ORDE BARU OK. Video - Indonesia Media Arts Festival 2015

Page 1


Diselenggarakan oleh :

Funding Partners / Mitra Pendanaan:


ruangrupa adalah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Sebagai organisasi nirlaba, ruangrupa bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal online.

ruangrupa is a contemporary visual art organization established in 2000 by a group of artists in Jakarta. As a nonprofit organization, ruangrupa copes to support the progress of visual art ideas in urban contexts and a vast scope of culture through various exhibitions, festival, visual art laboratory, workshop, research, and also the publishing of books, magazines, and online journals.

Collective Board: Ade Darmawan, Hafiz, Indra Ameng, Iswanto Hartono, Mirwan Andan, Reza Afisina Director: Ade Darmawan Manager: Ajeng Nurul Aini Finance: Daniella F. Art Lab: Riksa Afiaty RURU Gallery: Leonhard Bartolomeus OK. Video: Mahardika Yudha, Deasy Elsara Jakarta 32o C: Andang Kelana, M. Sigit Budi S. Institut ruangrupa : Farid Rakun, Ardi Yunanto Archive and Documentation: Lisna Dwi A., Ari Rusyadi RURU Corps.: Julia Sarisetiati, Maya RURU Shop: Ayu Dila Martina JurnalKarbon.net: Berto Tukan, Abdul Manan Rasudi, Windu Jusuf RURUradio: oomleo, Arie Dagienks IT & Website: Abi Rama Household: Samuel Bagas ruangrupa Twitter: @ruangrupa Jl. Tebet Timur Dalam Raya No. 6 Facebook Page: @ruangrupa Jakarta Selatan 12820 Facebook: @ruangrupa Jakarta Indonesia Google Maps: maps.google.com/maps/ T/F: +62 21 8304220 ruangrupa E: info@ruangrupa.org IG: @ruangrupa W: ruangrupa.org

OK. Video merupakan salah satu divisi di ruangrupa. Divisi ini secara rutin mengadakan lokakarya, produksi, dokumentasi, dan distribusi pengetahuan tentang seni media di Indonesia. Melalui program utamanya, Festival OK. Video menyediakan ruang bagi karya-karya seni media yang membahas fenomena sosial, politik, dan budaya lokal serta global. Festival ini diselenggarakan setiap dua tahun sekali sejak 2003 mengusung tematema spesifik.

OK. Video is a division of ruangrupa. It regularly conducts workshop, production, documentation, and knowledge distribution of media art works in Indonesia. Through its main program, OK. Video Festival provides space for media art works that discuss social. politics, and cultural phenomena in local and global context. The festival occurs once every two years since 2003 with specific themes.

3


Pengantar Kepala Galeri Nasional Indonesia

Foreword by the Director of the National Gallery of Indonesia

Galeri Nasional Indonesia menyambut baik dan mendukung penyelenggaraan ORDE BARU OK. VIDEO - Indonesia Media Arts Festival 2015 pada 14-28 Juni 2015 sebagai salah satu upaya mempresentasikan karya-karya seni rupa hasil kreativitas dan pencapaian artistik para seniman yang menggunakan teknologi media. Seperti halnya karya-karya video, film, performans, instalasi, objek, digital imaging, dan berbagai media lainnya, gagasan artistik yang dihadirkan dalam kajian kultur teknologi media dengan tajuk “ORDE BARU”.

The National Gallery of Indonesia welcomes and supports the NEW ORDER OK.VIDEO - Indonesia Media Arts Festival 2015 on 14-28 June 2015, which constitutes an attempt to present artworks resulted from the creativity and artistic achievements by artists working with diverse media technology. As in the video works, films, performances, found objects, installations, digital imaging and other media, the artists’ ideas during this event are presented in studies of media technology under the focus “New Order”.

E

vent yang diikuti oleh 73 seniman dari 21 negara dan menampilkan 68 karya yang dipamerkan, tercatat sebagai event yang banyak mengakomodir seniman seni media dalam setiap pelaksanaannya. Perhelatan yang sebelumnya bernama OK. Video - Jakarta International Video Festival ini, pada 2015 berganti label dan kemasan menjadi OK. Video - Indonesia Media Arts Festival. Sejak 2003, setiap dua tahun sekali, perhelatan ini diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia. Menjadi program rutin kerja sama antara Galeri Nasional Indonesia (GNI) dengan ruangrupa. Oleh karenanya, penyelenggaraan ORDE BARU OK. Video - Indonesia Media Arts Festival dapat dianggap sebagai satu presentasi kerja sama yang baik dan berkelanjutan antara dua instansi, yaitu ruangupa dan Galeri Nasional Indonesia. Juga, wujud kerjasama dari berbagai pihak dalam mengembangkan seni rupa berbasis multi-media dan teknologi mengikuti perkembangan mutakhirnya.

Pameran ini patut diapresiasi karena pameran ini mengajak kita untuk melihat dan merespon karya-karya terbaik hasil realisasi ide-ide kreatif yang direpresentasikan di ruang pamer yang apik dan artistik dalam bingkai kuratorial rancangan Mahardika Yudha selaku kurator. Serangkaian acara dalam bentuk open-lab, diskusi, serta lokakarya, baik yang diselenggarakan di area Galeri Nasional Indonesia ataupun di ruang-ruang publik lainnya disambut baik berbagai kalangan dan masyarakat umum. Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada kurator pameran, tim kerja, dan seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dan partisipasi atas terselenggaranya pameran ini dengan baik. Serta kami ucapkan selamat dan sukses kepada OK. Video - Indonesia Media Arts Festival!

T

his event followed by 73 artists of 21 countries presenting 68 best artworks is noted as one that accommodates video/multimedia artists in each of its occasion. Previously it was called OK. Video - Jakarta International Video Festival before changing its name to become OK. Video - Indonesia Media Arts Festival. Since 2003 biannually the event has been held in the National Gallery of Indonesia, having become a regular collaborative program between the National Gallery and ruangrupa.

technology and multimedia based art according to their latest trends.

That’s why, the NEW ORDER OK.Video— Indonesia Media Arts Festival may be viewed as a presentation of continuous and well-organized cooperation between two institutions, ruangrupa and the National Gallery of Indonesia. It is also a manifestation of many parties’ collaboration in developing

At last, we would like to congratulate the curator, organizing committee and all parties extending their support and participation for the excellent organization of this event. Felicitations and success to OK. Video Indonesia Media Arts Festival.

This event deserves an appreciation because it takes us to see and respond to the best artworks as the result of creative ideas represented in exhibition with curatorial framework by Mahardika Yudha. A series of activities such as open-lab, discussion and workshop, whether organized in the National Gallery of Indonesia’s area or other public spaces, should be well-appreciated by the public at large.

Selamat mengapresiasi!

Happy appreciating!

Jakarta, 5 Juni 2015 Tubagus ‘Andre’ Sukmana Kepala Galeri Nasional Indonesia

Jakarta, 5 June 2015 Tubagus ‘Andre’ Sukmana Director of the National Gallery of Indonesia

5



Program Schedule 03-10

16.00-20.00: Workshop “Nemu VHS/ Found Footage” with Bagasworo Aryaningtyas ruangrupa

June 2015 13

12.00-18.00 Workshop Diy Hologram Projector with Lifepatch Galeri Nasional Indonesia

“Mapping History” with Ricky ‘babay’ Janitra and Klub Karya Bulu Tangkis Ruang Publik Jakarta

14

16.00-22.00 Opening Performance bequiet, Brisik, AstoneA, Racun Kota, ruangrupa 12.00-18.00 Open Lab WAFT Lab, lifepatch, Maker Indonesia, Digital Nativ Galeri Nasional Indonesia

15

13.00-13.30: Symposium - Keynote Speech 14.00-16.00: Symposium - “Pop (Music) Culture: A Drift from Mainstream Media” 16.30-18.30: Symposium - “The New Order Television and Indonesian Family” 19.00 - 19.30: Symposium - Closing Panel Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

14.00-16.00: Symposium “Humor: Mocking at Pointed Gun” 16.30-18.30: Simposium “Gamble and Lottery Practices in New Order Period” Lobby Gedung A

16

11.00-14.00: Workshop Little Geek Out Make It Playable with MakeDoNia and MakerspaceBKS Galeri Nasional Indonesia 12.00-18.00: Open Lab WAFT Lab, lifepatch, Maker Indonesia, Digital Nativ

16.00-20.00: Workshop Informing the Museum of Information through 3D sketchh with Biro Arsitek Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia 12.00-18.00: Open Lab WAFT Lab, lifepatch, Maker Indonesia, Digital Nativ

20

21

15.00: Festival Tour with Curator

15.00: Festival Tour with Curator

16.00-18.00: Multimedia Performance Contact Gonzo Galeri Nasional Indonesia

10.00-17.00 Workshop Playing with Celluloid with Lab Laba Laba and Club Kembang 19.00-21.00: Multimedia Performance Workshop Presentation Reza Afisina Galeri Nasional Indonesia

22

13.00-15.00: Artist Talk Contact Gonzo, Rizki Resa Utama, Julia Sarisetiati Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

23

13.00-15.00: Discussion Social Politic Essence In New Order Fine Art: The Survivors And The Doomed 15.30-17.30: Discussion Nuovo Ordine: What’s new and trending Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

13.00-15.00: Artist Talk with Jan P. Pineda, Saleh Husein, Jakarta Wasted Artists 15.30 - 17.30: Discussion Online Journalism in Indonesia: Reporting the Fact in Cyberspace Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

MEDIA VS MEDIA : History and archive as a weapon 13.00—15.00 Galeri Nasional Indonesia

12.00-18.00: Open Lab WAFT Lab, lifepatch, Maker Indonesia, Digital Nativ 10.00-13.00: Workshop DIY Visual and Tonal Pencil with WAFT Lab Galeri Nasional Indonesia

18-19

17

12.00-18.00: Open Lab WAFT Lab, lifepatch, Maker Indonesia, Digital Nativ

26

16.00- 18.00: Multimedia Performance Agus Nur Amal “PM Toh” Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

27-28

15.00: Festival Tour with Curator


Orde Baru, Seni Media oleh Mahardika Yudha

“Dalam jaman pembangunan sekarang ini, RRI dan TVRI memegang peranan sangat penting. Siaran-siaran RRI dan TVRI mempunyai pengaruh sangat luas terhadap masyarakat kita. Melalui siaran-siarannya, RRI dan TVRI tidak hanya meneruskan berita kepada masyarakat, menyajikan hiburan, dan pengetahuan, tetapi juga ikut membentuk pikiran masyarakat.” – Pidato mantan Presiden Soeharto saat meresmikan Studio Alam Televisi Republik Indonesia (TVRI) CimanggisBogor, Jawa Barat pada 21 Mei 1984.

M

au tidak mau, suka atau tidak suka, kita adalah produk Orde Baru. Melalui beragam cara, seperti teknologi media, arsitektur, bahasa, dan lain sebagainya, propaganda dijalankan dengan gencar dan berkelanjutan. Selama 32 tahun telah berhasil menciptakan manusia-manusia Indonesia dengan pikiran searah cita-citakan rezim Orde Baru. Tujuhbelas tahun yang lalu rezim ini runtuh. Bagi generasi yang lahir dari rahim Orde Baru masih terekam ingatan propaganda-propaganda yang bertahan hingga sekarang. Peran media informasi dan telekomunikasi yang dikuasai oleh negara saat itu, terbukti masih ampuh dan memiliki andil besar dalam membentuk pikiran masyarakat. Teknologi dan media sebagai salah satu alat propaganda menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Bahkan, secara tidak sadar, kita masih berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Lalu, bagaimana cara kita melepaskannya? Bagaimana kita menghapusnya dari ingatan? Sejak kemunculan teknologi media digital dan internet, warga dianggap telah memiliki alat komunikasi dan alat produksi, serta distribusi informasi yang mandiri. Baik untuk merumuskan persoalan, mengolah data, hingga menghasilkan dampak yang nyata dan tepat guna. Di masa analog, peluang demokratisasi teknologi media ditutup rapatrapat. Peran warga yang ‘kreatif’ menyelesaikan persoalannya, selalu dianggap melakukan

tindakan subversif karena menghasilkan alternatif-alternatif informasi (kebenaran), yang berada di luar informasi resmi versi rezim otoriter. Berbeda dengan situasi sekarang, peluang itu justru terbuka lebar. Peran warga dalam menyelesaikan persoalan menggunakan teknologi media, telah memasuki tahap kemandirian yang sistematis. OK. Video—Indonesia Media Arts Festival 2015 memilih tema “Orde Baru” sebagai fokus utama festival. Tema ini dipilih sebagai upaya menjembatani peristiwa masa lalu dengan sekarang. Kanal terbesar bagi distribusi arsip sejarah adalah teknologi media internet yang semakin hari menggeser peran media-media konvensional. Teknologi media internet bagaikan lorong waktu yang menghadirkan persoalan-persoalan masa lalu (sejarah) dan kehidupan hari ini yang berjalan beriringan. Sejalan dengan kultur teknologi media digital yang memiliki kemampuan ‘memanggil’ sejarah untuk disajikan dengan cepat dan mudah. Arsip sejarah juga menjadi perhatian karena kemampuannya menjadi jembatan persoalan. Tema Orde Baru mencoba bermain dalam tegangan antara wilayah sosial-politik dengan gagasan narasi teknologis dan mekanis yang terdapat pada kultur media. Sebanyak 73 seniman, kelompok, dan proyek seni yang berasal dari 21 negara akan terlibat dalam perhelatan dua tahunan ini. 63 karya yang berasal dari seniman

undangan dan seniman yang dijaring melalui aplikasi terbuka, akan dihadirkan dalam bentuk pameran. Sebanyak tujuh karya akan ditampilkan dalam bentuk pertunjukan, dua karya berupa simposium dan diskusi terbuka, serta satu karya menggunakan dunia virtual sebagai ruang pamernya. Karya-karya tersebut mencoba mendekonstruksi sejarah dengan membongkar cara kerja produk-produk teknologi dan media sebagai alat produksi informasi, propaganda, dan pengarsipan itu. Bagaimana cara kerja representasi media masa lampau membentuk persepsi, ingatan, ilusi, keyakinan, dan ideologi di hari ini. Sedang pada sesi Open Lab yang dikuratori oleh Riksa Afiaty, empat komunitas yang sehari-harinya bersentuhan dengan teknologi akan diundang untuk saling berbagi, berdiskusi, dan berkolaborasi membicarakan kultur media dalam budaya oprek. Sedangkan pameran Ekspresi Digital Kaum Muda Urban yang dikuratori Aditya Fachrizal Hafiz ‘Gooodit’ akan berlangsung di galeri virtual. Pameran ini akan membicarakan fenomena internetmeme yang menjadi pilihan popular mengkritik kultur media masyarakat. OK. Video juga mengundang tiga seniman untuk berkolaborasi dengan mahasiswa dan seniman muda membuat proyek seni di ruang publik, bermain dengan teknologi media analog, dan membuat teater multimedia. Tahun ini OK. Video—Indonesia Media Arts Festival 2015 memutuskan untuk mengubah formatnya, bersamaan dengan dipilihnya tema Orde Baru. Perkembangan teknologi media yang begitu cepat mendorong festival ini untuk memperluas gagasan, capaian, dan praktek artistik yang merespon perkembangan teknologi media

di masyarakat. Sejak festival pertama, OK. Video dengan sadar melihat bahwa membaca kultur media, sangatlah penting untuk mengukur sejauh mana gagasan seni media berfungsi untuk mengkritik perkembangan teknologi, media, juga situasi sosial-politik yang sedang berlangsung di masyarakat. Kembali lagi pada sebuah kisah perebutan persepsi publik 50 tahun lalu. 1 Oktober 1965, empat pernyataan Gerakan 30 September disiarkan sejak pagi hingga siang hari oleh Radio Republik Indonesia (RRI) yang telah dikuasai sejak dini hari oleh pasukan Untung Cs.. Radio menjadi saluran informasi satu-satunya yang populer dan dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia, meskipun saat itu, Indonesia sudah mempunyai Televisi Republik Indonesia (TVRI). Selain RRI, Gerakan 30 September juga menguasai gedung telekomunikasi. Namun, selepas Maghrib, satuan-satuan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerbu dan merebut Radio Republik Indonesia dan gedung telekomunikasi dari penguasaan pasukan Gerakan 30 September. Pada pukul 7 malam, RRI menyiarkan rekaman pidato Mayjen Soeharto yang menyatakan bahwa Gerakan 30 September telah dihancurkan. Keesokan harinya, semua media massa, baik elektronik maupun cetak dikontrol militer.

11


New Order, Media Art by Mahardika Yudha

“In this development age, RRI and TVRI holds a vital role. Their broadcasts cast an extensively wide influence upon our society. Through their broadcasts not only they, RRI and TVRI that is, relay the news, provide entertainment and knowledge, but also helped shape the insight for the people.” – Former President Soeharto’s speech during the inauguration of the Indonesian Republic Television’s Natural Studio, Cimanggis, Bogor, West Java, May 21, 1984.

W

e are a product of the New Order, whether or not we like it and even when we hope it was otherwise. By the use of various apparatus, such as media technology, architecture, language and numerous other things, propaganda was executed intensively and incessantly. For 32 years, this has succeeded in forming the people of Indonesia with the hope and dreams of the New Order. The regime saw its own collapse 17 years ago. For those who were borne out of the nurture of the New Order, memories of propagandas can still be recalled, even now. The function of the state owned information and telecommunications’ media at that time can still hold its grasp and is proven to have a huge part in shaping the thought of the people. Technology and media as one of the instruments of propaganda carried its duty flawlessly. Even under our conscious mind, we are still under the shadow cast by the power of the New Order. Hence, how are we supposed to let go of it? Can we pluck it out of our memories? Since the birth of the digital media and Internet technology, the people is considered to have a communications and production tool and at the same time the ability to distribute information independently. This powerful tool found its use in problem formulation, data processing and is even capable of producing a real and efficient impact. During the time of the analogue, the possibility of the democratization of media technology was closed tightly. The role of the

‘creative’ citizen in solving problems were always considered, if not subversive, offensive, for it was thought to create an alternative information (henceforth, truth), outside the authoritarian regime’s version of official information. Today and the past is cannot be more different; the chance is opened instead. The role of the people in solving problems using media technology has entered a systematic independence stage. OK. Video—Indonesia Media Arts Festival 2015 chose ‘New Order’ as the festival’s main focus. This theme is chosen as an effort to bridge the gap between the past and the present. The largest canal in historical archive distribution is the Internet media technology, whose strength is gaining day by day by toppling the conventional media’s rule. Like a time capsule presenting the problems of the past (history) and the lives of the present as if they are walking side by side. This capability is parallel with the culture of digital media technology who is able to ‘recall’ history to be presented in a fast and easy way. Historical archive also draws attention for its ability to bridge problems The theme, New Order, tries to play with the tension between socio-political territories with technological and mechanical narrative ideas attached to the media culture. There are 73 artists and art projects coming from 21 countries that will be involved in this biannual event. As many as 63 artworks, coming from

invited artists and those captured through open application, will be presented in a form of exhibition. Seven of those works are in the form of performances, two as a symposium and open discussion and one uses virtual world as its exhibition space. These works try to deconstruct history by unravelling the works of technological and media products as the instrument of information, propaganda and archiving production. In the Open Lab session curated by Riksa Afiaty, four communities with daily interaction with technology will be invited to share, discuss and collaborate to talk about media culture in tweaking culture. On the other hand, Ekspresi Digital Kaum Muda Urban exhibition, curated by Aditya Fachrizal Hafiz ‘Gooodit’ will take place in the virtual gallery. This exhibition will discuss Internet-meme phenomena as a popular choice in critiquing the media culture of the people. OK. Video also invites three artists to collaborate with college students and young artists in making an art project in public space, playing along with analogue media technology and creating multimedia theatre. This year, OK. Video—Indonesia Media Arts Festival 2015 decides to change its format at the same time with its decision to use Orde Baru as a theme. The fast growth of media technology development pushes this festival to extend ideas, achievement, and artistic practice with a better response to media technology development in the society. Since its inception, the first OK. Video exhibition, the festival consciously sees that interpreting media culture is an important variable to measure the extent of the function of media art as a critique for media technology development and also the socio-political situation amongst the people.

Back to the story of the fight for public perception 50 years back. October 1, 1965, four statements of September 30 Movement was broadcast from dawn until midday by Indonesian Republic Radio (RRI) whose office was occupied by Untung Cs troops. Radio was the only popular information channel and reachable by the whole of Indonesian people, although the national television (TVRI) was already on the air. Apart from RRI, the September 30 Movement also conquered the telecommunications building. But, after Maghrib, The Army Commands Regimen (RPKAD) attacked and seized RRI and the telecommunications building from the hands of the September 30 Movement. At 7 o’ clock that night, RRI broadcast the recording of Major General Soeharto which stated that the September 30 Movement has been eradicated. The next day, every mass media, be it electronic or print was controlled by the military. 13


AstoneA (Indonesia) Ade Darmawan (Indonesia) Andreas Siagian (Indonesia) Anggun Priambodo (Indonesia) Anouk De Clercq (Belgium) Arahmaiani (Indonesia) Ari Dina Krestiawan (Indonesia) Ari Satria Darma (Indonesia) Ary ‘Jimged’ Sendy (Indonesia) Bagasworo Aryaningtyas (Indonesia) Basir Mahmood (Pakistan) bequiet (Indonesia) Biro Arsitek (Indonesia) Brisik (Indonesia) Carlos Motta (Colombia) Cecil Mariani (Indonesia) Chabib Duta Hapsoro & M.R. Adytama Pranada (Indonesia) Che Onejoon (South Korea) Chto Delat (Russia) Contact Gonzo (Japan) Cut and Rescue (Indonesia) Digital Nativ (Indonesia) DIODORAN (Indonesia) Douwe Dijkstra (The Netherlands) Edwin (Indonesia) & Thomas Østbye PlymSerafin (Norway) Eric Baudelaire (USA/France) Fluxcup (Indonesia) Forum Lenteng (Indonesia) Francois Knoetze (South Africa) Geert Mul & Michel Banabila (The Netherlands) Hafiz (Indonesia) Halaman Papua (Indonesia) Henry Foundation (Indonesia) Ika Vantiani & Feransis (Indonesia) IndoPROGRESS (Indonesia) IP Yuk-Yiu (Hong Kong)

Irama Nusantara (Indonesia) Irwan Ahmett (Indonesia) Jakarta Wasted Artists (Indonesia) Jan Patrick D. Pineda (The Philippines) Jatiwangi Art Factory (Indonesia) Johannes Gierlinger (Austria) Julia Sarisetiati (Indonesia) Krisgath (Indonesia) Krisna Murti (Indonesia) Lab Laba-Laba (Indonesia) lifepatch (Indonesia) Lyubov Matyunina (Russia) MakeDoNia (Indonesia) Marishka Soekarna (Indonesia) Marko Schiefelbein (Germany) Mella Jaarsma (Indonesia) M.G. Pringgotono (Indonesia) Nastasha Abigail & Raslene (Indonesia) Oliver Ressler (Austria) & Dario Azzellini (Germany/Venezuela) oomleo (Indonesia) Otty Widasari (Indonesia) PM TOH (Indonesia) Racun Kota (Indonesia) Reza ‘Asung’ Afisina (Indonesia) Reza Mustar ‘Azer’ (Indonesia) Ricky ‘Babay’ Janitra & Klub Karya Bulu Tangkis (Indonesia) Rizki Lazuardi (Indonesia) Rizki Resa Utama (Indonesia) Roberto Santaguida (Canada) Saleh Husein (Indonesia) Sidang Imajinasi (Indonesia) The Otolith Group (UK) The Propeller Group (Vietnam) The Secret Agent (Indonesia) WAFT Lab (Indonesia) Yao Jui-Chung (Taiwan) Zbynek Baladrán (Czech Republic)

15


“K

AstoneA (Indonesia)

ami akan mengadu suara melalui kaset-kaset berisi suara-suara tidak jelas alias random yang merupakan hasil pilihan dan favorit kami masing-masing. Suara-suara itu kemudian akan diadu, dipadu dan diaduk menjadi satu output suara. Entah akan jadi seperti apa nantinya. Dalam performans nanti, kami pun berusaha untuk berkompromi, satu sama lain. Atas nama sebuah penampilan yang akan ditatap dan disimak banyak orang dalam sebuah kuasa ‘panggung’.” - AstoneA AstoneA lahir pada saat pemerintah Orde Baru masih berkuasa. Sekelompok anak muda yang dibesarkan oleh tayangan MTV dan industri musik kaset era ’90an. Berkurangnya uang jajan dari orang tua, harus disiasati dengan memperketat pengeluaran demi membeli kaset dan album rilisan musisi favorit. Situasi politik yang memanas dan krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia, terekam dalam ingatan masa-masa akhir runtuhnya rezim Orde Baru.

UNTITLED Performans multimedia Multimedia performance 30’ 2015

Pada perhelatan OK. Video ini, AstoneA bermain dengan ingatan, fantasi, bebunyian, visual, dan juga instuisi mereka sebagai generasi yang besar di masa transisi antara kehadiran dan ketidakhadiran pemerintah Orde Baru.

Sunday 14 June 2015 19.30 at Galeri Nasional Indonesia

AstoneA terbentuk pada 2003 di Fakultas Bahasa & Seni di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Saat itu, AstoneA terdiri atas Andry Moch (Alm.), Muhammad Akbar, Erwin Windu Pranata, & Ori Riantori. Mufti “Amenk” Priyanka, bergabung pada 2004. Posisi Ori Riantori digantikan oleh Deni Gedang Ramdhani pada pertengahan 2006. Album berjudul Memori Kumis Kucing dirilis oleh label Omuniuum pada 2015.

AstoneA formed in 2003 at the Faculty of Language and Art Education at the University of Indonesia (UPI) Bandung. At that time, AstoneA consists of Andry Moch (eq.), Muhammad Akbar, Erwin Windu Institution, and Ori Riantori. Mufti “Amenk” Priyanka, joined in 2004. The position of Ori Riantori was replaced by Deni Gedang Ramdhani in mid 2006. The album, entitled Memori Kumis Kucing (The Memory of Cat’s Whisker) was released by the label Omuniuum in 2015.

“W

e will collide the sound through tapes containing our choice of favorite random sounds. The sound then will be collided, combined, and stirred into the sound output. We don’t know how it will come out. In our performance, we will try to compromise each other in the name of an appearance that will be stared at and listened to by people in sovereignty of a stage. “- AstoneA AstoneA was born during the New Order government was still in power: a group of young children who were raised by MTV and the cassette music industry of the ‘90s. The reduced allowance from parents should be handled by tightening their spending for the sake of buying tapes and album releases by their favorite musicians. The heated political situation and prolonged monetary crisis in Indonesia became the memory of the last days of the collapse of the New Order regime. In this OK Video event, AstoneA is playing with memory, sounds, fantasy, visual, and also their intuition as a generation who lived in the transitional time between the presence and absence of New Order government.

17


Ade Darmawan (Indonesia)

1983 Instalasi video, cetak digital Digital print and video installation Dimensi bervariasi Various dimensions 2015

Ade Darmawan. Setahun setelah melangsungkan pameran tunggal pertamanya, Deodorant Display of Power di Rumah Seni Cemeti pada 1997, ia mengikuti program residensi di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten, Belanda, selama 2 tahun. Ade banyak membuat karya instalasi, video, seni rupa publik, dan grafis. Selain bekerja secara individu, ia juga bekerja kolaboratif bersama ruangrupa, sebuah lembaga nirlaba seni rupa yang fokus pada isu perkotaan yang dibentuk tahun 2000. Ia menjadi direktur artistik Jakarta Biennale XIII-ARENA dan menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-2009. Ade juga dikenal sebagai aktivis, kurator, dan aktif berorganisasi.

Ade Darmawan. A year after his first solo exhibition, Deodorant Display of Power at Rumah Seni Cemeti in 1997, Ade joined 2-year residency at Rijksakademie Van Beeldende Kunsten, in the Netherland. Ade created various installation works, video, public visual art, and graphic. Besides going solo, he also works collectively with ruangrupa, a non-profit organization working on urban issues. He was the artistic director for Jakarta Biennale XIII-ARENA and member of Jakarta Art Council in 2006-2009. Ade is also known as activist, curator and active in various organisations.

G

erhana matahari total pada11 Juni 1983 adalah peristiwa alam paling “spektakuler” yang pernah dialami bangsa Indonesia. Pada peristiwa itu, negara meminta seluruh rakyat Indonesia mengurung diri di dalam rumah saat terjadi gerhana. Hal ini didalihkan untuk melindungi kesehatan mata rakyat, dengan tidak menyaksikan fenomena alam itu secara langsung. Pemerintah pun menyiarkan secara langsung fenomena itu melalui tayangan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Sebagian warga duduk menyaksikan tayangan representasi gerhana matahari melalui televisi, sebagian lagi tetap keluar untuk menyaksikan fenomena yang mungkin hanya terjadi sekali dalam hidupnya dengan beragam cara dan media untuk melihat peristiwa itu secara langsung. Karya Ade Darmawan mencoba bermain dengan memori kolektif atas peristiwa gerhana matahari, yang terjadi pada 1983, dan menghubungkannya dengan gerhana lain yang terjadi pasca Reformasi 1998. Perbedaan mendasar terkait dengan teknologi media dari kedua peristiwa tersebut adalah soal kuasa dan representasi. Jika di tahun 1983 masyarakat hanya dapat melihat tayangan dari satu media tunggal milik pemerintah, sedangkan hari ini, masyarakat memiliki ragam media representasi.

T

he total solar eclipse on June 11th 1983 was the most “spectacular” nature phenomenon ever experienced by Indonesians. During that event, the state asked all Indonesians to lock themselves in their homes when the eclipse occurred. The situation was reasoned as a protective measure for the eyes, by not experiencing the eclipse in person. Government then broadcasted the event live via the National Television (Televisi Republik Indonesia / TVRI). Most of the people actually sat at home and enjoyed the eclipse from their television, while other insisted to go outside to watch such phenomenon via various means and mediums; which might only happen once in their lives. Ade Darmawan’s work tries to play with the collective memory of the solar eclipse in 1983 with another eclipse which took place after the Reformation in 1998. The basic differences between the two events were closely related with the media technology; whereas it also concerned about power and representation. If in 1983 the people could only watch the show from one sole media owned by the government; today the society has various mediums of representations.

19


Andreas Siagian (Indonesia)

NALAREKSA 0.7 Patung bunyi Sound sculpture 2008-2015

Andreas Siagian. Seniman lintas disiplin dengan latar belakang pendidikan formal sebagai insinyur teknik sipil lulusan Atmajaya Yogyakarta. Mempelajari bahasa pemrograman dan membuat piranti lunak yang berguna dalam perhitungan dan perencanaan desain geometrik jalan raya. Prakteknya berkembang seiring waktu mulai dari pemrograman kreatif dalam citra dan bunyi, penciptaan elektronik berbasis swakriya, pembuatan patung bunyi dan instalasi, hingga instrumen bunyi. Salah satu pendiri dari beberapa kelompok inisiatif seperti breakcore_LABS, urbancult. net, dan lifepatch-sebuah inisiatif warga dalam seni, sains dan teknologi. Bersama jaringan Hackteria, dia merupakan co-director HackteriaLab 2014 di Yogyakarta.

Andreas Siagian. A multi-disciplinary artist with a background as an engineer graduated from Atmajaya University, Yogyakarta. He studied programing and created software for planning and calculating highway geometric design. His works expand from creative programing in sounds and image, self-applied based electronic creation, sound sculpture and installation to sound instruments. He was co-founders in various initiatives such as breakcore_LABS, urbancult.net, and lifepatch, people intiatives on art, sicence, and technology. With Hackteria, he was the co-director of HackteriaLab 2014 – Yogyakarta. www.andreassiagian.wordpress.com

S

ejak 2008, Andreas Siagian mulai mengembangkan seri Nalareksanya yang didasarkan atas penelitian lapangan Prof. Ir. Harjoso Projopangarso dengan nama penelitian yang sama. Nama Nalareksa sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, kata Nala berarti ‘orang-orang terkasih’ dan kata Reksa berarti ‘bergizi’. Alat sederhana Nalareksa ini digunakan untuk menganalisa polusi udara khususnya dari zat karbondioksida (CO2) dengan menggunakan air sebagai medium. Instalasi Nalareksa 0.7 mencoba mengembalikan esensi dari sebuah ide sederhana yang dikembangkan oleh Prof. Ir. Hardjoso Projopangarso yaitu reaksi yang terjadi antara air dan udara melalui gesekan langsung antara keduanya. Instalasi ini menampilkan komposisi bunyi yang tercipta dari reaksi tersebut. Karya instalasi dalam seri ini juga mengambil etos dari figur Prof. Ir. Hardjoso Projopangarso yang seluruh ciptaannya selalu mengutamakan penerapan sains dan teknologi sesederhana mungkin dan dapat diakses oleh masyarakat. Secara teknis, Nalareksa 0.7 menggunakan teknik penguatan dan penggabungan bunyi sederhana yang memanfaatkan penggunaan teknologi elektronik analog yang berkembang pada ‘70-80-an. Teknologi ini hingga sekarang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat di Indonesia.

S

ince 2008 Andreas Siagian has been developing his Nalareksa series based on the research fieldwork of Prof. Ir. Harjoso Projopangarso under the same Name. The name comes from the Old Javanese. Nala means ‘ beloved people’ while reksa means ‘nutritious’. This Nalareksa simple tool is used to analyze air pollution especially carbon dioxide (CO2) using water as the medium. Nalareksa 0.7 installation tries to present the essence of a simple idea developed by Prof. Ir. Hardjoso Prajopangarso, a reaction that happens from water and air through a direct contact between the two. This installation renders sound composition that emerges from that reaction. This installation in series also takes the inspiration from Prof. Ir. Hardjoso Projopangarso’s ethic, whose every creation is based on affordable and simple science and technology that can be accessed by the people. Nalareksa 0.7 uses simple strengthening and conflating techniques of analog technology from the 1970-1980s. Until today people in Indonesia can access the said technology easily.

21


Anggun Priambodo (Indonesia)

GELORA Instalasi video dua kanal Double channels video installation Durasi bervariasi Various durations 2015

Anggun Priambodo. Perupa, sutradara film, iklan, dan video klip ini menempuh pendidikan Desain Interior di Institut Kesenian Jakarta. Bersama Henry Foundation membentuk The Jadugar dan meraih penghargaan sutradara terbaik di ajang Indonesia MTV Music Awards 2003. Pameran tunggalnya, Toko Keperluan digelar di RURU Gallery (2010). Terlibat dalam Singapore Biennale: If The World Changed (2013). Di tahun yang sama, ia merilis film feature pertamanya Rocket Rain (2013) dan mendapatkan penghargaan Geber Award di ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival 2013. Ia salah seorang pendiri Lab Laba-Laba.

Anggun Priambodo. A visual artist, a film and music video director studied at interior design in Jakarta Institute of Art. Collaborating with Henry Foundation, he formed The Jadugar and gained award as best director in Indonesia MTV Music Awards 2003. In 2010 he managed his first solo exhibition at Toko Keperluan in RURU Gallery. Then joined Singapore Biennale: If The World Changed in 2013. In the same year he released his first feature film Rocket Rain (2013) and awarded with Geber Award in Jogja-Netpac Asian Film Festival 2013. He is also the founder of Lab Laba-Laba.

G

elora merupakan video performans Anggun Priambodo yang didasarkan pada arsip yang ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Karya ini dibagi menjadi dua bagian, kanal pertama berisi performans Anggun membajak film berita Gelora Pembangunan tahun 1978. Di sini, ia mengganti si pembawa acara berita dengan dirinya. Kanal kedua berisi performans Anggun ketika mendistribusikan karyanya kepada masyarakat. Dalam Gelora, Anggun mendekonstruksi arsip dengan membajak arsip itu sendiri. Kemudian, hasil bajakannya ia distribusikan kepada masyarakat dengan cara yang atraktif, yaitu mendatangi dan menawarkan kepada masyarakat dengan mendatanginya. Metode ini cukup efektif mengingat ‘perang’ informasi sudah demikian atraktif dari televisi di ruang tamu hingga dunia virtual. Anggun dengan sadar memilih tayangan Sidang Umum MPR dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 1978. Saat itu, untuk ketiga kalinya Soeharto terpilih sebagai presiden. Kemudian bertambah tiga periode, sampai akhirnya diturunkan secara paksa pada 1998. Karya ini menjadi salah satu karya hasil proyek seni Lab Laba Laba, Mengalami Kemanusiaan yang dikerjakan sejak 2014 dan dipresentasikan kepada publik pada April 2015 lalu.

G

elora is a video performance by Anggun Priambodo that is based on archives found in the National Archives of Indonesia. The work is divided into two parts, the first channel contains Anggun re-engineered the newsreel called Gelora Pembangunan from 1978. Here, he changed the news anchor with himself. The second channel contains his performance when distributing his work to the public. In Gelora, Anggun deconstructed the archive by re-engineering the archive itself, and then distributed the result to the public in an attractive way by going directly to communities. This method was quite effective considering the information war has been attractively happening from the television set in the living room to the virtual world. Anggun consciously chooses the MPR’s General Assembly and Inauguration of President and Vice President of the Republic of Indonesia in 1978 video. At that time, Soeharto was the elected president for the third time and for another three periods, until he was forcibly impeached in 1998. Gelora is one Lab Laba Laba’s work, from their art project Experiencing Humanitarian, undertaken since 2014 and presented to the public in April 2015.

23


T

Anouk De Clercq (Belgium)

hing dirancang menggunakan komputer. Lingkungan perkotaan dipindai (scan) dan ditransformasikan menjadi titik-titik yang membentuk profil tiga dimensi bangunan dan lanskap jalanan. Gambar dengan resolusi besar yang ia tampilkan mampu menghadirkan bentuk-bentuk detail seperti awan, dengan titik yang sangat kecil, mengubah yang nyata menjadi sebuah dunia lain yang menakjubkan, antara ada dan tiada, kehadiran dan ketiadaan. Karya yang mendapatkan penghargaan Honorary Mention dalam Prix Ars Electronica 2014 untuk kategori Computer/Animation/ Film/VFX ini dibuat Anouk De Clercq sebagai kelanjutan dari ketertarikannya pada apa yang disebut ‘unit terkecil’ yang membentuk gambar digital, yaitu titik (dot) yang mengorganisasi sistem gambar digital.

Distributed by LIMA, Amsterdam

THING Video kanal tunggal Single channel video 17’ 2013 Anouk De Clercq. Seniman asal Belgia ini belajar piano di Ghent dan film di Fakultas Seni dan Desain di Universitas Saint-Lukas, Brussels. Karya-karyanya mengeksplorasi peluang audiovisual dari bahasa pemrograman untuk menciptakan berbagai kemungkinan dunia serta karakter arsitektur imaji digital yang kuat. Dia menerima beberapa penghargaan di antaranya Illy Prize di Art Brussels (2005) dan Prix Ars Electronica Honorary Mention (2014). Karyakaryanya telah dipamerkan dalam Tate Modern, Centre Pompidou, Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofia, MAXXI, Centre d’Art Contemporain Genève, Ars Electronica, dan lainnya. Anouk De Clercq juga peneliti di School of Arts University College Ghent. Anouq diperkenalkan oleh Auguste Orts.

Anouk De Clercq studied piano in Ghent and film at the Sint Lukas Brussels University College of Art and Design. Her works explore the audiovisual potential of computer language to create possible worlds, many of which have a strongly architectonic character. She has received several awards, including the Illy Prize at Art Brussels in 2005 and a Prix Ars Electronica Honorary Mention in 2014. Her work has been shown in Tate Modern, Centre Pompidou, Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofia, MAXXI, Centre d’Art Contemporain Genève, International Film Festival Rotterdam, Ars Electronica, among others. Anouk De Clercq is affiliated to the School of Arts University College Ghent as an artistic researcher. Anouk De Clercq is represented by Auguste Orts. www.portapak.be

Thing adalah semesta arsitektur yang tak henti-hentinya memperlihatkan dunianya sendiri. Untuk itu, ‘ada’ hanya sebagai kumpulan titik-titik ketika kamera, atau sudut pandang mengembara ke berbagai tempat. Memang, teknologi yang digunakan dalam Thing tidak memungkinkan berbicara tentang kamera karena terbuat dari scan 3D dari ruang perkotaan. Sebaliknya, karya ini bisa berbicara tentang sudut pandang, tatapan, atau bahkan ingatan virtual yang mengembara menjelajahi arsitektur fiktif dan perjalanan masa lalu dalam pola perkotaan saat ini.

T

hing was designed by computer. Urban landscapes were scanned and transformed into tiny dots creating three dimentional images of buildings and street lanscapes. The high resolution images that he showed reveal detailed shapes, like clouds, in a very microscopic dot. Turning reality into amazing alternative universe between what exist and what does not, what is presence and what is not. Earning Honorary Mention at Prix Ars Electronica 2014 for category Computer/ Animation/Film/VFX, this work was created by Anouk De Clercq who was really interested into what he called a “basic unit” that created digital images – the dots that construct digital imaging system. Thing is an architectural universe that exposes itself continuously. Therefore, “existence” is only a collection of dots, where camera or perspective travels into places. One thing for sure, it was not possible to talk about camera when we mention the technology behind Thing because the artwork was created by 3D scanning of urban landscapes. This work instead is about perspective, observation or even virtual memories which offered voyage on architectural fantasy and pas experience to current urban planning.

25


Arahmaiani & Tamara Shogaolu (Indonesia/Mesir)

“M

enelusuri hubungan energi dan makna kehidupan dari beragam perspektif atau sudut pandang. Menghapus batasbatas konvensional yang terpisah, lalu meleburnya. Menemukan titik temu dan persamaan. Sehingga yang dianggap terpisah atau berbeda di dalam konsep dan pengertian yang abstrak, kini bisa dipertemukan—juga dalam tataran konkret. Sehingga kecenderungan memandang realitas secara ‘mendua’ bisa diintegrasikan.” – Arahmaiani Satu per satu wajah-wajah muncul dari balik kegelapan yang diterangi cahaya lilin. Masingmasing mengucapkan sepatah kata saat api lilin padam. Light, mencoba membawa kembali ingatan pada kisah-kisah di masa lalu. Setidaknya, ada delapan kata kunci yang diucapkan oleh sembilan orang; conscience, coffin, earth, hearth, thief, courage, prayer, dan God. Dua di antaranya mengucapkan kata yang sama, yaitu heart, yang dimunculkan di antara kata earth dan courage.

LIGHT Video kanal tunggal Single Channel Video 4’ 19” 2015

Arahmaiani. Semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung dikenal sebagai seniman performans yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru. Meneruskan studi seni lukis di Academie voor Beeldende Kunst, Enschede, Belanda (1991-1992). Ia banyak membuat karya performans baik yang dipresentasikan secara langsung (live) maupun dikonstruksi dengan video. Karya-karyanya kerap dipamerkan di perhelatan seni rupa kontemporer antara lain di Global Feminism di Brooklyn Museum, New York, AS (2007), Asia Pacific Triennale di Brisbane (1996), Havana Biennale di Cuba (1997), Biennale de Lyon (2000), Sao Paulo Biennale di Brasil (2002) dan Gwangju Biennale di Korea (2002).

Arahmaiani. As a student in Institut Teknologi Bandung, he had been known as a performance artist who is critical to New Order policies. He then restarted his study in painting at Academie voor Beeldende Kunst, Enschede, the Netherland (19911992). He regularly created live performance works as well as constructed on video. His works often showed contemporary visual art exhibitions stage; Global Feminism in Brooklyn Museum, New York, United States (2007); Asia Pacific Triennale, Brisbane (1996), Havana Biennale, Cuba (1997), Biennale de Lyon (2000), Sao Paulo Biennale, Brasil; Gwangju Biennale, Korea (2002).

Sejak tahun ‘80-an, Arahmaiani menggunakan tubuhnya sebagai medium. Beberapa performansnya juga telah di-coding ke dalam video. Ada yang berupa dokumentasi performans yang menempatkan video sebagai medium sekunder, ada pula karya video performansnya yang dengan tegas menjadikan video sebagai medium primer yang juga terlihat dalam karya Lights.

“T

racing the relationship of energy and purpose of life from several perspectives and viewpoints. Removing the conventional boundaries that segregates, then melt it. Finding the intersection and similiarity. So which is considered as detached or different in the abstract concept and sense, now reconciliable —in the concrete level, as well. Thus, the tendency of two-way looking at the reality could be integrated.” - Arahmaiani One by one, the faces appeared from the candle-lit darkness. Each says one word when the flame extinguished. Light trying to bring back the memories of the stories in the past. There are at least eight keywords said by nine people; conscience, coffin, earth, hearth, thief, courage, prayer, and God. Two of them say the same word, heart, which appeared between earth and courage. Since the 80s, Arahmaiani has used her body as medium. Some of her performances has also been coded into video. There are form of performance documentations that puts video as secondary medium, and also video work which explicitly makes video as primary medium as also seen in Lights.

27


Ari Dina Krestiawan (Indonesia)

IRRESISTIBLE DECAY Instalasi video dan objek Object and video installation Dimensi bervariasi Various Dimension 2015

Ari Dina Krestiawan. Bekerja dengan video, stop motion, dan dokumenter. Baru saja menyelesaikan studi magister Seni Urban dan Budaya Industri di Institut Kesenian Jakarta. Tahun 2005 melakukan residensi di El Despacho, Mexico City, Meksiko. Ikut terlibat dalam Zona Pertarungan pada perhelatan Jakarta Biennale XIII: ARENA tahun 2009 dan OK Video Flesh – 5th Jakarta International Video Festival 2011. Ia salah seorang anggota Forum Lenteng dan Lab Laba Laba. Sehari-harinya menjadi pengajar videography, film editing, dan seni eksperimental di Universitas Multimedia Nusantara.

Ari Dina Krestiawan. Works very well with stop motion video and documentary, Ari had just finished her magister study on Urban Art and Industrial Culture at Jakarta Institute of Art. She had her residency in El Despacho, Mexico in 2005. She participated in Zona Pertarungan at the exhibition Jakarta Biennale XIII: ARENA in 2009 and joined OK Video Flesh – 5th Jakarta International Video Festival 2011. She is an active member of Forum Lenteng and Lab Laba Laba. She teaches videography, film editing, and experimental art in Multimedia Nusantara University.

A

A

ri Dina mengumpulkan potonganpotongan film yang tidak terpakai di laboratorium Perum Perusahaan Film Negara (PFN). Alhasil, ia memperoleh 2689 frame seluloid yang sudah rusak (residu). Beragam gambar ia peroleh, tidak jelas dari film apakah potongan seluloid itu berasal. Ia lantas menyusun kembali potongan-potongan seluloid yang tidak berlabel dan minim keterangan isi itu.

ri Dina gathered the unused film cuts from the laboratory of State Film Company (PFN). As a result, he obtained in 2689 celluloid frame that has been damaged (residue). He obtained diverse images and it was not clear from which films the celluloid pieces were. Then he reassembled the pieces of celluloid that were not labeled and had minimal description of the contents.

Potongan seluloid ini, ia ambil dari salah satu ruang Gedung PFN di lantai dua yang dahulunya merupakan tempat pengerjaan pasca produksi film setelah diproses dari original camera negative. Gabungan antara potongan-potongan film yang telah rusak itu, akhirnya membentuk gambar dan narasinya tersendiri yang tidak sama sekali naratif. Tetapi karya ini justru mendorong persoalan lain, persoalan arsip sinema Indonesia, kondisi sejarah bangsa yang diawetkan, perangkat pengarsipan di Indonesia yang tidak memadai dan kondisi suhu di Indonesia yang cukup menyulitkan dalam hal pengarsipan materi seluloid. Irresistible Decay mengajak kita melihat kondisi kearsipan Indonesia yang ‘selalu sakit’ meski sudah berganti rezim. Ari juga memperlihatkan bagimana kondisi arsip tersebut meski terselamatkan, namun kondisinya sudah ‘tidak layak’.

He had taken these celluloid pieces from one of the rooms in PFN’s second floor which once was a place of post-production workmanship of the film after processing from the original negative camera. The combinations of the pieces of damaged films eventually form their own images and un-narrative narratives. But this work encourages other issues instead: the issue of Indonesian cinema archives, the condition of preserved nation’s history, inadequate archiving devices in Indonesia and the temperature conditions that makes it quite difficult to archive celluloid material. Irresistible Decay invites us to see the condition of Indonesia archival which remains “ill” despite of the regime change. Ari also showed despite the survival of some archive, the condition is ‘not feasible’.

29


Ari Satria Darma (Indonesia)

A

ri Satria Darma selalu menggunakan teknik elaborasi antara foto dan animasi sejak 2001. Ari sangat piawai memainkan teknik animasi untuk ‘menghidupkan’ subyek-subyek di dalam foto. Kepiawaiannya masih terlihat dalam karyanya Mati Angin (2015). Mati Angin adalah kiasan yang digunakan ketika keadaan dianggap tidak berdaya lagi. Mandek dan serba tidak jelas. Pembangunan yang tidak pernah berakhir, menjadi pemandangan keseharian di jalan-jalan. Pemandangan perkembangan infrastruktur kota ini, lambat laun menjadi sebuah keadaan yang taken for granted. Kini, kita merasa bahwa tumbuhnya kotakota baru dan kawasan industri di pinggiran ibukota hanya satu alasan yang dibuat untuk mengamini bahwa pembangunan infrastruktur perhubungan, seperti jalan tol dan jalan raya, dianggap mendorong bisnis dan kemajuan ekonomi. Lalu, kesadaran kita terhubung erat dengan aneka pembangunan di segala bidang yang pernah ditempuh pemerintah Orde Baru.

MATI ANGIN Video kanal tunggal Single channel video 3’ 2015

Ari Satria Darma. Menyelesaikan studi Desain Komunikasi Visual di Institut Kesenian Jakarta. Karyakaryanya berupa video dengan pendekatan grafis. Pada 2002, ia menjadi salah satu peserta lokakarya untuk video musik MuVi bersama Oliver Husein dan menghasilkan karya fenomenal berjudul Burn dari band Brisik. Karyanya bersama animasi dari vs Stampbox Halte sebelumnya juga telah dipamerkan di OK. Video (2003). Pada 2006, ia berpameran tunggal pertama kali di ruangrupa. Karyanya, Iqra, menjadi salah satu pemenang di ASEAN New Media Art 2007. Pada 2014, ia terlibat dalam produksi film Rocket Rain yang disutradarai oleh Anggun Priambodo untuk adegan animasi.

Ari Satria Darma. Ari is extremely experienced with animation techniques to bring subjects in photos to life. He continues to expand his talents following his outstanding works like Iqra (2005), The Casting (2014), Pak Kancil, Bangun Pak! (2014) to Mati Angin (2015). In 2002, he participated in a video workshop MuVi with Oliver Husein and produced an impressive work titled Burn from a band called Brisik. His animation work in collaboration with vs Stampbox Halte was featured at OK. Video, (2003). In 2006, he held his first solo exhibition at ruangrupa. His work, Iqra, was chosen as the winner at ASEAN New Media Art 2007. In 2014, he produced animation part for a film production Rocket Rain directed by Anggun Priambodo.

“Alat-alat berat tersebar di beberapa jalan utama Jakarta. Mematung, memajang dirinya sepanjang jalan. Tangan-tangan nakal oknum, membuat alat-alat berat itu seolah mati angin menunggu dioperasikan. Alat-alat besar yang tidak terlihat menjadi solusi tapi sebaliknya. Menambah masalah. Tata kota yang tidak terencana adalah penyumbang terbesar masalah, alat-alat berat menjadi hiasan perubahan kota dengan masalahnya sendiri.” – Ari Satria Darma.

A

ri Satria Darma has been constantly using elaboration technique of photo and animation since 2001. Ari is highly experienced when it comes to playing around with his animation technique to making his photo subjects look ‘alive’. His achievement can be seen in his latest work Mati Angin (Stagnation) (2015). Mati angin is a metaphor used to describe a powerless situation... trapped and feeling uncertain. It’s like an endless development that has become everyday’s life. The city’s slow growth on infrastrcture growing infrastructure developed into situation that is taken for granted. Now it feels like we were led to believe that the rise of new cities and industrial parks in the suburban areas are merely reasons to support the transportation infrastructure (highway, toll roads). Development is believed to be the perfect tool to push for economic growth. “Heavy machineries are available in various Jakarta’s main streets. They just stood there, exposing themselves to the sun along the streets. Corrupted officials are making machineries idle while waiting for the machineries to be used. They are not seen as solution but more like additional problems. Unplanned urban planning is the biggest contributor that causes problem, heavy machineries is just watching from the side. spectacles.” – Ari Satria Darma.

31


Ary ‘Jimged’ Sendy (Indonesia)

A

ry Sendy menempatkan makna “bertanya” untuk memberikan ruang berpikir secara kritis kepada ketiga temannya. Walau jawabannya nampak samar, Sendy ingin menunjukkan bahwa ada kesamaan sifat dengan apa yang dikatakan memori. Memori kolektif yang dimiliki oleh manusia yang lahir di masa pemerintah Orde Baru dan dibesarkan setelah rezim Soeharto itu runtuh, seakan ikut merasakan makna euforia Reformasi 1998. Pertanyaan diawali dengan bagaimana rasanya hidup di zaman Orde Baru, peristiwa kerusuhan Mei 1998, informasi seperti apa yang dulu mereka konsumsi? Bagaimana sekarang ini informasi ‘apapun bisa diakses’, hingga pertanyaan bagaimana mereka sebagai generasi baru melihat generasi yang dibesarkan di masa pemerintahan Orde Baru?

TEMANKU BERKATA Video kanal tunggal Single channel video 20’ 51” 2015

Ary “Jimged” Sendy. Tinggal dan lahir di Jakarta. Dia belajar di Institut Kesenian Jakarta, Fakultas Film dan Televisi, dengan fokus pada bidang studi Fotografi. Dia banyak bekerja menggunakan media foto dan video. Pada 2006 terlibat dalam proyek fotografi Top Collection 2 bersama sejumlah seniman dari Jakarta dan Yogyakarta. Dia membuat serangkaian foto sesi yang memanipulasi realitas, menawarkan sebuah kenyataan baru, sebuah impersonasi, menjadi siapa pun yang diinginkan, misalnya presiden. Pada 2009, ia berpameran tunggal dengan tajuk Slimmer di RURU Gallery dengan kurator Ade Darmawan. Karya videonya yang berjudul Happy Our dipamerkan dalam Indonesia ARTS Festival 2014.

Ary “Jimged” Sendy. Ary Sendy was born and live in Jakarta. He studied photography at Film and Television Departement at Jakarta Institute of Art. He works mostly with photos and video as media. In 2006 he participated in a photography project Top Collection 2 along with artists from Jakarta and Yogyakarta. He made a photographic series which manipulated reality and offers a new encounter, an impersonate, to become whoever you want to me – a president, for example. In 2009, he had his first solo exhibition Slimmer at RURU Gallery, curated by Ade Darmawan. His video work Happy Our was included in Indonesia ARTS Festival 2014.

Semua jawaban mengandalkan kemampuan mengingat temannya agar dapat mengutarakan kembali sebuah fakta atau keadaan menjadi sebuah analisis. Ia juga seakan menuntut suatu jawaban dengan menggunakan informasi yang telah diperoleh sebelumnya. Temannya dihadapkan pada pemecahan masalah sederhana dengan menggunakan pengetahuan yang mereka miliki.

A

ry Sendy prepares questions for his three friends to create a critical space of thinking. The answer seems sketchy but Sendy is eager to show the similarity of traits called memory. A collective memory shared by those who were born under the New Order regime and brought up after the fall of the regime which also shares the euphoria of 1998’s Reformation. The first question is how does it like to live under the New Order regime, the May 1998 riot and what kind of information that they consumed back then? How today any information is accessible and to questions for them, as the new generation, observing the older generation who brought up under the New Order regime. Every answer relies on the capability to memorize so that his friends can restate facts and situations as an analysis. He demands an answer by using all gathered information. His friends were confronted with a simple problem-solving by using their existing knowledge.

