MUSTAFA ISMAIL | PUISI
TARIAN CERMIN PERTAMA KALI DITERBITKAN OLEH ALIANSI SASTRAWAN ACEH PADA 2007
EDISI DIGITAL INI DITERBITKAN IMAJI BOOK & INFOSASTRA.COM
Hak cipta pada penulis. Boleh digandakan dan disebarluaskan untuk kepentingan apresiasi sastra dan ilmu pengetahuan. Untuk kepentingan komersial harus mendapatkan izin dari penulis.
| ISI BUKU | Alue Naga | Tarian Cermin | Sebelum Kau, Sebelum Aku | Satire Cinta | Sigli, Suatu Ketika | Mungkin | Irama Kota | Orkes Pagi Hari | Ketika Kau Memakan Daging-dagingku | Memo Pagi | Melepas Mati | Prosa Malam | Pada Sebuah Cafe | Sketsa Kemarau (3) | Menerima Surat (1) | Menerima Surat (2) | Membaca Wajah Ibu | Sajak Pagi Hari | Kosong | Prosa Kasmaran | Adakah Kau Seperti Ibuku | Ledakan Kota-Kota | Menelan Kota Besar | Biografi Perjalanan | Cerita di Jalan | Mengirim Musim | Berlari-lari dalam Hujan | Kenangan Hujan | Tentang Hujan | Memo Sigli (1) | Memo Sigli (2) | Memo Musim (1) | Memo Musim (2) | Memo Musim (3) | Melukis Puisi | Hujan Sudut Kota | Kita Saling Memanggil | Cerita untuk Ibu | Romantisme Jarak (1) | Romantisme Jarak (2) | Romantisme Jarak (3) | Banda Aceh: Obrolan | Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (1) | Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (2) | Kepala | Ilustrasi Kecil | Menengok Tahun | Lagu Sedih dari Seberang | Luka yang Dititipkan | Cerita Sebuah Sungai | Dongeng Sebuah Musim | Dialog (1) | Dialog (2) | Dialog (3) | Ironi | Waktu | Berumah di Bawah Langit | Sajak Kehilangan | Memahami Air Mata | Memo | Cerita Jalan Raya | Kilas Balik Sebuah Kurun | Cerita dari Surat Kabar (1) | Cerita dari Surat Kabar (2) | Catatan Cikini (1) | Catatan Cikini (2) | Titik Nol | Belajar dari Nasib | Cerita Percintaan | Dialog 1996 | Sejarah dari Ruang Kusut | Palu di Ruang Kusut | Berteriak di Jalanan | Lelaki di Monas | Langit Hari Ini | Sentimentalia dari Gedung Parlemen | Koran Pagi Tanpa Kopi | Seorang Lelaki yang Menangis | Lhokseumawe | Suara-Suara | Memoria Hujan | Memoria Malam | Memoria Pesan | Memolita Pantai | Memoikra | Personifikasi Waktu | Berita Kepulangan | Catatan Pergantian Tahun | Anakku | Menangis | Menunggu Surat | Ode Jalanan | Sejarah Dua Kutup | Perjalanan Pulang | Masa Depan dalam Tidur | Peta Basah Kuyup | Ruang Vakum | Kado Agustus | Jembatan Besi | Pesta
| PROLOG |
Tentang Tarian Cermin Mustafa Ismail | Puisi-puisi dalam buku“Tarian Cermin� ini sebagian terbesar memuat puisi-puisi pada awal kepenyairan saya. Puisi-puisi itu saya biarkan apaadanya, tidak saya ubah atau revisi. Ini saya maksudkan untuk menunjukkan orisinalitasnya sebagai karya yang lahir pada waktu tertentu. Sebab, saya percaya, setiap kurun yang mencatat kelahiran puisi-puisi saya adalah sebuah masa yang mesti diberi tanda. Tak masalah, ada karya yang kurang bagus. Sebab, seperti saya ungkapkan di atas, niat saya membentangkan sejarah kepenyairan saya. Menurut hemat saya, ini penting. Dunia kesusastraan akan kehilangan konteks sejarahnya ketika sastrawan terlahir seolah-olah langsung mengusung karyakarya bagus. Ini karena sebagian sastrawan lebih cenderung menyertakan karya-karya bagus untuk bukunya. Puisi-puisi dalam kumpulan ini, sebagian pernah dimuat di berbagai media cetak di Indonesi. Terima kasih kepada koran-koran yang pernah memuatnya, tapi karena saya tidak cukup telaten mengumpulkan kliping, maka saya tidak bisa mengingat kapan persisnya puisi-puisi itu dimuat. Sebelumnya, puisi-puisi ini diterbitkan pertama kali oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA), sebuah lembaga kebudayaan di Aceh yang digerakkan oleh penyair Doel CP Allisah. Terima kasih kepada ASA, Doel, para sahabat dan semua pihak yang telah turut mempengaruhi, mendorong, dan melecutkan kreativitas saya dalam berkarya. Depok, 7 Desember 2012
ALUE NAGA Di jembatan Lamnyong kulihat matahari sudah condong ke barat kau masih saja berpura-pura. Bermain dengan mimpi bagus yang ditiupkan negeri jauh serangan demi serangan tak mungkin dielakkan kita mesti bertahan pada rumah yang dibangun dengan cinta dan pengorbanan kuatkan tanganmu pada akar-akar pohon bakau menghadapi setiap kemungkinan hadapi ledakan demi ledakan dengan doa dan perjalanan pada satu terminal akan kita temui sejarah yang tenggelam: masa silam yang manis. Tanpa luka dan keresahan Banda Aceh, 28 september 1993
TARIAN CERMIN mari menatap dalam gigil malam pertengkaran terus berlangsung kita terperosok dalam kekalahan telanjang dan saling menatap saling mentertawakan tubuh kita belepotan meniupkan wangi embun berputar hebat menembus kabut kita sunyi alam lingkaran musim seperti bocah-bocah malu-malu menatap wajah di depan cermin kita tunda berangkat sementara masuk kembali, menari tanpa berhenti kita tunda bunuh diri Banda Aceh, 6 Mei 1996
SEBELUM KAU, SEBELUM AKU sebelum kau, aku telah siap dulu menggali kubur untukmu bagi air mata yang kita sengketakan sebelum rindu, aku telah siap-siap pamit untuk perjalanan lain yang sangat panjang sebelum kau sebelum rindu aku telah siapkan sebuah pesan tentang keberangkatan itu Banda Aceh, 6 Mei 1996
SATIRE CINTA penjara jadi sangat akrab saat terpahami membentuk butiran embun dan tarian rumput kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang dan kebun terserang hama kita bernyanyi di hotel-hotel anak-anak menangis di kakinya jalanan menjelma pentas besar pertunjukan kita memilin urat bumi dan cerita esok pagi untuk sepiring makanan yang bakal kita kafankan malam nanti Banda Aceh, 6 Mei 1996
SIGLI, SUATU KETIKA apakah perlu kutulis semuanya keterharuan membaca bibir langit menjeritkan sejumlah luka air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk menina-bobokanmu dalam jaman ini apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit hari-hari tetap saja kegelapan hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain kita belajar menulis dan membaca untuk memahami makna dari segala keperihan jam kerja dan kesibukan kita tulis dengan pesona air mata, dengan kesabaran yang kita eja ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan tiap hari harus kita tempuh sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap berakhir dengan kekosongan maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini. 18 Agustus 1996.
MUNGKIN mungkin kita cuma butuh satu atau dua kata memastikan perjalanan: dilanjutkan atau ditunda setelah pesta-pesta itu begitu memabukkanmu setelah cerita-cerita itu begitu memusingkanku mungkin kita cuma butuh satu atau dua detik saja menegaskan hidup kita: kalah atau mengalah setelah langit menuliskan cerita yang sembraut setelah laut menenggelamkan tiang-tiang dermaga mungkin kita cuma butuh secangkir air mata menandai gairah yang tertunda setelah bumi terbelah, setelah kota pecah setelah kita tidak merasa pernah melukis apa-apa. Agustus 1996.
IRAMA KOTA Aku tak pernah mampu bagaimana harus menterjemahkan irama kotamu orang-orang berlari dan jalan sendiri tak sempat saling berbagi cerita aku pun terperosok dalam pikiran sendiri kepada siapa resah ini harus kubagi Hanya sedikit yang bisa kuuraikan diantara sejumlah cerita yang telah kubaca bahwa kehadiran dan kepergian adalah bagian dari sejumlah rahasia kita yang sempat tertunda. Lhokseumawe - Trg, Agustus 1996.
ORKES PAGI HARI - episode sebuah rumah Menulis perjalanan itu, bagai kembali dari sebuah pengasingan aku menemukan kembali rumah yang hilang sekian abad juga terminal yang ditinggal pergi tapi siapa mengerti bahwa kekeringan bakal berlanjut bumi tetap tak menumbuhkan pohon-pohon dan keningku sunyi karenanya. Siapa sebenarnya yang tidak berani mencintai atau menulis pagi dengan warna berbeda kenyataanlah yang kerap membuat jalanan terbelah memunculkan kota-kota gemerlap dan kemudian hilang dalam ketakutan orang-orang sakit maka aku mengenalmu: kota-kota itu runtuh membentuk embun kecil di atas daun Kini kubiarkan pohon-pohon bertumbuhan dan abadi dalam diriku lalu aku mencatat sejarah yang lewat; disiram matahari dan malam membentuk kebahagian-kebahagian kecil dengan begitulah kau tahu bahwa aku berabad-abad melukiskanmu dengan darah di jemariku, wahai rumah yang selalu menyelimuti tidur jagaku Mataku tetap akan meluncurkan matahari meski pohon-pohon meranting memanggil sebuah musim gugur saat semua harus dilupakan dan kebahagianku bertambah satu: bahagia telah mengirim gairah musim padamu. Jakarta, 16 Juli 1997
KETIKA KAU MEMAKAN DAGING-DAGINGKU Dalam senyap gelombang, kau berlari dari jauh mengamit awan sendiri, tanpa sepotong mataharipun di lenganmu kau rindukan rumah yang jauh tetapi kota ini membuatmu haus dan ingin membunuh lalu kau pun memanahku: Aku tersungkur gairah menghitung keping bintang di keningmu Berhari-hari, kau memakan daging-dagingku, berhari-hari pula aku menghitung diriku hilang perlahanlahan siapa pun tak mampu mencegahmu begitu pun aku terus merasa nikmati disantap dirimu sampai aku tiba-tiba hilang sama sekali masuk dalam dirimu: tapi adakah kau catat sejarah itu, seperti kau merindukan matahari yang gugur di tanganmu, dan kau menemukan kembali matahari itu dalam dagingku? Jakarta, 18 Juli 1997.
