Majalah Sastra Imajia

Page 1


BERMULA

T

Mading VS Madig

eknologi digital tentulah mengubah banyak hal dalam hidup kita, mulai dari cara berkomunikasi hingga perilaku. Tahun-tahun 1980-an, untuk janjian dengan orang lain kita hanya bisa memakai telpon rumah atau kantor. Bahkan kalau di kampung, yang jaringan telepon belum ada, janjian sama orang itu pakai “telepati� -- secara tidak sadar kita mengirim sinyal kepada orang yang ingin kita temui agar datang ke suatu tempat (biasanya tempat publik, semisal warung kopi atau pasar) pada waktu yang kita inginkan. Pada era 1990-an, cara berkomunikasi masyarakat Indonesia mulai berubah. Meskipun harga handphone kala itu masih mahal sekali, terutama pada awal 1990-an hingga medio 1990-an, tapi orang mulai bekomunikasi dengan SMS dan email. Sekitar sepuluh hingga 15 tahun kemudian, SMS kemudian mulai ditinggalkan - salah satunya karena mahal. Orang mulai berpindah ke pesan singkat memakai jaringan internet (YM, BBM, WA, dan seterusnya). Perilaku masyarakat dalam membaca juga berubah. Orang mulai meninggalkan berlangganan koran karena informasi kini begitu mudah didapatkan dalam genggaman. Oplah koran pun turun drastis. Industri media cetak terpukul. Sekian media cetak di dalam dan luar negeri terpaksa tutup. Media online bertumbuhan bak jamur. Informasi juga berseliweran di media sosial. Mading (Majalah Dinding) kini letaknya bukan lagi di dinding sekolah atau di papan pengumuman kantor kelurahan atau kecamatan, tapi di media sosial -- Facebook, Twitter, Instagram, blog, dan seterusnya. Begitu pula buku. Industri buku turun. Industri percetakan jelas kena imbasnya. Orang dengan mudah mendapat ebook yang dia mau di internet -- lalu

tinggal baca pakai telepon genggam. Sejumlah situs dan blog menyediakan layanan unduh buku digital (ebook) demi mengejar hit alias kunjungan karena itu berdampak terhadap pendapatan yang diperoleh oleh blog atau situs tersebut. Itu sebabnya pembajakan buku (dari versi cetak ke ebook) menjadi marak. Koran cetak versi digital dan majalah cetak versi digital juga dengan mudah diunduh gratis di internet. Majalah digital (Madig) yang persis edisi cetak itu membuat tak ada lagi beda antara majalah cetak dengan digital -- hanya beda medium baca saja. Lalu masih perlukah majalah cetak dan buku cetak? Sebagian orang yang belum bisa meninggalkan -- atau alasannya masih nyaman baca edisi cetak di atas kertas -- bisa mencetak buku-buku digital (ebook) dan majalah digital (Madig) itu di layanan digital printing yang menjamur di banyak tempat. Simpel dan mudah. Bahkan untuk mencetak ebook biayanya jauh lebih murah ketimbang membeli bukunya di toko buku. Nah, Majalah Sastra IMAJIA, akan bergerak seperti itu: dibikin sebagai majalah digital (Madig), lalu jika perlu bisa dicetak (di layanan digital printing) sesuai pesanan atau kebutuhan. Apakah ada honornya bagi karya yang dimuat? Sementara tidak ada honor. Dalam perjalanan nanti boleh jadi -- jika kami berhasil mendapatkan sponsor -- akan ada sedikit tanda apresiasi. Tapi sekarang, sementara ini, tiap terbit akan kami pilih satu penulis puisi terbaik, satu cerpen terbaik. dan satu esai terbaik untuk mendapatkan bingkisan dari redaksi Imajia. Yang jelas: kami membuka kesempatan eksplorasi seluasluasnya kepada para penulis sastra. Bereksprimenlah dan temukan gaya menulis-bersastramu!

MAJALAH SASTRA IMAJIA INI DITERBITKAN OLEH IMAJI INDONESIA BEKERJASAMA DENGAN PORTAL SASTRA LITERA.CO.ID. REDAKSI MENERIMA SUMBANGAN TULISAN (PUISI, CERPEN, ESAI DAN RILIS ACARA). NAMUN KAMI BELUM BISA MEMBERIKAN HONORARIUM UNTUK KARYA DIMUAT. TAPI AKAN KAMI PILIH KARYA TERBAIK TIAP TERBIT UNTUK MENDAPATKAN BINGKISAN. ALAMAT REDAKSI: VILA PAMULANG BLOK DJ7 NO 8 DEPOK 16517, JAWA BARAT HP/WA. 0852-8999-4003 IMAJIHOUSE.COM | EMAIL: IMAJIHOUSE@GMAIL.COM

MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 1


PERISTIWA

23 Sastrawan Perebutkan AnugerahLitera, 4 Presiden Penyair Indonesia Baca Puisi di Anugeran Litera, 5

Aceh Gelar Lomba Baca Puisi Bertaraf Nasional, 6

PUISI PILIHAN Alex R Nainggolan, 7

CERPEN PILIHAN

Tiket Menuju Surga Kristiawan Balasa, 12

Menjadi Burung Merpati

Muhamad Kusuma Gotansyah, 15

PUISI-PUISI , Beny Syah, 8 Nanang Suryadi, 8 Armen S.Doang, 9 Robbi Jannatan, 9 Willy Ana, 10 Zabidi Zay Lawanglangit, 10 Din Saja, 11 Iman Sembada 11

2 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

Imaji yang Menari dalam Puisi Alya Salaisha Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda, 19

BUKU Cara Penyair Bersimpati Pada Korban Gempa Aceh, 21 Lukisan Perempuan Indri Yuswandari, 22 Buku Baru Rida K. Liamsi, 22


Seni bukan hasil kerajinan, melainkan transmisi perasaan seniman yang telah mengalaminya. - Leo Tolstoy, sastrawan, filsuf Rusia, penulis Novel Anna Karenina serta Perang dan Damai.

Iklan layanan sastra ini dipersembahkan oleh litera.co.id

MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 3


PERISTIWA

23 Sastrawan Perebutkan Anugerah Sastra Litera

Salah satu kegiatan Litera di Pamulang,Tangerang Selatan, pada 2017. Dari kiri: Iman Sembada, Willy Ana, Ahmadun Yosi Herfanda dan Heryus Saputro ketika mleuncurkan buku mereka masing-masing.

S

ebanyak 23 sastrawan Indonesia yang terdiri dari penyair dan cerpenis berpeluang untuk meraih Anugerah Litera 2017. Mereka adalah yang karyanya pernah dimuat di portal sastra Litera yang beralamat di litera.co.id. “Sebagian di antara mereka adalah nama-nama baru dalam dunia sastra. Ini menggembirakan,” kata Ahmadun Yosi Herfanda, pemimpin umum sekaligus pemimpin redaksi Litera di Jakarta, 29 Maret 2017. Menurut Ahmadun, karya mereka mengisi rubrik puisi dan cerpen Litera selama 2016. Di jajaran 4 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

penyair ada Budhi Setyawan, Dedy Tri Riyadi, Eddy Pranata PNP, Eko Ragil Ar-Rahman, Fikar W. Eda, Iwan Setiawan, Moh. Ghufron Cholid, Rai Sri Artini, Rukmi Wisnu Wardani, Surya Gemilang, Wahyu Gandi G, dan Willy Ana. Untuk kategori cerpen ada Armin Bell, Dianing Widya, Kasim MD, Kristiawan Balasa, Kurnia Gusti Sawiji, Mahan Jamil Hudani, Ni Komang Ariani, Setiyo Bardono, Seto Permada, Yuditeha dan Zaenal Radar T. Nama-nama itu muncul setelah tim juri yang terdiri dari Ahmadun, Mustafa Ismail dan Mahrus Prihany mengadakan seleksi terh-

adap karya-karya yang dimuat di media online sastra itu sepanjang 2016. “Ada puluhan nama yang karyanya dimuat di Litera sepanjang tahun lalu. Dari sana tersaring 23 nama sastrawan sebagai calon penerima penghargaan,” tutur Ahmadun. Ahmadun menjelaskan dari 23 nama itu juri akan memilih karya terbaik untuk masing-masing kategori (puisi dan cerpen) dan empat karya terpuji. Karya terbaik untuk puisi dan cerpen akan mendapatkan Anugerah Litera yang akan diserahkan pada perayaan ulang tahun portal sastra itu di Serpong, Tangerang


PERISTIWA

Selatang, pada 28 April 2017. “Penerima Anugerah Litera akan mendapatkan piala, piagam dan sedikit insentif untuk menulis,” ujar Ahmadun. Adapun karya terpuji akan mendapatkan piagam dan bingkisan buku. Salah seorang juri, Mustafa Ismail, mengatakan dari karya-karya mereka baca dan seleksi menunjukkan betapa kayanya estetika sastra Indonesia. Fakta itu menepis anggapan bahwa estetika sastra Indonesia seragam seperti terlihat dalam karya yang dimuat di media arus utama, terutama yang terbit di Jakarta. “Gaya berpuisi dan bercerita dari sastrawan Indonesia sangat berwarna. Mereka datang dan kental dengan kearifan dan estetika lokal masing-masing,” ujar penyair asal Aceh itu. Mahrus Prihany menjelaskan ulang tahun Litera diwarnai dengan beragam acara. Acara pertama adalah bincang sastra bertajuk “Mengembalikan Sastra Pada Kekuatan Sastra” yang diadakan pada Sabtu, 25 Maret lalu di sebuah kafe di Pamulang, Tangerang Selatan. Adapun acara puncak pada 28 April 2017 akan diisi dengan pembacaan puisi dan cerpen oleh sejumlah sastrawa, antara lain Sutardji Calzoum Bahri, Asrizal Nur dan Slamet Widodo. Dalam acara yang didukung Djarum Foundation dan Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu ada pula peluncuran buku puisi dan cerpen terpilih Litera serta seminar sastra dengan pembicara Maman S Mahayana, Rida K Liamsi dan Hasan Aspahani. “Kami juga mengadakan bazar buku sastra dan mengajak sastrawan untuk berpartisipasi dalam bazar tersebut,” kata Iman Sembada, kordinator bazar buku sastra. n

