MUSLIHAT OK. Video Catalogue

Page 1




Tahun ini akan menandai sebuah hubungan kerjasama yang panjang, antara Galeri Nasional Indonesia dengan OK. Video. Sejak penyelenggaraan OK. Video—Jakarta International Video Festival yang pertama pada 2003 hingga penyelenggaraan untuk keenam kali ini, Galeri Nasional Indonesia menjadi tempat penyelenggaraan utama. Sebuah kerjasama yang patut disyukuri melihat berkembangnya seni video di Indonesia, terutama di Jakarta dewasa ini. Sebagai penyelenggara kegiatan ini, ruangrupa—juga divisi Pengembangan Seni Videonya, tentu telah menjaga komitmen dan konsistensinya dalam mendukung perkembangan seni rupa kontemporer, khususnya dalam konteks budaya urban, dengan memunculkan dan mewadahi karya-karya multimedia. Hal ini sejalan dengan visi Galeri Nasional Indonesia yang berupaya menyajikan karya-karya seni rupa yang berorientasi ke depan, kreatif, dinamis, dan inovatif. Kami menganggap karya seni dan seniman yang terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan dua tahunan ini cukup representatif di bidangnya. Sepuluh tahun telah berlalu dari tahun 2003, kini perkembangan teknologi informasi dan media telah memunculkan dan mendorong lebih jauh para pencipta yang menekuni bidang media baru, diantaranya merekan yang memanfaatkan perangkat komputer, televisi, juga video. Fenomena ini kemudian menumbuhkan beberapa komunitas yang mewadahi minat yang sama dalam mengeksplorasi karya-karya media baru, dan ruangrupa adalah salah satu yang konsisten bergerak dalam ranah ini. Komunitas ini juga intens melakukan kerja kreatif dan inovatif dengan mengandalkan kerja jaringan antar-seniman muda dan komunitas, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Oleh karena itu, secara personal maupun institusional, Galeri Nasional Indonesia sebagai lembaga pemerintah tentunya menyambut baik atas terlaksananya OK. Video kali ini yang mengangkat tema “MUSLIHAT”. Terlebih di dalam festival ini, selain karya seniman Indonesia juga ditampilkan karya-karya dari seniman luar negeri. Hal ini tentu memiliki dampak yang luas, baik bagi apresiasi seni itu sendiri, maupun bagi terjalinnya kolaborasi dan kerjasama lintas-negara dalam memperkenalkan dan mengaktualisasikan perkembangan seni multimedia di masyarakat. Semoga kegiatan ini tetap berjalan dan memberi kontribusi bagi perkembangan seni rupa di Indonesia. Selamat! Jakarta, September 2013, Tubagus ‘Andre’ Sukmana Kepala Galeri Nasional Indonesia

4


This year, we signify a long collaboration between the National Gallery of Indonesia and OK. Video. The National Gallery of Indonesia has been the main place where OK. Video held their first to sixth Jakarta International Video Festivals (since 2003 until now). Looking at the video art growth in Indonesia, especially Jakarta, this collaboration can be regarded as something worth to be appreciated. As the organizer of this event, which raised and accommodated multimedia works, ruangrupa – and also its division of Video Art Development, has shown its commitment and consistency in supporting contemporary fine art, particularly in the context of urban culture. This is in accordance with the National Gallery of Indonesia vision which attempts to present progressive, creative, dynamic, and innovative fine arts. We consider the artworks and the artists involved in this two-year event represent their field. For the past ten years, information technology and media development has raised and encouraged creators who explored new branch of media by using computer, television, and video devices. This phenomenon bred several communities which accommodated those who were interested to explore works of new media. ruangrupa is one of the communities which concerns on those kind of works. This community also intensely manages creative and innovative works by counting on community and young artist network in and outside Indonesia. Therefore, personally and institutionally The National Gallery of Indonesia as a governmental institution certainly welcome the realization of this OK. Video event which picks “MUSLIHAT” (Deception) as its theme. Moreover, the works exhibited in this event are not only the works of Indonesian artists, but also world artists. This will bring vast impact on the art appreciation itself and on the cross-country collaboration and cooperation in introducing and actualizing multimedia art development to society. May this event keep being continued and bring contribution to the development of art in Indonesia. Congratulations! Jakarta, September 2013 Tubagus ‘Andre’ Sukmana Director of the National Gallery of Indonesia

5


SUDAH WAKTUNYA MENGGUNAKAN HAK JAWAB KITA Menyelenggarakan festival dua tahunan dengan fokus pada bentuk seni yang menggunakan perangkat teknologi video dan gambar bergerak (elektronik) di ‘negara konsumen’—yang pengalaman perkembangan sejarah seni dan teknologinya berjalan terpisah, akan menjadi catatan tersendiri bagaimana festival ini kemudian memposisikan dirinya di tengah masyarakat dan juga kancah seni rupa internasional. Festival OK. Video kini telah masuk tahun keenam. Selama rentang sepuluh tahun perhelatan seni video dan gambar bergerak ini secara konsisten menjadi ruang pertemuan dan pertukaran gagasan antara seniman, kurator, kritikus, peneliti, pelajar atau bahkan masyarakat umum dari berbagai latar belakang pendidikan. Festival ini juga berusaha mengukur sejauh mana capaian artistik, isu-isu sosial yang diangkat, hingga perkembangan moda produksi dan sensibilitas seniman dalam mempertanyakan, mengkritik, dan merespon pengaruh dari kemajuan media dan teknologi di masyarakat. Sejak penyelenggaraan di tahun 2003, festival OK. Video telah mengemukakan bahwa seni dan teknologi tidak terpisah, dan kehadiran keduanya memiliki dampak bagi peradaban. Dan sebaliknya, bahwa situasi (persoalan) di masyarakat juga mempengaruhi bagaimana seni dan teknologi bersikap dan berkembang. Hubungan saling ketergantungan itulah yang mendorong festival OK. Video selalu hadir setiap dua tahun dengan tema-tema spesifik. Tema-tema kontekstual yang mampu merefleksikan sejauh mana kehadiran dan penggunaan media dan teknologi–dalam hal ini video dan gambar bergerak–dan juga praktik-praktik sosial yang menyertainya di tengah arus perubahan masyarakat global. Perubahan geoekonomi dan geopolitik global, serta kemajuan pesat media dan teknologi dalam lima tahun terakhir, telah merubah cara pandang kita sebagai warga konsumen terhadap diri kita sendiri, lingkungan sekitar, dan kenyataan sehari-hari. Situasi tersebut menantang festival OK. Video untuk menentukan tema yang relevan, yang tidak hanya berdampak bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai upaya membaca gejala global; menemukan moda-moda distribusi baru dalam mempersembahkan sebuah festival kepada publik yang kehidupannya semakin teknologis; dan membuka lebar ranah artistik bagi perkembangan karyakarya video dan gambar bergerak lintas media. Bagaimana kita membaca perilaku warga yang menyulap ‘tutup panci’ menjadi antena televisi atau penangkap gelombang Wi-Fi? Bagaimana kita memaknai ‘produksi massal’ speaker active portable yang digendong oleh para pengamen karaoke yang ada di kereta ekonomi serta pengamen dari rumah ke rumah? Atau ketika kita menonton televisi portable ‘rakitan’ di angkot? Dan masih banyak lagi gejala muslihat warga konsumen terhadap teknologi, yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, praktik dan perilaku ini berkembang secara organik dan terus-menerus. Gejala itu menggelitik kita sebagai warga konsumen, untuk melihat kembali fungsi teknologi, memaknainya, atau bahkan dijadikan inspirasi. Pada gejala di atas, teknologi di tangan warga konsumen tidak berhenti pada sifatnya yang konsumtif, tetapi telah bergeser pada ‘alat produksi’. Persebaran pengetahuan ‘mengakali teknologi’ yang semakin massive melalui media internet dewasa ini, seperti misalnya video tutorial pada kanal youtube, juga berkontribusi mendorong pertumbuhan prilaku dan praktik ‘mengakali teknologi’ di warga konsumen yang bahkan melintas batas geografis. OK. Video memaknai muslihat warga konsumen –termasuk di dalamnya seniman, sebagai sebuah ‘inovasi’ – atau bahkan temuan– warga konsumen yang ingin memuaskan hasratnya mengakses dan mengembangkan teknologi dengan berbagai macam motif, seperti; mengatasi keterbatasan, mengganti (substitusi), menambah dan atau mengubah fungsi atau nilai guna benda, menambah usia penggunaan, main-main, atau bahkan estetika. Walau pada akhirnya, prilaku dan praktik memuslihati teknologi dapat dibaca sebagai tindakan menentang ataupun menantang sistem, baik sistem sosial-budaya, ekonomi, politik, bahkan sistem dari teknologi itu sendiri. 6


TIME TO USE OUR RIGHTS TO REPLY Holding biennial festival focusing on the art from based on video technology and moving image (electrical devices) in this 'consumer state', which experiencing the development of art and technology separately, becomes our own notes, how this festival will positioning itself in community as well as in the international art scene. OK. Video Festival has now entered its sixth year. During a decade, this festival consistently becomes a meeting point and a space to exchange ideas between artists, curators, critics, researchers, students, even common people from various educational background. This festival tries to see how far the artistic achievement, social issues that are discussed, up to the development of the mode of production and the artist's sensibility to ask, criticize, and respond the influence of the development of technology and media in society. Since the first festival in 2003, OK. Video had stated that art and technology are inseparable and gives impacts for our civilization. On the other way, the situation and condition in the society also gives influence on how of art and technology behave and develop. This mutual relationship encourages OK. Video always present every two years with specific themes: contextual theme that can reflecting how far the existence and usage of media and technology (in this sense are video and moving image) and its social practices in the midst of the current global changes. The changing of global geoeconomics and geopolitics and the rapid development of the media and technology in these five years have been changing our way as a consumer to see ourselves, our environment, and our daily life. This situation challenges OK. Video to find relevant theme, which is not only giving impact to Indonesian society, but also as an effort to read global phenomenon; finding new methods of distribution to create a festival for more sophisticated-society; and wide open for artistic development of video arts and moving images various media. How do we define the behaviour of people who make 'pot lid' into a television antenna or Wi-Fi receiver? How do we interpret 'mass-production' of speaker active portable used by karaoke singers in the train and streetmusician from door to door? And what does it feel when we watch assembled-portable-television in public transportation? There are so many things that can be seen as consumer deception against technology, which is not only happening in Indonesia, but also in around the world. This practice and behaviour are naturally and continually develop in Indonesia. This phenomenon encourages us as the consumer to look back at the technology function, to interpret it, or even to use it as inspiration. Technology in the hands of consumers is not merely stop in its consumptive nature, but also shift to ‘production tool’. Dissemination the knowledge of “outsmarting technologies, which is more massive through internet today – as for example, tutorial video in Youtube – also contributes on the development of practice and behavior of “outsmarting technologies” in society, even crossing geographical boundaries. OK. Video interprets people deception – the artists include in this category – as an ‘inovation’; even the consumer who want to fulfill its needs to access and develop technology through many motives such as: overcome the limitations, change (substitute), and add or alter the function of objects value, adding the use of age, playing games, or even aesthetics trick. Although in the end, this practice and behavior can be seen as opposing and challenging the system, both socio-cultural system, economic, political, even the system of the technology itself.

7


Tahun ini festival OK. Video mengundang tiga kurator muda untuk berkolaborasi mengkuratori pameran utama. Tiga orang tersebut datang dengan latar belakang berbeda-beda; Irma Chantily, seorang pengarsip dan penulis; Julia Sarisetiati banyak membuat karya-karya berbasis fotografi dan juga seni media; sedang Rizki Lazuardi adalah seorang seniman aktif yang membuat karya video dan seni media. Ketiga kurator ini ditantang untuk memaknai muslihat pada karya-karya yang masuk melalui aplikasi terbuka ataupun dengan mengundang seniman dan karya yang memiliki kecenderungan muslihat. Dari 303 karya dari 53 negara yang masuk melalui aplikasi terbuka, mereka memilih 28 karya dari 16 negara, dan 6 di antaranya berasal dari Indonesia; dari seniman yang diundang, para kurator menghadirkan 20 karya dari 19 seniman dengan beragam pendekatan moda produksi, pilihan estetik, dan bentuk presentasi. Berbeda dengan perhelatan festival OK. Video sebelumnya, tahun ini akan banyak menghadirkan karya berbasis proyek yang dipresentasikan dalam bentuk kanal tunggal, kanal multi, dan instalasi objek. Selain bentuk karya dan presentasi yang sesuai dengan tema muslihat yang memiliki kecenderungan pada aksi dan juga pola-pola ‘bermain’ yang lebih banyak pada ranah perangkat keras (materi) teknologi –yang pasti juga diiringi pada ranah perangkat lunak (gagasan); pilihan artistik ini juga sebagai bentuk respon kebaruan moda produksi artistik seni media di kancah seni rupa kontemporer internasional. Keputusan artistik ini diusahakan sejalan dengan keinginan festival OK. Video untuk membuka lebih lebar kemungkinan dan kebaruan bahasa estetik dan moda produksi dari karya-karya video dan gambar bergerak lintas media. Festival ini juga ingin memberi kesan bahwa secara ilmiah, teknologi dapat membantu membebaskan daya kreatif seniman persis dengan kapasitas publik dalam mengapresiasi dan berinteraksi dengan teknologi. Festival OK. Video juga berkolaborasi dengan The Japan Foundation untuk mempersembahkan sebuah pameran Media/Art Kitchen yang dikuratori oleh Ade Darmawan dan M. Sigit Budi S. Pameran yang berlangsung secara bersamaan dengan festival OK. Video ini diikuti oleh seniman-seniman seni media dari Jepang dan Asia Tenggara. Pada pameran ini, karya-karya yang dihadirkan akan mencoba menjembatani dua budaya yang berbeda antara Jepang dan Asia Tenggara dalam menyikapi kemajuan media dan teknologi dewasa ini. Pameran di Jakarta ini akan menjadi pembuka untuk serangkaian pameran estafet di beberapa negara Asia Tenggara yang akan berakhir pada bulan Februari 2014. Meneruskan tradisi pada perhelatan sebelumnya, festival OK. Video kembali mengundang secara khusus dua festival seni media internasional IMPAKT (Belanda) dan Videobrasil (Brazil). Arjon Dunnewind dari IMPAKT (Belanda) akan mengkuratori program Inside Job; dan Solange Farkas dari Videobrasil (Brazil) akan mengkuratori program A Historical View dan Improbable Journeys. Selain dipamerkan pada ruang khusus di Galeri Nasional Indonesia, karya-karya ini juga akan diputar dalam format sinema di Kineforum Jakarta. Bekerjasama dengan RURU Gallery, festival OK. Video akan mengundang Jatiwangi Art Factory (JAF) dari Jatiwangi-Jawa Barat dan Kinetik yang berkolaborasi dengan WAFT dari Surabaya-Jawa Timur. Dua komunitas ini berasal dari dua wilayah Indonesia yang memiliki kultur yang sangat berbeda sehingga mendorong caracara kreatif dalam mengeksplorasi media dan teknologi sebagai eksperimentasi artistik yang sesuai dengan karakter kotanya dan juga masyarakatnya. Pameran akan diselenggarakan di RURU Gallery-ruangrupa. Selain pameran utama dan program presentasi khusus, festival OK. Video tetap akan menghadirkan berbagai macam program publik; presentasi kurator, diskusi, tur kurator, dan artist talk, sebagai bagian dari usaha menjembatani publik dengan tema yang ingin dikomunikasikan penyelenggaraan festival tahun ini. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah membantu hingga terselenggaranya Muslihat OK. Video – 6th Jakarta International Video Festival 2013. Semoga perhelatan tahun ini dapat menginspirasi kita sebagai warga konsumen dalam merespon kehadiran media dan teknologi yang telah merubah begitu banyak cara pandang kita terhadap diri sendiri, lingkungan sekitar, dan kenyataan sehari-hari. Sudah waktunya untuk menggunakan hak jawab kita sebagai warga konsumen dengan memaknai media dan teknologi tidak hanya sebagai alat konsumsi semata, tetapi juga sebagai alat produksi. Jakarta, September 2013, Mahardika Yudha Direktur Festival

8


This year, OK. Video invites three young curator to collaborate in the main exhibition. The three curators with different background are: Irma Chantily, archivist and writer; Julia Sarisetiati, photography-and-media-artbased artist.; and Rizki Lazuardi, video and media art artist. These three curators are challenged to interpret 'deception' from entries through open submission program or selected artist program. From Open Submission program that gained 303 entries from 53 countries, they select 28 works from 16 countries (six of them from Indonesia); from selected artist, they choose 20 works from 19 artists with a variety of modes of production approach, aesthetic choice, and form of presentation. Different with previous festival, this year will be several works based on the project presented in one channel, multi channel, and object installation. The works presented have a tendency to act and also to 'play' patterns which can be found more in the realm of hardware (material) technology, and at the same time, the artists implemented their idea of "deception" through their works. Besides that, this artistic respond can be seen as a new method of artistic production through media art in international contemporary art. This artistic decision can bring collateral relation to OK. Video wishes, to open up wider possibilities and aesthetic novelty of language and modes of production of video art and moving images across the media. This festival also wants to give impression that scientifically technology can help the artists to release their creative power coherent with the public ability to appreciate and interact with technology. OK. Video festival also collaborates with The Japan Foundation to present an exhibition Media/Art Kitchen, curated by Ade Darmawan and M. Sigit Budi S.. This exhibition will be held at the same time with OK. Video Festival, compiling media-art artists from Japan and South East Asia. In this exhibition, the works presented will try to relate two different cultures between Japan and Southeast Asia in dealing with media and technology advancement today. This exhibition in Jakarta will be the opening act for a series of exhibitions relay in several Southeast Asian countries which will end in February 2014. Continuing the previous event tradition, OK. Video specifically re-invites two international media art festival: IMPAKT (Netherlands) and Videobrasil (Brazil). Arjon Dunnewind of IMPAKT (Netherlands) will curating Inside Job program, and Solange Farkas of Videobrasil (Brazil) will curating A Historical View and Improbable Journeys programs. Besides exhibited in a special room at the Indonesia National Gallery, these works will also be screened in cinema format at Kineforum Jakarta. Collaborating with RURU Gallery, OK. Video festival will invite Jatiwangi Art Factory (JAF) from Jatiwangi, West Java and Kinetik collaborated with WAFT from Surabaya, East Jawa. These two communities come from two areas in Indonesia that have very different cultures that encourage different creative approaches to explore media as technology as their artistic experimentation, which is still related with their condition and sociocultural background. This exhibition will be held at RURU Gallery, ruangrupa, Jakarta. In addition to main exhibition and special presentation program, OK. Video festival will keep presenting several public programs: curator presentation, discussion, tour with curator and artist talk, as part of efforts for those who wish to communicate with the theme of the festival this year. We thank profusely to all of those who have help the implementation Muslihat OK. Video - 6th Jakarta International Video Festival 2013. Hope this year even can be an inspiration for us the consumer in responding the presence of media and technology that have changed the way we see ourselves, our environment, and our everyday reality. It is time for us to use our Right of Reply as consumer through accepting that media and technology are not merely as a consumption, but also as a media to produce. Jakarta, September 2013 Mahardika Yudha Festival Director

9


FESTIVAL PROGRAM Press Conference Date : Tuesday, 3 September Time : 15.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Opening Date : Wednesday, 4 September Time : 19.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Exhibition Date : 5 - 15 September Time : 10.00 - 20.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Screening Date : Monday, 9 September Time : 15.00 Stand van de Mand (Shape of the Moon) - Leonard Retel Helmrich (The Netherlands) 17.00 This Ain’t California - Marten Persiel (Germany) 19.00 Supermen of Malegaon - Faiza Ahmad Khan (India) Venue : Goethe Institut -------

VIDEO OUT IMPAKT Festival, Videobrasil, & Media/Art Kitchen Screening Date : 7 - 15 September Time : 14.15, 17.00, and 19.30 Venue : Kineforum Discussion Date : Wednesday, 11 September Time : 17.00 - 19.00 Venue : Kineforum Speakers : Mahardika Yudha (Indonesia) Moderator : Aditya Adinegoro (Indonesia)

Jatiwangi Art Factory (JAF) vs Kinetik in collaboration with WAFT Opening Date : Thursday, 12 September Time : 19.00 Performance : Jatiwangi Art Factory (Indonesia)

Exhibition Date : 13 - 25 September Time : 10.00 – 20:00 Venue : RURU Gallery Curators : Alghorie (Indonesia) & Benny Wicaksono (Indonesia) 10


Discussion Date : Friday, 20 September Time : 17.00 Venue : RURU Gallery Speakers :Alghorie (Indonesia) & Benny Wicaksono (Indonesia) Moderator : oomleo (Indonesia) -------

PUBLIC PROGRAM Media/Art Kitchen Curators Presentation Date : Thursday, 5 September Time : 15.00 - 18.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Speakers : M. Sigit Budi S. (Indonesia), Adeline Ooi (Malaysia), Dayang Yraola (Philippines), Pichaya Suphavanij (Thailand), Keiko Okamura (Japan) Moderator : Ade Darmawan Festival Tours with Curators Date : Friday, 6 September Time : 15.00 - 17.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia

DISCUSSIONS Art and Technology Date : Saturday, 7 September Time : 16.30 - 18.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Speakers : Aryo Danusiri (Anthropologist & Filmmaker/Indonesia), Clarissa Chikiamco (Curator/Philippines) Krisgatha Achmad (Artist/Indonesia) Moderator : Maria Josephina (Project Officer Jakarta Art Council/Indonesia) Technology and Society Date : Sunday, 8 September Time : 13.00 - 15.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Speakers : Roy Thaniago (Writer/co-founder Remotivi), Deden Hendan Durahman (Lecturer Faculty of Art & Design Institut Teknologi Bandung/Indonesia), Andreas Siagian (Artist/Indonesia) Moderator : Ardi Yunanto (Editor Karbon Journal/Indonesia)