33


Bagasworo Aryaningtyas (Indonesia)

BILAL Video kanal tunggal Single channel video 3’ 46” 2006 Bagasworo Aryaningtyas. Menempuh pendidikan Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Ia salah satu anggota Forum Lenteng dan terlibat dalam beberapa proyek seni yang dibuat oleh Forum Lenteng, seperti proyek fotografi JEDA (2005) dan proyek film Cerpen Untuk Film (2008). Videonya Bilal ditayangkan di International Film Festival Rotterdam (2008), International Short Film Festival Oberhausen (2009), dan menjadi finalis Indonesia Art Award 2010. Tahun 2010-2011, menjadi salah satu peneliti dalam penerbitan buku Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Saat ini, ia bekerja sebagai peneliti Festival Teater Jakarta, Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta.

Bagasworo Aryaningtyas. He took his journalism study at Jakarta Institute of Social Sciences and Political Studies (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, IISIP). He shared several art projects in Forum Lenteng, an organization which he’s linked with, such as photography project JEDA (2005) and a film Cerpen Untuk Film (2008). His video Bilal was featured in International Film Festival Rotterdam (2008), International Short Film Festival Oberhausen (2009) and became the finalist in Indonesia Art Award 2010. In 2010-2011, he was one of reseachers for a book Seni Rupa Indonesia Dalam Kritik dan Esai which was published by Jakarta Art Council. Currently he is working for Jakarta Theater Festival and Committee of Theater in Jakarta Art Council.

T

ayang diam dalam interior rumah ibadah kaum Muslim dan suara bedug yang menjadi ciri khas pembuka adzan di Indonesia berjalan sekitar duapuluh detik durasi pembuka. Sesosok laki-laki berambut Mohawk masuk ke dalam bingkai. Ia kemudian mengumandangkan adzan dengan suara yang bukan miliknya (lip sync)—rekaman suara adzan Maghrib diambil dari salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Tayangan berdurasi empat menit ini berjalan dalam satu adegan utuh tanpa jeda. Bilal menjadi salah satu video yang dalam lima tahun terakhir ini dipresentasikan di beberapa festival film dan pameran seni rupa. Salah satunya dalam The 55th Internationale Kurzfilmtage, Oberhausen, dalam tema Unreal Asia (2009). Video ini merefleksikan kondisi sosial masyarakat Asia, khususnya Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk muslim paling banyak di dunia dengan beragam aliran. Performans Bagasworo sebagai tokoh dan juga pembuat video tersebut berhasil mengomunikasikan persoalan identitas melalui dua ideologi yang dibenturkan dalam satu bingkai, hingga memunculkan makna baru dari refleksi zaman kebebasan berekspresi pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Video ini juga mengkritik sentralisasi penyiaran televisi di Indonesia.

A

still screen from inside the mosque and a traditional drum pounding prior to prayer chant or adzan lasts for twenty seconds for the opening. A man comes, with Mohawk hairstyle, walks inside the frame. He then lip-syncs adzan – the original sound comes from TV. This continuous footage lasts for four minutes. Bilal is one of the most heavily-screened videos in the last five years in various film and art festivals. It was featured on the 55th Internationale Kurzfilmtage, Oberhausen, under the theme Unreal Asia (2009). This video reflects the social situation of Asian society, in Indonesia in particular as a Moslem majority country. Bagasworo’s performance as the character as well as the video maker is able to articulate questions of identity of two beliefs within one frame. It sparks a new meaning and reflects the age of free expression after the fall of the New Order regime. This video also criticized the centralistic television broadcasting in Indonesia.

35


(Pakistan) Basir Mahmood (Indonesia)

My Father Video kanal tunggal Single channel video 2’ 12” 2010

Basir Mahmood. Belajar di Lahore di Beaconhouse National University dan menerima beasiswa selama setahun dari Akademie Schloss Solitude di Stuttgart, Jerman (2011). Ia menggunakan medium video, film atau foto dengan cara menjalin berbagai kode dari temuan-temuannya atas sejarah dan realitas sosial. Karya-karyanya telah dipamerkan di Palais de Tokyo di Paris (2012), III Moscow International Biennale for Young Art di Rusia (2012) dan baru-baru ini mendapat penghargaan dalam The 18th Contemporary Art Festival Sesc_Videobrasil de São Paulo (2013).

Basir Mahmood. He studied at Beaconhouse National University, Lahore dan received full scholarship for a year long from Akademie Schloss Solitude in Stuttgart, Germany, in 2011. He uses medium like video, film or photo and weaves various code from his findings on history and social reality. His works have been displayed in at Palais de Tokyo in Paris, III Moscow International Biennale For Young Art in Russia. Just recently, he was awarded in 18 Contemporary Art Festival Sesc_ Videobrasil, São Paulo, 2013. www.basirmahmood.com

“A

ku dilahirkan memiliki ayah yang 45 tahun lebih tua daripada aku. Saat aku beranjak dewasa dan semakin kuat, aku melihat ayah menjadi lebih tua dan lemah. Ayahku adalah ekspresi dari impresi yang sangat personal tentang hubunganku dengan ayahku”. - Basir Mahmood Video ini menunjukkan seorang tua yang mencoba memasukkan benang ke lubang jarum: sebuah tugas yang mudah, tapi tidak untuk seseorang yang sudah lanjut usia, seperti yang dipertontonkan video ini. Sepanjang video ini, sang ayah terus-menerus mencoba untuk memasukkan benang ke lubang jarum tapi tak juga berhasil. Basir memilih ukuran display kecil secara sengaja dengan memfilmkan kegiatan sebuah lubang jarum yang dimasuki benang; ukuran kecil jarum tersebut dimaksudkan untuk menggarisbawahi intesitas sebuah aktivitas yang mungkin kelihatannya remeh dan tidak penting. Sementara, pengulangannya didorong oleh harapan yang sia-sia belaka. Hal yang pertama, menandakan perjuangan hidup sehari-hari, yang biasa kita lihat sebagai hal yang sepele, tapi merupakan hal yang penting dan layak diperjuangkan bila dilihat dari konteks waktu dan kefanaan. Hal yang terakhir, menandakan keruntuhan dan penurunan kemampuan manusia secara bertahap seiring berjalannya usia dan bagaimana kemampuan harapan dan tekad pun melarut ke dalam kabut senja kehidupan.

“I

was born to a father who was fortyfive years older than me, and as I grew up and grew stronger, I saw him grow older and weaker. ‘My Father’ is an expression of a very personalized impression of my relationship with my father.” - Basir Mahmood The video shows an old man trying to thread a needle: a simple task per se, but not for an old man, as the video would show. Through the course of the video, the old man continues to attempt to thread the needle but cannot succeed. Basir choses a small display size deliberately by filming the act of a needle being threaded: the small size of the needle is intended to underscore the intensity of an action that would appear as every day, and therefore insignificant, and its repetition as driven merely by the vanity of hope. The former signifies struggles of everyday life, which we usually view as trivial, but which are struggles of importance and worth, nevertheless, when viewed within the context of time and mortality. The latter signifies the gradual crumble down of human abilities with age, and how even the faculties of hope and determination dissolve into the mists of life’s twilight.

37


A

bequiet (Indonesia)

ksi comeback band crossover punk-hardcore asal Jakarta, akan mengingatkan ‘Borok’-nya (sebutan untuk loyalis penyuka band) yang sekian lama kehilangan sosok mereka. Dalam setahun terakhir, band yang dibentuk pertengahan tahun ’90-an ini kembali bermain dari panggung ke panggung dengan penampilan dan musik yang tidak berubah. Sejak tahun ’90-an, bequiet memainkan bebunyian dan lirik yang kental dengan bagaimana anak muda Jakarta berinteraksi dengan kotanya dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kehidupan pribadi para personilnya, hingga kehidupan komunal mereka di kampus dan tongkrongan. Musik-musik mereka tidak pernah menyentuh persoalan politik negara secara langsung, seperti lazimnya band-band punk. Tetapi, lebih merelasikan bagaimana dampak politik penguasa bagi kehidupan sehari-hari anak-anak muda. Pada kesempatan performans multimedia kali ini, mereka akan meluncurkan album ke-4 yang berisi lagu-lagu lama maupun lagu-lagu terbaru, tetap dengan ciri khas mereka merelasikan bagaimana kehidupan anak-anak muda sekarang ini. Performans bequiet juga menghadirkan artwork dan dokumentasi mereka yang digabung dalam satu paket performans yang didukung dengan artistik panggung bernuansa ’90-an.

AGE OF DINOSAUR Performans multimedia Multimedia performance 60’ 2015 Sunday 14 June 2015 19.30 at Galeri Nasional Indonesia

bequiet. Proyek musik yang dibentuk pertengahan tahun ’90-an ketika empat seniman; Jimi Multhazam, Reza ‘Asung’ Afisina, Henky Sulaycay (Ekay), dan Henry Foundation, masih belajar di Institut Kesenian Jakarta. Sehari-harinya, masing-masing personil bequiet berkutat dengan beragam aktivitas seni di Jakarta.

bequiet. A musical project founded in the mid 1990s when four musicians, Jimi Multhazam, Reza “Asung” Afisina, Henky Sulaycay (Ekay) and Henry Foundation, were still studying at the Jakarta Institute of Art. Each of these bequiet members is active various art activities in Jakarta.

T

he Jakarta punk-hardcore band’s crossover and comeback will remind their boroks (the band’s loyalists) who have long missed it to the good old days. Within the last year, this band founded in the mid 1990s has played again from one stage to the next with its old ways of performing and music. Since the 1990s, bequiet has played the sounds and lyrics that represent how young Jakartans interact with the city in their daily lives. These include the personal lives of the band members, and their communality in campus and their haunts. Their music never touches directly the political state of affairs like other punk bands but narrates the political impact of the ruling elites to youth daily life. In this multimedia performance, they will launch their fourth album comprising old and new tracks, attesting their characteristics of being relevant to the youth of today. bequiet’s performance will also present their artwork and documentation in one presentation package supported by a 90s style stage artistry.

39


M

Biro Arsitek (Indonesia)

useum Penerangan dibangun pada 1993 oleh Presiden Soeharto. Salah satu museum penting penanda kejayaan pemerintahan Orde Baru. Museum ini menyimpan koleksi arsip perkembangan sejarah penerangan sejak pergerakan nasional hingga Indonesia modern. Berbeda dengan Museum Telekomunikasi, yang juga dibangun di kawasan Taman Mini Indonesia Indah yang menghadirkan perkembangan sejarah informasi dan telekomunikasi dari sudut ilmu pengetahuan (sains), Museum Penerangan lebih menekankan penggunaan teknologi media informasi dan telekomunikasi seperti, film, televisi, radio, dan media massa cetak sebagai alat penerangan masyarakat, beserta sejarah tokoh-tokoh di baliknya.

SAMBUNG RASA Video interaktif Interactive Video 2015

Biro Arsitek. Dengan kepercayaan terhadap ruangwaktu sebagai bahan mentah yang bisa terus diolah dan pandangan terhadap manusia sebagai pengguna (bukan cuma penonton) dari karya-karya mereka, Farid Rakun mendirikan studio murtad-disiplin Biro Arsitek pada 2015. Lewat pola praktik kolaboratif dan kolektif yang menakdiri arsitektur sebagai sikap dasar berkesenian mereka, Biro Arsitek lebih jauh merayakan arsitektur sebagai sebuah disiplin ilmu, bukan lagi sekadar profesi yang hadir hanya demi memenuhi tuntutan pasar.

Biro Arsitek. Farid Aditama Rakun believes that time and space are raw elements that could continuously be reinvented. He also believes that people are user, not just spectators, of their works. In 2015, Farid established a non-disciplinary studio Biro Arsitek. They use architecture as the baseline of their arts, with patterns of collaborative and collective practices. Biro Arsitek wants to celebrate architecture as a discipline, not just an occupation that exists only to serve the market.

Sambung Rasa adalah sebuah usaha mengaktifkan kembali koleksi Pidato Kepresidenan Soeharto dan Kementerian Harmoko milik Museum Penerangan yang beroperasi langsung di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Karya interaktif ini mencoba mengajak pengunjung pameran untuk mereka ulang beberapa pidato, sambutan, pengarahan, dan ceramah terpilih. Kesadaran akan kepemilikan suara dan bahasa, serta kapasitas sebagai seorang propagandis pun digarisbawahi. Karya ini akan bermain dengan pengetahuan, ingatan, dan fantasi bagaimana menjadi seorang propagandis.

M

useum of Information was built by President Soeharto in 1993 to mark the glory of New Order regime. This museum holds a collection of archives that record the history of information from the time of national movement to the modern time. Unlike Museum of Telecommunication that exposes the history of telecommunication and information from the perspective of science, the Museum of Information emphasizes on the use of information and telecommunication technology in films, television, radio and mass media as a tool for public information. It also puts a spotlight on the history of its key persons. Sambung Rasa is an attempt to re-activate the collections of Soeharto’s presidential speeches and the Ministry of Information archives under Harmoko era. This interactive creation invites the audiences to re-establish some of speeches, remarks, briefings and selected lectures. It plays around with the ownership of sounds and languages and also underlines the capacity as propagandist. This invention works among knowledge, memories and fantasies on becoming a propagandist.

41


B

Brisik (Indonesia)

risik sangat terpengaruh Napalm Death era Scum dan Los Crudosdikenal dengan musik cepat dengan lirik-lirik keseharian yang terinspirasi lingkungan pergaulan. Aksinya merupakan hasil perselingkuhan grindcore-punk. Mereka merespon semua peristiwa aktual pada eranya, tepatnya pada ‘2000-an. Saat itu, generasi kota mulai dipengaruhi obat-obatan terlarang dan Brisik dengan apik merespon peristiwa tersebut dengan menghadirkan lagu Mati karena Nipam. Dalam performans multimedia kali ini, Brisik akan menyajikan materi berupa lagu-lagu lama maupun lagu-lagu terbaru, tetap dengan ciri khas mereka. Namun, akan ada sedikit kejutan dalam penampilan sekembalinya ke panggung. Performans Brisik juga menghadirkan visualisai digital kekinian yang menabrak artistik panggung bernuansa ’90-an.

B

risik was very influenced by Scumera Napalm Death and Los Crudos, known as fast-tempo music with the daily lyrics which inspired by milieu. Their action was the result of grindcore-punk mixing style. They responded every actual phenomenon at their era, preciesly at 2000s. At that time, urban people was affected by drugs and Brisik responded that thing well by releasing Mati Karena Nipam song. In this multimedia performance, Brisik will present their works, both of old and new songs and still with their own character. However, there will be little surprise at their way back to the stage. The Brisik performance will also present contemporary digital visualization colliding the artistic layout of the 90s shades stage.

43

UNTITLED Performans multimedia Multimedia performance 15’ 2015 Sunday 14 June 2015 19.30 at Galeri Nasional Indonesia

Brisik dibentuk di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sekitar ‘2000-an oleh Tiar Sukma Perdana (Cocot) vokalis yang juga gitaris, dan drummer Situs Sitepu (Sis). Nama Brisik diambil dari celetukan Jimi (bequiet, the Upstairs) ketika melihat latihan mereka. Pada 2001, Brisik melahirkan album pertamanya berjudul Ngentot yang diproduksi secara mandiri. Pada 2005, kelompok musik ini memutuskan untuk menambah lagi personil mereka Muhammad Taufiq (Emte) hingga sekarang. Saat ini Brisik dalam proses pembuatan album kedua.

Brisik was founded in Jakarta Institute of Arts arround 2000s by Tiar Sukma Perdana (Cocot) as vocalist, guitarist with the drummer, Situs Sitepu (Sis). The Brisik name was taken from Jimi’s utterance (bequiet, the Upstairs) while Jimi watching they were practicing. In 2001, Brisik launched their first album tittled Ngentot as an independent production. In 2005, this music group decided to add their personnel Muhammad Taufiq (Emte) as yet. Now Brisik on their process of making second album.


Carlos Motta (Colombia)

SIX ACTS: AN EXPERIMENT IN NARRATIVE JUSTICE Instalasi video enam kanal Six channel video installation Durasi bervariasi Various duration 2010 Carlos Motta. Seniman multi-disiplin yang karyanya banyak membicarakan masalah seksualitas, identitas gender, budaya minoritas, politik, dan agama. Dalam pencariannya menemukan narasi tandingan terhadap sejarah yang dominan dari perspektif yang tertindas, ia banyak bekerjasama dengan akademisi, aktivis, seniman, dan peneliti di seluruh dunia. Karya Motta telah tampil dalam berbagai festival internasional di antaranya, di Tate Modern London; Museum Guggenheim dan MoMA/PS1 Contemporary Art Center di New York. Tahun 2014 lalu, Motta mendapatkan penghargaan Future Generation Art Prize of the PinchukArtCentre di Kiev, Ukraina.

Carlos Motta. A multi-disciplinary artist. Some of his works explore sexuality, gender identity, and cultural, politic and religous minority. His work draws upon political history in an attempt to create counter narratives that recognize suppressed histories, communities and identities. In this manner he worked together with academics, activists, artists, and scientists across the globe. Motta’s works have been presented internationally in venues such as Tate Modern, London; The New Museum, The Guggenheim Museum and MoMA/PS1 Contemporary Art Center, New York, In 2014 won prize at Future Generation Art Prize of the PinchukArtCentre in Kiev, Ukraine. www.carlosmotta.com

D

isandingkan dengan jalannya kampanye pemilihan presiden di Kolombia, Six Acts: An Experiment in Narrative Justice bersumber dari serangkaian aksi performans di alun-alun kota Bogotá. Enam aktor dengan latar belakang etnis dan sosial yang berbeda membacakan pidato-pidato perdamaian yang suara aslinya dibawakan oleh enam pemimpin politik sayap kiri dan liberal Kolombia (Jorge Eliécer Gaitán,Luis Carlos Galán, Bernardo Jaramillo Ossa, Jaime Pardo Leal, Carlos Pizarro and Rafael Uribe Uribe), yang dihabisi dalam 100 tahun terakhir ini karena ideologi politik mereka. “Babak-babak” ini berfokus pada kebutuhan untuk mengingat pembasmian sistematis terhadap suara-suara yang berani menentang kelas penguasa dengan mengartikulasikan sudut pandang yang berbeda. Suara-suara itu juga telah mengutuk nama-nama mereka yang bertanggung jawab atas sejarah Kolombia yang penuh perulangan kekerasan dan korupsi politik. Memanfaatkan gagasan tentang “keadilan naratif”, yaitu keadilan dari perspektif pengalaman estetis alih-alih konsep normatif, karya ini menawarkan penggalian ingatan kolektif untuk menekankan potensi transformatifnya.

S

et against the 2010 presidential election campaign in Colombia, Six Acts: An Experiment in Narrative Justice is based on a series of performative actions in public squares in Bogotá. Six actors of different social and ethnic backgrounds read peace speeches originally delivered by six Colombian liberal and left-wing political leaders (Jorge Eliécer Gaitán,Luis Carlos Galán, Bernardo Jaramillo Ossa, Jaime Pardo Leal, Carlos Pizarro and Rafael Uribe Uribe) who were assassinated in the last 100 years because of their political ideology. These “acts” focused on the need to remember the systematic elimination of voices that have dared to oppose the ruling order by articulating their differing points of view and that have denounced by name those responsible for Colombia’s repetitive history of political corruption and violence. Drawing upon the notion of “narrative justice;” that is, justice from the perspective of an aesthetic experience instead of a normative concept, this work offers an exercise of collective memory to underscore its transformative potential.

45


Cecil Mariani (Indonesia)

Dengan menggali pola narasi mitosmitos perjalanan kepahlawanan ala Joseph Campbell, urutan presentasi ini adalah upaya singkat meretas peranan seniman dalam narasi besar kepahlawanan kemanusiaan, sekaligus relasi percintaannya dengan publik. Apakah seni juga kisah kepahlawanan? Apakah seniman itu pahlawan? Apakah kesiangan? Kapan publik sesungguhnya adalah jagoan dan seniman sidekick-nya yang setia. Apa saja yang membunuh jagoan dan menculik kekasihnya sebelum perjalanannya rampung? [...] Narasi apa yang mengubah perilaku mencipta objek seni menjadi laku memproduseri budaya, sekaligus merelevankan praktiknya?

UNTITLED Video kanal tunggal Single channel video 3’ 2015

Cecil Mariani. Pada 2011, ia bersama dua orang sahabatnya membuat proyek penggalangan beasiswa, Tua-Tua Sekolah. Ia kemudian melanjutkan program Master of Fine Arts Design, Designer as Author, School of Visual Arts, New York, Amerika Serikat yang hanya menerima 20 mahasiswa per tahun. Sekembali dari studinya di Amerika Serikat, ia bekerja sebagai desainer dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta hingga sekarang. Pernah mendapat penghargaan Outstanding Winner for Miscellaneous Category dari 10th Design Competition, How Design Magazine, USA, 2002. Pada 2009 ia terlibat dalam Jakarta Biennale XIII-SIASAT dalam Zona Pertarungan.

K

arya ini adalah potongan adaptasi presentasi keynote untuk diskusi berjudul “Rekayasa dan Reka Cipta Sistem (Dagang) Makna” yang disajikan dalam rangkaian Program diskusi “SARJANA MUDA” pada 5 Mei 2015 di ruangrupa. Cuplikan ini adalah bagian dari upaya mencari pemahaman relevansi desain dan seni dalam mengintervensi sistem yang niscaya melebar ke upaya memahami sistem pembentukan dan perdagangan makna dan bagaimana mengintervensi cara bertahan hidup.

Cecil Mariani. In 2011, she and her two best friends initiated a fund-raising project for scholarship called, Tua-Tua Sekolah. Later on she continued her study in a program Master of Fine Arts Design, Designer as Author, School of Visual Arts, New York, United States. This school only takes 20 students per year. Once her study finished, she began to work as a designer and teaches in Jakarta Institute of Art to date. She won an award Outstanding Winner for Miscellaneous Category from 10th Design Competition, How Design Magazine, USA, in 2002. In 2009 she participated in Jakarta Biennale XIIISIASAT at Zona Pertarungan (or Battle Zone).

T

he artwork is an adaptation piece of the keynote presentation for a discussion titled “Engineering and Copyrights of Meaning (Trade) System,” presented within a series of discussion program titled “SARJANA MUDA” (Young Bachelor) on May 5, 2015 at Ruangrupa. The footage is part of an effort in searching the understanding of design and art relevance in intervening the system, which in turn spread into the efforts of understanding the system of the establishment and trade of meaning, as well as how to intervene ways of survival. By exploring the narration pattern of Joseph Campbell’s heroic journey myths, the sequence of the presentation is a short effort in hacking into the role of artists in a great narration of humanitarian heroism, as well as its romantic relationship with the public. Is art also a heroic story? Is an artist also a hero? Is it too late? When does the essential public is the hero and the artist becomes their loyal sidekick. What kills a hero and took his lover before the end of his journey? The shifting role from a heroic narration has also shifted from one single hero to many heroes. From one hero to many, now it is from many to many, from user to producer. What kind of narration, which changes the behavior of creating an artistic object, to become the practice of producing culture as well as making the practice relevant?

47


Chabib Duta Hapsoro & M.R. Adytama Pranada (Indonesia)

THE INDONESIAN PAVILION: THE ROAD TO DUBAI Instalasi video Video installation 2015

Chabib Duta Hapsoro. Kurator dan penulis, bekerja untuk Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Bandung. Pada 2014 mengkuratori Mochtar Apin: Sang Petualang dari Gelanggang di Selasar Sunaryo Art Space. Di tahun yang sama ia menyelesaikan pendidikan magisternya di Institut Teknologi Bandung. M.R. Adytama Pranada adalah seniman yang selalu bereksperimen dengan medium dan ruang, dengan mendayagunakan potensi memori dan persepsi orang-orang. Charda berpartisipasi dalam MUSLIHAT OK Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013 di Galeri Nasional Indonesia.

Chabib Duto Hapsoro. He’s a currator and author who works for Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Bandung. One of his curatorial projects was Moctar Apin: Sang Petualang dari Gelanggang at Selasar Sunaryo Art Space in 2014. At the same year, he finished his Master’s study at Bandung Institute of Technology. M.R. Adytama Pranada. He’s the type of artist who constantly explores possibilities to experiment through different medium and spaces, exploits reminiscences and people’s perceptions. Charda has been participating in exhibitions in national or international level, such as MUSLIHAT OK Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013 at Galeri Nasional Indonesia.

P

ada dekade ’70-an, sekelompok seniman dengan gairah berkesenian yang unik terbentuk. Kelompok yang menamakan dirinya Decenta ini juga mensintesakan prinsip seni rupa modern dan tradisi. Mereka juga membaurkan dan menggabungkan prinsip-prinsip seni rupa dan desain. Karya seni rupa, rancang grafis, elemen estetik, monumen dan lainlain dicari dan dikonsumsi. Terutama oleh golongan kelas menengah Indonesia yang saat itu sedang tumbuh perekonomiannya pasca boom minyak dan masifnya investasiinvestasi asing di Indonesia. Kelompok ini pun menciptakan sejumlah elemenelemen estetik di beberapa gedung-gedung penting, seperti; Gedung Convention Hall, Ruang Sidang Gedung DPA, Komplek Makam Presiden Sukarno, Kompleks Makam Keluarga Presiden Soeharto, dan gedunggedung milik pemerintah lainnya. Negara akhirnya memanfaatkan modal kultural dan modal simbolik Decenta untuk kepentingan pelembagaan identitas keindonesiaan. Berawal dari penelitian Chabib Duta Hapsoro tentang kelompok Studio Decenta yang muncul tahun ’70-an, karya The Indonesian Paviliun—The Road to Dubai yang dikerjakannya secara kolaboratif bersama M.R. Adytama Pranada, mencoba mengimajinasikan bagaimana seandainya identitas keindonesiaan yang mencampur unsur moderen dan tradisi yang lekat pada karya-karya seni rupa dan desain Decenta digunakan di Paviliun Indonesia di Expo Dubai 2020 mendatang.

I

n the 1970s, a group of artists with unique passion of art was founded. This group calling themselves Decenta synthesizes modern and traditional art principles. They also blend and mix art’s and design’s principles. The Indonesian middle class at that time that developed thanks to the oil boom and the massive foreign investments sought and consumed works of art, graphic design, monument’s aesthetical element, etc. This group then created a number of aesthetical elements in several important buildings, such as Jakarta Convention Hall, the Assembly Hall of the Supreme Advisory Council, President Sukarno’s cemetery complex, President Soeharto’’s family cemetery complex and other government’s buildings. The state eventually makes use of Decenta’s cultural and symbolic capitals for the sake of the institutionalization of Indonesianness identity. Starting from Chabib Duta Hapsoro’s research [...], what if the identity of Indonesia that mixes the modern and traditional in Decenta’s art and design is used in the Indonesian Pavilion at the upcoming Expo Dubai 2020.

49


Che Onejoon (South Korea)

MANSUDAE MASTER CLASS Instalasi video tiga kanal Three channels video installation 2014

Che Onejoon telah merekam segala proses modernisasi yang terjadi di Korea yang belum seutuhnya diatasi oleh fotografi. Sementara itu, ia juga telah merilis karya mengenai trauma rezim militer dalam format film pendek dan instalasi. Selama beberapa tahun terakhir, ia telah bekerja pada sebuah proyek yang berkaitan dengan monumen dan arsitektur di Afrika yang dibangun oleh Korea Utara. Berjudul “Mansudae Master Class”, proyek ini disajikan dalam film panjang, foto, dan instalasi. Ia telah berpartisipasi dalam sejumlah pameran di seluruh dunia, seperti Atelier Hermès, Palais de Modul Tokyo, Taipei Biennale, New Museum Triennial, dan Pavilion Korea di Venice Architecture Biennale.

Che Onejoon has recorded the process of Korean modernization which Korea hasn’t fully overcome with photographs. Meanwhile, he has also released the works dealing with trauma of the military regime in short films and installations. For the last few years, he has been working on a project related to monuments and architectures in Africa that North Korea has built. Titled “Mansudae Master Class”, the project is presented in a feature-length film, photographs, and installations. He has participated in a number of exhibitions throughout the world at venues such as Atelier Hermès, Palais de Tokyo Module, Taipei Biennale, New Museum Triennial, and the Korean Pavilion at the Venice Architecture Biennale.

K

arya Mansudae Master Class dibuat oleh Che Onejoon sejak 2014 dan rencananya akan terus dikembangkannya hingga tahun 2016. Karya ini membicarakan bagaimana estetika seni yang terdapat pada monumen-monumen politis buatan Mansudae Art Studio hadir di Afrika. Didirikan pada 1959 oleh Kim Il Sung, Mansudae Art Studio memainkan peran sentral dalam meningkatkan citra nasional Korea Utara dengan memproduksi patung dan gambar Para Pemimpin yang Terhormat. Sedang, Mansudae Overseas Projects merupakan divisi komersil dari Mansudae Art Studio. Dimulai dengan mendirikan Monumen Tiglachin di Etiopia pada 1974, kemudian membangun bangunan-bangunan besar untuk masyarakat di sejumlah negara-negara Afrika seperti Madagaskar, Togo dan Guinea, yang kesemuanya bebas biaya. Bahkan pada 2010, Mansudae Overseas Projects mendapat perhatian dunia ketika membangun patung perunggu raksasa African Renaissance Monument sebagai simbol lahirnya era baru Afrika di Dakar, ibukota Senegal. Estetika Juche Art yang berarti ‘kemandirian’ dan menjadi ciri khas estetika Korea Utara terdapat pada monumen-monumen berskala besar itu. Di dalamnya memperlihatkan realitas sistem sosialis, ‘perwakilan’, dan juga migrasi estetik Korea Utara ke Afrika.

T

he Mansudae Master Class was a working project by Che Onejoon since 2014 and will be continued until 2016. This work discusses how aesthetics of art contained in the artificial political monuments Mansudae Art Studio that is present in Africa. Founded in 1959 by Kim Il-sung, Mansudae Art Studio plays a central role in improving the North Korean national image with producing sculpture and drawings of The Honorable Leaders whilst Mansudae Overseas Projects is a commercial division of the Mansudae Art Studio. It began with the establishing of Tiglachin Monument in Ethiopia in 1974, then construct large buildings for the public in several African countries, such as Madagascar, Togo, and Guinea, all free of charge. In 2010, the Mansudae Overseas Projects received worldwide attention when they build a giant bronze statue called the African Renaissance Monument as a symbol of the birth of a new era of Africa in Dakar, capital of Senegal. Art Juche aesthetic means ‘independence’ and it became the aesthetics character of North Korea found on those large-scale monuments. It shows the reality of the socialist system, ‘representation’, and also North Korea aesthetic migration into Africa.

51


Chto Delat (Russia)

Perestroika Songspiel

S Partisan Songspiel

SPONGSPIEL TRIPTYCH 2008-2010 Perestroika Songspiel. Victory over the Coup 2008. 26’ 23” Partisan Songspiel. A Belgrade Story 2009. 29’ 27” Tower Songspiel 2010. 36’ 52” Video kanal tunggal Single channel video Chto Delat. Nama ini diambil dari judul novel karya seorang penulis Rusia abad ke-19, Nikolai Chernyshevsky, Chto Delat? atau Apa yang harus dilakukan? Nama ini juga merupakan nama sebuah penerbitan surat kabar internasional yang terbit pada Mei 2003. Terbitan itu dipilih menjadi nama kolektif yang didirikan di Petersburg oleh sekelompok seniman, kritikus, filsuf, dan penulis dari St. Petersburg, Moskow, dan Nizhny Novgorod dengan tujuan menggabungkan teori politik, seni, dan aktivisme. Selain surat kabar, kolektif Chto Delat memproduksi beragam media, seperti film, video, radio, musik, teater, hingga proyek-proyek seni yang telah dipresentasikan di berbagai perhelatan internasional.

Chto Delat. The name was taken from a novel Chto Delat? (What is to Be Done) by a Russian author Nikolai Chernyshevsky who lived in 19th century. It was also a publication’s name of international newspaper published in May 2003. The publication tittle was taken as collective name which was established by a group of artists, critics, philosopher, and authors from St. Petersburg, Mosco, and Nizhny Novgorod. The group intended to link political sciences, art, and activism. Collective Chto Delat produces diverse media such as film, video, radio, music, play, etc. Its work of arts have been featured in several international exhibition.

ongspiel Triptych merupakan proyek Chto Delat yang dikerjakan rentang 20082010. Film musikal ini terbagi menjadi tiga bagian: Perestroika Songspiel. Victory over the Coup, Partisan Songspiel. A Belgrade Story, dan Tower Songspiel. Ketiga seri ini mencoba membicarakan bagaimana proses demokrasi pasca runtuhnya Uni Soviet di awal ’90-an. Perestroika Songspiel. Victory over the Coup (2008. 26’ 23”) Film ini mengungkapkan aksi-aksi setelah kemenangan kudeta pihak restorasi pada 21 Agustus 1991. Demokrasi menang mutlak—hal yang belum pernah terjadi di Uni Soviet. Film ini mencoba mengungkap dan menjawab pandangan para ‘pahlawan’ di era Perestroika tentang masyarakat saat ini. Paduan suara dihadirkan sebagai wujud kelahiran kembali pendapat publik yang dulu dibungkam oleh para ‘pahlawan’ ini. Paduan suara berhadapan langsung dengan lima tipikal ‘pahlawan’ yang merasa berperan dalam sejarah; seorang demokrat, pengusaha, revolusioner, nasionalis, dan feminis. Memaksa para ‘pahlawan’ itu untuk memandang kembali proses terbentuknya hari ini.

S

ongspiel Triptych is Chto Delat’s project produced in 2008 - 2010. This musical film divided into three parts; Perestroika Songspiel. Victory over the Coup; Partisan Songspiel. A Belgrade Story; as well as the Tower Songspiel. The three series discuss about the process of democracy that was conducted following the fall of Soviet Union in the early 1990s. Perestroika Songspiel. Victory over the Coup (2008. 26’ 23”) The film reveals the actions following the victory of the restorations’ coup de tat in August 21, 1991. Democracy had gained absolute victory – a never before experienced in the Soviet Union. The film tries to explore and answer the perspectives of ‘heroes’ during the Perestroika era about the current civilization. A choir was presented as the form of rebirth for public opinions, which had been silenced by the ‘heroes’. This particular choir goes head to head with five typical ‘heroes’ who felt they have significant roles in history; a democrat, a businessman, a revolutionist, a nationalist and a feminist. It forced the ‘heroes’ to retake their views at the process on how ‘today’ is formed.

53


Tower Songspiel

Partisan Songspiel. A Belgrade Story (2009. 29’ 27”) Film ini membahas pesan politik yang lebih universal tentang keberadaan penindas dan tertindas: dalam hal ini, pemerintah kota, pencatut perang dan konglomerat bisnis terhadap sekelompok orang yang kurang beruntung, seperti pekerja pabrik, LSM/ aktivis, veteran perang yang cacat, dan etnis minoritas. Film ini juga mencoba memanggil “cakrawala kesadaran sejarah” yang diwakili melalui paduan suara “Kematian Partisan” yang mengomentari dialog politik antara penindas dan tertindas.

Partisan Songspiel. A Belgrade Story (2009. 29’ 27”) The film discusses a more universal political message on the presence of oppressor and the oppressed: in this case, the city government, war profiteers and business conglomerates towards the groups of unlucky people such as factory workers, activists/NGOs, disabled war veterans and the minority ethnic. The film is also trying to call the “historical awareness horizons” represented by the “Death of Partisan” choir commenting on the political dialogue between the oppressor and the oppressed.

Tower Songspiel (2010. 36’ 52”) Seri terakhir dari trilogi Songspiel yang mulai diproduksi tahun 2009. Film ini membahas secara khusus bagaimana menara The Gazprom yang dibangun di wilayah Okhta Center di Petersburg yang menjadi situs warisan dunia UNESCO. Menara The Gazprom direncanakan menjadi simbol baru moderen Rusia. Bagaimana simbol seperti itu diproduksi? Bagaimana mesin ideologi kekuasaan berfungsi? Bagaimana proyek seperti ini dapat terus dilakukan walaupun mendapat perlawanan dari warga?

Tower Songspiel (2010. 36’ 52”) The final series of Songspiel trilogy started for production in 2009. The film particularly focusing on the discussion of how the Gazprom tower was built within the Okhta Center area in Petersburg, which has become the UNESCO’s World Heritage Site. The Gazprom tower had been planned into becoming the new symbol of a modern Russia. How did such symbolism produced? How did the ideological machine of power become functional? How did such project continue despite resistance from the people?

55


C

Contact Gonzo ( Japan)

ontact Gonzo, berkarya di area instalasi, video, fotografi, dan performans. Eksperimentasi menggabungkan unsur tari kontemporer, seni performans, kultur teknologi, budaya perkotaan dan populer, seni bela diri, budaya visual, serta menyatukan kekuatan dan kelembutan yang merespon situasi, ruang, tubuh, hingga menghilangkan jarak antara pemirsa dan performer di setiap performansnya. Tak heran jika kelompok ini terlibat dalam perhelatan-perhelatan multidisiplin, seperti festival tari dan pameran seni rupa. Contact Gonzo juga sering mengajak seniman dan musisi lokal untuk berkolaborasi membuat satu performans bersama. Pada festival OK. Video, Contact Gonzo hadir dengan personil lengkap dan akan berimprovisasi dengan narasi tubuh, teknologi, dan budaya visual kota yang dapat berinteraksi dengan penonton. Karya ini dipertunjukkan pertama kali pada 2014 Toyota Choreography Awards.

CHOREOGRAPHY CONCEPT 001 FOR UNTRAINED AMATEURS/STUDIES ON WEIGHT AND MOVEMENT Performans multimedia Multimedia performance 30’ 2015 Sunday 20June 2015 16.30-18.00 at Galeri Nasional Indonesia Contact Gonzo. Grup performance berasal dari Osaka, Jepang. Berdiri tahun 2006 dan telah melakukan performans di ruang publik, galeri, museum, teater, hingga gang-gang di Jepang, Singapura, New York, Moskow, Rio de Janeiro, Reykjavik, Zurich, Budapes, Jakarta, dan kota-kota lainnya di seluruh dunia. Mereka menggabungkan seni bela diri dengan teknologi media internet, instalasi, video, dan fotografi di dalam performansperformansnya. Contact Gonzo berkolaborasi dengan seniman-seniman lokal di tempat mereka mengadakan performans.

Contact Gonzo. This is a performance group from Osaka, Japan. Established in 2006, they have been performing in public spaces, galleries, museums, theaters and streets in Japan, Singapore, New York, Moscow, Rio de Janeiro, Reykjavik, Zurich, Budapest, Jakarta, and many other cities throughout the world. They combine martial art with Internet technology, installation, video, and photography on their performances. Contact Gonzo frequently collaborate with local artists where their performance takes place. www.contactgonzo.blogspot.com

C

oncact Gonzo is working in the field of installation, video, photography and performance. Experimenting on combining elements of contemporary dance, performing art, technology culture, urban and popular cultures, martial art, visual culture and becoming a typical of a series of arresting encounters that teeter on an edge between violence and tenderness. That’s how they response the situation, space, so that they could eliminate the distance between performer and the audience in each of their performance. Thus, no wonder if this group now involved in multidisiplinary happening events, such as dance festival and fine arts exhibition. Contact Gonzo also like to often engage with local musician and collaborate to create a joint performance. At OK. Video festival, Contact Gonzo comes in full team and will improvise with the body narrative, technology, and urban visual culture, interactively with the audiences. This performance premiered in the 2014 Toyota Choreography Awards.

57


Cut and Rescue (Indonesia)

D

i setiap masa, seorang pemimpin selalu memiliki lagu-lagu pujian yang khusus diciptakan untuknya. Lagu yang menyerukan jasa-jasanya terhadap negara, yang biasanya dinyanyikan oleh biduan/penyanyi, kelompok musik, atau paduan suara. Lagu menjadi salah satu media propaganda paling popular yang sering digunakan sebuah rezim. Bahkan, sebuah rezim bisa melahirkan sosok biduan dan penyanyi yang identik dengan periode kekuasaannya. Cut and Rescue mencoba merespon ranah tersebut dengan menghadirkan kembali kelompok paduan suara yang membawakan lagu-lagu pujian untuk sang Bapak. Aksi performans ini direka agar lebih interaktif. Cut and Rescue membuat buku saku berisi lirik lagu untuk dibagikan kepada seluruh pengunjung, dengan harapan para pengunjung tersebut akan ikut bernyanyi bersama.

KOOR Performans Performance 15’ 2015 Sunday 14 June 2015 19.30 at Galeri Nasional Indonesia Cut and Rescue. Beranggotakan seniman muda ibukota dengan ragam latar artistik; Jah Ipul, Gooodit, Acipdas, Mario, dan Acan. Mereka banyak membuat karya kolaborasi multimedia mulai dari instalasi, fotografi, video, komik, mixtape, dan appropriation art. Pada 2014, mereka menggelar pameran tunggal Kesedihan dikuratori oleh Iswanto Hartono. Sebagai seniman individu, setiap anggota juga aktif terlibat dalam berbagai pameran yang diselenggarakan di Indonesia maupun internasional.

Cut and Rescue is a group of young artists from Jakarta - Jah Ipul, Gooodit, ACIP Das, Mario, and Acan. They produce multimedia art works that stretches from installation, photography, video, comic, mix tapes to lots of appropriations art. In 2013 they participated in Pelicin Exhibition at Gelari Salihara as part of Jakarta Biannale XV-SIASAT. In 2014 they held solo exhibition Kesedihan curated by Iswanto Hartono. As individuals, each of its members also participates in various exhibitions, both in national and international level. www.cutandrescue.tumblr.com

Cut and Rescue menghadirkan kembali sesuatu yang pernah populer di masanya. Tidak sekadar meromantisir kejayaan suatu masa. Karya ini justru akan bermain dalam situasi terkini, di sini, ingatan-ingatan itu masih melekat kuat. Namun apa yang membedakan antara paduan suara versi Cut and Rescue dengan paduan suara yang dulu menjadi populer dan menjadi pemandangan sehari-hari masyarakat di zaman Orde Baru? ‘Nada ganjil’ akan dihadirkan di antara alunan suara yang ritmis.

I

n every era, a leader always has hymns especially written for him. Songs that worships the leader’s services for his country sang by a singer/songstress, a musical group, or a choir. Hymns and/ or songs is one of the most popular propaganda used by a regime. A certain regime could even give birth to certain singers and musicians who could be identified with its reign of power. “Cut and Rescue” tries to respond the scope by representing a choir who sings hymns for the Father. The performance act was designed to be more interactive. “Cut and Rescue” printed a pocket book to be distributed to the audience, in the hope that they could join and sing along. “Cut and Rescue” presents something that was once popular in a certain era, and not only a mere romanticism of the glory of a passed time. This work will instead play in the most current situation; where memories about them remain very vivid here. But how will “Cut and Rescue” choir differ from the previous who was popular and consumed daily during the New Order rule? ‘Minor tunes’ will be presented between rhythmic compositions.

59


DIODORAN (Indonesia)

K

arya instalasi video ini dilengkapi alat bantu kacamata bagi penonton. Melalui lensa kacamata, kita akan melihat apa yang berada di balik tampilan gambar putih di layar televisi. Karya ini mengundang interaksi antara pengunjung dan mencoba menghadirkan pengalaman berbeda menonton televisi.

Karya ini berisi kumpulan footage-footage berita kekerasan dan perkelahian yang diperoleh dari internet dengan suara latar syair yang dibacakan oleh Wiji Thukul1. Bagi Dio yang besar setelah Reformasi 1998, pergeseran penguasaan media dari tangan pemerintah di masa Orde Baru ke tangan pemilik modal pasca Reformasi 1998, tetap memposisikan pemirsa sebagai penerima informasi pasif. Jika pada masa Orde Baru kenyataan sebenarnya dapat ditutup oleh siaran pembangunan yang masif, hari ini kita berhadapan dengan kenyataan yang dibungkus oleh fantasi.

DUNIA DALAM TELEVISI Intalasi komputer dan kacamata Computer and glasses installation 2015

DIODORAN. Seniman kelahiran 1991 ini memiliki nama asli Dio Prakasa tinggal dan bekerja di Jakarta. Dio adalah lulusan program studi Desain Komunikasi Visual Universitas Trisakti pada 2012. Pernah mengikuti program keilmuan fotografi di Kelas Pagi Jakarta angkatan V (2011-2012). Saat ini berprofesi sebagai perancang grafis. Di sela-sela waktunya ia juga aktif menjadi fotografer.

DIODORAN. Born under the name Dio Prakasa lives and works in Jakarta. He graduated in 2012 from Communication Design Departement at Trisakti University. He participated in a photography program, Kelas Pagi batch V (2011-2012). He is now a graphic designer. He spends his spare time to take photos.

Tayangan kekerasan, kepahlawanan, dan kesedihan memiliki nilai yang sama sebagai komoditas menguntungkan bagi industri televisi. Siaran berita yang setiap hari hadir di ruang-ruang keluarga Indonesia itu, lambat laun membentuk kenyataan semu dan berseberangan dengan realitas yang terjadi.

Suara diambil dari footage rekaman Dyah Sujirah (Sipon) yang menjadi bagian film Batas Panggung produksi Offstream dan Kontras.

1

T

his video installation is equipped with glasses for the audience. Through the lenses, we can see what’s behind the white screen on television. The installation encourages interaction between audiences and will give different experience in watching television. The installation contains violence and aggressive footages obtained from the Internet with Wiji Thukul1 reading poems
on the background. For Dio who grew up after the 1998 Reformation, he learned a lot about the shifting of media ownership from the government hand to conglomerates during the New Order period. One thing in common: they both are still positioning audience as passive recipients of information. Under the New Order regime, the reality was overshadowed by programs that showcase massive development but today we’re facing reality covered by fantasy. Violence, heroism and sad stories are seen as commodities that can bring profit to the industry. Information broadsted right into our living room in Indonesia will slowly shape pseudo-reality which is against the actual reality.

The audio was taken from recording footages by Dyah Sujirah (Sipon) which became part of a movie Batas Panggung, produced by Offstream and Kontras.

1

61


D

Douwe Dijkstra (The Netherlands)

émontable menyerang ruang domestik kita dengan proyeksi miniatur dari dunia luar. Sebuah film yang menghibur. Menampilkan narasi mengenai hubungan absurd kehidupan sehari-hari dengan berita global yang sedang beredar. Démontable mengeksplorasi percampuran keganjilan atas realitas-realitas yang dihadirkan secara bersamaan: serangan helikopter merusak koran, sementara itu piring makanan mendapatkan serangan dari pesawat tanpa awak (drone).

Distributed by LIMA, Amsterdam

DÉMONTABLE Video kanal tunggal Single channel video 12’ 03” 2014

Douwe Dijkstra adalah seorang seniman video dan pembuat film. Sebagai seniman individual, ia sering berpartisipasi dalam proyek-proyek eksperimental, video musik, film pendek, sampai instalasi video, dan teater. Bersama Jules van Hulst dan Coen Huisman, mereka mendirikan 33 Collective. Sebuah kelompok seniman visual yang mencoba memperluas area individual karya mereka dan mengeksplorasi penggunaan multimedia, proyeksi, serta performans untuk menceritakan berbagai hal. Pada 2006, Douwe Dijkstra turut menginisiasi terbentuknya Festina Lente Collective. Salah satu karya bersamanya adalah video musik berjudul Beguine karya Dutch Band The Kift.

Douwe Dijkstra is a video artist and filmmaker. As an individual artist he mostly participate in projects that are experimental in nature. Ranging from music videos and short films to video installations and theatre. Together with Jules van Hulst and Coen Huisman he founded 33 Collective. As a group of visual artists we try to expand our individual areas of work. Exploring the use of multimedia environments, projections and performances to tell our stories. In 2006 he helped start Festina Lente Collective. He worked with them on a music video for the song Beguine by the Dutch band The Kift. www.douwedijkstra.nl

Berita hoax menjadi perbincangan dewasa ini. Terutama kasus-kasus atau peristiwa perang yang terjadi pasca berakhirnya Perang Dingin. Démontable memparodikan bagaimana ‘dapur’ manipulasi berita kekerasan (perang) dan propaganda bekerja. Bagaimana teknologi digital memiliki peluang besar manipulasi dalam sifat produksi dan distribusinya. Memanipulasi kenyataan dengan teknologi greenscreen dan menghadirkan representasi ukuran miniatur mainan pada waktu yang bersamaan. Démontable adalah upaya memahami realitas yang kita hadapi saat ini dengan bermain-main bersama tokoh kekerasan tersebut. Dalam film ini, kritik terhadap media, situasi politik dunia, dan batasanbatasan privasi manusia ditampilkan dengan selera humor yang provokatif dan mengejutkan.

D

émontable intrudes our domestic spaces with a miniature projection from the outside world. An amusing film, offering a narration on absurdity of daily lives and current global event. Démontable explores an odd mixture of realities projected simultaniously: helicopter airstrike to a newspaper and plates under attacked by a drone. Hoax news is a subject of today’s public conversation, especially on events like war after the Cold War era. Démontable is mocking how the media manipulates news on war and how the propaganda works. It also shows how digital technology have bigger possibility to manipulate its production and distribution nature. This work of art manipulates reality with greenscreen technology and represents miniature figure at the same time. Démontable is an effort to understand reality that we are facing today while teasing with violence characters within. In this film, critics againts media, world politics, and privacy boundaries are presented with provoking yet shocking humor.

63


Edwin (Indonesia) & Thomas Østbye PlymSerafin (Norway)

17000 ISLANDS Interaktif Dokumenter Online Interactive Web Documentary 2014

Edwin. Pasca-kesuksesan film feature kedua, Postcards From The Zoo yang masuk kompetisi internasional Festival Film Berlin, Edwin melanjutkan belajar sinematografi dan mendapatkan gelar magister di The Netherlands Film Academy, Amsterdam, Belanda (2014). Sekembalinya dari Belanda, Edwin membuat Lab Laba Laba bersama beberapa sutradara dan seniman visual di Jakarta. Thomas Østbye PlymSerafin. Lulusan sekolah film Den norske filmskolen, Norwegia. Karyanya pernah menangkan penghargaan di Festival Euganea Moviemovement, Italia. Produser film dokumenter berbasis web 17000 Island yang berkolaborasi dengan Edwin. Tahun 2002 silam, Ia pernah mempelajari gamelan di Gamelan Gong Kebyar musik, Bali.

Edwin. Following their second feature film achievement, Postcards From The Zoo which was featured in international film competition Berlin Film Festival, Edwin persued his study in cinematography and earned his magister at The Netherlands Film Academy, Amsterdam, the Netherland (2014). After returning from the Netherland, Edwin established Lab Laba Laba along with other directors and visual artists in Jakarta. Thomas Østbye PlymSerafin. Graduated from film school Den norske filmskolen, Norway, his work earned an award in Euganea Moviemovement Festival, Italy. He co-produced web-based documentary film 17000 Island in collaboration his Edwin. In 2002 he studied gamelan at Gamelan Gong Kebyar, Bali.

M

F

17000 Islands dibuat sebagai usaha melawan propaganda nasionalis itu, sebuah platform. Di dalam platform ini pengunjung bisa merakit sebuah film, sekaligus memikirkan ulang makna persatuan yang ideal. Pengunjung situs juga dapat memilih klip dan menggunakan program editor online untuk memotong, merangkai, kemudian menciptakan sebuah film dokumenter interaktif. Karya ini memungkinkan penonton membuat visi mereka sendiri tentang Indonesia.

17000 Islands is a platform made exactly to oppose the nationalistic propaganda. With the platform, audiences are encouraged to assembly their own film while rethinking of the ideal unity. Web visitors can also choose clips, use online video editor an online video editor, to cut, construct and make their own interactive documentary. This featured enable audiences to produce their own vision of Indonesia.

antan Presiden Soeharto memiliki visi absolut untuk menyatukan Indonesia yang terdiri dari ratusan suku budaya dan bahasa, juga memperkuat rasa kesatuan dan identitas Indonesia. Maka, pada 1975 diresmikanlah Taman Mini Indonesia Indah, sebuah taman hiburan yang menyajikan budaya dan tradisi Indonesia dalam satu ‘miniatur’ yang dianggap mewakili citra homogen dari keberagaman budaya.

Secara sadar, Edwin dan Thomas memilih untuk tidak menyajikan gambar terstruktur dan memproduksi sebuah film eksperimental yang mendekonstruksi visi Soeharto. Selain itu, untuk mengkritisi makna dokumenter yang linear, mereka membuka interpretasi pemirsa yang secara aktif harus terlibat. ‘Taman’ itu masih ada hingga saat ini, namun citraannya telah memudar. Semua orang beramai-ramai mendekonstruksi dan mewujudkan makna persatuan Indonesia versi mereka sendiri.

ormer President Soeharto had an absolute vision to unite Indonesia which consists of hundreds of ethnic groups, culture, and languages to strengthen unity and Indonesian identity. Therefore, in 1975 the government established Taman Mini Indonesia Indah. It’s an amusement park, demonstrating Indonesia’s cultural and traditional legacy in one large miniature. It was considered as presenting uniformity rather than cultural diversity.

Edwin and Thomas intentionally decide not to produce structured images and instead create an experimental film to deconstruct Soeharto’s vision. They invite audience to actively engage to translate and criticize the values of linear documentary. It was desinged as an eye opener for active interpretation from the audience. The amusement park is still there until today but its image fades away. Now people gather to deconstruct and recreate their own version of Indonesia’s unity.

65


F

Eric Baudelaire (USA/France)

ilm ini mencoba menghadirkan bagaimana kesaksian atas sebuah era penting yang hampir terlupakan dalam politik dan sinema dunia. Berkisah tentang revolusi, lanskap, dan ingatan melalui sebuah pendekatan tentang lanskap yang disebut fukeiron, yang salah satu perintisnya adalah Masao Adachi sendiri. Dengan fukeiron, lanskap disajikan untuk menyingkap struktur bagaimana kekuasaan dengan kekerasan digunakan untuk menopang dan melanggengkan sebuah sistem politik. Bersama tutur Mei dan Masao, serta situasi kota Tokyo dan Beirut yang direkam dengan kamera Super 8mm, film ini menelusuri bagaimana kehidupan sehari-hari orang-orang yang harus menyembunyikan identitas aslinya.

Courtesy of Eric Baudelaire and LUX, London.

THE ANABASIS OF MAY AND FUSAKO SHIGENOBU, MASAO ADACHI AND 27 YEARS WITHOUT IMAGES Video kanal tunggal Single channel video 66’ 2011 Eric Baudelaire. Seniman kelahiran Amerika Serikat dan berdomisili di Prancis ini baru saja meraih penghargaan di 12th Sharjah Biennial 2015. Proyek seninya telah ditayangkan di berbagai festival film dan dipresentasikan dalam bentuk instalasi di Biennale Seni Rupa internasional. Eric mengkuratori The 8th Taipei Biennial : The Museum of Ante-Memorials (2012). Menjadi pengajar di sekolah seni dan desain École Nationale Supérieure des Beaux Arts de Lyon dalam rentang waktu 2011-2013. Pada Mei 2015, bersama beberapa seniman yang terlibat di 12th Sharjah Biennial mengeluarkan petisi bersama Gulf Labor sebagai tanggapan peristiwa pelarangan masuknya Ashok Sukumaran dan Walid Raad ke Uni Emirates Arab.

Eric Baudelaire. An artist born in the US and live in France. He was just awarded with the 12th Sharjah Biennial several months ago. His art projects have been featured in various film festivals and presented as installation in international visual art biennales. In 2012 he was the curator for the 8th Taipei Biennial: The Museum of AnteMemorials. Eric Baudelaire also teaches at School of Art and Design École Nationale Supérieure des Beaux Arts de Lyon in 2011 to 2013. In May 2015, he and other participating artists in 12th Sharjah Biennial issued a joint petition with Gulf Labor responding to Ashok Sukumaran dan Walid Raad’s restriction from entering the United Emirates Arab. www.baudelaire.net

Fusako Shigenobu, pendiri dan pemimpin Japanese Red Army, sebuah faksi sayap kiri internasional, dan Masao Adachi, sutradara kiri yang meninggalkan dunia film komersial, tinggal dalam eksil di Libanon, Beirut, sejak 1970-an. Putri Fusako, Mei, lahir di sana dan baru menginjak Jepang pada usianya yang ke-27, setelah ibunya ditangkap oleh pihak berwenang Jepang pada 2010. Japanese Red Army mendukung Palestina lewat aksi pembajakan dan pengeboman pada 1980-an dan dicap sebagai kelompok teroris.