MEMO PAGI Wid, buatkan aku nasi goreng, dua telur dadar, tambah sedikit kopi tanpa gula aku ingin bercermin antara enaknya masakanmu dan kopi pahit itu seperti halnya aku selalu menikmati hari-hari tanpa roti, tanpa bak mandi di kamarku dan aku hanya menikmati sajak-sajakmu, ya buat roti juga untuk bak mandi tapi malam ini aku belum dapat mengirim satu pesan buatmu masih ada kota yang gelap; membuatku selalu ketakutan untuk memulai apalagi memintamu menyediakan sepotong selimut, atau sebaris sajak untuk makan malamku maka itu, esok pagi, aku belum bisa mintamu membikinkan seporsi nasi goreng buatku. Jakarta, Juli 1997
MELEPAS MATI setelah semuanya tinggal puing dan seolah tak ada lagi yang patut dihayati lupakanlah, sebagaimana mereka dengan girang melupakan dan mengubur diri kita biar saja sejarah membicarakan dirinya sendiri engkau tidak perlu mengenang sebagaimana mereka tidak mau sibuk mengurus kubur-kubur kita tak perlu ada upacara-upacara itu tak perlu ada tangis biarkanlah arloji kita meleleh dan tak perlu menyesali sebagaimana mereka tak menyesal melepaskan keberangkatan kita pergi tak kembali. Bandung, 13 Desember 1996.
PROSA MALAM bila kasmaran, keratlah nadimu temukanlah aku disitu membawamu kehangatan membara serta udara bukit yang hijau tapi jangan sekali-kali memanggilku karena malam telah larut tidurlah Jakarta, Juli 1997
PADA SEBUAH CAFE dalam diam, aku terjemahkan sajak di keningmu berbaris bagai lampu-lampu di kotamu, dimana aku menemukan sebuah alamat yang terkoyak satu pulau yang seharusnya aku tenggelamkan setelah sejumlah cinta gugur disitu kau paksa juga aku meminum kehangatan di bibirmu tanpa sempat berkata “tidak� padahal aku ingin sekali pergi dan tak ingin meninggalkan tarian ombak di cangkir minum kita karena pada akhirnya segalanya harus dituntaskan supaya tidak ada air mata yang tergenang “campurlah alamatmu dalam minum kita seperti kau menjahit malam-malam yang sakit!� begitu katamu. Aku tak pernah bisa menolak hingga kemudian menyadari pagi telah sunyi dan kita sama-sama kembali Aku harus mengoyak satu alamat lagi sambil bergegas pergi Sigli-Aceh, Agustus 1996.
SKETSA KEMARAU (3) Bila kau memasukiku, pahamilah bukit-bukit yang meninggi supaya aku berkesempatan menjelaskan bagaimana sulitnya mendaki supaya kau tahu bagaimana aku membangun hidup selalu menghayati ketinggian bukit-bukit itu karena kenyataan ini adalah kemarau maka pahamilah ketinggian bukit-bukit dan angan kanak-kanakku yang menjulang! Jakarta, Juli 1997.
MENERIMA SURAT (1) - sajak buat ayah Ini adalah langit, membentang dalam gigil siapa tidak gemetar saat panas tidak bisa diatasi juga dengan kangen yang menumpuk di ubun-ubun tahun-tahun kita rajut dengan air mata tanpa sempat menelan makna enaknya kegembiraan tapi dengan begitulah kita tetap berdiri pada sisi yang kita yakini tanpa harus terperosok dalam sejumlah lubang yang memfatalkan hidup dan kenyatan kita berdiri pada rumah kita sendiri tanpa sedikitpun menyentuh halaman orang lain apalagi merebutnya. Jakarta, 5 Januari 1998
MENERIMA SURAT (2) - kepada Dianing kita menjala langit dengan keyakinan dengan tanda tanya yang belum sempat kita pecahkan namun segalanya kita buat jadi roti dan kopi pagi hingga kita merasa nikmat menyantapnya tanpa harus tersentak dengan kenyataan-kenyataan pahit segalanya telah kita siapkan: Air mata, luka, bahkan kematian karena dengan begitulah kita terbebas dari prasangka dan ketakutan-ketakutan sebab pada gilirannya memang kita harus tunduk pada sejumlah suratan setelah pintu-pintu telah tertutup sekarang kita nikmati saja waktu tanpa susu, tanpa gula sebab hidup memang harus dimulai dari sebuah titik nol dengan begitulah kita menyadari benar segala yang bernama perjuangan, apa yang disebut pengorbanan kita santap saja hari ini seperti melumat puisi tanpa perlu memikirkan pulau atau rumah-rumah yang telah kita rencanakan. Jakarta, 6 Januari 1998
MEMBACA WAJAH IBU disitulah bintang itu, terselip dalam kelopak mata tetap cerah, tetap indah dan aku pun larut dalam sinarnya disitulah laut, mengalirkan hawa dingin bagi setiap perjalanan tetap teduh, tetap biru membuatku selalu kangen dan terpana disitulah sumur, yang tak pernah lelah memberi aku adalah gayung, yang masih tetap menimbanya Jakarta, 6 Januari 1998
SAJAK PAGI HARI kalau tiba-tiba nanti kita harus menangis, aku ingin kau memperdengarkan sebuah tangis yang manis sehingga rumah kita bukanlah kuburan atau malam yang gelap tetapi kenyataan yang menggairahkan seandainya nanti kita harus bertengkar, aku ingin kita menciptakan pertengkaran yang lembut sehingga rumah kita bukan kota yang berisik atau bau penggusuran tetapi hidup yang menentramkan seandainya nanti kita harus saling diam karena banyaknya hal yang tak bisa dicapai aku ingin kita selalu ingat Tuhan. Jakarta, 15 Agustus 1997.
KOSONG kadang kita harus selalu ingat, jalan tidak seperti diperkirakan maka bersiaplah untuk bersedih, untuk menerima nasib yang dingin dan segala keinginan membusuk dalam coretan di dinding begitulah yang kucoba pahami kini: Sebuah kota tiba-tiba saja meledak dalam genggaman aku ingin bersedih, sebagaimana juga engkau mungkin, senantiasa mengharapkan bukit-bukit yang meninggi, bulan yang perak dan diatasnya kita menari tarianku kini kosong, tidak ada pentas maupun ruang dimana harus menumpahkan segala gelinjang keinginan buat melukiskan sebuah rumah yang manis sebagaimana pernah kita cita-citakan: Ada sebuah kolam dan sejumlah anak-anak bermain dengan girangnya di tepinya kita mencatat waktu sambil tersenyum tapi selalu saja aku terlempar pada jurang kemarau hingga membuatku ngeri mengajakmu pergi: Sudah siapkah kau pahami musim yang datang tiba-tiba seperti sekawanan burung dengan ganas mematuk hari-hari kita? Jakarta, 15 Agustus 1997
PROSA KASMARAN aku telah siap menjadi arloji bagimu yang siap mengingatkan jam kerja dan waktu pulang kerumah, katamu. Kau pun menyandarkan hidupmu satu-satunya kepadaku dan aku membalutnya dengan kangen dan keterharuan yang hebat. Malam, 19 Juli, menuliskan semua itu pada dingin daun-daun dan riuh jalan yang kita tempuh untuk membicarakan sebuah sejarah yang panjang: Saat semua suara seperti senyap menampung bisikan-bisikan halus yang keluar dari pembicaraan kita aku telah siap menjadi penyejuk di rumah kita, seperti angin dan embun yang selalu melahirkan pagi, begitu katamu. Jakarta, 15 Agustus 1997.
ADAKAH KAU SEPERTI IBUKU tiba-tiba saja kau menjadi ibu yang setiap saat menjagaku tidur, memperjelas mimpi-mimpiku dan bunga di kelopak bibirmu mengembang bagai senja yang mengembangkan bulan terindah bagi malam tapi adakah besok tetap menjadi hari-hari yang lembut sebagaimana ibu senantiasa menjagaku, mengkuatirkanku bila terlambat pulang, dan menina bobokan bila aku lelah adakah sebuah rumah di dalam hatimu yang akan membuatku selalu tentram, sebagaimana ibu menyambutku dengan hangat setiap bangun pagi atau pulang dari rantau adakah sebuah laut di kelopak matamu yang bening selalu terharu terhadap kesulitan dan kesusahanku adakah kau seperti ibuku, yang selalu saja gelisah terhadap hari-hariku karena cuaca begitu saja berubah, dan waktu bagai gergaji tiap saat siap memotong tiang-tiang rumah kita. Batang, 25 Juli 1997.