ARTIST TALK Media/Art Kitchen Date : Saturday, 7 September Time : 13.30 - 15.30 Venue : Galeri Nasional Indonesia Speakers : Kanta Horio (Japan), Yuko Mohri (Japan), Muhammad Akbar (Indonesia) Moderator : Ade Darmawan (Indonesia) 11


OK. Video Date Time Venue Speakers Moderator

: Monday, 9 September : 13.00 - 15.00 : Galeri Nasional Indonesia : Irwan Ahmett (Indonesia), M.R. Adytama Pranada (Indonesia) : Rizki Lazuardi (Indonesia)

THE INSTRUMENT BUILDERS PROJECT Discussion Date Time Venue Speakers Moderator

: Tuesday, 10 September : 15.00 - 16.00 : Galeri Nasional Indonesia : The Instrument Builders Project (Indonesia) : Leonhard Bartolomeus (Indonesia)

Performance Date : Tuesday, 10 September Time : 17.00 - 18.00 Venue : Galeri Nasional Indonesia Artist : The Instrument Builders Project (Indonesia)

Galeri Nasional Indonesia : Jl. Medan Merdeka Timur no. 14, Jakarta 10110 Kineforum : Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya no. 73, Jakarta 10330 Goethe Institut : Jl. Sam Ratulangi 9-15, Jakarta 10350 RURU Gallery : Jl. Tebet Timur Dalam Raya no.6, Jakarta 12820

12


SCREENING Venue: Kineforum

07 September 2013

08 September 2013

09 September 2013

14.15

Inside Jobs (IMPAKT Festival)

Media at Hand (Media/Art Kitchen)

A Historical View (Videobrasil)

17.00

A Historical View (Videobrasil)

Being Physical (Media/Art Kitchen)

Landscape and Beyond (Media/Art Kitchen)

19.30

Landscape and Beyond (Media/Art Kitchen)

Improbable Journeys (Videobrasil)

Inside Jobs (IMPAKT Festival)

10 September 2013

11 September 2013

12 September 2013

14.15

Media at Hand (Media/Art Kitchen)

Inside Jobs (IMPAKT Festival)

17.00

Improbable Journeys (Videobrasil)

DISCUSSION (Mahardhika Yudha)

Improbable Journeys (Videobrasil) ) Inside Jobs (IMPAKT Festival

19.30

Being Physical (Media/Art Kitchen)

A Historical View (Videobrasil)

Being Physical (Media/Art Kitchen)

13 September 2013

14 September 2013

15 September 2013

14.15

A Historical View (Videobrasil)

Inside Jobs (IMPAKT Festival)

Landscape and Beyond (Media/Art Kitchen)

17.00

Landscape and Beyond (Media/Art Kitchen)

Being Physical (Media/Art Kitchen)

A Historical View (Videobrasil)

19.30

Media at Hand (Media/Art Kitchen)

Improbable Journeys (Videobrasil)

Media at Hand (Media/Art Kitchen)

13




MERETAS TEKNOLOGI DAN PRAKTIK SUBVERSIF LAINNYA Veronika Kusumaryati*

Orde Baru merupakan masa saat teknologi menyublim di Indonesia. Pada awal 1990-an, setiap siswa di sekolah mengidolakan Baharuddin Jusuf Habibie. Sebagai bapak teknologi di Indonesia, Habibie menanamkan sebuah pengalaman kolektif nan populer dari sebuah keagungan hadirnya keajaiban teknologi: pesawat buatan dalam negeri, kapal buatan dalam negeri, dan industri teknologi tinggi buatan dalam negeri. Peluncuran pesawat pertama diceritakan sebagai pengalaman yang mendekati sebuah keajaiban. Keagungan teknologi (meminjam istilah dari David E. Nye) di Indonesia sendiri didirikan dan didukung oleh istana Suharto yang pro-kapitalis dan otoriter (yang mana tidak ada ajaib-ajaibnya sama sekali). Teknologi, seperti hal lain, menjadi proses yang signifikan untuk kemajuan bangsa. Setelah 1998, lampu hijau perkembangan teknologi perlahan-lahan meredup. Pondasi yang dibangun sekian tahun hancur, wacana teknologi yang baru melalui kebijakan-kebijakan dengan dalih liberalisasi dari Orde Baru perlahan-lahan masuk ke Indonesia. Mimpi yang dibangun Habibie pun berakhir. Perkembangan teknologi pada masa Orde Baru menekankan pada gagasan bahwa teknologi merupakan bagian yang datang dari luar, misalnya, revolusi hijau, satelit Palapa, komputer, pesawat terbang dan video. Oleh karena itu, untuk menjadikannya suatu hal yang “nasional”, teknologi harus ditundukkan di bawah mesin rezim yang kuat. Teknologi harus diperiksa, diatur, terdaftar, dan dikendalikan. Rezim Orba mengembangkan kategori-kategori bagi teknologi seperti mana yang berguna dan yang tidak, serta mana yang memiliki kontribusi penuh untuk pembangunan dan kebalikannya. Setiap kategori harus diawasi dan bagi para pengguna yang melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi tegas. Pemerintahan Orba sendiri mendirikan badan sensor, kementrian riset dan teknologi, dan kementrian informasi, dan juga melakukan infiltrasi terhadap partai politik, organisasi keagamaan, organisasi mahasiswa, dan institusi lain untuk menjaga batasan tersebut supaya teknologi benar-benar “bebas resiko”. Kedua, keagungan akan hal-hal yang berbau teknologi dipelihara dengan proses yang berjarak, proses hegemonik dimana agenda ideologisnya disembunyikan. Proses ini memiliki dua konsekuensi. Pertama, dalam pendidikan Orba, teknologi merupakan usaha yang rumit. Teknologi harus kompleks, rumit, dan hanya jenius seperti Habibie yang bisa mengatasinya. Pengetahuan tentang teknologi harus dikuasai dan dikontrol oleh mereka para teknokrat dan pelajar-pelajar di sekolah. Orang seperti Onno W. Purbo yang membangun koneksi Internet mandiri –tidak menggunakan jaringan milik pemerintah– dan yang membuat kopian video bajakan merupakan anarkis-tekno yang mana harus dihukum, atau lebih sederhananya didisiplinkan. Pembagian produsen dan konsumen teknologi semakin menguat kala itu. Semua upaya ini ditujukan untuk satu hal: keagungan teknologi yang akan membuat dan membantu dalam membuat sebuah konsep Orde Baru yang agung, keagungan sebuah kemajuan dan perkembangan.

16


Di sisi lain, kita harus berterimakasih pada kebijakan teknologi milik pro-kapitalis ini yang mana bisa membuat teknologi terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, merasuk ke kehidupan rumah tangga masyarakat Indonesia sebagai komoditas. Televisi sebagai teknologi rumah tangga diperkenalkan oleh rezim Soekarno pada 1962 tetapi tidak sampai tahun 1970an, kepemilikannya menyebar seantero nusantara. Tahun 1965, sudah ada 40.000 set TV yang terdaftar oleh negara, tetapi kemudian pada tahun 1980 jumlahnya bertambah hingga 2,1 juta. Hampir pada saat yang bersamaan, teknologi video mendatangi rumah tangga para borjuis di Asia Tenggara, awalnya adalah U-matic 3/4” Format kemudian disusul oleh Betamax (McDaniel 1994:263). Kedatangan teknologi video dan adopsi media yang cepat menjadi fenomena yang layak untuk dibahas secara khusus. Keranjingan video di Asia Tenggara termasuk di Indonesia menjadi topik hangat di pemerintahan dan lingkaran komunitas film pada tahun 1980an. McDaniel menyebutkan pengaruh video pada produksi film dalam 27th Asian Film Festival tahun 1982 di Kualalumpur. Pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengorganisir seminar tentang kedatangan teknologi video. Pidatonya, “Manajemen Teknologi Video untuk Pembangunan”, menujukkan ketakutan Orba akan suatu hal. Setahun sesudahnya, Orba melarang sementara impor “kaset senonoh” dan materi-materi yang tidak disensor lainnya. Pemerintah memiliki banyak alasan untuk cemas. Teknologi video memungkinkan sirkulasi gambar dan informasi halhal yang disensor seperti pornografi, film kiri, dan video game. Dalam sudut pandang pemerintah Indonesia (bahkan sampai sekarang), mereka tergolong dalam kategori sama. Video protokol, bisa disebut seperti itu, memungkinkan distribusi tak terkendali atas kopian-kopian melalui kamar menonton pribadi, agen distribusi, dan toko kaset (Forum Lenteng:2011), bisa dikendalikan dengan cara searah, monopolistik, penyamarataan dan hegemoni media imperatif pemerintah. Hal ini sama halnya dengan teknologi cetak. Sebelum reformasi politik 1998, orang-orang yang percaya pada sifat auratik dan revolusioner dari karya-karyanya Karl Marx, F. Engels, V.I. Lenin, Rosa Luxembourg atau penulis kiri kita seperti Tan Malaka, D.N. Aidit, atau juga penulis sastra termahsyur layaknya Pramoedya Ananta Toer, berbagi versi fotokopi karya favorit mereka secara sembunyi-sembunyi. Kehadiran teknologi digital pada akhirnya hanya memperkuat praktek pembajakan karya yang telah berlaku. Sejak 1980an, perangkat-perangkat lunak dari yang tidak sah telah didistribusikan secara bebas dengan harga terjangkau di Asia Tenggara (McDaniel 1994:283). Orang pergi ke beberapa pusat perbelanjaan (ITC, International Trade Centers) di Mangga Dua, Jakarta Utara, untuk bisa menjelajahi lantai per lantai demi mencari suku cadang komputer, komputer rakitan, dan software bajakan dari seluruh dunia. Pada awal 2000an ketika video-video musik Indonesia menjadi berskala industri (terima kasih untuk kehadiran TV swasta, termasuk MTV), film-film indie menjadi trend, software bajakan dan komputer rakitan telah membantu seniman video dan pembuat film untuk membuat karya seni mereka. Teknologi Liar sebagai Senjata bagi yang Lemah “Sistem dan teknologi baru tidak hadir ke dunia dalam keadaan utuh. Mereka selalu menjadi suatu kumpulan dari teknologi dan teknis yang sebelumnya hadir” (Giddings and Lister 2011:5). Teknologi merupakan praktik yang memerlukan pemahaman tentang keberadaan manusia dan kekhususan sejarah dan budaya untuk menggambarkan bentuknya yang komplek (Williams 1974). Tidak ada kemajuankemajuan tentang teknologi selama teknologi dipahami sebagai repertoar budaya yang terletak dalam jaringan teknologi dan pertukaran sosial. Seperti halnya yang digambarkan rezim “high-tech” Orde Baru, teknologi tertata, dalam sistem teknis sosial yang lebih besar dimana kekuasaan sangat mengatur. Namun, konsumen selalu menjadi aktor sosial yang memiliki ketrampilan dan kredibilitas untuk mendefinisikan makna budaya teknologi. Penggunaan teknologi dibatasi oleh protokol, tapi selalu ada orang-orang yang 17


“mengakali” keterbatasan ini bahkan memanipulasi dari agenda protokol itu sendiri. Ada banyak cara di mana pengguna teknologi meretas baik bersifat teknis dan sosial teknologi tersebut. Pembajakan adalah salah satu cara. Dalam teks revolusionernya, Walter Benjamin berpendapat bahwa reproduksi mekanis dari suatu karya seni merupakan sesuatu yang baru (1936: 218). Reproduksi mekanis melahirkan kemunculan publik kritis –ketika konsumen mampu untuk mengontol penerimaan mereka. Dalam wacana khusus mengenai teknologi, sifat konsumen pasif sudah dilupakan. Misalnya dalam kasus orang-orang Nigeria, Brian Larkin menunjukkan bahwa teknologi meretas adalah sebuah tindakan korup namun kreatif terhadap infrastruktur teknologi yang telah ada. “Saya melihat pembajakan tidak hanya dalam segi hukum, tetapi sebagai modus infrastruktur yang memfasilitasi pergerakan budaya. Pembajakan bukan hanya saluran netral tapi memaksakan kondisi khusus pada rekaman, transmisi, dan pengambilan data. Dengan cara ini, pembajakan menciptakan estetika, satu set kualitas formal yang menghasilkan pengalaman sensorial media tertentu yang ditandai dengan miskin transmisi, gangguan, dan kebisingan” (14). Untuk kasus Indonesia, Joshua Barker memberikan catatang penting tentang “teknologi meretas” yang disebut Interkom, jaringan komunikasi analog yang populer pada 1980an di Indonesia. Barker berpendapat bahwa berkat statusnya yang kecil dan mandiri, Interkom “memberikan kesempatan pada pengguna untuk merefleksikan dan memanipulasi materi dan kondisi ideologis yang membentuk pengalaman diri, wicara dan sosialita dalam dunia yang dimediasi dengan rapat” (Barker 2008: 127). Kasus lain ditunjukkan oleh Merlyna Lim yang mengelaborasi domestifikasi Internet melalui platform yang disebut “warnet” (warung internet). Lim berpendapat bahwa melalui warnet, interner terlokalisir dan diletakkan dalam kosmologi pemikiran budaya Indonesia. Internet di warnet merupakan ruang publik, tempat pertukaran informasi yang tertanam dalam sejarah panjang jaringan sosial di Indonesia. Dalam konteks ini, praktek “mengakali” tidak menentu dan selalu timbul dari tindakan kesadaran diri untuk melawan atau hanya reaksi terhadap distribusi teknologi dan imaji modern yang tidak adil (Liang 2005). Ini keduanya. Pasca reformasi Indonesia 1998, kemerosotan negara berbau teknologi ala Orba, liberalisasi media, transformasi budaya visual yang cepat dan pergantian situasi politis dan ranah sosial memainkan peranan penting dalam memediasi media baru. Ini membuat hal-hal terdesentralisasi; adopsi teknologi nonnegara. Perkembangan teknologi digital juga memungkinkan pengguna menjadi produser dan konsumer dari teknolgi itu sendiri. Mungkin pada titik ini, OK. Video bisa berfungsi semacam inventoris dari praktikpraktik subversif. Mungkin, saat ini adalah momen bagi OK. Video untuk memberikan ruang dan dokumen bagi mereka yang telah ditinggalkan dari sejarah resmi teknologi. *) Veronika Kusumaryati adalah mahasiswa PhD di Departemen Antropologi dengan bidang sekunder Studi Film dan Visual di Universitas Harvard. Penelitiannya tentang teknologi media dan politik partisipatif di Papua Barat.

18


DAFTAR PUSTAKA

Amir, Sulfikar. 2012. The Technological State in Indonesia: the Co-Constitution of High Technology and Authoritarian Politics. New York: Routledge. Benjamin, Walter. 2008 [1936].The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility and Other Writings on Media. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press. Barker, Joshua.2008. “Playing with publics: Technology, Talk, and Sociability in Indonesia” in Language & Communication 28:127–142 deCerteau, Michel.1984. The Practices of Everyday Life.Steven Rendall (transl.). Berkeley: University of California Press. Giddings, Seth and Martin Lister (ed.). 2011. The New Media and Technocultures Reader. New York: Routledge. Heidegger, Martin. 2002 [1977].The Question Concerning Technology and Other Essays. New York: Garland Pub. Lenteng, Forum. 2009. Videobase: Video, Sosial, Historia. Jakarta: Forum Lenteng. Lim, Merlyna. 2003. “The Internet, Social Networks, and Reform in Indonesia” in In N. Couldry and J. Curran. Contesting Media Power: Alternative Media in A Networked World. Rowan & Littlefield.pp. 273–288. McDaniel, Drew O. 1994. Broadcasting in the Malay World: Radio, Television and Video in Brunei, Indonesia, Malaysia, and Singapore. Norwood, N.J.: Ablex Pub. Nye, David E. 1994. American Technological Sublime. Cambridge, Mass.: MIT Press. Silverstone R. and E. Hirsch, eds. 1992. Consuming Technology. London: Routledge. Williams, Raymond. 1974. Television: Technology and Cultural Form. New York: Schocken Books.

19


MEMBACA TEKNOLOGI INFORMASI KITA Michael Sunggiardi*

Saya selalu merasa bahwa kebiasaan membaca merupakan modal untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi secara baik dan benar. Dengan membaca kita dapat meningkatkan pengetahuan dengan konsisten dan dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi informasi, hal tersebut mungkin dapat membantu kita untuk memilah mana informasi yang baik dan benar. Pada tahun 2012, berdasarkan data yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pengguna jasa internet di Indonesia telah mencapai jumlah 63 juta. Dari data itu dapat diperkirakan 24% dari total populasi manusia di Indonesia, telah mengenal internet. Namun sayangnya, besaran angka ini belum disertai dengan pengetahuan tentang penggunaan teknologi internet dengan benar. Maka, tidak jarang terjadi kesalahan-kesalahan dalam penerapan teknologi informasi dalam masyarakat kita. Misalnya saja, kasus-kasus pelecehan dan penculikan yang kini marak terjadi di media sosial seperti Facebook dan Twitter, bahkan ada satu kasus bunuh diri yang kabarnya akibat dari bullying lewat kicauan Twitter. Kemudahan dalam mengakses informasi juga sering disalahartikan lewat kehadiran berbagai macam berita di media, yang hanya mementingkan kecepatan terbit, tanpa mempertimbangkan kualitas dan kebenaran beritanya. Hal ini menjadi lebih rumit, ketika masyarakat juga enggan untuk melakukan klarifikasi atas kebenaran berita itu. Padahal internet adalah sebuah jagat yang maha luas, yang tentu saja dipenuhi oleh berbagai macam informasi yang harus disaring lagi sesuai dengan kebutuhan yang kita inginkan. Pada posisi inilah, kebiasaan untuk membaca (informasi) menjadi penting untuk dilakukan oleh kita sebagai pengguna internet. Pondasi kebiasaan ini saya pikir akan mendorong penggunaan internet ke arah yang lebih sehat dan lebih baik. Indonesia telah mengenal internet sejak 1988, tepatnya pada tanggal 24 Juni. Berdasarkan catatan Asia Pacific Network Information Centre, alamat protokol internet (IP) pertama dari Indonesia didaftarkan.1Namun, baru di tahun 1990-an, internet mulai diperhitungkan sebagai bagian dari masa depan komunikasi di Indonesia. Pada saat itu komputer sudah cukup dikenal oleh masyarakat—terutama perkotaan—dan walaupun harganya masih mahal, sudah cukup banyak yang memiliki dan mampu menggunakan komputer. Saya yang sejak tahun 1982 memang memiliki usaha toko komputer di daerah Bogor, mampu menjual sampai sekitar 200 juta unit per bulannya. Sebuah tempat penyewaan komputer yang saya buat memiliki pelanggan yang cukup banyakkendati harga sewa per jamnya Rp. 5.000,- yang tentu saja dikarenakan harga perangkat komputer yang masih mahal serta printer masih menjadi barang yang langka. Di tahun 1995, saya mulai membangun jaringan Internet Service Provider (ISP) di Bogor. Kala itu konsep menyewakan komputer untuk mengakses internet sempat terlintas, terutama karena melihat kenyataan banyaknya turis yang masuk ke restoran dimana ISP tersebut berada.2BoNet menyediakan 10 line, dengan kecepatan/speed 19.200 bps dari Jakarta. Namun selama 6 bulan beroperasi, BoNet hanya mendapat 75 orang user. Kondisi ini antara lain disebabkan sering terputusnya (disconnected) saluran telepon, dan 1. Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, alamat protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada tanggal 24 Juni 1988.“24 Juni 1988: Alamat IP Pertama Indonesia 192.41.206/24” SpeedyWiki. Tautan http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/24_ Juni_1988:_Alamat_IP_Pertama_Indonesia_192.41.206/24 2. Tanggal 1 Juli 1995, ISP PT BoNet Utama dibuka di Café Botanicus, di tengah Kebun Raya Bogor. Sekarang namanya berubah menjadi Café Dedaunan.

20


UNDERSTANDING OUR INFORMATION TECHNOLOGY* Michael Sunggiardi*)

I always feel that reading habit is a capital to properly keep up with the development of technology. Through reading, we can consistently increase our knowledge, and in terms of information technology development, it may help us sort out the proper and correct information. In 2012, Based on data issued by Indonesia Internet Service Provider Association (APJII - Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet, ind.), internet users in Indonesia have reached 63 million. From the data, it can be estimated that 24% from total of Indonesian population is familiar with the internet. However, the number is yet accompanied by the knowledge on proper use of internet technology. Hence, errors aren’t uncommon in the application of information technology within our society. For example, cases of harassment and abduction rampant in social media such as Facebook and Twitter, there was even a suicide case reportedly caused by Twitter bullying. Easy access to information often causes misinterpretation through various news in the media that only cares about quick publication without considering the news quality and truth. It becomes more complicated as the society is reluctant to clarify the news. Whereas internet is a vast universe, which of course is filled with various kinds of information that should be filtered based on our needs. At this position, the habit to read (information) becomes important for us as internet user. I think this habitual foundation will lead us to a healthy and better use of internet. Indonesia has been familiar with internet use in colleges since 1988, precisely on June 24. Based on Asia Pacific Network Information Centre data, the first Internet Protocol (IP) address in Indonesia was then registered.1 However, it wasn’t until the 1990s the Internet began to be taken into account as part of the future of communication in Indonesia. At the time computer was already familiar in the society—especially the urban community—and despite of the expensive price, many people had owned and were able to operate a computer. I, who since 1982 had owned a computer shop in Bogor, was able to sell to approximately 200 million computer units per month. A computer rental that I made had a lot of customers, despite the rental price was IDR 5000/hour, which of course was because computers were still expensive and printers were still a rare item. In 1995, I began to build an Internet Service Provider (ISP) network in Bogor. At the time, the concept to hire out a computer with internet access had come to mind, especially because I was seeing the fact that many tourists went to restaurant where that ISP was located. 2 BoNet supplied 10 lines, with the speed of 19.200 bps from Jakarta. Yet, for six months of its operation BoNet only had 75 users. This was caused by frequent disconnected phone line and the lack of internet knowledge by public in Bogor. Only those who had studied abroad were aware about the internet. Finally, they decided to introduce internet to the society by organizing seminars about the internet nearly every month, sometimes inviting people from research institutes to present explanations about the internet. In order to facilitate broader community, in 1997 I moved the ISP into Pajajaran area. Back then, having bandwidth and internet access was very luxurious, because to buy 1. Based on whois ARIN and APNIC notes, the first IP address in Indonesia: UI-NETLAB (192.41.206/24) was registered by Indonesia University at June 24, 1988. “24 Juni 1988: Alamat IP Pertama Indonesia 192.41.206/24” SpeedyWiki. Link http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/24_Juni_1988:_Alamat_IP_Pertama_ Indonesia_192.41.206/24 2. On July 1, 1995, ISP PT BoNet Utama was opened in Café Botanicus, in the middle of Bogor Botanical Gardens. Right now the name of the café is Café Dedaunan.