F

usako Shigenobu, a founder and leader of the Japanese Red Army, an international left-wing faction, and Masao Adachi, a left filmmaker who had abandoned the commercial filmmaking, had been living in exile in Lebanon, Beirut, since the 1970s. Mei, Fusako’s daughter, was born there. She entered Japan for the first time when she was 27 after her mother was captured by Japanese authority in 2010. The Japanese Red Army has supported Palestinian causes among others through hijacking and bombing in 1980s, garnering the label of terrorists. This film tells about revolution, landscapes and memory through an approach of landscape called fukeiron, which was pioneered, among others, by Masao Adachi himself. Using fukeiron, this film presents landscapes to reveal the underlying structures of oppression that underpin and perpetuate the political system. Adachi and Mei Shigenobu’s voiceover go together with Tokyo and Beirut’s landscapes in the Super-8mm and archival footages, presenting a complex reality of ordinary lives of those who have to forge their identities. Not only that though, the film also testifies over a nearly forgotten significant era of of politics and cinema.

67


Fluxcup (Indonesia)

#fluxcup #dumsbmash Media sosial Social media 2015 (on going project)

Fluxcup. Memiliki nama asli Yusuf Ismail. ‘Produk Gagal Industri Hiburan Era Informatika’ menjadi jargon yang tidak lepas dari nama Fluxcup. Sejak kisaran 2012, Fluxcup sangat produktif membuat video mash up dan video musik yang kental dengan nuansa komedi yang diunggahnya ke kanal youtube. Pemilihan moda produksi dan distribusi ini merupakan tanggapan atas berkembangnya praktik video mash up di dunia virtual yang menghancurkan batas-batas geografis dan budaya. Pada 2013, Fluxcup berkolaborasi dengan Labtek Indie dalam Jakarta Biennale XV- SIASAT dan mengadakan pameran tunggalnya dengan tajuk Spectaculum Frustra pada Mei 2015.

F

F

Dubsmash adalah sebuah aplikasi pengubah video yang tersedia di sistem operasi IOS dan Android. Kebanyakan netizen menggunakan aplikasi ini untuk men-dubbing suara tokoh besar, potongan adegan sebuah film, dan atau lagu yang populer di masyarakat untuk kemudian mengunggahnya ke media sosial. Namun, bukan Fluxcup namanya jika memperlakukan sebuah tren itu sama dengan kebanyakan netizen. Fluxcup menjadikan dirinya sebagai source footage yang bisa digunakan oleh netizen media sosial. Ia mendorong agar netizen tidak segan-segan menghabisi videonya dengan kekonyolan kreatif mereka.

Dubsmash is a video altering application available in the IOS and Android operating systems. Most netizens use this application to re-dub the voice of a great figure, a segment of a movie, and/or a popular song in the society to be posted in the social media. But it is not Fluxcup if he treated a certain trend just as most netizens do. Fluxcup had made himself as the source footage available for use by all social media netizens. He encouraged the netizens to bluntly ‘kill’ his videos with their creative ridiculousness.

luxcup dikenal oleh netizen sebagai salah satu tokoh absurd dalam akun media sosialnya—youtube dan instagram. Memiliki gaya bahasa yang sangat khas, dengan pendekatan komedi, tetapi sebenarnya “serius” dalam membahas suatu fenomena yang disampaikannya melalui video. Setelah sukses men-dubbing footage yang ia produksi sendiri ataupun diambilnya dari internet, kini Fluxcup kembali merespon tren media sosial dalam Dubsmash.

Fluxcup. His real name is Yusuf Ismail. ‘Produk Gagal Industri Hiburan Era Informatika’ (or “Rejected Product from the Entertainment Industry in Information Era”) has become a slogan that goes hand in hand with Fluxcup. Since 2012, Fluxcup was very productive in creating mash up videos and music videos fueled with humor and upload them on YouTube. It was a deliberate choice of production and distribution as a response to the growing number of mash up videos in the virtual world that destroys cultural and physical boundaries. In 2013, Fluxcup joined forces with Labtek Indie at Jakarta Biennale XV-SIASAT and presented its first solo exhibition Spectaculum Frustra in May 2015. www.fluxcup.blogspot.com

luxcup is recognized by the netizens as one of the absurd characters in his social media accounts – youtube and instagram. Possessing a very distinctive style of language, with its comedic approach, it is actually very “serious” in discussing a phenomenon he conveyed through the video. Following the success of dubbing the footages he produced on his own, or plucked off from the internet, Fluxcup has now returned in responding social media trends in Dubsmash.

69


Forum Lenteng (Indonesia)

VIDEOBASE Instalasi teks, foto, dan video Text, photography, and video installation Dimensi bervariasi Various Dimensions 2008-2015

Forum Lenteng. Komunitas ini berdiri bersamaan dengan berjalannya proyek video dokumenter mereka, Massroom Project di tahun 2003. Selain aktif memproduksi karya kolaborasi, komunitas ini juga bergerak di wilayah pemberdayaan media di masyarakat. Pada 2013, Forum Lenteng merilis ARKIPEL: Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival sebagai hadiah ulang tahunnya kesepuluh. Komunitas ini beranggotakan perupa, sutradara, mahasiswa, wartawan, musisi, fotografer, ibu rumah tangga, kurator, peneliti, penulis, street artist, hingga desainer, yang juga aktif membuat karya dengan ragam pendekatan artistik. www.jurnalfootage.net www.akumassa.org

Forum Lenteng. The community was established when they started their documentary Massroom Project in 2003. They extend their work in the field of media technology empowering by working closely with other mass media in many regions of Indonesia. In 2013, they developed ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival to mark their 10th anniversary. This community comprises visual artists, direotrs, students, journalists, musicians, photographers, housewives, curators, reasearchers, writers, street artists, and designers who are actively producing works with artistic approach. www.halamanpapua.org www.forumlenteng.org

T

idak bisa dipungkiri, keniscayaan perubahan medium membawa sebuah dampak sosiologis dari budaya visual yang berkembang. Satu di antara periodisasi dalam membaca perkembangan video berdasarkan akses mediumnya adalah yang dikenal sebagai era analog dan era digital. Periodisasi berdasarkan medium ini memiliki dampak pada konteks perkembangan partisipasi masyarakat dalam memahami dan menggunakan bahasa visual. Masingmasing periode mengalami perubahan. Secara politik, era analog bisa dinyatakan sebagai era Orde Baru yang sentralistik dalam bahasa visual karena negara benarbenar memegang kendali. Dalam era analog, pesebaran dan kemudahaan penggunaan medium di kalangan masyarakat masih belum ada. Sementara itu, era digital bisa disebut sebagai era reformasi yang lebih demokratis secara bahasa visual, karena kemudahaan dan pesebaran mediumnya di kalangan masyarakat. Videobase merupakan proyek penelitian Forum Lenteng tentang sejarah persebaran dan perkembangan gagasan teknologis dan kultur visual dari teknologi media video yang berjalan sejak 2008. Sketsa dan hasil penelitian ini telah beberapa kali dipresentasikan dalam bentuk pameran, seperti di Bentara Budaya pada 2009 dan Galeri Salihara pada 2011. Pada festival OK. Video, hasil penelitian Videobase, secara khusus menampilkan bagaimana peran korporasi dan negara dalam perkembangan dan persebaran gagasan teknologis, kultur visual, dan propaganda kontrol pemerintah kepada masyarakat di era analog.

I

t is inevitable that the necessity of medium change brings sociological impacts of a developing visual culture. One of the period-divisioning in reading the video development based on the medium access are what we know as the analogue era and digital era. The medium-based period-divisioning shows their impacts in the context of society participation development in understanding and using the visual language. Each of the periods had gone through changes. Politically, the analogue era could be declared as a new order which is centralistic in its visual language; because the state has total overall control. In the analog era, we found a lack in deployment and facilitation of medium usage in the society. Meanwhile, the digital era could be addressed as the reform era which is more democratic in terms of visual language, because of its medium deployment and facilitation within the public. Videobase is a research project of Forum Lenteng upon the deployment and facilitation history of technological ideas and visual culture of video media technology which started in 2008. The sketches and results of this research have been presented several times in form of exhibitions; such as in Bentara Budaya on 2009, and in Galeri Salihara of 2011. “OK. Video� festival showcases the Videobase research results which specifically picture the roles of corporations and state in the development and deployment of technological ideas, visual culture, and government control propaganda towards the society in the analogue era.

71


Francois Knoetze (South Africa)

Penelusuran yang dilakukan tokoh Mongo—patung yang terbuat dari bahan daur ulang produk-produk massal—dalam rentang waktu hampir dua tahun itu, lantas dikonstruksi sebagai citra untuk merepresentasi tegangan sejarah atas ketimpangan endemik dan keterasingan sosial yang mencirikan karakter kota tersebut saat ini. Karya film pun bersepadan dengan sikap daur ulang, tatkala memori budaya konsumerisme yang dokumentaris itu diayak bersamaan dengan kumpulankumpulan footage yang membangun— sekaligus mencerminkan—peradaban kultural yang terus berkembang dalam pola produksi-konsumsi atas objek, baik fisik maupun tidak.

CAPE MONGO Video kanal tunggal Single channel video 15’ 32” 2015

Francois Knoetze mendapat gelar sarjana Seni Rupa dari Universitas Rhodes pada 2012. Kini, ia sedang melanjutkan studi Seni Rupa di Michaelis School of Fine Art. Dia mengkhususkan diri membuat kumpulan patung menggunakan sampah dan berbagai benda yang dibuang sebagai media kreatifnya. Karyanya adalah multidisiplin, menggabungkan kinerja dan film sebagai kendaraan, yang digunakan untuk menjelajahi potensi simbolis dan estetika dari bahan yang digunakan dalam patung. Karya Knoetze ini berkaitan dengan kaburnya batas antara tubuh dan objek sebagai produk dari budaya yang digerakan konsumerisme.

C

ape Mongo adalah sebuah proyek yang menggabungkan film, seni performans di ruang publik, dan seni patung. Mongo sendiri merupakan kata slang yang berarti ‘objek daur ulang’. Karya ini menafsir masa lalu dari objek-objek budaya konsumerisme di Kota Cape Town, Afrika Selatan. Melalui performans karakter patung Mongo, si seniman menelusuri dan merekam lokasi-lokasi tertentu di Kota Cape Town—termasuk peristiwa massal di lokasi itu—dalam rangka mendadar memori tentang konsumerisme yang telah menyusup ke dalam kehidupan masyarakat kota.

Francois Knoetze is a Cape Town based artist working between visual and performing arts. Knoetze holds a BFA from Rhodes University in Grahamstown and an MFA from the Michaelis School of Fine Art in Cape Town (both with distinction). Knoetze’s work investigates the relationship between the aesthetics of waste and the glossy facade of consumerism. Through public performance, sculpture and film, his practice explores the nuanced lives of discarded objects and the powerful scope that the indeterminacy of trash allows for reorganisation and redefinition. www. francoisknoetze.carbonmade.com

C

ape Mongo is a project that combines the film, performance art in public spaces, and sculpture. Mongo itself is a slang word which means ‘recycled object.’ This work interprets the past by the objects of cultural consumerism in the city of Cape Town, South Africa. Through performance of the sculpture character Mongo, the artist explores and records specific locations in Cape Town— including the mass events—in order to train the memory of consumerism that has infiltrated into the urban life. search The exploration performed by Mongo—a sculpture figure made from mass-products recycled materials—in a span of nearly two years, then constructed as the image to represent the historical tension of endemic inequality and social isolation that characterize the city today. The film also harmonize with recycling attitude, when the memory of the documented consumerism culture was screened along with clusters of building footages that reflects the continuity of growing cultural civilization in the production-consumption patterns on the object, whether physical or not.

73


Geert Mul & Michel Banabila (The Netherlands)

C

rowds menampilkan tiga panel video yang memiliki intensitas gerak visual seirama dengan musik yang terdengar. Bahasa visual dan suara yang sangat literal, yaitu kerumunan orang, membuat kita terhindar dari interpretasi lain, selain apa yang kita lihat dan kita dengar dari karya ini. Dimulai dari dominasi suara musik rave di menit-menit awal, perlahan suara ramai dan gemuruh orang banyak menyelinap menjadi salah satu instrumen musik. Intensitas perubahan gambar dan bunyi semakin cepat dan membawa kita ke sebuah situasi ‘kekacauan’ yang berpola. Esensi mentalitas massa, kemarahan, dan ekstase yang terdapat dalam karya ini mencoba memberikan pengalaman lain dalam menonton. Crowds juga bisa dibaca sebagai refleksi dari sebuah situasi ‘kemarahan’ masyarakat global atas perang dan krisis ekonomi dewasa ini.

Distributed by LIMA, Amsterdam

CROWDS Video kanal tunggal Single channel video 6’ 30” 2014 Geert Mul selama hampir 20 tahun menghasilkan puisi visual dengan menggabungkan ulang gambar dari video, foto, instalasi, dan performans audio visual. Karyanya telah dipamerkan di berbagai negara, di antaranya Stedelijk Museum Amsterdam, The National Museum of Modern Art Kyoto Japan, dan lain-lain. Tahun 2010 dia mendapat penghargaan Dutch Witteveen+Bos Art & Technology Award. Michel Banabila telah memproduksi musical scores di beberapa film, dokumenter, video art, pementasan teater, dan banyak lagi. Dia merekam benda-benda yang ditemukan, bunyi-bunyian, gambar elektronik, dan gambar pendek dalam televisi atau film. www.banabila.com

Media artist Geert Mul has been exploring for almost 20 years the possibilities of generating visual poetry by re-combining images from collections and databases in video’s, photographs, installations and audio-visual performances. In 2010 Geert Mul received the Dutch Witteveen+Bos Art & Technology Award for his oeuvre. www.geertmul.nl Michel Banabila has produced musical scores for numerous films, documentaries, video art, theatre play and more. Banabila uses found objects, electronica, field recordings, and shortwave/ tv/ film recordings. his work Voiz Noiz (2000) received international critical acclaim. Banabila has collaborated with Olga Mink and photographer Gerco de Ruijter.

Film yang ditayang perdana pada International Film Festival Rotterdam 2015 ini merupakan karya kolaborasi Geert Mul dan Michel Banabila. Pada April lalu, film ini dipresentasikan dalam bentuk performans multimedia di Global Week For Syria di Beirut, Libanon.

C

rowds features three-panel video display that has the intensity of visual motion in rhythm with the music. Visual language and a very literal voice—the crowd—make us avoid other interpretations than what we see and hear of this work. Starting from the domination of the rave music in the early minutes, the piercing and rumbling sound of the crowd gradually became one of the musical instruments. The intensity of image and sound transformation goes faster and take us to a patterned “chaos” situation. The essence of mass mentality, anger, and ecstasy contained in this work tries to give a different experience in watching. Crowds can also be translated as a reflection of the people’s resentment towards the war and the economic crisis today. The film premiered at the International Film Festival Rotterdam 2015 is a collaborative work of Geert Mul and Michel Banabila. On last April, this film was presented in a multimedia show at the Global Week For Syria in Beirut, Lebanon.

75


S

Hafiz (Indonesia)

alah satu dampak terbesar dari runtuhnya rezim Orde Baru adalah ikut memudarnya jejak-jejak kekuasaan yang terdapat pada monumen-monumen yang dibangun sebagai lambang simbolis kekuasaan negara. Monumen-monumen itu perlahan mulai ditinggalkan, kepopulerannya memudar, dan perlahan ia menjadi sebuah bangunan yang kehilangan kuasanya. Apa yang bisa digali dari sebuah monumen yang dibangun? Apa yang bisa dilihat dari tekstur-tekstur sejarah yang disusun dalam imajinasi kekerasan kemanusiaan? Diorama tentang peristiwa-peristiwa yang melekat lebih dari 30 tahun, di kepala orang-orang yang tidak bisa lagi menentukan kebenaran. Ia telah menjadi kebenaran ilusif dan tidak terbantahkan hingga saat ini. Tak satupun dari imagi-imagi itu mampu dibaca dan dikritik kembali menjadi sebuah pernyataan kebenaran yang lain di luar kebenaran yang dibangun oleh Orde Baru.

MENGGALI BUAYA Video kanal tunggal Single channel video 7’ 2015

Hafiz. Berlatar pendidikan seni murni dan desain di Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah salah seorang pendiri ruangrupa (2000) dan Forum Lenteng (2003). Sehari-harinya bekerja sebagai Direktur Artistik ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival dan menjadi Ketua Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta sejak tahun 2012. Tahun 2013, ia menjadi Direktur Artistik Jakarta Biennale XV-SIASAT. Selain sebagai seniman aktif di ranah seni rupa yang bekerja secara individu maupun kolaboratif, Hafiz juga terlibat dalam beberapa perhelatan sinema internasional. Tahun 2005, filmnya Alam: Syuhada menjadi salah satu nominasi untuk kompetisi internasional Festival Film Oberhausen.

Hafiz. With a background of fine art and design from Jakarta Art Institute, Hafiz was one of the founders of ruangrupa (2000) and Forum Lenteng (2003). Currently he is the artistic director for ARKIPEL Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival and Head of Visual Art Committee at Jakarta Art Council since 2012. In 2013, he was the artistic director for Jakarta Biennale XV-SIASAT. As an artist working in visual art, as a solo or a collaborator, he is also actively involved in many international film exhibitions. In 2005, one of his film Alam: Syuhada was a nominee for the Oberhausen International Film Competition.

Video esai ini menggambarkan bagaimana Orba merepresentasikan peristiwa berdarah tahun ’65. Lubang buaya adalah lubang gela yang tidak pernah bisa membuka kebenaran. Namun, narasi yang dibangun berupa monumen, relief, diorama, dan situsnya, menggambarkan bahwa peristiwa yang terjadi adalah riil. Peristiwa tentang bagaimana sebuah ideologi bersama dikhianati dianggap benar. Lubang Buaya adalah salah satu strategi komunikasi Orba yang bagus, sekaligus menyesatkan. Kebenaran yang subjektif, dikomunikasikan menjadi kebenaran komunal yang dihadirkan dalam bentukan imaji dan visualisasi. Pasca runtuhnya Orde Baru, kebenaran mempunyai banyak versi, sedangkan lubang itu tetap bungkam. Sediam-diamnya.

O

ne of the biggest impacts from the end of the New Order regime is the fading traces of power in various monuments built as the state’s symbolic power representations. Those monuments are being left abandoned, their popularity faded, and slowly they turned into architectural things that have lost their powers. What can be explored from a monument? What could be seen from historical textures arranged within the images of humanitarian violence? Dioramas about the events that stuck for more than 30 years in the heads of many, could no longer determine the truth. They have become an elusive and unarguable truth until now. Not even one of those images could be reread and rereviewed as a statement of a different truth; aside from the truth laid by the New Order. This video essay depicts how the New Order represented the bloody events of 1965. Lubang Buaya (Crocodile Hole/Well) is a dark hole. Until today, the hole/well could never reveal the real truth. But the narratives in form of monuments, relief, dioramas, and the site itself; depicted that the events happened then were real. The events about how the betrayal of a common ideology was considered right. Lubang Buaya was one of the most excellent communication strategies of the New Order; as well as the most misleading. The subjective truth, was communicated into a communal truth which was presented in the formation of images and visualizations. Post the New Order, truth found various versions; while the hole remains silent. As silent as it gets.

77


Halaman Papua (Indonesia)

T

uah untuk Timur merupakan salah satu video yang dihasilkan dari Program Media untuk Papua Sehat. Sebuah program pemberdayaan media berbasis komunitas yang membahas persoalan kesehatan di Papua. Eksperimentasi bahasa sinema dalam Tuah untuk Timur mengandalkan elemen-elemen di dalam bingkai kamera, seperti zoom in dan zoom out sebagai metafor. HIV-AIDS telah menjadi permasalahan yang tidak hanya bersinggungan dalam konteks kesehatan, tetapi telah menjadi persoalan sosial-budaya di tanah Papua. Bahkan menjadi persoalan yang sangat sensitif menyangkut bagaimana penyakit ini bisa muncul, tersebar, dan membawa maut bagi masyarakat Papua. Gesekan-gesekan budaya dan perspektif antara masyarakat lokal, pendatang, hingga warga asing dalam menyikapi HIV-AIDS dicoba didedah oleh sosok pendeta yang sejak masa Orde Baru telah bekerja di tanah itu.

TUAH UNTUK TIMUR WISDOM FOR THE EAST Video kanal tunggal Single channel video 6’ 37� 2014

Halaman Papua. Salah satu program yang dikembangkan oleh Forum Lenteng sejak tahun 2014 dan fokus pada isu media dan sosial masyarakat Papua. Di tahun pertama, Halaman Papua mencoba fokus membicarakan isu hak asasi manusia dan kesehatan yang bekerjasama dengan komunitas setempat di empat lokasi, yaitu Sentani, Kota Jayapura, Wamena & Timika. Selain bekerja menggunakan medium audio visual, program ini juga berupaya menghadirkan beragam perspektif masyarakat setempat melalui teks dan fotografi yang dimuat di jurnal online.

Halaman Papua. Is a program managed by Forum Lenteng since 2014 that addresses on media literacy and the people of Papua. In its first year, Halaman Papua tried to focus on human rights and health issues, in cooperation with local communities in four different locations; Sentani, Kota Jayapura, Wamena, and Timika. Using audio visual medium, this program also puts an effort to present local perspective through text and photography which published in an online journal www.halamanpapua.org.

Seorang pendeta berjalan mendekati kamera, melintasi jembatan gantung di hutan Papua, di atas sungai Balim, Wamena. Kehadirannya mencolok karena pantulan sinar matahari dari jubahnya mempengaruhi hasil bidikan kamera statis. Diiringi suara wawancara mengenai kondisi sosiokultural masyarakat Wamena dan Papua secara keseluruhan, karya video ini menghadirkan pertanyaan tentang dampak sebuah Orde yang telah menganaktirikan suatu kawasan di Timur Indonesia.

T

uah untuk Timur (Wisdom for the East) is one of the videos produced by the Media Program for Healthy Papua. A community-based media development program that addresses health issues in Papua. Cinematic experimentation languages on Tuah untuk Timur relied on elements within the frame of the camera, such as zoom in and zoom out as a metaphor. HIV-AIDS has become a problem that not only intersects in the context of health, but it has become a socio-cultural issue in Papua. It has even been a very sensitive issue concerning how the disease appeared, spread, and brings death to the people of Papua. Friction between cultures and perspectives of local communities, immigrants, and foreigners in response to HIV-AIDS is tried to be exposed by the priest who had been working on the land since the New Order. A priest walked up to the camera, crossing the suspension bridge in the jungle of Papua, on the river Balim, Wamena. He has a striking presence from the reflection of sunlight on his robe that affects static camera shots. Accompanied by the sound of the interview on the condition of socio-cultural in Papua and Wamena community as a whole, the work of this video presents the question of the impact of an Order which has forsaken an area in eastern Indonesia.

79


Henry Foundation (Indonesia)

W

hy you want to control me? Pertanyaan ini menjadi pembuka karya Henry Foundation, Control. Semua hal tentang pengendalian. Siapakah yang sebenarnya dikendalikan? Pemirsa mengendalikan televisi? Ataukah televisi justru yang mengendalikan pemirsanya? Sejak televisi swasta berdiri di Indonesia, remote control telah menjadi salah satu kebutuhan dasar. Kehadirannya membawa babak baru dalam melihat kuasa pemirsa terhadap siaran televisi. Bagaimana permisa dapat memilih apa yang ingin ditontonnya. Teknologi remote control terus menjadi kebutuhan hingga saat ini, seiring jumlah stasiun tv dan televisi nirkabel yang semakin banyak. Di saat yang sama, teknologi kendali ini dihadapkan pada budaya kendali baru, yaitu sensor dan layar sentuh (touch screen).

CONTROL Interaktif remote control pada DVD Player Interactive DVD Player remote control 2010

Henry Foundation. Menyelesaikan kuliah jurusan Seni Grafis, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta tahun 2000. Perupa yang menggeluti seni grafis, seni video, performance dan seni interaktif ini juga terlibat dangan beberapa proyek seni kolaboratif di ruangrupa dan Jakarta Wasted Artists (JWA). Tahun 2003 membentuk The Jadugar yang bersama Anggun Priambodo yang mengerjakan proyek-proyek video musik. Ia juga tergabung dalam grup musik elektronik pop Goodnight Electric dan sebuah proyek album eksperimen bersama Frigi Frigi. Henry kini tinggal dan bekerja sebagai perupa, musisi dan DJ di Jakarta.

Henry Foundation. Finished his education at Graphic Art Departement in Visual Art Faculty, Jakarta Institute of Art in 2000. A visual artist specialising in graphic designing, art video, performance and interactive art, he also participated in several collaborative art projects with ruangrupa and Jakarta Wasted Artists (JWA). In 2003 he formed The Jadugar with Anggun Priambodo where they produced some music videos. His sideline projects include an electronic pop set Goodnight Electric and an experimental album together with Frigi Frigi. Now, Jakarta-based Henry now lives as visual artist, musician, and a DJ. www.henryfoundation.com

Henry mencoba memainkan logika kendali teknologi remote control ke dalam karyanya. Di sini, remote control tidak difungsikan sebagai mana lazimnya mengontrol siaran televisi. Henry menjadikan penonton sebagai ‘pemberi perintah’. Subyek manusia telah jadi bagian sistem dari televisi untuk menjalankan program; Simple Things dan Non-Sense Things. Manusia di dalam televisi, menjadi refleksi perilaku pemirsanya. Karya Control dipresentasikan pertama kali dalam perhelatan Decompression #10 di Galeri Nasional Indonesia tahun 2010.

W

hy you want to control me? The question appears as an opening to a work by Henry Foundation, Control. Everything is about control. Who is being controlled? Are the viewers controlling the television, or vice versa? Ever since television is established in Indonesia, remote control has been a requirement. It brought up a new chapter in the power of the viewers towards television broadcasting. How the viewers can choose the program they want to watch. Remote control technology is still a requirement until now, along with the growth of TV station channels and wireless TV network. At the same time, this controlling technology is faced with a new controlling culture of censorship and touch screen. Henry tries to play the controlling logic of remote control technology into his work. Here, the remote control is not being used conventionally as a controlling device of television broadcasting. Henry turns the viewer into “the command.” Human subject has become a part of television system to run the program; Simple Things and NonSense Things. Human inside the television; becomes the reflection of the viewer’s behavior. Control is firstly presented at Decompression #10 event at Galeri Nasional Indonesia on 2010.

81


Ika Vantiani & Feransis (Indonesia)

SALAM TEMPEL PENUH EMBEL-EMBEL POSTAL OBJECTS’ (HIDDEN) MESSAGE Kolase digital Digital collage 29.7 x 42 cm 2015 Ika Vantiani. Sejak selalu bekerja dengan pendekatan bermain kolase foto, gambar, dan objek temuan. Mengelola ruang kecil bernama Halo Radio, tempatnya membuat lokakarya kriya secara berkala untuk remaja. Ika juga aktif berorganisasi. Ia terlibat di dalam kelompok fotografi Kelas Pagi dan Lab Laba Laba.

Ika Vantiani. Persistently creating photo collages, drawings, and objects as her approach to create things. She runs a small space called Halo Radio, where they created regular workshops on applied art for young people. She also participated in a photography club named Kelas Pagi and Lab Laba Laba.

www.ikavantiani.blogspot.com

Feransis completed studies in International Relations at the University of Parahyangan. He is a graphic designer. His latest exhibition held in April with Lab Laba Laba, titled Experiencing Humanity, in Gedung Laboratorium Perum Produksi Film Negara.

Feransis menyelesaikan studi Hubungan Internasional di Universitas Parahyangan. Seharihari bekerja sebagai desainer grafis. Terakhir berpameran pada April lalu bersama kelompok Lab Laba Laba, Mengalami Kemanusiaan, di Gedung Laboratorium Perum Produksi Film Negara.

www.cargocollective.com/frnss

S

emasa pemerintahan Orde Baru, segala benda pos yang merupakan bagian dari salah satu bentuk komunikasi analog waktu itu, dari mulai perangko, amplop, sertifikat, piagam, telegram dan kartu pos, semuanya berisikan visual yang sarat dengan slogan, tokoh, dan program pemerintahan. Mulai dari berbagai macam warna dan ukuran perangko Soeharto, amplop-amplop yang diproduksi khusus untuk peluncuran sebuah kampanye pemerintah sampai gambar Pancasila di surat berharga dan juga blanko. Kehadiran surat elektronik (e-mail) yang dibuat oleh teknologi media internet saat ini membuat penggunaan komunikasi analog itu mulai ditinggalkan. Ika Vantiani dan Feransis berkolaborasi mencoba membuat makna baru dari koleksi benda pos bekas yang mereka kumpulkan sejak beberapa tahun lalu. Mereka kemudian mencoba melihat bagaimana perbedaan desain juga pesan dari bendabenda pos yang dibuat selama Orde Baru dan pemerintah setelahnya. Ternyata, pemerintah Orde Baru jauh lebih jeli dan bersemangat dalam memasukkan agendaagenda program pemerintah ke dalam berbagai bentuk materi benda pos mulai dari perangko, amplop, kartu pos dan masih banyak lagi.

D

uring the New Order regime, postal objects that were part of analog communication at that time—stamps, envelopes, certificates, charters, telegrams and postcards—were visually filled with government slogans, figures, and programs. They were ranging from a wide variety of colors and sizes of Soeharto stamps and envelopes that were manufactured specifically for the launch of a government campaign to Pancasila picture in securities and also blank. The presence of electronic mail (e-mail) created by internet media technology today made analog communication become obsolete. Ika Vantiani and Feransis collaboration tries to make a new meaning of former postal objects that they collect since a few years ago. They then try to see the difference in design and also the messages of postal objects made during the New Order and the government thereafter. It turns out the New Order government was far more observant and eager to insert the agendas of government programs in the various forms of matter ranging from postage stamps, envelopes, postcards and much more.

83


IndoPROGRESS (Indonesia)

SIMPOSIUM—Cara Orde Baru Menciptak(e)n Manusia Indonesianya SIMPOSIUM—How the New Order Creat(e)d Its Indonesians

IndoPROGRESS. Memiliki jargon ‘Media Pemikiran Progresif’, sebuah jurnal online yang didasari gagasan jurnalisme warga yang terbuka pada keragaman perspektif dan pemikiran, bertukar gagasan dan pengalaman masyarakat khususnya ranah politik dan sosial sebagai wacana tandingan terhadap sejarah rekaan penguasa dan media arus utama. Selain sebagai media online, IndoPROGRESS juga terlibat dalam perhelatan-perhelatan publik. Tahun 2014 lalu, memoderasi diskusi film Alexander Kluge, Das Kapital’ (Nachrichten aus der ideologischen Antike: Eisenstein – Marx – Das Kapital) dan pada perayaan Hari Buruh 2015, mereka mengkuratori program pemutaran film Buruh Dalam Film yang bekerjasama dengan Kineforum.

IndoPROGRESS. With the tagline ‘media for progressive thinking’, Indo Progress is an online journal founded with an idea of citizen journalism with open mind to different perspectives and thoughts, sharing public ideas and experiences in political and social discourse. They aim IndoPROGRESS to counter the staged history by the authority and mainstream media. As an online media, IndoPROGRESS is actively involved in public events. In 2014, they moderate film discussion of Alexander Kluge, Das Kapital’ (Nachrichten aus der ideologischen Antike: Eisenstein – Marx – Das Kapital) Buruh Dalam Film in cooperation with Kineforum. www.IndoPROGRESS.com

L

ima puluh tahun yang lalu, Orde Baru muncul sebagai kekuatan baru di Indonesia. Kemudian, tujuh belas tahun yang lalu ia jatuh. Kenapa kemunculan Orde Baru dikatakan lima puluh tahun yang lalu? Padahal kita tahu Soeharto baru benarbenar berkuasa pada 1968? Karena secara simbolik, Orde Baru sudah memunculkan dirinya pada 1965. Simbolisasi kemunculannya ditandai oleh peristiwa direbutnya RRI oleh pasukan Soeharto dari tangan Untung Cs. Bisa dikatakan, penguasaan atas teknologi informasi adalah langkah awal Orde Baru menancapkan kukunya di Indonesia. Simposium ini adalah bincang-bincang fragmentaris tentang Orde Baru, kerjasama OK. Video Festival dan IndoPROGRESS. Mengangkat “Cara Orde Baru Menciptak(e)n Manusia Idonesianya” sebagai tema besarnya. Tema besar ini, akan menyoroti tiga hal yang dibagi dalam empat panel. Simposium akan dibuka dengan orasi dari keynote speaker yakni Seno Gumira Adjidarma. Keynote speaker akan berbicara tentang imajinasi Orde Baru tentang manusia Indonesia dan negara Indonesia kala itu, latar belakang pemikiran dari imajinasinya, serta bagaimana Orde Baru mengejawantahkan imajinasi itu dalam sendi-sendi kehidupan sehari-hari dan praktis.

F

ifty years ago, the New Order emerged as a new ruler of Indonesia. Seventeen year later, the regime collapsed. Why did we say the New Order emerged fifty years ago while Soeharto held power since 1968? It was simply because the New Order has revealed itself in 1965. It was symbolically marked when Radio Republic of Indonesia (RRI) was taken over by Soeharto armies from Untung forces. Many says that taking control over the information technology was the New Order’s first step to power in Indonesia. This symposium is a joint effort between OK. Video Festival and IndoPROGRESS discussing about the New Order under the topic: “How the New Order Creat(e) d Its Indonesians”. The topic will put spotlight into three subjects and divided to four panels. The symposium will be opened by keynote speaker Seno Gumira Adjidarma. Keynote speaker will deliver their thoughts on the New Order imagination on Indonesia’s individual and as a nation, its context, and how the New Order manifested its imagination into daily practices.

85


Cara Orde Baru Menciptak(e)n Manusia INdonesianya Senin, 15 Juni 2015 13.00—19.30 Ruang Seminar – Galeri Nasional Indonesia

14.00—16.00 Lobi Gedung A Panel II—Humor: Mocking at

16.30—18.30 Ruang Seminar Panel IV— The New Order

Pointed Gun Simposium akan dibuka dengan orasi dari keynote speaker yakni Seno Gumira Adjidarma pada 13.00 WIB. Keynote speaker akan berbicara tentang imajinasi Orde Baru tentang manusia Indonesia dan negara Indonesia kala itu, latar belakang pemikiran dari imajinasinya, serta bagaimana Orde Baru mengejawantahkan imajinasi itu dalam sendisendi kehidupan sehari-hari dan praktis.

Pembicara: Tri Agus Susanto Siswowiharjo — Author of Mati Ketawa Cara Daripada Orba, Yusi Avianto Pareanom—Senior Journalist, Litterateur Moderator: Arman Dhani (kolomnis mojok.co)

Television and Indonesian Family

14.00—16.00 Ruang Seminar Panel I—Pop (Music) Culture : A

Drift from Mainstream Media Pembicara: Yuka Narendra—Music critiques and doctoral student of Faculty of Humanities, Taufiq Rahman—jakartabeat and The Jakarta Post journalist Moderator: Taufiq Rahman—jakartabeat dan wartawan The The Jakarta Post Dalam panel “Budaya Pop”, kita hendak melihat praktik musik pop melawan musik jalur mainstream yang penuh sensor. Bagaimana musik pop melawan sensor ketat terhadap label mainstream kala itu, akan dikupas dalam panel ini.

Panel “Humor: Menyindir di Moncong Senapan” akan mengupas humor-humor menyentil di media seperti radio dan televisi, Warkop dan Srimulat misalnya. Juga akan membahas bagaimana adaptasi humor-humor tentang negara totaliter lainnya ke dalam konteks totaliter Orde Baru kala itu. 16.30-18.30 Lobi Gedung A Panel III—Gamble and Lottery

Practices in New Order Period Pembicara: Gamble and Lottery Practices in New Order Period, Dave Lumenta—Anthropologist of Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia, Anom Astika—Prisma magazine editor , Wasi Gde Puraka—Lecturer of Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia Moderator: Wasi Gde Puraka (pengajar FISIP UI) Imajinasi tentang Indonesia dari Orde Baru dengan sendirinya menimbulkan represi. Namun, perlawanannya tidak berhasil secara paripurna. Bukti yang sangat jelas dapat kita temukan zaman Orde Baru itu sendiri, yaitu munculnya paradoks manusia Indonesia ala Orba. Panel ini boleh jadi sangat vulgar, karena kami akan melihat “Praktek Judi di Masa Orde Baru” .

Pembicara : Ignatius Haryanto—senior researcher at Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Inayah Rakhmani—Lecturer and researcher, Holy Rafika—Researcher at remotivi Moderator : Akbar Yumni (Forum Lenteng) Panel ini hendak mengulas beberapa hal, yaitu rekonstruksi Indonesia sebagai sebuah keluarga dalam imajinasi Orde Baru, bagaimana imajinasi tentang keluarga merasuk dalam pariwara televisi, serta bagaimana perubahan televisi dari yang didominasi oleh negara, kini didominasi oleh konglomerasi. Imajinasi Orde Baru tentang Indonesianya, kerap kali atau bahkan sepenuhnya dikumandangkan melalui televisi (TVRI) pada masa itu. Imajinasi tentang Indonesia dari Orde Baru ini dengan sendirinya menciptakan apa yang tidak bisa masuk dalam kerangka itu. Di situlah perihal represi disertai dengan perlawanannya akan mengemuka. 19.00—19.30 Panel akan ditutup dengan kesimpulan dan closing statement oleh Martin Suryajaya di Ruang Seminar Galeri Nasional Indonesia. Penanggung Jawab seminar adalah IndoPROGRESS terdiri atas Berto Tukan, Fajri Siregar, Gery Paulandhika Tobing, Moch. Manan Rasudi, Yovantra Arief, Windu Jusuf, Hizkia Yosie Polimpung, dan Martin Suryajaya.

87


How the New Order Creat(e)d Its Indonesians Monday, 15 June 2015 13.00—19.30 Seminar Room– Galeri Nasional Indonesia The symposium will be opened by keynote speaker, Seno Gumira Adjidarma at 13.00. Keynote speakers will deliver their thoughts on the New Order imagination on Indonesia’s individual and as a nation, its context, and how the New Order manifested its imagination into daily practices. 14.00—16.00 at Seminar Room Panel I—Pop (Music) Culture: A Drift from Mainstream Media Speaker: Yuka Narendra—Music critiques and doctoral student of Faculty of Humanities Taufiq Rahman—jakartabeat and The Jakarta Post journalist Moderator: Taufiq Rahman—jakartabeat dan wartawan The The Jakarta Post This session on pop culture is to understand how pop music was used as tools to oppose mainstream music that was fully-censored. It’s a battle between pop music against tight grip towards mainstream music label.

14.00—16.00 at Gedung A Lobby

Panel II— Humor: Mocking at Pointed Gun Speakers: Tri Agus Susanto Siswowiharjo — Author of Mati Ketawa Cara Daripada Orba Yusi Avianto Pareanom—Senior Journalist, Litterateur Moderator: Arman Dhani—kolomnis mojok.co The session will discuss about wicked humor on radio and television like the ones from Warkop and Srimulat. This will also discuss how the jokes on totalitarian countries were adapted into the context of the New Order’s totalitarian government. 16.30-18.30 at Gedung A Lobby Panel III— Gamble and Lottery Practices in New Order Period Speakers: Dave Lumenta—Anthropologist of Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia, Anom Astika—Prisma magazine editor, Wasi Gde Puraka—Lecturer of Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia Moderator: Wasi Gde Puraka (pengajar FISIP UI) How the New Order regime imagined Indonesia has certainly incited repression – although the opposition against it has not succeeded completely. Its immediate evidence can be found right during the same period in a paradox of so-called Indonesian New Order individuals. The panel might sound too vulgar as we will have a closer look on “Gamble and Lottery Practices in the New Order Period”.

16.30—18.30 at Seminar Room

Panel IV— The New Order Television and Indonesian Family Speakers : Ignatius Haryanto—senior researcher at Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Inayah Rakhmani—Lecturer and researcher, Holy Rafika—Researcher at remotivi Moderator : Akbar Yumni—Forum Lenteng This panel will cover how the New Order regime projected Indonesia as a family, how the imagining of families penetrated into TV commercials and on the changes of TV ownership – from state-dominated into private sphere by conglomerates. The New Order’s imagination on Indonesia was often or fully broadcasted through television (Television of the Republic of Indonesia, TVRI) during that time. This imagination of Indonesia inevitably created things that cannot be included within the system. This is where control began and opposition follows. 19.00—19.30 Today’s series of panels will be closed by a group of rapporteurs and clossing statement by Martin Suryajaya at the seminar room, Galeri Nasional Indonesia. The seminar is organized by IndoPROGRESS: Berto Tukan, Fajri Siregar, Gery Paulandhika Tobing, Moch. Manan Rasudi, Yovantra Arief, Windu Jusuf, Hizkia Yosie Polimpung, dan Martin Suryajaya.

89


IP Yuk-Yiu (Hong Kong)

Dengan The Plastic Garden, seniman ini merangsang indera pemahaman kita tentang masa depan, tentang mimpi buruk kebinasaan massal di masa yang akan datang, dalam rangka mendefinisikan ulang esensi tragis dari kenyataan sosiopolitik moderen.

THE PLASTIC GARDEN Video kanal tunggal Single channel video 11’ 12� 2013

Ip Yuk Yiu. Seorang seniman, pendidik seni, dan kurator lepas. Dia mengajar film, video, dan media seni di Emerson College Massachusetts College of Art dan Hong Kong Polytechnic University. Kini, dia salah satu Professor di School of Creative Media, City University of Hong Kong. Karyanya telah dipertunjukkan di festival internasional, seperti European Media Art Festival, VideoBrasil, Transmediale, dan ISEA. Dia juga mendirikan art.ware, sebuah insiatif kuratorial independen yang berfokus pada promosi media seni baru di Hong Kong.

K

arya ini membajak sebuah permainan tembak-menembak berjudul Call of Duty: Black Ops (video game yang dirilis tahun 2010) yang menjadikan era Perang Dingin sebagai latar ceritanya. Memotong salah satu skena pada narasi permainan tersebut dengan hanya mengambil suasana sebuah rumah serta pekarangannya. Si seniman melakukan manipulasi adegan: tidak menghadirkan baku tembak sama sekali. Keheningan yang ditonjolkan oleh karya video ini, justru menghujam lebih dalam ingatan kita tentang kecemasan terhadap dampak pertikaian sosial-politik global. Perang, dalam keadaan tertentu, tak lebih menakutkan dibandingkan jeda penantian menjelang keputusan akhir: bagaimana wujud masa depan yang akan kita lalui? Kenyataannya, kegelisahan itu membuncah dalam citra-citra simbolik, salah satunya video game perang, dan hadir sebagai karakteristik budaya kontemporer di era masyarakat bermedia.

His works presented in many international festival; European Media Art Festival, VideoBrasil, Transmediale, dan ISEA. He also founded art.ware, an independent curatorial initiative focuses on the promoting new media art in Hong Kong. www.vimeo.com/ipyukyiu

T

his work re-engineered a shootout game titled Call of Duty: Black Ops (a video game that was released in 2010) that has the Cold War era as a background story. The artist cut off a scene of the video game narration, just taking the atmosphere of a home and a yard. The artist manipulates the scene: not presenting a shootout at all. The silence that is highlighted by the work of this video pierced even deeper into our memory of anxiety about the impact of global socio-political conflict. War, in certain circumstances, is no more frightening than the waiting interval of a final decision: how is the form of our designated future? In fact, the anxiety welled in symbolic images, such as a video game war, and present as a characteristic of contemporary culture in an era of media society. With The Plastic Garden, the artist stimulates the senses of our understanding about the future, about the nightmare of mass destruction in the future, in order to redefine the tragic essence of modern sociopolitical reality.

91


Irama Nusantara (Indonesia)

B

erawal dari ketertarikan terhadap musik-musik modern Indonesia, kelompok Irama Nusantara terbentuk pada 2013. Bagi Irama Nusantara, musik merupakan salah satu bagian penting dalam menelusuri jejak perjalanan suatu bangsa. Mereka pun bergerak mengumpulkan beragam medium tempat musik-musik itu terekam, seperti vinyl, kaset, hingga compact disc. Di tahun 2014, kelompok ini mendapat kesempatan meningkatkan gerilyanya melacak jejak-jejak musik modern Indonesia. Hingga akhirnya mereka dapat mengumpulkan ratusan musik modern rilisan Indonesia era ’50-an hingga ’80-an dan membagikannya secara gratis melalui situs www.iramanusantara.org Karya mixtape Untitled mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan yang terdapat dalam database mereka. Menurut Irama Nusantara, musik (vinyl dan radio) sangat identik dengan propaganda Orde Lama, sedangkan audiovisual (televisi dan film) digunakan sebagai propaganda Orde Baru.

UNTITLED Mixtape loop 2015 Irama Nusantara menginisiasi pendataan, pelestarian, dan pengarsipan musik Indonesia era ’50-an hingga ’80-an dan mendistribusikan temuantemuannya untuk kemudian diunggah ke dalam database online mereka www.iramanusantara. org. Hal-hal tersebut mereka lakukan dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya masyarakat untuk mengenal musik modern Indonesia sebagai bagian dari identitas bangsa. Selain bekerja seperti sekelompok arkeolog musik yang berkeliling Indonesia mencari vinyl-vinyl terbitan tahun ‘50-an, kelompok ini juga sering terlibat dalam performansperformans musik yang diadakan di ibukota dengan menghadirkan mixtape lagu-lagu ’50-an hingga ’80an dengan performa disc jockey vinyl.

Irama Nusantara. An archiving initiative that also preserves and creates database of Indonesian music from the era of 50s to 80s. It distributes its discoveries with online database www.iramanusantara.org. They do this on the basis of awereness that modern music is shaping national identity. Resembling a group of archeologist, they hunt vinyls published some 50 years ago and regularly participated in music performances where a disc jockey performs vynil mixtapes from 50s to 80s.

Dalam karya ini, Irama Nusantara mencoba memperlihatkan bagaimana suara di awal keberadaan Orde Baru--Gegar budaya, pengimitasian, serta sosialisasi nilai-nilai baru. Mulai dari serapah Koes Bersaudara akan rezim Orde Lama, Mars Repelita, Ayoman Pohon Beringin, hingga iklan susu. Karya ini mencoba merefleksikan semangat kebebasan yang muncul di periode awal pemerintahan Orde Baru (1968-1973).

C

oming up from the interest of Indonesia modern musics, Irama Nusantara group founded in 2013. For Irama Nusantara, music is one of important thing for the sake of exploring the journey of a country. They were be in action collecting numerous medium where that musics recorded, such as vinyl, cassette and compact disc. In 2014, this group got the opportunity to escalate their guerrilla tracking the trail of Indonesia modern music. Finally, they could collect hundreds of Indonesia releases modern music of 50s to 80s and share them through a website www.iramanusantara.org for free. This Untitled mixtape work tries to gather scrap of memory which contained in their database. According to Irama Nusantara, music (vinyl and radio) was very idenctic with the propaganda of Orde Lama, meanwhile audiovisual (television and film) used for Orde Baru’s propaganda. In this work, Irama Nusantara tries to trout out how voice at the beginning of Orde Baru existence. Culture shock, imitation and new value socialization. Starting from Koes Brother cursed against Orde Lama regime, Mars Repelita, Ayomam Pohon Beringin to milk advertisement. This work tries to reflect the spirit of freedom which appeared at the first period of reign Orde Baru. (1968-1973)

93


Irwan Ahmett (Indonesia)

SPATIAL HISTORY Instalasi objek dan diskusi Object installation and live discussion 2015

Irwan Ahmett. Memiliki latar belakang sebagai desainer. Ia sering berkolaborasi dengan Tita Salina dan memilih ruang publik sebagai lapangan independen yang potensial. Pasca pameran tunggalnya yang bertajuk Happiness di RURU Gallery pada 2009, Irwan bersama Tita memulai proyek Urban Play (2010) yang terus bergulir di beberapa tempat, salah satunya, di Singapore Biennale: If The World Changed pada 2013. Pada 2011, Irwan melakukan perjalanan ke beberapa negara untuk mengikuti residensi seniman dan memproduksi karya. Proyek-proyek seninya antara lain: Very-Very Important Fish, Urban Intervention, Grafiti on History, Panenergi dan Spatial History.

Irwan Ahmett. With a background as a designer, he frequently collaborates with Tita Salina and selects public spaces as potensial independent fields. Following his solo exhibition Happiness at RURU Gallery in 2009, Irwan and Tita started a project called Urban Play (2010) which is still exhibited included by Singapore Biennale: If The World Changed in 2013. In 2011, this duo toured to several countries to participate in a residency program and produce artworks. They have created art projects such as: Very-Very Important Fish, Urban Intervention, Grafiti on History, Panenergi dan Spatial History.

S

patial History merupakan proyek seni Irwan Ahmett yang secara spesifik merespon kerumitan sejarah dan situasi politik di Indonesia pada 1966, khususnya yang terkait dengan kontroversi pemberian mandat kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto melalui selembar kertas yang di kemudian hari kita kenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dalam perjalanan menelusuri artefak dan merekonstruksi ingatan dengan pihakpihak yang mengalami masa peralihan kekuasaan politik tersebut secara langsung, Irwan menemukan argumen yang berbeda dan tabrakan persepsi. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai versi Supersemar. Di mana? Dan apa sebenarnya kekuatan otentik sebuah dokumen? Irwan melihat sebuah ‘ruang kosong’ yang sulit dipahami oleh sejarah namun di sanalah imajinasi dirinya sebagai seorang seniman berusaha ‘menemukan’ kembali, setidaknya dalam tingkat konseptual. Spatial History merupakan medium yang menawarkan bagaimana objek dan peristiwa serta materi yang tidak pernah ada dapat menjadi sebuah intervensi sejarah, seperti halnya ketika sebuah monumen dibangun untuk membuat pernyataan.

S

patial History is an art project of Irwan Ahmett that specifically responds to the hassle of Indonesia’s history and political situation in 1966, especially those related to the controversy of the mandate of power from Sukarno to Suharto through a piece of paper that were later known as Supersemar (Order of March the Eleventh). In a journey through artifacts and reconstructing the memories of those who experienced the transition of the political power, Irwan found different arguments and collisions of perception. This is made complicated by the existence of different versions of Supersemar. Where and what exactly is the authentic power of a document? Irwan see an ‘blank space’ that is difficult to understand by the history, but that’s where the imagination of himself as an artist trying to ‘find’ it back, at least on a conceptual level. Spatial History is a medium that offers how objects and events as well as material that was never there might be an intervention of the history, as in the case when a monument was built to make a statement.

95


Jakarta Wasted Artists (Indonesia)

S

aur Sepuh adalah salah satu sandiwara radio yang melegenda di dunia penyiaran radio dan masyarakat Indonesia. Drama yang mengambil latar Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Hayam Wuruk karya Niki Kosasih ini bercerita tentang seorang pendekar sakti mandraguna bernama Brama Kumbara. Kisah Saur Sepuh menjadi hiburan alternatif bagi masyarakat Indonesia pada ’80-an bersamaan dengan masuknya televisi dan video di rumah-rumah warga. Tahun ’80-an menjadi masa kecil para seniman yang tergabung dalam Jakarta Wasted Artists. Mereka memiliki kesamaan ingatan dengan sandiwara radio Saur Sepuh yang populer di masa kecil mereka. Saat itu radio menjadi salah satu media hiburan yang langka di luar ibukota dan untuk mendengarkan sandiwara ini, orang beramai-ramai datang ke tempat-tempat yang memiliki radio, baik rumah tetangga maupun ruang-ruang pertemuan warga.

SAUR SEPUH (JWA REMIX) Instalasi video Video installation 2015

Jakarta Wasted Artists (JWA) kelompok seniman visual yang dibentuk pada 2010 oleh Hauritsa, Henry Foundation, Mateus Bondan dan Mushowir Bing. Dalam bekerja sambil bermain, JWA mengambil dan mengekstrak masalah ‘terbuang’ atau ‘wasted’, dalam konteks perkotaan sebagai isu penting untuk dirumuskan sebagai karya seni atau peristiwa seni. Di 2010 itu, mereka melangsungkan pameran tunggal pertama di AOD Artspace, Jakarta. Pada 2014 menjadi fasilitator untuk workshop seni digital di Jakarta 32°C. Mereka bekerja dan tinggal di Jakarta.

Jakarta Wasted Artists (JWA) is a group of visual artists established in 2010 by Hauritsa, Henry Foundation, Mateus Bondan and Mushowir Bing. Playing while working, JWA seizes and extracts what being “wasted” in urban context – it’s the central topic of their arts. In 2010 they held their first solo exhibition at AOD Artspace, Jakarta. In 2014 they served as facilitator for digital art workshop at Jakarta 320 Celcius. They are based in Jakarta. www.jakartawastedartists.tumblr.com

Jakarta Wasted Artists mencoba mengintepretasi dan merekonstruksi sandiwara radio Saur Sepuh ke dalam karya instalasi video. Akhir tahun ‘80-an, kisah sandiwara radio ini diangkat ke layar kaca dan layar lebar. Namun, perubahan bentuk dari medium suara ke gambar bergerak itu membuat kelompok ini kecewa. Fantasi yang dibangun oleh suara lebih imajinatif ketimbang estetika dan bahasa visual yang ditransformasikan dari naskah drama itu.

S

aur Sepuh is one of the legendary radio shows of the Indonesian radio broadcasting world and its audience. This drama set in the era of Majapahit Kingdom under the rule of Hayam Wuruk, written by Niki Kosasih, tells about a potent warrior called Brama Kumbara. This story was an alternative entertainment for Indonesian people in the 1980s together with the penetration of television and video into the houses. The 1980s was the childhood period of the artists united in Jakarta Wasted Artists. They share a collective memory of the Saur Sepuh radio show that was popular during their childhood. At that time radio was an entertainment media rarely found outside the capital city. Elsewhere people came in throngs to places that had a radio, whether someone’s house or meeting halls. Jakarta Wasted Artists try to interpret and reconstruct the Saur Sepuh radio show in a video installation. At the end of the 1980s this radio drama was interpreted into cinema and television film. But the medium change from audio-based to the motion picture disappointed this group. Their fantasy built by sounds was richer compared to the aesthetics and visual language transformed from the drama script.

97


Jan Patrick D. Pineda (The Philippines)

MEMORIAL OF AN INQUIRY Instalasi video tiga kanal Three channels video installation 2014

Jan Patrick D. Pineda. Seniman yang berdomisili di Manila ini karyanya merupakan intervensi berbasis gambar yang menyelidiki modal, memori, dan kontrak sosial. Jan Patrick Pineda merupakan salah satu pendiri DiscLab-Research and Criticism (www. discussionlab.com), sebuah ruang untuk menulis kritis, teori, dan penelitian jangka panjang tentang seni kontemporer Filipina. Selain bekerja sebagai editor-desain dan foto di sana, dia juga menjadi desain grafis di Thousandfold.

Jan Patrick Pineda is an artist based in Manila. His works are image-based interventions that inquire on the nature of capital, memory and social contracts. He is a co-founder, the design and photo editor of Disclab Research and Criticism, discussionlab.com. www.vimeo.com/janpineda

B

ermain dengan arsip dalam sebuah karya adalah cara seniman mempertanyakan fakta sejarah. Kadang, mereka memanipulasinya untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi arsip itu sendiri. Idenya adalah merenungkan masa lalu untuk memahami konsep yang belum dipahami secara utuh, bahwa sejarah mengandung informasi atau muatan politik yang melekat dengan bias dan memori manusia. Arsip ini bercerita tentang suku Tasaday. Sebuah hoax di tahun ‘70-an yang merupakan propaganda pemerintah Marcos untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari realitas atas persepsi dunia terhadap Filipina saat itu. Arsip ini dipresentasikan dalam serangkaian set rekonstruksi, reinterpretasi, dan pemeriksaan ulang melalui bahasa sinema dalam tiga layar. Arsip dihadirkan ulang dari ruang penyimpanan, memberi kemungkinan kita untuk mengubah pemahaman atas sebuah persoalan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah benar Tasaday sebuah tipuan? Atau gagasan penipuan itu sendiri adalah tipuan? Jadi, di manakah kebenaran? Jawabannya, mungkin terletak di antara fiksi dan fakta yang saling tumpang tindih untuk mendapatkan perhatian.

