaminan KUR sejak tahun 2009 s.d. 2010 menyebabkan penurunan nilai ekuitas perusahaan tersebut, hal ini berarti nilai dana PMN yang telah ditempatkan pemerintah di BUMN tersebut menjadi berkurang. Dipihak lain kinerja Perum Jamkrindo menunjukkan hasil yang positif sehingga menambah nilai PMN di BUMN tersebut,namun secara keseluruhan kinerja kedua BUMN penjamin KUR menunjukkan penurunan total nilai PMN. Hal yang dikhawatirkan adalah apabila kecenderungan ini terus terjadi yang akan menyebabkan nilai kekayaan negara semakin merosot, bahkan akan berpengaruh pada penurunan kapasitas perusahaan penjamin dalam penjaminan KUR. IJP yang dibayarkan oleh pemerintah pada dasarnya ditujukan untuk menutup seluruh biaya yang timbul dari penjaminan KUR seperti biaya klaim dari bank pelaksana KUR, biaya operasional dan tingkat marjin yang wajar.

Pada awal tahun 2010, berdasarkan kajian kelayakan besaran IJP dan untuk menjaga kesinambungan program KUR telah dilakukan penyesuaian besaran IJP, dari semula sebesar 1,5% menjadi 3,25% dari total kredit yang dijamin berdasarkan PMK Nomor: 22/PMK.05/2010 tanggal 28 Januari 2010. Dengan dengan tarif yang baru ini diharapkan dapat menutup semua biaya yang timbul, apalagi tarif IJP dibayarkan tidak hanya sekali tetapi sesuai jangka waktu KUR yang diberikan oleh bank pelaksana. Meningkatnya Risiko NPL Ancaman peningkatan non performing loan (NPL) KUR yang cenderung meningkat, walaupun menurut ketentuan Bank Indonesia secara keseluruhan tingkat NPL tidak diperkenankan melebihi 5%, akan diikuti oleh kenaikan NPG pada perusahaan penjamin KUR. Apabila program KUR tidak dikelola dengan baik dan meskipun besaran IJP telah disesuaikan, tetap akan meningkatkan risiko bagi perusahaan penjamin KUR bahkan dapat menyebabkan kerugian. Pengelolaan NPL tidak terlepas dari kebijakan penilaian kelayakan usaha dan keputusan pemberian kredit yang ditetapkan oleh bank pelaksana. Meskipun dalam dua tahun terakhir telah terjadi perbaikan kebijakan perbankan dalam penyaluran KUR, namun dengan peningkatan KUR yang pesat tetap terdapat potensi kenaikan NPL di perbankan termasuk bergabungnya BPD dalam penyaluran KUR. Yang perlu diwaspadai antara lain potensi kenaikan NPL pada KUR Mikro yang diberikan tanpa ada kewajiban menyerahkan agunan, mengingat masih adanya anggapan pada sebagian lapisan masyarakat bahwa KUR Mikro adalah bantuan dari pemerintah. Selain itu, juga terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur usaha kedua BUMN penjamin KUR tersebut, dimana PT Askrindo yang mempunyai ijin usaha di bidang asuransi mengacu pada ketentuan perasuransian sedangkan Perum

Jamkrindo sebagai perusahaan penjaminan patuh pada ketentuan di bidang penjaminan. Perbedaan ketentuan tersebut berdampak pada proses tata kelola perusahaan seperti perlakuan dalam akuntansi, kewajiban pencadangan premi penjaminan, dan bentuk-bentuk penempatan dana perusahaan pada instrumen investasi. Seperti ketentuan penempatan dana investasi di perusahaan penjaminan yang hanya diperkenankan pada bentuk investasi yang lebih aman seperti deposito daripada yang diperkenankan di usaha perasuransian, hal ini akan meningkatkan risiko investasi perusahaaan, yang pada gilirannya akan berdampak pada perilaku dan kinerja masing-masing perusahaan. Tantangan risiko fiskal ke depan adalah kewajiban pembayaran IJP akan terus berlangsung walaupun program KUR telah melewati tahun 2014. Hal ini terjadi jangka waktu KUR yang diberikan oleh bank pelaksana dapat lebih dari setahun, seperti KUR modal kerja yang maksimal 3 tahun namun dapat diperpanjang hingga 6 tahun dan KUR investasi yang berjangka maksimal 6 tahun dapat diperpanjang hingga 10 tahun. Belum lagi dana PMN yang jumlahnya sangat besar yang telah ditempatkan di BUMN penjamin kredit. Sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk menetapkan arah kebijakan KUR dalam jangka panjang setelah tahun 2014. Namun apabila program KUR dapat dibuktikan telah memberikan manfaat yang positif pada pengembangan UMKMK semestinya program ini dipertahankan keberlangsungannya bahkan bila perlu disempurnakan dalam rangka mendorong pengembangan usaha UMKMK. Beberapa Catatan Terkait Beban dan Tanggungjawab Pengendalian Risiko Fiskal Prinsip pengendalian risiko pada dasarnya menempatkan pihak-pihak yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian risiko, sehingga risiko fiskal yang terjadi pada INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 19


RUBRIK BUMN BUMN penjamin KUR tidak seluruhnya dibebankan kepada perusahaan penjamin tersebut. Untuk itu perlu diurai seberapa besar kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing pihak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang telah ditetapkan dalam Nota Kesepahaman Bersama tentang penjaminan KUR. Gambaran mengenai pembagian risiko penjaminan KUR dapat dilihat di tabel 4. Tabel 4. Pembagian Risiko Penjaminan KUR Pemerintah

Perusahaan Penjamin

Æ Kementerian teknis terkait mempersiapkan UMKMK untuk dapat dibiayai dengan KUR

Æ Menjamin risiko KUR kepada bank maksimal 70% atau 80% dari total kredit

Æ Kementerian teknis terkait melakukan pembinaan dan pendampingan selama masa kredit

Æ Memperoleh IJP, subrogasi dan imbal hasil investasi dana PMN sebagai pendapatan

Æ Mengalokasikan PMN kepada perusahaan penjamin sebagai modal dasar ekspansi KUR (gearing ratio 10 Kali) Æ Membayar IJP sebagai guarantee fee agar penugasan pemerintah layak secara finansial

Æ Menanggung beban klaim sebagai beban usaha

Bank Æ Melakukan penilaian kelayakan usaha dan memutuskan pemberian KUR sesuai ketentuan perbankan dan kriteria calon debitur yang berhak memperoleh KUR Æ Memperoleh penjaminan dari perusahaan penjamin KUR maksimal 70% atau 80% dari total kredit Æ Memperoleh pendapatan bunga dari UMKM dan subrogasi

Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (diolah)

Merujuk pada gambaran diatas terlihat BUMN penjamin KUR menghadapi faktor-faktor risiko yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Faktor risiko yang relatif dapat dikendalikan seperti pendapatan IJP, hasil investasi, dan beban operasional. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan adalah tingkat klaim yang diajukan oleh bank pelaksana (NPL). Beberapa catatan yang disampaikan terkait pengendalian risiko fiskal tersebut antara lain: a. Kesehatan keuangan PT Askrindo yang buruk dalam dua tahun terakhir, perlu dipisahkan faktor penyebabnya apakah karena disebabkan kebijakan program KUR atau faktor lain seperti perbedaan karakteristik kelembagaan kedua BUMN penjamin KUR atau pelanggaran aspek kehati-hatian tata kelola perusahaan. Kerugian yang disebabkan faktor kebijakan semestinya menjadi kewajiban Pemerintah, sedangkan yang disebabkan faktor diluar kebijakan menjadi tanggung jawab manajemen BUMN. b. Upaya meminimalkan risiko NPL KUR tidak dapat dilakukan oleh perusahaan penjamin KUR karena wewenang penilaian kelayakan dan keputusan pemberian kredit berada pada bank pelaksana. Hal ini berakibat risiko kredit macet yang berasal dari bank penyalur KUR akan berpindah sepenuhnya menjadi risiko perusahaan penjamin kredit sesuai dengan porsi penjaminan. Untuk itu diperlukan ketentuan yang mengatur batas maksimal NPL KUR, misalnya penjaminan KUR hanya dapat diberikan apabila bank penyalur KUR memiliki tingkat NPL KUR dibawah 5%. Pengaturan hal tersebut dapat dilakukan oleh Bank Indonesia atau Komite Kebijakan. c. Perlu adanya evaluasi atas kinerja perusahaan penjamin KUR dengan menggunakan indikator pengukuran yang seragam. Evaluasi tersebut akan bermanfaat dalam penyempurnaan pelaksanaan program KUR, seperti apakah PT Askrindo sebagai perusahaan asuransi masih perlu diikutkan dalam penjaminan KUR dan hanya menunjuk Perum Jamkrindo sebagai satu-satunya BUMN penjamin. Namun demikian, hasil evaluasi ini juga harus didukung oleh kajian yang komprehensif guna memastikan terjadinya risiko fiskal yang paling rendah. Ketentuan dan indikator kinerja BUMN penjamin KUR dapat ditetapkan oleh Komite Kebijakan, dengan mempertimbangkan masukan dari regulator usaha penjaminan yaitu Bapepam dan Lembaga Keuangan.

20 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011


RUBRIK BUMN

Revitalisasi PT Dirgantara Indonesia: Untuk Mendukung Hankam dan Perekonomian Indonesia Oleh : Praptono Djunedi

"‌, tanah air kita adalah tanah air kepulauan, tanah air yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang dipisahkan satu dari yang lain oleh samudra-samudra dan lautan-lautan. ‌ tanah air kita ini adalah ditakdirkan oleh Allah SWT terletak antara dua benua dan dua samudra. Maka bangsa yang hidup di atas tanah air yang demikian itu hanyalah bisa menjadi satu bangsa yang kuat jikalau ia jaya bukan saja di lapangan komunikasi darat, tetapi juga di lapangan komunikasi laut dan di dalam abad 20 ini dan seterusnya di lapangan komunikasi udara." (Bung Karno, Hari Penerbangan Nasional 9 April 1962).

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 21


RUBRIK BUMN Senada dengan pidato Presiden RI pertama di atas, terdapat suatu pandangan bahwa industri pesawat terbang itu sangat strategis bagi bangsa Indonesia. Sebab, sebagai industri yang berbasis high technology, industri ini dapat membawa bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah maju bila mampu menguasainya. Sebab, prinsip teknologi yang dipakai pesawat terbang sejatinya adalah salah satu tingkatan tertinggi capaian manusia dalam teknologi. Dengan demikian, bila pesawat terbang mampu diproduksi, maka bangsa ini punya kemampuan memproduksi teknologi-teknologi yang lain. Muncul pertanyaan: apakah pernyataan di atas sudah berlaku bagi Indonesia yang memiliki perusahaan dirgantara sejak lebih dari 30 tahun yang lalu? Tulisan ini mencoba membahas sekilas tentang PT DI dan perlunya revitalisasi terkait kondisi perusahaan dirgantara negeri ini. Sekilas Tentang PT DI Dilihat dari sejarahnya, pendirian PT Dirgantara Indonesia (dahulu: Industri Pesawat Terbang Nusantara / IPTN), ternyata perlu waktu yang panjang. Sejarah itu dimulai ketika pemerintah mengirim mahasiswa Indonesia ke Belanda (tahun 19511954), Jerman (1954 – 1958) serta Cekoslowakia dan Rusia (1958 – 1962) untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan atas perintah khusus Presiden RI pertama. Terdapat lima faktor menonjol terkait pendirian PT DI, yaitu : (1) ada orang-orang yang sejak lama bercitacita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; (2) ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; (3) ada orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; (4) ada orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta (5) adanya kemauan pemerintah (Lili Irahali, 2001). Sinergitas antara berbagai faktor di atas telah membuat PT DI memasuki tahapan produksi pesawat terbang yang modern, integral dan lengkap melalui proses alih teknologi sejak tahun 1976. Dalam menerapkan transformasi teknologi tersebut, PT DI punya filosofi “Bermula di Akhir, Berakhir di Awal”. Artinya, dalam memproduksi suatu pesawat terbang, tidak mesti belajar dulu dari komponen pesawat, namun bisa langsung 22 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

mempelajari dari akhir proses produksinya (dalam hal ini, pesawat terbang yang sudah jadi). Setelah itu, baru mundur ke arah pembuatan komponennya. Tahapan alih teknologi yang dipilih PT DI mencakup: (1) tahap penggunaan teknologi yang sudah ada (berlisensi); (2) tahap integrasi teknologi; (3) tahap pengembangan teknologi; dan (4) tahap penelitian dasar. Tahap pertama bertujuan untuk menguasai kemampuan manufacturing, memilih dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan domestik dimana hasil penjualannya untuk meningkatkan kapasitas perusahaan. Tahap kedua ditujukan untuk menguasai kemampuan rancang bangun serta manufacturing. Tahap ketiga untuk meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedangkan tahap terakhir untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul. Pesawat NC-212 yang diproduksi bersama antara PT DI dengan European Aeronatic Defense and Space Company (EADS) CASSA adalah contoh realisasi tahap pertama di atas. Pesawat jenis NC-212 merupakan sebuah pesawat modern berukuran sedang, bermesin turboprop dengan kru dua pilot dan kapasitas angkut 20 pasukan atau kargo 2.820 kg. Pengguna pesawat ini diantaranya adalah TNI-AL, Angkatan Udara Spanyol, AU Portugal dan AU Polandia. Dalam tulisan yang berjudul “PT Dirgantara Indonesia, Peluang dan Tantangan (1)”, Zulkieflimansyah (2011) menyebutkan bahwa visi PT DI adalah

menjadi perusahaan berbasis teknologi dirgantara yang unggul terutama dalam rekayasa, rancang bangun, manufaktur, dan produksi pesawat terbang untuk angkutan penumpang dan kargo, baik untuk kepentingan komersial maupun militer yang mampu meraih keuntungan berdasarkan keunggulan kompetisi pada pasar domestik dan regional. Sedangkan misinya adalah sebagai wahana transformasi industri untuk menjadi pusat keunggulan di bidang industri dirgantara yang berorientasi bisnis dan mampu mendukung kepentingan nasional, yang dapat memproduksi infrastruktur ekonomi berupa jembatan udara yang menghubungkan wilayah antar kota, antar provinsi, dan antar pulau. Dengan demikian, sesuai visi dan misi perusahaan, penguasaan terhadap teknologi kedirgantaraan tentu tidak hanya berhenti sampai di pesawat NC-212 saja. Namun, berlanjut hingga bisa memproduksi jenis pesawat lainnya seperti NBO 105 (helikopter ringan serbaguna bermesin ganda), dan CN-235 (pesawat angkut turboprop kelas menengah bermesin dua; pemasarannya paling sukses), N-250 serta ribuan unit komponen pesawat F16, Boeing, dan Airbus. Penguasaan teknologi kedirgantaraan terkait disain, pengembangan, serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang tersebut perlu waktu sekitar 25 tahun. Berapa investasi yang sudah dikeluarkan pemerintah selama itu? Agak sulit untuk menjawabnya. Namun, sebagai gambaran, David McKendrick dan Universitas Texas di Dallas pernah mengkaji rasio biaya dan keuntungan PT DI secara kumulatif antara tahun


RUBRIK BUMN 1976-1985. Seluruh angka dikonversikan menjadi nilai riil pada 1985, dan tingkat bunga diasumsikan 12% per tahun. Dari perhitungan kasar tersebut, diperoleh rasio penghasilan sekitar 0,62. Maknanya adalah,pendapatan PT DI baru bisa meng-cover 62% dari total investasi yang sudah dikeluarkan. Selanjutnya, di saat PT DI menerima pesanan pasti sebanyak 192 unit pesawat N-250 di tahun 1998 sehingga tinggal 67 unit lagi mencapai ambang batas balik modal (pada penjualan pesawat ke-259), Letter of Intents antara IMF dan pemerintah mensyaratkan dihentikannya pendanaan untuk N-250 tersebut oleh pemerintah. Tentu saja kondisi ini berdampak pada keberlangsungan PT DI. Salah satu implikasinya adalah terjadinya brain drain dimana banyak karyawan yang well-trained mencari pekerjaan ke luar negeri.