21


masih kurangnya pengetahuan masyarakat Bogor tentang internet. Hanya mereka yang pernah studi di luar negeri yang tahu. Akhirnya mereka memutuskan untuk memperkenalkan internet ke masyarakat, dengan mengadakan seminar tentang internet hampir setiap bulan, dan kadang mereka juga mengundang orang-orang dari lembaga penelitian untuk memberi penjelasan tentang internet. Agar memudahkan akses masyarakat yang lebih luas, pada tahun 1997, saya memindahkan ISP tersebut ke daerah Pajajaran. Pada saat itu, memiliki bandwidth dan akses internet merupakan hal yang sangat mewah karena untuk membeli bandwith keluar negeri, harus merogoh kantong sebesar USD 10.000/Mbps —bandingkan sekarang hanya USD 150/Mbps. Sedangkan untuk akses Jakarta-Bogor harus membayar 40 juta Rupiah dengan kecepatan 1 Mbps —saat ini biaya untuk 100 Mbps hanya sekitar 50 juta. Akibat hal tersebut dapat dibayangkan betapa bingungnya untuk melayani kehadiran warung-warung internet3 yang jumlahnya mencapai 400 titik di Bogor. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan ini, sayangnya tidak dibarengi dengan inisiatif dari pemerintah selaku pemegang kekuasaan. Malah pada saat itu, pemerintah seperti belum ada persiapan apa-apa. Sehingga akhirnya, saya dan beberapa pelaku lain memutuskan untuk jalan sendiri. Kepedulian saya pada saat itu adalah bagaimana caranya agar banyak orang menjadi lebih paham atas penggunaan internet. Dari pengalaman membuat warnet BoNet, yang saat itu hanya mendapat 75 orang user, ternyata sebagian besar masyarakat di Bogor sangat kekurangan pengetahuan akan teknologi internet. Bahkan hanya mereka yang pernah sekolah di luar negeri yang tahu dan mengerti akan teknologi ini.Dari situ saya kemudian tahu bahwa teknologi dan demand dari masyarakat tidak berjalan linier. Akhirnya pada 1999, saya memutuskan untuk ‘keluar’ dari Bogor dan membuat serangkaian workshop dan seminar di seluruh Indonesia bersama Onno W. Purbo. Upaya saya saat itu sangat beralasan, sebab Indonesia, yang mungkin pada saat itu masyarakatnya masih belajar baca-tulis, sudah diserang oleh kemajuan teknologi yang amat cepat, namun tidak segera ditangani infrastrukturnya oleh pemerintah. Jurang perbedaan antara kemajuan pengetahuan dengan kesiapan infrastruktur inilah yang menyebabkan masyarakat Indonesia belum mampu menyerap teknologi dengan baik. Sejak boom digital di tahun 2000, masyarakat kita hanya sekedar menjadi pengguna dan bukan produsen. Jika dibandingkan dengan presentasi populasi penduduk, mungkin hanya 3-5% saja yang mampu memanfaatkan perkembangan teknologi dengan serius. Presentasi angka ini mungkin bisa saja diperdebatkan, namun jika kita melihat lingkungan di sekitar kita akan ada kenyataan yang mengejutkan mengenai hal ini. Misalnya saja, Selain contoh Facebook dan Twitter tadi, kita dapat melihat —juga pada diri kita sendiri— berapa banyak dari kita yang memiliki smartphone? Dan berapa banyak aplikasi yang kita ‘kuasai’ di dalamnya, selain untuk telepon, kamera, multimedia dan pesan singkat? Kenyataan ini sendiri merupakan ironi, karena di tengah maraknya penyebaran smartphone, kita masih memiliki masalah dengan pembajakan software. Anda bisa berargumen, bahwa soal pembajakan ini juga berlaku sama di luar negeri, tapi harus diperhatikan bahwa yang melakukan ini hanya sedikit dan sifatnya pun saling berbagi. Bandingkan dengan kenyataan disini, dimana software tersebut diperdagangkan. Persoalan pembajakan ini sebetulnya sudah bisa ditangani dengan menggunakan open source, namun dari komunitas-komunitas yang ada pun, belum ada kemajuan signifikan karena lagi-lagi, kebanyakan hanya menjadi pengguna. Walaupun banyak nama orang Indonesia yang beredar di dunia Open Source yang kiprahnya perlu dipertimbangkan, tapi orangnya hanya itu-itu saja, sementara yang mau mengajarkan dan mengerti dengan baik tentang open source masih sangat terbatas. Dari puluhan hacker yang saya didik, hanya sedikit yang sampai saat ini masih aktif dan ‘rajin bergerilya’ dengan beberapa ‘old soldier’ seperti Budi Rahardjo (ITB), Made Wayan (Gunadarma) dan RM Samik-Ibrahim (UI). Kemudian berkaitan dengan inisiatif warga untuk ‘menyiasati’ kemajuan teknologi ini, sebetulnya sudah banyak program yang dilakukan. Misalnya ketika, konsep ‘merakit komputer sendiri’ masih belum populer, saya sudah menggagasnya. Malah pada 1999, dalam sebuah acara bertajuk Arisan Informasi (ARTI), saya memperlihatkan video yang menunjukkan bahwa merakit komputer itu dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh cewek-cewek BoNet yang kuku jarinya masih menggunakan cutex! Kemudian pada 2009, bersama dengan International Telecommunication Union (ITU) —sebuah organisasi internasional yang didirikan PBB untuk membakukan dan meregulasi radio internasional dan telekomunikasi— dan Kementrian Informasi dan Komunikasi, melakukan proyek untuk membangun 6900 Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK) dan 2000 Mobile PLIK yang dapat memberikan akses internet dengan menggunakan teknologi satelit.

3. Istilah ‘warung internet’ saya gunakan untuk mengganti kata ‘café’ yang berkesan terlalu elit. Dengan nama warung tersebut, saya berharap dapat lebih menarik perhatian masyarakat dari kalangan manapun.

22


bandwidth overseas we had to pay USD 10.000 per one-megabyte - compares with now, which is only USD 150/Mbps. While for the Jakarta-Bogor access we had to pay IDR 40 million only for one Mbps - currently 100 Mbps is only around IDR 50 million. Thus it could be imagined how bewildering it was to serve warung internet3 (internet cafes) that reached up to nearly 400 points in Bogor. The difficulties to fulfill the needs unfortunately were not answered by any initiatives from the government as the authority. In fact, at the time there were no preparations from the government. Finally, I and several other individuals decided to do it our way. My concern was how to make more people understand the use of internet. Based from the experience in building BoNet internet cafe , which at the time only had 75 users, I knew that most people in Bogor hadn’t fully understand the use of internet. Even only people who had studied abroad who knew and understood this technology. From this point I leaned how the technology and society’s demand are not going on a linear line. Finally, in 1999, I decided to ‘leave’ Bogor and made a series of workshops and seminars all over Indonesia together with Onno W. Purbo. My effort at that time was very reasonable, because Indonesia, whose people were still grasping with illiteracy, were being attacked by the rapid advances of technology, yet the infrastructures were not being immediately addressed by the government. This gap between the progress of technology and infrastructure readiness is what cause Indonesians’ inability to absorb technology properly. Since the digital boom in 2000, our people had only become consumers and not the producers. If we compare the population percentage, perhaps only 3 - 5% of all population who can seriously utilize technology advancements. The percentages can be argued, but if we looked around we can see surprising facts about this. For instance, besides the previous Facebook and Twitter example, we could observe—also to ourselves— how many of us own a smartphone? And how many application we “master” in it, aside for telephoning, camera, multimedia and short text messages? The reality itself is an irony since in the midst of smartphones distribution we are still having issues with software piracy. You could that piracy issues also happen in other countries, but to bring to mind only few who did it and the nature is sharing. Compare it to the reality here, where the soft wares are on trade. Piracy issues can actually be dealt with using open source, however, even the existing communities never show a significant progress because once again mostly became merely consumers. Despite that there are many Indonesian names that can be found in the Open Source world, there hasn’t been any new names, while those who are willing to teach and have better understanding about open source is still very limited. From the dozens of hackers I educate, only a few are still active and ‘in active guerrilla’ with the ‘old soldiers’ like Budi Raharjo (ITB), Made Wayang (Gunadarma) and RM Samik-Ibrahim (UI). Related to the community initiatives to deal with this technology advancement, actually a lot of programs were already done. When ‘assemble your own computer’ was not popular, I already had that idea. As a matter of fact in 1999, during an event titled Arisan Informasi (ARTI - Information Gathering), I already screened a video that assembling a computer can be done by anyone, even by BoNet girls whose nails were polished! Later in 2009, along with the International Telecommunication Union (ITU) - an international organization founded by United Nations to standardize and regulate international radio and telecommunication - and the Ministry of Information and Communication, ran a project to build 6900 Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK; Internet Service Center District) and 2000 Mobile PLIK that could provide internet access using satellite technology.

* Information technology, especially internet, has become part of our culture today. The most significant influences is of course the convenience to get, to see, to read, to watch, and to access millions of information of various subjects that in the past might be difficult to seek. Unfortunately only a few people are having willing to use, to pay attention, and to share their knowledge. Some who are now experts and able to utilize the technology sometimes only want to do their own way and become arrogant. Technology advancement itself is no longer balanced with a good basic education system, that often there are ‘deviation’ of technology that might harm others and even one. We also continue to attach technology as a mere complementary for the modern lifestyle, not as a form of culture that needs to be addressed wisely and met with a careful preparation. The government certainly must prepare the facilities and infrastructures that are able to support the technology advancement in the right direction, so the society can harness the entire potential of this 3. I used ‘warung internet’ to replace ‘café’, which is too high-class. With the name warung, I hoped it can attract people from all over classes.

23


Teknologi informasi, terutama internet memang telah menjadi bagian dari kebudayaan kita saat ini. Pengaruh yang paling signifikan tentunya kemudahan kita untuk mendapatkan,melihat, membaca, menonton, dan mengakses jutaan informasi dari berbagai macam hal yang pada jaman dulu mungkin sangat sulit untuk dicari. Namun sayang masih sangat sedikit yang mau memanfaatkan, memperhatikan, dan membagikan ilmunya. Beberapa yang sudah ahli dan mampu memanfaatkan teknologi malah terkadang hanya mau jalan sendiri dan menjadi bersifat arogan. Perkembangan teknologi itu sendiri tidak diimbangi dengan sistem pendidikan dasar yang baik, hingga sering terjadi ‘penyimpangan’ teknologi yang mungkin dapat merugikan pihak lain dan diri sendiri. Kita juga masih sekedar menempelkan teknologi sebagai bagian dari gaya hidup moderen semata, bukan sebagai sebuah bentuk kebudayaan yang harus disikapi dengan bijak dan disambut dengan persiapan yang matang. Pemerintah tentu harus menyiapkan sarana dan prasarana yang mampu mendukung perkembangan teknologi ini ke arah yang benar, sehingga masyarakat pun dapat memanfaatkan seluruh potensi dari teknologi dengan sebesar-besarnya. Namun, sebagai masyarakat, kita pun tidak boleh tinggal diam dan menunggu tangan penguasa saja. Kita harus berjuang untuk dapat mengembangkan kemampuan sendiri dan kemudian jangan sungkan untuk membaginya dengan orang lain. Walaupun belum tentu menyelesaikan masalah dengan tuntas, paling tidak kita dapat memahami teknologi dengan benar, dan semua hal itu, mungkin saja dimulai dengan satu hal. Membaca. *) Michael Sunggiardi, lahir pada 1959, adalah seorang praktisi Teknologi Informasi di Indonesia. Pada tahun 1995, ia mendirikan warnet pertama di Indonesia. Michael juga banyak melakukan keliling ke kota-kota untuk memberikan pendidikan mengenai internet bagi warga. Kini ia masih aktif mengajar di Universitas Trisakti serta menjadi Konsultan Teknologi bagi Korlantas Polri.

24


technology. Yet, as the community, we also must not just stay put and waiting for the hands of the authority. We must struggle to develop our own abilities and later to not shy away from sharing it with others. Although this might not completely solve the issues, at least we can better understand technology, and all of these just might start with one thing. Reading. *) Michael Sunggiardi, born in 1959, is a practitioner of Information Technology in Indonesia. In 1995, he founded the first Internet Cafe in Indonesia. Michael is also doing a lot of traveling to many cities to provide education about the internet for citizens. Currently he is still actively teaching at the University of Trisakti as well as Technology Consultant for Korlantas POLRI. *)Translated by Mirna Adzania

25




CURATORS OK. Video Irma Chantily lahir di Jakarta, 1985. Ia adalah penikmat fotografi, meski sama sekali bukan fotografer. Ia beberapa kali menulis tentang fotografi di media massa cetak dan online serta terlibat dalam produksi pameran foto atau seni rupa—baik sebagai kepala proyek, kurator, asisten kurator, penulis atau pun editor. Walau belum cukup sering atau pun mahir, Irma juga gemar melibatkan diri pada beberapa proyek penelitian fotografi Indonesia. Bersama dua rekannya, ia membuat www.sejarahfoto.com, sebuah inisiatif untuk mencoba memetakan sejarah fotografi Indonesia. Pada 2011, Irma bergabung dengan Komunitas Salihara dan satu tahun kemudian ia menjadi manajer arsip dan dokumentasi—sambil terkadang tetap memenuhi panggilan untuk menjadi pengajar lepas di Program Studi Fotografi, Institut Kesenian Jakarta

Julia Sarisetiati lahir di Jakarta, 1981. Setelah menamatkan pendidikan di Jurusan Fotografi di Universitas Trisakti, Jakarta, ia aktif terlibat dalam berbagai proyek seni di ruangrupa. Sejak 2008 hingga 2011, ia menjadi manajer ruangrupa, dan setelah itu tergabung dalam komite artistik RURU Corps http://www.rurucorps. com, sebuah biro komunikasi visual yang didirikan oleh ruangrupa, Serrum, dan forum Lenteng. Di samping bekerja sebagai fotografer lepas dan berkarya dengan medium fotografi, ia kerap mengembangkan praktik artistiknya ke wilayah lain yang berpijak pada riset dan kolaborasi lintas disiplin. Pameran terakhir yang dikuratori olehnya adalah Sugar Town. Inc, sebuah proyek kerjasama antara ruangrupa dan Noorderlicht.

Rizki Lazuardi lahir di Semarang, 1982. Ia menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Komunikasi Massa, FISIP Universitas Diponegoro pada 2007. Di samping menyelesaikan studi formal tersebut, di tahun yang sama Rizki juga mendapatkan fellowship dari Yayasan Kelola, dan kemudian Berlinale Talent Campus for Visual Art di Jerman pada 2009. Selain bekerja untuk Goethe-Institute Jakarta, dirinya juga aktif terlibat baik sebagai kurator/programmer ataupun seniman dalam berbagai festival film-video di Indonesia dan luar negeri. Proyek terakhirnya adalah Dear Curator, Curate Me di Selasar Sunaryo Art Space Bandung pada awal 2013. Dalam proyek ini, Rizki mencoba mengkaji kembali pola hubungan yang jamak muncul dalam praktek kuratorial, pameran, dan pengarsipan karya video.

MEDIA/ART KITCHEN Ade Darmawan, lahir di Jakarta, 1974. Ia aktif berkarya sebagai perupa dengan karya mulai dari instalasi, obyek, cetak digital, hingga seni rupa publik. Ade belajar di Insitut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, di Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1997, ia melangsungkan pameran tunggal pertamanya di Cemeti Contemporary Art Gallery. Setahun setelahnya, Ade menetap di Amsterdam, Belanda selama dua tahun mengikuti program residensi di Rijksakademie Van Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa, Belanda). Pada 2000, bersama dengan lima orang seniman muda dari Jakarta, ia mendirikan ruangrupa, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada seni rupa dan kaitannya dengan konteks budaya sosial terutama dalam lingkungan perkotaan. Dari 2006 - 2009 ia menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, dan pada 2009 ia menjadi Direktur Artistik Jakarta Biennale XIII-ARENA. Sekarang ia tinggal dan bergiat di Jakarta sebagai perupa, Direktur ruangrupa, dan Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2013.

M. Sigit Budi. S, lahir di Jakarta pada 1983. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta. Pada 2006, Sigit turut membidani lahirnya Serrum (www.serrum.org) sebuah komunitas seni rupa, yang membuat beberapa program seperti Propagraphic Movement and Project. Ia bergabung di ruangrupa sebagai Koordinator Pameran di RURU Gallery, menjadi seniman dan Koordinator Artistik di Jakarta 32°C (Bienalle Pelajar dan Mahasiswa) dan bertindak sebagai Kurator di Grafis Huru-Hara. Pada 2008, ia menjadi 28


Irma Chantily was born in Jakarta, 1985. She is a connoisseur of photography, although she’s not really a photographer. She has been writing about photography both online and printed media, and also participated in photography and visual art exhibition—as of the head of the project, assistant curator, curator, author, and editor. Although she didn’t quite often nor adept, Irma is constantly dabble in some research project photography Indonesia. Along with two of her friends, she initiated www.sejarahfoto.com, an initiative who tries to map the history of photography indonesia. In 2011, Irma joined Komunitas Salihara. One year later, she became manager of archive and documentation while sometimes still fulfill the call to become a freelance lecturer for Photography study program, Institut Kesenian Jakarta.

Julia Sarisetiati, was born in Jakarta, 1981. After graduating her study at Department of Photography, Trisakti University, Jakarta, she has been involved in many art projects of ruangrupa. Since 2008 until 2011, she became the manager of ruangrupa. After that, Sari joined RURU Corps (www.rurucorps.com), a visual communication bureau established by ruangrupa, Serrum, and Forum Lenteng, as Artistic Committee. She’s also a photographer and often makes art using photo as the medium, and continues to develop her artistic practice to other fields of study, which based on research and multidiscipline collaboration. She recently became the curator for Sugar Town Inc., a collaboration between ruangrupa and Noorderlicht.

Rizki Lazuardi was born in Semarang, 1982. He finished his study on Department of Mass Communication, Diponegoro University on 2007. While completing the formal study, in the same year Rizki also received fellowship from Yayasan Kelola, and then Berlinale Talent Campus for Visual Art in Germany at 2009. Currently, beside working at Goethe-Institute Jakarta, he is also actively engaged either as curator/ programmer or artist in various festival film-video in Indonesia and abroad. His recent project was Dear Curator Curate Me at Selasar Sunaryo Art Space Bandung, early 2013. In this project, Rizki was trying to reassess relationship pattern which appears in many practice of curatorial, exhibition, and video archiving.

Ade Darmawan, was born in Jakarta, 1974. He has been actively working as visual artist with works range from installations, objects, digital print and public art. He studied at Indonesia Art Institute (I.S.I), in Graphic Art Department. A year after His first solo exhibition in 1997 at the Cemeti Contemporary Art Gallery, Yogyakarta (now Cemeti Art House), he stay in Amsterdam, Netherlands for two years residency at the Rijksakademie Van Beeldende Kunsten (State Academy of Fine Arts, Netherlands). In 2000, with five other artists from Jakarta he founded ruangrupa. A non-profit organization, which focuses in visual arts and its relation with the social cultural context especially in urban environment. From 2006-2009 he was a member of Jakarta Arts Council, and in 2009 he became the artistic director of Jakarta Biennale XIIIARENA. Now he lives and works in Jakarta as an artist, Director of ruangrupa, and Executive Director of Jakarta Biennale 2013.

M. Sigit Budi S, was born in Jakarta, 1983. He graduated in art major at Universitas Negeri Jakarta, and established an art community called Serrum (serrum.org) in 2006 until now, with programs such as Propagraphic-Movement and Project_or. He later joined ruangrupa as Exhibition Coordinator for RURU Gallery, taking part in the Artistic Team for Jakarta 32°C (student’s biennale), Curator for Grafis Huru-Hara (Print-making group from Jakarta). In 2008 he became finalist in Indonesia Art Award and did a residency at H.O.N.F Yogyakarta. Sigit became an Assistant Currator for Jakarta Biennale, Coordinator Exhibition for 29


finalis dari Indonesia Art Award serta mengikuti residensi di H.O.N.F Yogyakarta. Sigit menjadi Asisten Kurator pada Jakarta Biennale 2009, selain itu ia juga menjadi koordinator pameran untuk OK. Video Comedy dan mengikuti lokakarya penulisan seni rupa yang diselenggarakan oleh www.jarakpandang.net. Pada 2011, ia mengikuti residensi di Jatiwangi Art Factory (JAF) untuk karya videonya.

VIDEO ART & PUBLIC PROGRAM Solange Oliveira Farkas adalah seorang kurator yang telah berkarir selama 25 tahun di dunia seni rupa Internasional. Ia merupakan penggagas International Contemporary Art Festival SESC_Videobrasil, serta menyelenggarakan berbagai pameran seni rupa yang cukup penting di Brasil dan sekitarnya. Antara 2007 dan 2010, ia menjabat sebagai Direktur dan Kurator Kepala dari Museum of Modern Art of Bahia. Pada 2004, Farkas mendapatkan penghargaan dari Sergio Motta Hors Concours Award. Ia juga menjadi salah satu anggota juri dari Nam June Paik Award di Jerman.