P

laying around with archives is one way for artist to examines history facts. They often manipulate archives to explore and clarify. The idea is to reflect the past to understand concept that has not been fully comprehended, that history conveyed information and politics glued with biased and human memories. This archive tells a story about Tasaday tribe. A hoax that emerged in the 70’s created by Marcos government to distract people’s attention from the reality of how the world viewed the Philippines at that time. The archive was being showcased in several renovation sets, reinterpreted, and reexamined through three-screen cinema. The archive was re-presented from the vault, to create possibilities for us to change our understanding over things. What comes out later was the question, was Tasaday a hoax or was the idea of a hoax is a hoax itself? So, where is the truth? The answer probably lies in between facts and fictions which all seek attention.

99


Jatiwangi Art Factory (Indonesia)

Kehadiran televisi komunitas membawa cerita lain dalam sejarah pertelevisian di Indonesia. Tahun 2002, Undang Undang Penyiaran lahir dan mengizinkan munculnya televisi komunitas yang dapat menempatkan warga komunitas sebagai ‘produser’ yang memiliki kuasa atas segala informasi dan hiburan yang dibutuhkan warga komunitas itu sendiri. Mencoba mengikis sentralisasi penyiaran (dari Jawa) dan kepemilikan melahirkan ‘kepemilikankepemilikan’ baru yang lahir dari warga. Di sini, keberagaman kepemilikan dapat mendorong warga melakukan kontrol sendiri terhadap isi siaran yang ditangkap di televisinya.

TVRI (TELEVISI RAKYAT INDONESIA) Instalasi video lima kanal dan pemancar Five channels video and transmitter installation 2011-2015

Jatiwangi Art Factory (JAF). Tahun 2015 ini, JAF memutuskan isu tanah (Tahun Tanah) menjadi landasan dalam membuat proyek-proyek seni yang melibatan masyarakat. Sejak 10 tahun lalu, komunitas yang berdiri di desa Jatisura, Jatiwangi-Majalengka, Jawa Barat ini menggunakan seni sebagai jembatan dan alat pemberdayaan, penelitian, serta pengembangan desa. Selain membuat program yang rutin diselenggarakan di desa, JAF juga produktif membuat karya-karya multimedia dan terlibat di dalam perhelatan seni rupa, musik, performance, dan film baik nasional maupun internasional, dengan menghadirkan kesegaran sudut pandang dalam melihat persoalan desa dan hubungannya dengan masyarakat global.

S

alah satu hal yang berkontribusi mengikis kekuasaan pemerintah Orde Baru adalah berdirinya televisi swasta di awal ’90-an. Kehadiran saluran informasi di luar narasi resmi pemerintah ini telah membuka kemungkinan lahirnya perspektif lain melihat peristiwa. Namun, tetap pada koridor sentralisasi penyiaran terpusat (Jawa) yang membuat kebudayaan dan entitas lokal terpinggirkan oleh penetrasi ‘kebudayaan’ televisi swasta.

Jatiwangi Art Factory (JAF). For this year’s work, JAF has decided to highlight questions about land (Year of Land) for their people-based art projects. Since its establishment 10 years ago in Jatisura Village, JatiwangiMajalengka, West Java, the group persistently uses arts as a means to empower, research and improve the village. JAF have a regular program running in the village as well as construct multimedia and participate in exhibitions such as visual art music, performance, and film, both on national and international level. It brought renewed perspective on how questions in villages are related to global society. www.jatiwangiartfactory.wordpress.com

Televisi Rakyat Indonesia (TVRI) menghadirkan beberapa program televisi yang diproduksi oleh JAFTV terkait siaran pembangunan desa yang di masa Orde Baru, sangat populer. Siaran pedesaan ala JAFTV mencoba melihat peran positif dari sebuah media, tidak hanya mendokumentasikan perkembangan masyarakat desa tetapi juga menjadi media untuk menemukan persoalan-persoalan desa. Siaran Televisi Rakyat Indonesia (TVRI) dapat ditangkap sejauh 2,5 kilometer dari ruang pameran.

O

ne of the things that contributed to the New Order regime’s erosion was the establishment of private television stations in early 1990s. These information canals outside the official narrations of the government opened the possibility of other perspectives over events while still being inside the broadcasting corridor that was centered in Java, marginalizing other local entities and cultures with its own cultural penetration. The presence of community televisions brought another story in the Indonesian television history. In 2002 the Broadcasting Law was ratified and allowed the emergence of community television that can place community members as the producer, having the power over all information and entertainment the community members need. This was an effort to wear down the broadcasting centralization (Java) and ownership, allowing new “ownerships” from the hands of the people. The diverse ownerships resulted then should be able to empower the people to control their own television broadcast. Televisi Rakyat Indonesia (TVRI) presents several television programs produced by JAFTV that are related with village development program shows—very popular during New Order days. The village broadcasting à la JAFTV tries to see the positive role of a media, not only to document a village society’s development but also becomes the media that identify village problems. The programs of this TVRI can be transmitted up to 2.5 km from the exhibition hall.

101


Johannes Gierlinger (Austria)

THE FORTUNE YOU SEEK IS IN ANOTHER COOKIE Video kanal tunggal Single channel video 81’ 2015

Johannes Gierlinger lahir 1985 dan besar di Austria. Dia menamatkan sarjananya dari Departemen Media Digital FH Salzburg, Istanbul. Kemudian Gierlinger juga menamatkan studi di Akademi Seni Rupa Viena. Dia menerima beasiswa dan penghargaan antara lain hibah tahunan untuk fim dari pemerintah Salzburg. Karyanya telah diputar di berbagai festival film dan institusi, seperti CPH:DOX, 57th Cork Film Festival, 30th Kassel Dokfest, MumokVienna, MOCAK Krakow. Fokusnya adalah film esai, dokumenter, eksperimental, juga fotografi.

Johannes Gierlinger Lives an works in Vienna. He was born 1985. Grew up on the countryside in Austria. He received a BA from ‘Digital Media Department’ FH Salzburg, studied in Istanbul and at the moment at the Academy of Fine Arts Vienna. He has received several scholarship grants and awards, amongst others the Annual Grant for Film from the Federal State Government Salzburg.His films have been shown at various International Filmfestivals and Institutions like the CPH:DOX Copehagen, 57th Cork Filmfestival, 30th Kassel Dokfest, Mumok Vienna, MOCAK Krakow. www.johannesgierlinger.com

J

ohannes Gierlinger mendayagunakan konstruksi sinematik untuk membongkar gagasan polemis tentang kebahagiaan—yang di satu sisi dipercaya sebagai makna universal, tetapi juga sebuah sensasi yang bersifat relatif di sisi yang lain. Di sini, ia menguntai esai visual melalui sudut pandang subjektifnya dengan memposisikan diri sebagai pengamat peristiwa-peristiwa dunia. Bidikan demi bidikan atas pelbagai peristiwa politik dan praktik kultural—pawai, kerusuhan, demonstrasi, pemandangan di pinggir jalan, penampakan di moda transportasi, tempat rekreasi, temuan teknologi, dlsb—menjadi kode-kode representatif dari kebebasan yang bersitegang di dalam beragam gejala dan batasan-batasan sosial-ekonomi. The Fortune You Seek is In Another Cookie dipuji sebagai karya yang mencoba merefleksikan hubungan antara [kehidupan] manusia dan alam semesta. Karya ini menyaling-benturkan gambar, teks dan suara ke dalam adegan-adegan yang tampak saling bertentangan. Pendekatan sinematiknya samar-samar mengingatkan kita, dari sudut pandang berbeda, kepada gagasan prinsipil Bernadette Jiwa mengenai siasat komunikasi sebagai strategi bisnis: manusia, sebagai makhluk sosial dan berakal, akan meningkatkan rasa dan kepedulian terhadap sesuatu tatkala ada narasi yang membingkainya. Film, secara kodrati, mendasarkan narasi sebagai intisari historis utama yang melatarbelakangi polemik itu. Karya ini adalah renungan puitik atas hal yang sifatnya abstrak, dan secara politis menggaungkan kerinduan untuk melihat dunia dengan cara yang baru: kebahagiaan adalah sebuah perjalanan panjang dalam mendefinisikan kegelisahan terhadap dunia itu sendiri.

J

ohannes Gierlinger made use of systematic construction to dismantle the polemic idea of happiness – which at one side is believed as a universal meaning, but also a sensation relative in nature at the other side. Here, he strings a visual essay through his subjective point of view by positioning himself as an observer of world events. Individual aims on the various political events and cultural practices – parades, riots, demonstrations, views on the sidewalk, occurrence in the transportation modes, recreational venues, technology inventions, and many more – have become the representation of codes on the freedom which perseveres within various symptoms and limitations of socio-economy. The Fortune You Seek is In Another Cookie is regarded as an artwork trying to reflect the connections between human [lives] and the universe. The artwork crossconflicted imageries, text and voice into scenes contradictory to each other. The systematic approach vaguely reminds us, from a different kind of perspective, to the idea of Bernadette Jiwa’s principle on the communication strategy as a business strategy: human, as a social and rational creature, will enhance the empathy and compassion over an issue should a narration is present to complete its framework. A film, in its very nature, put a basis of narration as its main historical essence for the background of the polemic. The artwork is a poetic reflection on everything abstract, as it politically echoing the yearning of seeing the world with a new way: happiness is a long journey in defining the anxiety towards the world itself.

103


Julia Sarisetiati (Indonesia)

SLOGAN UNTUK MASYARAKAT SENI TAGLINE FOR ARTISTIC SOCIETY Video Kanal Tunggal Single channel video projection, Konstruksi Panel/Panel Construction Dimensi bervariasi Variable Dimension 2013

Julia Sarisetiati. Sejak 2008 hingga 2011, ia menjadi manajer ruangrupa. Setelah itu, tergabung dalam komite artistik RURU Corps, sebuah biro komunikasi visual yang didirikan oleh ruangrupa, Serrum, dan Forum Lenteng. Di samping bekerja sebagai fotografer lepas dan berkarya dengan medium fotografi dan video, ia kerap mengembangkan praktik artistiknya ke wilayah lain yang berpijak pada riset dan kolaborasi lintas disiplin. Tahun 2013, karyanya berjudul Tagline for Artistic Society dipamerkan di Jakarta Biennale XV: SIASAT. Ia juga terlibat mengkuratori MUSLIHAT OK. Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013.

Julia Sarisetiati. Since 2008 to 2011, she was the manager for ruangrupa. Then she joined the artistic committee of RURU Corps, a visual communication agency initiated by ruangrupa, Serrum, and Forum Lenteng. A freelance photographer and producer of arts in photography and video, she often expands her artistic practices based on research and multidisciplinary collaborations. In 2013, her work Tagline for Artistic Society was shown at Jakarta Biennale XV-SIASAT. She also curates MUSLIHAT OK. Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013.

S

Sari,berkolaborasi dengan Budi Mulia, seorang ilmuwan di bidang pengembangan kesejahteraan masyarakat, mengumpulkan empat mahasiswa kesejahteraan masyarakat dan memberi mereka sebuah tugas. Sebagai bagian dari kelompok akademik di bidang kesejahteraan masyarakat, tentunya mereka memiliki pengamatan tersendiri tentang kehidupan yang ada di sekitar mereka. Tugas ini adalah sebuah kesempatan untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Dalam proyek ini, Sari meminta empat mahasiswa ilmu sosial untuk membuat slogan. Sebuah slogan untuk masyarakat utopis dimana semua orang adalah seniman. Selain itu, Sari juga meminta mereka untuk membayangkan masyarakat macam apa yang penduduknya adalah adalah seniman? Sari selalu tertarik pada ide/energi yang dimiliki oleh orang lain; ia juga berharap untuk mengubah ide/energi tersebut agar dapat menjadi miliknya dan lalu meneruskannya ke orang lain melalui berbagai bentuk dokumentasi. Kita tahu, orang tua, guru, teman baik dan bahkan orang asing biasanya menyampaikan nasihatnya dalam bentuk kalimat pendek/ kutipan/slogan yang sejatinya memiliki makna yang mendalam. Jadi, dalam proyek ini, para mahasiswa memiliki tugas yang sama seperti orang-orang tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah, dari semua penciptaan makna yang menyerbu di masa sekarang, mana yang paling penting bagimu dalam kehidupan sehari-hari? Video yang ditampilkan dalam pameran ini adalah dokumentasi proyek tersebut.

I

n collaboration with Budi Mulia, a scientist in the field of social welfare development—Sari collected four social science students and give them an assignment. As aspiring academics in the field of public welfare, they surely have their own observations about surrounding lives. This assignment became an opportunity to apply the knowledge they gained. In this project, Sari ask the four social science students to create a tagline. A tagline about an utopian society, where all people are artists. And to imagine, what kind of society will it be? She has always been interested in the thoughts/energy possessed by the others and hope to transform it to become hers too, also pass it on to the others through the various method of documentation. As we knows, our parents, teachers, best friends and even strangers used to summarize their advice to us into a short sentence/ quotes /tagline/ suggestion which actually has deep meaning. So in this project, the students have same task as them. The next question is, from the invasion of the existing production of meaning today, which is the most important to be activated by you in your daily life? The video presented in this exhibition is the documentation of the project.

105


D

Krisgath (Indonesia)

alam karya ini, Krisgath Achmad bermain dengan logika pencahayaan, bebunyian, dan bagaimana benda-benda sehari-hari dapat memiliki makna yang berbeda jika ditempatkan dalam satu bingkai dengan gagasan-gagasan medium lainnya. Objek pada dasarnya memiliki sejarah gagasan dan sejarah materi. Dan bagi sekelompok orang, sebuah objek tidak hanya memiliki relasi sejarah yang mengikat, tetapi jauh hingga pada konsep kebahagiaan dan keyakinan. Bertema ‘perairan’, Krisgath mencoba menyajikan investigasi atas pergeseran persepsi, struktur, situasi, tentang migrasi, perpindahan dan penetapan populasi, sampai akhirnya membentuk sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga kepercayaan terhadap konsep kebahagiaan dan kepuasan. Ia tidak menghadirkan masa lalu sebagai kasus spesifik, namun mencoba melihat optimisme yang coba dibangun di atas tragedi-tragedi masa lalu.

I

n this work, Krisgath Achmad plays with the logics of lightings, sounds, and how daily objects could posess different meanings when placed on the same frame with other medium ideas. Objects, in general, pose the history of ideas and the history of matter. For certain people, an object does not only relate with a binding history; but further to the concept of happiness and faith. Under the theme of ‘waters’, Krisgath tries to serve an investigation upon shifting in perceptions, structures, situations, about population migrations, transfers and establishments; which in the end form the social, cultural, political, economic, and belief toward the concepts of happiness and satisfaction. He does not try to feature the past as a specific case, but rather seeing the optimism which was tried to be built upon tragedies in the past.

107

AN ODE FOR CRUELTY: THE TOMB OF (YOUR) HOPES AND DREAMS SO FRAIL Instalasi objek, bunyi, dan pencahayaan Lights fermentation, sound, and object installation 2015

Krisgatha Achmad. Sekarang tinggal dan bekerja di Jakarta. Ia kuliah di jurusan desain interior. Berkat ketertarikannya dengan desain suara, ia banyak bereksperimen dengan suara, gerak grafis, cahaya, dan objek. Sejak 1999 sampai akhir 2010, Krisgatha bekerja sebagai editor di beberapa majalah independen anak muda. Kebanyakan dari karyanya mengeksplorasi beragam medium dan format, dari kanvas, print, instalasi, video dan soundscape. Ia telah berpartisipasi di forum-forum seni internasional untuk proyek seni, seminar, dan program residensi seniman.

Krisgatha Achmad. He studied interior design but has huge interest in sound design and experiment a lot with sounds, graphic motions, lights and objects. From 1999 to 2010, Krisgatha worked as an editor for several independent magazines for young people. Most of his works explores various medium like canvas, prints, installation, video and soundscape. He has been participating in international forums for different art projects, seminars, and artists’ residency program. He now lives and works in Jakarta. www.krsgth.wordpress.com


Krisna Murti (Indonesia)

B

elajar Antre kepada Semut, merupakan salah satu karya awal dari pelopor seni media Indonesia, Krisna Murti. Karya ini mempresentasikan citra ironis singa yang dijuluki raja hutan harus belajar antre kepada hewan kecil semut melalui televisi. Metafora ini hadir menjelang runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1996. Di satu sisi, posisi singa menonton representasi semut dalam televisi dapat dibaca sebagai sebuah pengawasan (merujuk pada fenomena CCTV) atau bagaimana singa itu mempelajari budaya antri pada semut (yang diutarakan oleh sang seniman melalui judul). Ambiguitas ini hadir di saat bersamaan pada karya yang telah dikoleksi oleh Galeri Nasional Indonesia ini.

BELAJAR ANTRE KEPADA SEMUT LEARN TO QUEUE FROM THE ANTS Instalasi video Video installation 1996 Koleksi Galeri Nasional Indonesia National Gallery of Indonesia collection

Krisna Murti merupakan satu dari sedikit seniman yang intens menggunakan medium video sejak tahun 90-an. Ia terlibat di berbagai perhelatan seni rupa internasional, seperti Havana Biennale di Cuba (2000); Gwangju Biennale di Korea (2000); dan Transmediale di Berlin, Jerman (2005). Tahun 2013 lalu, ia mengadakan pameran tunggalnya di Galeri Salihara dengan tajuk Art After Drama. Sejak 2003, menjadi dosen tamu dalam studi media baru di Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia juga penulis yang produktif dalam mewacanakan perkembangan seni media di Indonesia yang dimuat di berbagai terbitan di Indonesia. Krisna juga aktif menjadi kurator untuk pameran-pameran seni media hingga sekarang.

Krisna Murti is one of the few artists that uses video medium intensively since the 90s . He has been taking part in some international visual art exhibitions, like in Havana Biennale in Cuba, 2000; Gwangju Biennale in Korea (2000); and Transmediale in Berlin, Germany (2005). In 2013, he held his solo exhibition called Art After Drama at Galeri Salihara. Since 2003, he became visiting lecturer on the subject of new media at Post Graduate Program in Indonesia Art Institute in Yogyakarta. He is also a productive author that often throws discourse in new media in Indonesia. His writings were published in several publication in Indonesia. Krisna is also an active curator for media art exhibitions to date.

Kemunculan televisi swasta pada awal 90-an, menjadi salah satu hal yang turut berkontribusi meruntuhkan propaganda pemerintah Orde Baru. Sedangkan, karya instalasi ini adalah salah satu hal yang membuka wacana baru tentang bagaimana seni media dapat digunakan sebagai kritik terhadap budaya media itu sendiri.

B

elajar Antre kepada Semut (Learn to Queue from the Ants) is one of the earlier works of Indonesia’s media art pioneer, Krisna Murti. This work represents the ironic image of the lion that named the king of the jungle, who has to learn to queue from the little ant through television. The metaphor appeared prior to the collapse of the New Order regime in 1996. On the one hand, the lion’s position while watching the ants in the television can be read as supervision (refers to the phenomenon of CCTV) or how the lion learns the culture of queue from the ants (which is expressed by the artist through the title). Ambiguity is presented at the same time on the work that has been collected by the National Gallery of Indonesia. The emergence of private television in the early ‘90s became one of the things that contribute to overthrow the propaganda of New Order government. Meanwhile, the work of this installation is one of the things that shed new light on how media art can be used as a critique of media culture itself.

109


Lab Laba-Laba (Indonesia)

Latar sosial dalam film boneka Si Titik dapat dijadikan pengantar untuk melihat bagaimana cara pandang negara (pemerintahan Orde Baru) melihat masyarakat di luar pulau Jawa yang perlu dibina dan dididik, bahkan hingga ke tingkat pelestarian lingkungan hidup. Dihidupkannya lagi Si Titik dari ‘kuburan sinema’ akan memperlihatkan narasi sejarah yang berbeda dari yang diperlihatkan tokoh boneka legenda Si Unyil.

KEMBALINYA SI TITIK RETURN OF TITIK Instalasi arsip Archive installation 2015

Lab Laba-Laba. Kelompok terbuka ini dibentuk tahun 2014 dengan pusat lokasi kegiatan di Gedung Laboratorium Perusahaan Umum Produksi Film Negara (Perum PFN). Sejak berdiri, kelompok ini aktif mendata dan membersihkan koleksi film seluloid milik Perum PFN yang tersisa di film vault Laboratorium Perum PFN. Lebih dari satu tahun, kelompok ini menghidupkan kembali ingatan kejayaan perusahaan yang menjadi alat produksi media propaganda pemerintah Orde Baru. Di luar kegiatan pengarsipan film, mereka juga aktif membuat pemutaran, diskusi, lokakarya, dan pameran. Pada April 2015 lalu, kelompok ini menyelenggarakan pameran bersama bertajuk Mengalami Kemanusiaan yang melibatkan para anggotanya.

B

erawal dari kesuksesan seri film cerita boneka Si Unyil, yang diproduksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN), Si Titik lahir dengan bentuk yang sama dengan ‘kakaknya’, Unyil, namun dengan cerita yang berbeda. Tokoh Si Titik diceritakan sebagai seorang anak perempuan korban kecelakaan pesawat yang akhirnya tinggal di hutan. Setiap episodenya, Si Titik muncul bermain di hutan dan mengajari masyarakat hutan (binatang-binatang) membaca dan menulis. Pesan yang ingin disampaikan dari film-film Si Titik adalah kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Sayangnya Si Titik hanya diproduksi 8 episode dalam kurun waktu 1982-1984 karena tidak sepopuler Si Unyil.

Lab Laba-Laba. This open group was formed in 2014 and put the building of Laboratorium Perusahaan Umum Produksi Film Negara (State Film Production Public Perum PFN) as its center of activities. This group saves data and recovers celluloid film stored in Perum PFN lab vaults. For more than a year, they re-animate public memories from the glory of old time from PFN —as a body who produced propaganda publication for New Order regime. They also actively held screening, discussion, workshop, and public display, while doing the archive works. Last April 2015, this group ran a co-exhibition entitled Mengalami Kemanusiaan, involving its members. www.lablabalaba.weebly.com

T

he success story of the TV puppet series Unyil, which produced by the State Film Production Center (PPFN), Si Titik was born with the same outline as its ‘brother’, Unyil, but with a different story. The character Titik was described as a little girl who survived a plane crash and ended up living in the jungle. Each episode, Si Titik appeared to play in the woods and taught animals of the forest to read and write. The message of Si Titik is the awareness to preserve the environment. Unfortunately there were only eight episodes of Si Titik in 1982 to 1984 because it was not as popular as Unyil. The social background of the film can be used as an introductory to see how the state (New Order government) saw the people outside Java that need to be nurtured and educated, even down to the level of preservation of the environment. The revival of Si Titik from the “cinema grave” will show the different historical narratives of which are shown by the puppet legend Si Unyil.

111


Lyubov Matyunina (Russia/The Netherlands)

Distributed by LIMA, Amsterdam

WHO CAN BE HAPPY AND FREE Video kanal tunggal Single channel video 5’ 2014

Lyubov Matyunina. Lahir di Kaliningrad, Rusia. Meraih gelar Sarjana Seni Rupa di Akademi Gerrit Rietveld (2014). Dia menamatkan studi Politik Dunia di Universitas Gotland, Swedia (2006). Kemudian, lanjut mendapatkan master jurnalistik di Universitas Negeri Rusia (2007). Dia adalah pendiri UKROP Moving Art Platform (www. ukrop.nl). Karyanya mendapat banyak penghargaan, seperti Tent Public Choice Award (2014) dan Moving Baltic Sea Festival (2008). Filmnya telah disertakan di berbagai festival film internasional, seperti Festival Film Internasional Rotterdam, Belanda, Luksuz film festival, Krško, Slovenia, dan KOROCHE film festival, Kaliningrad, Russia. Pengajar dan fasilitator workshop “Video Satu Menit” ini tinggal dan bekerja di Amsterdam.

Lyubov Matyunina, (Kaliningrad, Russia 1985) having her bachelor on Fine Arts, from Gerrit Rietveld Academy (2014). She courses “World politics” in Gotland University, Sweden (2006) and having her Master of Journalistic from Russian State University (2007). One of founder of initiative-UKROP Moving Art Platform (www.ukrop. nl). Her works has been swhon in many international festival in Rotterdam, Luksuz film festival, Krško, Slovenia, KOROCHE film festival, Kaliningrad, Russia. Facilitator and teacher of UNICEF and the One Minutes Foundation (Sandberg Instituut) whose organize workshops to give youngsters a chance to create their own one minute videos is now live and work in Amsterdam, Netherlands. www.lubudubum.com

D

alam karya ini, Lyubov Matyunina menerjemahkan puisi berjudul Who Can Be Happy and Free di Russia? karya Nikolaj Nekrasov yang ditulis pada 1877 dan menjadi sebuah film tentang keadaan Rusia saat ini. Puisi tersebut ditulis di bawah pemerintahan Tsar setelah masa penghapusan perbudakan, sedangkan film ini dibuat pada masa pemerintahan Putin setelah Rusia menyerang Ukraina. Film ini merupakan sebuah narasi mengenai situasi politik di Rusia secara tidak langsung. Matyunina melakukan perjalanan melewati beberapa wilayah di Rusia, bertanya kepada masyarakat mengenai persepsi mereka akan kebebasan dan kebahagiaan. Pada umumnya para responden menjawab lebih personal dari setiap pertanyaan yang diajukan. Pencarian kebebasan dan kebahagiaan bagi mereka tak lepas dari pertemanan, keluarga, wajib militer, agama, minuman dan musik. Tidak nampak kesan sinis dan menyedihkan dari orang Rusia saat ini, tapi dalam waktu yang bersamaan terlihat begitu intim dan sangat penting. Film ini memperlihatkan optimisme yang terlihat dari masyarakat Rusia saat ini.

I

n this work, Lyubov Matyunina translates a poetry titled Who Can Be Happy and Free in Russia? by Nikolaj Nekrasov, written in 1877, into a film about the state of Russia today. The poem was written under the reign of Tsar after the abolition of slavery and the film was made during the reign of Putin after the Russia attacked Ukraine. This film indirectly is a narrative about the political situation in Russia. Matyunina traveled through several regions in Russia, asking people about their perception of freedom and happiness. In general, the respondents gave more personal answers than any questions. The pursuit of freedom and happiness for them is not far from friendship, family, military service, religion, drinks, and music. There were no cynical and depressing impression of the Russians at this time, but at the same time looked so intimate and very important. This film shows the optimism that is visible from the current Russian society.

113


Marishka Soekarna (Indonesia)

HOUSEWIFI Instalasi video dan objek Video and object installation 2015

Marishka Soekarna. Menyelesaikan studinya di Jurusan Seni Grafis Institut Teknologi Bandung pada 2007. Menjadi gitaris band perempuan Boys are Toys. Marishka sangat dekat dengan dunia desain. Saat ini, ia bekerja sebagai freelancer illustrator dan menjalankan produk tas dengan brand UGLY bersama dua sahabatnya. Ia mengeksplorasi beragam medium mulai dari drawing, mural, hingga video stop motion. Ia terlibat dalam berbagai pameran seni, seperti Drawma (2010) dan Begadang Neng (2013) di RURU Gallery, ARTE 2014 – Indonesia Arts Festival dan Medium of Living di Edwin’s Gallery beberapa bulan lalu.

Marishka Soekarna. She finished her study in graphic design at Bandung Institute of Technology in 2007. She was the guitarist for a girls’ band Boys Are Toys. Marishka has been very connected with the design world. Currently she is working as a freelancer illustrator and producing her own bag label UGLY with her two friends. She explores medium from drawing, mural, to stop motion video. She participated in art exhibitions like Drawma (2010) and Begadang Neng (2013) at RURU Gallery, ARTE 2014 – Indonesia Arts Festival and Medium of Living di Edwin’s Gallery a few months ago. www.marishkasoekarna.blogspot.com

H

H

Marishka menerjemahkan persoalan tersebut dalam bentuk miniatur rumah tak berpintu, yang digabungkan dengan video animasi yang menampilkan permainan simbol-simbol representatif untuk mewacanakan persoalan keperempuanan. Benturan kedua media itu diharapkan akan membentuk paradigma personal yang dapat dibaca sebagai pancingan kepada perempuan sekarang untuk membaca kembali konsep ibuisme dalam konteks kekinian, di mana konsep itu masih bertahan namun menghadapi beragam pergeseran.

Marishka interpreted the problem in form of a house miniature with no doors, merged with animation video which features playful representative symbols to bring the discourse of womanhood issue. The clash of both mediums is expected to carve personal paradigms which could be read as triggers toward modern woman to re-read the concepts of “ibu-ism” or “mother-ism” in current context; in which the concept remains to survive, yet faces various shiftings.

ousewifi mencoba melihat kembali peran perempuan dalam ruang lingkup terkecil, yaitu keluarga. Marishka terinspirasi oleh konsep “ibu” dan “priyayi” di masa Orde Baru yang menggabungkan nilai-nilai borjuis kecil Belanda dengan nilai-nilai tradisional priyayi. Pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan depolitisasi sistematis peran dan posisi perempuan Indonesia. Sosok Bapak Pembangunan telah mengharuskan kaum perempuan baik sebagai ibu maupun isteri ikut mengabdi dalam pembangunan yang bertumpu pada paham paternalistik dan memposisikan laki-laki sebagai elemen inti dari negara. Sementara, perempuan cukup sebagai elemen sekunder namun mendukung kebijakan negara secara total.

ousewifi tries to re-encapsulate the roles of women in the smallest surrounding, a family. Marishka is inspired by the concepts of “mother” and “priyayi” or aristocratic during the New Order era; which incorporated minor bourgeois values of the Dutch with traditional values of aristocratism. The New Order government developed systemic unpoliticizing policies of Indonesian women’s roles and positions. The figure of “Development Father” has made it obligatory for women –both as mothers and wives– to serve in the development which centralized in paternalistic ism and posed men as the core element of the state; while women was positioned as a secondary element, but which nonetheless totally supported the state policies.

115


Marko Schiefelbein (Germany)

F

reedom to Move seakan mengingatkan bahwa visual bukan hanya persoalan indera penglihatan. Citra dapat muncul dalam imajinasi. Melalui monolog seorang pria, karya Marko Schiefelbein memberi kebebasan imajinasi kepada penonton untuk merekonstruksi peristiwa yang diartikulasikan melalui detail-detail ekspresi ketakjuban. Melalui ekspresi itu, sang tokoh berusaha meyakinkan dan menarik kita, pemirsa, untuk masuk ke dalam peristiwa fantasi yang dibangunnya. Freedom to Move membicarakan bagaimana sebuah performans dan sejarah lisan dapat mempengaruhi orang lain secara psikologis untuk percaya akan apa yang diucapkan. Ini bukan soal kenyataan atau kebenaran peristiwa yang terjadi di masa lalu. Video ini hanya memperlihatkan bagaimana cara kerja propaganda dan transfer keyakinan dilakukan melalui metode kesaksian. Freedom to Move tidak menceritakan sebuah peristiwa yang dialami oleh sang tokoh, tetapi ingatan adegan per adegan dari sebuah video iklan celana jeans Levi’s yang dibuat tahun 2002 oleh Jonathan Glazer yang telah menginsepsinya.

FREEDOM TO MOVE Video kanal tunggal Single channel video 6’ 33” 2013

Marko Schiefelbein. Lahir di Stralsund, Jerman. Dia belajar Sejarah Seni, Studi Slavia dan Sejarah Eropa Timur di University of Kiel, Jerman (2004-2006). Kemudian, pada tahun 2011 ia menamatkan studi pascasarjana Seni Rupa di Braunschweig University of Art, Jerman. Penghargaan yang didapatkan di bidang seni di antaranya Videoholica International Video Art Festival, Bulgaria. Filmnya telah ditayangkan di beberapa festival internasional seperti Festival Film Cannes-Shortfilm Corner, Cannes, Prancis dan Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman.

Marko Schiefelbein is a German artist living/working in Berlin. In his videos/installations, he analyzes the images and language of the advertising industry creating characters whose identities are located in a fight between self-determination and a heteronomy forced by consumerism & advertisement. www.markoschiefelbein.com

F

reedom to Move seems to remind us that visual is not only the matter of the sense of sight. Image may appear in the imagination. Through a monologue of a man, the work of Marko Schiefelbein gives freedom to the viewer’s imagination to reconstruct the events that are articulated through the details of expression of amazement. Through the expression, the hero tries to convince and attract us—the viewers—to enter the built fantasy. Freedom to Move discuss how a performance and oral history can psychologically affect other people to believe what was said. It’s not about reality or truth of the events that occurred in the past. This video only shows how the propaganda and the faith transfer are done through testimony method. Freedom to Move does not tell an event experienced by the character but by the memory of a scene-by-scene Levi’s jeans video advertisement made in 2002 by Jonathan Glazer who had incepted the character.

117


K

Mella Jaarsma (Indonesia)

his work refers to a key incident in Indonesian’s turbulent history. The historical site of the incident, ‘Lubang Buaya’ or literally the Crocodile’s Pit, is a well in Jakarta where the bodies of seven murdered army officers were dumped in 1965, during the 1 October coup attempt of the 30 September Movement. There are still question marks around the ‘real’ story of this massacre and the role of the Indonesian Communist Party and General Suharto.

Karya ini mengundang Anda meletakkan kepala ke dalam sebuah lubang di bagian kepala masing-masing kulit buaya sambil mendengarkan wawancara dan usaha untuk mengumpulkan data terperinci peristiwa tersebut.

The work invites you to place your head inside a hole at the head of each crocodile skin whilst listening to interviews about the incident and attempt to piece together details of the event.

“Saya mewawancara kurang-lebih 30 orang dari berbagai generasi dan latar belakang tentang arti “Lubang Buaya.” Tanggapan mereka menunjukkan betapa tidak jelasnya bayangan mengenai insiden dramatis tersebut sampai hari ini”. - Mella Jaarsma Photography by Mie Cornoedus.

LUBANG BUAYA Video dua kanal dan instalasi kulit buaya Two channels video and crocodile leather installation Dimensi bervariasi Various dimension 2015

Mella Jaarsma. Tahun 2014, Rumah Seni Cemeti yang dibangunnya bersama Nindityo Adipurnomo mendapatkan penghargaan Anugerah Adhikarya Rupa dari Kementerian Industri Kreatif dan Pariwisata. Mella Jaarsma merupakan satu dari sedikit seniman yang sejak akhir 80-an, selain aktif dan produktif membuat karya serta mengkuratori, juga berupaya membangun wacana seni rupa kontemporer di Indonesia melalui organisasinya. Ia mengeksplorasi beragam medium dalam praktik berkarya. Mulai dari lukisan, drawing, etsa, patung, video, seni bunyi, instalasi dan performance, yang membenturkan isu tradisi, moderen, dan kontemporer dalam karya-karyanya.

Mella Jaarsma. In 2014, Rumah Seni Cemeti, that she initiated with Nindityo Adipurnomo received Anugerah Adhikarya Rupa award from the Ministry of Tourism and Creative Economy. Since 1980s, Mella Jaarsma is one the few artists who activily create works, curates and shapes visual art discourses under the umbrella of his organization. She explores medium in his works, stretches from painting drawing, etching, to sculpture, video, audio art, installation to performance. In all of her efforts, she challenged traditional, modern, and contemporary issues. Since 2000, she frequently performs solo exhibitions. www.mellajaarsma.com

T

arya ini mengacu pada insiden besar dalam sejarah Indonesia yang bergejolak. Situs sejarah insiden ini, “Lubang Buaya”, merupakan sebuah sumur di Jakarta tempat jenazah tujuh perwira Angkatan Darat dibuang pada 1965, semasa percobaan kudeta 1 Oktober setelah Gerakan 30 September. Masih banyak tanda tanya seputar kisah “asli” dari pembantaian ini, juga peran Partai Komunis Indonesia dan Jenderal Soeharto.

“I interviewed approximately 30 people from different generations and backgrounds about the meaning of ‘Lubang Buaya’. The responses show how unclear the image of this dramatic incident is, even today.” - Mella Jaarsma 119


M.G. Pringgotono (Indonesia)

K

T

arya ini akan berbicara tentang bagaimana konstruksi pendidikan yang coba dilakukan pemerintah dan apa yang diterima oleh masyarakat. Pola pendidikan pada zaman Orde Baru akan ditampilkan dengan bentuk instalasi 3D menggunakan 3D pen printer yang ditembakkan dengan mini projector. jadi bayangannya akan jatuh ke tembok.

his particular artwork will discuss on how the government tries to establish its educational construction, as well as what is perceived by the society. The educational pattern on the New Order era is presented by a 3D installation, as it utilizes the 3D pen printer projected through a mini projector. Thus, the shadow will fall into the walls.

Karya ini adalah pengalaman personal. Beberapa dari banyak hal lain yang melatarbelakangi riwayat pendidikan si seniman, direpresentasikan dalam karya ini. Memanggil kembali memori kolektif dari anak-anak yang tumbuh dan berkembang di era ’80-an; belajar dari menonton pelajaran fisika tentang pembiasan cahaya di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang ditayangkana pukul 08.00. Juga, menonton akal-akalannya McGyver di malam hari.

The artwork itself is a personal experience. Some of many other issues representing the educational history of the artist are represented within this magnificent piece of work. In recalling the collective memory of the children growing up and developing themselves in the 1980s era; learning by watching physics education show on the refraction of light at the Indonesian Educational Television (Televisi Pendidikan Indonesia/TPI) broadcasted at 08.00AM. Also, watching McGyver’s genius action in the evening. 121

Rekonstruksi Non Ijazah Instalasi proyeksi video dan 3D doodling Video projection and 3D doodling installation 2015

M.G. Pringgotono. Seniman yang tinggal dan bekerja di Jakarta ini lulusan Universitas Negeri Jakarta (2008). Menaruh minat pada street art, karyanya berbasis site specific dan penelitian urban. Pada 2006, bersama kawan-kawannya semasa kuliah mendirikan SERRUM. Pada 2011, ia terlibat dalam Pameran Seni Media di Nusa Tenggara Barat. Lalu mengikuti residensi seniman di Seoul Art Space, Geumcheon, Korea. Selain sebagai seniman, M.G. Pringgotono juga aktif menjadi kurator. Pada 2012 menjadi kurator untuk pameran tunggal Saleh Husein, Riwayat Saudagar di RURU Gallery.

M.G. Pringgotono. He’s a graduate from the Jakarta State University (2008) and now lives and works in Jakarta. He has enormous interest in street art, sitespecific based works, and urban researchs. In 2006, he founded SERRUM with his university buddies. In 2011, he took part in a media art exhibition in West Nusa Tenggara. Then he attended residency program at Seoul Art Space, Geumcheon, Korea, in the same year. Apart from his quality as an artist, M.G. Pringgotono is also an active curator. In 2012 he was the curator for Saleh Husein solo exhibition, Riwayat Saudagar at RURU Gallery.


Nastasha Abigail & Raslene (Indonesia)

DEKADENSI Video kanal tunggal Single channel video 13’ 3” 2015 Nastasha Abigail. Sarjana komunikasi lulusan jurnalistik Universitas Pelita Harapan (2009) ini merintis karirnya sebagai penyiar radio sejak 2007. Selain sebagai penyiar, Abigail juga seorang vokalis latar band indie-rock, Pandai Besi. Ia juga aktif sebagai seniman yang banyak menggunakan unsur performativitas di dalam karya-karyanya. Raslene. Karya pertamanya, Jukstaposisi, terpilih menjadi salah satu karya terbaik di Jakarta 320 Celcius 2012. Penggemar film yang sering menghabiskan waktunya menonton ini terlibat lokakarya Sugar Fiction yang menjadi bagian dari pameran The Sweet and Sour Story of Sugar kerjasama ruangrupa (Jakarta) dan Noorderlicht (Belanda).

Nastasha Abigail. She holds a bachelor degree from Journalism at the University of Pelita Harapan (2009). She paved her way as a radio announcer since 2007. She was also a backing vocalist for indie-rock band Pandai Besi. As an artist she oftens uses performativity in her works. Raslene. Her first work, Jukstaposisi, was selected as one of the best works at Jakarta 320 Celcius 2012. A movie-freak who spends most of her time watching films evolved in a workshop called Sugar Fiction that was a part of The Sweet and Sour Story of Sugar, an art exhibition partnering Jakarta ruangrupa and Netherland Noorderlicht.

S

T

tasiun TVRI adalah salah satu corong andalan rezim Orde Baru. Melalui media inilah, pemerintah saat itu menerapkan Politik Imagologi. TVRI menjadi peran sental teknologi informasi dalam membentuk berbagai citra sebagai bagian dari aktivitas atau strategi politik saat itu. Dalam pengertian lain, mempolitisasi citra untuk satu kepentingan tertentu. Politik terus berjalan hingga runtuhnya rezim ini pada1998.

VRI Station is one of the leading funnels for the New Order regime. Through this particular media, the government at the time had implemented the Imagology Politics. TVRI had become the central role of information technology in shaping various imageries as part of the political activities or strategies at the time. In other words: to politicize imagery for a particular interest. The politics continued until the fall of the regime in 1998.

Salah satu hal yang penting dalam siaransiaran televisi saat itu adalah kekuatan narasi yang dibacakan oleh pembaca berita. Di sini, pembawa berita mewakili sudut pandang pemerintah dalam melihat persoalan yang menjadi pemberitaan. Nastasha Abigail & Raslene, duo seniman muda Jakarta yang besar sesudah Reformasi mencoba bermain hanya dengan estetika visual berita-berita TVRI. Apakah kekuatan politik imagologi dapat bekerja jika seandainya suara narasi dihilangkan dan visual imagologi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dekadensi bukanlah upaya mendekonstruksi, tetapi lebih bermain pada kepercayaan sang pembuat terhadap visual yang diproduksi oleh televisi pemerintah ini.

One of the most important issues in the television broadcasts at the time was the power of the narration read by the newscaster. Here, newscasters represented the government’s angle in perceiving the topics made into news. Nastasha Abigail and Raslene, Jakarta’s young artists duo who grew after the Reform era, are trying to play with only the visual aesthetics of the TVRI news. Is the power of imagology politics may play should the narrative voice is eliminated and the visual imagology does not take effect the way it should be. Dekadensi is not a deconstructive effort, rather it plays on the makers’ belief on the visuals produced by the government-owned television.

123


Oliver Ressler (Austria) & Dario Azzellini (Germany/Venezuela)

COMUNA UNDER CONSTRUCTION Video kanal tunggal Single channel video 94’ 2010 Dario Azzellini. Penulis ulung yang fokus pada isu-isu sosial dan revolusioner militan, migrasi dan rasisme, ekonomi kerakyatan, kontrol buruh, dan lain-lain di Amerika Latin. Buku-bukunya telah diterbitkan di berbagai Negara, salah satunya buku La Empresa Guerra yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Insist Press, Yogyakarta (2007). Tinggal dan bekerja di Berlin, Jerman, dan Caracas, Venezuela. Oliver Ressler. Tinggal dan bekerja di Wina, Austria. Perupa yang sering membuat karya instalasi, proyek-proyek di ruang publik, dan sutradara film ini banyak membicarakan isu-isu ekonomi, demokrasi, pemanasan global, dan alternatif sosial.

Dario Azzellini. A prolific author that focuses on social issues, revolutionary militants, migration and racism, people-centric economy, labor control, etc, in Latin America. His books have been published in several countries. One of his books La Empresa Guerra has been translated into Indonesian and published by Insist Press, Yogyakarta (2007). He is living and work in Berlin, in Germany and Caracas, Venezuela. www.azzellini.net Oliver Ressler. Lives and works in Vienna, Austria. A productive visual artist that works in the field of installation, public spaces projects and film. A director that speaks often about economic issues, democracy, global warming, and social alternatives. www.ressler.at

P

erwakilan Rakyat adalah elemen utama dari “Comuna Under Construction,” dimana film ini diawali oleh Dewan Perwakilan (Consejo Comunal) Emiliano Hernández, yang terletak di salah satu pemukiman kumuh di Caracas. Adegan ini kemudian beralih kepada keinginan masyarakat untuk membentuk komunitas (Comunas) dan sebuah komunitas kota di pinggiran Barinas, yang berakhir di Petare, sebuah pemukiman kumuh raksasa di kota Caracas, dimana terdapat 29 Dewan Perwakilan yang ingin membentuk Komunitas Maca (Comuna of Maca). Apakah mungkin untuk menyatukan seluruh daerah dan otoritas otonomi? Masingmasing kepala Dewan Perwakilan memiliki pengalaman positif dan negatif terhadap insitusi yang diperbincangkan. Di Petare, aktivis pro-rakyat Yusmeli Patiño menuding seorang pejabat pemerintah, dengan pernyataannya: “Kita kehilangan kredibilitas karena ketidak mampuan institusi pemerintahan.” Tetapi ada juga beberapa anggota institusi yang berusaha keras dalam mendasari keputusan yang diambilnya. Hubungan antara rakyat dengan institusi ini ditandai dengan banyaknya kerjasama dan konflik, tetapi Consejos Comunales juga memiliki masalah internal; dimana partisipasi harus dipelajari. Baik kemajuan dan hambatan dalam usaha ini mewarnai proses yang sulit bagi mereka yang mengambil keputusan untuk menentukan kehidupan dan lingkungannya sendiri.

T

he assemblies are a central element of the film “Comuna Under Construction”. The film starts off in the well organized Consejo Comunal Emiliano Hernández located in one of the shantytowns of Caracas. It then shows the intentions of forming Comunas and a communal town in rural Barinas and ends in Petare, a gigantic shantytown of the agglomeration of Caracas where there are 29 Consejos Comunales intending to build the Comuna of Maca. Is it even possible to bring together state and autonomy at all? Every one of the Consejos Comunales spokes-persons has positive as well as negative experiences with the institutions in store to talk about. In an assembly in Petare the grass-roots activist Yusmeli Patiño blames a high government representative: “We are losing our credibility because of the incompetence of the state institutions”. But there are also members of the institutions who make a big effort to accompany the basis in making its own decisions. Relations between the grass roots and the institutions are marked by cooperation as well as conflict. But the Consejos Comunales also have internal difficulties; participation has to be learned. Both progress and setback mark the difficult process of people actually taking the power of deciding on their own lives and environment by themselves.

125


T

oomleo (Indonesia)

aman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi monumen penting bagi narasi sejarah kejayaan pemerintah Orde Baru. Dengan mengecilkan kepulauan Indonesia menjadi anjungan-anjungan dan diorama-diorama, Indonesia dapat dikunjungi hanya dalam satu hari. TMII dibuka pada 1975 dan menjadi tujuan wisata belajar bagi pelajar dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Di taman ini, semua warga Indonesia memiliki memori dengannya, di sinilah mereka mempelajari identitas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia versi narasi resmi pemerintah dengan interaktif. Narpati Awangga dan Taman Mini, sebuah film yang mengangkat memori masa kecil personal yang dimiliki oomleo–pemilik nama asli Narpati Awangga. Pada karya ini, narasi yang diungkap oomleo bukanlah narasi primer tentang Taman Mini Indonesia Indah, melainkan narasi sekunder yang cenderung ajaib yang lahir akibat keintimannya dengan taman itu. Mengandalkan ingatan, oomleo mencoba menelusuri jejak-jejak masa kecil bersama ayahnya dari satu ruang ke ruang lain. Ia merekonstruksi sejarahnya yang juga dimiliki warga Indonesia lainnya.

NARPATI AWANGGA DAN TAMAN MINI Video kanal tunggal Single channel video 60’ 2015

Oomleo. Bernama asli Narpati Awangga. Kuliah di Jurusan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bergabung dengan ruangrupa sejak tahun 2003. Kemudian, membuat proyek band elektro pop, Goodnight Electric setahun kemudian. Ia seorang seniman grafis yang menekuni pixel art. Pameran tunggalnya, PROJECT No 11, Bits and Pix diselenggarakan di Platform3-Bandung (2012). Di sela-sela kesibukannya mengurus radio online www. rururadio.org, ia aktif mengikuti pameran seni media internasional. Tahun 2014, ia terlibat dalam pameran Media Art/Kitchen: Politics of Humor and Play yang diadakan di Aomori Contemporary Art Center, Jepang.

Oomleo. Born under the name Narpati Awangga, he studied graphic design at Indonesia Art Institute, Yogyakarta. In 2003, he joined ruang rupa and a year later formed an electro pop musical project called Goodnight Electric. Oomleo is a graphic artist who is dedicated into pixel art. His solo exhibition, PROJECT No 11, Bits and Pix was held in Platform3-Bandung (2012). Apart from managing online radio www.rururadio.org, he is still enthusiastically participating in international media art exhibitions. In 2014, he was engaged in an exhibition entitled Media Art/Kitchen: Politics of Humor and Play held in Aomori Contemporary Art Center, Japan. www.oomleo.com

T

aman Mini Indonesia Indah, or the Indonesian Miniature Park, has become an important moment for the historical narration of New Order administration’s glory. By minimizing the archipelago into pavilions and dioramas, people may visit Indonesia just within a day. The park, which was initially opened in 1975, has become the main destination of study tours for school and university students across the country. In this particular park, almost all Indonesians have acquired memorable experience, as they interactively learnt about the nation’s identity and culture according to the government official narration at the time. Narpati Awangga dan Taman Mini, an uplifting film which brings back a personal childhood memory possessed by oomleo – whose real name is Narpati Awangga. In this particular artwork, the narration revealed by oomleo is not the primary narration on Taman Mini Indonesia Indah, rather a magical secondary narration born due to his intimacy to the park itself. Based on his memory alone, oomleo is trying to explore his childhood trails with his father from one room to another. He reconstructed his own history, which is most likely possessed by most Indonesians like himself.

127


Otty Widasari (Indonesia)

ONES WHO LOOKED AT THE PRESENCE Instalasi video dan sketsa Video and drawing installation 2014

Otty Widasari. Salah satu pendiri Forum Lenteng (2003). Sehari-harinya bekerja sebagai Koordinator Program Pemberdayaan Media, akumassa. Ia menyelesaikan studinya di Institut Kesenian Jakarta. Menjadi salah satu finalis Indonesian Art Award 2008 di Galeri Nasional Indonesia dan terlibat dalam proyek film pendek 9808 bersama beberapa sutradara muda Indonesia di tahun yang sama. Tahun 2013, bersama akumassa, ia terlibat dalam proyek seni Seni di Batas Senen yang menjadi bagian dalam Jakarta Biennale XV: SIASAT. Di tahun yang sama, videonya yang berjudul Jabal Hadroh, Jabal Al Jannah dipamerkan dalam Biennale Jogja XII: Equator 2. Tahun 2014, mengikuti SeMA Biennale Mediacity Seoul, Korea, dan mengikuti residensi seniman di Impakt Festival, Utrecht, Belanda.

Otty Widasari. She was one of the founders of Forum Lenteng (2003) and now she’s the Program Coordinator of Media Empowerment, akumassa. She finished her study in Jakarta Institute of Art. She was one of the finalists in Indonesian Art Award 2008 held in Galeri Nasional Indonesia and participate in short film project 9808 along with other Indonesian young directors in the same year. In 2013, she brought akumassa to join an art project called Seni di Batas Senen as a part of Jakarta Biennale XV-SIASAT. In the same year, his video titled Jabal Hadroh, Jabal Al Jannah was featured in Biennale Jogja XII: Equator 2. In 2014, she attended SeMA Biennale Mediacity Seoul, in Korea and participated in artist residency in Impakt Festival, Utrecht, The Netherland.

O

nes Who Looked at The Presence merupakan proyek seni yang dilakukan oleh Otty Widasari ketika berada di Utrecht, Belanda. Proyek ini menanggapi arsip film yang merekam masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Otty melakukan dekonstruksi tentang kehadiran tubuh di hadapan kamera— gestur yang bereaksi pada bidikan kamera sehingga membentuk karakter tertentu di dalam frame kamera sebagai realitas reproduktif. Sekaligus menanggapi fenomena reproduksi citra di era digital dan internet, yang telah mengesampingkan perhatian terhadap otentisitas material. Otty membuat sejumlah sketsa (drawings), lukisan dan karya video sebagai medium penafsirannya. Festival Orde Baru OK. Video akan menampilkan dua karya yang merupakan bagian dari proyek tersebut, yakni sketsa (drawings) karakter masyarakat Papua —yang merupakan hasil interpretasi si seniman terhadap arsip audiovisual yang ia kumpulkan— dan satu video berjudul Asmat 2. Kedua karya ini adalah konstruksi subjektif si seniman atas fungsi arsip dan konteksnya di hari ini. Reproduksi citra yang dilakukan oleh Otty, di satu sisi, mengungkap aspek kerentanan material, tetapi di sisi yang lain melakukan kritik terhadap sistem preservasi. Tatkala kecenderungan digital menjadi dominan, pilihan atas tata cara moderen disikapi sebagai cara progresif untuk mempertanyakan ulang keadiluhungan arsip itu sendiri.

O

nes Who Looked at The Presence is an art project conducted by Otty Widasari when she resided in Utrecht, The Netherlands. The project responds to film archives which captured Indonesian society during the colonial era. Otty conducted a deconstruction on body presence in front of the camera –gestures that reacted toward camera shooting to form certain characters within the camera frame, as a reproductive reality. It also corresponds to the phenomenon of image reproduction in the digital and internet era, which has hasted aside the attention to material authenticity. Otty presented a number of drawings, paintings, and video works as a medium of her interpretation. The “Orde Baru OK. Video” Festival will feature two artworks which are essential part of the project; which are the drawings of Papua people characters –as the artist’s interpretations toward audiovisual archives that she collected– and a video titled Asmat 2. Both works are the artist’s subjective construction upon her archival and contextual functions today. On one side, the image reproductions conducted by Otty revealed the material fragility aspect; but on the other hand it also commenced a criticism upon the preservation system. When digital tendencies became dominant, choices of modern manners are responded as a progressive mean to re-question the subliminal being of archives themselves.

129


S

PM TOH (Indonesia)

ejak kemunculannya, TV Eng Ong yang dibuat Agus Nur Amal menjadi semacam penetrasi atas gencarnya siaran televisi Indonesia yang berlarutlarut menjadikan bencana tsunami Aceh tahun 2004 sebagai komoditas. Semenjak itu, TV Eng Ong muncul berkeliling dunia menghadirkan tradisi pengisahan lisan yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Timur. TV Eng Ong memiliki ciri khas dalam penyajiannya. PM toh tidak hanya menawarkan pandangannya terhadap persoalan sehari-hari masyarakat Aceh dan Indonesia, bahkan hingga ke persoalan sosial-politik. Untuk mendukung pengisahannya, ia juga menggunakan benda-benda sehari-hari sebagai medium artistiknya yang mampu menghidupkan narasi yang berdiri sendiri untuk menganalogikan sebuah peristiwa atau tokoh yang direfleksikannya dari kenyataan sehari-hari.

Tak Ada yang Berubah Nothing Changes Performans multimedia interaktif Interactive multimedia performance 2015 Friday 26 June 2015 16.00-17.00 Seminar Room - Galeri Nasional Indonesia

Agus Nur Amal ‘PM Toh’. Memiliki nama panggung PM Toh. Dalam penampilannya selalu membawakan seni bertutur dan memakai benda-benda sederhana yang dapat ditemukan dalam keseharian sebagai medium artistik narasinya. Melakukan pementasan solo di Berlin, Jerman, tahun 2011. Memberikan workshop “Teater Object” di Theatre of Change di Athena (Yunani), Nottingham University di Nottingham (Inggris) dan Forum Scenography di Praha (Republik Ceko).

Agus Nur Amal ‘PM Toh’. He’s widely known by his stage name: PM Toh. He delivers the arts of spoken words using simple things found in everdays lives as the medium of his artistic narration. He did his solo performance back in 2011 in Berlin, Germany. He gave a workshop of “Theatre of Objects” at the Theatre of Change in Athena (Greece), Nottingham University in Nottingham (United Kingdom) and Forum Scenography in Prague (Czech Republic).

Pada performans multimedia yang dibuatnya untuk perhelatan OK. Video, Agus bekerjasama dengan Chairul Rachman dalam pembuatan visual multimedia, sedang Empi membantunya membuat setting dan properti. Ketiga orang ini berkolaborasi dalam performans multimedia yang mengisahkan persoalan kasus kekerasan di masa lalu yang belum tuntas akibat tidak adanya perubahan paradigma negara dan militer dalam melihat dan menangani persoalan masyarakat.