LEDAKAN KOTA-KOTA kota tiba-tiba meledak dalam arlojimu mengirim kebingungan sebagai penyair, aku pun mengutip sajak-sajakmu tanpa sempat menyesalkan banyak hal atau melukis kota-kota dengan semangat air mata syukur, aku tak sempat mencatat cerita demi cerita dari republik terluka hingga tak ada yang perlu ditunda tidak ada yang harus terluka kota yang meledak adalah kehangatan sejarah melingkar pada musim-musim sunyi aku menjadi sangat menikmati setiap detak jantung air mata juga seluruh suara-suara yang meluncur dari kedalaman persentuhan kita tuhan membalut semua cerita itu dengan kembang-kembang di bibirmu yang senantiasa kubaca dalam kebugaran cinta. Jakarta, Nopember 1996
MENELAN KOTA BESAR benar, aku harus bertaruh denganmu dengan iklan dan model untuk makan malam kita kau membiarkan aku tersesat dalam hujan tanpa perlu bertanya apa sebenarnya kubutuhkan jaket, payung atau tablet anti flu kau sudah cukup paham; maka kau suguhkan aku donat ayam gorng ketucky dan gedung twenty one tanpa pertanyaan dan basa-basi aku pun menelan semuanya --- termasuk ketololan sendiri Jakarta, 16 Nopember 1996
BIOGRAFI PERJALANAN aku berbicara denganmu lewat telepon yang diputuskan kangen menjadi sangat sunyi; kita menjelma kota-kota tanpa bahasa “aku merindukanmu. Datanglah dengan kehangatan malam-malam yang pernah kita sketsakan!� pagi-pagi mengaduh mengikuti irama ruang tamu yang bergerak keluar aku menunggumu dari pintu ke pintu sambil terus saja membuka koran-koran yang menyuguhkan masakan kesukaanku sebelum jalan raya memperkenalkan pesta dan sejarah kota-kota yang akhirnya memasuki lemari dan rak pakaianmu ketika cinta kutulis kembali, aku telah membeku dalam asbak rokok aku tambah sulit mengenalimu --- apalagi menandai bunga yang kutanam di tanah lembut sudut bibirmu malam-malam membentuk kapal-kapal di tengah laut bergerak dengan nafas satu-satu tak pernah sampai hingga dermaga runtuh oleh keterpencilan kita “aku inginkan perjalanan sesungguhnya!� Jakarta, 19 Nopember 1996
CERITA DI JALAN di jalan sempat juga kuceritakan kau: sejarah yang terpotong di tepi musim kita telah selesaikan satu episode kekonyolan dengan tangis terbata-bata karena langit membingkaikan hujan dan memindahkan ke ladang orang lain seperti bus bergerak meninggalkan tujuan lalu kita dipaksa menerima musim yang sakit meletakkan kembali batu pertama dengan kebingungan terhebat bumi yang kita pijak menjadi kegelapan dimana harus kembali memulai sejarah setelah catatan-catatan purba habis dimusnahkan berikut cinta dan sebuah penanda perjalanan! Bandung, 13 Desember 1996
MENGIRIM MUSIM langit ini kukirim untukmu dalam semangat dingin bacalah surat-surat terlekat di garis pantai serta pada kening malam yang pekat isyarat rumah sakit yang tak bosannya mengunjungi sejarah kita ketika langit itu kukerat sepotong aku melihatmu berlari dengan tisu di tangan ternyata kau mengerti kita telah banyak kehilangan termasuk wajah dan rumah sendiri hingga akhirnya kita bermukim di negeri aneh tak mengenal siapa-siapa pun tak mengenal diri sendiri lalu kita dipaksa belajar hidup kembali Bogor-Bandung, Desember 1996
BERLARI-LARI DALAM HUJAN aku berlari-lari dalam hujan girang dalam masa kanak-kanak menembus arca dan jalan asia afrika menemukan gadis-gadis yang kau ceritakan atau cerita “Bandung Lautan Api� di jalan yang menanjak juga di kemacetan pukul tiga sore saat aku ingin kembali ke Jakarta menemukan engkau disana meski harus menyibak bufet, KFC, tower dan jalan raya disitulah aku harus bersabar membunuh segala kasmaran saat hujan reda, dan aku berada dalam bus menuju Jakarta jalan tol membisikka pencarian: “Dimana-mana yang kau temui adalah kegelapan belajarlah untuk mengerti sambil mendirikan museum dan rumah sakit!� tapi aku tetap tak mengerti dimana arca-arca itu, gadis-gadis santun pulang sekolah dimana cerita yang pernah kau titip sebelum aku datang padamu aku tak butuh bufet, KFC, tower, dan coca-cola disitu aku cuma mimpi tentang kehangatan tubuhmu di tengah udara pagi yang sejuk Bandung-Jakarta, Desember 1996.
KENANGAN HUJAN dalam hujan, aku mencari tepi menyiapkan beberapa lembar kertas, pena, meneruskan surat-surat yang belum selesai kutuliskan juga mengerjakan PR sekolah, tugas kantor, dan menulis jadwal berkunjung ke rumahmu begitulah hari-hariku yang belum kau pahami mengisi kotak arloji dengan kesibukan sambil menjinakkan kebosanan juga mencari kartu pos, menulis namamu berkali-kali dan membacanya berkali-kali pula hujan menjadi ilustrasi sunyi yang harus kuterjemahkan dalam kemeja yang basah: bahwa demikianlah suatu saat aku harus berjalan mendapatkanmu tanpa payung, tanpa angan-angan manis yang diam-diam membentuk keinginan dan cita-citamu terhadap hari-hari kita Lhokseumawe, 11 Desember 1995
TENTANG HUJAN kotamu mencoret-coret hujan dalam buku harian yang baru saja kita buka tanpa kata, tanpa suara ketika aku terjebak disitu cuma keberanian yang menolongku orang-orang berjalan tanpa menoleh dan memberi salam “jangan tanyakan cinta kepadanya!� entah suara siapa mengusik sementara kau di rumah menonton televisi buat masa depan 11 Desember 1995-10 Nopember 1996
MEMO SIGLI (I) dalam diammu aku terharu menterjemahkan sejumlah malam berbaris dalam bahasa dan kenyataan laut kau melempar aku dalam keheningan terhebat memandang diri sendiri bercermin matamu hingga berkali-kali aku minum kehangatan yang aku sendiri tidak pernah mengerti ketika kau katakan hari adalah kesunyian aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan mencoret-coret puisi tentang diri sendiri yang kehilangan di sejumlah perjalanan juga tentang perempuan yang kemarin melukis ombak lalu kembali ke kegelapan seperti burung-burung kembali menjelang malam katamu, laut adalah milik semua orang kau belum cukup mengukur lautku katakanlah ada angin bernyanyi dan kita sepakat untuk pulang; tetapi jalanan belum juga memberi kabar tentang kedatanganku yang tiba-tiba hingga waktu menjadi begitu sulit untuk dibaca seperti rahasianya hidup kita. Sigli, 17 Agustus 1996
MEMO SIGLI (2) apakah perlu kutuliskan semuanya keterharuan membaca bibir langit mengucap sejumlah luka air mataku tampaknya tidak pernah cukup untuk menina-bobokanmu dalam jaman ini apalagi mengajakmu lari dari kenyataan yang sakit hari-hari tetap saja kegelapan hari-hari tetap juga kebahagiaan orang lain kita belajar menulis dan membaca adalah untuk memahami makna dari segala keperihan tanpa sempat menukilkan kisah senyum sebuah musim pun dalam agenda yang tiap hari kita bawa kecuali jam kerja dan kesibukan yang kita tulis dengan pesona ari mata dengan sekian kesabaran yang kita eja ketika kau bercerita bahwa langit adalah kekeringan aku telah duluan paham akan panasnya perjalanan tiap jam harus kita tempuh sementara hujan tak lain sebuah impian yang kerap berakhir dengan kekosongan maka doa-doa menjadi penghibur abadi episode ini. Sigli, 18 agustus 1996.
MEMO MUSIM (1) Apa yang kita dengar dari gemerisik angin saat usia makin merimbun adakah masa silam telah mematangkan hari-hari kita mengajari kita tentang banyak hal: kegembiraan, air mata, dan hati yang pedih menghadapi banyaknya persoalan di bumi yang sakit sebelum sempat beranjak, mari kita hening sebentar memperhatikan langit: adakah wajah kita makin cerah atau justeru makin berkabut saat semuanya harus dipertaruhkan, termasuk hati, juga kegembiraan orang lain, dan mengubur kenangan-kenangan pahit setelah kita menemukan rumah-rumah, setelah kita lelap dengan berbagai menu di meja makan apa yang kita petik dari perjalanan ini dari berisik jalan raya, adakah kangen setelah berabad-abad kita berlari mengejar kota-kota lalu lahir beribu kali: rupa penuh warna adakah kita pahami kelahiran itu? Jakarta, 6 Oktober 1997
MEMO MUSIM (2) kita tulis kegirangan-kegirangan dalam buku yang lain setelah pagi menyuguhkan air mata dan darah yang kita seduh bersama kopi dan roti: menjadi bagian kegembiraan kita tiap hari lalu kita kutip nasib menjadi kegembiraan-kegembiraan kecil sambil menyesali hari-hari gemerlap yang berlalu tanpa sedikitpun kita beri tanda: hanya jejak-jejak kecil bergaris dalam pandangan kita yang buram sambil terus meyakini: pagi-pagi tetap akan menjelma halaman dimana kau menari dengan bunga di tangan. Jakarta, 14 Oktober 1997.
MEMO MUSIM (3) Inilah ujian, katamu. Mewarnai kegembiraan kemarin kau pun mengamit kabut membawa tidur dan menjadi mimpi-mimpi indah yang selalu kau sematkan dalam hatiku setiap berangkat kerja “ini adalah kebahagiaan yang tertunda,” begitu selalu katamu. Lalu aku pamit, dan pulang dengan tangan yang berdebu bersama malam yang berkabut “Perjalanan adalah kesabaran yang selalu harus kita ikhlaskan.” Kau pun menyelam di dadaku, sambil menghitung detak jantungku “Perjalanan adalah ketekunan, doa serta puja-puji bagiNya.” Jakarta, 14 Oktober 1997.
MELUKIS PUISI adakah kau menunggu, pada sudut yang bebas dari tempias hujan menandai sebuah sunyi dan dingin malam sambil kau baca surat-surat yang belum selesai kutuliskan sambil menatap hari-hari yang gelisah laut di sini tetap bergelombang menggores luka di bekas tapak tangan aku ingin kau menghapus kegelapan pantai di bibirku yang gemetar setiap menyebut ayat-ayat langit padahal aku telah diajari membaca tetap juga kutemui huruf-huruf yang kaku dalam gigil terselip sepucuk puisi isyarat yang tiap saat mesti kuterjemahkan seperti langit yang senantiasa berganti warna seperti laut yang selalu saja surut aku di dalamnya melukis gambar-gambar yang dipotret sejarah. Trienggadeng, 1996.
HUJAN SUDUT KOTA aku kehujanan, tiada payung kota bagai puisi yang menetesi kata demi kata dan kau dengan setia memungutnya tanpa malu-malu meski yang kau temui selalu saja kegelapan tak mampu mengirim cahaya ke bukit-bukit itu. Lhokseumawe, Aceh, Desember 1995
KITA SALING MEMANGGIL tak ada salahnya kita saling memanggil pada jarak tak terucapkan kita membeku dalam kotak-kotak sunyi kehilangan waktu bicara tak sempat membaca meski suratkabar tetap menulis peristiwa yang tiap saat harus kita tunda karena jalan kecil, kota menggoreskan air mata panggillah beberapa kali hingga kita sama-sama mengerti apa yang perlu kita lakukan duduk pada satu sudut memperbincangkan penanggalan yang lewat dan sunyinya sebuah senja ketika kita saling memanggil jarak menetes dalam genggaman kita berlomba: gairah mengirim luka. Trienggadeng, 1996
CERITA UNTUK IBU aku menulis kesedihan dalam bus yang bergerak kota mengajari aku menemukan air mata tiap saat mesti kupahami dengan kekekalan cinta kukenang berkali-kali tarian di bibirmu: laut menjerumuskan kita bila tak pintar mengakrabi cuaca aku menjadi pelaut yang gemar mencatat buih melempar kail di mana-mana Jakarta, Nopember 1996
ROMANTISME JARAK (I) mestinya kita punya sedikit waktu untuk menceritakan perihal masing-masing angin tak begitu saja membaringkan langit dalam percakapan sunyi agar kita berkesempatan merasakan getar-getar langit dengan coraknya yang melambungkan angan dingin menulis nama-nama kita apakah yang terbayang ketika sadar kita berjauhan mengukur jarak dengan isyarat barangkali surat pula yang tiap saat harus kutuliskan walau pena kehabisan kata memandang banyaknya gelisah harus diungkapkan. Saree, Aceh, 1995
ROMANTISME JARAK (II) dalam tidurmu kau lihat aku menggigil dalam kekosongan malam-malam di tengah bukit, bagai sebuah negeri dongeng bercerita tentang kota yang kutinggalkan embun tanpa henti menyapu daun, angin membetot seluruh malam sampai bergerakpun aku harus berdoa beberapa kali Saree benar-benar mengkemas hari-hariku dalam kulkaskulkas kecil pintu-pintunya tak pernah terbuka meski tak henti-henti aku ketuk Saree, Aceh, Desember 1995.