Arjon Dunnewind, lahir di Ommen, Belanda, pada 1967. Menempuh pendidikan di Utrecht School of Arts. Pada 1988, ia menyelenggarakan Impakt Festival pertama dan pada 1993 dia mendirikan Impakt Foundation. Sepanjang 1990-an, menjadi kurator serta menyelenggarakan program dan presentasi bagi seniman dan pembuat film internasional, proyek yang nantinya berkembang menjadi Impakt Event. Dari 1994 sampai 1997, ia menjadi produser KabelKunst dan Vizir, dua seri televisi tentang seni video dan film eksperimental. Pada 2000, ia memulai program Impakt Online, sebuah proyek yang bertujuan untuk mengembangkan internet sebagai platform dalam mempresentasikan siaran video dan proyek seni interaktif. Pada 2005 ia membuat Impakt Works yang memfasilitasi seniman dengan medium video, media digital, dan teknologi baru untuk membuat karya-karya baru. Arjon juga bekerja sebagai penasihat untuk beberapa organisasi kesenian seperti, The Dutch Film Fund, The Dutch Mediafonds & Fonds BKVB. Ia juga secara rutin memberikan kuliah tamu di beberapa akademi dan universitas seni serta berpartisipasi sebagai juri dalam berbagai festival dan kompetisi seni.

Kristi Maya Dewi Mofries berasal dari Melbourne, Australia yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Ia adalah kurator independen untuk seni rupa, musik eksperimental dan film. Gelar Bachelor of Arts dibidang fotografi didapat di Grad Dip dalam Media Studies, Royal Melbourne Institute of Technology, Australia. Dia telah menjadi kurator sejumlah pameran internasional di antaranya; Contemporary Photography from Indonesia: Mes 56, Centre for Contemporary Photography, Melbourne, Australia; Piece by Piece, ROOM Galerij, Rotterdam, Belanda; Southern: A Show of 10 Australian Artists, HOME Gallery, Prague, Republik Ceko; Out of the Vault, pemutaran film 16mm dari arsip film ACMI, Clubs Projects, Melbourne, Australia; dan Tropis///Subsonics Festival, festival musik eksperimental, Yogyakarta.

Arie Syarifuddin, dikenal juga sebagai Alghorie. Lahir di Jatiwangi, Jawa Barat, Indonesia pada 1985. Tinggal dan bekerja di Jatiwangi dan Jakarta, Indonesia. Sejak 2006 aktif mengikuti banyak kegiatan seni kontemporer baik lokal maupun internasional, seperti festival, pameran, lokakarya, video, musik, performans, penelitian, dan sebagainya. Saat ini, selain menjadi direktur Jaf Air dan tim kreatif desain di Studio Ahmett Salina, ia juga menjalankan proyek seni kulinernya, berjudul Makanan Adalah Bahasa Persatuan. Benny Wicaksono adalah seniman suara dan visual, illustrator, desainer grafis, dan peneliti media independen. Pendiri VIDEO:WRK – Surabaya International Video Festival ini juga salah seorang pendiri ELECTRO:WORK! – Festival Musik Elektronik. Ia aktif berpameran di dalam dan luar negeri di sela waktunya menjadi pembicara dan pemateri untuk sejumlah kuliah tamu dan lokakarya seni media di berbagai kampus di Surabaya. Saat ini ia sedang aktif membangun intitusi independennya, WAFT-Lab.

30


OK. Video COMEDY, and join the writing visual art workshop for jarakpandang.net in 2009. In 2011, he did another residency at Jatiwangi Art Factory (2011) for his video works.

Solange Oliveira Farkas is an art curator with an international career spanning twenty-five years. She has created the International Contemporary Art Festival SESC_Videobrasil, a reference for the art production of the Southern regions od the world. She has also organized a number of important exhibitions both in Brazil and abroad. Between 2007 and 2010, she served as Director and Chief Curator of the Museum of Modern Art of Bahia. Farkas is also winner of the Sergio Motta Hors Concours Award (2004), jury member for the Nam June Paik Award in Germany, board member at Escola São Paulo.

Arjon Dunnewind born in Ommen, The Netherlands, 1967. Studied at the Utrecht School of Arts. In 1988 he was co-organizer of the first Impakt Festival and in 1993 he established the Impakt Foundation. In the 1990’s he curated and organized presentations and touring programs for international artists and filmmakers, projects that would develop into the Impakt Events and become a regular part in the Impakt Foundations program. From 1994 till 1997 he produced KabelKunst and Vizir, two TV-series about video art and experimental film. In the early 2000’s he started Impakt Online, a project aimed at developing the internet as a platform for the presentation of interactive art projects and streaming video. In 2005 he started a residency programme called Impakt Works where international artists working with video, digital media and new technologies are supported and facilitated to make new work. He worked as an Advisor for the Dutch Film Fund, department Research & Development, from 1996 until 2000 and for the Dutch Mediafonds & Fonds BKVB, department Innovative Music Video, from 2009 to 2012. He regularly gives guest lectures at art academies and universities and participates in juries for festivals and art-prizes.

Kristi Maya Dewi Mofries originally from Melbourne, Australia but now living in Yogyakarta, Indonesia. Kristi Monfries is an independent curator of visual arts, experimental music and film. She has a BA in Photography and a Grad Dip in Media Studies majoring in video from Royal Melbourne Institute of Technology, Melbourne, Australia. She has curated many international shows which include: Contemporary Photography from Indonesia: Mes 56, Centre for Contemporary Photography, Melbourne, Australia; Melbourne: Piece by Piece, ROOM Galerij, Rotterdam, The Netherlands; Southern: A Show of 10 Australian Artists, HOME Gallery, Prague, Czech Republic; Out of the Vault, 16mm film screenings from the ACMI film archive, Clubs Projects, Melbourne, Australia; Tropis///Subsonics Festival, experimental music festival, Yogyakarta, Indonesia. Arie Syarifuddin, well known as Alghorie. Born in Jatiwangi, West Java, Indonesia on 1985. Lives and works in Jatiwangi and Jakarta, Indonesia. Since 2006 actively involved in many local and international contemporary art activities, such as festival, exhibition, workshop, video, music, performance, research, etc. Currently, aside from being director in Jaf Air and creative design team in Ahmett Salina studio, i also run my own culinary art project, named Makanan Adalah Bahasa Persatuan. (Food is the Unity Languange).

Benny Wicaksono is a sound and visual artist, illustrator, graphic designer, and independent media researcher. Founder of VIDEO:WRK – Surabaya International Video Festival and also founder of ELECTRO:WORK! – Electronic Music Festival. He has been actively exhibited in Indonesia and abroad while on the sidelines become a speaker and presenter for a number of guest lecture and media art workshop on variety campus in Surabaya. He is currently active developing his independent institution, WAFT-Lab.

31


SELINTAS CERITA DI BALIK KURASI “Kini ilmuwan bisa bikin karya seni, pelajar bisa bikin karya seni, ibu rumah tangga bisa bikin karya seni, dan seniman juga bikin karya seni. Lantas bagaimana posisi seniman di tengah medan serupa ini?” Sejujurnya, proses kurasi yang kami lalui memang kental dengan perasaan gundah, bersemangat, dan mabuk visual sekaligus. Bagai menyibak gelombang, kami teliti tiap elemen yang membentuk sebuah karya. Jika saban dua tahun sekali sejak 2003 Galeri Nasional sudah hiruk-pikuk karena OK Video, kali ini giliran otak kami yang hiruk-pikuk karena perdebatan, diskusi dan pembelajaran selama menyiapkan kegiatan yang sama. Dalam hal perkembangan teknologi media, kami menyadari tahun-tahun belakangan ini bisa diamati layaknya kurva yang menuju salah satu titik tertingginya. Kurva itu juga sudah tentu punya dampak bagi lansekap seni dan budaya yang kami geluti. Semakin cepat perkembangan teknologi media, semakin teruji pula kemampuan publik beradaptasi. Alhasil, desentralisasi produksi informasi dan pengetahuan, serta perubahan sifat distribusi dan konsumsi tidak lagi jadi sesuatu yang asing. Internet, sebagai sebagai salah satu buah perkembangan teknologi media, turut melanggengkan pola-pola baru ini. Posisi para pengguna yang semula adalah konsumen pasif kini berevolusi menjadi penyedia konten informasi dan pengetahuan. Di bidang media massa misalnya, kita bisa melihat maraknya praktik citizen journalism1. Industri musik juga berusaha keras beradaptasi dengan dunia virtual dan dampaknya bagi hak cipta, hak kepemilikan, hak distribusi, dan lain sebagainya. Dalam lingkup terluasnya, internet dan demokratisasi media telah mengubah cara kita menghadapi realitas dalam tataran kehidupan sehari-hari. Tentunya kehadiran media baru ini juga dirayakan para seniman—banyak dari mereka yang getol bergelut dengan medium baru yang batas kemungkinan eksplorasinya masih tak terjangkau serta mengaplikasikan penjelajahan tersebut dalam karya-karya mereka. Perkembangan teknologi media memang membuka berbagai kemungkinan baru dalam kancah seni. Bagaimana pun, seni rupa sebagai institusi dengan segala konvensinya bisa mendapatkan mitos magis dan persepsi auratik2 karena akses medium yang terbatas pada segelintir seniman. Zaman sekarang, beragam pilihan medium bisa diakses dengan mudah oleh siapa pun. Bisa jadi mitos-mitos seni rupa mulai berguguran ketika fotografi ditemukan pada 1839 dan ditegaskan pula oleh urinal legendaris karya “R. Mutt” atau seniman Dada, Marcel Duchamp3. Hingga kini, kurva itu terus bergerak naik. Kemudian terjadilah sebuah perayaan. Kita semua, baik seniman atau bukan, merayakan demokratisasi teknologi dengan berlomba-lomba menciptakan karya seni, membuat beragam proyek, berkolaborasi dengan orang-orang dari lintas disiplin dengan menggunakan semua teknologi yang telah tersedia di ujung jemari. Tak berhenti di persoalan produksi, kita juga memastikan segala yang kita kerjakan bisa tersampaikan ke khalayak secepat dan seluas mungkin dengan menggunakan kanal-kanal populer. Penyebaran informasi tak lagi terbendung. Eksplorasi medium menjadi tak habis-habis. Begitu banyak realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya yang bisa dikomentari dan diwacanakan lewat teknologi-teknologi baru ini.

1. Wally Hughes,”Citizen Journalism: Historical Roots and Contemporary Challenges”, Western Kentucky University. 2011. 2. Walter Benjamin, The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, 1935. 3. Marcel Duchamp adalah seniman yang kerap diasosiasikan dengan gerakan Dadaisme. Pada 1917, ia menyertakan sebuah urinal yang diberi judul “Fountain” sebagai salah satu karya untuk dipamerkan di Society of Independent Artist. “Fountain” adalah bentuk kritik Duchamp atas konvensi, tradisi serta institusi seni rupa. Tak ayal tindakannya kemudian memicu beragam reaksi dan membuahkan kontroversi di kalangan seni rupa ketika itu.

32


CURATORIAL STORY AT A GLANCE* “These days scientists can make art, students can make art, homemakers can make art, and artists too make art. So where does an artist stand in the midst of all this?” Frankly, this curatorial process was at once nauseating, spirited, and a visual overkill for us. Like turning waves, we delved into every element that make an art work. Every other year since 2003 the Indonesian National Gallery clamored thanks to OK Video, there is now a tumult in our heads from debates, discussions and learning as we prepared for the same event this year. Seeing the evolution of media technology in recent years, it became apparent to us that it follows a certain trajectory akin to a curve approaching an apex. This curve most certainly impacts the artistic and cultural landscape that we inhabit. As its evolution accelerates, media technology continues to test the public’s ability to adapt. As a result, decentralization of information and knowledge production, as well as the changing nature of distribution and consumption, is no longer alien to us. The internet, a fruit of media technology development, has contributed to perpetuating these new patterns. The users, initially mere passive consumers, have now evolved into content and knowledge providers themselves. In mass media, for instance, one can see the proliferation of citizen journalism1. The music industry is also trying hard to cope with the virtual realm, with its collateral ramifications on copyrights, intellectual property, distribution rights, et cetera. In its widest context, the internet and democratization of media has profoundly changed the way we face the day-to-day reality. Certainly, new media is also celebrated by artists – many immerse themselves in such new mediums with boundless possibilities for exploration and apply it to their art. Indeed, the evolution of media technology has opened new possibilities in art. Art as an institution with all its conventions may have been perceived with a certain mythical aura2 because access to its mediums has been limited to a select few artists. Today, there is a wide range of mediums that can easily be accessed by just about anyone. The myths of art may have been falling since photography was invented in 1839, reaffirmed again by the legendary urinal created by R. Mutt or the Dadaist Marcel Duchamp.3 Yet the curve continues to move up. Then celebrations take place. All of us, artist or otherwise, celebrate this technological democratization in a whirlwind of art making, creating projects, collaborating with people across disciplines using all sorts of technological means at our disposal. It does not stop at production – we must also ensure that all that we have produced can be communicated to the public at large as fast as wide as possible using all popular channels. Information reins free. Possibilities are endless for medium exploration. So much of social, political, economic and cultural realities can be 1. Wally Hughes,”Citizen Journalism: Historical Roots and Contemporary Challenges”, Western Kentucky University. 2011. 2. Walter Benjamin, The Work of Art in the Age og Mechanical Reproduction, 1935. 3. Marchel Duchamp is an artist who always associated with Dadaism. He encloses an urinoir entitled “Fountain” to be exhibited at Society of Independent Artist, 1917. “Fountain” is Duchamp criticism toward a convention, tradition, and institution of art. His action trigerred pros and contras in art audience at that time.

33


Dampak lain yang bisa dicatat adalah semakin cerdas dan kritisnya publik; sadar bahwa pengetahuan yang diproduksi oleh beragam pihak atau institusi tidaklah obyektif. Mereka adalah narasi-narasi yang dapat dipahami melalui perspektif yang beragam. Bahkan nampaknya sinema dokumenter tak lagi berpura-pura untuk selalu menyampaikan realitas sebagaimana ia dipercaya selama ini—dan ketidaktepatan informasi atau kebohongan sekecil apapun, kini bisa dengan mudah ditantang atau disanggah oleh publik4. Dengan tarik menarik yang demikian, kita jadi terbiasa mencari alternatif ketika kedapatan informasi atau pengetahuan baru. Ragam alternatif itu juga mewujud dalam karya-karya yang masuk tahun ini. Betapa banyak karya dan proyek di luaran sana yang bisa dimaknai sebagai karya seni. Begitu banyak yang bisa dimaknai sebagai muslihat—meski awalnya tak diintensikan demikian. Nampaknya, sifat pemanfaatan teknologi dalam karya seni telah menjadi begitu luwes. Menghadapi realitas tersebut, dengan berani kami mengambil jalan berbeda dari yang telah kami persiapkan sebelum berhadapan dengan karya-karya ini. Kami memutuskan untuk bereksperimen dengan gagasangagasan kemajuan teknologi media, wacana seni media baru, menggali fungsi sosial seni, dan sambil mengharapkan keseimbangan nilai estetis dalam tiap karya yang kami jumpai. Kurasi kami bersifat leluasa dan demoktaris, seperti tema festival tahun ini. Orientasi yang muncul ketika kami meleburkan diri dalam diskusi kuratorial adalah pada gagasan yang terus berkembang sesuai dengan beragam fakta yang kami temukan sepanjang jalan. Kami harus terus membaca dan merefleksikan hubungan-hubungan antara gagasan (tema) festival dengan karya atau praktik seniman yang akan kami undang. Selain mencari karya yang kami anggap relevan dengan tema OK Video tahun ini, kami juga memberlakukan pendaftaran terbuka bagi para seniman untuk mengirimkan karya yang mereka anggap bisa menjadi respon atas tema “muslihat”. Kemudian sebagai hasil diskusi yang organik, kami pun memutuskan untuk tidak memberikan pembeda apa pun kepada dua ‘jalur’ tersebut. Karya para seniman undangan atau pun seniman yang mendaftar kami pamerkan di tempat yang sama—di bawah satu kerangka besar yang sama. *** “…. Negara-negara dengan akses peralatan dan teknologi yang maju, melahirkan produksi artistik yang beragam. Tetapi di saat yang sama berkembang pula jejaring internet dan akses ke sumber-sumber pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang minim akses. Maka muncullah karya-karya baru yang kualitasnya ditentukan oleh talenta. Misalnya seniman yang membuat mutasi gen dengan mengawinkan anggrek dengan kunang-kunang. Tak lagi penting karya inovatif semacam itu akan dipamerkan di mana, bursa tanaman hias atau galeri. Yang jelas di situ ada inovasi.”5 Dalam bahasa Indonesia, “muslihat” juga berarti “daya upaya”, “siasat atau taktik”, dan “strategi”. Berbekal itu, kami kemudian saling berbagi pengamatan tentang karya dengan aspek-aspek yang bisa dibaca sebagai “muslihat”. Kami menilai “muslihat” dalam tiap karya melalui subjek/tema yang diangkat, adanya kesadaran pemilihan media dan metode, hingga pertimbangan strategi visual di dalamnya —bahkan ketika intensi awal produksi karya tersebut bukanlah muslihat. Kami merasa perkembangan teknologi yang demikian pesat seakan mengamini kritik yang dilontarkan Duchamp puluhan tahun yang lalu. Bahwa kini, semua orang bisa saja membuat karya atau proyek yang kemudian dimaknai sebagai karya seni—tanpa sang pencipta harus diberi label “seniman”. Lalu pertanyaan besarnya kembali menggantung: bagaimana posisi seniman dalam lansekap baru ini? Semua fakta itu menyebabkan belakangan ini kami jadi keringat dingin dan semangat sekaligus. Bahwa kekuasaan untuk menentukan sesuatu sebagai seni atau bukan tak lagi berada di tangan tunggal institusi seni. Kini ada begitu banyak yang bisa dimaknai sebagai seni—di luar praktik-praktik yang telah dikonvensikan oleh institusi tersebut. Bahkan dalam proses kurasi ini pun kami menghadapi kenyataan serupa. Begitu banyak karya yang bisa kami maknai sebagai seni—terlepas dari intensi awal si pembuat karya. 4. Craig Silverman, A New Age of Truth, Nieman Reports, Summer 2012, Vol 66 No. 2, hlm. 4. 5. Wawancara Hendro Wiyanto dengan Gustaff Hariman untuk pameran Influx

34


commented and discoursed via these new technologies. Another impact to note is that the public becoming increasingly more astute and critical – they realize that knowledge produced by all sorts of people and institutions is not objective. The public is aware that these are narratives that can be understood through different prisms. It seems that even documentaries no longer pretend to always present reality as it used to be believed – the slightest inaccuracy of information, the most miniscule of lies, can now be challenged and refuted by the public.4 Amidst this tug-of-war, we have become increasingly used to searching for alternatives when we encounter new information or knowledge. This diversity of alternatives is also evinced in this year’s entries. So many works and projects out there can be seen as artwork. So much of it can be understood as deception – although that may not be the original intention. It appears that the way technology is used in art has become so flexible. Against this reality, we are bravely taking a different course from the one we charted before we came across these works. We decided to experiment with ideas of media technology advances, new media art discourse, exploring the social functions of art, while hoping to strike a balance of esthetic values in every work we encounter. Our curatorial is flexible and democratic, like the festival theme this year. When we immersed ourselves in the curatorial discussion, the ideas continued to develop as we encounter each new fact along the way. We had to continue reading and reflecting on the relations between the festival’s theme and the works or practices of artists we would be inviting. Aside from finding work we consider relevant to this year’s OK Video theme, we also applied an open registration for artists to send in work as their response to the theme ‘deception’. From the discussions that followed, we then decided to not put any distinctions for these two ‘channels’. Works of invited artists as well as those who registered is exhibited in the same space – under the same big framework. *** “... Countries with access to advanced equipment and technology produce a variety of artistic production. At the same time, the internet and access to source of knowledge continues to develop which can be used by those with limited access. Thus new artwork appears the quality of which is determined by talent. For instance, artists that create genetic mutations by mating orchids with fireflies. It matters less where such innovative work is displayed, in flower markets or in galleries. What matters is innovation therein.” 5 In the Indonesian, “muslihat” (deceit, deception) can also mean “endeavor”, “trickery or tactic”, and “strategy”. With that in mind, we shared our observations about the works with aspects that can be read as “deception”. We see “deception” in every work through the subjects or themes, the awareness about the choice of media and methods, to considerations of visual strategy within – even when the original intent of the work was not deception. We feel that such rapid technological advances as though affirm Duchamp’s criticism of yore, that today just about anyone can make art or a project that is seen as art without the creator necessarily labelled an “artist”. The big question remains: where does an artist stand in such new artscape?