Perlunya Revitalisasi

matanews.com

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa faktor dukungan pendanaan yang kuat dari pemerintah masih menjadi andalan keberlangsungan operasional PT DI. Oleh karena itu, wajar kalau publik bertanya: seberapa besar dan sampai kapan pemerintah harus mendukung pendanaan tersebut. Inilah salah satu kritik terhadap pengembangan industri dirgantara di negara kita. Kritikan lainnya adalah adanya keberpihakan pemerintah terhadap satu kepentingan industri tertentu (dalam bentuk pemberian proteksi dan subsidi) dan melakukan diskriminasi terhadap yang lain dianggap dapat mengganggu iklim investasi, yang berdampak pada hilangnya kepercayaan dan minat investor untuk menanam modal. Di sisi lain, industri yang bersangkutan tidak punya insentif untuk meningkatkan efisiensi. Terlepas dari berbagai kritikan di atas, pertanyaan yang cukup relevan adalah bagaimana pemerintah memandang posisi PT DI sekarang ini ?

Apabila PT DI dianggap sebagai industri yang tidak strategis lagi, beberapa kerugian besar berikut ini akan dan terus terjadi yaitu: pertama, investasi yang telah dikeluarkan pemerintah sejak awal berdirinya PT DI tidak akan punya potensi untuk memperoleh return baik berupa dividen, peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya Indonesia bagian timur maupun penguatan pertahanan keamanan dari hasil produksi dalam negeri sendiri. Seperti diketahui, hasil produksi PT DI berupa pesawat komuter kecil dan sedang amat dibutuhkan guna mengoptimalkan fungsi banyak bandar udara kecil serta menghubungkan antar pulau dan antar daerah terpencil di kawasan Indonesia timur. Kerugian kedua, kemampuan penguasaan teknologi pesawat terbang yang dipunyai oleh para engineer yang 20-25 tahun lalu dibentuk oleh B.J Habibie akan menghilang seiring dengan usia mereka yang akan mendekati pensiun. Kerugian ketiga, daya saing PT DI dalam kancah industri pesawat terbang global akan semakin menurun seiring dengan makin menurunnya dukungan SDM yang berkualitas dan kurangnya dukungan finansial. Dalam konteks ini, Hotasi Nababan (mantan Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines) pernah menyatakan bahwa pembelian pesawat dari luar negeri (pesawat jenis Xian MA-60) menjadi pilihan yang tidak terelakkan dikarenakan PT DI sulit memenuhi permintaan kebutuhan pihak Merpati untuk pengadaan pesawat karena alasan keuangan. Kerugian keempat, kebutuhan pesawat terbang negara kita akan terus dipenuhi hanya dengan cara impor, padahal negara kita punya potensi dan kemampuan untuk memproduksinya di dalam negeri. Dalam konteks ini, Harry Laksono (mantan Direktur Utama PT DI) menyatakan bahwa PT DI sebenarnya mampu menjual harga yang lebih rendah untuk pesawat yang sekelas Xian MA-60 (yaitu CN-235). Di sisi lain, ketergantungan terhadap pesawat INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 23


RUBRIK BUMN impor niscaya hanya akan menyusahkan manakala negara eksportir melakukan embargo atas komponen /suku cadang pesawat karena alasan tertentu. Peristiwa ini pernah kita alami terkait kasus embargo komponen pesawat jet Fighting Falcon F-16 kita. Selanjutnya, mari kita cermati sedikit pengalaman pengembangan pesawat terbang di negara-negara maju. Perusahaan Boeing (dahulu: Pacific Aero Products) didirikan pada tahun 1916 di Seattle, Amerika Serikat. Pada tahun 1997, perusahaan Mc Donnel Douglas merger dan menjadi bagian dari Boeing.Produknya meliputi pesawat penumpang komersial, pesawat militer, persenjataan, sistem ruang angkasa dan jasa komputer. Laba bersih pada tahun 2006 sebesar USD 2,2 miliar. Jumlah karyawan sekitar 153 ribu. Dari catatan yang ada, keuntungan yang diperoleh industri pesawat terbang di negara industri sebagian besar berasal dari penjualannya yang berasal dari keperluan militer.

pesawat terbang lebih ditopang oleh kebutuhan militer. Sedangkan negara kita yang terdiri dari kepulauan dengan kondisi yang cukup sulit tentu juga membutuhkan banyak pesawat komuter sipil. Ini tentu saja merupakan potensi pasar yang bagus bagi PT DI. Di sisi lain, Presiden Direktur PT DI, Budi Santoso memprediksi bahwa untuk 20 tahun ke depan kebutuhan pasar pesawat dengan kapasitas 9-20 kursi di seluruh dunia diperkirakan mencapai 5.350 unit dan di Asia Pasifik sekitar 549 unit, baik untuk memenuhi kebutuhan bertambahnya penerbangan sipil maupun untuk keperluan penggantian. Saingan PT DI untuk pesawat kelas ini diantaranya adalah Twin Otter, Cassa dan perusahaan Xian Aircraft Industrial Corporation China yang memproduksi Xian MA-60. Dengan demikian, agar bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan berjaya seperti kata Bung Karno di atas, PT DI harus direvitalisasi dan diposisikan kembali menjadi industri strategis. Makna dari strategis tersebut adalah bahwa industri ini dapat menopang percepatan pertumbuhan ekonomi terutama di kawasan Indoensia timur dengan segala multiplier effect-nya dengan cara memasok pesawat komuter yang sesuai kebutuhan serta memasok kebutuhan pesawat militer dan peralatan pendukungnya guna memelihara pertahanan, keamanan dan kedaulatan negara. Untuk itu, kekuatan PT DI perlu segera dikonsolidasikan terutama terkait SDM yang masih di luar negeri dan hal-hal lainnya yang diperlukan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya keberpihakan pemerintah untuk memajukan industri pesawat terbang melalui dukungan APBN. That's a must. fickr.com

Perusahaan pesawat Airbus didirikan pada tahun 1970 dan merupakan konsorsium perusahaan Perancis, Jerman, Inggris dan Spanyol. Perusahaan Airbus memerlukan waktu 20 tahun sebelum menghasilkan laba. Laba bersih pada tahun 2008 sekitar 1.597 Euro miliar. Jumlah karyawan sekitar 40 ribu. Sejarah juga mencatat bahwa risiko kegagalan industri pesawat terbang cukup besar. Lockheed, perusahaan pesawat terbang Amerika yang membuat pesawat TriStars, misalnya, mengalami kebangkrutan pada tahun 1981 setelah rugi USD 2,5 miliar. Selain itu, pembuatan pesawat supersonik Concorde harus dihentikan pemerintah Inggris dan Perancis setelah perusahaan itu menghabiskan USD 4 miliar untuk riset dan pengembangannya. Di Perancis, produksi pesawat jenis Caravelle harus dihentikan karena kesulitan pemasaran. Pengalaman di negara maju telah memberi pelajaran kepada kita bahwa pendapatan perusahaan 24 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

presidenri.g.id


RUBRIK BUMN

BUMN PANAS BUMI: BEBERAPA SKENARIO Oleh: Hadi Setiawan Pendahuluan Besarnya potensi sumber daya panas bumi (gothermal) di Indonesia ternyata tidak dibarengi dengan perkembangan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Indonesia dikatakan memiliki sumber panas bumi yang sangat besar, yaitu diperkirakan sekitar 29.038 MW (tabel 1). Tetapi sampai tahun 2010 jumlah kapasitas terpasang hanya sebesar 1.189 MW (Sukhyar dan Danar, 2010). Jumlah kapasitas terpasang ini merupakan jumlah kapasitas terpasang sejak tahun 2003 yang bertahan sampai dengan tahun 2010.

Tabel 1 Potensi Panas bumi Indonesia Sumber Daya (MW) Speku- Hipolatif tesis

Lokasi Sumatera Jawa Bali dan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku/Papua Kalimantan TOTAL 276 Lokasi

Cadangan (MW) Terduga

Mungkin

4.785 2.086 6.250 15 1.935 1.836 3.848 658 410 359 983 67 1.299 150 925 43 376 610 115 4.391 12.756 823 8.780 13.171 15.867

Terbukti

Total

380 13.516 1.815 10.092 15 1.767 78 2.519 - 1.029 115 2.288 29.038

Terpasang (MW) 12 1.117 60 1.189

Sumber: Badan Geologi, KESDM, 2010

Padahal Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, menetapkan bahwa target kontribusi panas bumi dalam sasaran bauran energi nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 5% (9.500 MW) yang merupakan bagian dari target kontribusi energi baru terbarukan yang sebesar 17%. Saat ini juga berkembang inisiatif untuk meningkatkan target tersebut menjadi sebesar 25% pada tahun 2025 atau yang dikenal dengan “Visi Energi 25/25� (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010), dan kontribusi panas bumi diharapkan sebesar 12.000 MW. Gambar 1 menunjukkan arah kebijakan energi Indonesia tahun 2010 – 2025. Permen ESDM nomor 2 tahun 2010 juga menargetkan pengembangan panas bumi sebesar 3.977 MW pada tahun 2014-2015. Salah satu keunggulan panas bumi dibandingkan dengan energi fosil adalah rendahnya emisi yang dihasilkan oleh panas bumi. Hal ini sangat cocok dengan kondisi dunia saat ini yang sedang mengurangi emisi karbon, selain itu akan mendukung pernyataan dari Presiden SBY pada pertemuan G20 di Pittsburg yang mengatakan bahwa Indonesia menargetkan pengurangan emisi sampai dengan 26-41% pada tahun 2020. Rendahnya emisi panas bumi juga dapat menjadi sumber penghasilan bagi Indonesia dengan cara penjualan emisi karbon. Selain itu Indonesia bisa memanfaatkan Clean Technology Fund (CTF) dan bahkan mungkin dana hibah untuk pengembangan panas bumi. CTF merupakan merupakan pinjaman lunak dengan bunga yang sangat rendah dan masa tenggat waktu pengembalian yang lama. CTF atau dana hibah ini bisa

Gambar 1 Arah Kebijakan Energi Indonesia

Sumber: Sambutan Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan KE pada Workshop Hidrogren, 2011

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 25


RUBRIK BUMN berasal dari World Bank, ADB atau dari negara-negara pendonor. Sebagai ilustrasi, ADB bersedia memberikan CTF dalam bentuk pinjaman dengan bunga 0,25%, grace period 10 tahun dan waktu pinjaman sampai dengan 40 tahun.

Beberapa Permasalahan Pengembangan Panas bumi Permasalahan yang ada di panas bumi antara lain adalah besarnya risiko sumber daya, yaitu minimnya informasi tentang cadangan yang tersedia pada saat proses lelang, sehingga menyebabkan pengembang meminta harga listrik yang lebih tinggi yang menyebabkan harga listrik panas bumi menjadi tidak ekonomis. Risiko lainnya adalah tingginya biaya investasi pada periode awal proyek yang tidak dibarengi dengan kepastian hasil yang didapatkan. Permasalahan yang lain adalah harga listrik panas bumi pada saat lelang tidak otomatis menjadi harga listrik dalam Power Purchase Agreement (PPA), sehingga terjadi ketidakpastian hukum dan kelangsungan usaha. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran data antara pengembang dengan PLN, ditambah lagi PLN merupakan satu-satunya pembeli listrik, maka hukum ekonomi mengatakan bahwa PLN lah mengatur harga, oleh karena itu PLN hanya akan bersedia membeli jika harga yang ditawarkan oleh pengembang Independent Power Producer (IPP) murah, sebaliknya pengembang hanya bisa menjual dengan harga tinggi karena investasi di panas bumi ini mahal. Maka terjadi gap antara harga yang ditawarkan oleh pengembang dengan harga yang bersedia dibayar oleh PLN. Karena permasalahanpermasalahan ini lahirlah ide dari Kementerian ESDM tentang pembentukan BUMN Panas Bumi yang dianggap sebagai solusi untuk pemecahan permasalahanpermasalahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Tetapi kemudian timbul pertanyaan: 26 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

1. Seberapa perlu BUMN Panas Bumi ini jika hanya untuk mengatasi masalah seperti yang disebutkan sebelumnya. 2. Apakah permasalahan panas bumi hanya terbatas seperti permasalahan yang disebutkan diatas? 3. Apakah BUMN energi lain seperti misalnya PT Pertamina Panas bumi Energy (PT PGE), PT Bukit Asam, PT Perusahaan Gas Negara, atau bahkan swasta tidak bisa didorong untuk mengembangkan panas bumi? Beberapa Skenario Terkait Pembentukan BUMN Panas Bumi Skenario I: Pembentukan BUMN Panas Bumi sebagaimana usulan Kementerian ESDM Format BUMN Panas Bumi yang merupakan usulan dari Kementerian ESDM adalah sebagaimana gambar 2. BUMN Panas Bumi tersebut akan membeli energi (Mwe) panas bumi dari pengembang sesuai dengan harga lelang (format yang saat ini dilakukan adalah PLN yang membeli energi (Mwe) panas bumi dari pengembang dengan harga yang belum tentu sesuai dengan harga lelang). Kemudian BUMN Panas Bumi akan menjual uap/listrik kepada PLN setelah pengembang melakukan eksplorasi/FS. Apabila harga listrik yang ditetapkan Menteri ESDM lebih tinggi daripada harga lelang maka negara akan menanggungnya melalui subsidi kepada BUMN Panas Bumi, sebaliknya apabila harga listrik yang ditetapkan Menteri ESDM lebih rendah maka selisihnya akan menjadai penerimaan BUMN. Selisih harga beli PLN dengan harga hasil lelang akan ditanggung oleh pemerintah melalui BUMN Panas Bumi. Selain itu, BUMN ini dapat melakukan kegiatan eksplorasi dengan mengunakan dana APBN, dana bergulir atau pinjaman, dan hasil eksplorasinya diserahkan kepada Kementerian ESDM untuk ditetapkan menjadi WKP. Gambar 2: Usulan Format BUMN Panas Bumi KESDM