Presiden Penyair Indonesia Baca Puisi di Anugerah Litera

P

residen penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, akan tampil membaca puisi pada Malam Penghargaan Sastra Litera 2017 di Resto Kampung Anggrek, Serpong, Kota Tangerang Selatan, Jumat 28 April 2017. Acara dalam rangka HUT portal sastra Litera (www.litera. co.id) ini akan dimulai pukul 15.00 wib dengan sarasehan sastra. “Ini untuk pertama kalinya Bang Sutardji akan baca puisi di Tangsel,” kata Mustafa Ismail, ketua Panitia. Portal sastra Litera, lanjut Mustafa, akan memberikan penghargaan sastra kepada penulis puisi terbaik dan cerpen terbaik yang telah ditayangkan di portal sastra tersebut. Puisi dan cerpen terbaik itu akan dipilih dari karyakarya yang telah ditayangkan di portal sastra Litera dalam rentang waktu hampir setahun, sejak April hingga 30 Desember 2016. “Selain akan memdapatkan plakat, pememang juga akan menerima uang tunai,” katanya. Menurut Mustafa, untuk tahuntahun berikutnya, pemenang akan dipilih dari puisi-puisi dan cerpencerpen yang ditayang di portal Litera sejak awal Januari hingga 30 Desember. Mulai tahun depan, tiap bulan akan dipilih dua cerpen unggulan dan 10 puisi unggulan. Sehingga, dalam setahun akan terkumpul 24 cerpen unggulan dan 120 puisi unggulan. Namun, untuk tahun ini baru dapat dipilih 12 cerpen unggulan dan 24 puisi unggulan. “Karya-karya unggulan tersebut akan dibukukan bersama karya pemenang,” katanya. Acara pemberian penghargaan Litera yang didukung oleh Bakti Budaya

Djarum Foundation itu akan digelar di ruang pertemuan Resto Kampung Anggrek, Jalan Raya Viktor No. 81, Serpong, Kota Tangerang Selatan, pada Jumat, 28 April 2017, mulai pukul 14.00 wib. Penyerahan penghargaan akan diawali sarasehan sastra dan dimeriahkan pentas baca puisi, cerpen, dan musikalisasi puisi. Para penyair Indonesia yang akan tampil membaca puisi dan fragmen cerpen, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, Asrizal Nur, Slamet Widodo, Chavcay Syaefullah, Ni Komang Ariani, Shobir Pur, Rini Intama, Hadi Sastra, Willy Ana, Nana sastrawan, dan para penerima penghargaan. Sarasehan Sastra membahas topik Migrasi Sastra ke Ruang Maya dengan pembicara Maman S. Mahayana, Hasan Aspahani, dan Rida K. Liamsi. Rangkaian acara dalam rangka peringatan HUT Portal Sastra Litera itu sudah dimulai pada Sabtu, 25 Maret 2017, pukul 15.00, di Kafe Roti Bakar 88, Pamulang. Acara pra-HUT ini berupa Bincang Sastra dengan topik Mengembalikan Sastra ke Kekuatan Teks, dengan pemantik Sihar Ramses Simatupang, Machrus Prihany, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Mustafa Ismail. Puncak acara HUT Litera juga akan ditandai pemotongan tumpeng, penyerahan Anugerah Sastra Litera, serta peluncuran buku antologi puisi dan cerpen karya peraih penghargaan dan karya unggulan. “Pemberian penghargaan sastra Litera ini akan ditradisikan tiap tahun untuk mendorong kreativitas para penulis puisi dan cerpen di Indonesia, sekaligus untuk ikut menggiatkan gerakan literasi masyarakat,” kata Ahmadun. n MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 5


PERISTIWA

Aceh Gelar Lomba Baca Puisi Bertaraf Nasional

S

etelah 9 tahun menunggu, akhirnya pecinta lomba baca puisi kembali dapat mengikuti ajang lomba baca puisi paling bergengsi di Aceh, yaitu Lomba Baca Puisi Piala Maja pada 14-16 Mei 2017 yang akan datang. Bertempat di Taman Seni dan Budaya Banda Aceh, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh akan menggelar Lomba baca puisi memperebutkan piala tetap dan piala bergilir dengan total hadiah Rp 19.500.000. Piala Maja, menurut catatan penyelenggara sebelumnya, yaitu Dewan Kesenian Banda Aceh telah berlangsung selama delapan kali. Tiga kali dilaksanakan oleh Aceh Production Dan lima kali hingga tahun 2008 dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Banda Aceh. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Drs Reza Fahlevi. Msi mengatakan bahwa lomba baca puisi memperebutkan Piala Maja ini sangat penting dilaksanakan mengingat begitu banyaknya karya sastra terutama 6 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

puisi yang ditulis dan dibukukan di Aceh. “Pada kegiatan Temu Penyair 8 Negara saja tahun lalu di Aceh ada 27 judul buku puisi yang diluncurkan, 8 diantaranya antologi puisi penyair Aceh. Ada juga antologi Puisi Penyair Nusantara Meulaboh “Pasie Karam” dan Antologi Puisi Kopi yang diluncurkan di Gayo yang memuat ratusan karya penyair Nusantara. Begitu banyak karya yang ditulis penyair sehingga kita perlu mengapresiasinya dengan mengadakan lomba baca puisi yang terbuka untuk seluruh warga Negara Indonesia,” imbuhnya. Menurut Ketua Pelaksana yang juga Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dra. Kemalawati, lomba baca puisi Piala Maja yang ke-9 ini akan menjadi ajang bagi pembaca puisi untuk menunjukkan kemampuannya memahami isi puisi sehingga ketika dibaca pesan yang disampaikan penyairnya dapat tersampaikan kepada pendengarnya. “Apalagi yang menjadi juri

dalam lomba baca puisi kali ini adalah juri berskala nasional yang juga penyair dan pemenang lomba baca puisi tingkat nasional.” Tegas Kabid Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh yang juga penyair nasional, D Kemalawati. Adapun kesepakatan melanjutkan kegiatan Lomba Baca Puisi Piala Maja yang sebelumnya diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Aceh antara pimpinan Aceh Production MY Bombang yang akrab disapa Apa Kaoy dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Drs Reza Fahlevi. Itu didasari atas desakan para seniman Aceh, terutama pembaca puisi yang sebagian besar adalah generasi muda penikmat sastra agar diadakan ajang lomba baca puisi yang benar-benar bergengsi hingga pemenangnya layak diikutsertakan ke Tingkat Nasional seperti para juara yang mewakili Aceh belasan tahun lalu. Lomba Baca Puisi Piala Maja terbuka untuk umum baik di Aceh maupun luar Aceh memperebutkan piala bergilir dengan total hadiah Rp.19.500.000. Peserta dari semua kalangan dipersilakan mendaftar sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan, yakni berusia 17 tahun ke atas dengan melampirkan foto copy KTP, phas photo warna ukuran 3 x 4 cm, pernah menjadi juara pada event Lomba Baca Puisi dibuktikan dengan foto copy sertifikat pemenang. Pendaftaran peserta dapat dilakukan pada Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Formulir pendaftaran peserta dapat diunduh melalui: www.letteroftruth. webs.com. Email: base.disbudpar@gmail.com. | R


PUISI PILIHAN

ALEX R. NAINGGOLAN

Longitude, Lattitude

Di Taman Menteng

mestinya selalu kuhampiri dirimu, setiap senja. tapi alamat dirimu, selalu gagal untuk diberikan tanda. maka aku tentukan kordinat derajat, mencarimu. supaya kenangan tidak menjelma jadi banjir bandang yang besar. supaya masih ada catatan dari percakapan kita, meskipun hujan turun sepanjang hari dan cahaya kota semakin kecil.

rumah kaca memantulkan sisa cahaya yang pengap kota menjulurkan lidahnya dan seorang perempuan dengan lipstik cerah berjalan melawan gerimis atau juga sisa tangis

mendadak alamat dirimu yang jauh terganti dalam sejumlah angka, yang mesti ditafsirkan oleh mesin pencarian dari data jaringan. ah, apakah betul engkau di sana? bersusah payah menulis puisi dan menyibak masa kanak yang tak pernah tanak di dalam otak. lalu aku akan berselancar lagi, menempukan setiap serpih, berupaya untuk menyingkirkan segala pedih.

langit redup. sepasang kekasih sibuk menekan tuts di telepon genggam aku mematung mencari tempat teduh dari aroma kuliner yang memanjang

bagaimana jika aku yang akan tandang? lalu kita bertahan di suatu tempat sekadar menyimpan semua luka, menikmati bising kota dan cuaca yang sekejap berubah jadi cemeti. berupa duri di tenggorokanmu. 2016 Sebuah Minggu Buat Penyair ia pun rebah di waktu yang senggang. mencuci ingatan, juga baju-baju yang terlanjur direndam. dan tak ada puisi yang hinggal di kepala. hanya sebuah televisi dengan film kartun warna cerah. sebenarnya ia ingin santai, atau barangkali pergi ke pusat kota. mengunjungi toko buku loak, menemui kata-kata usang. setelah itu merakitnya dalam puisi. tapi perutnya sakit, di remang tidurnya suara anak-anak berlarian. berkerumun lalu menjauhinya.

rumah kaca masih saja meantulkan cahaya mungkin sisa usia dari remah kota yang tak sempat ditulis dalam sebuah berita 2016 Angin Bulan Desember angin bulan desember jatuh mendingin. menyimpan uap dingin, dengan tergesa melipat kalender. kota tumbuh dan menjadi onak. mengunci masa kanak-kanakmu. tak ada yang berubah, seperti juga puisi yang menangisi sepi sendiri. sebentar lagi, suara terompet menyeret semua masalalu. sejarah meneteskan lagi darah. entah untuk siapa. 2016

2016

Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Satlak Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kelurahan Gondangdia Kec. Menteng Kota Adm. Jakarta Pusat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di sejulah media. Bukunya yang telah terbit adalah Rumah Malam di Mata ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, 2016), dan banyak antologi. MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 7


PUISI Beny Syah Malam Hampir Tenggelam

Nanang Suryadi Awas

/1/ rokaat habis tak dapat dibagi sedang mata di kaki mengaisi gerimis yang rajam teriris yang nyembah lembah tangis

was tukang kipas, serunya. Aku tak melihat seorang pun membawa kipas. Udara hujan. Dingin. Untuk apa kipas? Nanti masuk angin.