ROMANTISME JARAK (III) Kalau terkadang aku harus menangis, itu adalah kangen yang tak sanggup lukiskan: aku melihat kota-kota yang bergerak menyeretku semakin jauh rumah kita memanggil-manggil: tempat aku bermain dan mengucap salam bagimu saat pergi dan kembali di mana kau dengan setia menunggu, hingga memutih rambut dan mengeringkan kulit-kulitmu maka ketika aku terdampar dan lahir kembali kulihat ada sepotong kangen yang hilang: dan kau memanggil-manggil sampai hilang suaramu, sampai habis air mataku aku tekuni kau di kota yang sunyi ini: dalam hari berkabut. Jakarta, 13 Oktober 1997
BANDA ACEH: OBROLAN suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah obrolan sekedar melepas kangen, atau menyusuri jalan Teuku Umar yang senyap malam makin sempurna disana. Orang-orang mati kuyu di rumah anak-anak meniti buih berangkat ke pembaringan paling abadi telah hilang sekian generasi, hidup menjadi nasib buruk: tiap saat harus menimba kekalahan demi kekalahan tidak ada tempat untuk bertanya, apalagi berbagi luka apabila ada yang mati, itu adalah takdir yang tak mungkin ditolak suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah guyonan sekedar menghibur diri, melihat masih banyak orang terpaksa pergi tanpa ayat-ayat suci dan orang-orang yang mengantarkan. Jakarta, 18 Mei 2000
ELEGI TANAH KELAHIRAN 1989-1998 (1) ketika bukit itu dibongkar dan tulang-tulang menyembul keluar aku tertegun dan kalut: manusiakah yang menguburnya betapa hidup begitu mudah berakhir. Cinta begitu saja dicabut Jakarta, 23 April 2000
ELEGI TANAH KELAHIRAN 1989-1998 (2) Tak ada isyarat, kematian datang tiba-tiba kita tak mungkin mengelak. Karena itu hapuslah air matamu Tuhan memang menciptakan cinta agar kita berkasih-kasihan tetapi kematian adalah pilihan: sebuah cinta paling kekal. Jakarta, 23 April 2000
BERITA Potret sebuah kepala yang terpotong mengagetkanku sore itu esoknya aku lihat kepala itu sudah ada di koran pagi orang-orang menatapnya tanpa berkedip: kepala itu tersenyum mengejek kepala orang-orang yang menatapnya Halaman suratkabar kini makin dipenuhi banyak kepala orang-orang hanya menatap sekilas: dingin dan beku potret itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu diingat apalagi ditangisi -- kepala itu ada dimana-mana Jakarta, 23 April 2000
ILUSTRASI KECIL Kecuali langit yang kelabu, kau tak menemukan apa-apa dalam diriku selain erangan orang-orang yang terperangkap di jalan buntu, di kehijauan negeriku. Trienggadeng, 31 Maret 1996
MENENGOK TAHUN sedang apakah kau kini di situ, saat tahun berganti kita meninggalkan almanak dengan sejumlah hal: kenangan, air mata, dan sebuah rumah saat-saat kita menulis hari sehidup semati sedang apakah kau disitu, saat terompet dibunyikan irama mercon itu adalah peringatan bahwa usia makin menua adakah kau sedang hening: memikirkan perjalanan yang jauh tubuh rapuh dan kelelahan atau kau sedang terpana: menatap pagi turun ke tahun yang lain waktu telah usang dan segera harus kita tanggalkan sambil bertanya: apa yang telah kita buatkan? Jakarta, 1 Januari 1998
LAGU SEDIH DARI SEBERANG biarkan aku pergi, andai sakit tak mungkin diakhiri kebersamaan akan sia-sia bila kita tak sama rasa sekian abad kupahami engkau, usia habis dalam penantian air mataku tak pernah kering: setiap detik yang kuhadapi adalah kematian hidup harus memilih. Karena itu biarkan aku pergi membawa anak-anak. Memulai hidup yang baru sajak-sajakmu telah membunuh anak-anakku mereka tidak boleh lagi mati sia-sia hidup harus diberi arti, bukan untuk menunggu mati aku ingin mengurai sejarah ini sendiri dan membuang sedih hati ijinkan kuucapkan sayonara bagimu. Jakarta, 14 April 2000
LUKA YANG DITITIPKAN - cerita seorang ibu yang menemukan rumahnya sehabis tawuran massal suatu hari, entah kapan, kau tatap lagi rumah itu bagai menyusuri sebuah masa silam yang jauh -anak-anak bergurau di beranda, dan kau adalah isteri paling setia pertengkaran itu telah merenggut cinta satu-satunya juga ruang tempat memikirkan sekolah anak-anak sambil melewati hari-hari yang galau -- hidup menjadi malam paling sunyi wahai langit, hijaulah, katamu, agar aku bisa menjahit kembali kulitmu yang sobek, terkena batu-batu yang dilemparkan dari dendam paling dalam matahari tak lagi berarti buat mengeringkan sebuah luka ya, sebuah luka -- yang dititipkan entah oleh siapa dan kita telah membuatnya kembali berdarah Jakarta, 8 Juni 2000
CERITA SEBUAH SUNGAI ada sebuah sungai dalam hatimu, dan kau membiarkan aku berenang di dalamnya, sambil menjahit malam yang sobek tetapi aku bukanlah penari, yang membuatmu rindu dan gembira. Aku adalah matahari yang membakar seluruh ruang tempat kau menyimpan air mata orang-orang sakit Karena itu, kuburkanlah seluruh mimpi-mimpimu Jakarta, 8 Juni 2000
DONGENG SEBUAH MUSIM aku membayangkan kau duduk disitu, sambil memilin cinta yang kuletakkan di atas pasir. lalu angin melepas kabut, membiarkanku menyentuh langit tetapi hujan telah membuat kita menggigil dan lupa jalan pulang kita terperangkap pada sebuah gubuk, merenda kenangan lain yang tak pernah terbayangkan: seorang lelaki dengan radio di tangan, memanggil-manggil mimpinya sendiri -- ia adalah penjala yang melempar jaringnya tetapi kita bukan ikan-ikan yang berenang di kolam kita adalah perahu yang mendayung ke lautan Jakarta, 8 Juni 2000
DIALOG (1) - Kepada Penyair Anhar Apakah engkau yakin bahwa hidup ini sudah sepenuhnya kita nikmati. Di luar aku masih melihat banyak orang sedang menangis angin malam telah meluruhkan dan mengeringkan putikputik Pala bukit-bukit yang berbaris di kiri-kanan jalan begitu menakutkan mereka tidak tahu harus bicara kepada siapa air mata tetap saja dibasuh dengan air mata Aku kangen desa, aku ingin merasakan langsung detak jantung mereka tetapi mataku selalu dipenuhi dengan ladang pembantaian malam tak pernah mengenal mana musuh dan mana saudara setiap menit, aku selalu membaca berita-berita kehilangan aku juga tidak tahu harus bicara kepada siapa suara sudah tidak punya makna, jiwa tak lagi punya cinta Apakah engkau yakin soal ini akan segera bisa terpecahkan tanpa kesadaran bersama untuk hidup bersaudara: saling memberi dan saling menerima luka kita sudah teramat parah. Dan yang kita ingin bukan kata maaf bukan juga gula-gula. Darah yang telah tumpah tidak mungkin ditimba kembali karena itu, yang kita butuhkan kini hanya dua: hidup yang damai dan sepotong cinta bila itu tak pernah ada, sudah saatnya kita berpikir merdeka Jakarta, 16 April 2000
DIALOG (2) - Kepada Penyair Sulaiman Juned Aku tak bisa membayangkan bagaimana Beureunun kini apakah Kota Mini masih ada, dan desa Usi masih setenang dulu atau angin malam telah mengubah segalanya: orang-orang di sana hidup dalam resah -- bukan karena Si Amad dan Maimunah akan segera kawin sementara padi belum bisa dipanen --- tetapi sebab matahari tak lagi menentu tiap saat ada saja yang menjadi mangsa Kita tidak sempat berpikir, ketika kau singgah di kotaku tahun lalu bagaimana kita harus menyelamatkan saudara-saudara kita apakah kita perlu mengirimkan kemenyan dan belati buat mereka untuk mengusir roh-roh jahat kita tak mungkin membiarkan mereka sakit bertahun-tahun keseharian mereka sudah cukup diwarnai dengan beritaberita kehilangan serta cerita-cerita orang berduka Tak ada jalan lain, kita harus berteriak lebih keras lagi meski lewat puisi. Jakarta, 16 April 2000
DIALOG (3) - kepada Ucok Kelana TB suatu ketika, kita mulai lagi sebuah obrolan sekedar melepas kangen dan membaca riwayat perjalanan kini semua sudah berganti Hari sudah siang, kota jadi mati, hidup jadi sepi orang-orang ketakutan di dalam rumah sambil berteka-teki: hidup atau mati di jalan orang-orang mengenggam belati, menikam siapa saja kita tidak bisa lagi seenaknya ke Trienggadeng atau ke kampung penyair Sulaiman di Usi Dayah atau ke tempat pengabdianmu sebagai guru di Kutacane atau menjenguk penyair Anhar di Aceh Selatan atau juga sekedar melepas penat di kantin Bang Amad Taman Budaya Kupikir kau pun terperangkap kini tidak lagi bebas pulang pergi menjenguk sanak-kerabatmu di Sumatera Utara. Dan selalu cemas ketika harus melintasi jalan raya untuk mengunjungi teman-teman kita di Banda Aceh bahkan mungkin kau terpaksa mengubur segala kangen terhadap mereka seperti yang harus kulakukan kini: menghabiskan Idul Fitri di rantau membiarkan rindu mengental, menjadikan air mata tidak lagi mampu keluar Dari jauh aku menyaksikan akar-akar tercerabut dari pohon-pohon yang tumbuh di halaman rumah