Sumber: Presentasi Dirjen EBTKE 25 April 2011

Menurut penulis BUMN ini tidaklah menyelesaikan masalah sebenarnya yang ada di panas bumi. Format yang diusulkan tersebut justru akan menambah beban subsidi pemerintah karena selisih harga beli PLN dengan harga hasil lelang harus ditanggung oleh negara. Selain itu format tersebut seolah-olah mengatakan bahwa BUMN Panas Bumi hanyalah bertindak sebagai makelar antara


RUBRIK BUMN pengembang dengan PLN, dengan membebankan kepada pemerintah jika ada perbedaan harga. Jika kita berbicara tentang arah pengelolaan BUMN ke depan, pemerintah mempunyai kebijakan dengan pada penguatan peran BUMN untuk lebih berorientasi kepada profit sehingga dapat memperkuat APBN dan perekonomian nasional. Hal ini dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Dalam kaitannya dengan restrukturisasi, prinsip yang diterapkan adalah down sizing, dimana jumlah BUMN akan dirampingkan dari 141 BUMN saat ini menjadi 78 BUMN pada tahun 2014. Bila pemerintah memerlukan adanya BUMN baru, hal itu harus berdasarkan suatu pertimbangkan yang sangat strategis dan menjadi prioritas pemerintah. Jika melihat sisi kompetensi melakukan kegiatan eksplorasi panas bumi, apakah BUMN yang baru ini (cikal bakal BUMN Panas Bumi adalah PT Geo Dipa Energi) mempunyai kapabilitas dan kapasitas untuk mengerjakan kegiatan eksplorasi panas bumi? Perlu diketahui bahwa PT Geo Dipa Energi (PT GDE) saat ini hanya mengelola proyek panas bumi di Dieng dan Patuha (pengelolaan di Patuha bahkan tidak dikelola seluruhnya oleh PT GDE). Perusahaan ini baru berdiri di tahun 2002, sehingga pengalamannya dalam melakukan kegiatan eksplorasi panas bumi yang bersifat unik masih perlu dipertanyakan. Skenario II: Melakukan format bisnis yang sudah ada Format bisnis panas bumi yang berlaku saat ini adalah sebagaimana gambar 3. Pada skema ini pengembang langsung menjual listrik kepada PLN dan PLN membayar pembelian listrik tersebut sesuai dengan harga PPA. Dengan skema yang berlaku saat ini, terbukti pengembangan panas bumi berjalan sangat lambat bahkan bisa dibilang stagnan. Gambar 3: Skema Pengusahaan Panas Bumi Saat Ini Pemenang Lelang WKP PENGEMBANG

1

Listrik

Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan yang memberikan jaminan kelayakan usaha PLN, khususnya untuk pembangunan PLTP yaitu PMK139/PMK.011/2011. Dalam PMK ini pemerintah memberikan jaminan atas kemampuan PLN untuk memenuhi kewajiban finansialnya jika terjadi risiko gagal bayar. PMK ini diharapkan mampu mendorong minat pengembang untuk masuk ke usaha panas bumi. Insentif-insentif lain yang diberikan untuk pengembangan panas bumi, antara lain insentif dibidang perpajakan (seperti fasilitas pajak penghasilan, fasilitas bea masuk, fasilitas PPh Pasal 22, dan fasilitas PPN), fasilitas dalam hal harga listrik (penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari PLTP dengan harga patokan tertinggi 9,70 sen US$/kWh). Menurut penulis, insentif-insentif yang diberikan pemerintah sudah cukup baik untuk mendorong pengembangan panas bumi. Sehingga dengan format bisnis yang ada saat ini dan fasilitasfasilitas yang diberikan oleh pemerintah diharapkan dapat mempercepat perkembangan panas bumi.

PLN

2

Uang Keterangan: 1. Pengembang langsung menjual listrik kepada PLN 2. PT PLN Membayar pembelian listrik kepada pengembang sesuai harga PPA Sumber: Presentasi Dirjen EBTKE 25 April 2011

Hal ini terjadi karena besarnya risiko di bidang panas bumi sehingga menyebabkan investor tidak tertarik untuk mengembangkannya, seperti kebutuhan investasi yang cukup besar dan kemampuan teknik yang unik. Selain itu harga jual listrik hasil lelang belum tentu sama dengan harga beli PLN, hal ini disebabkan karena ada perbedaan penafsiran data antara peserta lelang dengan PLN selaku pembeli listrik. Kebutuhan modal/investasi yang besar di bidang ini menyebabkan pengembang membutuhkan bantuan dari pihak bank untuk pembiayaan nya, tetapi karena besarnya ketidakpastian dari panas bumi (risiko sumber daya) maka pihak bank masih enggan untuk memberikan pembiayaan. Untuk itu pemerintah sudah memberikan insentif untuk mengurangi risiko panas bumi dengan menyediakan dana geothermal yang akan digunakan untuk enhancement data eksplorasi, sehingga mengurangi ketidakpastian jumlah kapasitas panas bumi serta meningkatkan kualitas data eksplorasi lainnya. Sampai saat ini bagaimana skema penggunaan dana geothermal masih dibahas oleh pemerintah.

bisnis.jabar.com

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 27


RUBRIK BUMN Skenario III: Menugaskan kepada BUMN yang sudah ada untuk mengurusi Panas bumi Skenario ketiga yang dapat diambil adalah menugaskan kepada BUMN yang sudah ada dan terbukti cukup kompeten di bidang Panas bumi untuk mengurusi masalah panas bumi ini. Format yang ada mungkin bisa mengambil benchmark ke Filipina yang merupakan negara penghasil listrik terbesar kedua dari panas bumi setelah Amerika Serikat (hampir 2000 MW atau 18% dari kebutuhan listrik di Filipina pada tahunPermasalahan 2008). Beberapa Pengembangan Panasdijalankan bumi Skema yang oleh Filipina dan terbukti cukup berhasil mengembangkan panas bumi adalah sebagaimana gambar 4. Skema pengembangan panas bumi di Filipina menggunakan metode Build Operate Transfer (BOT), dimana PNOC-EDC (BUMN) menyediakan uap sekaligus membeli listrik dari pengembang (perusahaan swasta) selama 10 tahun. Uap yang disediakan oleh PNOC-EDC diberikan secara gratis kepada pengembang. Dengan metode ini risiko eksplorasi dan risiko pemberian listrik ditanggung oleh PNOCEDC, sehingga pengembang hanya mengubah uap menjadi listrik (hanya sebatas energy conversion business) yang bebas dari risiko atau dengan kata lain swasta hanya membangun power plant nya saja, kemudian setelah 10 tahun power plant yang dibangun dan dimiliki oleh swasta akan dialihkan ke PNOC-EDC tanpa kompensasi. Setelah 10 tahun penghasilan akan menjadi milik PNOC-EDC. Jika melihat rata-rata masa manfaat panas bumi yang selama 30 tahun maka PNOCEDC akan menikmati hasil selama 20 tahun. Skema ini terbukti berhasil menarik minat banyak kalangan swasta untuk mengembangkan panas bumi. Gambar 4: Skema BOT Panas Bumi di Filipina

STEAM

STEAM FIELD DEVELOPMENT

POWER GENERATION

Electricity

NPC

Electricity

CONSUMER

Electricity

Enargy Sales Contract

PNOC-EDC

Private Company

NPC (Electric Power Co)

Sumber: JICA-Westjec, 2009.

Pada skema ini, BUMN yang ditugaskan harus mempunyai modal dan teknologi yang kuat terutama pada 10 tahun pertama. Skema ini sangat mungkin dijalankan dan kemungkinan besar akan berhasil jika Indonesia bisa mendapatkan dana CTF maupun dana hibah dalam jumlah yang signifikan. Karena dengan CTF, loan yang diberikan oleh lender akan mempunyai syarat yang sangat ringan, sebagaimana syarat yang diajukan oleh ADB yang salah satunya adalah grace period 10 tahun. Hal ini berarti dalam 10 tahun pertama BUMN tidak perlu mengembalikan pinjaman. Periode yang sama dengan periode BOT. Terkait dengan pemilihan BUMN yang akan ditugaskan harus benar-benar diperhatikan, penugasan hanya bisa diberikan kepada BUMN yang berpengalaman dan mempunyai kapasitas serta kapabilitas di bidang panas bumi karena keunikan sektor panas bumi. 28 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

PENUTUP Ide pendirian BUMN Panas Bumi dengan format sebagaimana usulan Kementerian ESDM belumlah tepat untuk memecahkan m a s a l a h l a m b a t n y a pengembangan panas bumi. Sebaliknya dengan format bisnis yang sudah ada saat ini ditambah dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan pemerintah diharapkan mampu memecahkan masalah yang ada. Pilihan skema BOT panas bumi sebagaimana yang dijalankan di Filipina dapat menjadi salah satu pilihan dengan syarat Indonesia dapat memperoleh CTF dalam jumlah yang signifikan.


RUBRIK BUMN

Oleh: Suska

waspada.co.id

MENGGAGAS (LAGI) PENDIRIAN BANK PERTANIAN Pendahuluan Terbatasnya akses petani terutama petani kecil terhadap pembiayaan menyebabkan wacana tentang pembentukan Bank Pertanian kembali dikemukakan. Petani yang dianggap memiliki kesulitan dalam mengakses pembiayaan dipandang perlu memiliki bank tersendiri yang mengakomodasi kebutuhan pembiayaan petani. Pada pertemuan dengan petani bulan Juni yang lalu,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta usulan petani mengenai wacana adanya bank pertanian untuk dikaji kementerian terkait. Kementerian Pertanian sendiri dalam Renstra 2004-2009 menyatakan kebijakan pemerintah belum berpihak kepada petani di antaranya adalah kredit perbankan yang disediakan pemerintah, porsi terbesar diserap oleh pengusaha konglomerat, sisanya adalah untuk koperasi, usaha kecil menengah, termasuk petani. Kementerian Pertanian juga menyatakan,untuk mendorong pembangunan usaha pertanian, diperlukan berbagai kebijakanberkaitan dengan ketersediaan sumber pembiayaan dari kredit program, kredit komersial dan sumber pembiayaan nonperbankan agar dapat diakses oleh pelaku pembangunan pertanian. Untuk meningkatkan akses pelaku pembangunan pertanian, ke depan perlu dipikirkan kemungkinan pengembangan kelembagaan Bank Pertanian. INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 29


RUBRIK BUMN PEMBIAYAAN PERTANIAN YANG SUDAH ADA Saat ini, walaupun belum ada Bank Pertanian, sebenarnya sudah ada mekanisme pembiayaan yang ditujukan kepada petani. Jenis-jenis pembiayaan kredit tersebut adalah: Perlakuan Pembiayaan Bantuan/hibah

APBN

Sumber dana

Jenis skim kredit BLM,BLT

Bantuan dana bergulir

APBN

BPLM/PMUK

Beberapa Permasalahan APBN dan perbankan Pinjaman bersubsidi Pengembangan Panas bumi

KKP/KKP-E

Pinjaman komersial khusus

APBN dan perbankan

SP3,KUR

Pinjaman komersial penuh

Perbankan murni,LKM,BPR

Kupedes, skim komersial lainnya

Melihat sudah beragamnya pembiayaan pertanian yang ada, baik yang sifatnya bantuan/hibah maupun pinjaman,sebelum memutuskan untuk membentuk Bank Pertanian, perlu ditinjau kembali mekanisme pembiayaan pertanian yang saat ini sudah berjalan. DATA PETANI Bank Pertanian seyogyanya diarahkan untuk menyediakan pembiayaan petani kecil. Karena petani dengan modal besar dapat mendapatkan kredit lebih mudah melalui mekanisme perbankan yang ada. Untuk itu terlebih dahulu perlu ditetapkan definisi petani kecil. Alternatif penentuan definisi Petani Kecil (Sumaryanto, 2009) bisa berdasarkan beberapa hal yaitu antara lain:1.Luas lahan;2.Tenaga kerja ( tenaga kerjanya dilakukan oleh keluarga sendiri);3. Pendapatan rendah;4.Skala usaha. Pendekatan lainnya dalam menentukan definisi petani kecil adalah data mengenai petani gurem yang diterbitkan BPS yang dapat menjadi patokan awal seberapa banyak petani yang harus dibantu dalam hal pembiayaan dalam menjalankan usahanya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003 persentase petani gurem di Pulau Jawa mencapai 74,9% dan di luar Jawa 33,9% atau secara rata-rata seluruh Indonesia mencapai 56,5%. Banyaknya Rumah Tangga, Rumah Tangga Pertanian, Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani Gurem, 1993 dan 2003

Sumber: http://www.bps.go.id/brs_file/rttani-02jan04.pdf?

Data lainnya adalah yang diungkapkan Sumaryanto (2009) mengenai pemilikan luas lahan petani. Data ini menunjukan bahwa petani yang memiliki lahan kurang dari 1 hektar mencapai 57% dari seluruh petani. 30 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Praktek Bank untuk Pembiayaan Pertanian di Negara Lain

1.Malaysia Malaysia memiliki sebuah Bank Pertanian yang disebut Agrobank. Yang merupakan Sebuah Government Linked Company yang berfungsi dibawah pengawasan kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian dan Industri berbasis pertanian dan Bank Sentral Malaysia. Bank ini merupakan Institusi Pembiayaan Pembangunan yang dikhususkan untuk pembiayaan dan perbankan pertanian yang berfungsi untuk mendorong dan membiayai perkembangan pertanian khususnya usaha mikro, kecil dan menengah baik perorangan maupun badan. 1.Thailand Thailand memiliki Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives. Didirikan pada tahun 1966 , bank ini bertujuan menyediakan fasilitas financial untuk mendukung petani, kelompok petani ataupun koperasi melaksanakan kegiatan pertanian sehingga dapat hidup layak. Modal bank didapatkan dari simpanan masyarakat dan bank komersial, bagian kepemilikan dari Bank of Thailand dan bank Tabungan Pemerintah dan sumber bantuan luar negeri. Kebijakan bank untuk pemberian kredit dan pelayanan termasuk memperkuat struktur pembiayaan lebaga pertanian, mendorong tanggung jawab kelompok petani dalam mendapatkan kredit pertanian ,menyediakan kredit terutama untuk golongan berpendapatan rendah di pedesaan, membantu petani untuk memecahkan masalah dalam produksi, pemasaran dan utang dan membantu petani untuk dapat memenuhi kualifikasi untuk mendapatkan kredit jangka panjang.