/2/ serambi berisikan bisikan menekan telinga ‘tuk sendawa di urat nyawa memainkan terompah tinggalkan kenangan sisa bambu-bambu dikuliti menjadi hidangan kelam tak disulam hanya menghias tiang penyanggah malam serta salam kalam : silam /3/ laron dan peron menjadi saksi tentang angkunya kaki demi kaki menginjaki putih tanpa bertanya lagi perihal buih Rindu, Aku ini adalah bagian duka yang kau tanak dengan air mata 1. kusalamkan pada kelam yang membius malam wajah-wajah muram dibait kalam memujimu penuh seluruh : rindu zikir berikrar bunga angsoka mekar diiris jutaan rindu bertamu di mataku bukan tentang persimpangan kiri jalan terpasti getaran demi getara : perasaan 2. tubuhmu patung gumammu tenung sekelompok roh agung duduk termenung ini adalah sepenggal kisah bernuansa duka mengiris guris diam menangis menitis: rinduku tertelungkup malu antara batas dada dan peluru Beny Syah adalah nama pena dari Beny Firmansyah, lahir di Gresik 21 tahun silam. Tinggal di Surabaya. 8 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

Udara panas pun tak ada yang membawa kipas, gumamku, terlebih ini udaranya dingin. Lalu siapa yang tadi.berseru awas tukang kipas? Dia mengingatkan kipas yang semakin langka atau bagaimana? Dia mengingatkan orang tentang pembuat kipas, pengguna kipas atau penjual kipas. Ada pernah kudengar film karena tak pernah kutonton: kipas kipas cari angin. Mengapa angin dicari? Siapa yang menculik? (Kipas angin menderu. Di ruangan penuh rencana. Udara terasa demikian panas. Hujan menderas di luar). Di Penghujung Senja di penghujung senja engkau menulis sajak, sebuah elegi, yang hendak menelusur jejak: airmata di jemarimu, puisi adalah kandil yang bertahan tak padam, dihembus angin malam “bicaralah, biar sunyi yang akan mengkhidmati,” ujar malam kepadamu, yang merasa asing sendiri. “aku ingin menulis sajak, tapi mengapa puisi tak datang padaku?” tanyamu. mungkin puisi enggan datang kepadamu, penyair yang gagal menangkap isyarat, tanda-tanda, yang berulang disampaikan. cerminmu terlalu berdebu Aku Tak Bisa aku tak bisa berbuat apapun selain berdoa: kebaikan untuk kita semua terjadilah apa.yang semestinya terjadi segala sesuatu yang sudah digariskan pintaku, berilah kami yang terbaik dunia yang penuh kedamaian dan ampunan

Nanang Suryadi lahir di Pulomerak, Serang, Banten, pada 8 Juli 1973. Ia mengajar di FEB Universitas Brawijaya, Malang. Aktif mengelola fordisastra.com.


PUISI Armen S. Doang Palung Ingatan

Robbi Jannatan Kamu dan Perempuan Itu

selalu ada yang datang dan hilang yang singgah adalah ingatan menjelma almanak tergantung di dinding ruang

Aku adalah penjahit, menyulam tulang dan dagingmu dari benang-benang, yang dipintal dengan apik. Hidup di dalam sajak ini, dan kunamakan kamu.

menyerupai hari yang kucari di penghujung bulan, dalam tanggal tanggal waktu bertalu mengikuti irama ketukan palu mengantarkan pada sebidang tanah lapang di palung kenang paling dalam kujumpai sejuta keriangan melompat serta berlari mereka bertemu senyum di bawah kibar kebebasan hingga petang naik ke ranjang ibu memanggil pulang dengan kecupan sebagai isyarat menutup halaman semua lenyap dalam pikiran aku kembali pulang setelah meneguk rasa asam peradaban dalam gelas zaman yang berkeringat bekas hujan yang hilang semalam Bekasi, 5 Mei 2016 Suluk Tidur Melambung lambung batang jiwa hinggap di balik pintu cahaya. Menyingkap hening perlahan, mengumpulkan puing peristiwa tanpa suara. Menyembunyikannya ke dalam saku celana. Malaikat menafsirkanku selaku pencuri pendar dalam kitab malam. Sebelum berangkat tidur dengan kafan kesunyian, memadamkan lampu lampu kamar. Melipat lipat tilam mimpi ketika semua lengah dalam dengkuran. Aku bergegas sujud di jembatan langit. Menyelinap di lengkung bibir sadar yang menggigit. Di atas ranjang pikiran terbitlah hasrat syahadat yang mulai temaram. Bekasi, 1 Mei 2016

Armen S. Doang atau Armen S. Untung yang bernama asli Armen Setiaji lahir di Jakarta 05-09-1980. Bertempat tinggal di Bekasi Utara, Jawa Barat.

Aku adalah pelukis, menggambar wajahmu dari warna-warna, dari puluhan warna nan elok. Kamu akan selalu tersenyum dengan mata berbinar, dalam sajak ini kamu bahagia. Aku adalah pemahat, menatah kakimu yang jenjang, dengan kayu-kayu dari pohonan hutan, kamu akan selalu berdiri tegap dan tak akan berjalan lunglai, dalam sajak ini kamu tidak akan menyerah. Aku adalah penulis, menuliskan tangan-tanganmu, dengan tinta-tinta yang kujaga baik. Hidup dalam sajak ini, tanganmu senantiasa berbuat kebaikan. Aku adalah ahli ibadah, merapalkan doa-doa, dari lubuk hati yang mengalir ketulusan. Agar kamu abadi di dalam tiap bait sajak sederhana ini. Aku adalah penyair, menulis semua tentangmu dari larik-larik, di atas kertas yang diberikan Tuhan. Kertas yang ditanam di dalam rahim seorang perempuan. Perempuan yang kuhadiahi kamu kepadanya. Kamu dan perempuan itu, membuatkan jalan kemana aku hendak pulang. Sepi yang Binal Rindu dalam birai terpajang. Kaku dalam bilik berdebu. Bilamana cinta datang memagut. Memajang rindu dengan apik setiap saat. Sepi semakin binal. Kamu pergi membawa cemeti, penjinak sepi yang melolong. Memekakkan telinga, menumpuk rindu di belanga. Cinta kusimpan dalam laci, tak kubuka lagi. Hatiku, ku ikat rapi dengan buhul di dalam bilik yang terkunci, Abadi. Robbi Jannatan, Lahir dan dibesarkan di Kota Padang, Sumatra Barat. Kini tinggal di Tanah Datar. MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 9


PUISI Willy Ana Mutiara Merah

Zabidi Zay Lawanglangit Percakapan Sebelum Hujan

Gesekan lembar-lembar mutiara merah itu Seperti melodi yang mendayu-dayu

Aku ingin menyentuh kembali pintu Bangku kayu atau meja di sudut ruang itu Dengan tatapan mata atau usapan telapak tangan

Menebar wangi kesturi kesegala penjuru Mengirim mantra-mantra Pada inang dan agamnya Bunga mu seperti hamparan embun di padang rumput Serupa kabut Butir-butir merah pada dahan itu Serupa senyum yang bergelayut Malam Malam melepuh Menghadirkan bayangan bulan Yang terpenggal Seperti yang terbang jauh Entah kemana Matahari itu Tarian angin digigil musim Seperti lagu-lagu tua diujung senja Kitapun mabuk!

Ruangan yang kini telah lengang mungkin juga using Tapi kau tahu kenangan tak akan pernah usang Apalagi benar-benar hilang Ada yang dengan sangat baik dan tak terduga Mengabadikannya dengan catatan Yang nyaris sempurna: tanpa kita menyadarinya Ya, bahkan hal-hal yang tak kita lihat dan juga ingat Bukankah demikian? Ada yang pernah mengetuk pintu itu: tanganmu yang gemetar Sebelum dingin bangku menjadi hangat Hingga malam merambat Melipat percakapan yang telah bertunas-tunas Di luar hujan saat itu - saat kau bergegas Ketika seseorang memanggilmu dari seberang Dan di dalam lift mata kita masih saling berdekapan

Tapi kau kini suntuk Datang dengan wajah berdarah Membuat cuaca begitu buruk Langit memerah

Tak ada yang benar-benar hilang Sebab selalu ada diam-diam yang menyimpannya Dengan sangat rapi dan nyaris sempurna : Kau tahu itu bukan?

Aku seperti mengejar-ngejar angin Bertiup dari ranting ke ranting Dan jatuh diujung sepatu Daun itu jadi debu

Rahasia Besar Apa yang Kau Simpan?

Pelangi Pelangi itu merekah Menghentak saraf-saraf Bumi Seperti kuda lari kencang Memacu denyut nadi Dan pelangi itupun membuncah Mengirim musim semi Hingga mimpi-mimpi Seperti kuncup-kuncup Seroja yang merona

Aku melihatmu berjalan pelahan Memanjat tangga menuju awan Di atas langit seperti berongga: memancarkan cahaya Putih dari kubah hitam kebiruan yang membentang Rahasia besar apa yang kau simpan di kepala? Tak ada suara. Hanya sunyi, angin, kabut dan dingin Meski burung-burung masih beterbangan dalam diam Burung yang tampak seperti titik hitam berbaris di kejauhan Ada yang memandangmu Jutaan pasang mata Yang segera bergerak mengikutimu

Ia membangun halaman rumah Dan taman bunga Lengkap dengan para penari Yang selalu menyiramnya

: Menembus langit?