4. Craig Silverman, A New Age of Truth, Nieman Reports, Summer 2012, Vol. 66 No. 2, page 4 5. Interview with Gustaff Harisman by Hendro Wiyanto for Influx exhibition

35


Lebih lagi, metode distribusi yang begitu masif telah meruntuhkan kendala ruang dan waktu sehingga banyak sekali karya yang ke-”seni”-annya bisa jadi perdebatan justru mendapatkan popularitas. Dan bukan tak mungkin justru karya semacam itu berhasil memberi pengaruh lebih besar bagi publik pada umumnya. Kecenderungan itulah yang sungguh terasa ketika kami berusaha mendedah karya-karya sebagai presentasi Muslihat. Anda dapat memaknai tulisan kami dalam membaca hubungan-hubungan tiap karya dengan tema festival kali ini, tetapi tentu Anda juga bisa berkonsentrasi hanya pada “suara” masing-masing seniman. Paling tidak, dari seluruh karya yang akan Anda lihat, nikmati dan maknai kali ini, ada lima artikulasi pola dan motif yang kami sadari: Karya Sebagai Muslihat itu Sendiri To be a skilled artist is to be a skilled magician is to be able to create something out of nothing and have the viewer experience it as ‘real’6 . Genre, gaya, pemilihan set, teknik pengambilan gambar, editing, dan pengisian suara hanya merupakan sekumpulan rumus atau metode untuk memberikan pengalaman “nyata”. Metode itu juga digunakan untuk mengontrol persepsi melihat dan menciptakan beragam respon emosi. Karya Sebagai Pertanyaan tentang Realitas Sesungguhnya alternatif makna di balik sebuah tawaran representasi (visual) begitu berlimpah--meski dimaksudkan, dikonvensikan dan dijaga oleh pembuatnya agar hanya memiliki makna tunggal. Ketika seni peran dan seni penciptaan citra sudah melekat dalam berbagai aspek kehidupan—keluar dari struktur teatrikal yang selama ini bisa dengan mudah kita kenali dan anggap sebagai seni—muncul sebuah pertanyaan tentang bagaimana kita bisa mendefinisikan cara pandang baru mengenai apa itu realitas? Dan jika aktivitas pengolahan media dan pengalaman membuat representasi telah dialami oleh berbagai lapisan masyarakat, akankah tercipta pula kesadaran mengenai subyektivitas di balik karya? Seberapa jauh aspek-aspek manipulasi—dan muslihat—dalam seni telah memengaruhi ingatan dan tafisiran seseorang atas realitas? Apakah kepercayaan atau ketakutan yang selama ini kita rasakan hanyalah produk dari kontruksi teatrikal belaka? Karya dan Aktivitas Utak-Atik Teknologi Ternyata, fungsi kamera analog untuk membuat gambar bisa berubah fungsi jadi pelontar gambar lain yang berfungsi sebagai alat intervensi kegiatan di ruang publik7. Selain intervensi, utak-atik semacam ini juga dipraktikkan sebagai reaksi seniman menaggapi kekuasaan negara dalam mengawasi tiap individu. Dari pengolahan teknologi secara sederhana, terciptalah alat yang mampu memberikan perlindungan dari “perlindungan” (provide protection againts protection)8. Ada pula alasan paling mendasar yang bisa ditemukan: utak-atik teknologi dilakukan untuk mengatasi keterbatasan sosial, ekonomi, politik dan budaya9 atau untuk mengakali keterbatasan teknologi itu sendiri10. Tentu saja, selain motif-motif sosial seperti tersebut sebelumnya, utak-atik ini juga bisa jadi merupakan capaian artistik seniman dalam merancang strategi komunikasi visual tertentu untuk mendukung penyampaian makna dalam karyanya. Komentar Terhadap Institusi dan Konvensi Seni Agaknya motif inilah yang paling banyak kami temui. Mungkin juga motif ini adalah wujud siasat para seniman untuk memperlihatkan kepada publik luas mengenai sirkulasi di balik penciptaan karya seni melalui karya seni. Terdapat di dalamnya adalah kritik tentang bagaimana institusi seni dan aparatusnya berkuasa mendefinisikan dan menciptakan konvensi: apa itu karya seni, seniman mana yang pantas dianggap bernilai, dan seterusnya. Di luar sekat-sekat ruang seni dengan publiknya yang spesifik, saat ini seniman juga telah mengambil peran 6. Silakan kunjungi tautan http://tenthousandvisions.com/2012/07/the-art-and-magic-of-deception/ 7. Lihat proyek Julius von Bismarck, Image Fulgurator 8. Lihat proyek URA/FILOART: I.-R.A.S.C. (Infra Red Light Against Surveillance Camera) 9. Lihat proyek Lukas Birk & Sean Foley, Afghan Box Camera 10. Lihat proyek Jonathan Baldwin, Tidepools (Turkish Protest Version)

36


All these facts, as of late, have made us nervous and emboldened at the same time: the power to say that something is art is no longer the sole domain of the art institution. So many things can be understood as art these days – outside of the practices and conventions determined by this institution. In the curatorial process too we are facing the same reality. So many works can be considered art – irrespective of the intentions of the creator. More than that, such massive method of distribution has torn down the barriers of time and space and, as a result, plenty of works whose “art” may have been a matter of debate actually have gained popularity. And it is quite possible that such work leaves a greater impact on the public at large. It is this tendency that was striking to us as we examined each of the works presented in Muslihat. You may draw a meaning from what we wrote in reading the relationship between each of the work and the theme of this year’s festival, but you may certainly also want to concentrate on the “voice” of each of the artists. At the very least, from all of the works that you see, enjoy and understand this time, we realized there are five articulations of patterns and motives: Works as Deception Itself To be a skilled artist is to be a skilled magician is to be able to create something out of nothing and have the viewer experience it as ‘real’.6 Genre, style, set selection, image capture technique, editing, and sound recording are merely a set of methods to present a “real” experience. Methods are also used to control perception of seeing and creating a range of emotional responses. Works as Questions about Reality In truth, alternative meanings behind a (visual) representation offering are so abundant, notwithstanding the intention and all the artist’s efforts to keep the meaning singular. When the art of acting and image creation is so embedded in all aspects of life – outside of the theatrical structure that we can easily recognize and treat as art – a question arises as to how we can define new ways of perceiving reality. When endeavors of image processing and creating representations are undertaken by different strata of society, will it also lead to an awareness about subjectivity behind the works produced? To what extent the aspects of manipulation – and deception – in art has influenced a persons’ memory and cognition about reality? Are the beliefs and fears that we have held thus far mere products of a certain theatrical construct? Works and Tinkering with Technology Apparently, the function of analogue cameras to capture an image can be tinkered to spit out other images that function to intervene activities in a public space.7 Aside from an intervention, such tinkering has also been practiced as a reaction of artists against the power of states to monitor individuals. With a simple technological manipulation, a device is invented to provide protection against “protection”8. The most basic reason can also be found: tinkering with technology is done to overcome social, economic, political and cultural limitations9, or even to trick the limitations of the technology itself10. Certainly, aside from the aforementioned social motives, such tinkering can also be the artist’s own artistic achievement in creating a certain visual communication strategy to support the delivery of meaning in her work.

6. http://tenthousandvisions.com/2012/07/the-art-and-magic-of-deception/ 7. Look at the project by: I.-R.A.S.C. (Infra Red Light Against Surveillance Camera) 8. Look at the project by Julius von Bismarck, Image Fulgurator 9. Look at the project by Lukas Birk & Sean Foley, Afghan Box Camera 10. Look at the project by Jonathan Baldwin, Tidepools (Turkish Protest Version)

37


dan bersiasat (di luar motif ekonomi) dalam mendistribusikan karya dan gagasannya secara mandiri untuk menemui publik yang lebih luas. Pola distribusi semacam ini dimungkinkan oleh perkembangan teknologi media digital yang mampu membawa karya menembus batas ruang dan waktu. Realitas kontemporer ini semakin menekankan sifat seni dalam konteks pasar yang telah menjelma komoditas yang membutuhkan jasa para sales sebagai tenaga pemasaran11. Tentu saja, masih berkutat dalam konteks ini, seni memang bertujuan melayani pembeli/pengkoleksi karya seni yang memperhitungkan nilai-nilai guna dan investasi dari karya seni. Ilustrasi yang kerap kita jumpai di pasar loak ini menarik untuk disimak; tentang bagaimana setelah menuntaskan tugasnya sebagai obyek seni, ia selalu bisa dibongkar dan dimaknai kembali baik dalam bentuk gagasan dan nilai tukar ekonomi.

Karya Sebagai Refleksi Muslihat Konsumen Motif yang terakhir ini serupa meditasi mengenai keadaan kontemporer: bagaimana media partisipatif telah berkontribusi dalam memberi ruang bagi keinginan dasar manusia untuk bersuara dan didengar. Jenis meditasi yang kemudian membawa kita pada kenyataan medan sosial yang hiruk pikuk dengan informasi12. Berbagai “tanda” kini dapat dengan mudah dipinjam dan diapropriasi, atau sekedar dikoleksi untuk membentuk sebuah penciptaan makna baru dan untuk dilihat dari perspektif berbeda. Teknologi media sepenuhnya telah membentuk budaya masyarakat dan mengubah batasan-batasan seni itu sendiri, sehingga terjadi peleburan di sana sini antara apa yang dianggap seni, teknologi dan budaya sehari-hari13. *** Inilah motif-motif perayaan yang hendak kami bagikan kepada Anda sekalian. Bahwa pertautan antara seni dan teknologi sudah terjadi sejak lama, saling berkelindan dan pada akhirnya saling memengaruhi. Dalam pengantar di katalog ini, Hafiz Rancajale —mengutip Jim Supangkat— juga telah mengatakan bahwa, “Video telah menghancurkan, hampir seluruh batasan atas apa yang selama ini dianggap realitas”. Dan teknologi media baru, di mana video ada di dalamnya, juga melakukan hal yang sama untuk batasan-batasan seni rupa. Kini teknologi media sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari—menjadi tak terpisahkan dari budaya visual masyarakat urban14. Agaknya memang pemilihan tema Muslihat ini tepat waktu. Perangkat teknologi sudah semakin maju, semakin mudah diakses, semakin mudah dioperasikan dan juga dapat disebarkan dalam hitungan detik sebuah kurva yang tengah melambung ke titik tertinggi. Dengan demikian, OK Video kali ini tak lagi terbatas pada karyakarya seni video satu kanal, tapi juga merambah seni instalasi, patung video, fotografi, dan beragam medium lain yang juga diakrabi oleh khalayak luas—sesuatu yang bagi kami sangat menggairahkan. Sekarang adalah momen yang mampu menggelitik publik untuk terus memikirkan fungsi dan posisi seniman, definisi karya seni, mematangkan eksplorasi medium dan mempertanyakan batasan-batasan dan konvensi seni. Bukan sekedar menekankan pada pencapaian artistik yang mutakhir, terobosan baru dalam medium yang digunakan, tapi juga fungsi sosial seniman dan karyanya. Keseimbangan dari semua itu. Inilah perayaan itu.

11. Lihat karya Young Poor Artist, Marketing 12. Lihat karya Christopher Baker, Hello World! Or How I Learned to Stop Listening and Love the Noise 13. Hendro Wiyanto dalam kuratorial Influx, Strategi Seni Multimedia Indonesia, 2011 14. Hafiz Rancajale, “OK, Sekarang Mari Melebur”, Katalog MUSLIHAT OK. Video 2013

38


Commentary on the Institution of Art and Its Conventions This seems to be the motive we see the most. Perhaps this motive could be the artists’ strategy to reveal to the public the commotions behind art creation through art creation. Within it is a criticism about how the art institution and its apparatus has the power to define and create conventions: what is art, what artists merit value, and so on. Barriers between art spaces and the public aside, artists have been taking on a role and strategizing (outside of economic motives) in distributing their work and ideas independently to reach a wider public. Such distribution patterns have been enabled by technological advances of the digital media that transcends the barriers of time and space. This contemporary reality increasingly underscores the nature of art in the market context that has turned into a commodity that requires the services of salespeople as marketing agents11. Certainly, still laboring in this context, art does intend to serve buyers/collectors of art who consider the utility and investment values of artwork. An illustration we often find in flea markets is interesting to note; after it serves its purpose as an art object, artwork can be dismantled and its meaning reconstituted in the form of ideas and its economic value. Works as a Reflection of Consumer Deception This last motive resembles a form of meditation about the contemporary situation: how participatory media has contributed in affording a space for fundamental human desire to express and to be heard. This type of meditation takes us to a cacophonous societal reality that is awash with information12. One can easily borrow and appropriate the abundant “signs”, either to be collected or reconstituted to create new meaning and to be looked at from a different perspective. Media technology has fully transformed public culture and shifted the limits of art itself that we see a fusion or blending between what is considered art and technology and everyday culture13. *** These are the motives of “celebration” that we would like to share with you, that linkages between art and technology have been happening for a while now, intertwining and influencing each other. In the introduction to this catalogue, Hafiz Rancajale – quoting Jim Supangkat – has said that, “Video has torn down almost every barrier of what has been considered reality”. And new media technology, with video as its subset, has also been doing the same for barriers of art. Media technology has become a part of daily public life – it is inseparable from urban visual public culture14. Perhaps the choice of “Deception” as theme is quite timely. Technology is increasingly advanced, easily accessible, easily operated and can be disseminated in a matter of seconds. It is a curve reaching its apex. OK Video this time is not only limited to a single-channel video art, it also includes installations, video sculpture, photography, and other mediums familiar to the public – a cause for excitement to us. Today is the moment that can kindle the public to continue thinking about the function and position of artists, definition of art, maturing medium exploration and questioning the barriers and conventions of art. The emphasis is not on the penultimate artistic achievement, nor on breakthroughs in the use of mediums, but on the social function of artists and their work. The balance of it all. And this is that celebration. *) Translated by Miki Salman 11. Look at the project by Young Poor Artist, Marketing 12. Look at the project by Christopher Baker, Hello World! Or How I Learned to Stop Listening and Love the Noise 13. Hendro Wiyanto in Influx curatorial, Strategi Seni Multimedia Indonesia, 2011 14. Hafiz Rancajale, “OK, Sekarang Mari Melebur”, Katalog MUSLIHAT OK. Video 2013

39


Abednego Trianto (Indonesia)

Collection 1980-2007 Selected Inventions of Dr. Yoshii Nakanishi & Lena. A Smith Instalasi 1980-2007 Pameran ini menampilkan koleksi dua inventor legendaris dari medio 1980 hingga 2005. Kaset magnetik, boneka pengintai, dan kamera malam, adalah spesimen pameran yang dijelaskan telah berkontribusi besar bagi perkembangan teknologi audio visual. Hanya saja, semua peran penjelasan mengenai teknologi tersebut fiktif belaka. Kebutaan sebagian besar konsumen akan sejarah teknologi penciptaan, terutama pada negara non-produsen, telah membuat jarak pemahaman akan perangkat-perangkat yang dipamerkan ini. Jarak ini dapat terbaca dari bagaimana pola belanja dan pengaplikasian perangkat-perangkat teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk juga dari bagaimana mereka kagum akan sebuah temuan dan melabeli produk teknologi pada kelompok sosial tertentu. Dalam pameran ini, Abednego juga tidak mencantumkan namanya pada ruang pamer sebagai intensi kekaryaan, yaitu dalam memperdayai publik. Abednego adalah seorang fotografer dan perupa, yang saat ini bermukim di Singapura dan Jakarta. Baginya fotografi bukan sekedar merekam tetapi juga merekonstruksi kenyataan, dimana bentuk dan ruang adalah alat utamanya. Lahir di Indonesia, seni telah menjadi aktivitas keluarga sehari-hari, dimana membuat sketsa dan menggambar arsitektur adalah medium utama di keluarganya. Pada 2006, ia mengejar pendidikan fotografinya dan telah memamerkan karya-karyanya dalam berbagai kesempatan. Selain still life, ia menemukan bahwa lansekap dan gambar adalah eksplorasi visualnya yang utama. Ia juga menaruh perhatian pada fotografi eksperimental dalam seni instalasi dan seni rupa dari mesin cetak inkjet. This exhibition displays a collection of two legendary inventor of mid 1980 to 2005. Magnetic tapes, dolls reconnaissance, and night camera, are described specimens in exhibition that has contributed greatly to the development of audio-visual technology. However, all the explanations about the role of technology are fictions. The ignorance of majority consumers will be the history of technology creation, especially in the non-producer countries, making a distance on understanding of devices displayed in this exhibition. This distance can be read from how shopping patterns and application of technological devices in everyday life. Included also in awe of how they would be a finding and labeling technology products in a particular social group. In this exhibition, Abednego did not put his name on the showroom as the intentions of workmanship, which is to deceive the public. Abednego is a photographer and visual artist, currently based in Singapore and Jakarta. Photography to him is not a mere record but a reconstruction of reality, where shape and space is the main apparatus. Born in Indonesia, art has become family activities ever since, where sketching and architecture drawing is the main family medium. In 2006, he pursued his education in photography and showed his works in various exhibitions. Apart from still life, he finds that landscape and drawing are his main visual exploration. He is also concerned with experimental photography in installation art and fine art inkjet print making.

40


Arya Sukapura Putra (Indonesia)

E-Ruqyah 02'08" 2013 Dengan pendekatan performatif, video E-Ruqyah menampilkan kegiatan menggosok-gosokan ponsel yang memutar ayat suci Al Quran ke bagian tubuh. Dalam agama Islam, Ruqyah merupakan praktek pengusiran jin ataupun energi buruk yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada tubuh manusia. Proses ini biasanya dilakukan dengan pembacaan ayat suci Al Quran. Ponsel telah melampaui fungsinya sebagai perangkat untuk menelpon atau berkirim pesan singkat. Sebagian kelompok konsumen bahkan memfungsikan ponsel pintar, yang harganya makin terjangkau semua lapisan kalangan, sebagai perangkat pemutar musik atau file audio lainnya. Pada video ini Arya mencoba kemungkinan yang lebih jauh bagi perangkat audial ini untuk mengambil peran dalam kebutuhan masyarakat. Bahkan kebutuhan yang sama sekali tidak berhubungan dengan komunikasi verbal antar manusia. Arya Sukapura Putra (a.s.p) lahir di Bandung, 1980. Ia belajar melukis pada ayahnya (alm) Tohny Joesoef di Sanggar Olah Seni Bandung. Ia mulai aktif berkarya dari tahun 2006 sampai sekarang dengan eksplorasi berbagai medium; baik dalam karya dua dimensi, objek, tiga dimensi, instalasi maupun video. Arya juga selalu tertarik dan tertantang untuk mengangkat isu-isu sosio-kultural, politik dan agama dalam proses kerja seni rupa maupun video. Through performance, E-Ruqyah video shows an activity, rubbing a cell phone that plays holy Holy Quran verses to the body. In Islam, Ruqyah means an exorcism practice or take the negative energy that is believed can cause health problems. This process usually was done with reading holy Quran verses. Mobile phones have surpassed its function as a device to make calls or send text messages. Most groups of consumers even use Smartphone, which the price is more affordable, as music player or other audio files. In this video, Arya tries further possibilities for this audio function to take part in community needs - even the needs for an entirely unrelated to the verbal communication between humans. Arya Sukapura Putra (a.s.p) was born in Bandung, 1980. He studied painting at his father (RIP) Tohny Joesoef in Sanggar Olah Seni Bandung. His creative work begin in 2006 until now, with the exploration on many mediums; both of two dimensional, three-dimensional objects, instalation, as well as videos. Arya is also always interested and challenged to raise the socio-cultural, politics and religion issues in the process of the work of art as well as videos.

41


Bagasworo Aryaningtyas (Indonesia)

Bingkai Bergerak Instalasi (loop) 2013 Untuk merubah sebuah ruang yang pasif berubah menjadi lebih meriah umumnya dilakukan dengan bantuan musik atau suara-suara lainnya. Namun dalam Moving Frame/Bingkai Bergerak, usaha tersebut dilakukan dengan bantuan potongan-potongan gambar video. Sumber gambar ini adalah proyeksi video yang dipecah lewat refleksi baling-baling cermin. Seiring dengan berputarnya poros baling-baling, maka proyeksi video akan ikut bergerak dan menyebar ke seluruh dinding ruang. Instalasi ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menghidupkan atmosfir sebuah ruang dengan presentasi video yang lebih dekoratif dan dinamis, namun dengan manipulasi teknis yang terjangkau. Bagasworo memanfaatkan perangkat mekanik yang paling umum dijumpai di setiap ruang pribadi, kipas angin. Bagasworo Aryaningtyas, lahir pada 1983 di Jakarta. Ia jebolan pendidikan jurnalistik di Institut Sosial dan ilmu Politik (IISIP), Jakarta. Setelah bergabung di Forum Lenteng sejak 2003, ia aktif membuat karya seni video yang telah dipamerkan di berbagai perhelatan film dan seni rupa nasional dan internasional. Ia juga terlibat dalam beberapa penelitian, speerti penelitian Dewan Kesenian Jakarta tentang sejarah kritik seni rupa Indonesia. Kini ia bekerja untuk Forum Lenteng di divisi Penelitian dan Pengembangan dan menetap di Jakarta. Changing a space from quite one into the more festive one usually done by adding music or other sounds. But in Moving Frame, that effort is done through video footage. The source of the image comes from a video projection, which is separated by propeller mirror. Along with the rotation of the propeller shaft, the video projection will also move and spread to the rest of the wall space. This installation means to be an effort to create an atmosphere in the space with a presentation of video that is more decorative and dynamic, but using affordable technique manipulation. Bagasworo used common mechanical devices seen in private space: a fan. Bagasworo Aryaningtyas, was born 1983 in Jakarta. He graduated from school of journalism at the Institute of Social an Political Science (IISIP), Jakarta. After joining Forum Lenteng since 2003, he actively creates works of video art that have been exhibited in various film and art events nationally and internationally. He was also involved in several studies, such as research on the history of art criticism in Indonesia held by Jakarta Arts Council. He is currently working for Forum Lenteng on Research and Development division, and settled in Jakarta.

42


Ben Rivers (UK)

Slow Action 45’ 2010 Di masa depan, ramalan bahwa perubahan iklim akan menaikan permukaan air laut terbukti. Bumi terpecah menjadi beberapa gugusan pulau kecil dan memaksa manusia yang teseleksi untuk membentuk sebuah tatanan sosial baru. Beberapa peradaban baru manusia dimulai kembali. Itu adalah gambaran yang coba disuguhkan oleh Slow Action, sebuah fiksi ilmiah yang bertutur layaknya dokumenter etnografi. Terlepas dari kenyataan bahwa Slow Action adalah sebuah film fiksi, namun produksi film ini juga mengambil lokasi di tempat-tempat dimana peradaban manusia pernah berjaya dan kemudian berakhir di masa lalu. Ben Rivers secara cerdas mengkonstruksikan secara sublim bagaimana manusia belajar dari sejarah untuk menguasai tatanan sosial dan alam hingga akhirnya kembali berujung pada distopia. Ben Rivers mempelajari seni rupa di Falmouth School of Art, mulanya belajar seni patung sebelum pindah ke fotografi dan film super8. Setelah lulus, ia belajar secara otodidak pembuatan film 16mm dan proses tangan. Ia telah memenangkan bermacam penghargaan internasional. Pada 1996 ia mendirikan Broghton Cinematheque dimana ia juga bertindak sebagai pembuat program sampai tutup di tahun 2006. Ia terus melanjutkan membuat program dengan dasar peripatetik. Prediction on the climate change would raise sea level is proven in the future. The earth is falling into several small islands and making the selected human to create a new social system. Some new civilization is started again. That is an image which Slow Action, a science fiction that speaks like ethnographydocumentary, tries to show. Despite the fact that Slow Action is a fictional film, but the production of this film also takes places in places where human civilization had triumphed and then ended up in the past. Ben Rivers cleverly constructs construct the sublime of how humans learn from history to master the social order and nature until eventually lead back to dystopia condition. Ben Rivers studied Fine Art at Falmouth School of Art, initially in sculpture before moving into photography and super8 film. After his degree he taught himself 16mm filmmaking and hand-processing. He is the recipient of numerous international prizes. In 1996 he co-founded Brighton Cinematheque which he then co-programmed through to its demise in 2006. He continues to programme on a peripatetic basis.