RUBRIK BUMN PERATURAN PERBANKAN Modal Pendirian Bank Sesuai aturan Bank Indonesia terdapat persyaratan jumlah modal minimum untuk mendirikan Bank yaitu: Bila mengacu pada Undang-undang Bank Indonesia, pembentukan Bank Umum membutuhkan modal sebesar Rp. 3 triliun, sedangkan pembentukan BPR memerlukan modal antara Rp 500 juta-5 miliar tergantung lokasi pendiriannya. Prinsip Prudent dalam Perbankan Dengan memperhatikan adanya resiko dalam setiap pemberian kredit, maka dalam Pasal 8 UU No7 tahun 1992 yang telah disempurnakan dengan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan disebutkan ,bahwa dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikat baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. OPSI DALAM PEMBENTUKAN BANK PERTANIAN Beberapa opsi untuk menerapkan Bank Pertanian yang diajukan oleh Direktorat Pembiayaan Kementan(Ashari , 2009): 1. Kelompok Tani sebagai pemegang saham utama Bank Pertanian dan Kementerian Pertanian melalui lembaga dan atau yayasan menjadi pemegang saham di samping masyarakat umum.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koperasi dan UKM sebagai share holder dan mengalokasikan dana APBN yang terkonsentrasi dalam persentase yang pantas. 3. Mengundang investasi pihak luar (FDI) Kementerian Pertanian dan Kementerian teknis lainnya menjadi share holder. 4. Mendorong salah satu bank BUMN yang ada menjadi Bank Pertanian misalnya BRI yang sudah memiliki ribuan unit desa.

PENUTUP 1. Saat ini terdapat beberapa mekanisme pembiayaan pertanian baik yang bersifat dana yang tidak perlu dikembalikan maupun kredit bersubsidi ataupun kredit komersil. Sebagian di antaranya di bawah pengawasan Kementerian Pertanian. 2. Dengan rencana pembentukan Bank Pertanian maka perlu ditetapkan, apakah kredit-kredit untuk petani yang ada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian maupun instansi lainnya masih akan diteruskan atau semua jenis kredit tersebut diakomodasi oleh Bank Pertanian. 3. Perlu ditetapkan sasaran petani yang akan mendapatkan pembiayaan dari Bank Pertanian apabila yang dimaksud adalah petani kecil, berdasarkan data Sensus Pertanian 2003 terdapat 13 juta rumah tangga petani yang termasuk petani gurem. 4. Pembentukan Bank Pertanian membutuhkan penyesuaian aturan perbankan terkait terutama persyaratan pemberian kredit dimana sesuai peraturan Bank Indonesia, maka bank yang memberikan kredit harus memperhatikan unsur kehati-hatian di antaranya dalam bentuk mensyaratkan adanya jaminan/ agunan untuk mendapatkan kredit, satu hal yang menjadi kendala bagi petani untuk mendapatkan kredit. 5. Bila mengacu pada Undang-undang Bank Indonesia, pembentukan Bank Umum membutuhkan modal sebesar Rp. 3 triliun, sedangkan pembentukan BPR memerlukan modal antara Rp 500 juta-5 miliar tergantung lokasi pendiriannya. 6. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan pernah mengusulkan beberapa opsi tentang mekanisme pembentukan Bank Pertanian, yang paling memungkinkan dilaksanakan dalam waktu singkat adalah opsi mendorong salah satu bank BUMN yang ada menjadi Bank Pertanian misalnya BRI yang sudah memiliki ribuan unit desa. 7. Diperlukan suatu forum diskusi dan kerjasama antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Pertanian dan Bank Indonesia dalam membahas klasifikasi petani yang akan menjadi sasaran Bank Pertanian, jumlah dan jenis kredit yang akan disalurkan, serta perubahan aturan perbankan yang diperlukan dalam pendirian Bank Pertanian.

2. Pembentukan Bank Pertanian melibatkan Kementerian Pertanian,Kementerian Kehutanan, INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 31


RUBRIK FISKAL OPSI STRATEGI PEMBIAYAAN PENANGANAN BENCANA ALAM DALAM RANGKA MENGENDALIKAN RISIKO FISKAL INDONESIA

1)

Oleh: Abdul Aziz Latar Belakang dan Gambaran Umum Indonesia termasuk salah satu negara (dari 35 negara) yang mempunyai tingkat risiko kematian yang tinggi dari berbagai bahaya bencana yang terjadi di negara ini. Ada sekitar 40% penduduk Indonesia berada dalam risiko ini (atau sekitar 90 juta orang). Indonesia juga mempunyai potensi kerugian sangat besar akibat terjadinya bencana alam seperti yang terjadi di beberapa daerah selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Menurut data Bank Dunia, bencana alam di Indonesia mempunyai dampak ekonomi yang lebih besar pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota (dari pada pada tingkat nasional), seperti contoh berikut ini:

berhubungan dengan timbulnya kebutuhan alokasi anggaran jangka pendek (short term) dan jangka menengah (medium term) yang harus dikeluarkan seperti untuk: (1) Memperbaiki aset-aset publik nasional (berskala nasional, milik pemerintah pusat) seperti jalan nasional, infrastruktur air dan bangunan-bangunan tingkat nasional (Medium term);

data Pemerintah (antara tahun 2001 s.d. 2007) disebutkan bahwa ada sekitar 4.000 peristiwa bencana alam, diantaranya adalah banjir (40%), kemarau/kekeringan (24%), tanah

Tabel 1: Dampak Bencana Alam Terhadap PDRB No

Peristiwa

Provinsi

Estimasi Kerugian Estimasi Kerugian (US$ billion) (% dari PDRB)

1

Tsunami (2004)

NAD

4.5

54%

2

Gempa Bumi (2006)

DIY

3.1

41%

3

Gempa Bumi (2009)

Sumbar

2.3

30%

Sumber: EMDAT CRED dan WB

Lebih jauh dari itu, bahwa selama lebih dari 10 tahun terakhir ini dampak tahunan dari bencana alam di Indonesia diperkirakan bisa mencapai rata-rata 0.3% dari PDB (US$1.5 miliar atau sekitar Rp 30 triliun). Disamping itu, ada potensi terjadinya gempa sangat besar dengan periode ulang 250 tahun yang bisa berdampak pada kerugian negara hingga lebih dari US$30 miliar (+ Rp300 triliun) atau sekitar 3% dari PDB. Pada sisi lain, tingginya frekwensi terjadinya bencana di Indonesia tentu akan berakibat pada beratmbahnya pengeluaran negara/daerah. Berdasarkan 32 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

longsor (11%), dan angin topan (9%) yang dapat menghancurkan infrastruktur publik dan perumahan rakyat di daerah terkena bencana yang dimana kebanyakan dari infrastruktur tersebut belum diasuransikan sehingga pada gilirannya akan menimbulkan beban berat bagi pengeluaran negara/daerah dalam perbaikan infrastruktur yang terkena bencana tersebut. Sebagai konsekwensi dari hal di atas maka pemerintah (khusunya pemerintah pusat) mempunyai kewajiban kontijensi terkait bencana alam yang cukup besar karena

(2) Memperbaiki ase-aset publik subn a s i o n a l ( b e r s k a l a provinsi/kabupaten/kota, milik pemerintah daerah) seperti Jalan provinsi dan kabupaten/kota, sekolah-sekolah, pasar lokal, (Short to Medium term); (3) Bantuan stimulus untuk pemulihan mata pencaharian/nafkah bagi korban, rekonstruksi tempat inggal (Short term). Selama ini kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dibiayai dari cadangan dana pada Bendaharawan Umum Negara (BUN) yang proses penyelesaiannya membutuhkan persetujuan DPR sehingga memakan waktu yang cukup panjang, sementara alokasi anggaran tahunannya dalam APBN hanya sekitar Rp4 triliun sehingga jika suatu bencana besar atau beberapa bencana menengah terjadi dalam tahun yang sama maka dana tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi dimaksud. Menurut perhitungan World Bank, Indonesia sebenarnya membutuhkan dana dengan likuiditas cepat sebesar US$ 2 miliar (Rp 20 triliun) untuk pembelanjaan publik dalam tahun di mana terjadi bencana


RUBRIK FISKAL Bantuan Teknis Bank Dunia Beberapa pertimbangan kondisi riil di atas dan adanya alasan untuk mengimplementasikan UndangUndang nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012 (RAN-PRB 2010-2012) yang menyebabkan Pemerintah Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB (sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana nasional) memandang perlu untuk meminta Bank Dunia melakukan kajian dan memberikan bantuan teknis kepada pemerintah Indonesia dalam hal pengendaliaan risiko bencana. Secara umum, Pemerintah Indonesia (khusunya Kementerian Keuangan) membutuhkan kajian tentang pengembangan strategi nasional (kapasitas) pembiayaan risiko untuk melindungi keuangan negara dari dampak bencana alam, sedangkan BNPB membutuhkan kajian tentang kebutuhan pasca bencana sebagai salah satu dasar pengalokasian dana bencana dan penyaluran bantuan tepat waktu (lihat ilustrasi penulis pada gambar 1 di bawah ini).

dalam rangka penanggulangan risiko bencana alam di Indonesia yang perlu disajikan dalam artikel ini, yaitu: (1)

Bank Dunia menawarkan 3 (tiga) strategi pembiayaan pada 3 level kondisi bencana yang berbeda berdasarkan frekwensi kejadian, tingkat dampak bencana, dan tingkat risiko bencana. Rekomendasi ini diyakini oleh Bank Dunia bisa mengurangi risiko fiskal dan melindungi keseimbangan fiskal Indonesia, 3 strategi pembiayaan tersebut adalah: a)

Memperbesar alokasi dana tahunan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana yaitu berupa dana kontijensi tahunan hingga Rp5 Triliun (US$500 juta). Dana ini terutama ditujukan untuk bencana dengan tingkat frekwensi tinggi namun mempunyai dampak bencana kecil dan tingkat risiko bencana rendah (seperti banjir lokal, tanah longsor);

b)

Menyiapkan pinjaman siaga (contigent credit) hingga Rp5 Tiliun (US$500 juta). Dana ini terutama ditujukan untuk bencana dengan tingkat frekwensi sedang, mempunyai dampak bencana menengah dan tingkat risiko bencana menegah (seperti banjir, gempa bumi kecil);

c)

Membeli asuransi parametrik untuk bencana alam dengan nilai pertanggungan hingga Rp8 Triliun (US$800 juta). Dana ini terutama ditujukan untuk bencana dengan tingkat frekwensi rendah, namun mempunyai dampak bencana tinggi dan tingkat risiko bencana tinggi (seperti gempa bumi besar, tsunami besar, siklon tropis, dll);

Gambar 1. Bantuan Teknis Bank Dunia

Pemerintah Meminta bantuan teknis untuk menyempurnakan kapasitas pembiayaan pasca bencana

Dasar Hukum UU No.24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana Alam

BNBP: Meminta bantuan teknis untuk mempelajari pilihan -2 guna penyempurnaan mekanisme bantuan pendanaan pasca bencana

Dasar Hukum RAN PRB 2010-2011

Bantuan Teknis WB

Strategi Pembiayaan Penanggulangan Bencana Alam Menurut penulis, paling tidak ada dua strategi pembiayaan penting yang ditawarkan oleh Bank Dunia

carakahana.blogspot.com

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 33


RUBRIK FISKAL Dengan demikian total kebutuhan pembiayaan adalah mencapai sekitar Rp18 triliun (US$1.7 miliar). 3 (tiga) strategi pembiayaan tersebut diilustrasikan oleh Bank Dunia seperti terlihat dalam gambar 2 di bawah ini.

1)

Gambaran umum tentang kondisi alam dan potensi besar terjadinya bencana di atas harus mendorong Indonesia (baca: Pemerintah) untuk mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh dengan early warning system bencana yang paripurna sehingga setiap warga negara (terutama yang berada pada daerah rawan bencana) bisa mempersiapkan diri dengan sedini dan sebaik mungkin agar kerugian jiwa, mental, dan materi dapat diminimalisir. Indonesia juga perlu membuat strategi pembiayaan risiko bencana yang baik (terutama untuk menghadapi saat terjadinya bencana dan pasca bencana) sehingga risiko fiskal dapat diminimalisir, diantaranya adalah dengan mempertimbangkan tawaran strategi pembiayaan dari Bank Dunia di atas;

2)

Pada prinsipnya penulis sependapat dengan opsi strategi pembiayaan berdasarkan level bencanan seperti yang ditawarkan oleh Bank Dunia di atas dengan alasan:

Gambar 2. Bottom up Approach: 3 Lapis Strategi Pembiayaan Dalam Menghadapi Bencana Alam

HIGH

Disaster Risk Financing Instrumen

High Risk Layer (Gempa Bumi Besar, Siklon Tropical)

Disaster Risk Insurance (Parametric Insurance,)

Medium Risk Layer (Banjir,Gempa Bumi Kecil)

Contigent Credit

Low Risk Layer (Banjir Lokal,Tanah Longsor)

Contigency Budget, Reserves Annual, Budget Allocation

MAJOR

Severity of Impact

Frecuency of event

LOW

Disaster Risk

MINOR

Menurut kajian awal Bank Dunia bahwa kombinasi strategi pembiayaan tersebut akan mampu melindungi keuangan Indonesia terhadap dampak bencana alam sampai dengan periode ulang 100 tahunan. (2)

Bank Dunia juga mengusulkan skema Joint Disaster Reserve Fund (JDRF) untuk pemerintah daerah (pemda) Di Indonesia. JDRF merupakan suatu skema pembentukan dana cadangan bersama dari beberapa pemda dimana setiap pemda berkontribusi (membayar iuran/premi) berdasarkan pada profil risiko masing-masing dan tingkat coverage (nilai pertanggungan) yang diinginkan oleh masing-masing pemda tersebut. Agar lebih aman dari penarikan modal oleh peserta (ada pemda yang tiba-tiba ingin keluar dari skema JDRF ini) dan agar kapasitas dana cadangan ini lebih baik maka dana cadangan bersama tersebut akan dimasukkan dalam pengelolaan Reasuransi Internasional dan Pasar Modal. Meskipun pengelolaannya dimasukkan dalam reasuransi internasional atau pasar modal tetapi masingmasing pemda tetap mempunyai akses yang cepat terhadap dana cadangan bersama tersebut (ketika terjadi bencana) tanpa harus menambah biaya dan ongkos politik yang besar (tanpa perlu melalui pembahasan dengan parlemen lagi, dan lain-lain).

a)