Willy Ana lahir di Bengkulu, 29 September 1981. Buku puisinya “Aku Berhak Bahagia” (2016) dan “Tabot: Aku Bengkulu” (2016 & 2017).

Zabidi Zay Lawanglangit lahir di Yogya kini menetap di Bekasi. Pernah aktif bergiat di paguyuban sastra “Pasar Malam”. Buku puisinya “sajak-sajak Tirakat”

10 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

2016


PUISI Din Saja Jalan Gelap

Iman Sembada Setelah 20 Menit di Depan Cermin

Hakekatnya gelap Matahari memberi terang pada sorotnya Hati geliat mencari lihat Pikir gelegak membentuk hendak

Aku mengamati sekujur tubuhku, 20 menit yang Lalu. Aku hampir dibuat gila oleh cinta yang Gelisah. Lalu aku segera membuka diriku. Setiap Suara telah jadi kisah dalam diriku. Aku mengingat Kembali segenap kenangan, juga masa kanal-kanakku Yang samar. Kamera-kamera memotret lagi diriku

Telinga menemu rima Hidung mendapat warna Tangan merasa rupa Mata membentuk kata Hidup adalah pencarian hilang Banda Aceh, 7 Maret 2017

Tubuh Ah kau tubuh, hanya bangkai, banyak kali permintaan kau. Sakit sedikit saja sudah mengeluh. Tidakkah kau lihat bagaimana anak-anak menahan sakit tanpa ada kedua orang tuanya. Tidak malu kah kau dengan orang buta yang berjalan sendiri mencari diri. Coba kau lihat para gembel yang tidur beratap langit di pinggir kali. Anak-anak punk yang terusir dari lingkungan tapi masih bisa bercanda. Ah kau tubuh, hanya bangkai. Lho kepada siapa lagi kita harus percaya sedang pada diri kita sangsi semakin besar semakin lupa pada pijakan Banda Aceh, 2 Maret 2013

Jangan memasukkan kisah-kisah kesedihan, juga Seragam tentara dalam diriku, kekasihku. Aku tak Ingin diriku menjelma simbol-simbol kekerasan dan Teks-teks kekuasaan. Aku tak lagi berdiri di depan Cermin. Angin keluar-masuk, meninggalkan aroma Garam dalam diriku. Kupu-kupu mulai memasuki diriku, lalu Hinggap di ranting-ranting mimpiku. Hidup tak bisa Dilupakan dengan tidur dan mabuk, kekasihku Aku mengamati sekujur tubuhku. Ada sisa saos Di bibirku, 20 menit yang lalu. Kupu-kupu telah Membuat kisah lain lagi dalam diriku. Lalu bel-bel Berbunyi, seperti denyut waktu dalam sebuah novel Getir yang terbit di negara-negara bekas jajahan. 2014 Tak Ada Ikan Taka da ikan di dasar cermin Yang retak, selain wajahmu yang Koyak. Matamu lesu. Tanganmu menggapai Angkasa, menemu udara hampa Di trotoar tak ada yang tertinggal, kecuali Jejakmu yang dicungkil angin setiap malam Lalu mata anak-anak di jalan raya Membidik sejengkal peluang hari esok Tak ada ikan di dasar cermin Yang retak, selain wajahmu yang Kisut dihela jarum jam. Sepasang kucing Mendenguskan bau pesing dari lorong yang gelap Di waktu yang lain, engkau membayangkan Cermin yang retak itu menjelma kolam dengan Air mancur di tengahnya. Engkau melihat ikan-ikan Berenang, juga wajahmu yang menggenang di situ: beku dan sepi 2015

Din Saja lahir di Banda Aceh, 31 Januari 1956. Selain penyair, ia dikenal sebagai sutradara teater. Ia telah melahirkan beberapa buku puisi tunggal.

Iman Sembada lahir di Purwodadi, Jawa Tengah. 4 Mei 1976. Ia ktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Buku puisinya Air Mata Suku Bangsa. MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 11


CERPEN PILIHAN

Tiket Menuju Surga

K

au melihatnya di pagi buta. Saat fajar belum menyingsing dan kemeriahan pergantian tahun urung senyap. Lelaki itu tengkurap. Hampir bugil dengan sebagian tubuh tertutup selimut. Potongan rambutnya begitu familiar di matamu. Mungkin aku menatapnya setiap pagi di kamar mandi, pikirmu. Tangannya tergeletak di paha seorang wanita. Putih dan jenjang. Seperti kaki jerapah, namun sedikit lebih berisi. Pandangan nakalmu ingin segera naik. Tapi sayang terhalang selimut bermotif zebra yang tak mungkin kau singkap. Kau menatap dadanya. Lama. Kemudian memaku wajah wanita itu. Jantungmu terasa hampir copot. Tanganmu meraba dada. Menjaganya agar tak jebol. Jatuh dan membuatmu tak mampu mengendalikan diri. Wajah wanita itu kau hapal betul. Semalam, kau menghabiskan malam pergantian tahun dengannya. Bukan seseorang yang baru 12 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

Cerpen: Kristiawan Balasa kau kenal. Setidaknya, sudah dua tahun kau berkencan. Berpindahpindah. Tak pernah rumah pribadi. Tak pernah di melati. Selalu hotel mewah. “Tempat-tempat seperti itu rawan kenalan,” katanya. Kau mengangguk dan tak menjadikannya masalah. Seminggu lalu, wanita itu menghubungimu. Minta agar kau datang dan bersama-sama menghabiskan waktu. Kau tak mungkin menolak. Kelebat dalam otakmu selalu ingat bahwa ia tak suka penolakan. Dua bulan saling kenal, wanita itu mengajakmu makan dan atas nama kesopanan kau menolak. Malam itu juga ia datang menjemputmu. Tanpa banyak kata-kata. Dan, seperti tersihir, kau mengekor padanya. Sejak saat itu kalian semakin dekat dan setidaknya, setiap dua minggu sekali ia mengajakmu berpelesir. Ia selalu datang dengan gaun merah darah. Itu ia lakukan semata-mata karena kau. “Aku Aruna,” ujarnya sambil

menyodorkan tangan. “Kau pasti penyuka merah,” tukasmu. “Kau cenayang?” “Aku hanya pernah membaca kamus Sanskerta. Dan, kau pasti akan cantik bila mengenakannya,” jawabmu merayu. Itu pertemuan pertamamu dengannya. Di sebuah kafe selepas malam puisi yang biasa kau ikuti. Ia mengaku sudah memerhatikanmu dari pojok kafe itu selama tiga minggu dan menyukai sajaksajakmu. Kau membuat kata-kata itu hidup, ujarnya. Pandangan kau edarkan. Di tepi ranjang, kau melihat gaun merah itu. Penuh luka sobek. Sebotol anggur yang belum tandas tergeletak begitu saja. Otakmu kau paksa mengingat-ingat. Bukankah semalam aku di sini bersamanya? Tubuh kedua orang di ranjang itu bergeming. Seperti patung dua dewa cinta yang lelah bercumbu. Dengan saksama, lekat dan sekuat mata melotot, kau tak melihat gerakan apa pun. Mata wanita itu


CERPEN PILIHAN

tetap memejam. Kau tak bisa lagi berkaca pada bola matanya yang gundu. Tertutup kelopak yang takzim menjaga. Dengan alis rimbun yang selalu kau ingat serupa padang ilalang penuh. Tempat sajak-sajakmu tumbuh. Awal tahun lalu ia mengajakmu ke sana. Timur Indonesia yang memesona. Hadiah terbitnya kumpulan puisimu yang kelima. “Terlalu berlebihan,” katamu saat ia menyampaikan niat itu. “Bagaimana aku merasa kurang jika ada kau?” balasnya manja. “Dari mana kau belajar merayu? Kau semakin ke-aku-aku-an.” Ia hanya tersenyum, kemudian mengalungkan kedua tangannya di lehermu. Berat tubuhnya mendorongmu hingga terjebak di belakang pintu. Kau sengaja membiarkannya. Napas kalian berburu. Bibir kalian beradu. Kedua lidah penuh berahi itu saling mengait. Berseteru. Dua tahun kalian berhubungan, tak pernah sekali pun kau bertanya padanya perkara keluarga. Kau sengaja menjauhkan telingamu dari luka hati yang kau korek sendiri. Meski kau memang bukan seorang pencemburu. Bertolak belakang dengannya. “Mengapa sajakmu selalu tentang kesedihan? Tidak bahagiakah kau bersamaku?” tanyanya suatu waktu. “Aku hampir tak pernah menulis tentang diriku sendiri,” jawabmu datar. “Aku merasa ada wanita lain di hatimu!” sambarnya dengan mata api. “Hanya kau.” “Aku membaca catatan-catatanmu. Tak pernah tentang aku!” serangnya. “Aku menuliskan kisah orang lain.”