S

ince its birth, Eng Ong TV created by Agus Nur Amal has become a penetration of Indonesian broadcasting programs that exhaustively presented the 2004 Aceh tsunami disaster as a commodity. Since then Eng Ong TV has traveled the world at large to perform the art of oral tradition that tells the life of an East society. Eng Ong TV has a unique way of performing. Agus Nur Amal doesn’t only offer his views over daily musings of Acehnese and Indonesian people but also over social and political affairs. To spice up his storytelling, he also makes use of daily, ordinary stuffs as his artistic medium that is able to animate the narration to create analogies about an event or a character reflected from daily realities. In his multimedia performance made for OK.Video, Agus works together with Chairul Rachman to create a multimedia visual while Empi helps him with the setting and property. These three collaborate in a multimedia performance that tells about unfinished violence cases of the past due to the unchanged paradigm of the state and the military in viewing and handling societal problems.

131


A

Racun Kota (Indonesia)

ksi panggung Racun Kota, mengingatkan pada situasi dunia musik saat Slank tampil dipentas di awal 1990. Kemunculannya diibaratkan seperti perwakilan kelas marjinal yang bisa masuk ke dalam layar kaca. Selain karena faktor lirik yang merakyat, penampilan Slank yang apa adanya, seolah membius generasi pada masa itu untuk turut mengeluarkan ekspresi “kemudaannya”. Trio asal Jakarta ini boleh dikatakan memiliki kemiripan dengan Slank dalam hal estetik musik, meski berbeda genre. Racun kota selalu menghadirkan materi musik mentah, tetapi selalu dapat dibungkus menarik dengan aksi panggung mereka yang frontal. Lirik keseharian yang boleh dibilang sangat kasar secara bunyi, malah makin memperiuh suasana. Sedangkan, tampilan visual “kotor” yang dihadirkan di hampir setiap performansnya membuat penonton semakin larut. Trio ini seolah mewakili seluruh rasa ketidakpuasan personal yang tidak dapat diungkapkan kebanyakan individu. Boleh dikatakan, mereka adalah instrumen kebebasan kaum muda.

UNTITLED Performans multimedia Multimedia performance 20’ 2015 Sunday 14 June 2015 19.30 Galeri Nasional Indonesia Racun Kota, sebuah projek musik eksperimental berbasis kesenangan oleh Jablay, Toxicologhy, Eloco Tigre. Trio yang memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda mulai dari street artist hingga karyawan dealer mobil yang ketiganya berdomisili di Jakarta, selalu menampilkan performans yang liar. Dalam aksi panggungnya selalu mencampurkan berbagai elemen salah satunya visual yang biasanya gambar-gambar yang dianggap tabu dalam tatakrama masyarakat kebanyakan.

Racun Kota is a fun-based experimental music project by Jablay, Toxicologhy, Eloco Tigre. This trio who all three lived in Jakarta and has different employment background, ranging from street artist to car dealer employees always presents a wild performance. In their stage action, they always mix different elements. One of the elements is visualization, with pictures which are usually considered taboo in the manners of society in general.

T

he stage act of Racun Kota, or literally translated as the ‘City’s Poison’, reminded us on the condition of the music world when Slank – a local rock band – emerged on stage during the early 1990s. Its debut was like the representation of the marginal class successfully entering the glass screen. Aside from their grass root lyrics, Slank’s ordinary appearance had seemed to hypnotize the generation at the time in releasing their ‘youth’ expression. The Jakarta based trio can be said to be similar to Slank in their musical aesthetics, though they dwell in different genre. Racun Kota has always presented raw music materials, however these are attractively wrapped up with their frontal stage acts. The roughly sounding, everyday life lyrics tend to brighten up the atmosphere. Nevertheless, the “dirty” visual appearance presented in almost every show has dragged audience to be swayed deeper. It is as if the trio represents all unspoken personal dissatisfaction felt by most individuals. It is perfect to say that they are the instrument of freedom for the youth.

133


Reza ‘Asung’ Afisina (Indonesia)

THE . . . IS ONE OF THE GREAT STABILIZING ELEMENTS IN SOCIETY Instalasi video dan cetak digital di atas kain Video installation and digital print on fabric Dimension 400 x 200 cm 2015

Reza ‘Asung’ Afisina. Mempelajari sinematografi di Institut Kesenian Jakarta (1995-1999). Membuat karya video, instalasi, dan performance yang telah dipresentasikan di berbagai perhelatan internasional di antaranya, International Performance Manifestation, Minas Gerais, Brasil; Yokohama Triennale, Jepang; dan Guggenheim Museum New York, Amerika Serikat. Di sela-sela kesibukannya bekerja di ruangrupa, ia juga aktif di dunia musik bersama band bequiet, Kapitalindo, dan menjadi disk jockey dengan nama panggung Viva Los Amigos.

Reza ‘Asung’ Afisina. Studied cinematography in Jakarta Institute of Art (1995-1999). Making videos, installations, and performances that have been presented in various international exhibitions; International Performance Manifestation, Minas Gerais, Brasil; Yokohama Triennale,Japan; and Guggenheim Museum New York, United States. Other than his tight schedule working at ruangrupa, he managed to keenly perform music with his band called bequiet and Kapitalindo. He is also a disk jockey under the stage name Viva Los Amigos.

R

T

ezim Orde Baru selalu identik dengan semangat militerismenya yang merasuk ke hampir seluruh wilayah kehidupan sosial politik masyarakat. Namun, hampir tidak pernah menjamah hingga ke wilayah kreasi artistik. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai salah satu misi gerakan memegahkan Orde Baru. Orba menghancurkan bangunan atau simbol-simbol kemegahan Soekarno. Lalu, mengganti simbol-simbol kemegahan itu dengan mengkerdilkan bangunan atau simbol tersebut ke dalam bentuk diorama yang lebih naratif tentang sejarah perjuangan bangsa. Namun, terobosan estetis tidak pernah menjadi hal yang penting, di sini. Orba nyaris tidak terlalu peduli estetika.

he New Order regime was always identical with its militarism spirit, which had penetrated into almost all areas of the society’s socio-political life. Nevertheless, the spirit had never reached artistic creations’ territory. This might be identified as one of the missions of the movement on boasting the New Order. The regime had destroyed the buildings or symbols of Soekarno’s splendor, as it changed the majestic symbols by dwarfing the buildings or the actual symbol in the form of a more narrative diorama on the history of the nation’s struggle. But then again, aesthetic breakthroughs had never been considered important during the time. The New Order had almost been careless with aesthetics.

Stabilizer mencoba merespon gagasan atas konsep kuasa yang hadir, sebagai konsep representasi. Idenya adalah dengan meniru cara Orde Baru membuat relief seperti yang terdapat dalam monumen-monumen buatannya. Reza akan membuat relief yang dikolase dari ilustrasi atau gambar temuannya. Mencoba membicarakan isu stabilitas nasional yang selalu dijadikan dasar sikap Orde Baru untuk membungkam perbedaan pendapat. Reza mencoba membuat propaganda mini representasi dengan menggunakan media kain.

Stabilizer tries to respond to the idea of the present power concept as a representative concept. The idea is to mimic the New Order’s methods in creating relief as similar to the regime’s monuments. Reza is to make a relief collaged from the illustrations or the imageries he had found. He is trying to discuss the issue of national stability, which had always been the basis of New Order’s gestures in silencing differences. Reza tries to establish a mini-propaganda representation by using cotton as its media.

135


Reza Mustar ‘Azer’ (Indonesia)

Azer tidak pernah jauh-jauh menggunakan subyek pengkisah atau tokoh di dalam ilustrasinya. Ia merelasikan tokoh-tokoh dengan dirinya sendiri atau orang-orang dekat di sekitarnya. Isu-isu keseharian yang diangkatnya mencoba mewacanakan kembali isu-isu sosial-politik populer dan subkultur yang hidup sejak masa pemerintahan Orde Baru hingga hari ini. Ilustrasi digital Azer secara tidak langsung mengkritik konsep kebudayaan nasional yaitu ‘puncak-puncak kebudayaan daerah’ yang di masa Orde Baru dilegitimasi menjadi identitas bangsa.

KOMIKAZER ORDE BARU NEW ORDER KOMIKAZER Ilustrasi digital Digital illustration 2015

Muhammad Reza. Dalam dunia virtual dikenal sebagai Komikazer. Lulusan Jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Kesenian Jakarta ini terlibat bersama beberapa komunikus ibukota dalam proyek Komik Metropolis Gadungan Menyertai Anda tahun 2004 di ruangrupa. Tahun 2012, ia terlibat dalam proyek fotografi Top Collection 3. Setahun kemudian membuat kartun untuk Berkas, terbitan berkala Jakarta Biennale XV. Sejak internet merajalela di Indonesia, komikus ini memutuskan untuk merambahkan karya-karyanya di dunia virtual. Namun sesekali tetap terlibat dalam pameranpameran di galeri dan ruang publik.

M

uhammad Reza atau lebih dikenal Azer selalu menggunakan media sosial instagram (@komikazer) sebagai galeri distribusi karya-karya ilustrasi digital satu strip. Mengikuti tradisi ilustrasi media massa cetak, ilustrasi satu strip Azer dalam dunia virtual pun kental dengan humor kritik yang satir. Penggunaan media sosial di internet sebagai media distribusi ilustrasi digital telah memungkinkan terjadinya interaksi atau tanggapan dari pengguna lain. Galeri virtualnya telah menjadi ruang diskusi dan berpendapat.

Muhammad Reza. His nickname is Komikazer in the virtual world. In 2004, this graduate of Visual Communication Design at Jakarta Institute of Art gathered with other comic creators in Jakarta in a project called Komik Metropolis Gadungan Menyertai Anda at ruangrupa. In 2012 he joined photography project Top Collection 3. A year later he created comic for Berkas, a regular publication for Jakarta Biennale XV. Along with the rapid internet penetration in Indonesia, he decided to move online and displayed his works in the virtual world. Every now and then he still joins various exhibitions in galleries and public spaces. www.komikazer.tumblr.com

M

ohammad Reza or better known as Azer is always using social media Instagram (@komikazer) as a distribution gallery of his one-strip digital illustration works. Following the tradition of print media illustration, the illustration Azer’s strip in the virtual world was thick with satirical humor criticism. The use of social media on the Internet as a medium for the distribution of digital illustration has allowed the interaction or feedback from other users. His virtual gallery has become a space for discussion and opinion. Azer is not using unfamiliar subject or character in the illustrations. He portrays the characters through himself or people who are near to him. The daily life issues appointed are trying to re-frame popular socio-political issues and subculture that had lived since the New Order era to the present day. Azer’s digital illustrations indirectly criticizing the concept of a national culture that is ‘the tops of regional cultures’ that under the New Order regime, it became the nation’s identity.

137


Rizki Lazuardi (Indonesia)

Eastman of Mr. East on East Instalasi film super 8 dalam layar tampil dengan foto dan dokumen Super 8 film installation with staged photos and documents 2015

Rizki Lazuardi. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Komunikasi Massa, FISIP Universitas Diponegoro pada 2007. Di tahun yang sama, Rizki juga mendapatkan fellowship dari Yayasan Kelola, dan kemudian Berlinale Talent Campus for Visual Art di Jerman pada 2009. Selain bekerja untuk Goethe-Institute Jakarta, Rizki aktif sebagai kurator dalam berbagai pameran video dan seni media di Indonesia dan luar negeri. Berturutturut, tahun 2011 dan 2013 menjadi salah satu kurator festival OK. Video. Ia juga seorang seniman aktif yang karyanya telah dipamerkan di OK. Video Comedy – 4th Jakarta International Video Festival 2009 dan ARTEIndonesia Art Festival 2014. Rizky tinggal dan bekerja di Jakarta. Ia anggota Lab Laba Laba.

Rizki Lazuardi. Right after he finished his study from Mass Communication at Faculty of Social Sciences and Political Studies, University of Diponegoro in 2007, Rizki won a fellowship from Yayasan Kelola. Then he got another scholarship from Berlinale Talent Campus for Visual Art Germany in 2009. He is now working for Goethe-Institute Jakarta and also actively involved as video currator both in national and international level. In 2011 and 2013, he was one of the currators for OK. Video Festival. His works were also featured at OK. Video Comedy – 4th Jakarta International Video Festival 2009 and ARTE-Indonesia Art Festival 2014. Now Rizky lives and works in Jakarta. He is a member of Lab Laba Laba.

M

enurut catatan dan kesaksian yang beredar secara tidak resmi, dalam kasus penembakan lima jurnalis Australia di Balibo, Timor Leste tahun 1975, disebutkan bahwa semua kamera dan film yang dibawa oleh jurnalis tersebut sudah musnah dibakar. Pasca insiden tersebut, seorang jurnalis Australia lain bernama Roger East pergi ke Timor Leste untuk melakukan penyelidikan. Setelah dua bulan penyelidikan, Roger East ditangkap, ditembak, dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Film dalam karya ini adalah rekaman asli yang sempat naik tayang di televisi Australia, digabungkan dengan cuplikan film Balibo Five yang dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia. Karya ini merupakan reenactment dari alternate history yang bisa jadi muncul dari insiden Balibo-East. Karya ini mencoba berbicara bagaimana negara tidak pernah benar-benar melakukan penyensoran informasi. Praktek pengarsipan tetap berjalan sesuai kebutuhan internal sebuah rezim. Tujuannya antara lain adalah pengkajian strategi pengawetan kekuasaan di masa mendatang. Hingga ketika rezim tersebut runtuh, arsip beredar dalam berbagai pola. Mulai dirilis formal sebagai instrumen reformasi dan rekonsiliasi, hingga beredar dalam kanal-kanal alternatif yang keabsahannya menjadi obyek tarik-menarik kepentingan. Pola macam ini lazim muncul di kanal-kanal semacam Wikileaks atau IndoCropCircles.

A

ccording to the records and witnesses that unofficially spreads, in the shooting of five Australia journalists in Balibo, Timor Leste in 1975, mentioned that all of cameras and films brought by those journalists had been destroyed, burnt. After the incident, another Australian journalist named Roger East went to Timor Leste to do investigation. Two months later after the investigation, Roger East got arrested, shot and his body not found. The film in this work is the original recording which had been aired in the Australia television, combined with footage of Balibo Five, the banned in Indonesia. This work is a reenactment from alternative history which could be come up from Balibo-East incident. This work tries to talk how the state never really do cencoring information. They keep archiving in accordance with the interest of a internal regime. Some of the aims, as an assessment for the strategy of maintaining dominion in the future. Until someday when regime collapsed and the archives spreads in various ways. It will be officially released as the instrument of reformation and reconciliation, spreaded in to alternative channels which its validity become bone of contention for several interests. This method is commonly appeared in channels like Wikileaks or IndoCropCircles.

139


Rizki Resa Utama (Indonesia)

The Ideas Trial mempertanyakan kesadaran manusia dalam mencoba merumuskan sebuah keputusan. Dalam hal ini memperdebatkan sebuah kualitas dari ide artistik. Apa yang terjadi ketika mempersoalkan sesuatu yang tidak terhitung? Dari mana kita harus mencapai kesimpulan jika yang diandaikan adalah hal-hal yang tidak memiliki ukuran? Sebuah dramaturgi yang mengandaikan berbagai kriteria dan kepentingan yang disampaikan oleh suara kebingungan dan perdebatan dalam benak seorang seniman (manusia) yang tidak pernah berakhir. Kepada siapa seorang individu akan memberikan hak voting jika itu terjadi dalam ruang privat?

THE IDEAS TRIAL Video kanal tunggal Single channel video 35’ 16” 2014

Rizki Resa Utama adalah seorang seniman media berbasis waktu, terutama dalam video, fotografi, dan performans. Dia meraih Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universtias Padjajaran, Bandung, Indonesia (2006), lalu Diploma Seni Rupa Jerman (2013) dan terakhir meraih gelar Master di HBK Braunschweig, Jerman (2014). Karya-karyanya mendapat beberapa penghargaan di antaranya pada tahun 2014 dan 2015 dari LED Screening Volksbank BraWo Braunschweig, Jerman. Sejak 2008, ia bekerja di Jerman.

D

alam presentasinya, The Ideas Trial mencoba keluar dari batas sinema (single channel dan ruang gelap). Karya ini mengajak penonton untuk berpartisipasi membaca naskah yang sama dengan yang dibaca oleh lima orang juri dan satu orang moderator yang memiliki karakter berbeda-beda namun sebenarnya berasal dari satu orang pemain. Film yang terinspirasi dari naskah drama karya Reginald Rose, The Twelve Angry Men (1957) ini menghadirkan tegangan antara wilayah sinema, teater, sastra, dan karya interaktif dalam satu karya.

Rizki R. Utama is a time-based media artist working mostly with video, photography, and performance. He received BA in Communication Science at Padjajaran University, Bandung, ID (2006), German Diploma in Fine Art (2013) and Meisterschüler at the HBK Braunschweig, DE (2014). Since 2008 works in Deustchland. www.oqutama.info

I

n its presentation, The Ideas Trial is trying to get out of the boundaries of cinema (single channel and a dark room). This work invites viewers to participate by reading the same script that is read by five judges and one moderator who has different characters, but actually came from just one player. The film which is inspired by a play by Reginald Rose, The Twelve Angry Men (1957), presents a tension between the area of ​​cinema, theater, literature, and interactive work in one performance. The Ideas Trial questions the human consciousness in formulating a decision. In this case, they argue about a quality of artistic ideas. What happens when people question something uncountable? How must we reach a conclusion when the hypothetical object does not have an amount? A dramaturgy which presupposes various criteria and interests conveyed by the sound of confusion and debate in the mind of an artist (human) that never ends. To whom an individual will give its voting rights if it occurs in the private space?

141


Roberto Santaguida (Canada)

GORAN Video Kanal tunggal Single channel video 10’ 38” 2014

Roberto Santaguida. Sutradara film eksperimental dan dokumenter sejak tamat sarjana Seni Murni dari Montreal Concordia University (2004). Bagian pertama film dokumenter berjudul Tetralogy of Miraslava diputar lebih dari 120 festival film internasional, antara lain di Copenhagen International Documentary Film Festival (CPH: DOX), Copenhagen/Denmark, Kassel Documentary Film and Video Festival, Kassel/Germany. Dia juga menerima enam penghargaan dari film tersebut. Pada tahun 2010 dia menerima penghargaan dari K.M. Hunter Artist Award.

Roberto Santaguida. Born 1981 in Montreal/Canada. Roberto Santaguida studied film production at the Montreal Concordia University. The first part of the documentary Tetralogy of Miraslava was shown at more than 110 international film festivals, including Copenhagen International Documentary Film Festival (CPH: DOX), Copenhagen/Denmark; Kassel Documentary Film and Video Festival, Kassel/Germany; transmediale Festival, Berlin/Germany; Videoex International Experimentalfilm and Video Festival, Zurich/Switzerland; Docúpolis, Barcelona/Spain; Bucharest International Film Festival, Bucharest/Romania, and Entre Vues – Belfort International Film Festival, Belfort/France. Roberto Santaguida received the K.M. Hunter Artist Award.

K

arya yang menguliti pandangan Goran Gostojić—pemuda berkebutuhan khusus yang tinggal di Novi Sad—mengenai nuansa yang menggema di antara kesukacitaan dan keputusasaan, antara ketakutan dan keberanian, antara pemahaman personal dan publik. Film ini merekonstruksi narasi yang dituturkan oleh Goran melalui bidikan kamera yang terasa begitu intim. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh seseorang yang tidak diketahui namanya— dapat kita duga pertanyaan itu berasal dari sudut pandang Roberto Santaguida sebagai pembuat film—membuat kita menyimak cerita Goran tentang keluarga, temanteman, dan aktivitasnya. Kita memengaruhi kenyataan sebagaimana dunia membentuk pribadi kita; karya ini sebuah investigasi tentang diri dan dunia di sekitar kita. Bidikan kamera yang merekam percakapan yang terkesan menitiktemukan pertentangan dua pengalaman ini—antara Goran dan pemegang kamera—menuntun mata kita untuk menelusuri sebagian segi dari Novi Sad, sebuah kota administratif yang menjadi salah satu pusat aktivitas dan perkembangan industri, keuangan dan budaya di Serbia. Konstruksi naratif dari pengalaman Goran seakan menjadi kunci yang dapat membuka pintu untuk mengamati karakteristik masyarakat komunal. yang masih akan terus berkembang, dalam pola pembangunan, yang sedikit banyak, terbentuk oleh dinamika konflik masa lalu yang memengaruhi keberadaan kota itu hari ini.

T

he work that unveils the views of Goran Gostojić –a young man with special needs who lived in Novi Sad– about the nuances echoed in between joy and desperation, between fear and courage, between personal understanding and public understanding. This film reconstructs a narrative spoken by Goran through such intimate camera approach. The questions prompted by an unknown individual –which we could guess came from the perspective of Roberto Santaguida as a filmmaker– captivates us in absorbing Goran’s stories about his family, friends, and activities. We affect the reality just as the world affects our personality; the work is an investigation upon self and the world around us. Camera angles record the conversations in a manner of conjoining the contradiction of two experiences –between Goran and the cameraperson– lead our eyes to scour an aspect of Novi Sad, an administrative town which became one of the centres of activities and industry development, as well as finance and culture in Serbia. The narrative constructions from Goran’s experiences seemed to morph as a key to open various doors to observe communal society characteristics, which will continually grow in development patterns; which –more or less– shaped by the dynamics of past conflicts that affect the town’s existence today.

143


Saleh Husein (Indonesia)

ELEMENT OF SURPRISE (Part 2) Instalasi video dua kanal Double channels video installation 56’46” 2015

Saleh Husein. Selain sebagai seniman aktif, ia juga dikenal sebagai gitaris grup musik White Shoes & The Couples Company dan The Adams. Tahun 2009, ia terlibat dalam Jakarta Biennale XIII-ARENA dan Occupying Space: ASEAN Performance Art Event di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Pameran tunggal pertamanya berjudul Riwayat Saudagar digelar di RURU Gallery (2012) yang merupakan proyek seni berkelanjutan. Setahun kemudian, karyanya Arabian Party dipamerkan dalam Jakarta Biennale XV: SIASAT. Terakhir, karyanya dipamerkan dalam Time of Others di Museum of Contemporary Art Tokyo, Jepang. Saleh Husein juga aktif di Komplotan Jakarta 320 Celcius dan terlibat dalam berbagai workshop bersama mahasiswa.

Saleh Husein. He’s not only a dynamic artist, but he’s also the guitarist for a famous band White Shoes & The Couples Company and The Adams. In 2009, he participated in Jakarta Biennale XIII-ARENA and Occupying Space: ASEAN Performance Art Event in Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. His first solo exhibiton Riwayat Saudagar at RURU Gallery (2012) is a series-like art project. A year after, his work Arabian Party was displayed in Jakarta Biennale XV-SIASAT. His latest work was featured in Time of Others exhibition at Museum of Contemporary Art Tokyo, Japan. Saleh Husein is an active member of Komplotan Jakarta 320 Celcius and associated with various workshops with students. www.salehhusein.tumblr.com

1

965 selalu menjadi tahun yang penuh misteri bagi sejarah bangsa Indonesia. Terlepas dari upaya Soeharto dan rezim Orde Baru yang berupaya mengaburkan fakta-fakta sejarah besar peristiwa tersebut, masih ada banyak hal yang hingga saat ini masih simpang siur. Beberapa di antaranya berhasil terbukti sebagai fakta sejarah, sebagian lainnya hanya menjadi catatan minor yang tidak dapat terbuktikan kesahihannya. Salah satu dari peristiwa yang masih perlu dibuktikan adalah kisah tentang Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah atau lebih dikenal dengan inisial SAS, pimpinan daerah Partai Komunis Indonesia (PKI) Kalimantan Selatan yang berasal dari keturunan Arab. Sebagai salah satu pucuk pimpinan PKI di daerah, SAS turut diburu oleh militer pasca peristiwa Gerakan 30 September dan diduga melarikan diri lalu meninggal dalam upayanya tersebut. Namun pada Juni 1968, ditemukan sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa SAS masih hidup dan terus menghindar dari kejaran militer. Keahliannya ini membuatnya mendapat julukan “Si Hantu”. Dalam Element of Surprise, catatan sejarah minor yang melibatkan kelompok Arab Indonesia dalam kancah ideologi komunisme coba dirangkai ulang melalui cerita tentang SAS. Persoalan benar dan salah selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah usai. Ketegangan ini akan ditampilkan dalam video dua kanal yang secara bergantian menampilkan teks dan gambar. Alur maju-mundur akan menjadi jembatan yang penting untuk menjelaskan kekaburan fakta sejarah. Fakta yang muncul pada masa lalu, bisa dihapus perlahan-lahan di masa kini dan muncul lagi sebagai narasi baru di masa yang akan datang.

1

965 has always been a mysterious year for the Indonesian history. Apart from the efforts to blur the historical facts of the massive event by Soeharto and the New Order regime, there are lots of issues that are still mazy until today. Some of them had been proven to be historical facts, while others parts have been minor unproven records. One of the events in need of confirmation is the story on an Arabic descendant Syarif Ahmad Sofyan Al Barakbah, or known as SAS initial, the leader of the South Kalimantan Indonesian Communist Party (PKI). As one of the regional leader of PKI, SAS was also hunted by the military following the 30 September Movement (G30S PKI) and suspected to have escaped and died in his effort. But on June 1968, several evidence was found showing that SAS was alive and constantly avoiding military pursuit. His expertise had awarded him a title of “The Ghost.” In the Element of Surprise, the minor history records involving the Indonesian Arab group in the communism ideology domains were rearranged through the story of SAS. The matter of right or wrong has been the outmost unfinished argument. The tension is displayed in the two channels video alternately showing text and images. Forward and reverse chronological plot are the main and important connecting bridge in explaining the hazy historical facts. Previously emerged facts in the past may slowly be erased in the present, and resurface as a new narration in the future.

145


Sidang Imajinasi (Indonesia)

SIDANG IMAJINASI Instalasi suara dan teks UV Sound and UV text installation 2013-2015

Sidang Imajinasi. merupakan proyek penelitian dan pameran yang mengangkat isu pengadilan HB Jassin di awal kepemimpinan pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Proyek seni ini melibatkan sejumlah seniman; Adel Pasha, Ajeng Nurul Aini, Andang Kelana, Bagasworo Aryaningtyas, Fuad Fauji, Gelar Agryano Soemantri, Mahardika Yudha, Muhammad Fauzi, Otty Widasari, dan Yoyo Wardoyo. Karya-karya dari berbagai medium ini mencoba merespon dan menghidupkan arsip-arsip seni yang selama ini tersimpan dan dipamerkan pertama kali pada tahun 2013 dengan tajuk, Sidang Hans Bague.

Sidang Imajinasi. Is a research project and an exposition that focuses on HB Jassin trial in beginning of New Order regime in Indonesia. This project includes artists such as; Adel Pasha, Ajeng Nurul Aini, Andang Kelana, Bagasworo Aryaningtyas, Fuad Fauji, Gelar Agryano Soemantri, Mahardika Yudha, Muhammad Fauzi, Otty Widasari, dan Yoyo Wardoyo. Their works--in different medium- are an attempt to respond and to reinvent hidden archives and was exhibits in the first time in 2013 entittled, Sidang Hans Bague.

B

erawal dari temuan rekaman suara persidangan H.B. Jassin di tahun 1970 yang tersimpan di arsip Dewan Kesenian Jakarta. Rekaman suara yang berisi proses jalanannya persidangan tokoh sastra terkemuka Indonesia, H.B. Jassin, atas kasus pemuatan cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di majalah Sastra edisi Agustus 1968. Banyak pihak menganggap cerita itu telah menyudutkan segolongan masyarakat Indonesia. Persidangan itu memunculkan banyak pertanyaan, benturan, perspektif, fantasi, ilusi, hingga bagaimana posisi seni di masyarakat yang baru saja memunculkan pemerintahan baru, Orde Baru. Perdebatan demi perdebatan antara perspektif agama, hukum, dan seni itu telah menjadi sebuah performans yang menyita perhatian para intelektual dan seniman Indonesia saat itu. Proyek seni Sidang Imajinasi mencoba mendekonstruksi peristiwa itu dan mencoba menjembataninya dengan situasi sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, keberagaman perspektif telah menimbulkan konflik horizontal. Situasi ini sama persis dengan situasi di masa-masa awal periode pemerintahan Orde Baru. Proyek seni ini merupakan salah satu bagian dari program Hibah KARYA! (Kembangkan Arsip Budaya) yang diluncurkan oleh Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN) yang mulai berjalan sejak 2013. Proyek ini pernah dipresentasikan di Galeri Cemara 6, dua tahun yang lalu.

B

egins from the findings of a sound recording of H.B. Jassin court in 1970 which stored in Jakarta Arts Council archive. The sound recording contains the proceedings of Indonesia literary leading figure for a case of a short story “Langit Makin Mendung” by Kipandjikusmin published in Sastra magazine August edition 1968. There were many people assumed that story has marginalized an Indonesia class of society. The court raised many questions, bumps, perspective, fantasy, illusion, up to opinion on how the arts position in the society with new regime, New Order was. The controversy between perspective of religion, law and arts had been attracted intellectual and artists’ attention at that time. Sidang Imajinasi art project tries to deconstruct that event and makes bridge to present. In recent years, the perspective diversity had been creating horizontal conflicts. This situation exactly the same with the early period of Orde Baru regime. This art project is one part of a grant program, called Hibah Karya! stands for Kembangkan Arsip Budaya (Develop the Cultural Archive) launched by Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN) which founded in 2013. Two years ago, this project has been presented in Galeri Cemara 6.

147


F

The Otolith Group (UK)

Courtesy of The Otolith Group and LUX, London

IN THE YEAR OF THE QUIET SUN Video kanal tunggal Single channel video 33’ 57” 2013

The Otolith Group. Dibentuk pada 2002 oleh Anjalika Sagar dan Kodwo Eshun yang tinggal dan bekerja di London, Inggris. Mereka baru saja menyelenggarakan pameran tunggal bertajuk In The Year of The Quiet Sun di Casco, Utrecht, Belanda. Grup ini banyak melakukan penelitian sejarah yang diaplikasikan ke dalam berbagai medium, terutama film esai, dan bekerja berkolaborasi dengan beberapa seniman lain, di antaranya Chris Marker, Black Audio Film Collective, dan Harun Farocki. Mereka juga membuat terbitan kritik budaya visual dan seni kontemporer.

The Otolith Group. Established in 2002 by Anjalika Sagar and Kodwo Eshun who live and work in London, United Kingdom. They have just finished an solo exhibition called In The Year of The Quiet Sun in Casco, Utrecht,The Netherland. They have done countless history research and transforming them into medium, particularly essay-film and working closely with other artists including, Chris Marker, Black Audio Film Collective, and Harun Farocki. They also publish critics on visual cuture and contemporary art. www.otolithgroup.org

T

ilm esai bertajuk In the Year of the Quiet Sun (2013) mendapatkan judul dari penurunan suhu permukaan matahari yang terjadi setiap sebelas tahun. Sejak bulan November 1963 sampai dengan November 1965, negara-negara di dunia meluncurkan perangko untuk memperingati ekspedisi ilmiah pertama yang mempelajari matahari. Saat matahari dipelajari, negaranegara itu mengabaikan negara-negara baru di tanah Afrika yang belum stabil.

he essay film In the Year of the Quiet Sun (2013) takes its name from the decrease in solar surface temperature that occurs every eleven years. From November 1964 to November 1965, the nation states of the world issued postage stamps to commemorate the first scientific expedition to study the sun. As the stamps turned their face towards the sky, they overlooked the unstable land of Africa’s newly independent states.

Karya-karya yang diciptakan untuk In the Year of the Quiet Sun beroperasi sebagai anomali unik yang berusaha untuk memanggil kekuatan indexicality dan ikonisitas dari aspirasi, alibi, dan pelanggaran kedaulatan yang muncul di bidang politik pos, infrastruktur kekaisaran, dan diplomasi majalah.

The works created for In the Year of the Quiet Sun operate as peculiar anomalies that seek to summon forces of indexicality and iconicity from the aspirations, alibis and abuses of sovereignty that emerge in the fields of postal politics, imperial infrastructure and magazine diplomacy.

Jika berdirinya Universal Postal Union di Bern pada tahun 1874 dapat dipahami sebagai yang melembagakan infrastruktur kekaisaran, maka monumen untuk UPU milik Rene de Saint- Marceaux (1907) berdiri sebagai upaya pertama untuk memvisualisasikan komunikasi global. Dirancang oleh The Otolith Group dan animasi oleh ScanLab, Sovereign Sisters (2014) memobilisasi monumen Saint Marceaux menjadi sebuah himne digital ke otomatisme infrastruktur planet.

If the founding of the Universal Postal Union in Bern in 1874 can be understood as the instituting of imperial infrastructure then Rene de Saint-Marceaux’s 1907 monument to the UPU stands as the first attempt to visualise global communication. Conceived by The Otolith Group and animated by ScanLab, Sovereign Sisters (2014) mobilises Saint Marceaux’s monument into a digital hymn to the automatism of planetary infrastructure.

149


The Propeller Group (Vietnam)

THE GUERRILLAS OF CU CHI Instalasi video dua kanal Double channels video installation 20’ 4” 2012 The Propeller Group. Grup ini didirikan tahun 2006 oleh tiga orang seniman yang juga aktif bekerja secara individu; Phunam, Matt Lucero, dan Tuan Andrew Nguyen. Melalui karya-karya kolaboratifnya, mereka mencoba menggabungkan antara seni murni dan media mainstream. Ketertarikan mereka terhadap multimedia dan komunikasi massa dituangkan ke dalam media baru, iklan online, produksi film, produk televisi komersil, hingga instalasi. Melalui karya multi-platform, mereka telah berkolaborasi dengan banyak seniman lain, seperti Superflex (Denmark) dan Dinh Q. Lê (Vietnam). Karyakarya mereka juga telah dipresentasikan di berbagai perhelatan seni rupa, seperti Lyon Biennale , Singapore Biennale, Guangzhou Triennial, Gwangju Biennale, dan terakhir di Venice Biennale (2014).

The Propeller Group. Founded in 2006 by three artists who actively worked as individuals: Phunam, Matt Lucero, and Tuan Andrew Nguyen. Their collaborative works are an attempt to merge fine art and mainstream media. Their passion on multimedia and mass communication is directed towards new media, online advertising, film production, television commercial product and installation. Through these multiplatform creations, they collaborated with other artists like; Superflex (Denmark) and Dinh Q. Lê (Vietnam). Their works had been presented in many visual art exhibitions like Lyon Biennial, Singapore Biennale, Guangzhou Triennial, Gwangju Biennale, and the latest: Venice Biennale. www.the-propeller-group.com

K

arya ini dengan ironis menggambarkan keadaan terowongan Cu Chi, yang pada perang dunia kedua menjadi ‘neraka’ persembunyian gerilyawan Viet Cong. Dahulu, terowongan Cu Chi digunakan oleh gerilyawan Viet Cong sebagai tempat bersembunyi selama pertempuran, berfungsi sebagai jalur komunikasi dan distribusi logistik, rumah sakit, gudang makanan dan senjata, serta tempat bertahan hidup para gerilyawan. Saat ini, terowongan itu dijadikan objek wisata. Objek wisata yang memungkinkan pengunjung mengalami simulasi perang, memeragakan adegan perang, kemudian tertawa-tawa atas tindakan dan aksi mereka sendiri. Menggunakan high-speed film camera untuk menghasilkan gambar dengan gerakan super lambat, serangkaian turis digambarkan “ditembak” bersamaan dengan saat mereka membidikkan senjata ke arah terowongan Cu Chi. Sebuah kamera terletak berhadapan langsung dengan para pembidik target. Kamera juga ditempatkan di belakang kaca anti-peluru yang secara langsung memindai adegan tembak-menembak dramatis seperti yang terjadi dalam perang sesungguhnya; deru tembakan, asap, foto dan aksi-reaksi diubah menjadi kritik atas budaya dan massifnya gerakan ekonomi global pasca-perang.

T

his work ironically depicts the situation of the Cu Chi tunnels, the underground network of tunnels where Viet Cong guerillas used to hide. Back then, the Cu Chi tunnels were used as hideout during the battles; where they function as communication and logistic distribution lines, hospitals, food and ammunition warehouse, as well as survival space of guerilla fighters. Today, the tunnels serve as tourism objects which enable visitors to reenact war simulation, war scenes display; who in turn later laugh about their own actions and measures. Using high-speed film camera to produce super slow motion pictures, tourists were depicted as being “shot” in aligned timing when they aimed their weapons to Chu Chi tunnels. A camera was positioned directly across the targetaim shooters. Cameras were also placed behind bulletproof glass that scanned the dramatic shootouts in real time as if they were in reality; the revving guns, smoke, photographs, and action-reaction transformed into critiques upon culture and the post-war massive global economic movement.

151


The Secret Agents (Indonesia)

Once Upon A Time: Indonesia 1966 Cetak digital Digital print 2015 The Secret Agents. Banyak membuat karya-karya instalasi dan interaktif berbasis fotografi yang banyak membicarakan persoalan ruang dan memori. Duo ini adalah Indra Ameng (1974) dan Keke Tumbuan (1978). Karyanya The Secret Lobby menjadi bagian dari Jakarta Biennale XIII-ARENA. Mereka juga aktif memberikan workshop bersama mahasiswa. Tahun 2010, terlibat dalam proyek fotografi Ultra Vocation yang diselenggarakan pada perhelatan dua tahunan Jakarta 320 Celcius. Proyek ini mencoba mengeksplorasi fungsi dan medium fotografi untuk merekam kenyataan sekaligus ketidaknyataan. Duo yang mengambil namanya dari judul novel fiksi detektif karya Joseph Conrad ini juga aktif menjadi kurator performans live musik Superbad di Jakarta.

The Secret Agents. They produce various installations and interactive projects based on photography that expresses spaces and memories. This duo consists of Indra Ameng (1974) and Keke Tumbuan (1978). Their work The Secret Lobby was part of Jakarta Biennale XIII-ARENA. They also give numoreus workshops to students. In 2010, they joined photography project Ultra Vocation which was held in a biannual event, Jakarta 320 Celcius. This project explores photography medium and functionality as a tool to capture what’s real and what’s not. The duo, who took their name from Joseph Conrad’s fiction book, is also the currator behind Superbad’s live music performances. www.superbadjakarta.wordpress.com

O

nce Upon A Time in 1966, mencoba merespon sebuah peristiwa kemunculan Orba, yang dikenal dengan istilah angkatan ‘66. Gerakan yang dikenal sebagai awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional. Gerakan ini berhasil memaksa Presiden Soekarno untuk memandatkan kekuasaan kepada rakyat. Mandat ini kemudian muncul dalam bentuk SUPERSEMAR yang konon diberikan kepada penerima mandat, yaitu Soeharto. Angkatan ‘66 pun mendapat ‘hadiah’ dari pemerintah Orba, yaitu banyak di antara aktivis ‘66 yang duduk dalam kabinet Orba—rezim yang berkuasa selama hampir 32 tahun lebih di Indonesia. Lamanya masa rezim tersebut berkuasa tentu sangat mempengaruhi arah Indonesia, khususnya, pembentukan sejarah tunggal bangsa. The Secret Agents mencoba melihat kemungkinan sejarah lain yang muncul di tahun 1966. Mereka menelusuri arsip berupa foto dan teks yang mereka dapatkan dari buku-buku pelajaran, majalah dan surat kabar terkait peristiwa kebudayaan, gaya hidup, dan masyarakat urban. Hal yang menarik dari karya Once Upon A Time in 1966 adalah penghadiran sejarahsejarah kecil atau sejarah pinggiran yang mungkin tidak diketahui ke permukaan oleh perangkat informasi (media) yang digunakan Orba. Mereka mengkliping hasil temuan berupa foto-foto tersebut secara digital, kemudian mereka “ganggu” dan membahasakannya kembali dengan gaya bertutur khas The Secret Agent.

O

nce Upon A Time in 1966 tries to respond the emerging era of the New Order (Orba), known as the ‘66 Generation. The movement is widely known as the start of national awakening of the student’s movement, who were able to force Soekarno in transferring the mandate of power to the people. Then, it is published in the form of SUPERSEMAR (March 11th Decree) given to the recipient of the mandate, Soeharto. The ‘66 Generation then were ‘awarded’, as many activists in this era had been given positions in the governmental cabinet of the New Order administration – a regime that reigned for almost 32 years in Indonesia. The New Order regime, along with its long lasting power, is definitely influential especially to the formation of Indonesia’s history, including the course of the nation. The Secret Agents “suspected” a reproduction of Indonesian history during the times of New Order regime by exploring photo and text archives they obtained from study guidebooks. Among others were the magazines involved with the political and social events, as well as the cultural events in 1966. They have made a digital collage of their photo discoveries, as added with some “interruption” by eliminating or adding captions on the photos they explored.

153


Yao Jui-Chung (Taiwan)

Y

ao Jui-chung membuat dua seri karya yang saling berhubungan. Seri pertama, Long Live dibuat tahun 2011-2012; sedang seri kedua, Long Long Live dibuat tahun 2013. Kedua karya ini memiliki struktur yang hampir sama, namun memperlihatkan dua situasi sejarah yang berbeda. Pada Long Live, Yao menghadirkan seorang jenderal yang berteriak ‘Wansui!’ (Hidup!) berulang kali di dalam gedung bioskop usang Chieh-shou (yang berarti ‘Hidup Chiang Kaishek) ‘yang bersebelahan dengan gedung Chungshan di Yangmingshan. Pada akhirnya, kamera membawa kita ke bioskop bekas di mana video itu diproyeksikan pada layar dan mengulang gema sejarah yang abadi.

LONG LIVE Video kanal tunggal Single channel video 5’ 20” 2011-2012

LONG LONG LIVE Video kanal tunggal Single channel video 7’ 20” 2013

Yao, Jui-Chung. Seniman, kritikus, kurator, dan pengajar seni di NTNU (National Taiwan Normal University). Ia lulus dari Taipei National University of the Arts. Mewakili Taiwan di Venice Biennale 1997. Ia terlibat dalam International Triennale of Contemporary Art Yokohama (2005) dan 6th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (2009). Yao Jui-Chung banyak menggunakan medium fotografi, instalasi dan lukisan. Tahun 2003 mengkuratori KingKon Never Dies dalam The Contemporary Performance & Video art di Taiwan (2003). Esainya telah diterbitkan oleh berbagai jurnal. Ia juga telah menerbitkan beberapa buku seni rupa kontemporer, seperti Installation Art in Taiwan since 1991-2001 (2002) dan Performance Art in Taiwan 1978-2004 (2005).

Yao, Jui-Chung. An artist, critics, curator and art lecturer at NTNU (National Taiwan Normal University). He graduated from Taipei National University of the Arts. Representing Taiwan in Venice Biennale 1997. In 2005 he participated in International Triennale of Contemporary Art Yokohama ad 6th Asia Pacific Triennial of Contemporary Art (2009). Yao Jui-Chung frequently use photography, installation, and paintings, and in 2003 he was the curator for King-Kon Never Dies - The Contemporary Performance & Video art in Taiwan (2003). His essays were widely published in several journals. He also published books in contemporary visual art, such Installation Art in Taiwan since 1991-2001 (2002) and Performance Art in Taiwan 1978-2004 (2005). www.yaojuichung.com

Sedang pada Long Long Live, Yao menghubungkan dengan Bentrokan Taiyuan, sebuah pemberontakan tahanan yang menguasai penjara pada 8 Februari 1970. Bentrokan ini melibatkan 150 orang, termasuk enam politikus, 50 penjaga penjara, dan anak-anak muda Taiwan. Akibatnya, lima tahanan dieksekusi pada 27 April 1970. Peristiwa ini mendorong terjadinya kerusuhan menentang rezim Kuomintang dan menuntut kemerdekaan Taiwan. Jika dalam Long Live, Yao menghadirkan gedung bioskop, dalam Long Long Live, Yao mengakhirinya dengan televisi dalam ruang makan tahanan.

Y

ao Jui-chung crafted two connecting art pieces. The first series, Long Live, was made in 2011-2012 period; while the second series, Long Long Live, was finished in 2013. Both artworks possess similar structures as it shows two different historical situations. In Long Live, Yao presents a general repeatedly screaming ‘Wansui!’ (Alive!) in a deprecated Chieh-shou theatre (meaning long live ‘Chiang Kai-shek!’) next to the Chungshan building in Yangmingshan. In the end, the camera took us to an abandoned cinema where it is projected on screen to repeat the immortal echo of history. Meanwhile in Long Long Live, Yao connected with the Taiyuan Clash, a prisoners’ revolt resulting in a prison take over on February 8, 1970. The violent clash had involved 150 people, including six politicians, 50 prison guards and Taiwanese youth held captive. The consequence was deadly, as five inmates were executed on April 27, 1970. The incident had also ignited the riot against the Kuomintang regime and the call for Taiwan’s independence. While Yao presented a cinema building on his Long Live piece, in Long Long Live, he ended the feature with a television at a prison’s dining room.

155


Zbyněk Baladrán (Czech Republic)

B

aladrán menggunakan materi-materi dari dua surat kabar lokal bangsa Ceko dan Slowakia—Rudé právo (1971—1989) yang mewakili gagasan sayap kiri, dan Lidové noviny (1989—2008) yang mewakili gagasan sayap kanan. Baladrán membuat semacam catatan pinggir (dalam bentuk visual) untuk memetakan wacana yang diwariskan oleh dua ideologi yang berkembang hingga sekarang dan saling bertentangan itu. Foto-foto dari material kedua surat kabar itu disusun sejajar secara horizontal, dicetak (print), lantas ditempelkan ke dinding ruang pamer sebagai karya instalasi, melintasi setiap sisi dinding, celah pintu dan jendela. Karya ini hadir sebagai sketsa atau kunci yang dapat membantu mengidentifikasi wujud, bentuk, dan posisi dari kemungkinankemungkinan yang akan terjadi di masa depan—suatu kondisi era pasca kegawatan ekonomi di ruang lingkup pasar global, pada penghujung abad 21, yang ditandai oleh Krisis Ekonomi tahun 2008.

CONTINGENT PROPOSITIONS Cetak digital Digital print 2013

Zbynek Baladrán. Ia adalah seorang penulis, seniman, sekaligus kurator. Belajar sejarah seni di Charles University, Philosophical Faculty (1992-1996), melanjutkan studi komunikasi visual di Prague Academy of Fine Arts (1997-2003) di Praha, Republik Ceko. Dia adalah salah satu pendiri dan kurator Galerie Display yang didirikan di Praha pada 2001 yang kemudian digabungkan dengan tranzit.cz pada 2007 menjadi tranzitdisplay. Bersama Vit Havranek mengkuratori proyek penelitian Monument to Transformation selama tiga tahun yang kemudian dipamerkan keliling Eropa. Baladrán juga bagian dari tim kurator tranzit.org untuk Manifesta 8 di Murcia Spanyol (2010).

Zbynek Baladrán. An author, artist and a curator. Studied art history at Charles University Philosophical Faculty (1992-1996) and visual communication at Prague Academy of Fine Arts (1997-2003) in Prague, Czech Republic. He is one of the co-founders and the curator of Galerie display. Established in Prague in 2001 this gallery was merged with tranzit.cz in 2007 and developed as tranzitdisplay. He is co-curatoring with Vit Havranek for a three-year research project Monument to Transformation which later displayed across Europe. Baladrán is also one of the curators’ group part of tranzit. org for Manifesta 8, Murcia, in Spain (2010). www.zbynekbaladran.com

Sebagaimana tradisi mengkliping konten surat kabar, Baladrán memancing kita untuk menelusuri ruang-ruang yang dalam keadaan tertentu, (seiring konteks sosial, ekonomi dan politik) terbatasi oleh tegangan-tegangan kultural yang ada di masyarakat. Mendayakan estetika seni, catatan pinggir Baladrán ini merupakan sebuah gumaman naratif yang berubah fungsi menjadi semacam panduan visual terhadap dunia yang diruangkan oleh beragam faktor yang menentukan perkembangan sistem sosial dan ekonomi.

B

aladrán utilizes materials from two local Czech and Slovakia newspapers – Rudé právo (1971-1989) representing the leftist idealism, as well as Lidové noviny (1989—2008) representing the right wing ideals. Baladrán had created some type of side-notes (in visual form) to map the ideas inherited by the two developing ideologies, which currently are against each other. The photographs of the two newspapers are horizontally aligned, printed, and stamped on the exhibition hall’s walls as an installation artwork, crossing each sides of the wall, door cracks and windows. The artwork is present as a sketch or key to identify the embodiment, form (shapes) and positions of the possibilities to occur or reoccur in the future time – a condition of post economic distress era within the scope of global market at the end of the 21st century, as marked by the 2008 Global Economic Crisis. As it is with the tradition of collaging newspaper contents, Baladrán lures us to discover and explore the spaces, which in certain conditions (as aligned with the social context, economy and politics), are limited with the cultural tensions present in the society. To cozen the esthetics of art, Baladrán’s side notes are narrative mumblings changing its function into some sort of visual guidelines towards the world put in a space by various factors, as they determine the development of the social and economic system.

157


K

LIBERATION OR… Video kanal tunggal Single channel video 11’ 42” 2013

T

arya ini adalah salah satu hasil komisi untuk Paviliun Republik Ceko dan Slowakia pada Venice Biennale ke-55. Karya yang secara kritis dan subjektif merefleksikan aspek kultural dan historis dari wacana seni, di mana wacana itu, sebagian besar, dibangun dalam kerangka institusional. Ia memontasekan arsip-arsip (footages dan images) yang dikumpulkan, diiringi narasi yang diucapkan secara puitik. Baladrán menggali esensi hubungan tarikmenarik antara materi-materi dan nilai-nilai kemanusiaan, melalui pemetaan terhadap hal-hal yang memiliki konteks dengan aktivitas pusat seni kontemporer. Dalam narasinya, si seniman menegaskan bahwa kesadaran untuk menggali makna baru dari peradaban hanya akan dapat dilihat melalui suatu pendekatan historis yang memprioritaskan perhatian pada struktur sejarah jangka panjang—longue durée. Di situ, kesadaran adalah manifestasi dari perlawanan terhadap tirani otoritas.

he artwork is one of the commissioned pieces for the Czech and Slovakian Republic Pavilion at the 55th Venice Biennale. An artwork critically and subjectively reflects the cultural and historical aspects of artistic discourse, whereas it is mostly built on an institutional framework. He created a montage of collected archives (footages and images), accompanied by a poetic narration. Baladrán explored the essence of attractive connection between materials and humanity values, through the mapping of matters possessing context with the contemporary art center’s activity. Within the narration, the artist affirmed that the awareness to explore new meaning of civilization can only be seen through a historical approach prioritizing its focus on the long term historical structure – longue durée. There, the awareness is the manifestation of resistance against authoritative tyranny.

Meletakkan gagasan komunisme sebagai fondasi dari seluruh hubungan sosial dan dasar ontologis sosialitas, karya ini pun menanyakan ulang kodrat film sebagai fungsi pembebasan yang memiliki arti bagi manusia. Sehubungan dengan konteks Orde Baru di Indonesia, karya ini memancing sintesa dari benturan-benturan yang terjadi antara ‘pengalaman organik masyarakat’ dan ‘daya kekuatan institusional’. Memetaforakan keberadaan manusia sebagai suatu hal yang mengendap di dasar lautan jaringan relasional sosiokultural. Karya ini mengkritisi keberadaan-keberadaan hari ini sebagai kunci untuk mengungkap masa lalu dalam rangka mengungkai masa depan.

To place the idea of communism as a foundation of the entire social relationship and the basis of social ontology, the artwork again question the very nature of film as a meaningful liberative function for human beings. As related with the New Order context in Indonesia, the artwork provokes a synthesis of the clashes emerging between the ‘people’s organic experience’ and the ‘institutional power force’. To metaphorically place human existence as something that settles deeply at the bottom of the relational sociocultural ocean, the artwork criticizes today’s existence as the main key to reveal the past, in the efforts of revealing the future.

159


161


Kita-[sebagai]-Media; KitaMedia

lainnya, adalah sebagian dari kesemua faktor yang membangun sistem itu.

Oleh Manshur Zikri*

Agaknya, risalah ini akan menjadi menarik jika pertama sekali kita menyinggung gagasan Sarah Kember dan Joanna Zylinska (yang mengacu Bernard Stiegler) lima tahun lalu dalam artikel mereka, berjudul “Creative Media between Invention and Critique, or What’s Still at Stake in Performativity?”.1 Saya setuju bahwa Teknologi seharusnya dipahami sebagai sebuah kondisi produktif2 dari keberadaan kita di dunia, bukan sekadar benda yang ada di luar kita, yang kita pelajari dan gunakan untuk memanipulasi berbagai hal demi mendapatkan manfaat dan keuntungan. Melalui sudut pandang itu, Kember dan Zylinska berpendapat bahwa “...we have always been media(ted).”