Dengan mengikuti strategi pembiayaan dimaksud, pemerintah dapat memperkirakan cadangan dan kebutuahan dana untuk penanganan bencana alam dalam rentang waktu yang cukup panjang (tidak seperti ketika pemerintah hanya mempunyai dana tahunan sebesar Rp4 triliun saja);

b)

Jika, Pemerintah tidak menjalankan strategi pembiayaan tersebut maka ketika terjadi bencana besar atau terjadi beberapa kali bencana pada tahun yang sama maka dikhawatirkan pemerintah terpaksa akan menambah utang yang pada gilirannya akan menambah defisit anggaran;

Konsep strategi Joint Disaster Reserve Fund ini dapat dipastikan akan diterima oleh banyak pemda karena beberapa pertimbangan seperti: a)

Pemda biasanya mempunyai sumber keuangan yang terbatas sehingga pemda memerlukan strategi joint reserve fund ini;

b)

Program ini akan membantu pemda dalam mengakses sumber keuangan di luar yang dialokasikan/dianggarkan (non-earmarked resources) secara cepat setelah terjadinya bancana alam;

c)

Program ini akan membantu pemda-pemda (yang ikut berpartisipasi dalam program ini) untuk mengakses asuransi risiko bencana (catastrophe risk insurance) dan meningkatkan kapasitas tanggap bencana pada level biaya yang sangat rendah. Review dan Rekomendasi

Berdasarkan gambaran umum tentang bencana alam di Indonesia dan tawaran strategi pembiayaan Bank Dunia di atas, penulis memberikan pandangan dan rekomendasi sebagai berikut: 34 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Namun demikian, sebelum strategi pembiayaan ini dilaksanakan maka perlu dibahas secara mendalam tentang cara


RUBRIK FISKAL memotret potensi risiko bencana dan kapasitas fiskal dari masing-masing daerah (pemda) secara lebih valid. Oleh karena itu, besaran iuran/premi yang dibayarkan tidak hanya mempertimbangkan disaster risk profile dan besarnya coverage (nilai pertanggungan) yang diinginkan saja namun juga fiscal capacity profile yang dimiliki oleh masing-masing pemda sehingga besaran/premi yang dibayarkan tersebut diharapkan akan lebih proporsional.

mengimplementasikan strategi tersebut misalnya dengan mendiskusikannya dengan para ahli yang kompeten di bidang strategi pembiayaan bencana agar tujuan awal strategi ini yaitu untuk melindungi keuangan negara dapat tercapai dengan baik. Pada sisi lain, pendapat Bank Dunia yang menyebutkan bahwa jika strategi pembiayaan ini dijalankan akan dapat melindungi keuangan Indonesia terhadap dampak bencana dengan periode ulang 100 tahunan adalah memerlukan penjelasan yang cukup karena menurut penulis, statement ini belum didukung oleh data dan analisis yang kuat sehingga sampai pada kesimpulan angka 100 tahun di atas;

4)

Pada prinsipnya penulis juga sependapat dengan tawaran program Joint Disaster Reserve Fund, namun ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis yaitu: a)

b)

Menurut penulis, strategi joint disaster reserve fund yang diusulkan oleh Bank Dunia hendaknya juga mempertimbangkan efek bencana secara geologi (khusunya untuk bencana gempa bumi). Karena bencana (gempa bumi) bisa terjadi lintas wilayah (geografis) yang tidak selalu berdekatan dengan pusat bencana sehingga kepesertaan JDRF ini juga tidak semata-mata berdasarkan kedekatan wilayah pemda secara geografis. Oleh karena itu, menurut penulis perlu adanya masukan dari ahli geologi sebelum mengimplementasi program ini; Perlu dibuat terlebih dahulu matriks sebaran disaster risk profile dan fiscal capacity profile semua pemda (seperti terlihat pada ilustrasi penulis di bawah ini) sehingga dapat

Sebagai ilustrasi, meskipun pemda F mempunyai disaster risk profile rendah namun buka berarti langsung dikenakan iuran/premi yang rendah pula karena dalam ilustrasi tersebut pemda F mempunyai posisi fiscal capacity yang tinggi (apalagi jika pemda F tersebut menginginkan nilai pertanggungan yang tinggi juga) sehingga perlu dikenakan premi yang proporsional dengan kemampuan fiskalnya. Namun sebaliknya, pemda A yang mempunyai disaster risk profile tinggi juga tidak boleh langsung dikenakan premi/iuran yang tinggi karena dalam ilustrasi tersebut pemda A berada pada posisi fiscal capacity yang rendah sehingga kondisi ini perlu menjadi salah satu pertimbangan untuk mengenakan premi/iuran sesuai dengan kemampuan keuangan pemda A tersebut.

Ilustrasi Matrik Sebaran Disaster Risk and Fiscal Capacity Profile Pemda HIGH

Disaster Risk Profile

3)

A

B

D C F

E LOW

Fiscal Capacity Profile

HIGH

Pada sisi lain, mengingat pentingnya program joint disaster reserve fund ini maka dibutuhkan adanya political will dari DPRD dan pimpinan daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) serta adanya campur tangan dari pemerintah pusat kepada pemda agar strategi ini dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang dicita-citakan. 1)

Artikel ini merupakan shorter version dan review penulis dari kajian Bank Dunia: “Indonesia, Advancing a National Disaster Risk Financing Strategy, Options for Consideration.�

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 35


RUBRIK FISKAL

PEMANTAUAN RISIKO FISKAL DARI SEKTOR KEUANGAN Oleh: Novijan Janis

Kebutuhan Pengawasan Sektor Keuangan Kehancuran sektor keuangan dapat menimbulkan tekanan pada anggaran belanja sebuah negara, baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Pada krisis keuangan Asia diakhir abad 20, kehancuran pasar uang domestik yang terwujud dalam bentuk jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika menyebabkan kesulitan likuiditas pada industri perbankan di indonesia. Kesulitan tersebut sangat nyata terlihat dari pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yang mengalami kenaikan antara 169% sampai 421% (YoY), khususnya pada periode Agustus 1997 sampai dengan Juli 1998. Hancurnya sektor keuangan tersebut mendorong otoritas moneter (Bank Indonesia) dan pemerintah (Departemen Keuangan) untuk mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 621,6 triliun. Hal yang serupa juga terjadi di negara maju, diantaranya Amerika Serikat. Dengan hadirnya krisis keuangan di negeri Paman Sam pada akhir tahun 2007, yang memaksa beberapa perusahaan keuangan raksasa di Amerika Serikat bangkrut, pemerintahan Presiden pada masa itu menganggarkan bantuan sebesar USD 700 miliar atau setara dengan kurang lebih Rp 6.300 triliun. Bahkan pada masa kepemimpinan Presiden Barack Obama juga dianggarkan dana bail out sebesar USD 819 miliar sebagai kelanjutan upaya memperbaiki sektor keuangan di negeri tersebut. Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa sektor keuangan dapat menjadi risiko fiskal yang material (signifikan) apabila tidak dikelola 36 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

dengan baik khususnya pada saat sektor dimaksud mengalami kesulitan yang tidak dapat ditangani secara sektoral. Selanjutnya kedua kasus tersebut dan kasus sejenis lainnya mendorong komunitas ekonom untuk membuat indeks kondisi keuangan (Financial Condition Indices) dengan tujuan untuk memantau kondisi keuangan masing-masing negara sehingga otoritas terkait dapat melakukan antisipasi seperlunya atas kondisi keuangan yang ada. Adapun pengguna indeks tersebut diantaranya adalah regulator, lembaga pengawas sektor keuangan dan juga investor. Untuk pengawasan risiko fiskal yang berasal dari sektor keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal mencoba mengembangkan sebuah alat yang dapat menggambarkan kondisi sektor keuangan di Indonesia yang

kondisi sektor keuangan di Indonesia. Indeks tersebut disusun berdasarkan 4 komponen utama yaitu pasar uang (money market), pasar modal (equity market), pasar utang (bond market) dan sektor perbankan (banking sector). Selanjutnya ditentukan nilai kritis (threshold) untuk setiap komponen indeks tersebut sebagai pertanda apakah angka indeks dimaksud berada dalam kondisi krisis atau tidak. Dalam periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2011, indeks kondisi keuangan Indonesia yang ditampilkan dengan probabilitas resesi 50% dan satu kali standard deviasi menunjukkan posisi yang jauh dari nilai kritis sehingga dapat diartikan bahwa Indonesia tidak sedang dalam kondisi krisis. Selanjutnya tren yang ditunjukkan oleh indeks dimaksud adalah cenderung mengalami perbaikan yaitu menjauh dari nilai kritis.

Gambar 1. IDFCI

Sumber : Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal

disebut dengan Indonesia Financial Condition Index (IDFCI). Indonesia Financial Condition Index (IDFCI) Indeks kondisi keuangan Indonesia (Indonesia Financial Condition Index) adalah sebuah indeks yang diharapkan dapat mencerminkan

Pada gambar terlihat bahwa indeks tersebut berfluktuasi namun tetap berada pada posisi yang aman dari krisis. Pemantauan terhadap komponen penyusun indeks kondisi keuangan Indonesia menunjukkan hasil sebagai berikut :


RUBRIK FISKAL

1. Pasar uang (money market) Kondisi pasar uang tercermin pada nilai tukar rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika. Indeks pasar uang Indonesia untuk kurun waktu Januari-Juni 2011 berada pada kondisi yang kondusif sebagaimana terlihat pada Gambar 2 s.d. 9. Gambar 2. Pasar Uang

Sumber : Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal

Gambar 3. Kurs Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar Amerika

Indeks pasar uang menunjukkan kondisi yang berfluktuasi dengan tingkat volatilitas 3,75%. Namun untuk semester pertama tahun 2011 masih jauh dari threshold dan memiliki kecenderungan menjauh dari kondisi krisis. Hal ini sesuai dengan kondisi dari unsur penyusun indeks yaitu kurs mata uang rupiah terhadap nilai dolar Amerika. Secara umum mata uang rupiah mengalami apresiasi terhadap mata uang dolar Amerika baik pada triwulan 1 maupun triwulan 2 di tahun 2011. Depresiasi mata uang dolar Amerika terhadap nilai rupiah juga terjadi pada tahun 2010.Penguatan mata uang rupiah tersebut disebabkan oleh supply yang lebih kuat dari demand dimana hal tersebut tergambar dalam perkembangan ekspor-impor dan penanaman modal asing secara langsung dalam periode Januari-Juni 2011. Pada umumnya nilai ekspor dan impor mengalami tren yang meningkat. Namun peningkatan nilai ekspor melebihi kenaikan nilai impor. Dimana nilai eksporimpor non migas lebih dominan dari nilai ekspor-impor migas dan secara kumulatif perdagangan internasional tersebut mengalami surplus.

Sumber : Bloomberg

Demikian pula halnya dengan investasi langsung (foreign direct investment). Secara umum nilai arus masuk lebih besar dari pada nilai arus keluar walaupun pada triwulan kedua di INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 37


RUBRIK FISKAL Tabel 1. Investasi Langsung Indonesia

tahun 2011 kinerja investasi langsung tersebut mengalami penurunan.

(Dalam USD miliar)

Gambar 4. Ekspor – Impor Indonesia Investasi Langsung

Tw 1

Arus Masuk Arus Keluar Netto

4,8 1,7 3

2011 Tw 2 5,2 2,5 2,7

Sumber : BI

Sumber : BPS

1. Pasar modal Pemantauan pada pasar modal di Indonesia dilakukan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dianggap sudah merangkum unsur risiko dari dalam dan luar Indonesia. Indeks pasar modal Indonesia untuk periode dari Januari sampai dengan Juni 2011 berada pada kondisi yang baik sebagaimana terlihat pada Gambar-Gambar berikut. Gambar 5. Pasar Modal

Indeks pasar modal menunjukkan kondisi yang sangat berfluktuasi dibandingkan dengan pasar lainnya dan memiliki angka variasi sebesar 39,34%. Namun pada periode triwulan 1 dan 2 di tahun 2011 masih jauh dari threshold dan cenderung menjauh dari kondisi krisis. Hal ini sesuai dengan perkembangan IHSG yang cenderung meningkat. Secara konsisten IHSG mengalami peningkatan baik di tahun 2010 maupun di tahun 2011. Investasi langsung masih didominasi oleh Penanaman Modal Asing baik pada triwulan 1 (PMA sebesar USD 4,3 miliar sedangkan PMDN sebesar Rp 14,0 triliun atau setara USD 1,6 miliar) dan triwulan 2 tahun 2011 (PMA sebesar USD 4,7 miliar sedangkan PMDN sebesar Rp 18,9 triliun atau setara USD 2,2 miliar).

Sumber : Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal

Gambar 6. Indeks Harga Saham Gabungan

IHSG 5,000.0 4,000.0 3,000.0 2,000.0 1,000.0

Sumber : Bloomberg

38 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Jul-11

Jun-11

Mei-11

Apr-11

Mar-11

Feb-11

Jan-11

Dec-10

Nov-10

Oct-10

Sep-10

Aug-10

Jul-10

Jun-10

May-10

Apr-10

Mar-10

Feb-10

Jan-10

-


RUBRIK FISKAL 3. Pasar utang Indeks pasar utang disusun berdasarkan surat utang yang dianggap paling likuid di pasar utang Indonesia yaitu obligasi pemerintah (Surat Utang Negara). Indeks pasar utang Indonesia untuk kurun waktu Januari – Juni 2011 berada pada kondisi yang sehat sebagaimana terlihat pada Gambar-Gambar berikut. Gambar 9. Sektor Perbankan

Sumber : Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal

Indeks sektor perbankan menunjukkan kondisi yang stabil dan jauh dari nilai kritis dengan volatilitas sebesar 2,98%. Selain itu indeks dimaksud juga menunjukkan kecenderungan menjauh dari kondisi krisis. Memang fungsi intermediasi perbankan mengalami peningkatan yang terlihat dari kenaikan LDR dan nominal kredit yang disalurkan baik di tahun 2010 maupun di tahun 2011, namun kredit bermasalah pun mengalami peningkatan. Gambar 10. Penyaluran Kredit dan NPL

Sumber : Bank Indonesia

Likuiditas sektor perbankan sempat mengalami tekanan sejak diumumkannya kenaikan suku bunga BI menjadi 6,75% dari 6,5%, namun sejak Mei 2011 tekanan tersebut mengalami penurunan. Secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa dari pengawasan risiko fiskal yang berasal dari sektor keuangan menunjukkan kondisi keuangan Indonesia berada pada posisi yang baik dan jauh dari kondisi krisis baik dari indeks kondisi keuangan itu sendiri maupun dari setiap komponen penyusun indeks dimaksud.