Hari itu, kau melihat tanduk di kepalanya. Dengan sayap hitam yang menyala. Ia terbang dan menabrak apa saja. Penjelasanmu. Suaranya yang lembut. Tingkahnya yang manja. Kehangatan yang surga. Pernah kau berujar, saat ia damai dalam pelukan, selepas meracau cemburu. Kau jelas-jelas mendapatkannya. Ia tak bahagia bersama yang memilikinya di bawah naungan agama. Sebab itu, ia selalu datang padamu. Walau kau seorang penyair, kau tak pernah percaya bahwa cemburu tanda cinta. Aku tak pernah cemburu pada apa yang tidak lebih daripadaku, gumammu. Aku hanya menggunakannya untuk tetap menghidupi kata-kata. Oleh sebab itu, kau tidak benarbenar memedulikan lelaki yang tengkurap sambil memegang paha wanitamu. Bisa saja lelaki itu suaminya. Kau tidak merasa tersaingi, meski hatimu risih. Kau memang penasaran, tapi tak mungkin bagimu membalik badannya. Matamu tak lepas dari wanita itu, sembari mengingat kejadian semalam. Lobus temporalis-mu kesulitan. Mungkin aku masih mabuk, batinmu. Sebuah silet dan selembar kertas serta sebuah nota di atas meja menarik perhatianmu. Kau memegang janggut, dan masih terasa kasar. Tak mungkin bercukur di tengah malam. Kakimu melangkah. Kecil dan ringkih. Kertas yang tertimpa nota itu ingin kau gapai. Namun, tanganmu enggan menggenggam. Kau merasa bingung dengan semua ketidakbisaanmu. Tubuhmu kau raba. Berasa. Kau semakin bingung. Kau kembali berusaha mengingat kejadian semalam. Setiap potongan adegan. Setipis emosi yang keluar. Seluruh oksigen dalam ka-

mar itu kau hirup. Semata-mata agar otakmu memiliki lebih banyak pasokan energi untuk mengingat. Kau menolak lupa. Padahal kau lupa, ingatan pendekmu sangat buruk. Itulah sebabnya kau menulis. Itulah sebabnya, selalu ada nota kecil dalam kantung celana. “Aku tak percaya kekuatan ingatan,” katamu padanya suatu waktu. “Lantas, mengapa puisi?” “Hidup adalah perkara menyimpan luka. Puisi caraku merawatnya.” “Jawabanmu terlalu puitis!” Barang-barang itu—gaun merah yang sobek, sebotol anggur, silet, dan selembar kertas—kau kumpulkan dalam kepala. Mencoba merajut dan menjahitnya menjadi potongan kejadian semalam. Dalam pikirmu, gaun merah itu sobek karena nafsu menggebu. Sepasang harimau liar penuh berahi keluar dari tubuh kalian semalam. Lantunan musik klasik dan sebotol anggur jadi pengantar. Pembuka gerbang dunia penuh kenikmatan. Kau mulai sedikit ingat. Setelah kalian meremangkan lampu dan gegap-gempita bunga langit jadi saksi bisu, ia mendorong tubuhmu dan kau terhempas di ranjang. Botol anggur yang masih setengah itu diraihnya. Kemudian meliuk-liuk indah bagai penari perut timur tengah. Ia melangkah, membuat jarak kalian tinggal satu depa. Kau ingin segera memeluk, tapi ia tahan. Tubuhmu harus lekat pada ranjang. Ia melompat, mengangkangimu sambil terus menari, menggodamu dengan desah dan deru napas penuh berahi. Sebotol anggur yang masih setengah itu kalian nikmati berdua. Dari bibir botol ke bibirmu. Dari bibir botol ke bibirnya. Dari bibirnya ke biMAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 13


CERPEN PILIHAN

birmu. Gaunnya tak keruan. Rambutnya tergerai dan ia begitu cantik di usia tiga puluhan. Saat ia melompat turun dari ranjang, dan memaksa terbangmu di angkasa hampa seketika. Kau melihat sepasang sayap hitam di punggungnya. Besar. Lebar. Ia menuju meja, mengambil sesuatu yang tak bisa kau lihat. Benda itu bersembunyi dalam genggaman. Sayap hitamnya mengepak. Membuatnya tepat berdiri di hadapanmu. Sesuatu yang mengkilap dari genggamannya buatmu kaku. Meski cemas, kau tahu, ia menyenangi hal-hal liar dan banyak ide gila yang bermukim di kepalanya. “Untuk apa silet itu?” “Aku hanya ingin membuatmu terbang lebih tinggi. Menuju surga!” jawabnya dengan tatapan nakal menggoda. “Kupikir kau akan menanggalkan gaunmu, menari telanjang, memotong-motong kelaminku, lalu membunuhku seperti para jenderal dahulu,” katamu sambil tersenyum. “Kau pemelihara luka yang baik, tapi pengingat sejarah yang buruk!” desahnya. Ia kembali terbang dan bertengger di atas pahamu. Menyobek-nyobek gaunnya dan mengarahkan lidahmu agar menjelajahi luka gaun itu. Ia begitu lihai memainkan benda tajam. Tak sedikit pun kulitnya tergores. Kau memeluknya. Sayap hitamnya hilang. Dua harimau liar kembali keluar. Garang. Saling serang. Kau tenggelam dalam ingatan dangkal. *** Ada satu benda yang lepas dari rajutan adegan ingatanmu. Kau lupa akan secarik kertas yang 14 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

tertindih nota di atas meja itu. Jika kau ingat, wanita itu pernah menyampaikan kecemasannya, selepas tanduk di kepala dan sayap hitamnya hilang. Akhir sebuah racauan panjang. “Sebenarnya aku takut penyair. Mereka pengendali kekuatan kata-kata,” ujarnya sambil memelukmu erat. “Aku lebih takut pada wanita sepertimu. Cemburumu, mampu berkata lebih dari yang nyata.” Ia cemberut. Kau tersenyum. Setelah itu, kau segera memberinya selembar kertas. Menyuruhnya menuliskan semua kegelisahan dan hal-hal yang mengganjal hati. Agar kau lega dan tak harus marah-marah, katamu. Kau tak tahu, sejak saat itu, ia selalu menulis setiap malam. Ia menulis apa saja. Kecemasan. Rasa takut. Juga hal-hal remeh. Ia menuliskan isi hatinya pada selembar kertas. Kertas yang belum kau baca sama sekali. Ia sengaja meletakkannya di atas meja. Supaya kelak orang akan tahu, bagaimana rasanya mencintai seorang penyair. Di baris paling atas, tertulis sebuah judul dengan huruf kapital; TIKET MENUJU SURGA. Jika aku tak pernah datang ke kafe itu. Mungkin aku tak akan segila ini. Aku seperti bertemu dengan juru tutur kisah hidupku. Kesedihan—air mata, dendam, pengkhianatan, penantian, kehilangan, patah hati—yang aku rasakan terkuras tandas! Aku melihat diriku dalam sajaknya. Hidup. Beranak dalam tiap kata. Awalnya aku takjub. Senang. Bahagia. Ia penutur yang baik. Ia kekasih yang sanggup menjadi cermin. Beda jauh dengan suamiku.

Aku menikah dengannya untuk bertahan hidup. Aku menjalin kasih dengan penyairku untuk merasakan hidup. Aku mencintainya. Dalam. Palung laut paling dasar sekali pun tak akan mampu buat aku tenggelam lebih darinya. Namun, aku tak tahu apa ia juga sama. Ia memang menceritakan masa laluku dengan baik dalam sajaknya. Hingga, aku tak sanggup lagi bersedih. Aku terlalu bahagia, tapi ia masih saja menuliskan luka-luka. Aku tak pernah tahu masa lalunya. Sama seperti ia tak tahu masa laluku. Kami sepakat untuk menyimpannya masing-masing. Belakangan, aku curiga ia miliki wanita lain. Atau mungkin sebuah kenangan yang belum tuntas. Aku seringkali marah dan mencakmencak bila memikirkannya. Tapi, peluknya selalu damaikanku. Aku akui, cemburuku berlebihan. Itu hal yang wajar, kan? Malam nanti, aku akan melewati malam pergantian tahun dengannya. Membuatnya lupa segala sedih dan luka yang telaten ia rawat. Ia akan tahu betapa aku mencintanya. Kami akan berpesta. Merayakan perpisahan; memberi batas sedih dan senang. Aku akan membebaskannya dari iblis busuk yang selama ini memenjara jiwanya. Aku sudah menyiapkan sebotol anggur spesial; tiket menuju surga. Pontianak, 2015

Kristiawan Balasa bekerja sebagai wartawan media lokal Pontianak, Kalimantan Barat. Cerpen-cerpenya bisa ditemukan di sejumlah media massa. Email: kristiawanbalasa@ymail.com.


CERPEN

Menjadi Burung Merpati

H

ening malam menjelma menjadi bising saat jam kota berbunyi dua belas kali. Aku tidak peduli. Langkahku masih pelan, nafasku masih lembut, dan tubuhku masih lelah. Penampilan malam ini memberiku cukup uang untuk nanti membelikan hadiah untuk Naima, anak perempuanku yang dua hari lagi akan menginjak usia empat belas tahun. Langkahku pun berhenti di depan sebuah flat berwarna hitam dengan pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Membuka pintu flat itu adalah sebuah kegiatan yang menyebalkan, karena suara derik pintu yang ia ciptakan dapat membuyarkan isi pikiran yang sedang berkecamuk, apalagi dalam hening malam yang suara serangga mati saja dapat terdengar dengan jelas. Namun apapun keresahanku, pintu itu aku buka juga perlahanlahan. Walau perlahan suara deriknya yang menyebalkan itu tetap membunuh, terlebih lagi saat aku melihat sesosok gadis remaja berambut

Muhamad Kusuma Gotansyah hitam lurus berdiri di hadapanku setelah pintu ini kubuka sembilan puluh derajat. Gadis remaja itu menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya sembari memandangku tajam. Gadis itu mengenakan gaun tidur berwarna putih dan kaus kaki berwarna hijau yang terbuat dari wol. Gadis itu adalah Naima, anak perempuanku. “Ayah mengapa terlambat lagi?” keluhnya dengan suara yang kesal dan sedih. “Maaf Naima… Ayah sedang bekerja…” jawabku lembut dan perlahan. “Tadi Naima mencoba masak, agar kita tidak selalu beli makanan di luar. Naima sudah memasakkan buat Ayah, tetapi sudah dingin dan akhirnya Naima berikan pada pengemis di ujung jalan sana.” “Kamu baik sekali kepada pengemis itu.” “Tetapi Yah, makanan itu aku masakkan untuk Ayah!” kini suaranya sedikit mengeras dan terlihat air mata mengalir lembut pada ujung mata kanannya.