T

idak untuk memperingatkan bahwa dunia yang kita tempati hanyalah dunia yang telah “diperantarai oleh” atau “berada di antara” objek-objek media di luar diri kita (baik dalam pengertian fisik maupun non-fisik), gagasan Kember dan Zylinska itu justru mendorong kita untuk lebih menaruh perhatian pada hal terkait kemampuan mendekonstruksi sebuah proses kompleks dan hibrid yang menentukan keberadaan kita di dalam dunia teknologis, baik itu dalam status manusia sebagai individu maupun manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, memahami teknologi seharusnya tidak lagi menggunakan cara atau pola pikir yang melihat atau menempatkan ‘kita’ dan ‘media’ sebagai dua entitas terpisah (meskipun saling terhubung), melainkan lebih sebagai dua sisi mata uang logam yang benar-benar tak dapat dipisahkan. Menurut saya, dalam gagasan “Teknologi sebagai kondisi produktif” itu, aksi sadar media (media literacy) termanifestasi melalui cara-cara yang tidak hanya menerabas batas-batas antarmaterial teknologis, tetapi juga melalui kepiawaian untuk saling-menyesuaikan dan salingmengimplementasikan, atau menyalingsilangkan, sifat-sifat (dasar dan turunan) yang khas dari masing-masing material teknologis yang berbeda satu sama lain, serta juga mengimplementasikan sifat kita pada material-material tersebut dan

begitu pula sebaliknya. Kepiawaian itu menjadi gaya untuk mengartikulasi kodrat komunikasi dan tindakan-tindakan performatif. Sebab, pengalaman-pengalaman yang kita dapatkan, pada kenyataannya, bukanlah semata-mata merupakan dampak dari objek media (yang telah diciptakan) untuk kita konsumsi, tetapi juga merupakan buah dari kecenderungan untuk membangun unsur-unsur mental ke dalam teknologi media yang kita gauli itu. Pada kondisi ini, kita dan media sesungguhnya saling memiliki andil dalam suatu proses produktif atas output-output yang muncul kemudian. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa kita sedang memaknai media sebagai suatu makhluk hidup (yang memiliki nyawa), tetapi dalam rangka mendefinisikannya sebagai suatu wujud ‘otomatisitas mekanis’ (mechanical automaticity) yang lahir dari repetisi atas praktik-praktik yang dilakukan oleh manusia. Ide mengenai Teknologi3, dengan demikian, sudah semestinya bercita-cita kesetaraan. Selain mengenai unsur kuasa di dalam hubungan antara “subjek” dan “objek”, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut juga mencakup persoalan mengenai sistem agen-agen yang berkontribusi bagi proses pembentukan interaksi antara keduanya (dengan kata lain, interaksi antara “pengguna/subjek” dan “media/objek”). Dalam hal ini, publik, Negara, dan lembaga sosial

Dalam konteks era kontemporer saat ini, otomatisitas mekanis media sudah tidak dapat diragukan lagi sejak hadirnya media baru (new media) ke dalam lingkungan riil kehidupan kita—bukan lagi hanya sebuah dongeng, angan-angan atau mimpi tentang ‘masa depan’. Sistem bahasa yang diterapkan di dalam pola komunikasi manusia zaman sekarang pun telah benarbenar berubah, dari yang dahulunya mendasarkan diri pada material bersifat tetap, berganti menjadi material yang sifat, bentuk dan isinya selalu berubah-ubah, bahkan “berkembang biak” secara terusmenerus. Lev Manovich—yang memaparkan fenomena itu di dalam pembahasannya mengenai logika database—berpendapat bahwa ekspresi-ekspresi kulural kita telah bergeser dari bentuk yang biasanya naratif (runut) menjadi anti-naratif, bahkan muncul secara arbitrari.4 Arbitrari dalam artian bahwa elemen-elemen yang kita butuhkan atau yang datang ke hadapan kita tidak hadir sebagai suatu koleksi yang tersusun dengan rigid, melainkan kisruh dan sewaktuwaktu dapat berubah secara tak teduga, baik yang kita sadari maupun tidak. Selain menunjuk teknologi yang beroperasi melalui logika database (misalnya, perpustakaan multimedia), Manovich berpendapat bahwa fenomena ini juga terlihat, terutama, pada teknologi-teknologi yang beroperasi menggunakan logika Webbase (internet) dan algoritma dalam bahasa pemrograman komputer. Contoh yang menggabungkan ketiga logika ini adalah on line game. Mengaitkan pandangan Manovich dengan Kember dan Zylinska, kita perlu mengambil jeda sejenak untuk berpikir ulang mengenai perubahan drastis yang terjadi pada praktik-

praktik sosial dan budaya manusia. Aktivitas menekan tombol remot televisi telah semakin bergeser menjadi meng-klik mouse; aktivitas menonton dan mendengar siaran langsung melalui gelombang telah semakin bergeser menjadi live streaming tanpa gelombang; aktivitas membalik halaman buku telah semakin bergeser menjadi mengusap layar sentuh; bahkan, aktivitas bersetubuh pun telah semakin bergeser menjadi kenikmatan artifisial yang dihadirkan dunia virtual. Rujukan terhadap Lev Manovich—yang lebih menekankan penjelasan mengenai adanya perubahan pada kodrat bahasa di dalam sistem teknologi komunikasi sehingga menuntut perumusan bahasa yang baru— dan terhadap Kember dan Zylinska—yang lebih menekankan penjelasan mengenai kebutuhan suatu paradigma baru tentang “media dari kritik-sebagai-media” dan inisiatif “menciptakan/menemukan media (yang baru)”—membuka pintu pemikiran bagi kita dalam menanggapi kecenderungan gerak dunia riil (atau kehidupan kita) yang “diperciut” ke dalam bentuk-bentuk artifisial, tetapi muncul sebagai dunia tanpa batas yang lebih dahsyat dari apa yang kita bayangkan; gelombang data mahabesar, jaringan tanpa ujung-pangkal, dan pengawasan tanpa henti. Perkembangan dunia teknologis yang tampak demikian canggih tersebut secara aktif membersitkan suatu gejala kekhawatiran dan kecurigaan, tetapi dibarengi sebuah sensasi yang menyerupai candu. Lambat laun, terpaan gelombang materi media (terutama visual) dan beragam prosedur untuk mengoperasikan alatnya (contoh yang paling umum dan telah menjadi sehari-hari, ialah media sosial) berevolusi menjadi sebuah kebiasaan wajar dalam kehidupan sehari-hari—bahkan, dalam keadaan tertentu, karena adanya unsur keterlibatan aktif si pengguna,

163


demam ‘media baru’ justru menunjukkan suatu tingkat gejala yang melebihi televisi dalam menciptakan simpangan-simpangan baru bagi aspek kultural masyarakat. Sensasi yang pada akhirnya terus-menerus memancar begitu sering itu berboncengan dengan suatu keadaan yang membingungkan, bahkan menggelisahkan. Di lingkungan seni, situasi tersebut menjadi tantangan bagi seniman untuk menanggapi sekaligus menerjemahkan ambivalensi tarikmenarik antara (dunia) yang riil dan virtual, melalui cara menerapkan kode-kode interpretasi dalam metode komunikasi dan informasi sebagai suatu tatanan estetika yang, tentunya, mencerminkan sikap dan perilaku berbeda dibandingkan situasi dan kondisi dunia sebelumnya. ***

S

ekarang, mari kita melirik terma5 ‘seni media’ pada bagian ini. Menggarisbawahi kata ‘seni media’, saya sendiri berpendapat, bahwa hal itu haruslah diiringi dengan kesadaran untuk mengkritisi niat OK. Video Festival dalam meluaskan cakupan wacana seni kontemporer di Indonesia, yang tidak hanya terbatas pada persoalan bagaimana memanfaatkan alat-alat teknologis (yang telah berkembang sedemikian canggih, atau sebut saja ‘alat-alat media’) sebagai semata-mata material untuk alat ungkap sebuah karya seni. Dengan kata lain, seharusnya kita bukan lagi hanya membayangkan suatu penyajian karya seni yang sekadar difasilitasi oleh teknologi komunikasi dan informasi yang telah dan sedang berkembang itu. Sekitar sembilan tahun yang lalu, Ade Darmawan telah menyatakan bahwa seni media [baru] sebagai sebuah keadaan yang akan terus bergerak membuka diri bagi segala kebaruan gagasan seni dan teknologi.6 Menguatkan pernyataan itu, saya mengutip Dario Marchiori yang mengartikan kata ‘media’ sebagai sesuatu

yang menunjukkan persengkongkolan berbagai alat-alat komunikasi dan informasi di dalam suatu keseluruhan penandaan yang [benarbenar] baru, di mana ‘media’, dalam hal ini, merupakan istilah yang mendefinisikan seluruh sistem sarana perantaraan (intermediation) yang secara artifisial dikonstruksi oleh manusia.7 Lebih jauh, Marchiori menegaskan, bukan sebagai kata jamak dari medium—yang dari sudut pandang artistik, dipahami sebagai sebuah alat transmisi dan ekspresi; atau mengidentifikasi material dan cara yang digunakan seniman—kata media justru mengacu pada gejala diskursif atas prosesproses relasional dari berbagai aspek kehidupan yang menentukan dan membentuk persepsi manusia tentang dunia. Berdasarkan pengertian ini, kita dapat menyepakati, bahwa estetika media ialah “refleksi teoretis atas pemikiranpemikiran dan sensasi-sensasi yang terkait dengan artikulasi antar-medium dan dengan media secara keseluruhan.”8 Menyalinghubungkan topik Orde Baru9 dengan wacana seni media, tentulah kita tidak seharusnya dengan begitu gegabah hanya memperbincangkan apa dan bagaimana karya seni yang dapat merepresentasikan luka-luka sejarah masa lalu yang masih begitu terasa dampaknya hingga sekarang, ataupun yang hanya merepresentasikan apa dan bagaimana dampak media dan budaya tontonan di masyarakat. Lebih gegabah lagi, jika masih terjebak pada tingkah laku yang oleh Ronny Agustinus pernah dicibir sebagai tingkah laku “puas ditonton sekian ratus orang saja yang mendatangi Festival” atau tingkah laku yang hanya menampilkan “fenomena lain belaka dari budaya tontonan itu sendiri, yang membuat masyarakat tak punya pilihan kecuali melahapnya.”10 Artinya, jangan sampai wacana seni media hanya menjadi tontonan baru tentang kecanggihan teknologi. Lebih jauh dari itu, topik ini seharusnya dipahami sebagai pemicu untuk membongkar relung-relung terdalam

pamahaman kita mengenai interaksi dan pengalaman yang terjadi antara manusia dan media; dengan kata lain, bagaimana sebuah praktik berkesenian mampu mengungkai dan menunjukkan sikap dan perilaku yang baru terhadap media itu sendiri. Rezim Orde Baru, dari sudut pandang sosial dan politik, menunjukkan suatu praktik kekuasaan yang menerapkan strategi-strategi kebudayaan dalam rangka membangun (sekaligus mengindoktrinasi) citra ideal kegagahan negara-bangsa menjadi suatu konsensus. Kita dapat menyaksikan betapa banyak produk-produk rezim tersebut yang menjadi model kenyataan akan tatanan masyarakat harmonis, teratur dan stabil11, yang tidak hanya berpatok pada objekobjek kultural yang bersifat tangible, tetapi juga dalam bentuk pola kehidupan yang mengamini citra ideal tersebut.12 Namun demikian, hal ini justru bertegangan dengan hasrat kebebasan yang mendambakan tatanan masyarakat demokratis. Dari sudut pandang media—kembali ke ide yang diulas dalam risalah ini—Rezim Orde Baru justru merepresentasikan suatu keadaan yang kontra-produktif, karena meredam keberadaan satu aspek penting dalam sebuah sistem bermedia, yakni publik. Oleh karena itu, mendekonstruksi terma Orde Baru dalam praktik berkesenian dari seni media ini membutuhkan cara-cara yang menegaskan (sekaligus menghidupkan) posisi dan peran publik media; Teknologi yang mengajukan kesetaraan di wilayah seni (dengan kata lain, pengetahuan), di mana publik tidak lagi berada di bawah elitisme pelaku dan institusi seni. Dengan kata lain, “refleksi teoretis” yang diusung dalam estetika media tidak hanya berupa berbagi pengalaman si seniman yang mendadar ambivalensi antara rezim kekuasaan dan alam kebebasan demokratis,

atau sekadar memancing interaktivitas antara publik dan karya seni (dan seniman) di dalam ruang pamer atau acara kesenian, tetapi juga pada hal bagaimana publik menjadi agen yang produktif; bagaimana kita dapat membayangkan dan mengartikulasikan, lantas mewujudkan, suatu era di mana kita adalah media itu sendiri—artinya, seni-media (media arts) bergeser menjadi kita-media (‘we-media’). ***

S

ekali lagi kita perlu mencermati gagasan Lev Manovich, terutama dalam bukunya yang berjudul The Language of New Media, bahwa pada era saat ini—yang umumnya disebut pula sebagai era serba terkomputerisasi (sederhananya, budaya komputer)—media baru (new media) sesungguhnya memperkuat bahasa-bahasa dan bentuk-bentuk kultural yang sudah ada sebelumnya. Menurutnya, media baru telah menjelmakan segala macam budaya dan teori kebudayaan ke dalam sebuah keadaan yang ‘open source’ (Manovich menggunakan istilah ini secara metaforik).13 Dalam rangka meluaskan cita-cita ideal seniman yang diajukan oleh Ronny Agustinus14, saya berpendapat bahwa simpulan gagasan Manovich sesungguhnya telah menggaungkan sebuah peluang yang tidak hanya mendorong para seniman (di dalam wacana seni media) melakukan aksi-aksi kritik dan sabotase (pengubahan) terhadap budaya tontonan dan media belaka, tetapi juga mendayakan segala kemungkinan yang dapat mengkondisikan masyarakat secara umum menjadi aktif melakukan perubahan itu. Juga sekali lagi mengacu pada pemikiran Sarah Kember dan Joanna Zylinska, yakni dalam manifestonya bertajuk Life After New Media: Mediation as A Vital Process. Keduanya melemparkan pertanyaan

165


tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita lakukan untuk memobilisasi “media” yang justru acap kali menjadi “objek/sasaran kritikan”.15 Dengan kata lain, Kember dan Zylinska menyerukan bahwa “media yang akan dan sedang kita kritik” selayaknya digunakan pula secara kritis sebagai media untuk berpikir dan beraksi tentang perubahan (yang memperbaiki masa lalu), penciptaan, dan transformasi (yang mewujudkan masa depan) sosiokultural.16 Dalam hal ini, kita harus berada pada titik terujung dalam rangkaian tahapan perkembangan wacana tentang media: “realitas” –> “media” –> “kritik” terhadap “realitas media” –> “kritik sebagai media” –> “mengkritik media” dengan “media” –> [menemukan] media baru bagi “kritik-sebagai-media. Mengembangkan dua gagasan tersebut ke dalam konsep yang diajukan risalah ini, yakni tentang “kita-[sebagai]-media”, adalah usaha untuk memastikan keberadaan publik sebagai subjek yang menjadi bagian dari [seni] media itu sendiri—sebagai sesuatu yang inevitably inseparable. Otomatisitas mekanis dalam dunia teknologis, bagaimana pun, akan menjadi sebuah chaos sejauh “kondisi produktif” tersebut dibiarkan tanpa adanya kesadaran masyarakat tentang perannya sebagai pemicu dari gerak otomatis tersebut. Memang, sebutlah sebuah fenomena di mana citra visual yang dapat mereproduksi dirinya sendiri secara otomatis di dalam ruang teknologis berbasiskan logika database, web, dan algoritma yang generatif, tampaknya mulai diyakini sebagai sebuah gejala yang berada di luar kontrol para pengguna medianya. Akan tetapi, pada dasarnya perubahan logika bahasa tersebut bukanlah dalam artian yang sepenuhnya menghilangkan suatu daya penciptaan yang ‘otentik’—meskipun dalam wacana media baru, otentisitas citra tidak lagi menjadi hal yang utama. Dengan kata lain, diperlukan suatu perlakuan artistik yang dapat menerjemahkan gejala revolusi dari media itu sendiri, yang

sesungguhnya menghadapkan kita pada revolusi [re]produksi-[re]distribusi substansial, atau revolusi estetika. Pada hal ihwal visual dan audio, misalnya, yang puitik dan artistik secara niscaya telah beralih sumber dari sentralitas seniman ke tangan warga17, begitu pula dengan aktivisme18, dalam wacana media baru tersebut. Dengan sifatnya yang berpotensi daya cipta yang serta merta selalu artistik, media baru memungkinkan seluruh orang menjadi “pengkarya” dan dengan demikian ekspresi kultural semakin bervariasi dan tersebar secara lebih merata ke seluruh lapisan jaringan yang membentuk masyarakat. Menurut saya, hal ini merupakan contoh nyata dari apa yang disinggung Manovich sebagai “terbukanya lubang” yang menjanjikan efek kultural yang baru (dari budaya komputer), yakni “sebuah peluang untuk melihat kembali dunia dan manusia dalam cara-cara yang belum tersedia di masa dicetuskannya manifesto kino-eye.19 Signifikansi dari “seni” dan “seniman” pun menjadi sesuatu yang perlu dipertanyakan kembali, dan bisa jadi berubah seratus delapan puluh derajat. Jika dahulu publik masih duduk di posisi yang pasif (misalnya, sebagai penonton televisi) sehingga inisiatif yang dibutuhkan adalah bagaimana seniman dan praktik berkesenian dapat mengintervensi (menguasai) televisi, maka di era media sosial ini—yang mengaktifkan peran publik sebagai salah satu sumber pemicu terjadinya produksi informasi—yang menjadi tuntutan mendesak adalah bagaimana perilaku seharihari publik tersebut dapat menjadi salah satu ‘daya seni’ yang utama. Dengan kata lain, otentisitas yang dimaksudkan di sini bukan berorientasi pada output (karya) yang akan atau telah dihasilkan, tetapi lebih pada caracara dalam menciptakannya; bagaimana kita dapat mengungkai aspek otentik dari revolusi [bermedia] itu sendiri.

Dengan demikian, selain terus berusaha menguliti sifat-sifat dasariah dari berbagai ragam bentuk kultural yang dihasilkan oleh media baru—seperti, misalnya, membongkar logika dunia maya ke dalam suatu proses pembuatan karya seni yang menunjukkan suatu pola artistik tertentu— seni media, dalam konteks sekarang ini, haruslah mampu menciptakan suatu keadaan yang tidak hanya memungkinkan suatu karya atau praktik seni dapat berkomunikasi secara lebih intens dengan

(Endnotes) 1 Sarah Kember dan Joanna Zylinska, “Creative Media between Invention and Critique, or What’s Still at Stake in Performativity?”, Culture Machine, Vol. 11, 2010, hal. 1-6. Diakses pada 14 Mei, 2015, dari http://www. culturemachine.net/index.php/cm/article/view/382/403 2 Kember dan Zylinska menggunakan istilah “originary condition”. Saya menerjemahkan kata “originary” sebagai “produktif” dalam Bahasa Indonesia. 3 Saya sengaja menuliskannya dengan huruf “T” kapital sebagai pembeda yang mengacu pada konsep yang dibicarakan oleh Kember dan Zylinska. 4 Lev Manovich, “Database as a Genre of New Media”, AI & Society, Vol. 14(2), 2000, hal.176-183. Diakses pada 14 Mei, 2015, dari http://vv.arts.ucla.edu/AI_Society/manovich. html 5 Istilah 6 Lihat dalam Hafiz, “Membaca Kita dengan Seni Media”, Katalog Pameran Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia dalam Seni Media (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata – Direktorak Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film – Direktorat Kesenian, 2011), hlm. 13. 7 Lihat dalam Dario Marchiori, “Media Aesthetics”, Preserving and Exhibitng Media Art: Challenges and Perspectives (Amsterdam: Amsterdan University Press, 2013), hlm. 86. 8 Marchiori, ibid., hlm. 93. 9 Yang dalam konteks perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia, dua kata ini, mau tidak mau, pasti akan mengantarkan kita pada ingatan tentang bagaimana teknologi media dikuasai oleh sebuah rezim, lantas berlanjut (seiring perubahan sosial-politik negara) ke masa saat ini, di mana peluang penguasaan itu telah bergeser ke level yang lebih beragam: korporasi dan publik.

publiknya, tetapi juga meletakkan (bahkan menyerahkan) proses penciptaan tersebut kepada si publik yang akan menikmatinya. Dan menurut saya, hanya pada niat itulah gagasan tentang “Teknologi sebagai kondisi produktif” dapat diwujudkan dalam kerangka berpikir ‘kita-[sebagai]-media’, atau ‘KitaMedia’. ***

Ronny Agustinus, “Video: not all correct...”, Bagian 2, Karbon (Januari, 2008). Diakses pada 17 Mei, 2015, dari http://karbonjournal.org/focus/video-not-all-correctbagian-2 [sebelumnya artikel ini telah terbit tahun 2003 dalam Katalog OK. Video: Post event yang diterbitkan oleh Ruangrupa]. 11 Contoh nyata dari hal ini adalah Taman Mini Indonesia Indah yang didaulat sebagai idealisasi atas citra Bangsa Indonesia. 12 Tentu saja, hal ini berkaitan dengan cara-cara Orde Baru yang selama 32 tahun berhasil membentuk cara berpikir masyarakat umum di Indonesia dalam menilai setiap aspek kehidupan sosial agar sesuai dengan pandangan politik rezim tersebut. 13 Lev Manovich, The Language of New Media (London: MIT Press, 2001), hlm. 333. 14 Ronny Agustinus, op cit. 15 Sarah Kember dan Joanna Zylinska, Life After New Media: Mediation as A Vital Process (London: MIT Press, 2012), hlm. 177. 16 Ibid. 17 Perlu kita mengingat gagasan tentang vernacular video yang diusung oleh Peter Snowdon dalam “The Revolution Will be Uploaded: Vernacular Video and the Arab Spring”, Culture Unbound, 6, 2014, hl, 401-429. Gagasan ini melakukan pembingkaian dan pembacaan terhadap fenomena produksi dan distribusi masif oleh warga yang terlbat dalam gejolak Revolusi Arab di tahun 2010 yang mengunggah konten video peristiwa revolusi tersebut di internet, lantas secara berkesinambungan melipatgandakan efek dari reproduksi-redistribusinya. 18 Kita bisa mengambil contoh fenomena demonstrasi a la change.org dan “satu juta Facebooker...” 19 Lev Manovich, op cit. 10

*Tentang Penulis: Manshur Zikri (b. January 23, 1991), lulusan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia (2014), merupakan peneliti di Forum Lenteng dan aktif sebagai pegiat Program akumassa. Ia juga merupakan kurator di ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Pada 2014, ia mengikuti program residensi pertukaran kurator yang digagas melalui kolaborasi antara ruangrupa (Jakarta) dan Impakt (Utrecht, Belanda).

167


We-[as the]-Media; WeMedia by Manshur Zikri*

Presumably, this essay would be interesting if first and foremost we point out the ideas of Sarah Kember and Joanna Zylinska (which referred to Bernard Stiegler’s) in their article five years ago titled “Creative Media between Invention and Critique, or What’s Still at Stake in Performativity?”1 I concur that Technology should be understood an originary condition of our existence in the world, not only as an object outside of ourselves, which we studied and used to manipulate various things for the benefit and advantage. From that point of view, Kember and Zylinska thought “...we have always been media(ted).”

N

ot to warn that the world we live in is only a world that has been “intermediated” or “placed in between” media objects beyond ourselves (on physical or non-physical terms), Kember and Zylinska’s idea persuades us to be more concerned with matters related to the ability to deconstruct a complex and hybrid process that determine our existence in the technological world—be in the status of human beings as individuals and human beings as members of society. In other words, to understand the technology, we should no longer use the method or the mindset to see or put the ‘we’ and ‘media’ as two separate entities (though interconnected), but rather as two sides of a coin that is truly inseparable.

In my opinion on the idea of ​​“Technology as a productive condition,” the media literacy manifested itself in ways that are not just breaking through the limits of technological inter-material, but also through mutual expertise to mutually customize and implement, or to crossover, the (basic and derived) characteristic properties of each technological material that are different from each other, as well as implementing our properties on those materials and vice versa. The expertise becomes a style to articulate the nature of communication and performative actions. Therefore, the experiences that we get, in reality, is not merely an effect of media objects (which have been created) for our consumption, but also the result of a tendency to build mental elements into

media technology that we are associated with. In this condition, we and the media actually have a mutual interest in a productive process over the outputs that appear later. Of course, this does not mean that we are seeing the media as a living being (which has a soul), but in order to define it as a form of mechanical automaticity which was born out of repetition of the human practices. Thus, the idea of Technology2 should aspire to equality. In addition to the element of power in the relationship between “subject” and “object”, the aspired equality also include the issue of agents system that contribute to the formation process of interaction between them (in other words, the interaction between the “user / subject” and “media / objects”). In this matter, the public, the State, and other social institutions, is part of all these factors that build up the system. In the context of today’s contemporary era, the mechanical automaticity of media is undoubtedly happening since the development of new media into the real environment of our lives—it is no longer a fairy tale, fantasy, or dreams about the ‘future’. Language system applied in human communication patterns of today also had been completely changed, from which formerly based on fixed material to the material which form and content is always changing, even “breed” constantly. Lev Manovich—who describes the phenomenon in his discussion of database

logic—found that our cultural expressions have shifted from the usual form of narrative to anti-narrative, even appear arbitrary.3 Arbitrary in the sense that the elements that we need or that comes before us is not present as a structured collection of rigid, but rather chaotic and sometimes can change unexpectedly, whether we realize it or not. Besides pointing to the technology that operates through the logic of the database (for example, a multimedia library), Manovich argues that this phenomenon also appear, particularly, in the technologies that operate using web base (internet) logic and algorithms in computer programming languages. The example of these three combined logic is the online game. Linking Manovich view with Kember and Zylinska, we need to take a pause for a moment to think again about the drastic changes that occur in social practices and human culture. The activity of pressing the TV remote has increasingly shifted to clicking a mouse; the activity to watch and hear the live broadcast through wave has increasingly shifted into a wave-less live streaming; the activity of turning book pages has increasingly shifted to swiping the touch screen; even the activity of intercourse has increasingly shifted to the artificial enjoyment brought by the virtual world. The reference to Lev Manovich—which emphasizes an explanation of the changes in the nature of language in communication technology system that requires the new formulation of a language— and towards Kember and Zylinska—which emphasizes an explanation of the need for a new paradigm of “media critique-as-media” and the initiative to “invent the (new) media”— opens our mind in response to the tendency of the real world motion (or our lives) that “reduce” into artificial forms, but emerged as a world without borders which is more powerful than what we imagine; enormous data wave,

a network without the tip-base, and relentless scrutiny. The development of the technological world that looks so sophisticated actively exude a symptom of fear and suspicion, but accompanied by a sensation that resembles opium. Gradually, the wave of media material (mainly visual) and various procedures for operating the appliance (e.g., the most common and has become a day-to-day, is social media) evolve into a natural habit in everyday life—even, in certain circumstances, in result of the element of active involvement of the user, ‘new media’ fever would indicate a level of symptoms that exceeds television in creating a new deviation for the cultural aspects of society. A sensation which constantly radiating very often is eventually riding with a disconcerting, even an alarming state. In the world of art, the situation becomes a challenge for artists to simultaneously respond and translate the ambivalence of attraction between the real and virtual (world), by implementing codes of interpretation in the methods of communication and information as an aesthetic order, which reflects different attitude and behavior than the circumstances of the previous world. ***

N

ow, let’s take a glance at the term ‘media art’ in this section. Underlining the word ‘media art’, I personally believe that it should be accompanied by awareness to criticize the intentions of OK Video Festival in expanding coverage of contemporary art discourse in Indonesia, which is not only limited to the question of how to utilize technological tools (which has grown so sophisticated, or we shall call it “media tools”) as the single device to reveal a

169


work of art. In other words, we should no longer merely imagine a presentation of works of art that only being facilitated by communication and information technology that have been developed and still developing. About nine years ago, Ade Darmawan has stated that the [new] media art is a situation that will continue to grow and open itself to all new ideas of ​​art and technology.4 To amplify that statement, I quote Dario Marchiori who interpret the word ‘media’ as something that shows collusion of various means of communication and information in in a new signifying whole, where the ‘media’, in this case, is a term that defines the entire system of intermediation which are artificially constructed by humans.5 Furthermore, Marchiori asserted, not as a plural form of medium—that from an artistic standpoint is understood as a means of transmission and expression; or to identify the material and the ways of the artist—the word ‘media’ refers to the discursive symptoms of relational processes of various aspects of life that define and shape the human perception of the world. Based on this understanding, we can agree that the media aesthetics is “a theoritical reflection on thoughts and sensations linked to the articulations between mediums and to media as a whole 6.” To relate New Order topic with the discourse of media art, surely we should not be so hasty to only discuss what and how the works of art can represent the wounds of the past history that is still have an impact until now, or that only represents what and how the impact of the media and spectacle culture in society. It will be much more reckless, if we are still stuck in the behavior which sneered by Ronny Agustinus as the behavior of “satisfied to be watched by several hundred people in a Festival” or behavior that simply displays “another sheer phenomenon of spectacle culture itself, which makes people have no choice but to devour it7.” It implies, do not

let the media arts discourse simply become the new spectacle of technological sophistication. Beyond that, this topic should be understood as a trigger to dismantle the deepest niche of our comprehension about interactions and experiences that occur between humans and media; in other words, how an art practice is capable to reveal and demonstrate new attitudes and behavior towards the media it self. The New Order regime, from a social and political point of view, demonstrated a practice of power that implement cultural strategies in order to build (and indoctrinate) ideal image of the nation-state heroism into a consensus. We can see so many products of the regime that became a model reality of harmonious, orderly, and stable society,8 which is not only based on cultural objects that are tangible, but also in the form of a pattern of life that agrees with the ideal image.9 However, it is contradictory to the freedom ardor of democratic society order. From the media point of view— back to the idea of this essay—the New Order regime actually represents a counterproductive state because it curbed the existence of important aspect in a media system: the public. Therefore, deconstructing the terms of New Order in the art practices of media art requires ways that assert (and revive) the position and role of the public of media; Technology which proposing equality of the arts (in other words, knowledge), in which the public is no longer exist under the elitism of actors and art institutions. It can also be expressed as “the theoretical reflection” which was carried in the media aesthetics is not only in the form of sharing the experience of the artist who combine the ambivalence between a regime and the nature of democratic freedoms, or simply to provoke interactivity between the public and works of art (and artists) in the showroom or art event, but also in terms of how the public become productive agents; how can we imagine and articulate, then embody, an era in which we are

the media itself—that means, the media arts are shifted into ‘we-media.’ ***

O

nce again we need to look at the idea of ​​Lev Manovich, especially in his book The Language of New Media, that in the current era—which is generally referred to as the computerized era (computer culture, for short)—new media is actually strengthen the languages and cultural forms that already exists. According to him, the new media has embodied all kinds of culture and cultural theory into a state of ‘open source’ (Manovich use this term metaphorically). 10 In order to extend the ideals of artists proposed by Ronny Agustinus, I found Manovich’s idea conclusions has actually echoed an opportunity that not only encourage the artists (in the discourse of media art) to commit acts of criticism and sabotage (conversion) towards the sheer culture spectacle and media, but also empowering all possibilities that could condition the public to become active to change it.

Once again, let’s refer to the mind of Sarah Kember and Joanna Zylinska, in their manifesto titled Life After New Media: Mediation as a Vital Process. They questioned the possibilities of what we can do to mobilize the “media” which often become the “object/target of criticism.”11 In other words, Kember and Zylinska shouted that “the media that will be and being criticized” should be used critically as the media to think and act upon the changes (which improve the past), invention, and socio-cultural transformation (which embodies the future). 12 In this case, we must be at the farthest point in a series of discourse stages of development regarding the media: “reality” –> “media” –> “criticism” against “media reality” –> “critique-as-media”

–> “criticize the media” with “media” –> [find] new media for “ critique-as-media Developing the two ideas mentioned above into a concept proposed by this essay, which is about the "We-[as]-Media", is an attempt to ensure the presence of the public as subjects that are part of the media [art] itself—as something that inevitably inseparable. Mechanical automaticity in the technological world, however, will be a chaos state if the "productive condition" is left without any awareness of the public regarding its role as a trigger of the automatic movement. Indeed, name a phenomenon in which the visual images that can reproduce itself automatically in the technological space based on database logic, web, and generative algorithms, apparently is started to be believed as a phenomenon that is beyond the control of the users of its media. However, basically the change of language logic is not in the sense that completely eliminates an authentic power of creation–though in the discourse of new media, the authenticity of the images is no longer the primary thing. In other words, we need a treatment that can translate the artistic revolution symptoms of the media itself, which actually confronts us with the revolution of [re]production-substantial [re] distribution, or aesthetic revolution. On matters of visual and audio, for example, the poetic and artistic undoubtedly have switched the source of the centrality from artists into the hands of citizens, 13 as well as activism, in the discourse of the new media. With its potential of constantly artistic creative power nature, new media allows all people to be “the creator” and thus increasing the varied cultural expressions and spreading more evenly throughout the complex layers that make up the community. In my opinion, this is a clear example of what Manovich alluded

171


to as “the open hole” that promises new cultural effects (of the computer culture), which is “an opportunity to look back on the world and human beings in ways that are not yet available at the time of kino-eye manifest initiation. 14 The significance of “art” and “artist” becomes something to be questioned again, and it could be turned one hundred and eighty degrees. If the public was sitting still in a passive position before (e.g,) as the television audience) so that the initiative needed is how artists and art practices can intervene (control) the television, then in the era of social media—that enable public role as one of the trigger of information production— the urgent demand is how the public everyday behavior can be one of the primary ‘power of art’. In other words, the authenticity mentioned here is not oriented to the output (works) that will be or have been produced, but rather on ways to create

it; how we can parse the authentic aspect of the revolution [of media] itself. Thus, in addition to continue to try to skin the fundamental properties of a wide variety of cultural forms produced by the new media—such as, for instance, dismantle the logic of cyberspace into a process of making artworks that show a certain artistic pattern—media art, in the present context must be able to create an environment that not only allows a work or art practices to communicate more intensely with the public, but also laid (even handed) the process of the creation to the public who will enjoy it. And, I think, only on that intention alone, the idea of “Technology as productive condition” can be embodied on the frame work of ‘we-[as]-media’, or ‘WeMedia’. ***

(Endnotes) 1 Sarah Kember and Joanna Zylinska, “Creative Media between Invention and Critique, or What’s Still at Stake in Performativity?”, Culture Machine, Vol. 11, 2010, page. 1-6. Accessed on May 14th 2015, from http://www. culturemachine.net/index.php/cm/article/view/382/403 2 I intentionally wrote it with capital “T” as a differentiator which refers to the concept discussed by Kember and Zylinska. 3 Lev Manovich, “Database as a Genre of New Media”, AI & Society, Vol. 14(2), 2000, page.176-183. Accessed on May 14th, 2015, from http://vv.arts.ucla.edu/AI_Society/ manovich.html 4 Look up in Hafiz, “Membaca Kita dengan Seni Media”, Exhibition Catalogue of Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia dalam Seni Media (Jakarta: Ministry of Cultural and Tourism – Directorate General of Culture, Art, and Film Values.– Directorate of Art, 2011), page. 13. 5 Look up in Dario Marchiori, “Media Aesthetics”, Preserving and Exhibitng Media Art: Challenges and Perspectives (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), page. 86. 6 Marchiori, ibid., page. 93. 7 Ronny Agustinus, “Video: not all correct...”, Part 2, Karbon (Januari, 2008). Accessed on May 17th, 2015, from http:// karbonjournal.org/focus/video-not-all-correct-bagian-2

[this article has published before in 2003 by Ruangrupa in the catalogue of OK. Video: Post event]. 8 A concrete example of this is the Taman Mini Indonesia Indah, which was appointed as ideal image of the Indonesian Nation 9 Of course , this is related to the ways of the New Order for 32 years successfully shaping the way the general public thinks of Indonesia in assessing every aspect of social life in order to suit the regime ‘s political views. 10 Lev Manovich, The Language of New Media (London: MIT Press, 2001), page. 333. 11 Sarah Kember and Joanna Zylinska, Life After New Media: Mediation as A Vital Process (London: MIT Press, 2012), page. 177. 12 Ibid. 13 We need to recall the notion of vernacular video promoted by Peter Snowdon in “ The Revolution Will Be Uploaded : Vernacular Video and the Arab Spring,” Culture Unbound, 6 , 2014, pg. 401-429. This idea did the framing and the reading of the phenomenon of massive production and distribution by residents who were involved in turmoil of Arab Revolution in 2010 who uploaded the video content of the revolution on the Internet , and then continuously multiply the effects of its reproduction-redistribution. 14 Lev Manovich, op cit.

*About the Author: Manshur Zikri (b. January 23rd , 1991), graduated from the Department of Criminology, University of Indonesia (2014), a researcher at the Forum Lenteng and activist of akumassa program. He is also a curator at ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. In 2014, he joinedd the residency program of curator exchange initiated through collaboration between Ruangrupa (Jakarta) and Impakt (Utrecht, Netherlands)

173


Pengantar Kuratorial OPEN LAB

OPEN LAB 14 – 19 Juni 2015, pukul 12.00-18.00

PRESENTASI PUBLIK 19 Juni 2015, pukul 15.00 Galeri Nasional Indonesia

Apabila kita melihat kembali ke masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sangat dibatasi karena dianggap dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi sebuah kekuasaan. Kita digiring untuk melakukan sesuatu dalam sebuah desain yang mengarah pada keseragaman dalam balutan propaganda kesatuan dan persatuan sebuah bangsa. Hilangnya kebebasan berekspresi dan represi terhadap narasi di luar narasi resmi pemerintah inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa seni di Indonesia, terutama terkait dengan teknologi media, tidak muncul di tahun ‘80-an. Yang berlanjut pada hilangnya kultur medium pada karya-karya seni media yang lahir kemudian di tahun ‘90-an.

K

ini, ketika batasan-batasan itu runtuh, berbagai macam metode dan cara untuk bekerja bersama-sama terbuka luas. Platform kolaborasi mulai menandai kebebasan tersebut. Pada saat ini, kita bisa menggali potensi dari berbagai perspektif dan interdisipliner untuk menghubungkan praktek dan penelitian dari sebuah media (seni) dan teknologi sehingga dapat mengeksplorasi bagaimana produksi budaya kontemporer dapat memberikan pengetahuan atas isu-isu yang kita hadapi sekarang. Open Lab OK. Video adalah sebuah landasan, di sini seniman berperan sebagai tukang ngoprek sekaligus menjadi kritis terhadap apa yang mereka kerjakan. Pada awalnya, ini adalah sebuah usaha untuk memetakan cara kerja sekaligus menginvestigasi ide di balik berbagai praktek seniman atau inisatif seni media di Indonesia. Namun, lambat laun gagasannya merambah menjadi sebuah pertanyaan tentang bagaimana di masyarakat, ada sebagian dari kita yang menggunakan (seni) media yang tentu saja tidak hanya berkembang di ranah teknis atau hal-hal yang membicarakan

mediumnya namun juga kritiknya beriringan dengan teknologi dan gagasan seni rupa. Dengan menghindari jargon inovasi ataupun teknologi canggih, mereka justru menempatkan diri untuk menghasilkan diskusi dari konsep media itu sendiri. Mereka tidak didudukkan sebagai seorang ilmuwan yang akan menawarkan sebuah solusi, tapi justru seseorang yang mempertanyakan sistem, mencoba kritis terhadap industrinya, kritis terhadap idenya atau bahkan mungkin sejarah teknologinya. Ada sisi polemis dari sebuah karya yang pada akhirnya masih menyisakan ruang untuk berpikir atau memaknai ulang apa yang sudah taken for granted. Jika kita tidak bisa membuat sistemnya, maka marilah kita yang melakukan penetrasi sistemnya untuk mengatasi atau menyiasati keterbatasan teknologi sehari-hari. Maka istilah Open Lab OK. Video dirancang sebagai tempat bertemunya kerja-kerja lintas disiplin untuk memperluas dan memperdalam pemahaman kita tentang sebuah isu yang akhirnya memungkinkan kita untuk saling

mendengarkan, mengelaborasi dan mencipta ulang teknologi Barat yang sudah kita terima begitu saja. Meskipun kita yang tidak mempunyai sejarah gagasan (teknologi Barat) yang panjang, namun kita memiliki dan dikelilingi berbagai perangkat dan produk canggih di dalam keseharian. Jika ada makna seni tersirat di sini, itu bukanlah akumulasi dari benda-bendanya, tetapi cara mendekati pengetahuan, dan melihat pengetahuannya bukan sebagai akumulasi data, tetapi sebagai mekanisme yang fleksibel dan organik untuk membaca sebuah realitas keseharian yang bersinggungan dengan teknologi. Seni sebagai cara berpikir, memperoleh pengetahuan dan sebagai alat untuk menumbangkan konvensi pembentukan budaya lama. Mungkin kekacauan adalah bagian dari proses tersebut, di mana keterhubungan yang tak logis sama pentingnya dengan yang logis, dan semuanya terjadi saat kita berusaha untuk membangun sistem yang baru.

175

Riksa Afiaty (Indonesia) lahir di Bandung pada 1986. Ia sempat kuliah di Sastra Perancis, Universitas Pendidikan Indonesia dari 2005-2009, lalu memutuskan berkarir dalam manajemen seni di Institut Francais Indonesia Jakarta dan Bandung hingga 2012. Pada 2011 dan 2013, ia terlibat dalam OK. Video Festival. Riksa terlibat sebagai koordinator pameran dan koordinator artistik Jakarta Biennale 2013 dan bergabung menjadi tim kurator di Jakarta Biennale 2015. Ia masih melakukan riset tentang street art  dan grafiti, terutama yang berkaitan dengan perkembangan dan catatan arsip. Kini bergiat di Arts Laboratory (ArtLab) ruangrupa.Â


Curator Notes Open Lab

Open Lab 14 – 19 June 2015, 12.00-18.00

PresentaTION Thursday 19 June 2015, 15.00 Galeri Nasional Indonesia

Looking back at the New Order era, we can recall the days when the freedom to gather, to organize and to express our opinion are so curtailed in fear that it could threaten or disturb the power that rule. We were driven to act within a designation that promotes uniformity, wrapped in propaganda of a nation’s unity. This resulted in a loss for freedom of expression, as well as repression towards other narratives that exists outside the government’s official narrative. This is one of the main reasons why art in Indonesia, especially that which is related to media technology, is absent during the 80s. What follows is the delayed birth of a cultural medium in the art of media, surfacing only in the 90s.

N

ow, those limits have been torn down. Numerous methods and techniques exist today to facilitate, with unlimited potential, to work. A collaborative platform is the first birthmark of such freedom. Now, we are able to dig into all available perspectives and across all available disciplines in the effort to connect the practice and the research behind media (art) with technology in order to explore how contemporary culture is produced and what it can teach us about issues that are happening today. Open Lab OK. Video is one such platform. Here artists are the tinkers, and the critical commentators of their chosen subjects. Initially, this was an effort to map out the Indonesian artists’ workflow, and to investigate how Indonesian artists within the media art scene practice their craft or how they come up with initiatives. Slowly, this idea grew into a question. A question of how some members of the public are using the media (art) while developing,

not only in technical terms or in their way of discussing about the medium but also in their criticism, hand-in-hand with technology and the idea of visual arts. By avoiding all the jargon that is innovation and advanced technology, they have positioned themselves in a place where they can create discussions on the concept of media itself. They are not scientist that offers solution, but individuals who questions the system. They are people who are critical of their industry, of its ideas and maybe even the history behind the technology. There is a polemical aspect to a work that still allows space for thought or that allows a reinterpretation of what is taken for granted. If we didn’t create the system, then why shouldn’t we penetrate the system in order to break through or circumvent its self-imposed limitation. The term Open Lab OK. Video is thus designed as a meeting place where disciplines cross over. It is where we can broaden and deepen our

understanding of an issue and, eventually, finally learn to listen to one another, to elaborate and recreate publicly accepted Western technology. And while we cannot look back to a long history of innovation (western technology), we have, and are surrounded by, a multitude of devices and technologically advanced products. If there is a deeper and artistic meaning to be found here, it will not be found in the accumulation of such devices. It is in how we approach and look at the knowledge, not as an accruement of data, but a flexible, organic mechanism with which we envisage our day-to-day reality, all the while living with technology. Art, as a method of thought, of gaining knowledge and as a tool to topple conventions created our own old habits. Perhaps chaos is simply a part of that process, wherein illogical connectivity is just as important as its logical counterpart, all of this happening as we pave our way towards a newer system.

177

Riksa Afiaty studied French in Indonesian University of Education (2005-2009) and began her career in art management at Institut Francais Indonesia in Jakarta and Bandung between 20092012. In 2011 and 2013 she developed her skills through the OK Video Festival. Riksa served as the exhibition and artistic coordinator for Jakarta Biennale 2013 and joined the curatorial team for Jakarta Biennale 2015. Her ongoing project is research into street art and graffiti, focussing on development and archival records. Now working in Arts Laboratory (ArtLab) in ruangrupa.


Digital Nativ (Indonesia)

MakeDoNia (Indonesia)

Digital Nativ is a digital fabrication studio founded out of passion for creating compelling, disruptive, iconic brand building tools and experiences that connect with end-users, regardless of category or industry.

Nama MakeDoNia diambil dari buku yang menceritakan kisah sebuah komunitas miskinmenengah di Asia Tengah, dimana mereka hidup bahagia dan mencukupi kebutuhan mereka dengan membuat/menciptakan sendiri serta berbagi dengan sesamanya. MakeDoNia terdiri atas tiga kata: MAKE (membuat)-DO (Melakukan)-NIA (Menggemari). Kata itu juga merupakan singkatan dari MAKER INDONESIA (atau Pencipta Indonesia).

Specializing in rapid prototyping and custom hardware development, we take concepts from scientific research through development and into manufacture. Digital Nativ combines computer graphics and programming software with computer aided tools, to explore a new paradigm of product design and manufacture.

Digital Nativ adalah sebuah studio fabrikasi digital yang terlahir dari semangat untuk menciptakan alat pembangun brand yang ikonik, menarik, bahkan ‘mengganggu’ dan menghadirkan pengalaman yang terhubung dengan konsumen tanpa memandang kelas atau industri. Mengkhususkan diri dalam pengembangan perangkat keras purwarupa dan bentuk khusus yang cepat, Digital Natif mengadaptasi konsep riset ilmiah mulai dari pengembangan sampai prose pembuatannya. Digital Nativ menggabungkan grafik komputer dan perangkat lunak pemrograman dengan alat-alat dan bantuan komputer untuk mengeksplorasi model pola baru dalam perancangan dan pembuatan produk.

lifepatch (Indonesia) lifepatch - citizen initiative in art, science and technology (inisiatif warga di seni, sains dan teknologi): adalah sebuah organisasi berbasis komunitas yang bekerja dalam aplikasi kreatif dan tepat guna di bidang seni, sains dan teknologi. Dalam aktifitasnya, lifepatch berfokus pada pendekatan seni dan sains melalui praktik edukasi dalam penggunaan teknologi yang berguna bagi masyarakat. Hal ini dilaksanakan melalui pengembangan kreatif dan inovatif di bidang teknologi; seperti teknologi biologis, teknologi lingkungan dan teknologi digital. Dalam pelaksanaannya lifepatch mengutamakan semangat budaya DIY (Do It Yourself) dan DIWO (Do It With Others), mengajak para anggota dan siapapun yang terlibat untuk meneliti, menggali, mengembangkan dan memaksimalkan fungsi dari teknologi; baik dalam penggunaan praktis maupun teoritis bagi masyarakat dan budaya itu sendiri. Dengan semangat dan aktivitas yang dilakukan, lifepatch mengharapkan untuk dapat memacu kemunculan suatu pola dan sistem baru yang lugas dari proses kreatif individu dan komunitas, serta interaksi antar individu dalam rangkaian kerjasama antar kelompok dan ragam bidang pengetahuan.

lifepatch—citizen initiative in art, science and technology—is a community-based organization that works in a creative and effective application in the fields of art, science and technology. In its activities, lifepatch focuses on the art and science through practical education in the use of technology that is useful for society. This is done through the development of creative and innovative in the field of technology; such as biological technology, environmental technology and digital technology. In the implementation, lifepatch’s main concern is the cultural spirit of DIY (Do It Yourself ) and DIWO (Do It with Others). Such spirit that invites members and anyone involved examining, exploring, developing and maximizing the function of technology; both the practical and theoretical use to society and culture. With the spirit and activities undertaken, lifepatch expects to be able to spur the emergence of a new pattern and straightforward system of the creative process of individuals and communities, as well as interaction between individuals in a series of inter-group cooperation and diverse fields of knowledge. www.lifepatch.org

MakeDoNia MakerSpace adalah inovasi ruang dan kewirausahaan melalui Sains, Teknologi, Rekayasa Teknik, Matematika dan Seni (Science, Technology, Engineering, Mathematics and Arts / STEMA). Mereka adalah para pionir dari Gerakan Pencipta atau Makers Movement di Indonesia. Misi mereka adalah untuk membangun kesadaran dari Gerakan Pencipta dan untuk memberdayakan masyarakat Indonesia untuk menciptakan sendiri produk serta inovasi mereka dengan teknik atau metodemetode Lakukan Sendiri (DIY / Do-It-Yourself) dan Lakukan Bersama (DIT / Do-It-Together). Mereka juga berafiliasi dengan beragam komunitas dan jejaring fotografi, robotic, menjahit dan merajut, elektronik, seni, dan pendidikan. MakeDoNia adalah Dina Kosasih, Yurry Razy, Danny Kosasih, Dirra Soewondho, dan Imanzah Nurhidayat.

MakeDoNia name was taken from a book which told of a poor-middle income community in Central Asia, whereas the lived happily and they fulfilled their needs by making/creating it by themselves and sharing it with others. MakeDoNia comprises of 3 words: MAKE (membuat)- DO (Melakukan)- NIA(Menggemari). It is also an abbreviation of MAKER INDONESIA. MakeDoNia MakerSpace is the innovation space and entrepreneurship through Science, Technology, Engineering, Mathematics and Arts (STEMA). They are the pioneers of Makers Movement in Indonesia. Their Mission is to build awareness of Makers Movement and to empower Indonesians to make their own products and innovations by DIY (Do-It-Yourself ) and DIT (Do-It-Together) methods. They also affiliate with communities and networks of photography, robotic, knitting and crochet, electronic, art and education. MakeDoNia are Dina Kosasih, Yurry Razy, Danny Kosasih, Dirra Soewondho and Imanzah Nurhidayat. www.MakeDoNia.co

WAFT Lab (Indonesia) Waft-lab adalah inisiatif interdisiplin di kota Surabaya - Indonesia, berbasis semangat swakriya melalui praktik seni, ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna. Sejak 2011 Waft-lab menginisiasi beragam kegiatan secara rutin seperti lokakarya, diskusi, pameran, festival, dan program lainnya yang bertujuan untuk menggali gagasan baru dan membangun jaringan kerja kolektif berkelanjutan.

Waft-lab is an interdisciplinary initiative in Surabaya, Indonesia, based on self-crafted spirit through the praxis of art, science and efficient technology. Since 2011 Waft-lab has initiated various activities such as workshops, discussions, exhibitions, festivals, etc., which have the objectives to dig up fresh ideas and to build sustainable collective networks. www.waft-lab.com

179


Pengantar Kurator Ekspresi Digital Kaum Muda Urban Internet-Meme merupakan bentuk penyebaran konten yang didistribusikan online pada ruang Internet dengan beragam bentuk citraan, mulai dari gambar diam hingga gambar bergerak. Bermigrasi dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Juga terus menerus berkembang, berubah, hingga berevolusi menjadi bentuk baru, sesuai dengan perkembangan teknologi media dari waktu ke waktu.

S

elain banyak mengandung unsur humor, internet-meme selalu menarik perhatian dan sering menjadi fenomena di masyarakat. Bentuknya yang sederhana seperti sebuah iklan penyampai pesan, dapat dikatakan sebagai media komunikasi alternatif yang sangat fleksibel, anarkis, juga provokatif. Sifatnya yang generatif, sangat mudah untuk direproduksi dan didistribusi secara yang luas. Salah satu contoh fenomena dari internetmeme yang paling menarik adalah peristiwa saat Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2014 lalu. Di sini, masyarakat sangat antusias dan kreatif membuat berbagai macam pernyataan, juga pendapat politis yang dikemas humoris dan satir ke dalam bentuk internet-meme dengan berbagai format digital, seperti .jpeg hingga gambar bergerak dalam format .gif, juga format video dengan konten

beragam. Fenomena ini telah memperlihatkan bagaimana bentuk artistik internet-meme, terus berkembang dan dapat mempengaruhi sosial dan ideologi masyarakat, juga memperlihatkan meme sebagai ekspresi wajah masyarakat. Peranan meme sangatlah penting di dalam budaya digital. Di sini, internet-meme mempunyai fungsi sebagai media yang dapat melawan arus. Melihat bentuk awalnya yang katro dan terkesan murahan, kini internetmeme tidak dianggap sebagai humor belaka. Namun, sebagai bentuk penting dari budaya komunikasi baru kaum urban. Bila dicermati secara kritis, internet-meme banyak mengandung penanda perkembangan zaman yang meliputi banyak aspek. Mulai dari teknologi, ideologi, serta sosial dan budaya yang sedang berkembang di masyarakat pada

masanya. Kini, katro bukan sekedar luculucuan, tapi katro telah menjadi bagian dari budaya dan telah menjadi estetika alternatif baru berkesenian. Pameran virtual ini mengundang beberapa seniman yang fokus berkarya pada penggunaan ruang virtual sebagai tempat pendistribusiannya, seperti, Azer, Oomleo, dan Yusuf Ismail. Pameran ini dibuka untuk publik luas, publik diajak untuk mengunggah karya-karya digitalnya berupa internet-meme, ke dalam website yang akan menjadi ‘ruang pameran’ sebagai karya format digital. Format berupa .png, .jpeg, juga gambar gerak seperti .gif, .mp4, juga .mov. Presentasi publik berupa diskusi dan performans multimedia dirancang untuk mempresentasikan karya-karya terbaik yang diunggah ke website.

Aditya Fachrizal Hafiz dikenal sebagai “Gooodit�, seniman juga kurator yang berkarya di berbagai media. Ia belajar Desain Komunikasi Visual di Institut Kesenian Jakarta. Pada 2008 mendirikan Kamengski bersama rekannya, untuk mendukung seniman muda Indonesia berkesenian dan berkarya. Pada 2011, bersama rekan lainnya membuat Cut and Rescue, sebuah proyek seni yang berfokus pada gagasan perkotaan urban, meneliti dan menggembangkan ide kreatif dengan menggunakan metode cut-up. Gooodit, saat ini tinggal di Bekasi dan bekerja sebagai Special Brand Ambassador Sampoerna A, Desainer Grafis dan Fotografer lepas di Jakarta.

181


Curator Notes Young Urban People Digital Expression Internet-Meme is a form of content proliferation distributed online on the Internet space with various form of images, from static to moving image. Migrated from one user to another, Internet-Meme also constantly evolved, changing into a new form adjusting with the media technology development from time to time.

A

part from its farce content, Internetmeme always attracted attention and often become a phenomena amongst society. Its simple form, not unlike an advertisement, can be said as a flexible, anarchy and provocative alternative communication media. Its generative property makes it easy to extensively reproduced and distributed. One of the most intriguing examples of Internet-meme phenomena is one of the Indonesia Presidential General Election in 2014. During the event, the people were creatively enthusiastic in making various remarks consisting of political opinion packed in a witty and satirical internet-meme with various digital format, such as, .jpeg to moving picture in the form of .gif, without excluding many types of

video format with. This fact has shown how the internet-meme artistic form, while experiencing a constant flux at the same time setting its grasp on the people’s social and ideological condition, could also be seen as the expression of the face of the people. Meme holds a very important part in a digital culture. Here, meme plays a function as an alternative media capable of moving against the current. Although its preliminary hideous and cheap form, Internet-meme is not only taken as a mere joke, but, as an important form of new urban communication culture. If we take a closer analysis, Internet-meme contains many period development markers covering various aspects. Starting from technology, ideology and socio-cultural aspect perversely flourishing in the people on a certain period. Today, its

plebeian form is not just a joke, but it is, inevitably, a part of culture and has become an alternative form of aesthetics in art. This virtual exhibition invites several artists whose focus of artistic distribution was the virtual space, such as, Azer, Oomleo and Yusuf Ismail. This exhibition is opened for the people and at the same time, the people is invited to upload their digital work in the form of Internet-meme to a website, which, essentially will become the exhibition space as a digital format work. Format such as .png, .jpeg, moving picture such as, .gif, .mp4 and also .mov. Public presentation such as discussion and multimedia exhibition is designed to present the best work to be uploaded into the website.

Aditya Fachrizal Hafiz. Known as “Gooodit,� artist and curator working in various media. He studied Visual Communication Design in Jakarta Art Institute. In 2008 he formed Kamengski with his partner to support young Indonesia artist to express their art. In 2011, with his partners, he formed Cut and Rescue, an art project focusing on urban city idea. This initiative researches and develops creative idea by using cut-up method. Gooodit currently lives in Bekasi and works as Sampoerna A Special Brand Ambassador, graphic designer, and freelance photographer in Jakarta.

183


185


Nirkabel Masuk Desa oleh Berto Tukan*

Kini, kita hidup bersama internet. Sadar atau tidak, internet mengubah perilaku manusia. Dari berbelanja, mencari hiburan, berpolitik, menciptakan citra diri, mencari pengetahuan, bahkan juga bercinta, hampir semuanya bisa atau kerap kali dilakukan melalui media internet. Bahkan, perkembangan teknologi komputer dan internet mutakhir sudah memungkinkan untuk menciptakan sentuhan tubuh secara maya. Salah satu contohnya peranti lunak bernama kissenger. Peranti ini memungkinkan dua orang yang berada di tempat yang berbeda merasakan ciuman yang nyata. Kegiatan-kegiatan yang dahulunya mengharuskan orang mendatangi tempat-tempat lain dan berinteraksi langsung dengan manusia lain, kini bisa dilakukan dari rumah melalui internet.