43


Benny Wicaksono (Indonesia)

Jentik-Jentik Jakarta Instalasi 2013 Sesuai judulnya, karya ini memang melibatkan penggunaan jentik-jentik nyamuk sebagai medium pembangunnya. Benny menghubungkan kamera CCTV dengan lensa mikroskopik sehingga gambaran pertumbuhan jentik nyamuk dapat diproyeksikan lebar. Sebagai seorang VJ, umumnya Benny menggunakan perangkat digital seperti komputer untuk men-generasi pola-pola gambar untuk diproyeksikan secara dekoratif. Namun kali ini dia mencoba memanfaatkan pola-pola yang disediakan oleh alam semesta, dan umumnya berukuran mikroskopik. Seperti yang ada di jaringan tissue, serta sel tanaman atau bacterial. Untuk itu dirinya menggunakan lensa mikroskopik yang tersedia di apotik dan sebetulnya berfungsi untuk keperluan medis. Jentik-Jentik Jakarta melengkapi tradisi proyeksi visual dekoratif yang biasanya dilakukan seorang VJ. Setelah pengaplikasian perangkat lunak komputer di era digital, dan gagasan fisika-mekanikal yang ada di era psychedelic, kini Benny memanfaatkan sumber daya alam untuk men-generasi gambar secara organik. Benny Wicaksono adalah seniman suara dan visual, illustrator, desainer grafis, dan peneliti media independen. Pendiri VIDEO:WRK – Surabaya International Video Festival ini juga salah seorang pendiri ELECTRO:WORK! – Festival Musik Elektronik. Ia aktif berpameran di dalam dan luar negeri di sela waktunya menjadi pembicara dan pemateri untuk sejumlah kuliah tamu dan lokakarya seni media di berbagai kampus di Surabaya. Saat ini ia sedang aktif membangun intitusi independennya, WAFT-Lab. As the title suggests, this work involves the use of wrigglers as its medium. Benny connects CCTV camera with microscopic lens that the picture of wrigglers growth can be extensively projected. As a VJ, normally Benny uses digital devices such as computer to generate image patterns and project them decoratively. This time, he exploits microscopic patterns provided by the universe, as seen in tissue, plant cell, or bacteria. Thus for this work he uses medical microscopic lens available in pharmacy. Jakarta’s Wrigglers complement decorative visual projection tradition which is usually performed by a VJ. After applying computer software in digital era and physic-mechanical concept in psychedelic era, now Benny exploits natural resources to regenerate pictures organically. Benny Wicaksono is a sound and visual artist, illustrator, graphic designer, and independent media researcher. Founder of VIDEO:WRK– Surabaya International Video Festival and also founder of ELECTRO:WORK! – Electronic Music Festival. He has been actively exhibited in Indonesia and abroad while on the sidelines become a speaker and presenter for a number of guest lecture and media art workshop on variety campus in Surabaya. He is currently active developing his independent institution, WAFT-Lab.

44


Callum Cooper (UK)

Sculpture for The Moving Image Series (Paradoxical Planes, Constant and the Flux, Lumbering Planes, Sumersault) Varied 2011 – 2013 Sculpture for moving Image adalah video sekaligus sejumlah perangkat serupa steadycam yang berputar pada sebuah titik poros. Perangkat-perangkat ini dikembangkan oleh Callum Cooper untuk membantu mobilitas kamera pada sebuah pola gerakan. Dengan sedikit bantuan dorongan tenaga manusia, kamera yang terpasang pada ujung alat akan merekam sambil berputar mengelilingi segala ruang, mulai dari hutan, hunian manusia di perkotaan, hingga tubuh manusia sendiri. Walaupun perangkat yang dibangunnya memiliki finishing dengan pertimbangan estetis, namun video yang dihasilkan oleh perangkat ini bukanlah sekedar artefak rekam akhir yang kehilangan notion Callum sebagai seorang seniman. Setiap rekaman dari perangkat ini selalu memiliki blindspot pada sudut tertentu. Posisi ini dipakai oleh Callum untuk mengantinya dengan rekaman lain, dan membuat karya videonya memiliki kemampuan melintas antar ruang, waktu, dan pelaku. Callum Cooper adalah seorang seniman dengan medium gambar bergerak yang menciptakan film linier untuk penonton bioskop dan karya seni non-linier untuk galeri dan tempat lain. Ia masuk di Victorian College of the Arts pada 2004 dan Royal College of Art pada 2008. Ia telah memenangkan beberapa penghargaan untuk karya-karya filmnya. Saat ini dokumenter pendeknya ‘Mine Kafon’ telah terpilih dalam Focus Forward Programme yang tayang di Sundance Film Festival. Filmnya mendapat Audience Award dan juga Jury Award.

Sculpture of Moving Image is a video as well as a number of steady-cam devices circled around an axis. These devices were built by Callum cooper to help camera mobility in one moving pattern. Using some human power, cameras mounted on the tip of the devices will record everything as it goes around the space, starting from woods, human settlements in the city, up to human body itself. Although the devices have a finishing because of its aesthetic consideration, but the video produced by this device is not only a final artifact that will lose Callum notion as the artist. Every record of this device has a blind-spot in some angel. This position used by Callum to replace another record and to make this video will have an ability to pass the space, time, and creator. Callum Cooper is a moving image artist who creates linear films for cinema audiences and non-linear artworks for galleries and other spaces. He attended Victorian College of the Arts in 2004 and Royal College of Art in 2008. He has won several awards for his filmworks. Recently his ‘Mine Kafon’ short documentary has been selected into the Focus Forward Programme that premiered at Sundance Film Festival. The film received an Audience Award as well as a Jury Prize.

45


Carla Chan Ho-Choi (Hong Kong)

When a Circle Meets The Sky 06'45" 2012 When The Circle Meets The Sky adalah proyeksi video yang menampilkan rekaman gambar langit bersinggungan dengan sepotong gambar lanskap gurun Mojave dalam sebuah lingkaran. Walaupun tampak berbeda, jukstaposisi ini menghadirkan ruang yang saling terhubung berhadapan. Gambar dalam lingkaran adalah cermin yang merefleksikan bidang di seberang langit. Video karya Carla Chan direkam lewat bantuan instalasi baling-baling yang disetiap ujungnya menyangga kamera serta cermin, dan gerakannya hanya bergantung pada hembusan angin gurun. Dibalik hasil videonya yang nampak sangat formalis, perangkat pembangun dan intensi berkarya dalam project ini adalah usaha untuk membangun hubungan yang kompleks antara alam, teknologi, dan representasi kehadiran manusia. Tapi tanpa ada rekaman maupun dukungan kinetik dari manusia sendiri. Carla Chan Ho-Choi adalah seniman media yang menetap di Hong Kong, di mana ia menyelesaikan gelar sarjana dari School of Creative Media, City University of Hong Kong. Karyanya baru saja terpilih di Hong Kong Contemporary Art Awards 2012. Karyanya, bentuk dan gaya karyanya minimalis dan sering bermain-main dengan batasan kabur antara realitas dan ilusi, gambar dan abstraksi, sementara pada saat yang sama memberikan ruang yang menciptakan bentuk seperti sebuah cerita kecil.

When The Circle Meets The Sky is a video projection which featuring footage of the sky intersect with a picture of Mojave dessert landscape in a circle. Although looks different, this juxtaposition presents a facing interconnected space. The picture in a circle is a mirror reflecting field across the sky. Charla Chan’s video is recorded with propeller installation on each end holds camera and mirror, and it moves depend on the dessert wind. Behind this formalist-like-video, the making-devices and her intention making this project is an effort to create complex relation with nature, technology, and human-existence representation, without using kinetic help from human. Carla Chan Ho-Choi is a young media artist based in Hong Kong where she completed her bachelor degree from the School of Creative Media, City University of Hong Kong. Recently her work was selected in Hong Kong Contemporary Art Awards 2012. Carla is working in a variety of media like video, installation, photography and interactive media. Her works, minimal in style and form, often toys with the blurred boundaries between reality and illusion, figure and abstraction, while at the same time providing a space that creates a form of micro story-telling.

46


Christian Jankowski (Germany)

Casting Jesus 60’ 2010 Ketika keyakinan agama kristen dirasa hampir menemui senjakala, pemilihan juru selamat digelar. Sejumlah aktor tampil layaknya kaum Nazareth dan berlomba-lomba mengambil posisi sebagai Yesus selanjutnya. Penjurian dilakukan oleh beberapa orang representasi Vatikan layaknya ajang pencarian bakat. Mereka menilai para calon Yesus ini berdasarkan gestur, kharisma, dan kemiripan akan Yesus yang selama ini diingat umat secara visual. Christian Jankowski sadar bahwa ada agama yang memiliki keimanan kuat pada paparan visual. Dalam tahap ini citraan akan tuhan bisa jadi lebih kuat dari pada tuhan itu sendiri. Karya ini mematahkan kekuasaan dogmatis yang selama ini menjadi domain agama, sekaligus mengamini keyakinan profan bahwa sejatinya (kebutuhan) manusia lah yang menciptakan tuhan. Christian Jankowski lahir pada 1968 di Gottingen, Jerman. Dia adalah seorang seniman tinggal dan bekerja di Berlin. Ia memasuki Academy of Fine Arts, Hamburg, dan memperoleh perhatian internasional pada saat Venice Biennale ke 48 pada 1999. Karya-karyanya telah ditampilkan dalam pameran-pameran tunggalnya di Eropa, dan ia memulai debut di Amerika Serikat pada 2000 di Wadsworth Museum, Hartford. Pameran tunggal terbarunya, termasuk juga ‘Now Playing’, Maccarone Inc., New York, 2004; ‘Puppet Conference’, Carnegie-Museum, Project Room, Pittsburgh, 2003 dan ‘The Holy Artwork’, Aspen Art Museum, Aspen. Pameran bersama meliputi ‘State of Play’, Serpentine Gallery, London 2004; ‘Ironie’, Deichtorhallen, Hamburg dan Whitney Biennal 2002, New York. When faith to Christianity reached its twilight years, saviour casting was held. Several actors acted like Nazarene and competed for the Next Jesus position. The actors were judged by some representatives from the Vatican, just like idol shows. The jurors observed the actors’ gesture, charisma, and resemblance to Jesus—especially the visual image remembered most by the Chistian community. Christian Jankowski realizes that there are religions which have strong reliance on visual description. In these religions, the picture of god can be stronger than the god himself. This work breaks dogmatic domination which has been the religion domain all this time and, all at once, supports profane conviction (saying that, essentially, the human need is the creator of god). Christian Jankowski, was born in 1968 in Gottingen, Germany. He is an artist who lives and works in Berlin. He attended the Academy of Fine Arts, Hamburg, and achieved international recognition at the 48th Venice Biennale in 1999. His work has been featured in solo exhibitions throughout Europe, and he made his U.S. debut in 2000 at the Wadsworth Atheneum, Hartford. Recent solo exhibitions include ‘Now Playing’, Maccarone Inc., New York, 2004; ‘Puppet Conference’, Carnegie-Museum, Project Room, Pittsburgh, 2003 and ‘The Holy Artwork’, Aspen Art Museum, Aspen. Group exhibitions include ‘State of Play’, Serpentine Gallery, London, 2004; ‘Ironie’, Deichtorhallen, Hamburg and the Whitney Biennial 2002, New York.

47


Christoper Baker (US)

Hello World! or: How I Learned to Stop Listening and Love The Noise Loop 2008 Setelah puluhan tahun sejak kehadiran televisi dan teknologi video, khalayak hanya bisa menjadi penonton pasif. Kemunculan kanal video user-generated semacam Youtube akhirnya memberi kesempatan kepada khalayak untuk juga bisa ambil bagian di dalamnya. Video diary, vlog (video blog), dan sejenisnya menjadi sarana bagi siapa saja yang ingin menyapa dunia, dan tentunya untuk ikut dilihat serta didengar. Hello World hadir sebagai kolase dari kumpulan video-video para pengguna kanal yang ingin menyapa dunia. Christoper Baker menyuguhkan kepada penonton sebuah videosphere, yang mempersingkat praktek zapping seperti pada tradisi kanal televisi. Ini adalah pengalaman yang ingin dibagi oleh sang seniman, ketika pada level tertentu kita tidak lagi bisa fokus mendengar pesan dari para pengguna kanal yang massif. Namun demikian, kita juga tidak bisa berhenti menonton. Christopher Baker adalah seorang seniman yang karyanya melibatkan banyak koleksi sosial, teknologi dan ideologi jaringan yang muncul di lanskap perkotaan. Dia menciptakan artefak dan situasi yang mengungkapkan dan menghasilkan hubungan di dalam dan di antara jaringan ini. Sejak menyelesaikan Magister Seni Rupa di Experimental and Media Arts at the University of Minnesota, Baker telah memegang peran sebagai artis kunjungan di Kitchen Budapest, sebuah laboratorium media eksperimental di Hungaria, dan Minneapolis College of Art and Design. Saat ini ia adalah seorang asisten profesor di Departemen Seni dan Teknologi di School of Art Institute of Chicago. After decades since the emergence of television and video technology, the audience always be a passive viewer, passive consumer. The presence of user-generated video channel like Youtube finally give an opportunity to the audience to take part in it. Video diary, vlog (video blog), and its kind become a place for anyone who wants to say hello to the world, and of course they can participate - to be heard and to be seen. Hello World is present as collage from videos collection of channel users who want to greet the world. Christoper Baker shows a videosphere to the audience, a sphere as a practices that shorten the zapping tradition in television. This is the experience, which the artist want to share, when at a certain level we are no longer able to focus on the hearing of the message from massive users. However, we also cannot stop watching. Christopher Baker is an artist whose work engages the rich collection of social, technological and ideological networks present in the urban landscape. He creates artifacts and situations that reveal and generate relationships within and between these networks. Since completing a Master of Fine Arts in Experimental and Media Arts at the University of Minnesota, Baker has held visiting artist positions at Kitchen Budapest, an experimental media lab in Hungary, and Minneapolis college of Art and Design. He is currently an Assistant Professor in the Art and Technology Studies department at the School of the Art Institute of Chicago.

48


Doug Fishbone (US/UK)

Hypno Project 12’55” 2009 Doug Fishbone mengajak 12 sukarelawan untuk mengambil bagian dalam project ini. Mereka duduk menghadap layar setelah terlebih dahulu dihipnotis oleh praktisi hipnotis profesional. Dalam kondisi tubuh tanpa kesadaran pikiran, mereka diberikan stimuli lewat karya video yang berisikan fragmen-fragmen gambar acak. Disaat bersamaan mereka juga diminta untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Dan ketika mereka mereka tersadar, para partisipan ini tidak mampu mengingat apa yang terjadi pada saat diri mereka pada waktu kondisi trance. Reaksi-rekasi partisipan ini sangat mengejutkan. Hypno Project adalah usaha untuk memanipulasi serta mengintervensi bentuk kekuasaan paling mendasar, alam pikiran manusia sendiri. Secara mengejutkan, Doug menunjukkan bagaimana manipulasi pikiran bahkan dapat juga berpengaruh ke wilayah fisik; betapa kemapuan paparan visual mampu menyetir sudut pandang dan reaksi jika diberikan kepada individu tanpa kesadaran. Doug Fishbone adalah seniman Amerika yang hidup dan bekerja di London. Ia mendapat gelar Master dalam seni rupa di Goldsmiths College, London pada 2003. Karya film dan performansnya, yang kini membentuk fokus prakteknya, sangat dipengaruhi oleh ritme dari stand-up comedy —dalam sebuah kritik, dia digambarkan sebagai seorang ‘seniman stand-up konseptual’— dan mengkaji beberapa aspek yang lebih problematis dari kehidupan kontemporer dengan cara yang lucu dan memperdaya. Ia sedang sangat tertarik dalam mengkaji pertanyaan tentang relativitas dan persepsi, dan bagaimana penonton dan konteks mempengaruhi interpretasi. Proyek film sebelumnya Hypno Project, yang ditayangkan perdana di Rokeby Gallery, London pada 2009, melibatkan penghipnotisan semua penonton dan memanipulasi tingkah laku mereka dengan sugesti paska-hipnotis. Doug Fishbone invited twelve volunteers to take part in this project. They sat before a screen after being hypnotized by a professional hypnotist. Being unconscious, they were given stimulus with random fragments in a video. In the same time they were also asked to do particular activities. When awake, they could not remember what happened in the trance. These participants’ reactions were very surprising. Hypno Project is an attempt to manipulate and intervene the most fundamental form of control: man’s own mind. Surprisingly, Doug shows how the manipulation can also affect physical parts; how images are able to drive one’s viewpoint and reaction if given when he/she is unconscious. Doug Fishbone is an American artist living and working in London. He earned an MA in Fine Art at Goldsmiths College, London in 2003. His film and performance work, which forms the current focus of his practice, is heavily influenced by the rhythms of stand-up comedy – he was described by one critic as a “stand-up conceptual artist” – and examines some of the more problematic aspects of contemporary life in an amusing and disarming way. He is particularly interested in examining questions of relativity and perception, and how audience and context influence interpretation. His previous film Hypno Project, which premiered at Rokeby Gallery, London in 2009, involved hypnotizing an entire audience and manipulating their behavior with post-hypnotic suggestions.

49


Faiza Ahmad Khan (India)

Supermen of Malegaon 52’ 2008 India memiliki sejarah panjang dalam industri dan kultur sinema. Bahkan keterbatasan ekonomi tak menghalangi semangat lahirnya industri serupa dalam skala yang paling kecil sekalipun. Supermen of Malegaon membuktikannya dengan kisah seorang sutradara amatir di kota kecil, Malegaon, India, yang terobsesi membuat film Superman versinya sendiri. Dengan bermodal handycam dan perangkat seadanya, tanpa dukungan aktor profesional dan mengantongi hak cipta, dirinya berhasil menciptakan film yang mampu menjangkau pasar penonton lokal. Penonton yang mendambakan film laga ala blockbuster Holywood, yang sangat jarang terdistribusi ke bioskop di kampung mereka. Dokumenter karya Faiza Achmad Khan ini berhasil menunjukkan kekuatan kolektif, mulai dari produksi hingga pemasaran, yang selama ini menjadi dominasi industri sinema besar. Faiza Ahmad Khan adalah seorang produser dan sutradara asal India. Ia telah membuat dua film, yakni ‘The Great Indian Marriage Bazaar’ dan ‘Supermen of Malegaon’ dan telah memenangkan beberapa penghargaan internasional, seperti Asian First Film Festival, Vesoul Asian Film Festival, dan Yerevan International Film Festival. India has a long history in the cinema industry and culture. Even economical limitations do not preclude its spirit of the birth of this kind of industry in the smallest scale. Supermen of Malegaon proves it with the story of an amateur director in the small town, Malegaon, India, who obsessed to make Superman movies in her own version. She managed to create a film to reach local audience market only with a budget handy-cam and improvised devices, and without support by professional actor and without copyright. Her market is people who crave an action movie like a Hollywood blockbuster that very rarely distributed to his hometown. This documentary by Faiza Achmad successfully demonstrates the power of collectivism, ranging from production to marketing that being domination of the big cinema industry. Faiza Ahmad Khan is a producer and director from India. She has made two films, ‘The Great Indian Marriage Bazaar’ and ‘Supermen of Malegaon’ and has been awarded several international awards, such as Asian First Film Festival, Vesoul Asian Film Festival, and Yerevan International Film Festival.

50


Gelare Khoshgozaran (Iran)

Why 15'19" 2011 Gelare merekam aktifitasnya dalam mengetik kata “why” dan dilanjutkan dengan nama-nama negara pada kolom mesin pencari Google secara bergantian dan alfabetikal. Dalam video ini tampak bahwa Google dengan sendirinya akan memberikan saran pencarian. Kemungkinan-kemungkinan yang disarankan muncul sebagai pertanyaan seperti “why afganistan is not vietnam?” atau “why united states is the best country”. Google menggunakan algoritma pencarian dalam memberikan saran berdasarkan pencarian yang populer. Dalam karya ini, sang seniman tidak menggunakan Google untuk benar-benar mencari tahu informasi mengenai sebuah negara. Namun dirinya memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Google untuk melakukan pemetaan sederhana atas pemahaman khalayak seputar negara-negara yang ada di dunia. Beberapa pertanyaan bahkan dapat dilihat sebagai bentuk stereotyping atau ketidak tahuan sama sekali. Gelare Khoshgozaran adalah seorang seniman asal Iran, peneliti independen, penulis, dan penerjemah yang menetap di Los Angeles, CA. Lahir pada tahun 1986 di Teheran, Iran, ia pindah ke Los Angeles pada tahun 2009 untuk mengikuti program Master of Fine Arts di University of Southern California. Sejak lulus Gelare telah memberikan kontribusi di beberapa website Persia dan Inggris, majalah, dan jurnal termasuk Parkett, Mardomak dan WildGender sebagai kritikus seni dan budaya. Saat ini dia adalah kontributor untuk ZanNegaar Journal of Women Studies (jenis pertama yang diterbitkan dalam bahasa Persia oleh Institute for the War and Peace Reporting). Gelare records his activity when he typed “why” followed by the name of the countries in the Google search column, alternately and in alphabetical order. In this video, we can see that Google always give a suggestion. The suggested possibilities will appear like this “why Afghanistan is not Vietnam?” or “why United States is the best country”. Google use search algorithm to provide some advice based on a popular search. In this work, the artist did not use Google to actually find out the information about a country. He used a technology developed by Google to perform a simple mapping on the audience understanding about countries in the world. Some questions can be seen as a form of stereotyping or ignorance. Gelare Khoshgozaran is an Iranian artist, independent scholar, writer and translator based in Los Angeles, CA. Born in 1986 in Tehran, Iran, she moved to Los Angeles in 2009 to join the Master of Fine Arts program at the University of Southern California. Since graduation Gelare has contributed to multiple Persian and English websites, magazines and journals including Parkett, Mardomak and WildGender as art and cultural critic. She is currently a contributor of ZanNegaar Journal of Women Studies (first of its kind published in Persian by the Institute for the War and Peace Reporting).