“Maafkan Ayah ya… Tadi Ayah bekerja buat membelikanmu hadiah, dua hari lagi kan kamu ulang tahun.” “Hadiah yang Naima inginkan hanya ingin bersama Ayah! Mendengarkan musik bersama dan makan malam bersama dan hal lainnya bersama, hanya itu Ayah! Memang benar kata Ibu, Ayah lebih suka mementingkan dirinya sendiri!” Aku sangat tidak suka saat anakku marah padaku karena aku pulang terlambat, pada akhirnya ia pasti mengungkit kembali katakata Ibunya pada masa lalu. “Naima, Ayah tidak suka kalau kamu teriak-teriak seperti ini, apalagi membawa-bawa nama Ibu!” Dan Naima pun kesal mendengar kalimatku itu. Terjadi pertengkaran di antaraku dan anak perempuanku itu. Tak lama setelah itu, pertengkaran diakhiri oleh Naima lari ke kamar tidurnya dengan kesal lalu menutupnya dengan keras dan ia kunci. Aku menghampiri pintu kamarnya dan mengetuknya MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 15


CERPEN

tiga kali, dan ketiga ketukan itu tak dijawab olehnya. Aku terdiam sejenak dan akhirnya melangkah pelan menuju ruang kerjaku yang tidak berpintu, melainkan bertirai kelabu yang tembus pandang, sembari menikmati lelahku yang kini semakin liar. Kuletakkan tas saksofonku yang dari tadi kujinjing di samping piano yang terletak di pojok kanan depan ruanganku ini. Akupun duduk di kursi piano itu dan termenung sejenak. Terlihat olehku sebuah figura di atas piano itu. Pada figura itu adalah foto ibu Naima, yang tiga tahun sebelumnya telah meninggal dunia. Untuk mengalihkan pikiran yang mulai melanglang buana aku berdiri kembali dan berjalan menuju pemain vinyl yang terletak di atas sebuah meja yang berada di sudut ruangan yang berlawanan dengan pianoku. Sebuah vinyl sudah terpasang di dalamnya, dan aku pun memainkannya. Alunan lagu milik Charlie Parker yang berjudul Au Privave pun bermain, sungguh sebuah komposisi yang indah. Ah, Charlie Parker. Sang pemain saksofon handal yang sangat legendaris. Aku pun memandang ke dinding di hadapanku, dimana terpampang sebuah poster album Bird on 52nd Street milik Charlie Parker. Aku menghela nafas panjang, menyesali diriku yang kian tak dapat mencapai kepiawaian jazz sehebat legenda yang dijuluki ‘Bird’ itu. Menyesali diriku yang hingga kini hanya dapat bermain di kafe-kafe pusat kota hingga tengah malam. Juga menyesali perlakuanku pada anak gadis semata wayangku. Namun aku mencoba tidak peduli dan menutup mata, berusaha tidur lelap diiringi alunan saksofon alto milik Charlie Parker yang menakjubkan. Hingga pada pagi hari pukul 7 aku terbangun dengan bunyi 16 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

kepakan sayap burung yang terdengar dari luar jendela ruanganku ini. Aku terkejut karena suara itu bukan berasal dari seekor burung saja namun sekawanan burung yang beranggotakan kira-kira lima hingga tujuh ekor burung merpati. Namun, aku tidak begitu memedulikannya dan segera membawa tas saksofonku lalu melihat pemain vinylku yang masih berputar kemudian menghentikannya dan keluar ruanganku ini tanpa memikirkan begitu panjang tentang burungburung merpati tadi. Seketika aku melihat Naima sedang sarapan di meja makan, maka aku berhenti sejenak dan mengatakan bahwa aku perlu pergi karena ada janji dengan seorang teman. “Naima, maafkan Ayah ya… sekarang Ayah ingin pergi dulu.” Naima tidak memedulikanku dan tetap tekun menikmati sarapannya yang ia buat sendiri. Di samping piring sarapannya terdapat satu lagi piring dengan beberapa tangkup roti di atasnya. “Ah, Naima sudah buatkan Ayah sarapan juga ya. Tetapi maaf Naima, Ayah sudah terlambat, nanti Ayah usahakan pulang cepat dan kita makan malam bersama ya, tetapi Naima yang masak…” Dia tetap tak peduli. Aku pun tak bisa berkata apa. Kulanjutkan langkahku keluar rumah dengan langkah-langkah besar. Temanku itu tidak terlalu akrab denganku, ia adalah seorang pemain double-bass yang kerap tampil bersamaku. Dia kemarin malam mengundangku datang ke rumahnya untuk berlatih buat penampilan malam ini. Saat aku sampai di depan rumahnya dan mengetuk pintunya, ia membukakan pintu dan menyapaku, dan bertanya mengapa wajahku terlihat begitu kusut. Aku menjawab dengan senyum penuh ketidak ikhlasan, dan ia pun dengan kikuk mempersilahkan aku

untuk masuk. Aku melihat ada seorang pemain drum dan piano yang sedang bersiap sedia di ruang tengah rumah ini. Temanku itu pergi sebentar seraya berkata padaku untuk juga ikut bersiapsiap, maka aku pun mengeluarkan saksofon altoku dari dalam tasnya, mengelap mouthpiecenya dan mulai memainkan beberapa not secara kromatik. Mulai dari Db, D, Eb, E, F lalu F#, dan G hingga Ab, mencoba menciptakan suara yang jernih dan bersih di setiap not tadi. Si penghuni rumah datang kembali dan berkata bahwa dia akan memimpin latihan ini. Dan ia pun mulai dengan memberikan beberapa perintah pada kami. “Kita akan bermain lagu Cherokee. Alfin, mainkan simbal dengan ritme yang jelas, jangan seperti kemarin. Harbi, pelankan sedikit permainanmu saat Desha sedang solo. Dan Desha, mainkan improvisasi yang bagus dan berhati-hati dengan bagian B lagu ini,” seraya tersenyum padaku, namun aku tidak memedulikan senyumnya dan hanya terdiam. Tak lama setelah itu sang pemain drum memberi ketukan awal dengan kedua stiknya dalam birama 4/4 sebanyak dua kali, lalu kami langsung mulai memainkan Cherokee. Hingga pada saat temanku itu memberi tanda padaku untuk memulai soloku. Aku memulai soloku pada bagian A dengan beberapa frasa kromatik dan pentatonik yang agak monoton sehingga sang pemain piano memandangku bingung. Dan akhirnya pada bagian B aku memainkan not yang salah, dan semua pemain berhenti bermain mendadak. “Temanmu itu mengapa Moer?” ujar sang pemain piano yang sejujurnya tidak begitu kukenal pada temanku. “Baiklah tidak apa-apa, kita mulai lagi. Serius Desha.” Ujar Moer padaku.


CERPEN

Dan kami memulai permainan lagi. Namun kali ini pada awal improvisasiku aku tidak lagi memainkan nada-nada monoton, sehingga kepercayaan diri tumbuh padaku. Dan aku pun berhasil memainkan beberapa nada dengan baik selama 4 birama pada bagian B, tetapi kembali lagi aku gagal. Semua pemain mulai kesal denganku. Moer tidak berkata apaapa selain ‘mari ulang kembali’. Dan hal ini terjadi berulang terus hingga pukul 2 siang. Mereka sangat kesal padaku. Mereka bahkan telah menelepon seorang teman untuk menggantikanku malam nanti jika aku merusak penampilan. Aku pun semakin kesal pada mereka dan diriku sendiri. Mereka akhirnya tak lagi mau latihan dan pergi keluar untuk merokok. Saat pemain piano dan drum sudah keluar lebih dahulu, Moer datang dan mengajakku keluar, namun ia tidak menawarkan rokok karena tahu aku tidak merokok, hanya mengajakku untuk istirahat sejenak. Tetapi aku tetap menolak dan memutuskan untuk berlatih di dalam, berlatih lama sekali hingga pukul 8 malam, dan pada pukul 8 malam itu pulalah mereka datang kembali dan langsung mengajakku ke kafe yang terletak beberapa meter dari sini. Kami memasuki ruangan belakang panggung khusus penampil pada awal memasuki kafe tersebut, dan disitulah aku melihat mereka menyapa seseorang yang sedang mengelap bagian-bagian saksfonnya. Tanpa perlu dijelaskan aku sudah tahu apa perannya di sini, dan aku berusaha keras tidak memedulikannya. Akhirnya nama kami dipanggil satu persatu untuk maju menampilkan permainan kami. Kemudian Moer yang berperan sebagai pemain double-bass sekaligus pemimpin kumpulan memulai dengan beberapa kalimat basa-

basi yang sudah tak ada bedanya lagi di telingaku dengan suara derik pintu flatku. Dan kami pun mulai memainkan Cherokee. Setelah bermain sepanjang 60 birama, sampailah aku pada empat birama terakhir menuju soloku. Keringat mulai mengucur deras, padahal ruangan ini lengkap dengan pendingin ruangan yang mahal dan mewah. Beberapa frasa pentatonik yang disinkopasi kumainkan pada 8 birama pertama soloku, dan berlanjut hingga akhirnya kami memasuki bagian B. Para penonton memperhatikan lebih seksama, para pemain memandangku penuh harapan, dan keringatku mengucur semakin deras. Dan akhirnya 4 birama pertama kumainkan dengan sangat indah. Tangga nada mode Dorian yang kumainkan secara legato terdengar begitu bersih, dan kulanjutkan permainanku yang kian indah. Tanpa kusadari mataku yang dari tadi kututup mulai terbuka, dan mulai memadang para penonton sambil sedikit tersenyum. Lalu mataku berhenti pada jendela kafe ini. Terdapat dua ekor burung merpati yang menabrak-nabrakkan kepala mereka pada jendela itu. Entah mengapa aku memandang mereka penuh kebingungan dan aku pun terdiam selama satu birama penuh. Tiba-tiba sang pemain drum berteriak padaku dengan kesal untuk melanjutkan soloku. Dengan terkejut aku mencoba memulai lagi soloku. Not yang salah dan tidak enak didengar kumainkan pada saat itu. Aku cemas dan berusaha memperbaikinya, namun dari dulu aku tidak terbiasa melanjutkan permainan saat aku membuat kesalahan. Lalu, Di antara musik pengiring oleh piano, double-bass, dan drum serta desis bisikan-bisikan penonton yang nyinyir tiba-tiba sebuah simbal jatuh tepat di depan telapak kakiku yang terbalut sepatu moc-