K

emunculan dan semakin meluasnya penggunaan internet membuka kemungkinan baru dalam tingkah laku sosial di Indonesia. Sejak awal kemunculannya di akhir ‘90-an, internet berandil signifikan terhadap beberapa peristiwa di Indonesia. Ia telah digunakan dalam ‘perlawanan’ terhadap otoritarianisme Soeharto. Hill dan Sen mengajukan salah satu argumen perihal peran media dalam runtuhnya Soeharto, yaitu perubahan bentuk media dan konsekuensi kebudayaan yang diakibatkannya secara global merusak dua alat penting pemerintah Orde Baru atas media, yakni propaganda dan sensor. Pemerintah kala itu belum terlalu sadar dengan keberadaan media komunikasi yang satu ini. Kini, penggunaan internet di Indonesia semakin ramai. Portal-portal berita, website-website pun bermunculan bak jamur di musim hujan. Banyak pula berguguran dan diganti dengan yang lain. Namun, ada pula yang bertahan dan makin digdaya. Pengguna pelbagai media sosial semakin bertambah dari hari ke hari. Satu media sosial berganti dengan media sosial lainnya dengan pelbagai ekspresi penggunaannya: dari perayaan narsistik hingga penggalangan dukungan untuk kegiatan sosial tertentu. Perkembangan teknologi internet yang demikian di satu sisi disambut dengan penuh sukacita dan di lain sisi merisaukan

dampak-dampak negatif yang dibawanya. Bak Janus, salah satu dewa dalam mitologi Romawi, ia memiliki dua wajah dengan rupa bertolakbelakang: di satu sisi indah rupawan dan di sisi yang lainnya jelek menakutkan. Tentu, sebagaimana semua kemajuan di negeri ini, kemunculan internet di Indonesia di paruh kedua ‘90-an tak terjadi secara merata. Hanya kota-kota besar di Indonesia saja yang merasakannya. Data Kominfo tahun 2010 menunjukkan bahwa 67 persen distribusi komputer dan 70,05 persen akses internet terkonsentrasi di Jawa dan Bali, sementara sebagian besar daerah lain masih tertinggal. Ketersediaan warnet atau kios internet pun setali tiga uang; masih terkonsentrasi di kotakota besar di Jawa, Bali, Sumatera, dan ibu kota-ibu kota provinsi lainnya. Bahkan bisa jadi beberapa alat komunikasi yang sempat muncul di Indonesia tidak pernah dirasakan oleh mereka yang tak tinggal di kota-kota besar. Pager misalnya, pada hemat saya tak dirasakan oleh masyarakat di luar kota-kota besar. Palingpaling mereka mengetahui keberadaan benda tersebut entah melalui iklan atau lagu yang dibawakan grup band NEO. Pesawat telepon—alat komunikasi yang sekarang bisa kita sebut ‘jadul’ itu—pun

bukan berarti merata penggunaannya di seluruh Indonesia. Seingat saya, di era ‘90-an, penduduk-penduduk desa di Provinsi NTT misalnya, terkadang perlu ke ibu kota kecamatan atau kabupaten dan menginap semalam di sana hanya untuk menerima telepon dari sanak saudaranya yang merantau di kota-kota besar di luar NTT. Biasanya, keluarga di—sebut saja misalnya Jakarta—menelepon ke nomor telepon keluarga yang ada di kota kabupaten dan mengadakan janji kapan akan menelepon saudara yang tinggal di desa (tentu saja beragam jarak antara desa dan kota kabupaten). Lantas keluarga di kota kabupaten tersebut mengirim surat perihal waktu yang ditetapkan tersebut ke desa. Seingat saya, perubahan baru terjadi di awal ‘2000-an ketika pesawat-pesawat telepon masuk ke desa-desa dan wartel desa mulai dikenal. Kala itu, penduduk kota-kota besar di Indonesia sudah mulai berasyik masyuk dengan internet. Agaknya hal ini berkat program pemerintah yang kala itu bertajuk “Desa Dering dan Desa Pintar”. Apa yang terjadi dengan pesawat telepon di awal ‘2000-an itu, kini, terjadi pula pada komputer dan internet. Nir-kabel Masuk Desa Seorang kawan lama dari wilayah timur Indonesia pada suatu waktu berkunjung ke Jakarta. Di dalam sebuah kesempatan, ia meminta saya untuk membuatkannya akun Facebook. “Kebetulan bersua, daripada harus membayar dua puluh ribu untuk operator warnet di kampong”, begitu alasannya. Tentu saya terperangah atas permintaannya itu. Di awal ‘2000-an ketika masih tinggal di Larantuka, sebuah kota kabupaten kecil di provinsi NTT, internet memang sesuatu yang asing bagi saya. Keberadaannya di

Indonesia samar-samar sudah kami dengar kala itu, namun wujudnya masih teka-teki. Bayangkan, betapa tertinggalnya! Di 1997 atau 1996 saja, surat kabar Kompas dan Jakarta Post sudah menurunkan laporan perihalnya. Butuh hampir satu dekade untuk internet bisa hadir di kota kecil di wilayah timur Indonesia. Kembali pada permintaan seorang kawan di atas, membuat Facebook bagi kita di kota-kota besar tentu hal remeh; seremeh menempelkan Flazz Card BCA di pintu masuk halte Trans Jakarta. Teatapi, memang begitulah kenyataan jurang pengetahuan kita. Anda tentu tak perlu berpikir tujuh kali untuk menerka: ketika saya membuatkan Facebook itu, saya mulai dengan membuatkannya email pribadi dengan serentetan nasihat soal pentingnya kerahasiaan dan mengingat pasword-nya. Apa daya, pasword-nya pun dipercayakan pada saya untuk memikirkannya. Terdengar konyol tentu saja. Jangankan internet dan segala perangkat pendukungnya, hal yang sama juga terjadi pada handphone. Saya pribadi baru menggunakan telepon genggam pada pertengahan 2003 ketika pindah ke Jakarta untuk berkuliah. Masa pacaran waktu SMA saya jauh dari budaya mengirimkan layanan pesan pendek. Apalagi bernyanyi-nyanyi via pesan suara di whatsapp atau line. Kalau tak salah ingat, kabar dari kampung perihal mulai bisa digunakannya handphone di Larantuka baru terdengar dua atau tiga tahun setelahnya. Tentu banyak cerita yang menyertainya, menjadi bumbu masuknya benda satu ini di sana. Larantuka adalah sebuah kota kecil. Jalan utama hanya satu, terbentang dari timur ke barat yang dengan kecepatan sedangsedang saja pun anda hanya perlu 45 menit kurang untuk menjelajahinya dari ujung ke

187


ujung. Angkutan umum hanya ada dua jurusan; jurusan barat hingga pusat kota dan jurusan pusat kota hingga timur kota. Secara geografis, kota ini dekat dengan laut sehingga banyak penduduknya menjadi nelayan. Mencari ikan biasa dilakukan di malam hari. Dahulu, jika sampan yang satu kehabisan umpan, biasanya ia akan berteriak kepada teman di sampan sebelahnya untuk meminta umpan. Kini, dengan adanya handphone, berbagi umpan di kala memancing, terjadi di dalam diam; cukup ‘meng-ha-pe’ kawannya. Oh ya, sebelum smartphone nge-trend, sebutan ‘ha-pe’ di Larantuka tidak hanya dipakai sebagai sekadar penanda handphone, tetapi juga untuk menandai segala aktivitas yang bisa dilakukan handphone. Jadi, mengirimkan sms dan menelepon telepon genggem disebut dengan ‘meng-ha-pe’. Penggunaan kata ‘mengha-pe’ ini mulai berubah ketika smartphone dan blackberry mulai masuk. Semakin banyak aplikasi dalam ‘handphone’ yang tak bisa lagi mereka wakilkan hanya dengan kata ‘mengha-pe’. Ketika penggunaan handphone mulai marak di sana, seseorang yang naik angkot dan handphone-nya berdering, makan seisi angkot mencibirnya, tentu dengan bisik-bisik. Entah karena apa. Ketika handphone buatan Cina mulai memasuki pasar, orang di sana melabeli handphone merk Cina dengan sebutan ‘fotokopian Nokia’. Tentu mendengar ceritacerita di awal, saya yang kala itu sudah menjadi warga Jakarta, secara selera mau pun Kartu Tanda Penduduk, tertawa geli. Internet Masuk Desa Internet, pada dua atau tiga tahun terakhir ini merangsek masuk hingga wilayah-wilayah Indonesia Timur. Di awal 2000-an, internet, barangkali juga komputer, masih sesuatu yang asing di wilayah-wilayah timur Indonesia, khususnya di kota-kota kabupaten. Sedikit berbeda barangkali untuk daerah-daerah di

Sulawesi. Tentu bukan tak ada sama sekali. Sejak akhir 1990-an internet sepertinya sudah bisa diakses melalui Telkomnet Instan dan Fixed Line Telkomsel di daerah-daerah. Namun, harga yang terlampau mahal—apalagi memang telepon pun bukan sesuatu yang sangat ‘merakyat’ juga—membuatnya bukan barang komoditi untuk semua orang. Secara umum, adanya Telkom Speedy di NTT-lah yang membuat mulai munculnya warnet-warnet di tahun 2009.

memudahkan para penulis sastra di sana mengirimkan karya mereka ke media-media yang berada di luar wilayah mereka. Selain itu, tentu memudahkan pula mereka terlibat dalam diskusi-diskusi dan wacana-wacana sastra mutakhir.

Tahun 2010 bisa dikatakan sebagai waktu meluasnya penggunaan internet di NTT. Melalui Program Kewajiban Pelayanan Universal/ Universal Service Obligation dari Kominfo, pada September 2010, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) tersebar di 223 Kecamatan di NTT. Bukan hanya membangun semacam warnet di kota-kota kecamatan, program ini juga menghadirkan mobil internet, bahkan rencananya kala itu juga pengadaan kapal internet. Tentu banyak yang menaruh harapan atas kemajuan ini. Misalnya, semakin terbukanya peluang masyarakat umum untuk mendapatkan akses informasi dan juga keuntungankeuntungan lainnya via teknologi internet. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah “Internet Masuk Desa” ini membawa keuntungan dan manfaat yang signifikan untuk masyarakat di pelosok-pelosok Indonesia?

Hal ini jauh berbeda dengan generasi sastrawan NTT sebelumnya. Saya pernah bertemu dengan seorang penulis sastra dari NTT yang di era ‘70-an dan ‘80-an kerap mengisi laman-laman sastra di koran-koran Yogyakarta, maupun Jakarta. Namun, namanya pudar di era ‘90-an hingga sekarang. Setelah diusut, keaktifannya itu terjadi ketika ia masih menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Mengirimkan tulisan ke koran Yogyakarta cukup dengan mendatangi kantor redaksinya, sedangkan mengirim tulisan ke media Jakarta hanya butuh waktu beberapa hari saja. Setelah selesai studi, ia memutuskan kembali ke NTT dan ia tak lagi mengirimkan karyanya ke media-media di kedua kota tersebut. Alasannya sederhana. Hampir semua media terbitan Jakarta dan Yogyakarta kala itu tidak bisa didapatkan di kota kabupaten di NTT. Di samping itu, pengiriman karya melalui pos memakan waktu yang cukup lama.

Menjawab pertanyaan tersebut tentu membutuhkan penelitian dan pengamatan yang lebih terperinci. Tergantung pula dari sudut mana kita melihat. Setidaknya sejauh ini peluang-peluang bagi masyarakat di daerahdaerah pelosok semakin terbuka lebar. Hampir bersamaan dengan meluasnya penggunaan internet tersebut, di NTT, geliat sastra terdengar hingga ke Jakarta. Para pegiat sastra di sana, khususnya di kota Kupang, lancar berbagi informasi dengan sesamanya di kota-kota lain di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan Jakarta. Keberadaan internet juga

Menurut Joseph Letor, koordinator PLIK NTT yang mempunyai akses ke 223 PLIK se-NTT, peringkat penggunaan internet di NTT bisa disebutkan lima hal. Yaitu, untuk jejaring sosial (facebook), mencari tugas sekolah, mencari informasi pertanian dan perikanan, (seperti harga mente, pupuk, dll.), belajar online khususnya bagi mahasiswa Universitas Terbuka, dan penggunaan e-mail yang sangat kecil jumlahnya. Dari lima penggunaan ini terlihat bahwa memang ada pemanfaatan yang cukup positif bagi masyarakat di desa. Pencarian

informasi pertanian dan perikanan misalnya. Pengakuan Franco Nalele, seorang pengelola warnet bantuan PLIK di salah satu kelurahan di kota Larantuka, dalam seminggu pengunjung warnetnya berkisar antara 30-40 orang. Kebanyakan dari pengunjung itu menggunakan warnet untuk mengerjakan tugas, khusus untuk para pelajar. Penggunaan warnet untuk media sosial tidaklah banyak. Hal ini dimungkinkan karena kebanyakan pengguna media sosial bisa melalui smartphone. Patut dicatat, internet pribadi di rumah cukup jarang ditemukan di sana. Meme Rasa Daerah

189

Di tengah penggunaan yang demikian, sedikit-sedikit media gambar digital pun perlahan-lahan muncul di sana seiring penggunaan internet. Memang tidak banyak. Sejauh pengamatan, pengguna media sosial di Larantuka yang juga asyik ber-meme ria hanya dua orang. Itu pun lantaran mereka sehari-harinya dekat dengan internet dan komputer alias bekerja di warnet. Sedangkan ‘tradisi’ produksi meme mungkin lebih hidup di Kupang yang adalah kota provinsi NTT. Dari wawancara dengan Franco Nalele, salah satu pengguna


facebook di Larantuka yang aktif membuat meme, ia pun terinspirasi dari aktivitas serupa yang ada di Kupang, terkhusus dari account facebook bernama Kalapa Mati. Kalapa Mati, sejauh pantauan saya mulai aktif membuat meme sejak lima atau tujuh tahun yang lalu. Meme-meme lokal ini menimbulkan fenomena memindahkan ekspresi-ekspresi verbal ‘kedaerahan’ menjadi media gambar digital dengan alat penyebarnya; media sosial. Meme-meme banyak memanfaatkan ungkapan-ungkapan lisan kedaerahan. Saya belum terlalu jelas apa yang memicu fenomena ini. Barangkali memang sekadar respon dan produksi lokal atas apa yang ada dan

mereka konsumsi dari pusat. Berbeda dengan cerita tentang para sastrawan di atas, yang memanfaatkan internet untuk berkomunikasi dengan sastrawan di wilayah lain. Pada fenomena meme, mungkin tak ada niat untuk berkomunikasi atau membangun jejaring dengan siapa pun, atau tujuan tertentu lainnya. Sejauh menurut saya, tujuannya sekadar bersenang-senang mengisi waktu luang. Apa yang mereka hasilkan pun tak berpretensi. Namun, memang agak sulit untuk dipahami oleh orang lain atau komunitas lain di luar komunitas kedaerahan mereka. Simak misalnya dua meme yang dibuat oleh salah satu akun Facebook pemuda dari Flores Timur berikut ini.

Kalimat-kalimat yang ada pada kedua meme tersebut tampak sulit untuk dipahami oleh orang yang berada di luar komunitas daerah tersebut. Jika diterjemahkan pun, hanya meme pertamalah yang bisa dipahami sepenuhnya. “Oa e... Foto bua gaya lee mireng macam orang tido banta tesala ni...? Supaya apa...??? Hahaerrooo.” Terjemahan bahasanya kira-kira demikian, “Hai Nona, berfoto dengan maksud untuk bergaya kok seperti orang yang lehernya sakit lantaran salah kepala ketika tidur? Untuk apa? Hahahahahaha.” Sementara untuk meme yang kedua, “E, Oa e. Sunto yang lincah jo tata tonda melompa maso dalam bero le... Oa ni? Sebenta jo so tetenda dalam selimo....” Kira-kira artinya, “Nona. Cumi-cumi yang lincah berenangnya pun bisa saya arahkan untuk melompat masuk ke dalam sampan. Anda? Hanya butuh waktu sebentar untuk membuatmu berada di dalam selimut.”

Bahkan di kota itu ketika Paskah Katolik tiba, ada prosesi yang merupakan perpaduan antara kekatolikan dan kebudayaan lokal1. Maka tidak heran, menjelang Paskah muncul pula meme seperti ini:

Kelokalan pun tampak pada meme-meme yang ada di account facebook Kalapa Mati.

Untuk meme yang kedua ini, kita perlu memahami simbol-simbol serta praktek nelayan di wilayah tersebut. Betapa sulit untuk berhasil menangkap seekor cumicumi dibandingkan dengan jenis hewan laut lainnya. Kita juga perlu memahami seperti apa kelincahan cumi-cumi ketika berenang di dalam air laut. Entah disengaja atau tidak, meme pertama hanya berupa katakata, sedangkan meme kedua ada gambar ujung depan perahu yang berlayar menuju daratan. Gambar ini pada hemat saya semakin memperkuat aroma lokalitasnya, meski pun masih ada unsur eksotisme yang barangkali disengaja atau tidak. Selain meme-meme ‘becandaan’ seperti di atas, mereka juga kerap membuat meme berbauh ‘rohani’ dengan kekhasan yang mirip dengan budaya rohani setempat. Larantuka dikenal juga dengan tradisi Katoliknya yang kental serta devosi pada Bunda Maria.

191

Look up, for example. “Tradisi Paskah di Larantuka”, http://nasional.kompas.com/read/2011/04/21/09355774/ Tradisi.Paskah.di.Larantuka. Accessed on May 28th, 2015.

1


Untuk meme pertama—seingat saya, muncul bersamaan dengan issue kenaikan harga BBM—dengan kalimat, “puji Tuhan, Laporan harga BBM (Belis Buat Maitua) masih stabil”. Kita melihat bagaimana BBM atau Bahan Bakar Minyak ‘diplesetin’ menjadi Belis Buat Maitua yang sangat beraroma kelokalan. Dalam adat pernikahan di wilayah NTT, mengharuskan keluarga lelaki menyerahkan belis kepada keluarga perempuan—seringnya harga belis itu mahal tak terkira. Dari kalimat di meme tersebut, tampaklah ungkapan kebahagiaan karena harga belis tidak naik. Jika harga belis naik, maka urusan pernikahan bisa jadi lebih sulit. Jika kelokalan pada meme pertama adalah adat istiadat maka kelokalan pada meme kedua terletak pada komoditas dagang yang ada di Kupang. Kalimat dalam meme tersebut demikian, “NABAS adalah singkatan dari Nasi Babi Sate”. NABAS merupakan jenis makanan yang sangat mudah didapatkan di warung kaki lima di Kupang. Menunya, biasanya terdiri atas nasi kuning dengan daging babi yang dimasak dengan cara tertentu ditambah sate daging babi. NABAS mungkin sangat sulit didapatkan di wilayah lain di Indonesia. Hal yang menarik, NABAS pada meme ini disandingkan dengan KFC yang lebih mengglobal keberadaannya. Selain kelokalan yang asli dan khas, ada juga meme yang berusaha mengubah meme-meme ‘Jakarta’ ke dalam bahasa lokal. Misalnya meme berikut:

Foto lelaki negro di atas, kerap dijadikan meme dengan kalimat “Di situ kadang saya merasa sedih”, sebuah frase yang popular lantaran diucapkan seorang Polwan di salah satu televisi swasta—sayang, hingga tulisan ini selesai, saya tak berhasil menemukan meme yang dimaksud. Meme yang ditampilkan ini pada hemat saya adalah usaha untuk memparafrasekan “di situ kadang saya merasa sedih” dalam ungkapan lokal Larantuka, dua frase ini punya nilai pemaknaan yang mirip. Dua ilustrasi di atas, saya kira mewakili dua ekstrem penggunaan internet di daerahdaerah di luar pulau-pulau besar wilayah barat Indonesia. Jika kita membuat daftarnya, tentu banyak lagi yang barangkali hampir sama di setiap wilayah. Belum lagi jika kita hendak melihat bagaimana bahasa daerah terkadang sulit menemukan padanan huruf-huruf yang mewakili bunyi pelafalannya, khususnya untuk bahasa daerah tanpa tradisi aksara, seperti dalam aksara romawi yang digunakan oleh komputer di Indonesia pada umumnya. Menjamurnya penggunaan internet di Indonesia secara keseluruhan memicu juga praktek meme. Pada Pemilu Presiden tahun 2014, meme-meme membanjir di tengah media kampanye lainnya. Seiring juga masuknya internet di daerah-daerah lain di Indonesia, muncul pula praktek meme di sana yang tentunya mendapat sentuhan lokal. ***

D

emikianlah. Untuk daerah yang jauh dari pusat-pusat ekonomi dan pemerintahan, seumpama lagu lama, kemajuan teknologi tidak serta merta menyapa mereka. Banyak pengalaman mencatat, salah ‘duanya’ adalah telepon dan internet, butuh waktu cukup lama untuk masyarakat daerah bisa merasakan kemajuan teknologi; sebuah

kemajuan yang secara langsung atau pun tak langsung diakomodir oleh mereka. Desa bukan hadir tanpa arti; ia hadir selalu sebagai pendukung atas kota-kota maju yang menjadi pusat berkembangnya kebudayaan, teknologi, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Ketika teknologi itu pada akhirnya menyapa mereka terkadang mereka memang siap, terkadang juga tidak. Namun yang terpenting adalah kemampuan mereka untuk cepat berbenah diri dan menyesuaikan diri dengan derap dunia yang ada di luar mereka. Memang tidak semua memiliki kemampuan itu. Praktek meme yang sedikit banyak digambarkan di dalam tulisan ini, saya kira adalah bukti awalnya. Sedangkan ketaksiapan masyarakat pada teknologi baru, sedikt banyak muncul pula dalam anekdot-anekdot serta tingkah laku yang aneh dalam penggunaan alat-alat teknologi baru itu. Tingkah laku dalam kehidupan mereka, barangkali tidak drastis, tetapi turut berubah seiring masuknya teknologi-teknologi baru tersebut. Namun bersamaan dengan itu, “namanya juga program pemerintah”, terdengar kabar bahwa jaringan internet beberapa PLIK di kecamatan-kecamatan akan dicabut. Menutup tulisan ini, saya hendak menceritakan ulang sebuah kisah dari Papua tentang seorang lelaki yang membeli handphone. Alkisah, seorang Pace dari kampung datang ke toko elektronik di Sorong, salah satu kotamadya di Provinsi Papua Barat, untuk membeli handphone. Selain handphone, ia pun membeli sim card telkomsel. Setelah itu, Pace tersebut pulang ke kampungnya. Beberapa minggu kemudian ia datang lagi ke toko elektronik tersebut sembari marah-marah lantaran handphone-nya tak bisa digunakan. Sang

penjaga toko, katakanlah pendatang dari Sulawesi, bertanya tentang di mana tempat tinggal Pace tersebut. Pace pun menyebutkan nama kampungnya. Si Penjaga Toko dengan tersenyum sabar menjelaskan kepada Pace bahwa di kampung itu memang sinyal belum masuk. Dengan masih menyimpan emosi, Si Pace menjawab, “Kalau begitu, saya beli sinyal langsung dua buah!” *** *Tentang Penulis: Berto Tukan adalah mahasiswa program Magister di STF Driyarkara, Jakarta. Ia pernah terlibat dalam penelitian untuk penerbitan buku Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai oleh Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, ia juga pernah terlibat pada penelitian naskah akademik seni rupa di tiga kota, Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Saat ini, ia adalah editor untuk website Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS dan Jurnal Karbon (ruangrupa). Berto banyak menulis puisi, esai, dan cerpen yang dimuat di beberapa surat kabar nasional. Selain itu, menulis artikel filsafat untuk beberapa jurnal seperti Jurnal Driyarkara dan Jurnal Melintas.

193


Wireless Connection for Villages by Berto Tukan*

We now live with the Internet. Whether we’re conscious about it or not, the Internet has changed human behavior. We can do almost anything with the Internet: shopping, finding entertainment, engage in politics, searching for knowledge, creating a self-image, even to find love. In fact, the development of cutting-edge computer and the Internet technology has begun to create a virtual touch of the body; one of them is a device called Kissenger. This device allows two people who are in different places feel a genuine kiss. Many activities which previously require people to visit other places and interact directly with other human beings, now can be done from home via the Internet.

T

he emergence and increasingly widespread use of the internet opens up new possibilities in social behavior in Indonesia. Since its inception in the late 90’s era, Internet is has been significantly contributing to some important events in Indonesia. It has been used in the context of the fight against Soeharto’s authoritarianism. Hill and Sen filed one of the arguments about the media’s role in the collapse of Soeharto is the change in the form of media and its globally cultural consequences resulting the damage of two important tools of the New Order government over the media, the propaganda and censorship.1 At that time, Government has not been too aware of the existence of this communication media. Now, the utilization of internet in Indonesia can be assumed to be almost evenly across Indonesian territory. You do not need to worry about losing access to the Internet. News portals and websites are blossoming like mushrooms in the rainy season. Many of them has fallen and then be replaced by others, some last and became invincible. The users of various social media are increasing from everyday. One social media replaced with another social media with various expressions of use: from a David T.Hill and Krishna Sen, The Internet in Indonesia’s New Democracy, (Oxon: Routledge), 2005, pg. 78.

1

narcissistic celebration to raising a support for certain social activities. Thus the development of Internet technology on the one side was greeted with great joy and on the other side of the disturbing negative impacts brought. Akin to Janus, one of the gods in Roman mythology, who has two faces with such contrast: one is beautiful and handsome while the other one is ugly and scary. Obviously, as all advancements in this country, the emergence of the Internet in Indonesia in the second half of the 90s did not occur evenly. Only major cities in Indonesia felt it. Data of Communications and Information Technology in 2010 showed that 67 percent of the distribution of computer and 70.05 percent of internet access is concentrated in Java and Bali , while other areas were still left behind . Availability of internet cafes or kiosks were just the same; they were still centralized in big cities in Java, Bali , Sumatra, and some capitals of other provincial cities.2. Even some means of communication that had emerged in Indonesia never felt by those who did not live in the big cities. Pagers (or beepers) for example, in my opinion they Yanuar Nugroho and Sofie Shinta Syarief, Melampaui Aktivisme click?: Media Baru dan Proses Politik dalam Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Friedrich-Ebert Stiftung Kantor Perwakilan Jakarta), 2012, page. 51.

2

were not perceived by people outside the big cities. They probably known its existence through commercial advertisements or a song by the rap band NEO. The telephone, which we can now refer as ‘old tools of communication’, was not evenly distributed throughout Indonesia either. As I recall in the 90s, for example, villagers in NTT sometimes have to go to the capital city or district and stay overnight there only to receive a call from relatives who migrated to large cities outside the province. Usually, their relative in Jakarta, for example, called the telephone of a family in the city districts and made an appointment to call a relative who lives in the village (of course vary the distance between villages and city districts). Then that family in the district town who had a telephone sent a letter regarding the appointment time to the relative in village so they could come on to the district town to take the scheduled telephone call. As I recall, the new changes occurred in the early 2000s when the telephones came into the villages and village telephone kiosks were born. At that time, residents of big cities in Indonesia have started to use the internet. Presumably this is due to the government program at that time titled Dering Desa (Ring Village) and Desa Pintar (Smart Village). What happened with the telephone in the early 2000s, now— in the second decade of the 2000s era— occurred with computers and the Internet. Wireless Connection for Villages An old friend of mine from the eastern region of Indonesia once came to Jakarta. In one rare opportunity, he asked me to create a Facebook account for him. His reasons were clear: “it was a rare chance for us to meet and to save twenty thousand rupiahs back home on the village”—where he had to go to an internet rental place to do so. I was

astounded by his request. In the early 2000s when I lived in Larantuka, a small town in eastern region of Indonesia, the Internet was something unfamiliar to me. Its presence in Indonesia was vaguely heard at the time, but the form of it was still a puzzle. Imagine how fall we were left behind. In 1997 or 1996, Kompas and the Jakarta Post had a report on that subject, but it took almost a decade for the Internet to come to our small town, in eastern Indonesia. Looking back at my friend’s request above, to create a Facebook account is very effortless, just like tapping our BCA Flazz Card on the ticket machine at Transjakarta Bus Stop. But that was the reality of our knowledge chasm. You certainly do not need time to guess that when I created that account, I also created his personal emails—with a series of advice about the importance of confidentiality and to remember his password. Alas, he entrusted me to come up and pick password for him. Preposterous, wasn’t it? Never mind the Internet and all its supportive means, the same thing happened on cellular phone. I personally started to use the cellular phone in mid2003 when I moved to Jakarta to study. My high school romance was far from the culture of sending short message service— moreover of sending my girlfriend a song via message service applications such as WhatsApp or Line. If I remember correctly, the cellular phone technology only reached my village two or three years after my departure. Of course there were many stories following the infiltration of cellular phone technology on my village. Larantuka is a small town. The main road is only one stretching from east to west,

195


that even at a moderate pace, you would only need less than 45 minutes to explore it from end to end. There are only two major routes of public transportation there: from the west to downtown and downtown to the east of the city. Geographically, the city is near the sea so that many residences make a living from fishing. They usually go to the sea at night. In the past, if a fisherman is ran out of bait, he would shout to his friend in the nearby canoe to ask for more bait. Now, with the cellular phone, sharing bait while fishing occurs in silence; they only need to text each other. Before the trend of smartphone, the people in Larantuka used the word ha-pe (short for hand phone or cellular phone) not merely as a reference to the object, but also to mark all activities that can be done with the hand phone. So, to send sms and calls via hand phones is called “clicking-ha-pe.” The use of the word “clicking-ha-pe” was eventually changed when the smartphones and Blackberry™ started to spread there. There are too much applications in a smartphone that they could not be represented just by the word ‘clickingha-pe’. When the use of cellular phones began to bloom, anyone whose cellular phone rang in a public transportation would be pouted by other passengers, certainly with whispers, for unknown reason. And when China’s cellular phones began to enter the market, they labeled the Chinese mobile phone brands such as ‘Nokia’s Clone.” To hear such stories while I had become citizens of Jakarta, is amusing. Internet for Villages In the last two or three years, the Internet have reached to East Indonesia territories. In the early 2000s, the Internet, perhaps even the computer, is still unfamiliar in the eastern region of Indonesian, especially to those in the cities of the district. A little difference perhaps happened to areas on the island of Sulawesi. Since the

late 1990s, the Internet seemed to have been accessible via Instant Telkomnet and Fixed Line Telkomsel in these areas. However, the price is too expensive—especially the telephone is not something that is very ‘populist’. It was not a commodity for everyone. Eventually, Telkom Speedy was the one who started the rise of Internet kiosks in the year 2009. The year 2010 can be considered as the moment of extensive internet use in NTT. Through the Universal Service Obligation Program of Ministry of Communications and Information Technology, in September 2010, the District Internet Service Center (PLIK) reached over 223 sub-districts in the province. Not only to build a sort of kiosks in the cities districts, the program also intended to acquire an internet car and even a plan to procure an internet ship. Certainly a lot of hope is pinned on this progress. It opened an opportunity for the public to access information and other benefits via Internet technology3. The question that then arises: is true that “Internet For Villages” really bring significant advantages and benefits to society in the remote areas of Indonesia? Answering that question would require research and more detailed observations. Of course depends also from our point of view. At least, so far the opportunities for people in remote areas more wide open. Almost simultaneously with the widespread use of the internet, in NTT the awakening of literature was noticed in Jakarta. Literary exciters--especially those in the city of Kupang-- were fluently sharing information with other exciters in other cities in Indonesia, such as Yogyakarta and Jakarta. The existence of the Internet also allows the literary writers Read, for example, “Joseph Letor Raih USO Award Dari Kementrian Kominfo” http://arsip.floresbangkit.com/2012/10/ joseph-letor-raih-uso-award-dari-kementerian-kominfo/. Accessed on ay 23th 2015.

3

to send their work to the media outside their territory. In addition, it also facilitated their involvement in the discussions and the latest literary discourses. The situation was far different for NTT writers from previous generations. I once met a literary writer of NTT who in the 70s and 80s often filled the literature section in Yogyakarta and Jakarta newspapers. However, his name faded in the ‘90s up to the present in these media. After some investigation, it turns out that his activeness in writing occurred when he was a student in one of the private universities in Yogyakarta. Sending his writings to a newspaper in Yogyakarta could be simply done by visiting the editorial office, while the post to Jakarta’s media would only take a few days. After completion of the studies, he decided to return to NTT and he no longer send his work to those media. The reason is simple. Almost all media publications in Jakarta and Yogyakarta at that time could not be obtained in the city districts in NTT. In addition, sending his works through the mail delivery would take much longer time.

people visiting his internet kiosk in a week. Most of the visitors were using the kiosk to do school resarch for their paper or homework and not much of the visitor came to use the social media. This was because most of the people access the social media through their smartphones. It is noteworthy, private internet at home is quite rare to find5. Regional Characteristic Meme In the midst of such use of internet and wireless connection, people were begining to be familiar with digital image media—although not as much. As far as my observation, there were only two social media users in Larantuka who were also engaged in making meme. That, too, happened because they were the keeper of internet kiosks. The production of local meme maybe was more alive in Kupang which is a city of the province of NTT. From an interview with Franco Nalele, one of the Facebook in Larantuka who’s active in producing memes, he was inspired by a similar activity in Kupang, especially those from Facebook account named Kalapa Mati.

According to Joseph Letor, NTT PLIK coordinator who has access to 223 PLIK of NTT, there are top five Internet usage in NTT: social networks (especially Facebook), research for a school project, browse for information about agriculture and fisheries (such as the price of cashew, fertilizer, etc.), online learning especially for students of Open University, and the use of email— which is very small in number4. From this top five, there seem to be a sufficient positive utilization for the people in the village. Franco Nalele, a PLIK facilitaty internet kiosk manager in one of the villages in the city Larantuka, recognized that there are 30-40 Interview with Franco Nalele by Facebook on May 26th 2015. 5 4

Interview by email with Joseph Letor on May 27th 2015.

197


According to my observation, Kalapa Mati began created memes actively since five or seven years ago. These local memes seem to give rise to the phenomenon of local verbal expressions to digital media images by means of social media. Memes tend to use local verbal expressions. I’m not too clear of what triggered this phenomenon. Perhaps it is simply the local response and—then— production of what is available and consumed by them. It is a different situation to the stories of the writers above, that the existence of the Internet make them easier to communicate with each other in other areas. There was no intention to communicate or build a network with anyone or certain other purposes. As far as I’m concern, that is just a fun pastime. The product was not pretentious, and even it is rather difficult to be understood by anyone outside their local community. Consider the example of two memes

produced by the Facebook account of a young man from East Flores. People outside the local community will find the sentences that were used in both memes are hard to understand. If translated, yet, only the first meme can be fully understood. “Oa e... Foto bua gaya lee mireng macam orang tido banta tesala ni...? Supaya apa...??? Hahaerrooo” is translated as “Hi Miss, why are you taking pictures with tilted head like someone who’s been having neck cramp over a bad sleep? What for? Hahaha.” As for the second meme, “E, Oa e. Sunto yang lincah jo tata tonda melompa maso dalam bero le... Oa ni? Sebenta jo so tetenda dalam selimo....” roughly means “Miss, even a nimble squid will jump into my canoe on my direction. You? It will take only a moment to get you under the blanket.”

For the second meme we need to understand the symbols and practices of fishermen in the region. How difficult it is to successfully catch a squid compared to other types of marine animals. We also need to understand what kind of agility squids have when swimming in the sea. Whether intentional or not, the first meme only form of words, while the second is portraying an image of a front end of a boat sailing towards the shore. For me, this picture is strengthening the local characteristic even when exotism was there—intentionally or not.

Friday procession in Larantuka. The mixture of local fishermen culture in Larantuka and Catholicism7 was highly visible. The phrase used was a typical expression of Larantuka people who use Malay Trade dialect: “Tuan Meninu, gape liko lindo torang se… Tuan Meninu lebe tau… Torang pu susa mo sena…”8. Localities also appear on memes in Kalapa Mati’s Facebook account.

Beside humorous memes as above, they also often make memes with a sense of spiritual with peculiarities that are similar to the local spiritual culture. Larantuka is also known to have strong Catholic tradition and devotio6 to the Virgin Mary. Even in time of Easter, the people of the city make a procession that was a mix between Catholicism and the local culture. So no wonder, before Easter, a meme like this appeared: 199

The picture used in this photo is a delivery process of Jesus Menino Cross Statue of Tuan Menino Chapel in the series of Good “The word devotio originated from Latin devotio, which in Indonesian language may be translated as sacrifice, worship, piety, submission. Devotion is a tradition in the Church that continues to be maintained from time to time. Devotion also be understood as a form of appreciation and expression of faith through prayer or hymn of raise, at a certain time and place.” Quoted from dari http://www. katedraljakarta.or.id/berita-devosi.html accessed on May 28th 2015.

For the first meme--as I recall coincided with the issue of rising fuel prices—with the phrase “Puji Tuhan, laporan harga BBM (Belis Buat Maitua) masih stabil“ we see how fuel which is commonly known as BBM (Bahan

6

Look up, for example “Prosesi Bahari Selat Larantuka, Sisi Lain Pekan Semana Santa 2012 di Larantuka”, arsip. floresbangkit.com/.../prosesi-bahari...larantuka/prosesibahari, accesed on May 27th 2015.

7

Free translation: “Jesus Menino, reach and protect us... Menino God knows better...about our happines and sadness.”

8


Bakar Minyak or Petrol Based Fuel), is being given another meaning (Belis Buat Maitua or Dowry for Future Parents in Laws) which is very localized. In this case it’s the customs. A customary marriage in NTT requires a dowry from the groom for the bride’s family—which price is often immeasurably. Regarding the sentence in the meme, they state their happiness because the dowry price does not rise (as the fuel). If the dowry price rises, getting married will be more difficult.

The photo of this black man, as I recall, is often used as a meme with the phrase “di situ kadang saya merasa sedih (free translation: that is where sometimes I feel sad)” a popular phrase uttered by a policewoman in a television show. Pity, up until the completion of this writing I have not managed to find that meme in question. Meme shown above, in my opinion, is an attempt to paraphrase “di situ kadang saya merasa sedih” in the local Larantuka idiom, “menangi ka udan ni?” The two phrases have similar value of meaning.

If the locality in the first meme is regarding the custom, on the second meme the locality lies in the commodity trade in the city of Kupang. The sentence on the meme means “Cari pacar yang setia tuu ibarat cari NABAS di KFC #manghayal too”9. Nabas stands for Nasi Babi Sate (Pork Satay and Rice), the kind of food that is very easy to get on the pavement food stall in the city of Kupang. The menus for example yellow rice with pork cooked in a certain way and also pork satay. Nabas will of course be very difficult to get in other parts of Indonesia. Interestingly, Nabas on this meme is juxtaposed with KFC—a brand that has global existence.

The illustrations above I think represent the two extremes of internet use in areas outside the major islands of the western region of Indonesia. If we make a list, there are certainly much more of that happening in every region. Not to mention how the local languages speakers ​​sometimes find it quite difficult to discover the letters that represent its pronunciation—particularly for regional languages ​​without alphabet tradition—in the Roman alphabet used by computers in Indonesia generally.

Besides the original and distinctive locality memes, there are also the ones that seek to change the memes that emerge from Jakarta into local languages. For example:

The proliferation of internet usage in Indonesia also triggered a production of memes. In the 2014 presidential election, the campaign media was flooded with memes. Along with internet penetration in other areas in Indonesia, the production of memes emerged with a touch of locality. ***

S Free translation: “Finding a faithful girlfriend is like finding Nabas in KFC #suchfantasy”

9

o there it is. For areas that are far from economic centers and government, like an old song, technological advances do not necessarily eager to greet them. Many experiences noted, two of them are telephone and internet, which took quite a long time until the community area could feel the technological advances; a progress which directly or indirectly accommodated by

them. The village does not present without meaning; It is always present as a supporter of the developed cities that became a center of development, culture, technology, science, and so forth.

so he mentioned the name of his village. The Shopkeeper smiled and patiently explained to Pace that the village is outside of the coverage of cellular signal. With heated emotion, The Pace replied, “If it is so, I will buy two signals straight away!”

When the technology finally greeted them, sometimes they are ready, sometimes they are not. But the most important thing is their ability to quickly improve themselves and adjust to the pace of the world that exists outside them. Indeed, not all have that ability. The meme practice described in this paper, is the early proof. Not to mention the use of the Internet to search for information about agriculture and fisheries. But along with that, as the government program, the news of revoked internet network for some PLIK in the districts was heard10. The unreadiness of the community on new technology emerged as an anecdotes and strange behavior in the use of the new technological tools. Behavior in their lives too, perhaps not drastically, also changing as the new technologies appeared. To finish this article, I would like to recount a story about a man from Papua who buy a cellular phone. Once, a Pace from the village came to an electronics store in Sorong, one of the municipalities in the province of West Papua, to buy a cellular phone. In addition to it, he also bought a Telkomsel SIM card. Afterwards, he came back to his village. A few weeks later he came again to the electronics store while being angry because his cellular phone could not be used. The shopkeeper—let’s say, a migrant from Sulawesi—asked about the Pace’s residence 10 Look up “Kacau, Anggaran Internet Kecamatan Dihentikan Sementara”, http://nasional.kompas.com/ read/2013/03/18/1924089/Kacau.Anggaran.Internet. Kecamatan.Dihentikan.Sementara, accesed on May 26th, 2015. Also an interview with Joseph Letor via email on May 27th, 2015.

201

*About the Author: Berto Tukan is a student at master of philosophy program in Driyarkara School of Philosophy, Jakarta. He has been involved in research for the publication of Indonesian Fine Arts in Critics and Essays (2012) by the Jakarta Arts Council. He has also been involved in research for Jakarta Art Council (2013) on academic posts of fine art in three cities; Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Currently he is also the editor for Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS and Jurnal Karbon (ruangrupa). He writes poetry, essays, and short stories for natioanl newspapers. Also, philosophy’s articles for several journals such as Jurnal Driyarkara and Jurnal Melintas.


LOKAKARYA / WORKSHOP Orde Baru OK. Video—Indonesia Media Arts 2015 mengundang empat seniman dan satu komunitas yang memiliki kecenderungan berbeda-beda dalam mengeksplorasi medium; Bagasworo Aryaningtyas, Ricky ‘babay’ Janitra, Reza ‘Asung’ Afisina, Biro Arsitek, dan lifepatch. Seniman-seniman ini akan berkolaborasi dengan mahasiwa untuk mengerjakan beberapa projek seni yang bermain dengan fragmen-fragmen visual masa Orde Baru dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan artistik yang bisa dikelola dari beberapa medium; video analog, hologram, video mapping, performance, dan arsitektur. Hasil-hasil workshop akan dipresentasikan di dalam festival. Orde Baru OK. Video—Indonesia Media Arts 2015 invites four artists and one community whose exploration of medium could not be more apart; Bagasworo Aryaningtyas, Ricky ‘babay’ Janitra, Reza ‘Asung’ Afisina, Biro Arsitek and lifepatch. These artists will work together with students to execute several art projects related to visual fragments of the New Order and exploring the artistic possibilities manageable from several mediums; analog video, hologram, video mapping, performance, and architecture. The result of the workshop will be presented in the festival.

Mapping History

Mapping History

—Lokakarya and Video Mapping Project oleh Ricky ‘Babay’ Janitra dan KKBT 3—10 Juni 2015 Ruang publik di Jakarta Performans 14 Juni 2015 Pameran 15—28 Juni 2015

—Workshop and Video Mapping Project by Ricky ‘Babay’ Janitra and KKBT June 3—10, 2015 Public spaces in Jakarta Performance June 14, 2015 Exhibition June 15—28, 2015

Lokakarya ini mencoba menggambarkan kembali identitas, peristiwa atau sejarah sebuah lokasi melalui teknik video mapping. Video mapping menggunakan pencahayaan dan proyeksi sehingga dapat menciptakan ilusi optis pada objek-objek maupun arsitektur. Bersama partisipan multidisiplin komunitas Klub karya Bulu Tangkis, Ricky ‘babay’ Janitra akan melihat kembali identitas, peristiwa, atau sejarah sebuah lokasi. Dipetakan, direkontruksi, dan direspon secara imajinatif dari sudut pandang partisipan workshop.

This workshop tries to repaint the identity of an event or a history of a location through video mapping technique. Video mapping manipulates lighting and projection so as to create an optical illusion to objects or architecture. Along with multidisciplinary participants, Bulu Tangkis artwork Club community, Ricky ‘babay’ Janitra will revisit the identity, event or history of a location. Mapped, reconstructed, and responded with imagination from the workshop participants’ point of view.

203

Ricky ‘Babay’ Janitra adalah seniman, musisi, audio visual performer, DJ dan VJ, kelahiran 1985, lulusan Jurusan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta. Ricky juga pendiri GIF Festival. Ricky aktif dalam berbagai kegiatan kesenian baik nasional atau internasional. Pada 2014, karya-karya instalasi videonya, cybirth dipresentasikan di Arte 2014. Ricky adalah salah satu seniman visual yang pernah berkolaborasi dengan musisi Jepang, Kazuhisa Uchihashi, di ruangrupa.

Ricky ‘Babay’ Janitra is artist. musician, audio visual performer, DJ and VJ, artist also founder of GIF Festival. He was born in 1985, studied at Department of Fine Arts, Jakarta Institute of Arts. He is active in several national and international art events. In 2014, his video installation works, cybirth was presented at Arte 2014. Ricky is one of visual artist who have collaborated with Japan Musician, Kazuhisa Uchihashi in ruangrupa.


Nemu VHS-Found Footage

Found Footage WORKSHOP

Swakriya Citra Maya

DIY HOLOGRAM PROJECTOR

— Lokakarya oleh Bagasworo Aryaningtyas Senin—Minggu, 3—10 Juni 2015 16.00—20.00 ruangrupa

— Workshop by Bagasworo Aryaningtyas Monday—Sunday, June 3—10, 2015 16.00—20.00 ruangrupa

— Lokakarya oleh lifepatch Sabtu, 13 Juni 12:00—18:00 Bangsal, Galeri Nasional *Khusus peserta undangan

—Workshop by lifepatch Saturday, June 13 12:00—18:00 Multifunction Hall *For invitation only

Lokakarya ini melibatkan Bagasworo Aryaningtyas untuk bermain-main dengan video analog video home system (VHS). Saat ini, video analog VHS bisa dipastikan tidak lagi digunakan sebagai alat perekaman setelah tergeser teknologi video digital yang muncul sejak pertengahan ‘90-an. Teknologi yang sangat populer di masyarakat dalam kurun ‘70-an dan ‘80-an, telah digunakan tidak hanya di kalangan profesional saja tetapi juga oleh masyarakat sipil sebagai alat dokumentasi. Bahkan untuk ‘membajak’ film ataupun siaran televisi saat itu (TVRI). Lokakarya ini akan mengajak para mahasiswa bersentuhan kembali dengan video analog VHS dan bermain dengan sejarah-sejarah pribadi, korporasi, maupun negara yang berserakan di tempat sampah hingga pasar loak.

This workshop involves Bagasworo Aryaningtyas to play around with analog video home system (VHS). Today, it is almost a fact that analog VHS has become obsolete as digital video technology started to take over the scene since its emergence in the mid-‘90s. VHS technology was highly popular in the ‘70s and the ‘80s and it has found use not only by the professional but also civilian as documenting tool. The use even extend to pirating film or TV broadcast (TVRI) at the time. This workshop will engage students to make another introduction with VHS technology and play with personal, corporation, or even state history found scattered over the garbage bin and flea market.

lifepatch, sebuah inisiatif warga yang mengelaborasi seni, sains, dan teknologi dari Yogyakarta akan menjadi fasilitator untuk lokakarya pembuatan projektor hologram Swakriya Citra Maya. Partisipan diajak untuk bermain-main dengan logika kerja cahaya dan refleksi. Mereka akan membuat sebuah alat sederhana yang dapat digunakan untuk membuat citra bayangan dua dimensi dengan proyeksi citra dari telepon genggam. Projektor merupakan salah satu mesin representasi yang menghadirkan makna. Namun, dalam lokakarya ini, mesin projektor akan dicoba menjadi bentuk presentasi (kehadiran) yang memperlihatkan objek (projektor) tampil sebagai mana adanya. Dalam sains geometri, citra bayangan itu sendiri adalah sebuah citraan maya yang terbentuk oleh pemantulan cahaya. lifepatch mengembangkan sebuah kit bernama Rana Cahaya sehingga partisipan mudah merangkainya.

lifepatch, an initiative of the member of society to elaborate art, science and technology originated from Yogyakarta would be the facilitator for the Swakriya Citra Maya hologram projector making workshop. The participants will be taken to play with lights and reflection logic. They will create a simple tool to manipulate two dimensional reflection image with image projection out of cellular phone. Projector is one of representational machine, which, brings forth meaning. Nevertheless, in this workshop, the projecting machine will be made into a presentation form, which, reveals object as it is. In the science of geometry, image projection itself is a virtual image created by the reflection of light. lifepatch develops a kit called Rana Cahaya so that the participants can build it easily.

Eksplorasi medium VHS analog dilakukan dengan cara manual atau putar-rekam. Cara tersebut biasanya dilakukan ketika kita hendak menggandakan kaset pinjaman. Lokakarya ini mengajak partisipan menyusun beberapa kaset VHS menggunakan cara tersebut. Lokakarya berlangsung selama tujuh hari: (1) membahas pola kerja mesin pemutar VHS, pita magnetik video, dan konstruksi menyusun gambar; (2) partisipan dilepas ke beberapa tempat di Jakarta untuk mencari kaset-kaset VHS bekas yang masih layak dipakai; (3) menonton materi hasil temuan sambil mencatat logging time code dan gambar yang kemungkinan akan mereka gunakan; (4) menyusun masing-masing video menggunakan catatan logging time code beserta gambarnya pada sebuah kertas; (5) menyusun video dengan bantuan kertas sebagai panduan ide mereka. Pada hari ketujuh karya video yang sudah disusun ulang dapat dilihat.

Analog VHS medium exploration will be done manually or play-record. This method is usually done when we are about to make copy of a borrowed cassette. The workshop will ask the participant to compile several VHS cassette using this method. The workshop occurs on the course of seven days: (1) discussing the work pattern of VHS player, video magnetic tape, and picture composing construction; (2) participants will then be released to several places in Jakarta to look for VHS tapes in good condition; (3) watching their material findings while recording the logging time code and pictures that are of interest; (4) composing each video with logging time code along with the picture on a pice of paper; (5) compiling the video with the help of a note as the guide to their ideas. On the seventh day, the video work that has been recompiled can then be previewed.

205


Menerangkan Museum Penerangan lewat Sketsa 3D —Lokakarya oleh Biro Arsitek Kamis dan Jumat, 18 dan 19 Juni 2015 16:00—20:00 Ruang Seminar, Galeri Nasional Indonesia *Biaya: Rp.75.000,- termasuk snack

Informing the Museum of Information through 3D sketch —Workshop by Biro Arsitek Thursday and Friday, June 18 and 19, 2015 16:00—20:00 Seminar Room, Galeri Nasional Indonesia *Registration Rp 75.000,- Including snack

Lokakarya ini bermain di ranah imajiner dalam me​mbayangkan masa depan sebuah museum komunikasi​,​​lewat menengok kembali materimateri dokumentasi, koleksi, dan rekonstruksi sejarah komunikasi Indonesia yang ada di Museum Penerangan (didirikan pada 1993) Taman Mini Indonesia Indah. Biro Arsitek mengajak partisipan membayangkan bagaimana ​bila​s​ emangat yang mendasari ​Museum ​Penerangan​ di​teruskan untuk menghadapi​masa ​kini dan masa depan ​ dengan ​​kerumitan teknologi komunikasi ​virtual dan d ​ igital yang t​ elah mengubah pengertian dan pola kita berkomunikasi​. P ​ ​andangan ​ini akan ​ mereka ​komunikasikan lebih jauh ​melalui ​medium ​ pemodelan tiga dimensi.

This workshop plays around the imaginary territory in picturing the future of communications museum by looking back to Indonesia communications documentary, collection, and historical reconstruction materials archived in Information Museum (build in 1993), Taman Mini Indonesia Indah. Biro Arsitek asks the participants to imagine what if the spirit behind the Museum is extended to face the present and the future with the involute virtual and digital communications, which, has shove the existing definition and pattern of communication. This view will be further developed and conveyed through three dimensional modelling medium.

SWAKRIYA CIPTA RUPA SUARA —Lokakarya oleh WAFT Lab Senin, 15 Juni 10:00—13:00 Bangsal – Galeri Nasional Indonesia *Tempat terbatas, untuk pelajar SMP dan SMA

DIY VISUAL AND TONAL PENCIL —Workshop by WAFT Lab Monday, June 15, 10:00—13:00 Ward – Galeri Nasional Indonesia *Limited seats, for Junior Highschool and Highschool student

Lokakarya dari WAFT Lab adalah membuat pensil elektronik yang dapat menciptakan nada tertentu ketika digunakan untuk menggambar atau menulis. Modul ini adalah pengembangan dari drawdio, sebuah eksperimen karya elektronika yang digagas pertama kali oleh Jay Silver dari MIT Media Lab. Pada dasarnya, alat ini merupakan sebuah perangkat pembangkit suara sederhana, yang menggunakan elemen konduktif pada grafit pensil untuk menciptakan beragam nada. Melalui lokakarya ini, peserta dapat bermain dengan mengubah coretan pada kertas menjadi sebuah instrumen musik. Media grafit juga dapat diganti menggunakan buah buahan, tanaman, teman, saudara sepupu, tanah maupun air.

The workshop from WAFT Lab is to make an electronic pencil, which, could generate a certain pitch when it is used to draw or write. This module is an enhancement of drawdio, an experiment in electronic work initiated by Jay Silver of MIT Media Lab. In its core, this device is a tool of simple pitch generator using conductive element on the pencil’s graphite to produce various pitches. Through this workshop, the participant could compose by converting a stroke on a paper into a musical instrument. Fruits, plants, cousins, earth or even water can be used to replace the graphite media.

LITLE GEEK OUT MAKE IT PLAYABLE with MakeDoNia and MakerspaceBKS Selasa, 16 Juni 2015 11:00—14:00 Bangsal – Galeri Nasional Indonesia * Tempat terbatas, untuk pelajar SD dan SMP MakeDoNia mengajak para partisipan anakanak untuk bertemu dan berinteraksi dengan sesama makers, crafters, learners untuk berbagi semangat dan passion yang unik dalam lokakarya Little Geek Out Make It Playable with MakeDoNia and MakerspaceBKS. Melalui modul-modul edukatif nan seru seperti Littlebits Base Kit, Littlebits Synth Kit, Littlebits Deluxe Kit, Littlebits Space Kit, dan Littlebits Smart Home Kit, anak-anak akan diperkenalkan pada seni, sains, teknik, teknologi, gaya hidup interdisplin abad XXI yang merangsang anak untuk kreatif dan produktif. Mari bergabung untuk mendapat pengalaman secara langsung tentang asyiknya merangkai serta membuat karya dengan tangan sendiri. Modulnya ramah anak. Hobi anak yang unik diterima dan didukung di sini!

LITLE GEEK OUT MAKE IT PLAYABLE with MakeDoNia and MakerspaceBKS Tuesday, June 16, 2015 11:00—14:00 Ward – Galeri Nasional Indonesia * Limited seats, for Elementary and Junor Highschool student MakeDoNia takes children participants to meet and interact with fellow makers, crafters, and learners to share unique passion and fervour in the Little Geek Out Make It Playable with MakeDoNia and MakerspaceBKS workshop. Through educative and engaging modules such as, Littlebits Base Kit, Littlebits Synth Kit, Littlebits Deluxe Kit, Littlebits Space Kit and LIttlebits Smart Home Kita, children will be introduced to 21st century interdisciplinary art, science, technique, lifestyle aimed to encourage children to become creative and productive. Lets hoin to get a live experience about the fun in piecing together an artwork with hands. The module is child-friendly. Children’s unique hobbies are accepted and encouraged here!

Registration Biaya: Rp.50.000,- termasuk snack Rp.75.000,- termasuk snack dan Tur

Registration Fee: Rp.50.000,- including snack Rp.75.000,- including snack and tour

Cara Pendaftaran: 1. Kirim e-mail pendaftaran workshop ke lokakaryaokvideo2015@gmail.com dengan subject: Nama Workshop_Nama Peserta. 2. Mohon mencantumkan: nama lengkap, alamat e-mail, nomor hp yang bisa dihubungi, program yang ingin diikuti, jumlah peserta dan asal sekolah. 3. Setelah mendapat konfirmasi dari panitia, harap transfer biaya workshop ke (1x24 jam): Nama Bank: Bank Mandiri Alamat Bank: Pasar Kenari Mas Jakarta 12314 Nama Akun: Yayasan Ruang Rupa Nomor Akun: 123-00-0171819-8 4. Kirim bukti transfer ke: lokakaryaokvideo2015@gmail.com 5. Registrasi akan diproses setelah e-mail bukti transfer diterima oleh panitia. 6. Pendaftaran ditutup Minggu,14 Juni 2015.

How to: 1. Send e-mail to lokakaryaokvideo2015@gmail.com with subject: Workshop Title_Your Name. 2. Please include your complete name, phone number, participant list, and school/university name. 3. After getting confirmation e-mail from the committee, please proceed the payment (1x24 hours) to Bank Name: Bank Mandiri Address: Pasar Kenari Mas Jakarta 12314 Account Holder: Yayasan Ruang Rupa Account Number: 123-00-0171819-8 4. Send your proof of payment to lokakaryaokvideo2015@ gmail.com 5. Your registration will be complete after the proof of payment is received by the committee. 6. Registration will be closed on Sunday,14 June 2015.


BERMAIN DENGAN SELULOID — Lokakarya oleh Lab Laba Laba dan Club Kembang Minggu, 21 Juni 2015 10:00—13:00 (sesi I) dan 14.00—17.00 (sesi II) Bangsal – Galeri Nasional Indonesia *Terbuka untuk anak usia 4-12 tahun

PLAYING WITH CELLULOID —Workshop by Lab Laba Laba dan Club Kembang Sunday, June 21, 2015 10:00—13:00 (session I) dan 14.00—17.00 (session II) Multifunction Hall Galeri Nasional Indonesia *Opens for children age 4-12 years old

Lab Laba Laba dan Club Kembang mengajak anak untuk mengenal materi celluloid sebagai bahan dasar film yang mereka tonton. Mengenalkan juga celluloid sebagai medium untuk berkreasi dengan celluloid art, yaitu gambar, pola dan warna pada celluloid nantinya diputar pada proyektor dan ditonton bersama. Kegiatan ini juga mengajak anak-anak untuk mengenal alat dan proses analog pada film.