51


Irwan Ahmett (Indonesia)

Urban Bender Instalasi 2013 Atas nama stabilitas tatanan sosial dan keselamatan ekonomi, ruang-ruang kota selalu memiliki aturanaturan baku. Aturan ini tercipta oleh kesepakatan aklamasi bersama maupun regulasi yang dirumuskan oleh otoritas. Irwan Ahmett muncul di ruang-ruang ini untuk membengkokkan nilai-nilai rigid tersebut. Dengan spontan, project Urban Bender ini mengintervensi secara sederhana hingga ke bentuk yang cukup radikal. Tindakan Irwan Ahmett diatas dilakukan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan bentuk interaksi baru, sekaligus melepaskan diri dari posisi bawah yang selalu diatur. Kalaupun gagal, setidaknya ini bisa menjadi cara untuk bersenang-senang melawan kuasa norma kaku yang membosankan. Halo, nama saya adalah Irwan Ahmett! Seorang seniman dan desainer, tertarik pada isu-isu sosial dan perubahan perilaku. Saya memilih seni sebagai media ekspresi karena nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya mampu menembus batas-batas budaya, bahasa dan area pribadi atau kolektif yang seringkali terlalu konservatif dan rutin. Seni mampu menjembatani pikiran dari kreator dengan fenomena kehidupan secara lebih terbuka. Saya selalu ingin membangun jembatan selangkah demi selangkah dan mencari wilayah-wilayah baru yang perlu dieksplorasi oleh kreativitas, karena seni memainkan peran dalam perumusan ilmu sehingga dalam penerapannya mampu menawarkan ide-ide yang tak terbayangkan untuk peradaban sebelumnya. Jiwa seni saya muncul dari fokus pada pengamatan langsung untuk menemukan ide-ide penting dan kemudian memasukkannya ke dalam ingatan kolektif. Dalam prakteknya, saya memilih ruang publik sebagai lapangan independen yang potensial. Visi saya adalah untuk mengubah masalah area tertentu menjadi mekanisme paradoks permainan; Mengetahui juga mempertanyakan.

On behalf of the stability of the social order and economic safety, spaces in the city always have standard rules. This rule created by the collective and unanimous agreement formulated by the regulatory authority. Irwan Ahmett appears in these spaces to bend the rigid values​​. With spontaneous, Bender’s project Urban intervene simply to a form that is quite radical. Irwan Ahmett above actions performed to look for possibilities of new forms of interaction, as well as escape from the down position, which is always set. If it fails, at least it can be a fun way to fight the power of the norm of a boring stiff. Hello, my name is Irwan Ahmett! An artist and designer, interested in social issues and behaviour changes. I choose art as my medium of expression because the universal values contained inside are able to penetrate the boundaries of culture, language and areas of personal or collective that are often too conservative and routine. Art is able to provide the bridge from the creator’s mind to the phenomena of life in more open. I always want to build the bridge step by step and look for new territories that need to be explored by the creativity, because art plays a role in the formulation of sciences so that the applications are able to offer unimaginable ideas to civilization before. My art spirit purely emerged from the focus on direct observation to discover the essential ideas and then insert it into the collective memories. In practice, I choose public space as a potential independent field. My vision is to transform the problem of the specific area into a paradox game mechanism; Knowing as well as questioning. 52


Jeroen Offerman (The Netherlands)

To Become, Shift, Transfer, Copy and Erase Janet Leigh 18'43" 2012 Sinema sudah dikenal akan kemampuannya memanipulasi realitas. Bahkan jika film tersebut cukup tersohor, maka akan muncul kesepakatan realitas yang notable. Seperti yang ditampilkan pada adegan pembunuhan di film Psycho karya Alfred hitchcock. Adegan ikonik ini terus diingat dengan penanda seperti ruang kamar mandi, pisau, tirai, aktris sebagai korban, dan bayangan pembunuh. Dalam usahanya mereka ulang adegan tersebut, Jeroen Offerman menawarkan lima bentuk manipulasi dari kesepakatan diatas. Sinema tidak hanya bisa diciptakan ulang lewat rekaan set properti atau lokasi syuting, tapi obyek dinamis seperti aktor juga dapat dimodifikasi. Jika dalam karya Hitchcock sang korban adalah wanita, maka Jeroen tidak cukup hanya menggantinya dengan aktris lain. Namun juga dengan aktor pria. Setelah keduanya dilakukan, sang seniman akhirnya memunculkan keduanya secara bersamaan, dan akhirnya menghapusnya. Kesemuanya disimulasi dengan shot dan durasi yang sama. Jeroen Offerman adalah seorang perupa yang tinggal dan bekerja di Eindhoven, kota dimana ia dilahirkan di Belanda. Jeroen memasuki Goldsmiths College of Arts (University of) London, Inggris, untuk gelas Magister seni rupanya. Ia bekerja dalam ragam media yang luas seperti film, video, performans, patung, and instalasi. Ia adalah Asisten Peneliti di Goldsmiths College of Arts Cinema has been known for its ability to manipulate reality. Even if the movie is quite famous, it would appear a deal about notable reality, as for example, the murder scene in Alfred Hitchcock’s Psycho. This iconic scene will always be remembered along with several signifiers: a bathroom, a knife, a curtain, actress as a victim, and the killer shadows. Jeroan Offerman offers five kinds of manipulation based on the agreement above as his effort to re-create the scene. Cinema is not only re-created through imitating the property set or the setting, but a dynamic object like actor can be modified as well. As we know, the victim in Hitchcock was female, but in Jeroen, he changes the female actor with another female actor, even with a male actor. After he did these methods, the artist finally shows both male and female actors at the same time. All shots were simulated with same shot and same duration. Jeroen Offerman is a visual artist who lives and works in Eindhoven, the town where he was born in the Netherlands. Jeroen attended Goldsmiths College of Arts (University of) London, UK for his MA in Fine Art. He work in a wide variety media such as films, video, performance, sculpture, and installation. He is Associate Researcher at Goldsmiths College of Arts.

53


Johanna Domke and Marouan Omara (Egypt)

Crop 47’08” 2013 Johanna Domke menyoroti hubungan gambar yang disajikan media dengan revolusi mesir di tahun 2011. Alihalih menyajikan kumpulan foto, dokumenter eksperimental ini justru menitik beratkan pada kekuatan peran kebijakan editorial gambar yang terjadi di media cetak tertua dan paling berpengaruh di Mesir, Al Ahram. Dalam tehnik fotografi, crop berarti cara untuk memfokuskan gambar pada komposisi tertentu agar pesan yang ditampilkan gambar lebih terseleksi dan tidak lagi utuh. Manipulasi gambar ini biasa dilakukan untuk menyetir pesan yang disajikan lewat foto di media kepada khalayaknya. Ini adalah salah satu metode framing yang sangat lumrah dilakukan oleh media. Dan arah pesan berita yang diharapkan sangat bergantung pada kepentingan kekuasaan politik serta modal dimana media tersebut bersekutu. Johanna Domke adalah perupa dan pembuat film, lahir pada tahun 1978 di Kiel, D. Dia dibesarkan di Jerman dan Argentina dan belajar seni rupa di Royal Academy Danish Art di Kopenhagen, Denmark dan Malmö Art Academy, Swedia. Ia membuat karya yang bersilangan antara seni dan film dengan pendekatan struktural dan sosial-politik. Dia menganggap gambar produksi itu sendiri sebagai sebuah analisis persepsi dan tertarik dengan bagaimana foto mempengaruhi alur sejarah, pembuatan makna dan membentuk identitas. Maroun Omara adalah asisten sutradara dalam CROP Marouan Omara adalah pembuat film muda kreatif dari Kairo, Mesir yang lahir pada 1987. Dia belajar fotografi di Faculty of Applied Arts di Kairo dan bergabung dengan Academy of Cinema Arts And Technology pada 2006 untuk mengikuti hasratnya membuat film. Memulai kariernya sebagai fotografer lepas, dia menunjukkan karyanya di pameran fotografi pada tingkat nasional dan internasional. Marouan Omara saat ini sedang mempersiapkan film feature pertamanya fitur film “Repeated Stopping” yang akan diproduksi pada awal 2013. Johanna Domke focuses on the images presented by media when Egypt Revolution happened in 2011. Instead of showing images collection, this experimental documentary movie is stressing on the power of image editorial policies in the oldest and the most influential media in Egypt, Al Ahram. In photography, crop means the way to focus on certain image composition so the message shown is more selected and no longer intact. This image manipulation usually is done to control the message given through photos in media to the public. This is one of the typical framing method used by media. The expected message is very dependent on the political power and capital interest in which the media is alliance. Johanna Domke is a visual artist and filmmaker, born in 1978 in Kiel, D. She grew up in Germany and Argentina and studied Fine Arts at the Royal Danish Art Academy in Copenhagen, Denmark and the Malmö Art Academy, Sweden. She is producing work for a crossover field between art and cinema with a both structural and socio-political approach. She regards the image production itself as an analysis of perception and is concerned with how images influence the course of history, the creation of meaning and the shaping of identity. CROP is co-directed by Marouan Omara Marouan Omara is a young creative filmmaker from Cairo, Egypt born in 1987. He studied photography at the faculty of Applied Arts in Cairo and joined the Academy of Cinema Arts And Technology in 2006 to follow his passion for filmmaking. Starting his career as a freelance photographer, he showed his work in photography exhibitions on both national and international level. Marouan Omara is currently preparing his first feature film “Repeated Stopping” which will be produced in the beginning of 2013.

54


Jolene Mok (Hong Kong)

A Recipe for Making Camera-Less Computational Video - American Style 03'56" 2012 Seperti yang ditunjukkan dengan jelas pada judulnya, ini adalah tutorial step-by-step untuk membuat video berbasis komputer tanpa bantuan kamera. Hanya berbekal software screen video capture, semacam Camtasia, maka apapun yang muncul di layar dapat direkam. Namun yang juga ingin ditekankan pada video ini adalah adanya ruang-ruang personal di wilayah virtual yang berlomba-lomba menciptkan fitur berbagi video. Proses sebuah file video untuk menjadi viral di berbagai ruang ini bahkan juga bisa direkam kembali, sehinga penonton bisa tahu dimana video ini telah terunggah sebelumnya. Walaupun sumber video awalnya tetap sama, tapi rekaman ruang yang berbeda dan saling bersinggungan membuat video yang terunggah selalu menjadi video yang sama sekali berbeda dan baru. Jolene Mok lahir dan dibesarkan di Hong Kong, 1984. Sebagai seorang seniman eksperimental, dia memilih video, film, fotografi dan seni media baru sebagai landasan utama proses kreatifnya. Mok mendapatkan gelar M.F.A. di Experimental & Documentary Arts di Duke University. Dia telah melakukan prose kerja dan belajar interdisiplin sejak pendidikannya di School of Creative Media melalui kuliahnya dalam jurusan di Critical Inter-Media Laboratory. Mok mengambil komponen praktis dan teoritis sebagai aspek yang saling berhubungan dalam seluruh proses kreatifnya. Dia selalu ingin bereksperimen dengan berbagai cara dalam mengkomunikasikan idenya. Mok terbuka dan selalu siap untuk bermain dengan dan bersama situasi yang baru atau teknologi dalam kegiatan artistik nya untuk menciptakan hasil yang tak terduga, namun penuh makna. Just like its title, this a step-by-step guide to make a computer-based video without using camera. Only using a screen video capture software, like Camtasia, everything appeared in the screen can be recorded. However, this video focuses on the personal space in the virtual world, which competing to create video sharing features. Process of a video to be viral in this space can be re-recorded also so the audience know where this video had been uploaded previously. Although the source of the first video still the same, but the recording spaces are different and intersect to make an uploaded video always be different and new video. Jolene Mok (b. 1984) was born and raised in Hong Kong. An experimental artist, she takes video, film, photography and new media arts as her major creative platforms. Mok earned her M.F.A. in Experimental & Documentary Arts at Duke University. She has been exposed to an interdisciplinary learning and working environment since her undergraduate education in the School of Creative Media through her major in the Critical Inter-Media Laboratory. Mok takes both practical and theoretical components as interconnected aspects throughout her creative process. She is eager to experiment in a variety of ways in the communication of her ideas. Mok is open and always ready to play with and incorporate emerging situations or technologies in her artistic pursuits for the generation of unexpected, meaningful outcomes.

55


JR Baldwin (US)

Tidepools (Turkish Protest Version) Instalasi 2013 Pada kuartal kedua tahun 2013, resistensi rakyat Turki direspon secara represif oleh negara, dengan serangan gas air mata dan penangkapan demonstran besar-besaran. Jonathan Baldwin akhirnya ikut mengambil bagian dari resistensi ini dengan mengembangkan platform pemetaan lokasi. Platform ini bisa diakses publik secara online untuk memetakan posisi serangan-serangan yang dilakukan oleh pemerintah di berbagai sudut kota. Dan yang paling penting, pengaksesnya bisa menginformasikan lokasi-lokasi yang dianggap aman atau tidak. Karya ini adalah artifak dari partisipasi seniman media baru ke wilayah resistensi sosial politik yang lebih konkrit. Demonstrasi di Turki merupakan salah satu gelombang Arab Spring yang hingga kini masih terus bergejolak di timur tengah dan sekitarnya. Ketika awal kemunculan gerakan ini, situs sosial media sempat menjadi sarana massa untuk berkonsolidasi dan melakukan mobilisasi. Kini setelah dua tahun, teknologi mandiri berkembang lebih spesifik dan menjadi strategi muslihat yang efektif untuk melawan kekuasaan. JR Baldwin adalah seorang perancang visual dan teknologi kreatif. Ia menempuh pendidikan di University of Southern California, Los Angeles dan The New School for Design, New York. Baldwin telah berpengalaman selama 7 tahun di bidang riset, pengembangan dan dukungan peralatan komunikasi bergerak. Ia juga telah memenangkan beberapa penghargaan internasional untuk kerjanya di bidang teknologi kreatif. In the second quarter of 2013, the resistance of Turkish people were repressed by the state, responded with gas attacks and large-scale arrests of demonstrators. Jonathan Baldwin finally took part in this resistance through developing a platform of location mapping. This platform can be accessed online by public to join the mapping of attack position by the state in every area. The most important thing, its users can inform every location, which is considered save or not This work is an artifact of the participation of new media artists into the concrete act in the political and social resistance area. Demonstration in Turket is one of Arab Spring waves, which still continues to flare up in the Middle East and beyond. In the beginning of this resistance happened, media social had become a medium for people to consolidate and to do mobilization. After two years, independent technology is developing into more specific and becoming an effective deception rule to resist. JR Baldwin is a Visual Designer and Creative Technology. He studied at University of Southern California, Los Angeles and The New School for Design, New York. Baldwin has 7 years work experience in the field of research, development, and support of mobile communication tools. He also won several international award for his works on creative technology.

56


Julius von Bismarck (Germany)

Image Fulgurator 14’04” 2007-2008 Image Fulgurator adalah perangkat yang dikembangkan oleh Julius untuk mengintervensi hasil rekaman fotografis. Secepat lampu kilat, perangkat serupa kamera-pistol ini menembakkan tulisan, gambar, dan simbol lainnya, kearah obyek fotografi. Secara kasat mata, tidak akan tampak apapun pada obyek. Namun simbol-simbol yang ditembakkan tadi baru akan muncul pada hasil fotografi. Walaupun teknologi ini nampak seperti mainan ‘prank’, namun sang seniman mengoptimalkan penggunaannya pada figur-figur berkuasa yang kerap menjadi target fotografi jurnalistik. Seperti menambahkan simbol salib pada podium presiden Amerika, atau tulisan “no” pada mimbar Paus Benediktus. Intervensi yang dilakukan terhadap para figur ini, tidak hanya sekedar mengintervensi citraan fotografisnya, namun juga citra personal dan afiliasinya jika hasil foto tersebut tersebar media massa. Julius von Bismarck lahir di Jerman dan menghabiskan masa mudanya tumbuh di Arab Saudi dan Jerman. Ia belajar dan bekerja di New York dan di Universitas Berlin Fine Arts (UDK) dengan Prof. Joachim Sauter, dimana ia sedang menyelesaikan studinya dengan Olafur Eliasson di Institute for Spatial Experiments. Menggabungkan teknik-teknik dari bidang seni rupa, film, ilmu pengetahuan sosial dan fisika, pekerjaan artistik dan sinematografisnya, sebagai operator kamera, fokus pada penggunaan media yang berbeda untuk mengeksplorasi persepsi kita, representasi dan rekonstruksi realitas. Dianggap sebagai salah satu seniman muda yang paling inovatif di bidangnya, von Bismarck menerima Ars Electronica, Nica emas 2008, untuknya karya ‘Image Fulgurator’. Image Fulgurator is a device developed by Julius to intervene photograph. As fast as flash, this pistol-like camera can shoot texts, images, and other symbols out to a photographic object. With naked eye, nobody can see anything on the objects. The symbols shot will be visible in the printed photograph. Even though the technology looks like prank toy, the artist optimizes its use to ruling figures, those who are often targeted by photojournalists. Some of the ways of the optimization include shooting cross symbol to the president of United States podium and shooting “NO” word to Pope Benedict rostrum. When published in mass media, this kind of intervention will not only affect the photograph, but also the persons and their affiliation images. Julius von Bismarck was originally born in Germany and spent his youth growing up in Saudi-Arabia and Germany. He studied and worked in New York and at Fine Arts University of Berlin (UDK) with Prof. Joachim Sauter, where he is completing his studies with Olafur Eliasson at the Institute for Spatial Experiments.Drawing on techniques from the fields of visual arts, film, social and physical sciences, his artistic and cinematographic work, as a camera operator, focus on the use of different media to explore our perception, representation and reconstruction of reality. Considered as one of the most innovative young artists in the field, von Bismarck received the Ars Electronica, 2008 Golden Nica, for his work ‘Image Fulgurator’.

57


Karel Doing (The Netherlands/Australia)

Four Eyes 06’05” 2002 Four Eyes adalah video hasil eksperimentasi proyeksi sinema dan permainan musik live. Dalam performance asalnya, pertunjukkan sepanjang 45 menit ini menggabungkan kumpulan potongan seluloid yang mewakili banyak genre. Transisi cut-to-cut diproyeksikan saling tumpang tindih dengan tayangan realtime pergerakan instalasi mekanik. Disaat yang bersamaan, instalasi mekanik tersebut digunakan untuk menciptakan ritme suara dari benturan dan gesekan komponennya, sebelum akhirnya diberi ilustrasi lewat instrumen musik sungguhan. Performance Four Eyes dilakukan pada tahun-tahun awal dekade 2000-an. Masa dimana digital video perlahan mulai menjadi alternatif bagi medium sinema. Pada karya ini, Karel Doing memanfaatkan video sebagai medium akhir yang mengawetkan eksperimentasi organik yang dibangun lewat bantuanbantuan footage temuan analog dan perangkat berbasis non-digital. Karel Doing lahir 1965 di Canberra, Australia. Memulai hidupnya sebagai seorang pengagum sinema surealis, estetika romantis dan Amerika Baru. Karyanya pernah ditayangkan dan dipamerkan di perlbagai ruang publik, dari kota-kota seni terkemuka (New York, London, Paris) hingga kota-kota lainnya (Jakarta, Paramaribo, Kabelvåg). Kini, ia tinggal dan bekerja di Rotterdam. Four Eyes is video based on experimentation of cinema projection and music live playing. In the former performance, this 45 minutes performance combining a collection of pieces celluloid that represent many genres. Cut-to-cut transition is projected, overlap with impressions real-time movement of mechanical installations. At the same time, those mechanical installations used to create rhythm sound of collision and friction components, before finally illustrated through the real musical instrument. Four Eyes Performance is done in the beginning of 2000, era when digital video starting to be a cinema medium. In this work, Karel Doing used video as final medium that preserve organic experimentation that was built through the assistance footage findings based on analog and non-digital devices. Karel Doing was born in 1965 at Canberra, Autralia. Started his life as an admirer of the surrealists, romantic aesthetics and the new American Cinema. His work is screened anda exhibited in a wide range of public spaces, as well in global art crosspoints (New York, London, Paris) and on less obvious locations (Jakarta, Paramaribo, Kabelvåg). Now, he lives and works in Rotterdam.