casin. Suara simbal itu menghentikan semua musik dan membungkam semua bisikan-bisikan. Aku menoleh pada sang pemain drum yang melempar simbal itu. Wajahnya garang, nafasnya terdengar buas, dan matanya memandangku sangat tajam, setajam pandangan Simona padaku kemarin malam. “Moer! Suruh dia keluar!� teriak sang pemain drum pada Moer yang lalu menoleh padaku dan memberi tanda dengan kedua matanya agar aku keluar panggung. Aku pun keluar lalu melihat pemain saksofon tadi mengambil tempatku di panggung. Aku kesal dan menyesal. Saksofon yang kupegang kumasukkan kembali pada tasnya dengan kasar. Ah, Charlie Parker pun pernah dilempari simbal di dekat kakinya oleh Jo Jones, siapa tahu peristiwa yang menimpaku ini adalah sebuah permulaan untukku menjadi sepertinya. Namun rasa keyakinan itu kutepis serta merta, dan aku pun berjalan keluar kafe dan melangkahkan kakiku ke hening malam. Saat aku berjalan di pinggiran kafe menuju rumah, jam kota kembali berbunyi sebanyak dua belas kali, dan seperti biasa aku tidak peduli. Hanya saja ada sesuatu yang menarik pikiranku, yaitu suara asing yang ikut tampil selain bunyi jam kota. Suara itu terdengar seperti suara kepakan sayap dan terdengar sungguh ramai. Seekor burung merpati tibatiba melaju tepat di samping kanan wajahku saat aku sedang berjalan. Aku terkejut dan melihat ke arah ia terbang, seraya mengumpatnya karena aku menganggap dialah perusak soloku. Tak lama setelah itu seekor lagi burung merpati terbang dengan cepat di atas kepalaku. Dalam waktu yang singkat beberapa ekor burung merpati lagi terbang susul-menyusul ke arah yang sama, entah kemana mereka tengah malam seperti ini pikirku. MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 17


CERPEN

Saat itu seekor burung merpati lagi datang dengan cepat, namun kali ini menabrak tangan kananku yang sedang membawa tas saksofonku hingga ia terjatuh. Aku pun berteriak kesal padanya, pada seekor burung merpati yang tidak tahu apa-apa. Aku berniat mengangkat kembali tasku itu, tetapi seekor lagi terbang menabrak tas itu dan membuatnya bergerak menjauh saat aku ingin memegangnya. Lalu seekor lagi, dan seekor lagi, sehingga tas itu terus bergerak menjauh dariku setiap aku ingin memegangnya. Kekesalan memuncak padaku dan aku menoleh ke belakang dengan amarah yang liar. Tidak kusangka di belakangku terdapat puluhan, mungkin ratusan burung merpati yang sedang terbang mengarah pada tas saksofonku. Aku menyilangkan kedua lenganku di depan mataku saat mereka datang, dan saat aku mencoba melihat kembali ternyata mereka mengambil tas saksofonku. Aku tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi dan dengan cepat mengejar mereka. Larianku kalah jauh dengan mereka, namun aku masih dapat melihat mereka. Kejar-kejaran ini berlangsung sangat lama, dari pinggiran kafe tadi, hingga ke dekat sebuah restoran Turki, lalu ke toko buku, dan sebuah toko vinyl. Entah mengapa, kakiku tidak sedikit pun lemas saat mengejar burung – burung merpati itu, bahkan terasa lebih ringan, seakan sedang terbang rendah. Namun pada sebuah perempatan jalan raya yang pada waktu seperti sekarang tidak ada satu pun kendaraan, aku melihat seorang gadis remaja sedang berkeliaran seorang diri. Dia adalah anakku, Naima. “Naima! Mengapa Naima keluar pada tengah malam seperti ini?” “Ayah! Naima ingin mencari Ayah! Ayah terlambat lagi!” tangis 18 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

Naima padaku. “Ayah kemana saja? Aku sudah memasakkan makan malam, tetapi terpaksa kuberi lagi pada pengemis itu lantaran Ayah tak datangdatang juga…” “Naima… Burung – burung tadi…” ucapku berusaha menjelaskan. “Burung – burung merpati itu mencuri saksofon Ayah!” Naima mengernyitkan dahi terkejut. Tanpa menunggu lama aku pun dengan spontan menggenggam lengan kanannya dan mengajaknya bersama mengejar burung – burung itu. “Ayah kita mau kemana?” “Ayah juga tidak tahu, dan ingin tahu. Namun begitu Ayah ingin mencari tahu tujuan kita ini bersamamu Naima!” Seketika terlihat senyum yang diikuti tetesan air mata pada mata di wajah Naima saat mengikutiku mengejar burung – burung itu. Perlahan larian kami berdua semakin cepat. Hingga akhirnya pengejaran ini sampai pada sebuah pantai di ujung kota. Pantai ini bukan pantai mewah yang terurus dan juga bukan tempat rekreasi yang baik. Burung-burung tadi terus terbang sehingga kami tidak menyadari bahwa mereka menuju ke sebuah dermaga. Kami terus mengejar sehingga baru sadar bahwa pasti akan tenggelam jika terus mengejar mereka hingga ke ujung dermaga ini. Namun sudah terlambat karena kaki kananku dan kaki kiri Naima sudah mencapai ujung dermaga dan akhirnya kami pun sudah tidak lagi berada di atas dermaga, namun bukan tenggelam di air pantai melainkan terbang di udara mengikuti para burung. Terbang!

Kami merasa lebih ringan dan cepat, secepat burung-burung merpati yang kami kejar. Kulihat Naima tertawa terkesima, dengan air matanya semakin deras. Dan burung – burung itu semua terbang dan mendarat di sebuah pulau kecil yang terletak agak jauh dari pesisir pantai. Di pulau itulah mereka mejatuhkan tas saksofonku dan saat itu juga aku dan Naima mendarat untuk mengambil tas itu. Mereka mengelilingiku dan Naima serta tas saksofonku itu. Aku menyuruh Naima untuk berdiri menunggu sebentar sementara aku mengambil tas saksofonku. Saat aku menjulurkan tangan kananku pada tas itu untuk mengambilnya, betapa terkejutnya aku. Tanganku telah menjadi sebuah sayap yang berbulu kelabu. Dengan tak percaya aku menoleh pada tangan kiriku dan juga melihatnya menjadi sayap dengan bulu yang persis sama. Lalu aku berjalan ke dekat air dan meihat pantulan wajahku yang ada pada air. Wajahku berubah menjadi kelabu, dengan sepasang mata yang kecil dan paruh yang moncong. Lalu kau menoleh pada Naima. Ia pun sama denganku. Ia juga terkejut melihatku, kami berdua terkejut melihat diri kami masing-masing. Aku mendekati Naima dan memeluknya. Naima menyambut pelukku dengan ikhlas. Kehangatan pada saat itu membuatku melupakan segalanya pada malam-malam sebelumnya. Aku dan Naima kini telah berubah bersama. Kami menjelma menjadi mimpi. Menjelma menjadi ‘Bird’. Menjadi Charlie Parker. Kuala Lumpur, 10 Januari 2017

Muhamad Kusuma Gotansyah, seorang gitaris muda kelahiran Tangerang yang berambisi untuk membuka mata dunia dengan musiknya.


ESAI

Imaji yang Menari dalam Puisi Alya Salaisha CATATAN: AHMADUN YOSI HERFANDA

Puisi dimulai dari kegairahan Dan berakhir dengan kearifan (Robert Frost)

M

embaca sajak-sajak Alya Salaisha dalam buku kumpulan puisi Taman Terakhir saya menemukan imaji yang menari-nari dalam sajak. Imaji itu bergerak dengan gemulai, di balik sususan kata yang indah, membangun gambar-gambar dinamis yang samar, dan menghadirkan teka-teki makna yang menantang pembaca untuk menangkapnya. Tidak gampang menjawab teka-teki makna yang tersembunyi di balik tarian imaji itu, ketika deretan imaji membentuk gambar-gambar yang surealistik. Coba kita simak salah satu puisi Alya sbb. ADA YANG KUPERAM DI SINI Ada yang kuperam di sini Di rumah kabut bagimu berlabuh Juga di rumput hijau yang mulai menghitam Sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar Waktu berlalu tapi selalu kunamai dengan nama bunga : mawar, melati, kenanga, kamboja si bunga mati Hingga taman terindah kini singgah di tubuhku Kau bahkan memakai gaun tembus pandang Berdebu-debu menempal di kulit tubuhku Mengutiku, menyelamiku, mengendap di taman tubuhku Tanpa kutahu selain aroma tubuh Yang kerap menghampiri ujung-ujung jemariku “aku akan bersamamu,” katamu merdu dan aku percaya Sebab ada yang kuperam di sini Di rumah kabut bagimu berlabuh Juga di rumput hijau yang mulai menghitam Sebab kemarin mentari terlalu terik bersinar Pangkalpinang, 14 Maret 2011