orang-orang bergegas dan tergesa. Gadis-gadis tidak lagi tersenyum sebagian melakukan bunuh diri massal dalam mimpimimpi Tjoet Nyak Dien tanpa berpikir bahwa mereka diam-diam telah menggali kubur buat orang tua dan saudara-saudara mereka sendiri pemuda-pemuda desa kini tenggelam dalam sejarah Iskandar Muda dan patriotisme Teuku Umar. Sambil tidak lupa ikut menzalimi tetangga dan kerabatnya Apa arti sebuah rumah, kalau itu membuat hidup jadi neraka orang-orang desa tidak pernah memikirkan apakah rumah mereka terbuat dari beton, kayu, atau pun belahan bambu mereka tidak pernah perduli di mana letak rumah mereka dan siapa lurahnya terpenting bisakah mereka hidup tenang, mencari rezeki dengan aman, terpenuhi segala keperluannya Suatu ketika, ketika bertemu, kita perlu bicara bagaimana mengajak saudara-saudara kita untuk berpikir apa yang harus mereka lakukan sebenarnya ketimbang menyimpan amarah tetapi entah kapan kita bisa bicara, jalan raya memerah tetapi bagaimana kita kita bisa ketemu aku tidak punya alamatmu untuk sekedar berbagi cerita Batang-Jakarta, Januari 2000
IRONI hati manusia sudah beku, ketuklah terus sampai kau merasa hidup menjadi lebih indah dan mereka sadar tanah ini milik kita apabila ada yang luka, kirimlah air mata ke seluruh malam biar bulan jatuh dan kegelapan menjadi sempurna hidup kita terbuat dari arloji, jangan sisakan sedetikpun hidupmu buat mereka apalagi untuk merenggut hidup kita Jakarta, 30 Mei 2000
BUKAN KARTINI Itulah malam paling kelam buatmu Bulan sepotong tanggal dalam jerit namamu Sumiati: engkau bukan Kartini yang bisa berteriak sekerasnya kau adalah perempuan yang terperosok sunyi menguburkan luka dalam-dalam sambil merawatlah bayi tak berdosa itu yang lahir dari perih dan jeritmu tapi jangan ceritakan riwayat kelahirannya itu hanya mewariskan luka paling panjang. Jakarta, 23 April 2000
WAKTU - mengenang alm. misyik Ia telah menulis riwayat kita pada daun-daun: kini daun-daun itu luruh menutup seluruh percakapan perjalananmu telah selesai Tak ada lagi yang perlu ditangiskan kecuali kangen: begitu cepat kereta lewat meninggalkan almanak gosong di dinding dan bunga itu belum sempat kukirim secara sempurna -- untukmu Jakarta, 29 April 2000
BERUMAH DI BAWAH LANGIT pintu dan jendela telah kau tutup, lalu mengambil beberapa potong pakaian, berangkat ke halaman mesjid kita membangun rumah disini, katamu, dan anakmu satu-satunya mengangguk, seperti mendapatkan halaman terluas buat bermain dan menghirup udara merdeka disini lebih aman, katamu berkali-kali engkau lupa ini bukan hari libur, saat kau dan anak-anakmu menghabiskan akhir pekan di kebun teh, sambil menghirup hawa dingin pegunungan, tetapi ini bukan villa yang membuatmu melambung dan gembira. Ini Aceh, tempatmu lahir dan menderita Jakarta, 4 Juni 2000
SAJAK KEHILANGAN Apa yang lebih pantas kuminta darimu kini: air mata, atau sebuah jerit paling keras sepanjang abad borok di kakimu tak tersembuhkan dari jauh aku hanya bisa melihat sorot mata ketakutan “Jangan pulang sekarang anakku,” demikian bunyi surat itu tak ada lagi bau bunga padi disana: semuanya menjelma kegetiran tak ada tempat buatku, meski hanya melongok pagar halaman di setiap jengkal tanah telah ditabur duri dan belati “Tahanlah rindumu, anakku, rawatlah cintamu.” Aku tak melihat matahari akan segera terbit kembali di sana sebab cinta telah terbunuh, kasih sudah tercabik kita hanya bisa menunggu waktu untuk sebuah kematian abadi meski sebenarnya hidup masih sangat panjang “Jangan pulang sekarang anakku, jangan.” mungkin memang aku harus melupakan semuanya: masa kecil, tepi pantai, kekasih, serta kangen yang mengental Matahari tak mungkin terbit lagi disana malam telah sempurna. “Ayah, tolong bawa ibu dan seluruh saudaraku kesini.” Jakarta, 23 April 2000
MEMAHAMI AIR MATA adakalanya luka mesti dipendam, dibolak-balik, ditimang-timang tetapi aku manusia: tak mungkin menyimpan rasa sakit sekian abad aku telah memahami air mata jangan minta aku mengulangi kedunguan: menancapkan belati di lenganku sendiri aku tak ingin mati berkali-kali biarkan segalanya mendapat muara. Tidak ada yang perlu disembunyikan hidup adalah takdir saatnya kita pulang dan masuk ke palung malam di sanalah wajah kita sebenarnya Jakarta, 28 Mei 2000
MEMO kalau kau memang punya cinta, keratlah bulan dan biarkan aku mendekapnya malam ini terlalu luas buat kutempuh sendiri Jakarta, 28 Mei 2000
CERITA JALAN RAYA jalan itu terbuat dari lipstik dan batu-bata menjadi rumah yang enak dihuni kita menempuhnya tiap sore -- buat ke kampus atau sekedar menghirup hawa malam -- bersama Anhar, Sulaiman, Ucok, Budi, Kamal, dan Deny Pasla sambil menghabiskan segelas teh membuat kita kerap lupa suasana rumah yang sebenarnya terkadang ia juga menjadi laut, tempat kita berenang menjelma perempuan, muara dari segala kehangatan kita sampai lupa pada laut yang sesungguhnya hingga kita tidak ingat lagi senyum khas perempuanperempuan kita karena jalan itu telah memberi lebih dari sekedar kehangatan ia telah mengajari kita berkasih-kasihan dan bercita-cita sebab itu, aku ingin melukisnya kembali disini karena ia telah mati, menjadi malam paling sunyi Jakarta, 28 Mei 2000
KILAS BALIK SEBUAH KURUN aku membaca sajakmu, lalu -- mungkin -- jatuh cinta lalu lupa. kemudian, kau datang dengan kertas di tangan mencatat sejumlah alamat, seperti melukis sebuah cita-cita tak banyak yang bisa diharapkan itu hanya perjalanan semusim, besok lusa semua berakhir kau menyimpan alamat itu, hingga pada hari lain aku menemukannya kembali, di dadamu kau pun jadi lautku. Jakarta, 28 Mei 2000
CERITA DARI SURATKABAR (1) - catatan dari tanah rencong hari ini, kau datang lagi dengan air mata di tangan “ada yang mati lagi, ditembak entah oleh siapa,� katamu aku menyeret kursi agak ke depan dan menatapmu dalamdalam tidak ada lagi air mata di sana -- luka menjadi biasa kematian adalah nasib buruk. Bukan keabadian tak ada yang perlu disesalkan memang ini adalah sebuah pertengkaran. Bukan pertandingan kalahmenang satu mati akan melahirkan seribu dendam dan kau mencatatnya dengan tekun, satu demi satu sampai semuanya menjadi terbuka dan semua hanya melahirkan lebih banyak lagi air mata Jakarta, 28 Mei 2000
CERITA DARI SURATKABAR (2) ---- catatan dari Jakarta Ibu itu menangis, melihat tubuh anaknya melepuh dan gosong-- hampir-hampir tak dikenalnya “ia pantas mati, ia tak punya arti, ia telah mencuri, ia telah menipu kami,” teriakmu. Ibu itu jatuh dan orang-orang ramai mengangkatnya dan melempar ke bak sampah. “ia pun pantas mati, ia ibu pencuri!” lalu engkau pun mengirim peti mati sambil berharap: nanti ada lagi yang mencuri untuk dibakar lagi. Itu menjadi hiburan baru bagimu, selain tawuran antar kampung, nongkrong di persimpangan, dan berjudi. Jakarta, 28 Mei 2000
CATATAN CIKINI (I) - kepada kawan yang berdemontrasi jalan ini miliki kita sayang, marilah kita tanam bunga-bunga. Biarkan aku lewat sambil menghirup wangi bunga itu dan mengingatmu sebagai pahlawan Cikini, Jakarta, 12 Mei 2000
CATATAN CIKINI (2) - kepada kawan yang pulang demontrasi sore itu marilah kita simpan bau mulut yang tak sedap dan suara-suara yang memutus tali persaudaraan hidup kita tak bisa sendiri -- ini hanya menunda mati jangan biarkan Tuhan menangis menyaksikan kekalahanmu menterjemahkan perjuangan jalanan ini bukan tempat senda gurau, bukan pula tempat menumpahkan kekesalan aku junjung suaramu yang merdu, membelah langit nan kaku tetapi jangan perlihatkan padaku sifat kanak-kanak apalagi niat menjadi pahlawan pulanglah, kawan, dengan langkah paling mawar pulang tanpa mencipta pertengkaran Cikini, Jakarta, 12 Mei 2000
TITIK NOL mungkin, ini adalah titik nol, saat pertama kita bercakap-cakap tanpa kegembiraan, penuh air mata, juga bayangan cuaca yang gelap, dan kita ngeri melihat langit terbentang dengan isak tak tertahankan itu bukan pertanda buruk, dan hujan kembali membakar wajahmu aku hanya bisa menarik nafas melihatmu menarik garis lurus ke udara seperti menggambar kehidupan dengan cita-cita yang tersendat kita harus mulai, kataku, dan lupakan segala debar yang sepanjang pagi membangunkan tidurmu dengan matahari yang tak kunjung muncul meskipun pagi lama pamit entah ke mana satu lagi yang ingin kukatakan padamu: hidup perlu warna, dan kita sedang melukiskan hidup itu, berangkat dari titik nol Jakarta, 5 Agustus 2000
BELAJAR DARI NASIB seperti itulah kita, seandainya meneruskan percintaan di sudut sana: bertahun-tahun didera hujan, terik, juga ketakutan. Bertahun-tahun pula kita melihat ribuan anak menjadi yatim atau kehilangan saudara kandung ditelan seribu sirigala. Dan mereka hanya bisa menangis, cuma menangis sekedar mengusir rasa sakit, atau melukiskan semua itu menjadi nasib yang telah ditulis di setiap telapak tangan seperti itulah, mereka kini: hidup di pengungsian, belajar dari rasa takut, dan akhirnya mereka pun jadi biasa hidup tak lagi penting untuk diberi makna, apalagi dipolesi dengan segala macam ornamen orang kota, yang sibuk, dan seluruh waktunya habis untuk memikirkan nasibnya sendiri Jakarta, 5 Juli 2000