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 39


RUBRIK FISKAL

Mandatory Spending yang Semakin Besar Oleh : Rangga Satya Negara Pendahuluan Perkembangan belanja negara tahun 2005-2011 menunjukkan bahwa belanja negara meningkat rata-rata sekitar 16 %, pada pagu APBN 2011 belanja negara (belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah) telah mencapai Rp1.229,6 triliun. Namun demikian, sebagian besar belanja negara (rata-rata 86,3%) dalam kurun waktu tersebut digunakan untuk belanja mengikat yang bersifat rutin dan wajib (non-discretionary spending), seperti belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, belanja subsidi (terutama BBM dan listrik), dan transfer ke daerah. Sebagai dampak dari situasi tersebut, maka ruang gerak (fiscal space) bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran ke jenis belanja yang lebih produktif (belanja non-rutin/ discretionary) - seperti belanja untuk infrastruktur, program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan bantuan sosial - menjadi relatif terbatas.

Sumber: Kementerian Keuangan

Disamping disebabkan komposisi anggaran yang masih didominasi belanja wajib, ruang fiskal pemerintah juga dipersempit oleh adanya ketentuan perundangan yang mengikat pengeluaran APBN (mandatory spending), yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Karena adanya ketentuan peraturan perundangan yang berlaku inilah yang membedakan terminologi mandatory spending dengan non discretionary.

Sumber: Kementerian Keuangan

Pengertian Mandatory Spending Pengertian umum dari mandatory spending adalah kewajiban pengeluaran negara yang dimandatkan atau dikunci oleh ketentuan peraturan perundangan (UU dan UUD) yang berlaku, atau dengan kata lain terjadi pengkaplingan alokasi anggaran belanja. 40 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Beberapa ketentuan peraturan perundangan (dasar hukum) terkait mandatory spending diantaranya adalah (1) UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 Te n t a n g P e n y e d i a a n A n g g a r a n Pendidikan dari APBN/APBD; (2) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; (3) UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen; (4) UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; (5) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; (6) Undangundang otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Isu-isu Pokok Yang Masih Terdapat Dalam Pengelolaan Belanja 2012 RUU APBN 2012 telah disahkan menjadi UU APBN 2012 oleh pemerintah dengan DPR RI. Menurut penulis, beberapa isu pokok terkait mandatory spending dalam pengelolaan belanja negara TA 2012: Pertama, ruang gerak (fiscal space) rencana anggaran 2012 masih terbatas. Komposisi belanja negara masih didominasi oleh belanja mengikat (non discretionary) yang bersifat wajib. Sekitar 77,9 % dari belanja negara tahun 2012 digunakan untuk membiayai belanja mengikat yang bersifat non discretionary, antara lain untuk transfer ke daerah (32,8%); belanja pegawai (16,4%); belanja barang (2,4%); subsidi (13,8%); bunga utang (9,3%); belanja lain-lain (0,7%); PNBP dan BLU (2,4%).


RUBRIK FISKAL Dana yang tersisa untuk belanja tidak mengikat (discretionary) menjadi sangat terbatas sekitar 22,1%, antara lain belanja modal (10,9%); belanja barang (5,1%); belanja sosial (5,4%); belanja hibah (0,2%); belanja lain-lain (0,5%). Kedua, mandatory spending semakin membesar. Mandatory spending yang semakin meningkat tersebut akan membuat fiscal space semakin kecil lagi. Hal ini terutama karena beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dan langkahlangkah kebijakan bersifat mengikat dan/atau membatasi ruang fiskal APBN: (1) kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen UUD 1945; (2) kewajiban pemenuhan tunjangan untuk guru (fungsional, profesi, maslahat tambahan, dan tunjangan khusus) sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen; (3) kewajiban penyediaan dana perimbangan sekitar 27 - 30% terhadap belanja negara, yaitu: untuk DAU minimal 26% dari penerimaan dalam negeri neto, dan DBH sesuai ketentuan UU No 33/2004; (4) penyediaan dana otonomi khusus (2% dari DAU Nasional) sesuai dengan Undang-undang otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam dan Papua; dan (5) penyediaan alokasi anggaran kesehatan 5% dari APBN (sesuai UU Nomor 36/2009). Selain beberapa ketentuan perundangan dan langkahlangkah kebijakan yang juga mengikat APBN, Pemerintah juga mempunyai komitmen untuk memenuhi anggaran pertahanan sehingga mencapai minimum essential forces. Kebijakan penyediaan anggaran untuk alat utama sistem senjata (Alutsista) Kementerian Pertahanan adalah sekitar 1,5 % dari PDB. Akibat adanya pengkaplingan ini, telah membuat fiscal space menjadi tidak fleksibel, yang implikasinya adalah alokasi anggaran langsung bisa ditebak pengalokasiannya, serta penambahan penerimaan negara tidak nyata terlihat

(dikarenakan penambahan defisit pembiayaan akan menambah porsi belanja sesuai persentase pengkaplingan). Ketiga, belum optimalnya penyerapan anggaran belanja negara yang bisa dilihat dari daya serap anggaran belanja Kementerian/ Lembaga (K/L) rata-rata hanya 80%90% dari pagu APBN. Masalah rutin lainnya adalah realisasi belanja yang biasanya menumpuk di akhir tahun, sehingga dampaknya pada pertumbuhan ekonomi nasional menjadi kurang maksimal. Hal-hal yang menyebabkan penyerapan anggaran K/L belum optimal, diantaranya adalah: (1) keterlambatan penetapan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan pengelola kegiatan di hampir semua Satker Pusat dan Daerah; (2) perencanaan kegiatan yang kurang baik: tidak ada kerangka acuan kerja (TOR dan RAB); (3) dampak penerapan Perpres 54/2010, yang membuat pengadaan barang/jasa pemerintah bukan persoalan sederhana; (4) masalah pengadaan dan pembebasan lahan; serta (5) fleksibilitas yang terbatas dalam memanfaatkan sisa anggaran (SAL/SILPA). Menuju Spending Quality Dalam Pengelolaan Belanja 2012 Sebagai dampak dari masih besarnya mandatory spending, maka perlu dilakukan peningkatan kualitas belanja negara, sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara. Langkah yang perlu dilakukan adalah dengan mempercepat penerapan adalah: (1) mengedepankan alokasi belanja modal untuk mendukung pembiayan bagi kegiatankegiatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Pro Growth), menciptakan kesempatan kerja (Pro Job), mengentaskan kemiskinan (Pro Poor), dan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan (Pro Environment); (2) mengurangi pendanaan bagi kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif; (3) merancang

ulang (redesign) kebijakan subsidi: merubah sistem subsidi dari subsidi harga menjadi subsidi yang tepat sasaran (targeted subsidy), membatasi sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, serta menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, dan lebih tepat sasaran; (4) menghindarkan meningkatnya pengeluaran mandatory spending dengan cara tidak melakukan lagi pengkaplingan anggaran belanja; (5) mempercepat implementasi sistem penganggaran berbasis kinerja, dan kerangka pengeluaran jangka menengah; (6) memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi; (7) menerapkan reward dan punishment dalam pengalokasian anggaran; (8) mempercepat penyerapan anggaran belanja antara lain dengan: (a) melakukan monitoring dan evaluasi atas kinerja pencairan dan pencapaian sasaran kegiatan, sebagai dasar pemberian reward & punishment; (b) mendorong K/L untuk menempatkan SDM yang kompeten, masing-masing di bidang perencanaan, penganggaran, pelaksanaan kegiatan, dan pengadaan; serta (c) mempercepat pemberian ijin bagi kontrak kegiatan tahun jamak. Sejalan dengan itu, pembiayaan APBN dari utang harus mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan anggaran negara yang sehat dan prudent untuk menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 41


RUBRIK FISKAL Strategi Peningkatan Kualitas Belanja Negara Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara dalam mendukung tujuan pembangunan nasional, maka perlu dijabarkan dalam sebuah implementasi strategi peningkatan kualitas belanja negara, yaitu; 1. Fokus kepada Triple Track Strategy, dilakukan dengan memfokuskan alokasi anggaran sesuai dengan prioritas agenda belanja Pemerintah yaitu: a. Pro-Poor , di mana alokasi anggaran difokuskan untuk mendanai kegiatankegiatan yang memberi manfaat kepada masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah, sehingga mendorong program pengentasan kemiskinan; b. Pro-Job , yaitu alokasi anggaran diarahkan untuk kegiatan yang dapat menjadi job creation atau menciptakan lapangan kerja; c. Pro-Growth , di mana penggunaan anggaran difokuskan dapat menjadi stimulus dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas. 2. Peningkatan kualitas perencanaan anggaran. Dalam rangka menjaga konsistensi perencanaan dan pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional, maka alokasi anggaran senantiasa memperhatikan hal-hal berikut: a. Strategic Policy Alignment : alokasi anggaran tetap sejalan dengan prioritas kebijakan pembangunan nasional baik yang tertuang dalam RPJMN atau RKP; b. Fokus pada pencapaian Output dan Outcome : alokasi anggaran secara langsung mendukung pencapaian target kinerja yang direncanakan secara nasional maupun masing-masing K/L; c. Mengurangi deviasi antara Perencanaan dan Pelaksanaan, di mana revisi anggaran dalam pelaksanaan tidak lebih dari 3-5%, kecuali karena adanya kebijakan Pemerintah. 3. Peningkatan kualitas pelayanan pencairan dana, yang ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan: a. Kejelasan dan Penyederhanaan Prosedur Pelayanan : SOP dan unit-unit yang terkait dalam proses pencairan dana harus secara tegas disebutkan peran dan wewenang masing-masing serta alur proses yang tidak rumit dipahami; b. Penyederhanaan Persyaratan Administrasi : dihindari untuk meminta dokumen atau syarat lain yang tidak ada hubungannya; c. Percepatan Waktu Pencairan: diusahakan untuk penyelesaian pencairan anggaran dapat dipercepat sehingga mendorong penyerapan anggaran.

42 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

up

t Penu

Sebagai dampak dari masih besarnya mandatory spending pada TA 2012, maka fiscal space bagi pemerintah untuk melakukan manuver dalam upaya mencapai sasaran prioritas pembangunan akan relatif kecil, yang digunakan antara lain untuk antisipasi perubahan asumsi ekonomi global, pembangunan infrastruktur, pengembangan alutsista TNI-Polri, program-program pengentasan kemiskinan, dan tanggap perubahan iklim. Padahal sebagai alat kebijakan fiskal, APBN harus dapat bermanuver dan berfungsi sebagai stabilisator bagi perekonomian, dan atau bersifat kontrasiklis (countercyclical). Ini berarti, pada saat ekonomi sedang dalam masa “bagus�, Pemerintah dapat menjalankan anggaran surplus, dan sebaliknya, pada saat resesi/krisis, Pemerintah dapat melakukan ekspansi fiskal dengan menjalankan anggaran defisit. Dengan demikian, secara overall, APBN akan menuju seimbang selama suatu periode jangka panjang siklus ekonomi (Balanced Budget Over Cycle). Maka, untuk memperkecil mandatory spending tersebut, perlu dilakukan beberapa kiat yaitu jangan ada lagi pengkaplingan atas alokasi belanja, sumber pendapatan negara harus terus ditingkatkan, kualitas belanja negara harus ditingkatkan agar benar-benar dapat digunakan secara efektif (peningkatan kualitas perencanaan anggaran, peningkatan kualitas pelayanan pencairan dana, dan sebagainya). Pengkaplingan alokasi belanja yang selama ini dilakukan telah membuat fiscal space menjadi tidak fleksibel, yang implikasinya adalah alokasi anggaran langsung bisa ditebak, serta penambahan penerimaan negara tidak nyata terlihat (dikarenakan penambahan defisit pembiayaan akan menambah porsi belanja sesuai persentase pengkaplingan).


RUBRIK Edukasi

KRISIS UTANG AS DAN EROPA Pelajaran Berharga Bagi Pemerintah Indonesia Oleh : Syahrir Ika

Pengantar Dalam tiga tahun terakhir, ekonomi AS mengalami dua kali krisis. Pertama, krisis kredit perumahan (subprime mortagages) pada tahun 2008. Krisis ini tidak saja mengoncang sektor keuangan (beberapa investment Banking bankrut) tetapi juga sektor riil (banyak industri besar di AS bankrut). Untuk menyelamatkan perekonomian AS dan perekonomian dunia, pemerintah AS menyediakan dana stimulus sebesar USD9,7 triliun atau sekitar dua pertiga dari PDB-AS. Kebijakan ini memaksa pemerintah AS memperbesar defisit anggaran dan menambah pinjaman (utang). Kedua, krisis utang AS tahun 2011. Krisis ini terjadi karena sebagian utang yang dipakai pemerintah AS untuk mem-bailout perekonomian AS akan jatuh tempo, sementara kemampuan fiskal (fiscal capacity) terbatas. Presiden Obama kembali memperbesar defisit anggaran dan menambah utang lagi untuk menstimulasi perekonomian. Akibatnya total utang AS meningkat dari USD8,97 triliun (2007) menjadi USD14,56 triliun (Agustus 2011), begitu juga rasio utang AS meningkat dari 40 persen GDP pada dekade 1980-an menjadi hampir menyentuh 100 persen GDP (lihat Box-01). Box-01: Utang, PDB, dan Defisit Anggaran AS

Strategi Penyehatan APBN Dalam Menangkap Dampak Krisis Ekonomi : Pelajaran Dari Krisis Keuangan Eropa, Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 13 No.2 tahun 2010). Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa mengalami kesulitan untuk membantu beberapa negara anggotanya yang telah masuk perangkap utang, akibatnya sampai saat ini kondisi ekonomi di kawasan Eropa masih kelabu dan dikhawatirkan bisa menimbukan krisis ekonomi dunia. Sampai kapan krisis utang di AS dan Eropa akan berakhir, tidak ada pihak yang bisa memastikannya. Karena itu, dari pada memikirkan kapan berakhir krisis utang, lebih baik kita mengambil pelajaran dari krisis tersebut untuk memagari perekonomian Indonesia tidak terjebak dalam perangkap utang. Pembelajaran Bagi Indonesia Kebijakan Fiskal Sebaiknya Jangan Terkalu Ekspansif

Sumber : Reuter dan Bank Dunia, diolah

Beberapa negara Eropa juga mengalami nasib yang sama dengan AS, terperangkap utang. Rata-rata utang publik negara-negara Eropa telah mencapai sekitar 80 persen GDP, dan defisit anggaran di beberapa negara Eropa mencapai 3 sampai 4 kali dari batas amannya, antara lain Yunani (-13,8% of GDP), Irlandia (13,5% of GDP), dan Portugal (-9,4% of GDP). Hal ini terjadi karena negara-nagara Eropa tidak bisa mengendalikan utang mereka dengan baik (Syahrir Ika, 2010,

Teori kesehatan mengatakan jangan lihat sesuatu hanya dari fisik, gemuk tidak selalu sehat, begitu juga kurus tidak selalu sakit. Dalam dunia pendidikan juga dikenal guyonan akademik, dosen tidak selalu lebih pintar dari mahasiswa, mahasiswa yang cerdas akan merasa bangga kalau Ia bisa mengalahkan kepintaran INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 43


RUBRIK Edukasi dosennya. Dua perumpamaan ini cocok untuk menggambarkan kondisi yang dialami AS dan negara-negara di kawasan Eropa saat ini. Banyak pakar moneter dan fiskal yang berasal dari Amerikda dan Eropa menduduki jabatan eksekutif dan Bank Dunia dan IMF, namun mereka tidak berhasil mencegah negara-negara di dua kawasan itu dari terperangkap utang. AS misalnya adalah negara pengutang terbesar nomor satu dunia (lihat Box-02).

anggaran pada level yang aman sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian Maastrich, masing-masing 3% of GDP dan 60% of GDP.