Puisi, secara sederhana dapat dimengerti sebagai susunan kata yang indah dan bermakna. Ya, indah dan bermakna. Dan, puisi yang indah dan bermakna akan selalu dulce et utile, menghibur dan berguna — sebuah

prinsip klasik dari Horace yang tetap dirujuk oleh banyak penyair (penulis karya kreatif) hingga sekarang. Yang indah selalu menghibur atau menyenangkan, karena dapat mempesona rasa keindahan pembaca. Yang bermakna selalu berguna, karena dari sana pembaca akan menangkap pesan yang mencerahkan. Untuk mencapai kegunaan, atau kebermanfaatan, seperti tersamar pada sajak-sajak Alya, seorang penyair tentu saja tidak harus menyampaikan pesan secara gamblang, atau secara eksplisit, seperti pesan dalam esai, dan apalagi khotbah Jumat. Pesan sering juga disampaikan secara tersamar, seperti pesan pada sajak-sajak Alya, untuk membuat pembaca makin penasaran. Seperti kata Sapardi, puisi yang bagus adalah yang berhasil menyembunyikan pesan di balik kaca kristal puitika atau estetika puisi. Tiap benda atau sesuatu (something) yang berada di balik kaca kristal akan tampak lebih indah dan tersamar, tapi siapapun tahu ada sesuatu yang penting dan berharga di balik kaca kristal itu. Kaca kristal puitika itu, secara konvensional berupa pemanfaatan metode puisi secara maksimal dan kreatif, meliputi tipografi, rima, ritme, citraan (imagery), dan diksi. Dalam mazhab puisi imajis, baik imaji simbolik maupun konotatif, kemahiran membangun citraan menjadi sangat penting, baik citraan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, maupun citraan peraba. Keberhasilan sebuah puisi bergantung pada kemampuan sang penyair membangun citraan yang untuk, jernih, dan indah dalam sajak-sajaknya. Dan, disinilah upaya-upaya penemuan simbol, konotasi, atau metafor baru sangat diperlukan, agar puisi dapat menghadirkan cita-rasa baru yang unik, segar dan menarik. Pemanfaatan majas atau gaya bahasa – semisal personifikasi dan paralelisme — juga menjadi penting agar citraan dalam puisi menjadi hidup dan indah. Jika kita nikmati dan simak secara seksama, terlihat ada upaya-upaya puitik seperti itu dalam sajak-sajak Alya. Dan, upaya-upaya itu menghasilkan sajak-sajak yang puitis, apik, indah, menyenangkan, menghibur, enak dinikmati, dengan tetap menyembunyikan pesan-pesannya agar pembaca tertantang untuk menafsirkannya. Untuk dapat dikatakan berguna, atau mencerahkan, sajak, puisi, memang tiMAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 19


ESAI

dak selalu harus menyampaikan pesan secara telanjang. Jika keindahannya saja sudah menyenangkan, maka sudah dapat dianggap bahwa puisi tersebut mencerahkan; karena perasaan pembaca atau kebutuhan pembaca akan keindahan sudah terpenuhi. Coba kita simak lagi salah satu sajak Alya sbb. CELOTEH MATAHARI MENJELANG PAGI Di pagi buta bulan oktober Matahari kecil itu Berceloteh tentang embun : mengecup ubun-ubun Tahukah kau, matahari itu Telah lama kugali bersama air mata Hingga sungai-sungai hidup di pipiku : aku merindukanmu Maka tak bosan aku menimangmu Dengan nyanyian paling merdu Sampai habis segala syair Segala yang liris Dan jalan mengantarku pulang 2011

Sajak romantik yang berbicara tentang kerinduan, tentang saat-saat sang penyair merindukan seseorang, yang mengisyaratkan kecintaan dan kesetiaan untuk pulang pada yang dirindukannya, mengingatkan saya pada sajak “Dalam Doaku� karya Sapardi Djoko Damono. Coba kita simak sbb. DALAM DOAKU Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit, Yang semalaman tak memejamkan mata, Yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, Yang melengkung heing karena akan menerima sara-suara Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, Dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara, Yang hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya mengajukan Pertanyaan muskil kepada angin yang menedasu entah dari mana Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja, Yang mengibas-gibaskan bulunya dalam gerimis, Yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu bunga jambu, Yang tiba-tiba gelisah dan terbang Lalu hinggap di dahan mangga itu 20 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

Magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun Sangat pelahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan Kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu, Rambut, dahi dan bulu-bulu mataku Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, Yang dengan sabat bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu Jakarta, 1990

Sajak-sajak Alya dan sajak-sajak Sapardi, juga banyak penyair Indonesia yang lain, banyak memanfaatkan metafor ataupun simbol alam dalam menuliskan kesan, suasana, perasaan, dan pikiran, dalam puisi, sehingga makin terasa indah. Memang, puisi juga dapat dipahami sebagai ekspresi pikiran dan perasaan dalam sususan kata yang indah dan bermakna, yang menghibur dan mencerahkan. Dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan itu, sejak zaman sastra klasik hingga sekarang, banyak penyair yang memanfaatkan benda-benda dan fenomena alam sebagai “media� untuk menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Seperti ditemukan Rene Wellek, sebagian besar penyair Barat pun banyak memanfaatkan simbol alam dalam menulis puisi, selain simbolsimbol yang sangat personal, dan simbol-simbol yang bersifat umum yang gampang dicerna maknanya oleh pembaca. Penyair berpengalaman akan mengolah, memadukan, dan memainkan ketiga jenis simbol tersebut secara kreatif untuk menghasilkan sajak-sajak yang indah dan mencerahkan. Di sekitar penyair, di manapun dia berada, akan selalu tersedia sangat banyak benda dan fenomena alam yang menyediakan diri untuk menjadi simbol dan metafor bagi sajak-sajak yang hendak dia tulis. Banyaknya benda dan fenomena alam itu dapat dihayati sebagai tanda kemurahan sekaligus keagungan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Bagi para penyair, benda-benda dan fenomena alam itu adalah berkah yang takkan pernah habis untuk dimanfaatkan bagi sajak-sajak, ribuan sajak, jutaan sajak, yang hendak mereka tulis. Keberkahan yang sangat patut untuk selalu kita syukuri. *** Pamulang, 25 Maret 2017


BUKU

Cara Penyair Bersimpati Pada Korban Gempa

B

uku setebal 246 halaman itu sebagai tanda simpati para seniman dan masyarakat Indonesia, termasuk Malaysia, terhadap korban gempa di Aceh pada 7 Desember 2016. Buku tersebut disusun Willy Ana dan dieditori oleh Mustafa Ismail. Para penyair, seniman dan masyarakat Nusantara tak hanya menulis puisi, melainkan juga ikut serta gotong royong untuk membiayai penerbitan buku dengan cara membeli buku tersebut sesuai kemampuan mereka. Bahkan, di luar dugaan, jumlah puisi yang masuk membludak menjadi melebihi 150. Penyair Nusantara yang menulis puisi untuk Aceh, antara lain, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Din Saja, Eka Budianta, Fikar W Eda, Fakhrun-

nas MA Jabbar, Handry TM, Jumari HS, J Kamal Farza, Gol A Gong, Nelson Dino (Malaysia), Rida K. Liamsi, Syarifuddin Arifin, Sulaiman Juned, Teja Alhabd, Teuku Dadek, Siwi Wijayanti, Zul faisal Putera, dan lain-lain.Buku yang merupakan gagasan yang muncul di WAG Ruang Sastra itu diluncurkan di Boulevard Coffee & Resto, Apartemen The Boulevard, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 20 Januari 2017. Acara dihadiri sastrawan dan tokoh masyarakat Aceh, termasuk mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, Staf Khusus Presiden Ifdal Kasim, Kepala Bappeda Kabupaten Pidie Jaya, dan sejumlah tokoh publik dan tokoh muda Aceh yang berada di Jakarta. MI

MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017 | 21


LITERASI

Lukisan Perempuan Indri Yuswandari

Mahmud Sang Pembangkang, Buku Baru Rida K Liamsi

I

S

percaya diri. Saya merasa terlalu cepat memiliki buku saat itu sebab baru tahun 2015 saya kembali benar-benar aktif berpuisi setelah lama rehat dari dunia sastra,” tutur Indri saat dihubungi Litera. Meski Lukisan Perempuan adalah antologi tunggal pertama, tetapi Indri sebenarnya telah cukup banyak melahirkan antologi puisi bersama seperti Rahasia Perempuan, Maaf Mpu, Ketika Hati Berbicara, Mata Matahari, Bunga Putra Bangsa, Merah Putih, dan masih beberapa lagi. Selain menulis puisi, Indri juga menulis geguritan dan sering membacakannya di beberapa kota mengikuti event-event sastra. Banyak kota telah ia jelajahi seperti Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Ungaran, dan banyak kota di Jawa Tengah lainnya serta kota lain di luar Jawa Tengah. Indri juga terkadang diundang sebagai juri puisi di beberapa lomba. MAHRUS PRIHANY

Ia termasuk sastrawan dan budayawan paling produktif. Belum lama, November 2016, Rida baru saja meluncurkan novel berjudul Megat di Perpustakaan Universitas Indonesia. Novel itu berkisah tentang kisah pembunuhan Sultan Mahmud oleh Megat Seri Ramah. Novel itu dibahas oleh sastrawan Putu Fajar Arcana dan kritikus sastra dari UI Maman S Mahayana. Diskusi dipandu penyair Hasan Aspahani. “Pembaca seperti dihadapkan pada sebuah puzzle dengan lempengan-lempengan gambarnya yang masih berserak,” tutur Maman. Megat adalah novel keduanya. Novel pertamanya berjudul Bulang Cahaya. Baik Megat maupun Bulang Cahaya sama-sama bertema sejarah Melayu. Sebelumnya, September 2016, Rida menyusun dan menerbitkan buku antologi puisi penyair Indonesia dengan tebal 2016 halaman yang menandai perayaan Hari Puisi Indonesia (HPI) 2016 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10-11 Oktober lalu. MI

ndri Yuswandari meluncurkan antologi puisinya berjudul Lukisan Perempuan. Antologi puisi ini memuat 75 puisi penyair perempuan ini dalam rentang waktu dua tahun yaitu 2014-2015. Menurut sang penyair yang aktif melakukan road show pembacaan puisi di sejumlah kota di Jawa Tengah ini, pada awalnya ia ingin meluncurkan buku ini pada april tahun lalu, 2016. Ia menundanya karena merasa kurang percaya diri. “Ini adalah antologi puisi tunggal saya yang pertama. Saya menunda peluncuran buku ini hingga satu tahun karena saya belum merasa

22 | MAJALAH SASTRA IMAJIA | EDISI I | APRIL 2017

astrawan Rida K. Liamsi kembali menghadirkan buku terbaru. Judulnya Mahmud Sang Pembangkang. “Ini buku semi sejarah,” tulis Rida di WAG Ruang Sastra, Kamis, 14 April 2017, ketika memposting cover bukunya yang berwarna dasar emas itu. “Tunggu saja,” ia menambahkan. Rida lahir di Dabo Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Sebelum menjadi jurnalis hingga pengusaha media, ia pernah pula bekerja sebagai guru. Ia menulis puisi dan prosa. Novel Megat adalah bukunya ketujuh. Selain dua novel, ia telah menerbitkan empat kumpulan puisi dan satu buku bidang bisnis.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.