Lab Laba Laba dan Club Kembang entreats the children to understand the celluloid as the basic material the film that they see are made of. This workshop also tries to introduce celluloid as a medium to create celluloid art, that is, picture, pattern and color on celluloid, which, will be plade on a projector and screened together. This activity also asks the children to identify the analog tool and process in a film.

Bermain Dengan Seluloid Playing With Celluloid

Performans Multimedia — Lokakarya oleh Reza ‘Asung’ Afisina Selasa—Sabtu, 16—20 Juni 2015 12.00—18.00 Performans 21 Juni 2015 Bangsal – Galeri Nasional Indonesia

Multimedia PERFORMANCE —Workshop by Reza ‘Asung’ Afisina Tuesday—Saturday, 16—20 June 2015 12.00—18.00 Performance 21 June 2015 Multifunction Hall – Galeri Nasional Indonesia

PEMROGRAMAN Film DI RUANG PUBLIK — Lokakarya oleh Gerobak Bioskop Senin—Selasa, 22—23 Juni 2015 13.00 – selesai Bangsal – Galeri Nasional Indonesia?

FILM PROGRAMMING IN PUBLIC SPACE — Lokakarya oleh Gerobak Bioskop Monday—Tuesday, June 22—23, 2015 13.00 – over Ward – Galeri Nasional Indonesia

“Layar Tancap” atau screening di luar ruangan adalah salah satu cara unik menonton film di Indonesia, yang membentuk ingatan kolektif pengalaman menonton film. Biasanya, film diproyeksikan ke layar besar di sebuah lapangan. Dalam semalam, beberapa film diputar gratis. Tradisi ini tidak hanya membentuk pengalaman menonton, tetapi juga menjadi ajang orang-orang bertemu dan berkumpul. Mereka melakukan interaksi sosial dan transaksi ekonomi dalam sebuah “pasar malam”. Namun, kebiasaan ini mulai menghilang seiring munculnya bioskop dalam ruang yang memonopoli distribusi film di Indonesia. Proyek seni Gerobak Bioskop terilhami semangat ‘layar tancap’. Proyek ini merupakan proyek distribusi media secara mandiri dan bertujuan mengembalikan semangat menonton film sekaligus menciptakan pertemuan. Gerobak Bioskop, dirancang sebagai pemutaran film dan video yang “portable” dan mudah dioperasikan. Proyek ini terdiri atas beberapa proses. Pertama, seniman, desainer, teknisi IT bersama-sama merancang peralatan. Masyarakat akan merealisasikan rancangan peralatan tersebut sesuai dengan kemampuan estetik mereka. Kemudian, mengedukasi masyarakat membuat program pemutaran film secara berkala dengan peralatan yang tersedia. Terakhir, memonitor dan memastikan mereka terus melakukan program reguler dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan pendidikan media dan presentasi di ruang publik.

“Layar tancap” or outdoor screening is one of the unique ways to see a film in Indonesia and this forms the experience memory in watching a film. Usually, the film is projected into a large screen in a football field. Over the course of the night, several films are screened for free. Not only this tradition brings about the experience of watching but also it is a place where people meet and gather. People did social interaction and economy transaction in a funfair. Yet, this habit is starting to fade along with the arrival of the indoor cinema theatre monopolizing film distribution in Indonesia. Gerobak Bioskop art project is inspired by the passion of outdoor cinema. This project is an independent media distribution project aimed to restore the passion of film watching and at the same time providing a space to socialize. Gerobak Bioskop is designed as a portable film screening and easy to operate. This project consist of several processes. First, artists, designers, IT technicians together will design the equipment. The people will implement the equipment design to the best of their aesthetic capability. The next process is to educate the people to periodically make a film screening program with the available equipment. Then, the people is monitored in order to ensure that they continue to make regular programming and/or other activities related to media education and public space presentation.

Dengan proyek Gerobak Bioskop, ARTLAB ruangrupa mencoba memperkuat jaringan antar organisasi dengan visi yang sama di Indonesia, berkolaborasi, dan membuat pertukaran wacana tentang presentasi di ruang publik.

With Gerobak Bioskop project, ARTLAB ruangrupa tried to strengthen the network between organization with the same vision in Indonesia; collaborating and exchanging discourse about public space presentation.

209


DISKUSI OK. VIDEO / OK VIDEO DISCUSSION Hari pertama

First Day

Hari kedua

Second Day

MEDIA VS MEDIA : Sejarah dan arsip sebagai sejata Rabu, 17 Juni 2015 13.00—15.00 Galeri Nasional Indonesia Pembicara : Renan Laruan (PHI), Hafiz

MEDIA VS MEDIA : History and archive as a weapon Wednesday, Juni 17, 2015 13.00—15.00 Galeri Nasional Indonesia Speakers : Renan Laruan (PHI), Hafiz

Panel diskusi ini membicarakan perkembangan seni performans dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi. Seni Performans mungkin menjadi bentuk seni paling cair yang dapat menggabungkan seluruh bentuk atau elemen lain ke dalam satu wujud. Penggunaan media seperti televisi, radio, proyektor, dan lain sebagainya turut memberi pengaruh dalam perkembangan wacana seni media. Keterkaitan ini juga muncul dari semangat resistansi atas halhal yang lebih mapan termasuk juga di dalamnya membawa semangat anti-narasi.

This panel discussion talks about performance art development and its relation with technological development. Performance art may be the most fluid art form that can incorporate every for or element into one manifestation. The usage of media such as television, radio, projector, etc, helped shaped the development of media art discourse. This interconnectedness is also a product of the urge to resist the establishment including, along with it, the passion of anti-narration.

ESENSI SOSIAL POLITIK DALAM SENI RUPA ORBA: YANG SELAMAT DAN YANG KIAMAT Rabu, 23 Juni 2015 13.00—15.00 Galeri Nasional Indonesia Pembicara: Chabib Duta Hapsoro, Martin Suryajaya

SOCIAL POLITIC ESSENCE IN NEW ORDER FINE ART: THE SURVIVORS AND THE DOOMED Wednesday, Juni 23, 2015 13.00—15.00 Galeri Nasional Indonesia Speakers: Chabib Duta Hapsoro, Martin Suryajaya

Diskusi ini akan berbicara banyak tentang bagaimana silang pengaruh antara seni rupa dan dunia sosial politik di era Orde Baru. Isuisu nasionalisme, ketahanan budaya, serta pemberdayaan masyarakat muncul sebagai tema-tema besar dalam proses penciptaan. bagaimana kita dapat melihat hal ini sebagai sebuah bentuk estetika? siapa yang mempunyai legitimasi terhadapnya? hal-hal apa saja yang kemudian mendapat pengaruh?

This discussion will talk about how the sociopolitic condition and fine art give influence to each other during the New Order. Issues concerning nationalism, cultural sustainability and society’s empowerment arise as the big theme in the creation process. How can we see this as a form of aesthetics? Whose story earns the right to speak of the truth? What other things affected by it?

Media Online di Indonesia: Yang Nyata di Dunia Maya Rabu, 17 Juni 2015 15.30—17.00 Pembicara: Asep Saefullah, Nezar Patria

ONLINE JOURNALISM IN INDONESIA: REPORTING THE FACT IN CYBERSPACE Wednesday, 17 June 2015 15.30—17.00 Speakers: Asep Saefullah, Nezar Patria

Panel diskusi ini akan membicarakan praktek jurnalistik dan industri media online di Indonesia. Di dalam diskusi ini, pembicara akan menjabarkan pemahaman dasar bentuk dan karakteristik media online yang ada, kebijakan konten berita, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, peran warga dan lembaga pemantau media, hingga posisi UU ITE dalam praktek penyiaran berita online di tanah air

This panel will be discussing the practice of online journalism in Indonesia. The invited speakers will explain about the form and characteristic of existing online media. Editorial policy, violation, the role of citizens, as well as Information and Electronic Transaction Law (UU ITE) also become important things that will be discussed among the others.

211


Artist Talk NUOVO ORDINE: YANG BARU DARI SENI RUPA ‘MASA ITU’ Rabu, 23 Juni 2015 15.30—17.30 Galeri Nasional Indonesia Pembicara : Jim Supangkat, Dolorosa Sinaga

NUOVO ORDINE: What’s new and trending Wednesday, Juni 23, 2015 15.30—17.30 Galeri Nasional Indonesia Speakers : Jim Supangkat, Dolorosa Sinaga

Ada banyak hal yang dapat ditelaah atas kekuasaan Orde Baru di Indonesia. Salah satunya telaah melalui fluktuasi perkembangan seni rupa Indonesia dalam kurun waktu 1970—2000. Telaah itu dapat dibaca sebagai sebuah bentuk upaya resistansi para perupa, sebagai siasat untuk terus bergerak bersama sembari mengikuti perkembangan seni rupa global. Kemunculan GSRB dan Jaringan Kerja Budaya misalnya, tentu tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya perlawanan terhadap nilainilai yang dianggap sudah usang. Semangat ‘terbarukan’ ini kemudian terus muncul dalam bentuk-bentuk kelompok seni rupa yang jauh lebih mutakhir. Kehadiran kritikus dan kurator juga menjadi satu hal penting yang menandai betapa gejolak pada masa itu, telah mendorong munculnya gagasan penting yang turut menandai perkembangan seni rupa kita. Moelyono misalnya, mempelopori Seni Rupa Penyadaran sebagai bagian dari upaya untuk memberikan wawasan bagi masyarakat atas kondisi yang sebetulnya dihadapi. Kemunculan Taring Padi, lalu juga Jaker yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik, turut mendorong penggunaan seni sebagai media aktivasi kesadaran politik masyarakat atas apa yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya. Namun, di luar itu, bagaimana sebetulnya setiap peristiwa atau gagasan baru muncul saling terpaut? Adakah tradisi ‘warisan’ ilmu pengetahuan dari satu periode ke periode lainnya? Bagaimana pengaruh dari satu generasi ke generasi berikutnya?

There are many things that merits a discussion on the control of the New Order in Indonesia. One of them is a study through the state of change in the development of art in Indonesia during the course of 1970-2000. The study can be taken to mean as a form of resistance from the artist, as a strategy to continue to move forward while following the global art development. For example, the birth of GSRB and Cultural Network, of course cannot be set apart from the effort of resistance against values considered to be obsolete. This renewable passion keep resurfacing in the form of art group, which, were becoming more and more advanced. The presence of critiques and curators is also one of the important things marking the turmoil of the period and this encouraged the birth of important ideas, which, helped marked the development of art in Indonesia. Moelyono, for example, pioneered Awareness Art as a part of an effort to provide insight for the people on the actual condition of the world they live in. The birth of Taring Padi, then also the networking affiliated with Democratic People Party, contributed to the encouragement of an art movement that saw art as a public political awareness activation media on what is being done by Soeharto and his cronies. Nevertheless, apart from that, how is every new event or new ideas connected? Is there a knowledge ‘inheritance’ tradition from one period to another? What is the influence of one generation to another generation?

Para seniman diundang untuk menjelaskan karya yang dipamerkan dalam festival kali ini sekaligus menerangkan strategi artistik dalam berkarya selama ini dan sedikit perkembangan seni media di negara masing-masing.

Every artist will be invited to shed some light concerning their displayed work while at the same time describing their artistic strategy when they were working. A glimpse of media art development in their own respective country will also be discussed.

Rabu, 17 Juni 2015 13.00—15.00 Ruang Seminar, Galeri Nasional Indonesia Seniman : Jakarta Wasted Artists (IDN), Jan Patrick D. Pineda (PHL), Saleh Husein (IDN)

Wednesday, June 17, 2015 13.00—15.00 Ruang Seminar, Galeri Nasional Indonesia Artist : Jakarta Wasted Artists (IDN), Jan Patrick D. Pineda (PHL), Saleh Husein (IDN)

Senin, 22 Juni 2015 13.00—15.00 Ruang Seminar, Galeri Nasional Indonesia Seniman: Contact Gonzo (JPN), Julia Sari Setiati (IDN), Rizki Resa Utama (IDN)

Monday, June 22, 2015 13.00—15.00 Ruang Seminar, Galeri Nasional Indonesia Artist: Contact Gonzo (JPN), Julia Sari Setiati (IDN), Rizki Resa Utama (IDN)

Tur Festival Bersama Kurator 20, 21, 27, 28 Juni 2015 15.00 – selesai Gedung A, B, dan C - Galeri Nasional Indonesia

Tur Festival Bersama Kurator 20, 21, 27, 28 Juni 2015 15.00 – selesai Gedung A, B, dan C - Galeri Nasional Indonesia

Para pengunjung dapat mengikuti tur pameran yang dipandu langsung oleh Kurator ORDE BARU OK. Video, Mahardika Yudha. Kurator akan menjelaskan masing-masing karya dan korelasi dengan tema festival tahun ini.

Para pengunjung dapat mengikuti tur pameran yang dipandu langsung oleh Kurator ORDE BARU OK. Video, Mahardika Yudha. Kurator akan menjelaskan masingmasing karya dan korelasi dengan tema festival tahun ini.

213


Menjadi Seni Media

perkembangan seni media di Indonesia dengan berpijak pada pengalaman visual yang dialami oleh satu generasi.

Pemakaian istilah media dalam dunia seni rupa bisa diartikan sebagai dua hal. Pertama, ia bisa diartikan sebagai alat–bentuk plural dari kata medium; pengertian lainnya ialah berarti sebagai alat yang berkaitan dengan sarana komunikasi dan perkembangan teknologi. Lebih jauh lagi praktik seni media juga dapat dilihat sebagai aktifitas pengolahan data dan pemanfaatan informasi yang dihasilkan melalui perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, terutama dalam mekanisme produksi dan distribusinya. Untuk itu, praktik ini dapat dilihat pula sebagai sebuah sistem informasi yang membaurkan berbagai batasan antara seni dan publiknya, termasuk dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lain di luar diskursus mengenai seni ataupun estetika secara umum.1

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita telah berada pada realitas lain mengenai budaya visual yang disinggung oleh Ronny sebelumnya. Orang yang lahir pada kisaran 1990-an dan setelah 2000, berada pada masa ketika percepatan teknologi media bergerak begitu pesat. Referensi visual orang saat ini ialah piranti lunak, aplikasi, ponsel pintar, dan budaya berinteraksi, berbagi, bahkan berkelahi melalui media virtual seperti internet. Jika berkaca pada fenomena budaya visual seperti analisa Ronny di atas, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menganalisa praktik seni media di Indonesia saat ini? Beberapa upaya telah dilakukan terutama dalam beberapa penyelenggaraan yang dikhususkan mengangkat persoalan seni media secara khusus, atau yang berisisan dengan jenis seni yang satu ini.

oleh Asep Topan*

D

Gustaff H. Iskandar, 2006. “Rekomendasi Pengembangan Praktik Seni Media di Indoensia”. Ditulis atas permintaan Departemen tampilnya karya-karya video dalam pamerantulisan ini, kata mediaNilai akan Kebudayaanalam dan Pariwisata/DirektoratJenderal Budaya, Seni dan Film.

1

merujuk pada pengertiannya sebagai sarana komunikasi, dan memiliki keterkaitan yang erat dengan perkembangan teknologi. Pada istilah ini, kata media menyertakan penekanan pada hal yang lebih ideologis, yang menempatkan media sebagai salah satu idiom dan strategi artistik dalam memproduksi, distribusi dan presentasi karya seni media. Secara umum, istilah seni media juga dapat dipahami sebagai semua bentuk karya yang berhubungan dengan waktu yang diciptakan melalui perekaman suara atau gambar visual. Pembacaan mengenai seni media di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa pemikir di Indonesia melalui beragam terbitan buku, pameran dan esai-esai yang terdapat di dalam terbitan katalognya. Pelacakan karya-karya seniman Indonesia yang menggunakan teknologi media sebagai bagian dari karyanya bermula dari akhir 1980-an hingga awal 1990an. Namun, kala itu yang bisa ditandai hanya segelintir seniman seperti Teguh Ostentrik, Krisna Murti dan Heri Dono yang memulai jalan untuk Gustaff H. Iskandar, 2006. “Rekomendasi Pengembangan Praktik Seni Media di Indoensia”. Ditulis atas permintaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata/DirektoratJenderal Nilai Budaya, Seni dan Film.

1

pameran seni rupa di Indonesia. Bahkan sepanjang dasawarsa ‘90-an bisa dikatakan bahwa Krisna Murti yang merupakan satusatunya seniman Indonesia yang secara intens menekuni video sebagai medium ekspresi.2 Kehadiran karya-karya mereka pada pameranpameran seni rupa di Indonesia bukan berarti didasari akan kesadaran penggunaan teknologi media itu sendiri di masyarakat Indonesia. Jika pada awal mula kemunculan seni video merupakan bentuk kritik terhadap media di Amerika Serikat, maka lain halnya dengan kemunculan seni video di Indonesia. Kesadaran penggunaan medium teknologi yang bermula dari fenomena di masyarakat Indonesia mulai terlihat pada masa-masa setelahnya. Kecanggihan komputer, keserbanekaan video musik, serta film non-mainstream adalah tiga faktor yang mempengaruhi generasi selanjutnya untuk mencoba karya seni videonya dalam pengamatan Ronny Agustinus.3 Saya tidak akan mengulang penjelasan ini hingga berujung pada kesimpulan tersebut, satu hal yang pasti ialah adanya upaya untuk membaca kaitan Agung Hujatnika, 2006. (Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan), dalam buku “Apresiasi Seni Media Baru”, Direktorat Kesenian, Direktorat Nilai Seni dan Film, Depbudpar.

2

Lihat: Ronny Agustinus, 2004. (Video: Not All Correct…), dalam OK.Video Post Event, disunting oleh Agung Hujatnika. Jakarta: ruangrupa.

3

Perkembangan teknologi media dan penggunaannya sebagai medium ekspresi seniman bisa saja tidak sejalan. Bukan semestinya juga mengharapkan inovasi dari seni media di Indonesia untuk membuat karya dengan teknologi tercanggih yang mengikuti perkembangan mutakhir dari perkembangan teknologi media, misalnya. Harapan semestinya ditujukan kepada kemudian bagaimana seni media di Indonesia menemukan caranya kembali untuk melakukan kritik terhadap media itu sendiri. Kemampuan distribusi, presentasi dan interaksinya dengan penonton sudah seharusnya bisa menjadi pengontrol dan menjadi oposisi dari media itu sendiri– seperti pada awal kemunculan seni video.

Perkembangan teknologi media tentu tak lepas dari beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya seperti pemerintah, korporasi dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah Orde Baru sadar betul akan potensi ini di awal masa 1980an, ketika kehadiran video diaggap telah menimbulkan suatu kekhawatiran dalam masyarakat kita. Khawatir akan terjadinya polusi kebudayaan dan nilai-nilai moral dan khawatir akan rusaknya struktur suatu bidang komunikasi massa, yaitu film.4 Di sisi lainnya, Orde Baru juga memanfaatkan teknologi media ini sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaannya seperti terlihat dalam proyek pembuatan film Pengkhianatan G30S/ PKI yang diproduksi pada 1984 dan peluncuran Satelit Palapa. Rezim ini memaksa masyarakat untuk meyakini sejarah Gerakan 30 September 1965 versi film yang diputar setiap malam 30 September hingga berakhir pada 1997. Selain kekuasaan Soeharto yang telah runtuh, alasan pemberhentian film tersebut juga datang atas permintaan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indoneisa (PP AURI). Sejumlah anggota TNI Angkatan Udara menilai film tersebut mendiskreditkan pangkalan AURI di Halim Perdanakusumah yang dianggap sarang PKI.5 Pada 1976 satelit Palapa diluncurkan, yang disusul dengan generasi B yang lebih canggih pada 1983. Terutama sejak 1983, satelit ini digunakan sebagai alat melanggengkan sentralisasi kekuasaan melalui pengurangan konten TVRI lokal dengan konten yang berasal dari TVRI 4 Lihat: Kata Pengantar Buku Seminar Pengelolaan Teknologi Video untuk Pembangunan, hal 1-2, oleh Asrul Sani (Dewan Harian Dewan Film Nasional), Jakarta 7 – 10 Desember 1981.

Baca selengkapnya dalam wawancara Tempo online dengan sejarawan LIPI Asvi Marwan Adam, dalam Cerita di Balik Penghentian Pemutaran Film G30S, 29 Nopember 2012. Tempo.co/read/news/2012/09/29/078432758/ Cerita-di-Balik-Penghentian-Pemutana-Film-G30S diakses pada 16 Mei 2015, 11.44 WIB.

5

215


pusat di Jakarta, dikenal dengan sebutan Pola Acara Terpadu.6 Uraian di atas hanya sebagian dari hasil penelusuran Forum Lenteng melalui Proyek riset Videobase pada 2009. Proyek ini memberikan penjelasan yang komprehensif dalam melacak perlengkapan teknologi video dalam konteks sosial politik di Indonesia sejak masuknya teknologi ini pada 1962, saat berdirinya TVRI. Pelacakan yang dilakukan dengan membagi dua periode penting dalam perkembangan teknologi: masa analog, yang berkaitan langsung dengan dinamika politik otoriter Soekarno dan Soeharto; dan masa digital, yang merupakan masa terbuka dan kebebasan setelah Reformasi. Mewacanakan seni media di Indonesia secara kongkrit telah dilakukan dengan beberapa penyelenggaraan pameran yang khusus mengangkat narasi mengenai seni media, terutama seni video di Indonesia. Dalam beberapa pameran, istilah seni media memang awalnya tidak muncul, istilah yang sering keluar ialah pameran multimedia, pameran seni video, pameran seni media baru, atau terkadang mencampurkannya dengan peristilahan seni eksperimental dan performance art. Pada 1995, di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat (NTB) Mataram digelar ‘Pameran Multimedia’ yang diikuti oleh para seniman berlatar belakang pendidikan seni rupa.7 Dalam laporan tersebut memang bisa dilihat bahwa definisi kata ‘media’ dalam kata multimedia tidaklah dipahami sebagai ‘seni media’ yang sedang kita bicarakan. Media di sini lebih diartikan sebagai sebuah alat yang bisa saja tidak ada kaitannya dengan teknologi media—seperti kertas, tali, binatang, plastik, kayu dan sebagiannya yang dicampur dengan media lain seperti gamelan, seni musik,

teater dan tari. Tentu harus dilakukan pembacaan ulang terutama pada karya-karya yang ditampilkan untuk melacak sejauh mana gagasan penggunaan media dalam pameran tersebut. Namun bagi saya fakta ini menjadi menarik mengingat inisiatif ini justru juga muncul di kota Mataram yang tidak identik dengan hingar-bingar seni rupa kontemporer Indonesia. Penyelenggaraan pameran seperti ini tercatat juga pernah dilakukan di Medan, Sumatera Utara dengan tajuk Festival Seni Eksperimental pada 1995.8 Tentu akan keliru jika tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa keduanya dianggap rintisan awal seni media di Indonesia dalam format pameran; namun melihat catatan mengenai pameran tersebut, beberapa aspek menarik mengenai kekaryaan menjadi penting dengan berbaurnya berbagai macam medium mulai dari objek, suara, dan gerak dalam kedua pameran tersebut. Istilah pameran multimedia juga kembali muncul dalam pameran Influx: Strategi Seni Multimedia di Indonesia yang diselenggarakan oleh ruangrupa. Pameran ini dikuratori oleh Hendro Wiyanto pada 2011 dan memiliki gagasan yang lebih spesifik akan fenomena seni multimedia di Indoensia: dengan menghadirkan karya-karya yang memperlihatkan kondisi dalam perubahan terus menerus yang terjadi baik di tataran medium maupun pesan itu sendiri.9 Salah satu sumbangan pemikiran terpenting ialah adanya pembacaan posisi seni multimedia dalam konteks seni rupa dalam esai Ugeng T. Moetidjo dalam katalog pameran ini. Kritik yang perlu digarisbawahi dalam tulisan tersebut ialah mengenai sukarnya menemukan “narasi mekanik” dan “narasi teknologis” pada tingkat wacana seni multimedia di Indonesia. Seni multimedia saat itu masih terbaca sebagai “narasi politis” yang berdasarkan pada “logika sosial” menurut pandangan seniman Baca lebih lanjut: Liputan KOMPAS edisi Kamis, 20 Juli 1995, halaman 9.

8

Krishna Sen, David T. Hill, 2007. dalam “Media, Culture, and Politics in Indonesia”. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia.

6

Baca lebih lanjut: Liputan KOMPAS edisi Senin, 23 Oktober 1995, halaman 9.

7

Ugeng T. Moetidjo, (Logika Mekanis dan Teknologis Seni Rupa Multimedia Indonesia) dalam Hendro Wiyanto, ed. 2011, influx, Strategi Seni Multimedia di Indonesia. Jakarta: ruangrupa.

9

sendiri. 9 Setelah itu istilah seni media baru juga kerap muncul dalam beberapa pameran, salah satu yang memiliki skala cukup besar adalah The Bandung Video, Film and New Media Art Forum (Bavf-NAF) yang diselenggarakan di Bandung pada 2002 sebagai perayaan akan fenomena seni media baru yang merujuk pada teknologi digital dan forum pembentukan jaringan yang diikuti oleh seniman dari berbagai negara selain Indonesia, seperti Belanda, Jerman, Inggris, Spanyol, Finlandia, Norwegia, Kuba, Amerika Serikat, Australia dan Jepang.10 Setelah diawali dengan penggunaan medium video sebagai bagian dari karya seni rupa oleh segelintir seniman Indoensia pada awal 1990-an, setelah 2000 banyak bermunculan seniman-seniman muda saat itu yang gencar menggunakan medium seni video dengan gagasan yang lain, dan konteks kesejarahan yang lebih bisa dilihat dari gejala budaya visual yang mengiringi kehadiran senimanseniman ini. ruangrupa, menjadi bagian terpenting dalam mewacanakan penggunaan teknologi media dalam karya seni rupa ini melalui penyelenggaraan festival OK. Video. Meski penyelenggaraan festival ini bermula pada 2003 dengan nama OK. Video Jakarta International Video Art Festival, namun embrio penyelenggaraannya bisa dilihat sejak proyek Silent Forces yang dilaksanakan oleh ruangrupa pada 2001 sebagai sebuah proyek seni video dalam membaca Jakarta. Juga bisa terlihat dalam proyek Swarm pada 2001 yang menghadirkan karya-karya instalasi suara, performance art, objek, dll. Upaya mewacanakan terus berlanjut dengan penyelenggaraan OK. Video pada tahun-tahun selanjutnya, dengan melihat bagaimana Lihat terbitan katalog Bavf-NAF #1, 2002. Bandung: Jejaring Artnetworker. 10

masyarakat menggunakan teknologi media itu sendiri. Salah satu keputusan menghilangkan kata ‘art’ dalam judul festival berusaha menghilangkan kemungkinan terminologi ini yang bisa menjadi jarak antara audiens dan karyanya.11 Sumbangan terbesar pergelaran ini ialah turut menjadikan medium seni media ini menjadi salah satu bagian terpenting dalam seni rupa kontemporer Indonesia saat ini. Telah banyak seniman yang lahir dan berkembang bersama ruangrupa khususnya OK. Video yang karyanya telah mendapatkan pengakuan secara nasional maupun internasional. Mengutip seorang teman, bahwa karya seni video saat ini bisa dibilang “sudah mapan.” Tentu tantangan selanjutnya ialah dengan pengakuan tersebut, kemungkinan komersialisai karya-karya ini sangat mungkin terjadi (dan telah terjadi) di wilayah pasar seni rupa, yang terkadang menghilangkan esensi dari seni media itu sendiri yang sangat demokratis dan bisa dinikmati oleh banyak orang. Di lain sisi, diakuinya terminologi seni video di ranah seni rupa kontemporer Indonesia bisa jadi menekan pengertian seni media yang lebih luas lagi—bahwa seni media itu bukan hanya video semata. Pemaknaan seni media di Indonesia yang pada umumnya berada di wacana seni video mulai bergeser dengan beberapa penyelenggaraan pameran seni media yang mencoba memperluas penggunaan medium teknologi media selain video, dengan latar belakang fenomena penggunaan teknologi tersebut di masyarakat. Salah satu contohnya ialah di Yogyakarta, House of Natural Fiber (HONF) menggelar Cellbutton: Yogyakarta International Media Art Festival sejak 2007. Selain itu, dua pameran seni media yang diselenggarakan oleh Hafiz, 2013. Oke, Sekarang Mari Melebur, dalam katalog festival OK. Video MUSLIHAT – 6th Jakrta International Video Festival. 11

217


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada 2010 dan 2011 mempunyai pernyataan yang lebih tegas mengenai pembacaan keterkaitan budaya penggunaan teknologi di Indonesia dalam persfektif seni media dalam bingkai kuratorialnya.

media di Indonesia, termasuk singgungan yang terjadi di antara negara, korporasi dan masyarakat. Dua kelompok karya yang ditampilkan terdiri dari seniman undangan dan karya-karya terbaik dari lomba karya seni media 2011.13

Pameran pertama, dengan judul Pameran Seni Media: Lokalitas dalam Persfektif Teknologi, dilaksanakan di kota Medan dengan dua orang kurator Ade Darmawan dan Hafiz. Pameran kedua hanya dikuratori oleh Hafiz dengan judul Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia Dalam Seni Media di Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan segala keterbatasannya, pameran ini memang diakui tidak secara komperhensif mampu menampilkan semua jenis karya seni media. Karya-karya yang ditampikan pada pameran pertama merupakan rangkuman dari pembacaan perkembangan mutakhir seni media di Indonesia saat itu. Seniman yang terlibat di antaranya ialah Eko Nugroho, Muhamad Akbar, Wimo A. Bayang, Maulana M. Pasha, Reza Afisina, Tintin Wulia, Ari Satria Darma, Ari Dina Krestiawan, Anggun Priambodo, Henry Foundation, Irwan Ahmett, Otty Widasari, Yusuf Ismail, Andang Kelana, Bandung Center for New Media Art, HONF, dan seniman lainnya termasuk dari wilayah Sumatera.12

Akan menjadi klise ketika kita berharap lagilagi kepada perbaikan infrastruktur di seni rupa Indonesia. Tapi ini mungkin yang saat ini juga dibutuhkan oleh seni media itu sendiri. Belum banyak penulis kita yang fokus mengkaji problematika seni media, atau minimnya peran lembaga pendidikan seni rupa dalam memberikan pengetahuan mengenai fenomena ini. Namun, dari bebeapa contoh pergelaran pameran seni media yang telah disebutkan di atas, nampaknya kita bisa berharap pada munculnya praktik seni media ini dalam wilayah kekuratoran seni rupa kontemporer, dalam penyelenggaraan pameran atau festival. Posisi kurator dalam seni rupa kontemporer sangat identik dengan posisi kepengarangan (autorship) yang bisa memaknai sebuah pameran sebagai medium bagi para kurator dalam menyampaikan gagasanya. Hal ini memberikan peluang yang besar akan pewacanaan seni media ini seperti contoh-contoh yang telah disinggung di atas. Dalam kaitannya dengan seni media, seorang kurator bisa berperan menyusun gagasan, melakukan riset, menempatkan konteks dan melakukan pemilahan atas karya-karya yang akan dipamerkan. Pengaruh yang dihasilkan dari penyelenggaraan pameran-pameran tersebut memiliki dampak yang lebih masif karena selain dibuat dengan sebuah gagasan kuratorial, juga karya-karya yang ditampilkan sesuai konteks teknologi media itu sendiri di Indonesia. Selain tentunya terbitan katalog-katalog biasanya dicetak dengan esai yang berisi pemikiran

Pameran kedua pada 2011 mulai melihat perayaan media yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terutama di internet. Jika Andy Warhol pernah berujar bahwa setiap orang bisa terkenal dalam waktu 15 menit; dalam pengantar kuratorialnya, Hafiz memulainya dengan kalimat “Pada masa sekarang, seseorang bisa saja dengan seketika menjadi bintang, terkenal dan menjadi figur publik.” Pernyataan tersebutlah yang memulai gagasan kuratorial pameran seni media ini yang berpijak dari fenomena penggunaan teknologi Ade Darmawan, Hafiz, 2010. (Seni Media, Mari Melihat dengan Teknologi), pengantar kuratorial dalam Pameran Seni Media: Lokalitas Dalam Perspektif Teknologi. Jakarta: Direktorat Kesenian, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film. 12

Hafiz, 2011. (Membaca Kita dengan Seni Media), pengantar kuratorial dalam Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia Dalam Seni Media, disunting oleh Pustanto, Yusuf Hartanto, Mahardika Yudha, Andang Kelana. Jakarta: Direktorat Kesenian, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni Dan Film. 13

kritis tentang praktik ini dalam kurun waktu terjadinya pameran tersebut. Karena sudah seharusnya, praktik kekuratoran bukan hanya bagaimana membuat pameran, yang terpenting ialah mengembangkan pemaknaan kritis di dalam hubungan dan diskusi bersama seniman dan masyarakat. *

P

erunutan perkembangan gagasan seni media di atas menunjukan adanya perubahan pemaknaan secara terus-menerus mengenai praktik ini baik dalam wilayah kekaryaan, peristilahan, hingga penyelenggaraan pameran seni media. Selain itu, bisa dilihat juga bahwa kedekatan aktifitas seni rupa ruangrupa selama ini begitu memiliki keterkaitan yang erat dengan praktik seni media. Dalam 12 tahun penyelenggaraannya, OK. Video tahun ini kembali memantapkan posisinya sebagai penyelenggaraan festival seni media – bukan lagi festival video Internasional. Pertanyaannya ialah, apa urgensi yang dirasa relevan dengan perubahan nama yang tentu juga menandakan adanya perubahan gagasan ini? Ada dua perbedaan yang cukup mencolok dalam tranformasi OK. Video kali ini jika dibandingkan dengan sebelumnya. Jika pada penyelenggaraan sebelumnya kata ‘art’ dihilangkan untuk mempersempit jarak antara penonton dan karyanya; pada OK. Video tahun ini kita bisa menjumpai kata ‘art’ itu kembali muncul. Hal yang membedakan ialah bahwa terminologi ‘art’ pada seni media ini merupakan pengkhususan juga perluasan makna dalam saat yang bersamaan. Ia mencoba melebarkan cakupan karya yang tidak terfokus kepada video, tetapi pada karya seni media dengan pengertian yang lebih luas. Kedua, menampilkan kata ‘art’ di sini menampilkan

penegasan bahwa seni media ini harus kembali pada fitrahnya sebagai oposisi dari media itu sendiri, seperti pada muasal lahirnya seni ini. Hal ini tentu berpijak dari pengamatan budaya teknologi media itu sendiri di Indonesia dan peran aktif masyarakat yang menggunakannya. Transformasi ini juga merupakan respon atas budaya teknologi dan referensi visual generasi terbaru sambil berandai-andai mengenai kemungkinan yang akan terjadi pada generasi ke depannya. Kita berada pada kenyataan distribusi teknologi media yang sangat cepat. Smartphone telah mengubah gaya hidup orang kebanyakan yang bisa menjadi positif atau bahkan sebaliknya. Bahwa realitas virtual adalah sebuah keniscayaan bagi generasi saat ini. Saya tidak sedang ingin menjawab pertanyaan Ronny Agustinus dua tahun lalu ketika OK. Video telah berusia sepuluh tahun: lalu apa? Dengan sendirinya, transformasi ke dalam wacana yang lebih luas mengenai seni media bukan hanya video, merupakan sebuah pernyataan yang tegas bahwa ada keharusan untuk kembali melihat fenomena perkembangan teknologi media di Indonesia dengan lebih kritis untuk kemudian seni bisa mengambil peran di dalamnya melalui seni media: sebagai oposisi, pemberi tegangan lain dan mengkritisi bahkan memberikan panggung kepada generasi selanjutnya untuk membaca perkembangan teknologi media melalui seni—dengan bekal referensi yang sudah jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. *Tentang Penulis: Asep Topan lahir pada 1989, adalah penulis seni rupa dan kurator independen. Menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta, yang kini menjadi tempat ia bekerja sebagai pengajar. Selain itu, ia juga bergiat di ruangrupa dan Curatorial Lab. Jakarta Biennale, menetap dan berkarya di Jakarta.

219


Becoming the Media Art by Asep Topan*

The use of the term “media” in art may be interpreted as being one of either two things. The first, in its capacity as a tool, is that it is the plural form of the word “medium”. The second is as the tool used in regards to communication methods and developments in technology. Dissecting the term further reveals the practice of the art of media as the activity of processing data and the application of information surfacing from the accruement of knowledge, especially within the mechanisms involved in producing and distributing them. Thusly, this practice may also be understood as an information system that blends and blurs` the various limitations that exists between the arts and its community, including other disciplines outside the discourse of arts and general aesthetics.1

I

1 n this article, Gustaff H. Iskandar, Pengembangan Praktikthe Seni Media was the only artist to really explore medium all mention of the term2006. “Rekomendasi di Indonesia”. by interpretation request of the Department of Culture and Tourism/Directorate of video as a method of expression.2 “media” willWritten refer to its General of Cultural Values, Art and Film. as a method of communication and its

connection to the development in technology. Indeed, the term “media” has something of an ideological connotation, which places the word as one of a number of idioms and artistic strategies available in producing, distributing and presenting works of art. This is because the term may also be interpreted as any form of art that is related to time, that which is created by recording sounds or pictures. Discussions about the art of media has been conducted in the past by a myriad of thinkers and in the forms of books, exhibitions and essays in catalogs. Indonesian artists began using media as a technique in the late 80s and up to the early 90s. However, only a few artists such as Teguh Ostentrik, Krisna Murti and Heri Dono have ever achieved anything of significance. They all began their journey into the art of media via video works. And in the decade that composed the 90s, Krisna Murti Gustaff H. Iskandar, 2006. “Rekomendasi Pengembangan Praktik Seni Media di Indonesia”. Written by request of the Department of Culture and Tourism/Directorate General of Cultural Values, Art and Film.

1

That their works began appearing in art exhibitions was not necessarily a result of any particular urgency to conform to a public awareness in the application of media technology. Unlike the United States, in which such forms of expression was used to criticize the emergence of the media itself, video art in Indonesia began after the public became aware of the possibilities offered by the media. The advance in computing tools, the various forms of music videos and non-mainstream movies are the three main factors that encourage the next generation to experiment with video art, as is surmised by Ronny Agustinus.3 I will not repeat how Ronny arrived at this conclusion. One thing is certain however: there has been a conscious effort to connect the development of the art of media in Indonesia under the basis of one generation’s visual experience. We cannot deny that we exist in a different cultural visual reality than that which Ronny Agung Hujatnika, 2006. “(Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan”), from the book “Apresiasi Seni Media Baru”., Directorate of Artistry, Director of Art Value and Film, Department of Culture and Tourism.

2

Agustinus, Ronny, 2004. (“Video: Not All Correct…”), from OK.Video Post Event, . Edited by Agung Hujatnika. Jakarta: ruangrupa.

3

surmised. A person born in the 90s and after the turn of the millennium exists in a world where media technology has advanced significantly. Visual references for people today are software, apps, smartphones and the culture of interacting, sharing and even conflict via virtual media such as the internet. If we were to move from the analytical vantage provided by Ronny, how are we to start analyzing the practice of the art of media in Indonesia today? A number of efforts have been made to raise the issue of the art of media or those that coincides with the media, especially in regards to execution. The development of media technology and its use as an artists’ vehicle for expression does not need to always go hand in hand. One does not necessarily need to expect innovation in the art of media to be delivered by the latest advancement in technology. Such hope is better placed in answering how the art of media may be used to criticize the media itself. Its ability to distribute, present and interact with the audience is in of itself a form of control – the same contradicting values that formed the crux of the first emergence of video art. The advancement in media technology cannot be separated from special interests such as that of the government, corporations and even the general public. The New Order Government was very much aware of its potential in the early 80s. Video spawned a level of concern among the public at the time – concerns of taint in cultural legacies and morality, as well as the potential disfigurement in the structure of mass communication.4 On the other hand, the New Order government See: Foreword, Seminar Pengelolaan Teknologi Video untuk Pembangunan, pgpg. 1-2, by Asrul Sani (Daily Council of the National Film Council), Jakarta 7 – 10 Desember 1981.

4

swiftly used the technology to consolidate its power, as evidenced by the release of the film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). The regime indoctrinated the people to believe its version of the September 30 1965 Movement by showing this movie every September 30 of every year up until 1997. The film ceased to be shown following the downfall of Soeharto and by request of Indonesian Air Force Veteran Association (PP AURI). A number of generals from the Air Force felt that the film was a disservice to the AURI base in Halim Perdanakusumah, which was shown to be a nest of the Indonesian Communist Party (PKI) in the movie.5 In 1976, the launch of the Palapa satellite was followed by the more technologically advanced Generation B in 1983. The satellite has since been used to centralized power by replacing local content from regional TVRI with content from TVRI in Jakarta, a system known as Pola Acara Terpadu.6 The explanation above is a mere excerpt from the findings made by Forum Lenteng in its 2009 Videobase research project. The project provides a comprehensive account of the tools used in video technology within the country’s socio-political landscape all the way to the technology’s point of entry into Indonesia in 1962, which is the same year TVRI is born. The trace is done by dividing two significant periods in the development of such technology in Indonesia: the analog age, which is related directly to the dynamics of Soekarno and Soeharto’s authoritarian politics; and the 5 Read the Tempo Online interview with LIPI historian Asvi Marwan Adam in “Cerita di Balik Penghentian Pemutaran Film G30S”, November 29, 2012. Tempo.co/read/ news/2012/09/29/078432758/Cerita-di-Balik-PenghentianPemutana-Film-G30S. Mei 16, 2015, 11.44 WIB.

Krishna Sen, David T. Hill, 2007. dalam “Media, Culture, and Politics in Indonesia”. Jakarta: Equinox Publishing Indonesia.

6

221


digital age, which follows the open and free post-reform era. A concrete effort to map out the art of media has previously been done by specifically tackling the narrative aspect of the art, particularly within video art. It is true that the term media art is practically non-existent in art exhibitions, in which terms such multimedia exhibitions, video art exhibitions, new media art exhibitions and even experimental and performance art exhibition – which is a completely different category – are used instead. In 1995, visual artists gathered for a Multimedia exhibition in Taman Budaya, NTB, Mataram.7 It is clear from that article that the definition of “media” in the word multimedia is not the same definition that is being discussed here. Media, in this article, is more of a tool that has nothing to do with media technology such as paper, rope, animals, plastic, wood and etc., that are combined with other media like gamelan, music, theater and dances. A reinterpretation is called for in regards to the works exhibited in order to find out how far does the use of media in that exhibition extend itself. What is interesting is how this initiative arrived to me in Mataram, far removed from Indonesia’s more prolific contemporary art scenes. The city of Medan also saw a similar exhibition called Festival Seni Eksperimental (1995).8 It would wrong to assume that both are Indonesia’s first progenies in the art of media in exhibitions. That said, after looking at the notes regarding the exhibitions, a number of aspects became somewhat more significant, namely in the blending of a number of mediums such as objects, sounds and movements. The term multimedia exhibition resurfaced in the exhibition titled Influx: Strategi Seni 7 8

Read: KOMPAS Monday, Oktober 23, 1995, pg. 9 Read: KOMPAS Thursday, Juli 20, 1995, pg. 9

Multimedia di Indonesia held by ruangrupa. This exhibition, curated by Hendro Wiyanto (2011), had a more specific idea regarding the phenomena of multimedia art in Indonesia. The exhibition showcased works that shows a condition of constant changes, extrapolated from the layers in medium, as well as in the message itself.9 One of the more important contributions in thought is the reading of an essay by Ugeng T. Moetidjo, available in the exhibition’s catalog, on the position of multimedia art in the context of visual arts. Its one particularly important criticism being how difficult it is to find the “mechanical narration” and the “technological narration” in Indonesia’s multimedia art scene. Multimedia art, at the time, was still being regarded as a “political narration” that’s based on the artist’s own “social logic”. Following that, the term media art began appearing in a several exhibitions, of which one of the largest in terms of scale was The Bandung Video, Film and New Media Art Forum (Bavf-NAF) held in Bandung (2002). It was a celebration of the new media art phenomena that leaned towards digital technology and networking forums attended by artists not just from Indonesia, but also from the Netherlands, Germany, Great Britain, Spain, Finland, Norway, Cuba, The United States, Australia and Japan.10 What began as video being used as a medium as a part of artworks by a number of Indonesian artists in the early 90s grew into a slew of young artists using the video art medium in creative ways in the year 2000 and after. Furthermore, there is a deep historical context to be had from this brewing visual culture accompanying the advent of these artists. Ruangrupa became an inseparable aspect of the popularization Ugeng T. Moetidjo, (……) by Hendro Wiyanto, ed. 2011., influxInflux, Strategi Seni Multimedia di Indonesia. Jakarta: ruangrupa.

9

See Bavf-NAF #1 Catalog, . 2002. Bandung: Jejaring Artnetworker. 10

of the use of media technology in art when it held festival Ok. Video. The festival started in 2003 under the name Ok. Video Jakarta International Video Art Festival, the embryonic form of which could be seen from Ruangrupa’s Silent Forces project in 2001 when it tried to “read” Jakarta through video art. The project Swarm (2001), with its artwork of sound installations, performance art, objects, etc. also gave a glimpse as to what the festival would have to offer.

technology within the context of the use of such technology among the general public. One example is the Cellbutton: Yogyakarta International Media Art Festival held by HONF in Yogyakarta in 2007. There were also two media art exhibitions held by the Ministry of Culture and Tourism in 2010 and 2011 that proposed a firmer statement on the link between culture and the use of technology in Indonesia under the perspective of art within its curatorial framework.

The effort to map out the art of media trudges on with Ok. Video. in the upcoming years, as apparent from how the public began using media technology. The decision to omit the word “art” from the festival’s title may also be inferred as an effort to close the gap between the audience and the artworks.11 The festival’s most important contribution however is its role in making the art of media an integral part of Indonesia’s contemporary art scene. Ruangrupa, and OK. Video. in particular, has helped bore and develop many artists whose works have gained recognition in Indonesia and abroad. To quote a friend, the art of video has “settled down”, the next challenge thus being the commercialization of such works in the art market. This in turn would often dilute the essence of the art of media, which in itself is highly democratic and accessible to the masses.

The first exhibit, titled Pameran Seni Media: Lokalitas dalam Perspektif Teknologi and further curated by Ade Darmawan and Hafiz, was held in Medan. The second exhibit, titled Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian Indonesia Dalam Seni Media, was curated by Hafiz alone and was held in Taman Budaya, NTB. Admittedly, a number of limitations prevented these exhibitions from being able to comprehensively cover all media artworks. Most of the artworks on display were mere summaries of the latest in the art of media technology at the time with works from Eko Nugroho, Muhamad Akbar, Wimo A. Bayang, Maulana M. Pasha, Reza Afisina, Tintin Wulia, Ari Satria Darma, Ari Dina Krestiawan, Anggun Priambodo, Henry Foundation, Irwan Ahmett, Otty Widasari, Yusuf Ismail, Andang Kelana, Bandung Center for New Media Art, HONF, and other artists from Sumatra making up the curated list of artists and organizations.12

Invariably, acknowledgement for video art within the Indonesian contemporary art scene could also widen public perception towards other aspects within the art of media beyond simply video. This shift has become more apparent in numerous exhibitions that expand the use media Hafiz, 2013. “Oke, Sekarang Mari Melebur”, from OK festival catalog. MUSLIHAT Video – 6th Jakarta International Video Festival. 11

It during the 2011 exhibition that the more festive aspect of media in its relation to public application took a more distinct form, particularly in terms of the internet. If Andy Warhol once said that anyone can have their Ade Darmawan, Hafiz, 2010. “(Seni Media, Mari Melihat dengan Teknologi”), , curatorial foreword from Pameran Seni Media: Lokalitas Dalam Perspektif Teknologi. Jakarta: The Directorate of Art, Ministry of Culture and Tourism Directorate General of Cultural Values, Art and Film. 12

223


15 minutes of fame; Hafiz began his curatorial foreword with, “now, anyone can become a star, a famous person and a public figure.” This opening sentence to his exhibition is of course based on the use of media technology in Indonesia, particularly in terms of friction that has developed between countries, corporations and among the public. The two group of artwork displayed are made up of invited artists and the best artworks submitted to a 2011 media art competition.13 The position of the curator in the contemporary visual art scene is identical to the position of authorship. In other words, an exhibition is the curator’s medium of expression. This allows some major opportunities in mapping out the art of media, as described above. A curator may take an active role in compiling ideas, conduct research, provide context and select the art of media to be displayed. These exhibitions had thus made a massive impact due to the involvement of a curatorial idea, as well as artworks displayed in adherence to the context behind the use of media technology in Indonesia. Furthermore, the catalogs provided during the exhibition are filled with critical essays on the use of media technology, as is should be what with the curator being responsible not only for ensuring that the exhibition is held on time, but also to develop critical thought regards to the relationship and the discourse between the artist and the public. *

T

he sequence in the development of the art of media described above shows the constant change in the

Hafiz, 2011. “(Membaca Kita dengan Seni Media”), curatorial foreword from Pameran Seni Media: Menggagas Kekinian 13

Indonesia Dalam Seni Media, edited by Pustanto, Yusuf Hartanto, Mahardika Yudha, Andang Kelana. Jakarta: The Directorate of Art, Ministry of Culture and Tourism Directorate General of Cultural Values, Art and Film.

interpretation of the practice in the field of work, terminology and in the execution of art exhibitions. We have also witnessed the closeness among the visual art activities of ruangrupa and how prolific it had been in the partice of the art of media. Within the last 12 years of its run through, this year’s OK. Video. has again reinforced its position as a platform for media art, as opposed to simply being an international video festival. The next question is then, what urgencies are deemed relevant to the change in name that, at the same time, implied a change in the idea? There are two distinct changes that can be surmised from OK. Video.’s transformation to its newer form. This year, Ok. Video. has reinstated the word “art” after omitting the word in last year’s festival. The difference now however is that the term “art” is now used to specify, and at the same time expand, the meaning of the word. The festival attempts to broaden its exhibited artworks beyond just video. Furthermore, the term “art” asserts the idea that the art of media must return to its roots as an opposition to the media itself. This is surmised from general observation of the culture of media technology in Indonesia and the public as its most active user. This transformation is also a response to the culture of technology and visual references from the new generation – a visual fantasy of the possibilities that have been made available for future generations. We live in a world where the distribution of media technology moves very rapidly. The smarphone has changed our most basic lifestyle, for better or worse. Virtual reality is no longer a promise. It’s a certainty. This is not my way of answering the question posed by Ronny Agustinus two year ago of when Ok. Video. turned ten years old: so what? Indeed, it is already apparent that the transition

of the art of media from video to its broader form is a stern call for the need for a critical look at the phenomena of the development of media technology in Indonesia in order for the arts to take a more meaningful role via the art of media, in which it must serve as an opposition, a counter balance and a medium of criticism and even to set the stage for the next generation to interpret the development of media technology through art within their own, highly more advanced, point of references. *About the Author: Asep Topan, born in 1989, is a writer of the arts and an independent curator. He is a graduate of the Faculty of Arts at the Jakarta Institute of Arts where he currently teaches. He is also an active member of ruangrupa and Jakarta Biennale foundation. His life and his work is firmly set in Jakarta.

225


COMMITTEES

ACKNOWLEDGEMENT

Festival Artistic Director Mahardika Yudha Database Soemantri Gelar Curators Mahardika Yudha (Festival) Riksa Afiaty (Open Lab) Aditya Fachrizal (User Generated Content) Production and Display serrum Technical Support Budiman Setiawan Opening Ceremony Adhi Malih Documentation Nissal Berlindung (Coord.) Adi Priyatna, Panji Purnama Putra, Rino Aditya, Roihan Susilo Utomo

FUNDING PARTNERS Asia Center - Japan Foundation (Yasuko Furuichi, Ayumi Hashimoto) Japan Foundation Jakarta (Tadashi Ogawa, Nurul Komari Moefti, Diana Sahidi Nugroho, Puput Setia) H.M. Sampoerna (Fumicko Gengky Rustantra, Aditya Permata, Kukuh Rizal Arfianto) Galeri Nasional Indonesia (Tubagus “Andre� Sukmana, Drs. Sumarmin, Zamrud Setya Negara) Ford Foundation (Heidi Arbuckle, Adyani Widowati, Esther Parapak) Arts Collaboratory Stichting DOEN (Gertrude Flentge, Yu-Lan van Alphen) Hivos (Tanja Vranic, Chantal Emma Maria Verdonk)

Management Managing Director Deasy Elsara Administrator Vauriz Bestika Izhar Umar Finance Daniella Praptono Communication and Media Relations Maya (Coord.), Lisna Dwi Atmadiarjo Public Education Coordinator Maria Josephina Bengan Sponsors Coordinator Siti Handarani Program Coordinator Camelie (Coord.), Leonhard Bartolomeus RURUkids Daniella Praptono Publication Artwork Aprilia Apsari, Syaiful Ardianto, Mario Julius, Cut and Rescue Designer Syennie Valeria Website Developer Andang Kelana Website Administrator Hanif Alghifari Catalogue Writers Asep Topan, Berto Tukan, Gelar Agryano Soemantri, Mahardika Yudha, Manshur Zikri, Riksa Afiaty Editor A. Rosdianahangka Design Zulfikar Arief Translator Dania Ratna Nariswanti, Hilman Handoni, Dini Andarnuswari, Dean Benitez, Yoel Fermi Kaban Volunteers Aldio Yofanda, Alfaraby Ceina Alghozali, Aloysia Raraningtyas, Nerissa Arviana, Meita Meilita, Anggun Yulia, Devi Parmono, Dea Aprilia, Dwiwulan, Fanny Nadia, Febry Sari Andini, Fransiskus SM Sitanggang, Hilman Fauzi, Muhammad Miqdad D. , Reza Zefanya Mulia, Riezky Hana Putra, Ryan Theo Jonathan, Ryani Sisca Pertiwi Nur, Shuhada Trinanda Putra, Sarah Fidiyanti, Rabella Dimelati Hutabarat, Alinda Rimaya

CULTURAL PARTNERS Forum Lenteng Jatiwangi Art Factory Cut and Rescue IndoPROGRESS Klub Karya Bulu Tangkis Lab Laba Laba dan Club Kembang (Edwin dan Adinda Simandjuntak) lifepatch LIMA (Theus Zwakhals) LUX Gallery (Matt Carter, Alice Lea) MakeDoNia MakerspaceBKS Crackerz Waft-Lab Supporting Partner Suwe Ora Jamu

MEDIA PARTNERS All Film (Jay Lim) BeritaSatu Media Holdings - Beritasatu. com, Investor Daily, Jakarta Globe, Suara Pembaruan (Reancy Triashari, Israji Majid Salim, Budiman Mulyadi) Cinema Poetica (Adrian Jonathan Pasaribu, Alexander Matius) Cinemags (Mahendradhata Adhitya) Culture360 + ASEF (Valentina Riccardi) Free! Magazine & Freemagz.com (Amien Prahadian) Gen FM (Vega Karina) IndoPROGRESS (Berto Tukan) Jakarta Beat (Pry S.) Muvila (Gayatri Nadya, Eka Pratiwi) Provoke! (Bobby) Sarasvati (Agnisa Wisesa, Zaldy) Whiteboard Journal (Ken Jenie) INDIVIDUALS Arman Dhani Asep Topan Pangeran Siahaan Roy Thaniago Daoed Joesoef Seno Gumira Ajidarma Indra Ameng Yuka Narendra Taufiq Rahman Tri Agus Susanto Siswowiharjo Yusi Avianto Pareoanom Dave Lumenta Anom Astika Wasi Gde Puraka Ignatius Haryanto Inaya Rakhmani Holy Rafika Akbar Yumni

227


229


COMING VERY SOON Cultural Partners / Mitra Budaya:

Supporting Partner / Mitra Pendukung:

Media Partners / Mitra Media:

25 – 27 September 2015 at Tanakita Camping Ground, Sukabumi Music • Film Screening • Bazaar Workshop • Talk • Artist Residency • Art Exhibition with the beautiful open-air scenery

Stay update at http://rrrec.ruangrupa.org For further information, please drop us a message to info.rrrecfest@gmail.com

RURU Family:



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.