Box-02 : 20 Negara di Dunia yang Memiliki Utang Terbesar

Meningkat Kualitas Pemantauan Dini

Kebijakan fiskalnya yang terlalu ekspansif menyebabkan AS terjerumus perangkap utang. Alasan lainnya adalah meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut sehingga subsidi untuk jaminan sosial meningkat, negeri ini rajin membiayai perang dan defisit anggarannya terus meningkat. Karena itu, pesan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, jangan lebih besar pasak dari pada tiang (Harian Kompas, 11 Agustus 2011) harus menjadi pegangan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk berhati-hati dalam mengelola utang pemerintah agar tidak terjebak dalam perangkap utang. Selain itu, pemerintah juga harus berhati-hati menerapkan Undang-undang SJSN mengingat ada risiko meningkatnya beban APBN sebagaimana yang dialami pemerintahan Obama saat ini. Pemerintah perlu mencari skema terbaik yang memberikan solusi optimal, misinya tercapai tetapi tidak banyak membebani anggaran negara.

Pemerintah perlu meningkatkan Kualitas Pemantauan Dini. Ketika Kepala BKF dijabat oleh Anggito Abimanyu, Kementerian Keuangan sudah membangun model pemantauan dini perekonomian, khususnya sektor riil. Menurut Anggito (baca bukunya, Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal, 2011), model tersebut dapat menjadi semacam indikator awal arah perekonomian ke depan dan early warning jika kecederungannya memburuk. Mulai saat itu, BKF mendapat tugas baru menyajikan pemantauan dini perekonomian Indonesia dengan prediksi dan early warning di depan Rapat Pimpinan Kementerian Keuangan setiap bulan. Paparan pemantauan dini tersebut disajikan dalam sebuah dashboard real-time.

Disiplin Dalam Menjaga Rasio Utang dan Defisit Anggaran Penularan krisis ekonomi AS di kawasan Eropa muncul pada dua tahun setelah krisis subprime mortgage di AS tahun 2008. Pada awal tahun 2010, beberapa negara di Eropa (Yunani, Irlandia, Portugal, Inggris, Spanyol, Swiss, Belgia, Prancis, dan Demark) terancam default. Rata-rata utang negara-negara tersebut berkisar antara 64% dari PDB (Irlandia) hingga 115,8% dari PDB (Italia). Begutu juga defisit fiskalnya berkisar antara -3,3% dari PDB (Jerman) hingga -14,3 % dari PDB (Irlandia). Krisis keuangan Eropa dimulai dengan krisis utang di tiga negara yang berukuran relatif kecil, yaitu Yunani, Irlandia, dan Portugal, kemudian merembet ke negara yang berukuran lebih besar seperti Spanyol, Italia, dan Inggris. Apa yang mendorong negara-negara kecil di Eropa ini berambisi memperbesar utangnya? Menurut Anwar Nasution (Artikelnya bertajuk : Dampak Krisis Negara Maju, Kompas, 22 Agustus 2011), setelah Uni Eropa terbentuk dan mata uang euro berlaku, tingkat suku bunga di semua negara anggota Uni Eropa menurun menyamai tingkat suku bunga di Jerman. Karena murahnya biaya meminjam, maka pemerintah di negara-negara Eropa yang relatif kecil tersebut membelanjai defisit anggarannya dengan menjual obligasi. Penyakitnya adalah negara-negara berukuran kecil tersebut tidak mampu mengendalikan utang pemerintah. Yunani misalnya, melanggar aturan tentang batas defisit anggaran sebesar 3 persen dari PDB tahunan dan rasio utang sebesar 60% dari PDB yang telah diatur dalam “Perjanjian Maastrich�. Rasio utang Yunani mencapai 115,1% dari PDB dan defisit fiskalnya mencapai -13,5% dari PDB (Syahrir Ika, JKM-2010). Pelajaran untuk Indonesia adalah pemerintah harus disiplin menjaga rasio utang dan defisit 44 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Penguatan Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal (fiscal capacity) yang kuat merupakan fondasi utama untuk menciptakan APBN yang sehat. Apa indikatornya? Umumnya digunakan indikator tax ratio (rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB), dimana semakin tinggi tax ratio suatu negara menunjukkan semakin kuat kapasitas fiskal negara tersebut. Hingga saat ini, tax ratio Indonesia masih relatif rendah, yaitu di bawah 12,5 %, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tax ratio negara-negara Eropa, AS dan beberapa negara Asean yang sudah mencapai di atas 13% bahkan beberapa negara telah mencapai di atas 30%. Dengan demikian, kapasitas fiskal Indonesia masih belum terlalu kuat sehingga perlu ditempuh langkahlangkah berani untuk meningkatnya, antara lain intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan.


RUBRIK Edukasi Menjaga Kelangsungan Fiskal Pengertian umum dari kelangsungan fiskal (fiscal sustainability) menurut Ales Krejdl (2006) adalah 'the present value of future primary suplusess'. Sementara menurut Burnside (2004), fiscal sustainability terjadi bila terdapat surplus pada primary balance, yaitu selisih antara anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran di luar bunga dan cicilan pokok utang. Untuk menjamin kelangsungan fiskal, beberapa kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah :(i) optimalisasi penerimaan perpajakan, (ii) penghematan anggaran, (iii) disiplin menjaga defisit anggaran agar tidak melebihi 3% dari PDB, (iv) disiplin menjaga total utang agar tidak melebihi 60 persen dari PDB,dan (v) memperbesar pembiayaan (utang) dalam negeri untuk menghindari risiko kurs. Mengontrol Belanja Subsidi Besaran subsidi listrik dalam APBN meningkat terus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 subsidi listrik baru mencapai Rp8,9 triliun sementara pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp58,1 triliun. Pemerintah mengupayakan agar besaran subisidi listrik ini semakin mengekecil, antara lain mendorong PLN untuk menambah jumlah pembangkit berbahan bakar batubara melalui proyek 10.000 MW tahap I dan mengupayakan penambahan pasokan gas untuk sebagian besar pembangkit PLN. Dalam RAPBN 2012, pemerintah merencanakan hanya mengalokasikan subsidi lisrik sebesar Rp45 triliun, sejalan dengan rencana kenaikan tarif listrik sekitar 10% mulai tahun 2012 (Menku Agus Martowardojo, Kompas 18 Agustus 2011). Sumber : Reuter dan Bank Dunia, diolah

Selain subsidi listrik, subsidi BBM juga terus meningkat seiring dengan menurunnya lifting minyak dan meningkatnya harga ICP di pasar internasional (lihat Box-03). Pada tahun 2005, realisasi subsidi BBM baru mencapai Rp95,6 triliun sementara

alam RAPBN-2012 dianggarkan sebesar Rp123,6 triliun. Selain subsidi listrik, dan subsidi BBM, pemerintah juga memberikan subsidi pupuk untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. Subsidi tetap diperlukan sepanjang masyarakat terbebani biaya yang mestinya menjadi beban pemerintah. Hal yang perlu dibenahi dalam kebijakan subsidi adalah alokasi subsidi yang salah sasaran sebagaimana yang terjadi pada subsidi BBM.

Mengoptimalkan penerimaan negara BKF juga bertanggung jawab menyusun Pokok-pokok Kebijakan Fiskal. Pada tahun 2012, kebijakan fiskal diarahkan untuk mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan negara, meningkatkan efisiensi dan efektifitas belanja negara, serta mengoptimalkan pembiayaan anggaran secara hati-hati (prudent) dan meningkatkan keamanfaatannya untuk kegiatan

Box-03 :Perkembangan Subsidi BBM, ICP, dan Volume BBM

Sumber : Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM, diolah

Mengantisipasi Risiko Krisis Ekonomi Global Salah satu sumber risiko fiskal yang harus dikenali, diukur dan dimitigasi dengan baik adalah risiko krisis ekonomi global. Menurut Kepala BKF, Bambang S. Brodjonegroro, dalam APBN-P 2011, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja yang polanya diarahkan untuk memitigasi krisis ekonomi (Rakyat Merdeka, 17 Agustus 2011). Caranya adalah : (i) mengalokasikan dana cadangan risiko perubahan asumsi ekonomi makro dan stabilisasi harga, (ii) melalui pos belanja bantuan sosial digunakan untuk mendanai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan mitigasi bencana alam; (iii) memperbesar anggaran subsidi pangan dan (iv) pemberian beras untuk rakyat miskin atau Raskin. Total dana untuk mengantisipasi risiko krisis ekonomi mencapai sekitar Rp103,1 triliun.

produktif. Optimalisasi penerimaan perpajakan difokuskan pada kegiatan ekstensifikasi perpajakan, sedangkan optimalisasi penerimaan PNBP dilakukan melalui peningkatan produksi sumber daya alam dan peningkatan kinerja BUMN serta perbaikan kualitas pelayanan publik. Adapun kebijakan belanja negara untuk mendukung percepatan pembangunan. Defisit anggaran tahun 2012 ditetapkan lebih rendah (Rp126,5 triliun atau 1,5% PDB) dibandingkan dengan tahun 2011 (Rp150,8 triliun atau 1,8% PDB). Menjaga Kualitas Belanja Negara Apa indikator untuk mengatakan bahwa belanja negara berkualitas atau tidak berkualitas? tergantung kepentingan masing-masing. Bila harga pangan, tarif dasar listrik, dan harga BBM berada dalam jangkauan masyarakat miskin (yang kini berjumlah sekitar 54 juta orang), maka mereka akan menilai bahwa belanja negara berkualitas. Bila belanja modal dalam APBN cukup signifkan untuk membangun infrastruktur INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 45


RUBRIK Edukasi pembangunan jalan, pelabuhan, jembatan, listrik, dsb, maka para pengusaha akan menilai bahwa belanja APBN berkualitas. Seringkali timbul konflik dalam implmentasinya antara tujuan meningkatkan daya serap anggaran dan tujuan mengefisienkan belanja negara. Peningkatan daya serap anggaran bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan fiskal, dengan demikian bila daya serap anggaran rendah, maka dipastikan sasaran kebijakan fiskal akan tidak tercapai. Sebaliknya, bila sasaran kebijakan fiskal tercapai tetapi daya serap anggaran rendah maka ada keberuntungan yang berada di luar kendali pemerintah atau ada kemungkinan kesalahan dalam perencanaan anggaran. Sementara efisiensi belanja negara bertujuan untuk menghindari pemborosan penggunaan anggaran. Di dunia bisnis, hal ini dikenal dengan istilah CRP (cost reduction program), yang biasa ditetapkan bersamaan dengan persetujuan RKAP tahunan. Pemerintah mestinya memiliki format dan pedoman yang jelas mengenai kedua hal ini agar tidak membingungkan dalam implementasinya. Mengendalikan Defisit Anggaran Sudah sekitar 10 tahun lebih, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan anggaran defisit (expenditure > revenue). Kebijakan defisit anggaran ini harus dikendalikan untuk menjaga APBN tetap dalam kondisi sehat. Suatu APBN disebut sehat bila dapat menjaga defisit anggaran sesuai kebutuhan yang benar-benar prioritas seperti penciptaan lapangan kerja dan penurunan kemiskinan (Sri Mulyani Indarwati, 2009). Dalam beberapa tahun belakangan, pemerintah memilih kebijakan fiskal yang ekspansif (belanja negara melebihi kapasitas penerimaan negara) dan pembiayaannya bersumber dari utang (lihat Box-04). Risiko terburuk adalah pemerintah default dan kondisi fiskal tidak sustain. 46 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

Untuk memitigasi risiko tersebut, pemerintah dan DPR sepakat memasukan batasan defisit dan total utang ke dalam Undang-undang APBN, yaitu defisit APBN maksimum -3% dari PDB, sementara rasio utang maksimal 60 persen dari PDB. Box-04 : Surplus/Defisit Anggaran

Menjaga Kepercayaan Pelaku Ekonomi Meskipun fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat (lihat Box-05), pemerintah tetap mewaspadai dampak perekonomian global dengan berbagai upaya mitigasi krisis melalui langkah-langkah antara lain : (i) pembelian kembali surat berharga negara (SBN) dengan dana APBN, (ii) pembentukan dana stabilisasi obligasi, (iii) penyiapan dana saldo anggaran lebih (SAL) untuk mendukung stabilisasi pasar SBN domestik, dan (iv) bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk pembelian SBN. Box-04 : Fundamental Ekonomi Indonesia © Pertumbuhan ekonomi tahun 2010 mencapai 6,2%, sementara kuartal II 2011 telah mencapai 6,5%. © Inflasi cenderung menurun dengan target tahun 2011 maksimal 5%. © Arus modal masuk meningkat sehingga memperkuat cadangan devisa. © Kinerja pasar modal dan perbankan secara fundamental cukup baik. © Nilai tukar rupiah cenderung menguat sehingga berkontribusi mengurangi inflasi. © Utang Indonesia masih dalam batas-batas terkontrol. Walaupun total utang per Juni 2011 sudah mencapai sekitar Rp1.723,9 triliun, namun rasio utang baru mencapai sekitar 28% dari PDB. Rasio ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1997-1998 yang mencapai sekitar 151% dari PDB.

Menurut Presiden SBY (sebagaimana dikutip Kompas, 18 Agustus 2011), langkah antisipasi ini dilakukan untuk memberikan sinyal positif bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini aman dan baik. Langkah ini, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan keyakinan bagi para pelaku ekonomi. Untuk mengantisipasi krisis, pemerintah akan menata kembali kondisi keuangan, baik dari segi fiskal maupun utang, pemerintah akan mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tetap terjaga, sementara mengenai defisit akan diupayakan lebih rendah dibandingkan dengan APBN-P 2011.