CERITA PERCINTAAN aku kirimkan kisah ini ke dalam tidurmu: seorang lelaki yang mencintaimu sungguh-sungguh, tiap pagi berdiri di depan pintu menunggu pak pos membawa sepotong langit yang berkilat menggantikan almanak yang berdarah dan penuh air mata aku kirimkan kisah ini dalam tidurmu menjadi mimpi yang manis, menggantikan hari-hari yang menakutkan setelah kita tak lagi bisa membedakan: mana cinta, kasih sayang, dan mana pengkhianatan Jakarta, 26 Juni 2000
DIALOG 1996 : Musmarwan Abdullah Kita meninggalkan kafe terapung ketika malam larut dan angin laut begitu menusuk mencatat merkuri dan neon di jalanan kota kecil itu kau harus pulang ke Kembang Tanjong, mengetuk rumah yang sedang senyap Tapi aku tidak buru-buru, katamu, desaku masih berderang hingga pagi hari kita duduk saja di sini, di bawah langit yang membentuk suasana laut: barisan nelayan bagai sebuah kota yang tak henti berdenyut Kembang Tanjung tidak terlalu jauh dari Sigli, kota yang sempat menyimpan surat-surat dari lautan kita pun kembali menghitung bus-bus yang lewat bersama pengemis yang tak pernah tidur menangkap isyarat matahari Jakarta, 8 Juli 2003
SEJARAH DARI RUANG KUSUT -- kepada raihan, seorang srikandi yang belum kukenal kau memandang lurus, menyimak dengan tekun sandiwara itu: seorang lelaki dengan palu ditangan merobohkan waktu, juga kenangan, seperti melepas hasrat yang purba nafas memburu, ia daki bukit-bukit itu, yang terjal dan berduri sekedar membuktikan ia telah menjadi pencinta dan kau pun disebut pendurhaka apakah yang kau bayangkan ketika waktu benar-benar rontok dan palu itu dengan gagah bercerita: hari ini, ibunda, telah kutumbangkan beberapa pohon untuk menopang rumah kita yang rapuh. Katakanlah apalagi yang mesti kulakukan demi cintaku padamu. Apakah aku harus menyediakan pula air mata untuk minum kita. Katakan ibunda, katakan, sebelum mereka benar-benar menghujankan batu-batu ke rumah kita mungkin kau hanya tersenyum, getir campur iba, betapa ketololan demi ketololan tersimpan bertahun-tahun, dirawat dan dipuja-puja: perempuan itu tidak pernah mengenal kita dan tidak akan memberi cinta, kecuali kata-kata dan selembar tisue untuk menghapus air mata. Dan lelaki itu telah menganggapnya semua itu adalah cinta: ruang kusut yang menjelma gedung-gedung tinggi, siap menelannya. Jakarta, 28 Januari 2003
PALU DI RUANG KUSUT -- kepada raihan dan mereka yang senasib kita terima saja percikan-percikan api yang keluar dari palu itu. Tidak penting berapa pun kita harus membayarnya dengan usia kita, atau dengan sebuah harapan yang roboh perjalanan ini memang menuntut lebih dari sekedar bir, wisky, atau apa pun yang membikin kita mabuk dan larut atau juga percintaan di malam yang larut kita mesti bergerak, mungkin berawal dari depan masjid atau barangkali Simpang Lima. Tidak penting, toh itu sama saja bagi kita yang penting jalanan ini mesti kita cat kembali dengan air mata yang bukan turun dari perasaan-perasaan sentimentil, tetapi dari cinta yang hijau dan tumbuh di bukit-bukit, dan kita berteriak sekeras-kerasnya: bangun, bangun kawan, hari sudah siang kita sulap ruang itu menjadi pesta yang bukan pesta biasa merayakan kematian kata-kata, kematian yang sia-sia Jakarta, 31 Januari 2003
BERTERIAK DI JALANAN ayo, kita tanam singkong dan ketela di jalanan ini sambil membagikan poster-poster atau meneriakkan pamflet-pamflet. Setiap hari, sambil jalan kita menyiram atau bahkan memetiknya, buat sekedar sarapan setelah bibir malam terkatup dan menelan semuanya apa yang tersisa bagi kita, tanpa singkong dan ketela? Jakarta, 31 Januari 2003
LELAKI DI MONAS lelaki itu berjalan tergesa menggiring kudanya yang nelangsa: semalam saya bermimpi emas di sana telah digerus oleh mereka siapakah mereka? si kuda hanya terdiam sambil memperlihatkan air matanya yang hangat menyentuh tiang menara: tanah lapang menjadi sulit untuk berkatakata katakan padaku di mana pintu? entah kata siapa tapi kuda pura-pura lupa. Sebab dua hari lalu ia bisa masuk dari pintu mana saja ia lelaki kampung, yang bingung di bawah menara tidak pernah hafal jalan masuk dan keluarnya kecuali melulu meneriakkan satu kata saja: kuda, kuda, kuda! Jakarta, 31 Januari 2003
LANGIT HARI INI kabut belum lepas juga dari matamu, meskipun langit adalah langit hari ini -- jagad yang kita cita-citakan bertahun-tahun seluruh air mata sudah habis, apalagi yang bisa kita tumpahkan melukiskan langit yang itu-itu juga, jagad biasa yang telah membuat tubuh kita terbakar bertahun-tahun hidup hanya indah dalam cita-cita, katamu, sekarang marilah kita mencoba bercita-cita lagi sambil membuang jauh-jauh masa silam, ya, menghapus habis seluruh bercakbercak darah di dinding, karena -- pada saatnya -- hidup itu mesti ada akhir tetapi air mata, air mata itu, tak mungkin kering hanya dalam semusim apalagi matahari, masih tetap matahari itu lagi, panas dan membakar kita adalah pepohonan yang gerah menanti hujan Jakarta, 4 Agustus 2000
SENTIMENTALIA DARI GEDUNG PARLEMEN aku pakai lagi jas yang dulu kau pinjamkan menjahit kembali langit yang robek di atas ubun-ubun dari lantai sekian gedung parlemen, kita bersitatap dan kau tidak pernah memahami isyarat mataku padahal, sungguh mati, aku kangen berat menceritakan kenangan buruk menulis surat cinta yang tak terbalaskan di sela-sela rapat kerja yang sangat membuat ngantuk dan melelahkan. Tetapi kau, di kejauhan sana, hanya tersenyum dengan tatapan aneh dan menganggapku sebagai badut-badut yang tak patut ditertawakan. Yang perlu kau tahu kini, aku bukan bocah-bocah lagi Jakarta, 4 Agustus 2000
KORAN PAGI TANPA KOPI lagi-lagi aku menemukan wajahmu yang pucat dan lucu seperti bocah-bocah, kau ambilkan sehelai daun dan kau sentuhkan di kepalaku sebentar lalu kau lempar ke udara, siapa yang pertama menginjak, dialah pemenangnya dan kakimu dengan tangkas menghancurkan daun itu, menjadi kopi pagi yang hangat saat berangkat kerja sungguh, aku pun larut dalam permainan itu, meski kutahu kita hanya berpura-pura, tetapi koran-koran telah dengan tekun menulisnya -- seperti kau menulis surat cinta Sinta atau Isabella, tak habis-habisnya, tak putus-putusnya, kata-katamu mengalir seperti air, dan hidupnya menjadi begitu bergairah begitulah kini, saat berangkat kerja, kita melirik koran pagi dan kita, lagi-lagi, punya ide buat bermain kembali -seperti perjudian permainan kita tidak pernah selesai, sebelum salah satu diantara kita benar-benar menjadi pemenang, ya, pemenang yang bukan saja menang, juga bisa membuat semua menjadi tenang. Sekarang, biarkan saja di luar mereka gigit jari, sementara di sini, dari lantai sekian gedung ini, aku melempar lagi surat cinta buatmu dan tangkaplah dengan seluruh gairah kanak-kanakmu. Jakarta, 4 Juli 2000
SEORANG LELAKI YANG MENANGIS lelakiku telah melipat jasnya, lalu menangis, sepanjang jalan ia melangkah jauh, merobek seluruh malam, tetapi malam telah mati, hari telah pergi, menangis sudah tidak punya arti lelaki itu kembali pulang, membuka jasnya, lalu pergi hidup harus berarti, katanya, hidup jangan dinikmati sendiri pandanglah sejenak ke depan, kakiku masih berdarah! Jakarta, 4 Juli 2000
LHOKSEUMAWE kota itu masih menyimpan rasa sakit hidup yang beku: harapan-harapan mengental dalam genggaman orang lewat pada sebuah malam yang hening, dengan bedil di tangan lalu kita membangun pulau-pulau setiap malam, ketika anak-anak terlelap, untuk menyusutkan air mata: cintalah yang membikin kita hidup meski sering harus tiarap ketakutan apakah bedil kini sudah menjadi mainan? aku kerap lupa: tempat itu adalah taman bermain bagi laki-laki yang kangen masa kanak-kanak dan air mata, milik siapa pun, adalah bagian dari permainan kota itu adalah sebuah rumah kosong yang tak pernah kita tinggalkan: kita selalu di sana menulis kata-kata, juga angka-angka, yang tidak untuk dibaca: sebagai penawar rasa sakit Sawangan, 7 September 2002
SUARA-SUARA kita mendengar suara-suara di malam kosong serupa jerit, juga histeria. Ada wajah yang berdebu dan tangan mengepal ke udara ini sebuah panggung: tempat kesedihan, pun keperihan ditonton dengan wajah sumringah langit bukan milik bersama matahari makin mengkontraskan suara-suara dalam perahu yang sama. Senyum dan air muka kita melukiskan masa depan masing-masing nasib tak bisa dibagi, mungkin itulah yang tertoreh dalam hatimu kini, setelah lift membawamu jauh membikin rumah di udara 7 September 2002
MEMORIA HUJAN aku basah kuyup sehabis bersamamu menikmati lukisan dan tarian aneh jari-jari Mella, di ruang penuh buku dan bangunan tua dan kau dengan tekun memandang artefakartefak itu, seperti menikmati sebuah masa silam tetapi ada satu hal yang harus kau catat: waktu adalah kegelisahan seperti menghadapi Toni yang kasmaran, atau kota Barcellona yang ramai, siap menenggelamkan bekas di wajahmu yang memerah namun kita tidak bisa bercermin: masih bergunakah kau menjelajah artefak-artefak itu, sekedar membuktikan tikungantikungan di depanmu adalah hidup yang nyata dan siap kau susun menjadi rumah-rumah di hatimu, sejuk dan sendiri Jakarta 11 Juli 2002
MEMORIA MALAM kau menulis langit, tahukah kau di mana langit itu, oaseoase kegelapan yang selalu membuat kita kangen dan terharu, hadir dalam setiap tidur, dan kita seperti terjaga menulis teks-teks yang tak pernah terbaca matahari tidak terbit di ruang ini, selain bayang-bayang cahaya ini perjalanan aneh,dan kau terus mencatat setiap bayangan yang berkelebat, bagai melukis kembali mimpi kanakkanak aku ingin sendiri, katamu, jalanan ini tidak harsu dilalui dengan perasaan bersalah. Kita bebas memilih tetapi adakah yang lebih menetramkan selain sebuah rumah dan beranda tempat bersenda gurau. Sawangan, 16 Juli 2002
MEMORIA PESAN aku baca pesan singkat, pagi ini, kau kirim dari sebuah malam yang gerimis: sautau saat sebuah perjalanan siap ditempuh untuk menjawab semua tanya, ketika itu tarian mungkin berakhir tetapi ada yang kau lupa: tikungan-tikungan itu makin membuat kita terpenjara, dalam gugusan pulau yang menampung seluruh gelisah, dan tarianmu bakal lebih panjang Jakarta, juga udara sejuk Barcellona, tak pernah memahamimu, selain makin mengekalkan gedung-gedung, tugu, serta pesta mabuk kaum berhomian Sawangan, 16 Juli 2002
MEMOLITA PANTAI mungkin sore itulah terakhir kita menelusuri pantai itu berangkat dari dermaga ketika matahari akan terbenam ada hawa aneh: adakah kau lihat sebatang pohon tumbuh di langit? kita kemalaman sampai di rumah. Entah berapa mil, jarak yang tidak singkat, kita habiskan sekali pandang malam makin membuat kita lupa dan tergoda setelah itu kita memilin waktu, sambil menyaksikan laut yang terpenjara, mengais-ngais cinta dalam tidur ada pulau yang terbelah, laut segera membentang milik siapkah? dan kini, kita hanya menyaksikan perjalanan itu dalam buku-buku bisu, tak ada lagi yang bercakap-cakap apalagi bersenda guraua di luar ada yang menangis, hidup siapakah yang berakhir kabut berarak, dan pantai itu menjadi gaib tempat cinta menjadi batu nisan, dingin dan gelisah bersama air mata yang terus memancur menjadi sungai dalam hati kita Lhokseumawe 1996-Jakarta 2002
MEMOIKRA lelah belum sepenuhnya lenyap, ketika kita kembali bercakap sore itu, di sebuah sudut di kampusmu, tentang cahaya yang berkilatan, di kaki Buket Rata ini menu semusim, mungkin kau ingin mengatakan itu, ketika kita saling memandang, menghadapi hidangan di meja makan, di tepi jalan raya yang sibuk sebentar lagi aku akan berangkat, setelah matahari jatuh tetapi bus-bus tidak ada yang mau pergi jalan raya menjadi gaib, malam membeku dan satu hal yang pasti, tidak ada darah yang menetes dari pohon-pohon di bukit itu, seperti kini Lhokseumawe 1995-Sawangan 2002
PERSONIFIKASI WAKTU katakanlah, bagaimana harus mengulang sejarah itu: sore yang basah, angin semilir, langit yang hening, kita tempuh jalan-jalan kampung, hingga matahari benar-benar beranjak dan kita kemalaman aku masih ingin bercakap sambil mengantarmu sampai di rumah melewati sawah dan kebun kelapa, tanpa suara-suara aneh yang membuat mata kita perih dan waktu menjadi terhenti kita ingin menjadi kita sendiri, menulis huruf-huruf di kertas putih, bukan di batu nisan Sawangan 5 Mai 2002
BERITA KEPULANGAN mungkin inilah terakhri kita melihat tempat ini menjadi istana rakyat kata seseorang, dengan getir, sambil menunggumu berbenah hari itu, kau memang akan kembali pulang, dari sebuah tempat yang telah membuatmu terluka dan terpenjara Batang, 27 Juli 2001
CATATAN PERGANTIAN TAHUN -kilas balik dari kampung air mata kita sambut tahun, bulan entah di mana matahari masih jauh. Kita hanya menemukan jasad orang mati membusuk dalam jam kerja tidak ada embun, apalagi hujan, menyimpan daun-daun yang berguguran, hidup menjadi termat dingin kalender meleleh di meja makan mungkin itu sampai tahun terus berganti dan terompet tak lagi dibunyikan. Jakarta 1 Januari 2002
ANAKKU MENANGIS anakku menangis menagih jam mainnya bagai gelombang menendang langit padahal malam telah larut, saatnya kita mengisi hidup dengan kegembiraan mimpi-mimpi banyak orang menangis di luar langit telah sobek -- di Aceh, Ambon, Bengkulu, dan Jakarta -kita hanya bisa menunggu, cuma menunggu ada embun yang jatuh, entah dari mana sebab hidup telah banyak melahirkan pertengkaran untuk kesekian kali, kita pun menanggung kekalahan Jakarta, 25 Juni 2000
MENUNGGU SURAT - reportase dari tanah berdarah (II) aku menunggu suratmu, setiap matahari terbit cerita apakah bakal sampai, sebuah puisi cinta atau potongan air mata menggenapkan jumlah cita-cita yang mati sia-sia keseharian kita adalah sejarah terbakar kirimlah padaku air dan potretmu yang terbaru supaya hilang hausku, agar terpuaskan kangenku sebab kau telah memintaku menunda pulang Jakarta, 26 Juni 2000
ODE JALANAN besok kami akan menyegel rumah ibu, katamu dari balik malam, menolak harga-harga naik dan rambut yang tercerabut dari kepala: kita telah menjadi asing dan ketakutan di sejumlah sudut, mungkin di sebuah desa di Batang atau sejumlah dusun di Aceh, orang-orang menadah matahari menghitung butir-butir air dari tubuh masing-masing dan kedinginan di malam kami telah siap, sambungmu, menjemput ibu yang tak pernah lagi pulang, bahkan untuk sekedar bersalaman, apalagi melepas kangen. Ia telah menjadi orang-orang lain bersama jalanan, gedung-gedung tinggi, dan beragam pesta kami hanya bisa mengenang sejumlah senyum dan suara selembut embun, menjadi sejarah yang begitu laknat menguntit setiap tidur, setiap kami terlelap entah di rumah atau dalam bus kota yang padat kami siap bergerak untuk membuktikan masa lalu bukan sekedar kenangan. Cuma ingin mengajukan satu-dua pertanyaan: apakah ibu masih ingat kami berjumpalitan di jalanan, mencintainya tanpa ragu, tanpa meminta apaapa Kalau tidak, izinkan kami membenci dan mengirimkan sepotong malam, agar ibu tahu betapa menyiksanya kegelapan Jakarta, 12 Januari 2003
SEJARAH DUA KUTUP kita segera tahu, meski bersaudara kita tetap orang lain yang menulis kehidupan atau kematian dengan tinta berbeda adakalanya aku menjadi daun dan kau menjadi angin yang meluruhkan tangkai-tangkai. Ketika aku melayang-layang, kau menjelma matahari membakar pepohonan. Aku mengering, kau pun menjadi hujan menghanyutkanku ke lautan. Menjadi gang-gang atau luluh bersama malam harga-harga yang naik memperjelas rupa kita meski datang dari lembah yang sama: engkau adalah pahlawan dan aku pendurhaka, mencintai ibu dengan cara berbeda Depok, 1 Februari 2003
PERJALANAN PULANG perjalanan pulang selalu menyimpan kegembiraan lebih membayangkan kau menunggu: senyum di bibir dan cangkir di tangan, menjelmakan sepetak kebun di dalam kamar dan kita mencangkulnya tiap malam, bersama anak-anak yang terlelap kelelahan selalu saja rumah mengirim keceriaan anak-anak ke tempat kerja, yang selalu menunggu pulang: sekotak susu instan dan sebungkus makanan ringan sebuah dunia yang mereka bangun dengan penantian dan kangen nan kental setiap pulang, halaman mengembang bagai kelopak mawar mengirim hawa sejuk ke perjalanan: aku tembus malam, aku kayuh kegelapan, seperti perahu berkedip-kedip di lautan dan berharap kalian di pintu: seulas senyum dan segelas minuman, membenamkan penat dan kelelahan Sawangan, 15 Januari 2003
MASA DEPAN DALAM TIDUR menyaksikan kau tertidur, selangit bintang berkedap-kedip di wajahmu yang menyimpan pulau dan lutan. Kita bersama membikin perahu sebagai rumah yang kokoh menghadapi gelombang aku belum dapat memberi sekoci agar kita segera sampai. Atau kayuh yang kekar biar perahu cepat melaju, menembus karang dan air pasang. Aku hanya bisa beri sedikit kegembiraan pulau itu tidak harus ditempuh dengan tergesa kita mulai saja dengan langkah-langkah kecil tanpa bermimpi kayuh dan sekoci sebab perahu cuma ada di luar tidur kita Sawangan, 15 Januari 2003
PETA BASAH KUYUP di sebuah pojok pada wajahmu bola kecil terapung memerah dan berkilatan: peta Indonesia yang basah kuyub asing dan sendiri kita merekam sorak-sorai di jalanan keluh-kesah di kegelapan, juga wajahmu yang sumringahdi meja kerja. Melukis peta yang lain, jauh dan pekat: orang-orang berbaris di pagi hari melupakan bangku sekolah dan jam kerja mencabut matahari dari orbitnya menggantikan cahaya di rumah-rumah di sebuah pojok pada wajahmu bola kecil terapung dan kau menahan rintih: cinta hanya sepenggal umur hidup lalu dilupakan Jakarta, 19 Januari 2003
RUANG VAKUM -- kepada penyair Aceh kita tulis lagi kata-kata itu, pahit dan bercela, di malam yang sakit: seorang lelaki yang tertembak atau perempuan kehilangan mahkota, menangis di kegelapan kita tanam kamboja di setiap langkah dan memetiknya setiap melihat darah: puisi menjadi teriakan kosong ketika orang-orang tak lagi mengenal kata-kata kita bergerak dari ruang vakum satu ke ruang vakum lain, kata seseorang dalam e-mailnya: memetik buah tak pernah matang, menamam pohon tak pernah rindang kata-kata menjadi poster, pamflet, juga tangisan ia tidak pernah lagi menjadi puisi: angin sepoi basah mempermainkan anak-anak rambut kita di pinggir kolam Depok, 1 Februari 2003