RUBRIK Edukasi

Penutup Pemerintah itu ibarat manusia, ia hidup, melihat dan mendengar, memiliki keinginan dan nafsu serta bisa juga mengendalikan diri. Ketika Presiden Gorbacheve melakukan reformasi di Uni Sovyet dengan kebijakannya Glasnot dan Perestroika, ia bersikap terburu-buru, nafsu lebih dominan dibanding kesabarannya, akibatnya Ia gagal, dan Sovyet lalu terpecah menjadi beberapa negara. Berbeda dengan Gorbacheve, Deng Xiaoping, Presiden China yang melakukan hal yang mirip dengan Gorbacheve, satu China dua system, Ia tetap menjaga ideologi komunis tetapi mombolehkan kapitalisme untuk mendorong pertumbuhan ekonomi China. Deng melakukan reformasi secara lebih hati-hati dengan tidak membiarkan setitik peluang bagi pihak-pihak yang ingin mengancam keamanan negara. Deng akhirnya sukses dan membawa China menjadi negara maju seperti yang kita saksikan hari ini. Sebaliknya AS, memiliki keinginan yang besar untuk tetap menjadi polisi dunia. Kebijakan politik luar negeri AS seperti ini telah menjebak negara paman sam ini untuk menomorsatukan industri pertahanan dan menomorduakan industri manufaktur. Konsekuensinya, pemerintah AS harus memperbesar defisit anggarannya dan menambah utang untuk menutup defisit anggaran. Akibatnya, AS merupakan negara yang mempunyai utang terbesar di dunia. AS menjual obligasi, dan sebagian besar obligasi dibeli pemerintah China, yang membuat China mampu mendikte perekonomian AS. Sementara negara-negara di kawasan Eropa, karena khawatrir dengan munculnya kekuatan ekonomi baru di kawasan Asia, mereka sepakat membentuk Uni Eropa (UE) untuk memperbesar size ekonomi. Tetapi ketergantungan negera-negara UE dengan pasar luar negeri membuat Eropa sangat rentan terhadap kondisi ekonomi global. Bila prediksi Standard Chartered Bank bahwa pada tahun 2050 kekuatan ekonomi dunia akan dipimpin oleh China, AS, India, Brazil, Meksiko, dan Rusia, dan Indonesia benar terjadi, maka di kawasan Eropa tidak ada satu negarapun yang masuk tujuh besar dunia. Negara-negara Eropa akan rontok dan posisinya digantikan sejumlah negara di kawasan Asia dan Amerika Latin (antara lain Brazil dan Mexico). Mengingat persaingan dalam kekuatan ekonomi yang semakin ketat, Indonesia hendaknya tidak boleh boros. Mungkin pilihan yang bijak adalah pemerintah tidak perlu bernapsu untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (misalnya di atas 7% per tahun), pertumbuhan ekonomi pada level sedang (5-6% per tahun) mungkin dapat menjamin kapal Indonesia berlayar lebih tenang menuju cita-citanya.

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 47


RUBRIK Inspiring dan lainnya

“A Dream Bridge� Jembatan Selat Sunda� Oleh : Freddy R. Saragih Dalam suasana mendung berawan, tampak dari kejauhan sebuah bangunan panjang, meliuk-liuk bak seperti ular naga. Kaki-kakinya tengah mencengkeram bumi dengan kokohnya, dan riak-riak ombak kecil selat Sunda membasahi kaki-kakinya.

D

emikian kata-kata yang mungkin dapat menggambarkan mimpi atau angan-angan tentang wujud Jembatan Selat Sunda (JSS). JSS merupakan jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Jika JSS dapat terealisir, maka JSS akan menjadi jembatan terpanjang di dunia, mengalahkan jembatan Akashi Kaikyo, Jepang, pemegang rekor jembatan terpanjang di dunia saat ini (Kompas, 19 Mei 2010). JSS akan menjadi ikon monumental bangsa Indonesia. Pertanyaanya adalah semudah itu kah JSS dibangun ? Jawabannya adalah tidak. Risiko alam adalah ancaman terbesar dalam pembangunan JSS. JSS akan dibangun di sekitar wilayah anak Anak Gunung Krakatau, sehingga aktivitas gunung ini akan membahayakan JSS. Di samping Anak Gunung Krakatau, wilayah area JSS juga merupakan pertemuan Lempeng Asia dengan Lempeng Australia, maupun pertemuan beberapa sesar (Berita Lampung, 21 Sept 2011), sehingga potensi ancaman gempa dapat terjadi. Risiko alam lainnya adalah kecepatan angin. JSS dibangun dengan ketinggian 80 meter dari permukaan laut. Akibatnya, tekanan angin yang cukup tinggi akan menerpa JSS dan pengguna nantinya.

donnyprasetyosumadi.blogspot.com

48 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011


RUBRIK Inspiring dan lainnya Untuk mengatasi ancaman tersebut, Wiratman Wangsadinata (2011) berpendapat : (1) konstruksi jembatan tidak memotong lempengan, melainkan harus sejajar dengan lempengan, dan harus dicari landasan tanah yang stabil untuk fondasi agar tidak mudah longsor; (2) Jarak pembangunan JSS jauh dari gunung berapi, + 50 km; (3) Kekuatan konstruksi jembatan harus mampu menahan gempa dengan kekuatan sampai dengan 9,5 SR; (4) Membangun ruang bebas vertikal pada JSS yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingginya udara terbesar yang pernah ada di sana, serta memperhitungkan efek kenaikan elevasi air laut akibat pemanasan global. Jembatan dibuat cukup tinggi dari permukaan air laut, di mana jalur di bawah jembatan dapat dilintasi kapal terbesar seperti Emma Maersk yang berukuran sepanjang 397 meter dan lebar 56 meter. Ancaman alam nampaknya telah menjadi pertimbangan dalam pembangunan JSS. Para insinyur Indonesia telah mengemukakan berbagai pendapat sehingga secara teknik JSS dapat terwujud dengan kemampuan menaham gempa sampai dengan 9 skala richter dan tekanan angin sampai dengan kecepatan 24 km/jam. Dengan kata lain JSS harus dibangun dengan kualitas yang tinggi. Oleh karena itu, JSS direncanakan dibangun dengan spesifikasi yang luar biasa dan spektakuler yaitu : Panjang lebih Kurang 29 Kilometer Lebar 60 Meter Jalan Mobil 2 x 3 Meter Jalan Sepeda motor dan pejalan kaki 2 x 1 meter Double Track Kereta di tengah Lokasi 50 kilometer dari Gunung Krakatau Desain Tahan gempa dan Tsunami Melintasi tiga pulau: Prajurit, Sangiang, dan Ular. Terdiri atas dua jembatan gantung berbentang ultrapanjang: 3,5 km dan 7 km Terdiri atas tiga jembatan konvensional berbentang 6 -7,5 km. Kapasitas maksimum 160 ribu kendaraan per hari dan 31.318 orang per hari Barang seperti batu bara sekitar 1,75 juta ton per tahun atau 4,7 ribu ton per hari

Rencana pembangunan JSS yang luar biasa ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar pula, dan merupakan persoalan kedua yang mesti diselesaikan. Risiko alam yang tinggi dan besarnya biaya secara otomatis akan menimbulkan pertanyaan dari berbagai masyarakat Indonesia. Pertanyaan yang mungkin timbul diantaranya adalah (1) keuntungan apa yang akan diperoleh jika JSS jadi dibangun ? (2) dari mana sumber dana diperoleh untuk membiayai JSS ? dan (3) apakah skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dapat memberikan solusi ?

Mengapa JSS perlu di bangun ? Pembangunan JSS dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia khusunya Jawa dan Sumetera. Dari aspek ekonomi, keberadaan JSS dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi kedua pulau. Jalur distribusi barang dan orang akan berjalan semakin lancar, sehingga dapat mendorong peningkatan aktivitas ekonomi. Sebagai contoh, pengiriman hasil-hasil perkebunan seperti karet dan sawit dari Sumatera ke Jawa dapat dipercepat, cukup butuh waktu 1 hari saja, sementara sebelumnya butuh waktu 2-3 hari pengiriman. Sumber : Reuter dan Bank Dunia, diolah Saat ini, di jalur penghubung Pelabuhan Merak dan Bakahuni sering terjadi antrian yang panjang truk, bus, dan kendaraan pribadi pengangkut barang dan manusia dari Jawa ke Sumatera atau sebaliknya. Akibat antrian tersebut ditaksir menimbulkan kerugian bagi pengguna jalan sebesar Rp.1,5 miliar per hari (Media Indonesia, 28 Februari 2011), angka ini belum termasuk kerugian percuma subsidi yang dibayarkan oleh Pemerintah akibat peningkatan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

JSS dapat pula mendorong terjadinya pemerataan pertumbuhan ekonomi di daerah, dan selanjutnya akan menekan urbanisasi penduduk dari daerah Sumatera ke Ibukota dan Jawa. JSS memberikan alternatif bagi investor untuk membangun industri di Sumatera khususnya Lampung dan Sumbagsel. Ibu kota yang sudah penuh sesak dan harga tanah yang mahal membuat investor lebih memilih kedua daerah tersebut. Ketika industri mulai tumbuh, lapangan pekerjaan meningkat sehingga penduduk daerah tidak perlu lagi datang ke Jakarta dan Jawa. Selain aspek ekonomi, pembangunan JSS dapat memberikan keuntungan bagi pengembangan budaya antar pulau dan kesatuan bangsa dalam satu ikatan “Bhineka Tunggal Ika�. Dengan adanya JSS, Jarak Jawa dan Sumatera akan terasa dekat dan tidak terasa ada pembatas diantara kedua pulau. Kedua pulau terasa menyatu menjadi satu kesatuan pulau yang besar dan utuh. Kondisi seperti ini akan mendorong penduduk di kedua pulau untuk lebih berkomunikasi dan berinteraksi, dan akhirnya mereka saling mengenal antar sesama, mengenal budayanya bahkan bisa saling belajar, mengenal karakternya dan lain sebagainya. Rasa lebih baik, lebih pandai, lebih tinggi statusnya dan sebagainya perlahan-lahan akan luntur dan hilang. Kalau sudah demikian, secara otomatis kesatuan bangsa akan semakin erat dan kuat. Paragraf di atas hanya sebagian kecil manfaat yang bisa didapat ketika JSS telah berdiri, dan masih banyak lagi manfaat lainnya yang masih bisa diperoleh. Misalnya, keberhasilan JSS dapat menstimulus dibangunnya jembata-jembatan penghubung antar pulau lainnya, perkembangan pendidikan di Sumatera meningkat, keamanan nasional semakin dapat dikendalikan, dan gap kondisi infrastruktur Jawa dan Sumatera semakin menyempit.

INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011 49


RUBRIK Inspiring dan lainnya Darimana Sumber Dana nya ? Seiring besar, panjang dan tingginya kualitas JSS, pembangunan JSS otomatis membutuhkan biaya yang spektakuler pula. Biaya konstruksi yang semula diperkirakan sekitar Rp.100 triliun nampaknya harus disiapkan untuk merealisasikan the dream bridge ini, bahkan biaya ini semakin membengkak hingga diperkirakan mencapai Rp. 170 triliun (Kompas, 26 April 2010). Suatu jumlah yang sangat besar tentunya. Pertanyaannya adalah dari mana biaya sebesar ini di peroleh ? Pertama, pembiayaan JSS seluruhnya berasal dari Pemerintah. Logikanya, Pemerintah bertanggung jawab atas keseluruhan pembangunan infrastruktur di Indoneisia sehingga secara otomatis Pemerintah lah yang harus membiayainya. JSS merupakan proyek multiyears sehingga Pemerintah dapat mengalokasikan dana dari APBN, misalnya Rp.50 triliun per tahun selama 4 tahun berturut-turut. Kedua, swasta yang membiayai pembangunan JSS. Pemerintah dapat menggandeng investor swasta nasional untuk berpartisipasi dalam pembangunan JSS. Mungkinkah? Swasta merupakan organisasi profit oriented, sehingga tidak terlalu tertarik investasi di infrastruktur mengingat infrastruktur adalah proyek jangka panjang, membutuhkan modal investasi yang besar, dan secara konsep menghasilkan return yang kecil. Agar tertarik, Pemerintah dapat memberikan hak operasional dengan aturan main tertentu, menawarkan insentif fiskal dan atau kemudahan perizinan atau dukungan lainnya kepada swasta. Di samping itu, Pemerintah dapat memberikan jaminan atas kepastian hukum dan risiko politik kepada swasta agar swasta merasa yakin dan aman terhadap investasinya. Bentuk kerjasama seperti ini dikenal dengan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP). 50 INFO RISIKO FISKAL Edisi 3 Tahun 2011

KPS dapat sebagai solusi pemecahan masalah pembiayaan dan keberhasilan pembangunan JSS dengan pertimbangan beberapa hal sebagai berikut: Pertama adalah keterbatasan kapasitas APBN yang terus defisit paska krisis ekonomi dan keuangan tahun 19971998 yang lalu. APBN tidak hanya untuk membangun JSS saja tapi juga untuk membiayai pengeluaran lainnya seperti belanja subsidi energi, pendidikan, reformasi birokrasi, dan infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan, bandara, listrik dan telekomunikasi yang tak kalah pentingnya. Belanja subsidi energi terus membengkak seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia dan konsumsi BBM dan listrik sementara kebijakan harga tetap dipertahankan. Belanja pendidikan pun juga melambung seiring dengan pengeluaran APBN meningkat. Akibatnya dana infrastruktur APBN pun terbatas di mana kebutuhan pembangunan infrastruktur dari tahun 2010 sampe dengan 2014 diperkirakan sekitar USD 91,7 miliar, sedangkan APBN hanya mampu memenuhi sekitar USD 51 miliar, masih terdapat kekurangan USD 40,7 miliar (Bappenas, 2010). Skala prioritas merupakan pertimbangan alokasi anggaran bagi Pemerintah dan DPR. Kedua adalah mitigasi risiko, efisiensi, dan zero cost. JSS dibangun di wilyah yang memiliki risiko alam yang tinggi. Dengan melibatkan peran swasta, terjadinya risiko tidak secara otomatis dan langsung berdampak bagi Pemerintah khususnya APBN. Keterlibatan swasta juga dapat mendorong terjadinya efisiensi dalam pembangunan JSS. Sangat berbeda apabila dibangun oleh unit Pemerintah ketika budaya korupsi sedang membudaya seperti saat ini. Di samping itu, keterlibatan full swasta akan berpotensi terjadinya zero cost bagi pemerintah. Swasta akan membiayai, membangun, mengelola, dan mentransfer ke Pemerintah ketika masa konsesi selesai. Pemerintah tidak mengeluarkan dana, dan hanya memberikan insentif fiskal (misalnya pembebasan PPN modal, tax holiday dll), kepastian, dan keamanan investasi. Proyek sudah ada (JSS), swasta pun nampaknya tertarik dengan berbagai catatan dan requirement tentunya. Regulasi pun sudah ada dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Kini, hambatan telah berkurang, JSS mulai mempunyai titik terang, dan mungkin “The Dream bridge� bukan mimpi lagi ?


IRF

INFO RISIKO FISKAL

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.