KADO AGUSTUS inilah kado agustus itu: langit senyap, bulan pucat, dan kau kehilangan ruang untuk membaringkan penat matahari gugur, teriakmu dalam bisu --- dengan isak tak tertahankan --melihat kabut merah, udara basah itu bukan hujan, tapi kegelapan datang membawa bedil, tongkat dan traktor mengiring satu nyanyian: padamu negeri suaranya lirih, iramanya menikam kau tak mampu lagi bercakap malam sudah sangat kelam takdir: inilah kado agustus itu Pamulang, 2 September 2003
JEMBATAN BESI dia lelaki jagal, bisikmu malam itu, sambil menidurkan si kecil di tengah reruntuhan ada banyak wanita berjaga, sambil merajut kain sobek dan selimut berantakan kita salah memilih orang: memelihara harimau, maka menerkamlah ia dinding roboh, atap ambruk, dan hidup membeku, berbaris sebagai batu nisan kau menanamnya sebelum kematian Pamulang, 2 September 2003
PESTA kita menyaksikan pesta itu-itu juga gelas pecah dan orang-orang mabuk menyusup dalam dongengan seperti liliput, larut dalam igau rencong di kanan, arak di kiri, bernyanyi sampai mati Pamulang, 2002-2003
| EPILOG | Tarian Cermin
99 Sajak Mustafa Ismail Adek Alwi | Suara Karya, Sabtu, 1 Nopember 2008 PALING tidak ada tiga sebab mengapa tahun 1970-an dan 1980-an tak banyak benar sastrawan asal (dan yang tinggal di) Aceh kita kenal. Pertama, mereka mungkin tak serajin LK Ara, Isma Sawitri, Zakaria M Passe (untuk contoh yang tak banyak itu) mempublikasikan karyanya di majalah dan koran Jakarta. Kedua, teknologi informasi termasuk dunia penerbitan belum semaju periode-periode sesudah itu. Ketiga, jumlah sastrawan yang muncul di tahun 1990an dan 2000-an bisa jadi memang lebih banyak, juga kerajinan mereka mengirimkan karya ke media Jakarta, dan mereka diuntungkan pula oleh kemajuan teknologi informasi termasuk dunia penerbitan. Nah, apapun sebabnya namun sejak periode 1990-an gairah sastra di Nanggroe Aceh Darussalam memang tinggi frekuensinya. Hal itu ditandai oleh penerbitan buku kaum sastrawan di daerah itu, berita-berita tentang aktivitas mereka, serta karya-karya mereka yang dipublikasikan di media Ibu Kota. Mustafa Ismail satu dari generasi sastrawan Aceh pada masa yang bergairah itu. Suatu hari, bertemu kami di TIM dan dia hadiahi saya antologi puisinya terbaru, “Tarian Cermin”. Saya sudah kenal nama penyair, cerpenis, serta wartawan kelahiran 1971 ini. Puisi dan cerpennya tersebar di banyak media (pun cerpen Azhari yang juga asal Aceh, muda usia pula). “Tarian Cermin” diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh dengan BRR NAD tahun 2007, menghimpun 99 sajak Mustafa Ismail bertahun cipta 1993
hingga 2003. Rinciannya: 1 sajak tahun 1993; 4 tahun 1995; 21 tahun 1996; 13 tahun 1997; 4 tahun 1998; 32 tahun 2000; 1 tahun 2001; 9 tahun 2002; dan 14 sajak di tahun 2003. Rincian itu penting dibuat, juga (seperti ditulis Mustafa dalam Prolog) bahwa sajak-sajak di tahun-tahun “awal kepenyairan” tidak diubah atau direvisinya sehingga dapat kita ikuti perjalanan kepenyairan dia dalam kurun waktu 10-11 tahun itu. Nah, dalam konteks perjalanan kepenyairan inilah saya lihat hal-hal menarik dalam “Tarian Cermin”. Bila dipilah menurut tahun penciptaan serta domisili penyair, maka sajak-sajak pada kumpulan ini dapat kita kelompokkan ke dalam tiga periode, dan masing-masing periode memperlihatkan tema-tema yang menonjol. Pertama, periode 1993-1996 yaitu ketika penyair masih berdomisili di daerah asal. Kedua, periode 1997-1998, sewaktu penyair mulai menetap di Jakarta sebagai jurnalis. Ketiga, periode 2000-2003, tatkala penyair (tentunya) sudah beradaptasi dengan rantau atau Ibu Kota. Pada periode pertama sajak lebih didominasi tema-tema kegelisahan, semacam keinginan untuk berangkat, pergi, atau melakukan perjalanan (kata yang kerap hadir di banyak sajak). Itu bisa karena keadaan, seperti dalam sajak “Satire Cinta”: penjara jadi sangat akrab saat terpahami/ membentuk butiran embun dan tarian rumput/ kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi/ semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang/ dan kebun terserang hama//. Atau, bisa juga karena rasa kesia-siaan (“Hujan Sudut Kota”), serta sunyi yang lahir akibat situasi (“Kita Saling Memanggil”, “Romantisme Jarak 1″); yang membuat akulirik menengok ‘dunia dalam’: ketika kau katakan hari adalah kesunyian/ aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan/ mencoret-coret puisi tentang diri sendiri/. Di periode kedua, atau di masa transisi kepindahan ke Jakarta, tema kerinduan, juga cinta (walau di akhir-akhir periode pertama hal ini juga terlihat) lebih menonjol. Begitupun rasa gagap, dan juga tekad buat menghadapi lingkungan baru, Jakarta, kota besar itu. Yang terakhir ini
misalnya terlihat pada sajak “Kosong”: kadang kita harus selalu ingat, jalan tidak seperti diperkirakan/ maka bersiaplah untuk bersedih, untuk menerima nasib yang dingin/dan segala keinginan membusuk dalam coretan dinding// begitulah yang kucoba pahami kini: Sebuah kota tiba-tiba saja meledak dalam genggaman/ aku ingin bersedih, sebagaimana juga engkau mungkin,/ senantiasa mengharapkan bukit-bukit yang meninggi, bulan yang perak/ dan diatasnya kita menari//. Atau pada puisi “Ketika Kau Memakan Daging-dagingku”, dan juga “Sketsa Kemarau 3″. Adapun tema kerinduan, misalnya kepada tanah lahir, atau rumah mengemuka dalam sajak “Orkes Pagi Hari”, juga sajak “Menengok Tahun”. Dan, kepada keluarga, sajak “Menerima Surat 1″ yang ditujukan kepada ayah, juga “Membaca Wajah Ibu” yang bagi saya terasa indah: disitulah bintang itu, terselip dalam kelopak mata/ tetap cerah, tetap indah/ dan aku pun larut dalam sinarnya// disitulah laut,mengalirkan hawa dingin/ bagi setiap perjalanan/ tetap teduh, tetap biru/ membuatku selalu kangen dan terpana// disitulah sumur, yang tak pernah lelah/ memberi/ aku adalah gayung yang masih tetap/ menimbanya//. Dan tema cinta, terlihat pada sajak “Memo Pagi”, “Menerima Surat 2″, “Sajak Pagi Hari”, “Prosa Kasmaran”, atau yang lain-lain. Di periode ketiga (2000-2003), yang menyumbang 50an sajak bagi kumpulan ini, mengedepan tema-tema ‘besar’ dalam arti telah meluas dari sekadar persoalan diri sendiri ke keadaan di Aceh yang pada periode ini masih rusuh. Menurut saya tema ini terenungkan lalu tertuang dalam sajak sebab penyair sudah selesai beradaptasi dengan rantau, Jakarta, kota besar. Juga, setelah ada jarak fisik, pun waktu, maka peristiwa di kampung halaman yang tentunya terekam dalam diri mendesak minta diekspresikan. Dan tema itu hadir dalam puisi “Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (1)”, “Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (2)”. Pun pada sajak “Berita”, “Dialog (1)”, “Dialog (2)”, “Dialog (3)”, “Ironi”, “Berumah di Bawah Langit”, “Sajak
Kehilangan”, “Cerita Dari Surat Kabar (1), “Belajar Dari Nasib”, “Lhokseumawe”, dan sejumlah sajak lagi. Kita kutip “Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (1)” yang agak prosais, guna ikut merasakan akibat rusuh yang (pernah) berlarut-larut itu: ketika bukit itu dibongkar dan tulangtulang menyembul keluar/ aku tertegun dan kalut: manusiakah yang menguburnya/ betapa hidup begitu mudah berakhir. Cinta begitu saja dicabut/. Akhirnya, ingin pula diutarakan hal lain yang sempat saya catat, bahwa entah karena pengaruh profesinya yang lain (cerpenis, wartawan), atau memang disengaja sebab kecenderungan puisi Indonesia mutakhir banyak demikian: pada beberapa sajak Mustafa Ismail dalam kumpulan ini merebak pula aroma prosais. Misalya larik sajak “Dialog 1996″ ini: Kembang Tanjung tidak terlalu jauh dari Sigli,/ kota yang sempat menyimpan surat-surat dari lautan/. Atau pada sajak “Seorang Lelaki yang Menangis” berikut: lelaki itu telah melipat jasnya, lalu menangis, sepanjang jalan/ ia melangkah jauh, merobek seluruh malam,/ tetapi malam telah mati, hari telah pergi, menangis sudah tidak punya arti/ lelaki itu kembali pulang, membuka jasnya, lalu pergi/ hidup harus berarti, katanya, hidup jangan dinikmati sendiri/ pandanglah sejenak ke depan, kakiku masih berdarah!/. Lantas, ada ungkapan yang berulang: suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah obrolan (sajak “Banda Aceh: Obrolan”), dan, ini: suatu hari, entah kapan, kau tatap lagi rumah itu (sajak “Luka yang Dititipkan”). Lainnya lagi adalah musuh utama puisi, yaitu salah cetak, seperti tersua dalam sajak “Orkes Pagi Hari”, “Memo Sigli (2), atau jangan-jangan juga di puisi lain yang luput dari mata saya. [*] ADEK ALWI, pengarang, dan dosen Politeknik Universitas Indonesia.