58


Kentaro Taki (Japan)

Tangram 03'11" 2011 Kentaro Taki menggunakan balok-balok Tangram sebagai medium tayang rekaman-rekaman video yang dibuatnya sebelum dan pasca bencana gempa bumi dan tsunami besar di Tōhoku, Jepang, pada Maret 2011. Dalam video ini, balok-balok tersebut dikombinasikan dengan cara ditumpuk, disejajarkan, diputar, hingga akhirnya dibongkar kembali. Sebagai sebuah puzzle, Tangram tidak terpaku pada satu bentuk definitif akhir yang dibangun oleh pecahan-pecahannya. Permainan puzzle dari timur ini dikenal karena setiap pecahan dapat menjadi bentuk baru jika dikombinasikan dengan bagian lainnya yang tidak berbentuk sama persis. Cara kentaro memainkan balok sebagai representasi ruang yang direkamnya dalam video, adalah bentuk usahanya untuk mengkonstruksikan waktu dan sudut pandangnya yang berkaitan dengan bencana besar tersebut. Seperti saat dia bernarasi tentang ketidaktahuannya akan energi listrik sebelum bencana tersebut berujung pada tragedi pembangkit listrik Fukushima. Kentaro Taki, lahir di Osaka, Jepang pada ’73. Pada 1996 menyelesaikan jenjang Magister seni rupa di Department of Imaging Arts and Sciences Musashino Art University. Ia berkarya dengan medium seni suara dan gambar dengan teknologi video dan komputer. Ia mendapatkan beberapa penghargaan seperti Cultural Agency of Japan(2002), POLA ArtFoundation (2003) di Karlsruhe. Jerman. Sekarang dia bekerja sebagai Direktur Pusat VIDEOART Tokyo, dan mengabdikan dirinya untuk menciptakan jaringan seni alternatif dan berinovasi dengan situasi. Kentaro Taki uses Tangram blocks as a medium for footage video before and after an earthquake and big tsunami in Tohoku, Japan, in March 2011. In this video, those blocks were combined with stacked, aligned, rotated, until finally dismantled again. Looks like a puzzle, Tangram is not fixated to the final definitive form built by fragments. This puzzle game came from the Easth is known because every fragment can be a new form if it is combined to other which has no exact shape. Kentaro’s way playing blocks as a representation of the space he recorded in the video is his way constructing time from his point of view regarding that disaster. As for example, when he was narrating his ignorance of electrical energy before the disaster led to the tragedy of the Fukushima power plant. Kentaro Taki, born Osaka,Japan in ‘73. In 1996Completion, Master degree of fine arts of ‘Master course of Department of Imaging Arts and Sciences Musashino Art University. Making Art of Sounds and Images with video technology and computer. As dispatched artist granted by Cultural Agency of Japan(2002), POLA ArtFoundation (2003) in Karlsruhe. Germany. Now he works as a director of VIDEOART CENTER Tokyo, and devote himself to creating alternative artist’s network and innovating the situation.

59


LC von Sukmeister (The Netherlands)

The Art Collector Instalasi 2013 Instalasi The Art Collector mengajak penonton melihat kedalam lukisan, dan akhirnya disuguhi adegan picisan yang dicuplik dari intro film porno. Menariknya, film porno kali ini menggunakan latar belakang cerita antara seniman dan kolektor yang oleh LC von Sukmeister diedit-dubbing dengan dialog baru. Sebuah pembicaraan asal-asalan dan tidak penting seputar estetika visual, kebuntuan berkarya seorang seniman, dan keinginan untuk mengkoleksi. Tak hanya mengakali footage temuan, LC von Sukmeister bahkan juga mempresentasikan ulang lukisan kitsch yang menjadi properti di film porno tersebut. The Art Collector merupakan cara melihat kedalam sebuah karya seni secara voyeurism, dengan kepuasan ala fetish pornografi. Serupa para kolektor yang mendapatkan kepuasan kebendaan lewat lukisan. L.C. von Sukmeister Esq. MA (lahir 1981), adalah nama samaran R.S. (Suki) de Boer seorang para-performer seniman-sejarawan sejak tahun 2005. Ia keturunan Jawa dan besar di Belanda. Mendapat pelatihan sebagai sejarawan seni di Universitas Radboud Nijmegen, dia saat ini mengerjakan disertasi PhD-nya di VU University Amsterdam di Belanda. Penelitian PhD-nya adalah tentang seni yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan oleh perusahaan-perusahaan multinasional Eropa. Khususnya ia memfokuskan pada sebuah proyek Clegg & Guttmann di kantor pusat bekas BANK DG di Frankfurt pada tahun 1995, pada sebuah proyek oleh Maurizio Cattelan di alunalun publik di Milan didanai oleh perusahaan fashion Trussardi pada tahun 2004, dan pada sebuah proyek oleh Andrea Fraser diproduksi untuk pembukaan ruang seperti museum pameran dari Generali Foundation di Wina pada tahun 1995. Installation in The Art Collector invites audience to see a painting closely, and finally the audience treated with pulp scenes from porn movie introduction. The interesting point is the porn movie used stories between artists and collectors that Sukkmeister edited and dubbed with new dialogue as a background. A random and unimportant conversation about visual aesthetics, an artist working impasse, and the desire to collect the artwork were shown. Sukmeister is not only outsmarting finding footage, but also representing kitsch painting that became property in that porn movie. The Art Collector is a way of looking an artwork in voyeurism, using satisfaction style like in the porn fetish, which is also the same with the way the collector get satisfaction through painting. L.C. von Sukmeister Esq. MA (b. 1981) is the pseudonym of R.S. (Suki) de Boer a para-performative artist-historian since 2005. He is of Javanese descent and is raised in the Netherlands. Trained as an art historian at the Radboud University Nijmegen, he currently works on his PhD dissertation at the VU University Amsterdam in the Netherlands. His PhD research is about art-related corporate activities by European multinational companies. In particular he focuses on a project by Clegg & Guttmann in the headquarters of the former DG BANK in Frankfurt in 1995, on a project by Maurizio Cattelan on a public square in Milan funded by fashion company Trussardi in 2004, and on a project by Andrea Fraser produced for the opening of the museum-like exhibition space of the Generali Foundation in Vienna in 1995.

60


Leonard Retel Helmrich (The Netherlands)

Single-Shot Cinema Project (The Eye of the Day, Shape of the Moon, Position Among the Stars) Varied 2001, 2004, 2010 Project ini terdiri dari trilogi film Stand van de Zon, Stand van de Maan, dan Stand van de Sterrn. Ketiga film ini merupakan rekaman kehidupan sebuah keluarga kelas pekerja dengan latar belakang keyakinan yang berbeda-beda dalam menghadapi perubahan sosio-politik Indonesia di saat dan pasca reformasi. Hampir satu dekade, sang sutradara mengikuti kehidupan keluarga ini dari Jakarta hingga ke kampung halaman mereka di Jawa Timur. Dibalik cerita yang di dokumentasikan oleh Leonard Retel Helmreich, proses produksi trilogi ini harus berkompromi dengan fasilitas teknis yang tersedia di Indonesia kala itu. Terlebih ketika para kru harus melangsungkan produksi di desa kecil yang cukup terpisah dari Jakarta. Dibawah keterbatasan ini, Leonard mengembangkan secara mandiri perangkat mobilitas kamera, seperti crane dan dolly, menggunakan sumber daya alam dan teknis yang tersedia di lokasi tersebut. Menariknya, sang sutradara belajar bagaimana memanipulasi kebutuhan teknis ini lewat cara pandang kelompok kelas pekerja dan warga desa dalam beradaptasi (baca: mengakali) dengan perubahan sosial di Indonesia. Leonard Retel Helmrich lahir pada 1959 di Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan di Netherlands Film and Television Academy pada 1986 dengan film fiksi buatannya ‘De Drenkeling’ (The Drowning Man). Sebagai seorang sutradara film khas pertamanya dibuat pada 1990 berjudul The Phoenix Mystery. Pada 1991 ia mengoperasikan kamera filmnya sendiri dan merekam-menyutradarai documenter berjudul Moving Objects, yang menjadi sukses di kampung halamannya sendiri,Belanda. Ia merekam sekaligus menyutradarai sendiri film-filmnya, dan sangat terkenal untuk filosofi dan pendekatannya yang disebut ‘Single Shot Cinema’, yang melibatkan pengambilan gambar yang panjang dengan kamera yang bergerak dengan sangat luwes, bergerak mendekat ke subyek, dan diatas semua itu, adalah konsep framing dan pergerakan kameranya yang menangkap dan membimbing emosi dari penonton. This project consisted of trilogy movies (Stand van de Zon, Stand van de Maan, and Stand van de Sterrn). The trilogy was documentaries of the lives of working class families with different religious backgrounds in facing social-political changing in Indonesia in the moment of and after Reformation. The director filmed the family journey for a decade (since the family was in Jakarta until they got back to their hometown in East Java). When filming, the film crews had to deal with limited technical devices, especially when they had to execute production process in a small village which was quite far from Jakarta. Under this circumstance, Leonard independently developed mobile camera devices, such as crane and dolly, by using technical and natural resources in the village. Interestingly, the director learnt how to manipulate this technical need with the working class and villagers’ viewpoint in dealing with social changing in Indonesia. Leonard Retel Helmrich was born in 1959 in the Netherlands. He finished the Netherlands Film and Television Academy in 1986 with his fiction film “De Drenkeling” (The Drowning man). As a director he made in 1990 his first feature film The Phoenix Mystery. In 1991 he operated the film camera himself and filmed and directed the documentary Moving Objects which was an success in the his home country the Netherlands. He shoots as well as directs all his own films, and is best known for a philosophy and approach called ‘Single Shot Cinema’, which involves long takes with a flexible but smoothly moving camera, moving close to the subject, and above all in his films it is the framing and movement of the camera that captures and leads the emotions of the audience.

61


Lernert & Sander (The Netherlands)

Elektrotechnique 02'50" 2011 Sepasang sepatu hak tinggi bergerak menendang-nendang diatas tempat tidur dengan bantuan poros mekanik. Di rekaman lain, ada kursi yang berlubang di bagian bawahnya dan terlihat sebuah batang serupa lingga muncul dan berputar dari bawah lubang. Perangkat-perangkat ini dengan mudah dapat diasosiasikan sebagai sebuah sex toy. Tapi sejatinya mekanik penggeraknya adalah peralatan dengan fungsi teknis dasar di wilayah rumah tangga dan pertukangan, seperti vaccum cleaner dan bor listrik. Dalam Electrotechnique, Lernert dan Sander secara jenaka mengkonversi kemampuan teknis primer perangkat di atas untuk fungsi pemenuhan kebutuhan nafsu instingtif. Adalah umum bagi konsumen untuk mengaplikasikan sebuah perangkat ke wilayah yang sama sekali berbeda dengan tujuan ketika awal perangkat tersebut diproduksi. Fenomena ini dikemas oleh kedua seniman sebagai sebuah musik video yang sublim dengan manipulasi warna pastel yang erotis, dan juga memiliki eskalasi performa menuju klimaks, layaknya seksualitas. Lernert Engelberts (1977) dan Sander Plug (1969) adalah dua seniman Belanda yang sangat berbakat, yang berbasis di Amsterdam. Mereka membuat film dan instalasi dengan konsep seni yang tinggi dan berkelas, dengan penyutradaraan sederhana tapi menakjubkan, semuanya didorong oleh rasa humor yang halus, kering, dan nakal. Mereka telah membuat sebuah instalasi yang amat menarik untuk tampilan window display di Selfridges, di mana mereka mengubah benda-benda rumah tangga yang berukuran besar menjadi sepatu fashion wanita yang berkelas. Lernert & Sander mendorong kesederhanaan kepada batas estetis yang paling kuat dan telah dinominasikan untuk sejumlah hadiah, memenangkan penghargaan Dutch Design Award for Best Motion Design di 2011 untuk film mereka “Elektrotechnique”. Mereka juga adalah kontributor rutin majalah Butt. Lernert dan Sander saat ini tinggal dan bekerja di Amsterdam, Belanda. A pair of high heels performed a kick movement on a bed by the help of mechanical shaft. In another shot, a phallus-like rod popped up and spun from the bottom of a hole of a chair. These devices could be easily associated with sex toys. But essentially the motor of all the devices were household and craftsman equipment, such as vacuum cleaner and electric drill. In Electrotechnique, Lernert dan Sander wittily change the original technical function of the devices into ways to fulfil instinctive desire. It is common for the consumer to use devices differently from their original functions. By the two artists, this phenomenon was packaged into a sublime music video with erotic pastel colour manipulation, with escalation to climax, as in sexuality. Lernert Engelberts (1977) and Sander Plug (1969) are two highly talented Dutch artists based in Amsterdam. They create high-concept art films and installations, with simple but stunning art direction, all driven by their subtly dry, cheeky sense of humour. They have created eye-catching installations for the windows at Selfridges, where they transformed large household objects into high fashion ladies’ shoes. Lernert & Sander push simplicity to its most aesthetically powerful limits and have been nominated for a number of prizes, winning a Dutch Design Award for Best Motion Design in 2011 for their film ‘Elektrotechnique’. They are also regular contributors to the delightful Butt Magazine. Both Lernert and Sander are currently living and working in Amsterdam, the Netherlands.

62


Lukas Birk & Sean Foley (Austria & Ireland)

Afghan Box Camera Varied 2011–2013 Dibawah tekanan rezim Taliban, fotografi diharamkan di Afghanistan. Embargo ekonomi dan dihalanginya akses informasi juga menjadikan peredaran perangkat serta pemahaman akan fotografi di negara ini nyaris tidak ada. Tapi hal ini tidak menghalangi fungsi praktek fotografi di Afghanistan, terutama pas foto identitas, untuk terus berlangsung. Afghan Camera Project mendokumentasikan sekelompok fotografer di sudut jalanan Kabul. Represi-represi tersebut membuat mereka memproduksi sendiri perangkat yang berfungsi sebagai kamera sekaligus kamar gelap sekaligus. Tak ada penghitungan rana-diafragma, tak ada format master layaknya seluloid, ataupun pewarnaan ala aplikasi digital. Tanpa dukungan industri, para fotografer jalanan ini bahkan mengembangkan metode produksi sendiri, dengan formula yang mengabaikan pakem teori fotografi. Lukas Birk adalah seorang seniman multimedia, penjelajah, serta organizer kelahiran Australia. Ia mengenyam pendidikan di Austria dan Inggris. Sebelumnya ia adalah seorang jurnalis untuk media di Jerman dan Austria, ia juga pernah bekerja sebagai koresponden berita dan fotografer di awal masa remajanya. Lukas telah berpameran di 3 benua, termasuk sebuah instalasi dengan skala besar di Israel dan China. Ia memberikan ceramah dan kuliah tentang seni multimedia. Kafkanistan adalah proyek publikasi besar pertamanya, tentang turisme dan zona konflik dengan focus pada Afganistan. Saat ini dia tinggal di China dan Indonesia dan tetap melakukan perjalanan selama 4 bulan dalam setahun. Under Taliban regime, photography was forbidden in Afghanistan. Embargo and information blockade also decreased photography equipment distribution and declined the society knowledge on photography. This condition did not stop the practice of photography in Afghanistan, especially because the residents still need pass photograph to show their identity. Afghan Camera Project documented a group of photographers in the corner of Kabul Street. The repression made them produce their own devices communally. The devices function both as camera and darkroom. There was no diaphragm shutter estimation, master format, or digital colouring. Without industry support, the street photographers develop their own production method whose formula was different from photography theory standard. Lukas Birk is an Austrian born multi-media artist, explorer and organizer. He was educated in Austria and the U.K. A former journalist for Austrian and German media, he has worked as news correspondent and photographer in his late teens and early twenties. Lukas has exhibited his work on 3 continents including large scale installations in Israel and China. He gives lectures and teaches multi-media art. Lukas’ first major publication Kafkanistan (2008) is about tourism to conflict zones with focus on Afghanistan. He currently lives in between China and Indonesia and keeps traveling for at least 4 months a year .

63


M.R. Adytama Pranada (Indonesia)

Fictional Truth Collection #2, The Golden Umbrella Instalasi 2013 Payung emas adalah sebuah peninggalan raja Badarudin saat membawa kesultanan Palembang dalam kejayaan di abad ke 19. Kini setelah lebih dari dua abad, keberadaan serta sejarah payung harta karun ini coba dilacak kembali. Bagaimana payung ini bisa dianggap menjadi perlambang kemakmuran, dan museummuseum negara kolonial menjadi muara akhir penyimpanan artefak-artefak sejarah Nusantara, diilustrasikan dalam project The Golden Umbrella The Golden Umbrella adalah lanjutan dari project Fictional Truth pertama. Project ini menggunakan presentasi audio visual untuk mengilustrasikan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat Indonesia. Mitos yang disorot umumnya berotasi pada keberadaan benda atau entitas yang menjadi simbol kejayaan kekuatan di masa lalu. Bagi Charda, kaburnya sejarah serta pengharapan akan kemakmuran yang dibawa oleh negara atau pemimpin, adalah sebagian faktor kenapa masyarakat Indonesia masih mempercaya cerita lisan diluar nalar seperti harta karun. M.R. Adytama Pranada, atau lebih dikenal Charda, lahir di Surabaya pada 1987. Ia menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung di jurusan Seni Grafis pada 2006. Charda telah aktif berpameran sejak 2005 di berbagai tempat di Indonesia. Pada 2011, ia mendapatkan Soemardja Award, sebagai mahasiswa terbaik lewat karyanya “Existing Memoirs-Existing Being”.

The Golden Umbrella is a King Badarudin’s relic that believed bring Palembang kingdom into victory in 19th history. Today, after more than two centuries, the existence and history of this treasure is tried to trace back. How does this umbrella can be considered a symbol of prosperity, and the museums of the colonial state to be the estuary final storage of archipelago historical artifacts, are illustrated in The Golden Umbrella Project. The Golden Umbrella is a continuation from the first Fictional Truth. This project used audio-visual representation to illustrate several myths believed by Indonesian. Highlighted myth generally rotates on an object or entity that became a symbol of the triumph of the power of the past. For Charda, blurring of history and hope of the prosperity brought by the state or leader, are some factors why Indonesian people still believe in oral stories as a treasure beyond reason. M.R. Adytama Pranada, well-known Charda, born in 1987. He was educated at the Bandung Institute of Technology in the Printmaking Department in 2006. Charda has been actively exhibited his works since 2005 in various places in Indonesia. In 2011, he gets the Soemardja’s Award, as the best student through his works, “Existing MemoirsExisting Being”.

64


Marcantonio Lunardi (Italy)

The Choir 04’13� 2013 Marcantonio Lunardi menyuguhkan gambaran atmosfir kesakralan sebuah gereja dengan iringan kidung para penyanyinya. Hanya saja, alih-alih menyanyikannya secara langsung, para penyanyi ini malah mengangkat layar televisi yang menyiarkan rekaman kegiatan paduan suara dengan sesekali diselingi iklan televisi. The Choir merefleksikan strategi yang dipakai masyarakat untuk mengoptimalkan penerapan nilai-nilai lewat teknologi. Tak terkecuali kesakralan religiusitas. Teknologi audio visual digunakan untuk memotong jarak dan waktu. Cara menyanyikan kidung yang baik juga bisa tidak terus-terusan dilatih. Karena untuk keperluan kegiatan kegamaan, hal tersebut juga bisa diawetkan dan dipakai berulang-ulang. Dalam video ini kemudian ditunjukkan bahwa nilai yang mereka sembah pada akhirnya berbagi ruang konsumsi yang sama dengan produk pabrikan. Marcantonio Lunardi adalah seorang sutradara, cameramen, dokumentaris. Ia telah melatih, sejak awal karirnya, sebuah kontaminasi teknik visual, yang mana menjadi ciri khas dari karya-karyanya. Lulus dari Festival des Peuples, ia belajar bersama-sama dengan Daniele Gaglianone, Leonardo di Costanzo, Giuseppe Napoli, Gherardo Gossi, Marie-Pierre Duhamel Muller, Luca Gasparini. Dengan mengikuti kelas ahli bersama Michael Glawogger, Sergei Dvortsevoy, Thomas Heis, dia telah berhasil untuk memperdalam pengetahuannya tentang seni penyutradaraan dan aspek-aspek tersulitnya. Marcantonio Lunardi shows sacred images of a church accompanied by choir. Instead of singing live, the singer is lifting the television screens which broadcast footage of choral activities interrupted with advertisement sometimes. The choir reflected a strategy used by people to optimize the application of values through technology, including the sanctity of religiosity. Audio-visual technology was used to cut the distance and time. The way the choir singing could also not be constantly trained because in for the purposes of religious activity, it can also be preserved and used repeatedly. In this video, the sacred value finally shared consumption place with fabricated product. Marcantonio Lunardi is Director, cameraman, documentarist, He has practiced, since the beginning of his experience, a contamination of visual techniques, which is the most significant feature of his work. Graduated from the Festival des Peuples, he studied, among the others, with Daniele Gaglianone, Leonardo di Costanzo, Giuseppe Napoli, Gherardo Gossi, Marie-Pierre Duhamel Muller, Luca Gasparini. By following the master class with Michael Glawogger, Sergei Dvortsevoy, Thomas Heis, he has been able to deepen his knowledge of the directing art and of its hardest aspects.

65


Marek Kucharski (Poland)

Return Instalasi 2013 Inilah yang terjadi jika objek temuan sebagai material pembangun sebuah karya tetap dimaknai sebagai produk konsumsi dengan fungsi awalnya yang bisa dibeli, dirangkai, tinggal diberi nilai seni, dan akhirnya dibongkar. Seluruh proses ini direkamnya dalam video dan disertai dengan artifak dokumen legal. Konvensi ekonomi sudah bersinggungan dengan seni rupa jauh sebelum sebuah karya seni tercipta dan memiliki nilai jual sebagai produk collectible. Seniman lebih dulu berurusan dengan struk pembelian di toko material, sebelum sertifikat di galeri komersil atau balai lelang. Dalam Return, sang seniman memanfaatkan konvensi-konvensi, seperti regulasi dagang atau hak konsumen, untuk membuat wujud karya seni menjadi lebih cair secara harafiah. Setidaknya Marek telah berhasil menipu perdagangan produk konsumsi, dengan mengembalikannya setelah tugasnya sebagai karya seni berakhir. Marek Kucharski, 1982, belajar di National Film, Television and Theatre School di Lodz dan di Fakultas Komunikasi Multimedia di University of Art di Poznan. Karya-karyanya meliputi are film, fotografi, dan seni rupa. Ia telah menerima penghargaan dan hibah dari kota Warsawa dan Lodz sebagai hasil karya artistiknya. Ia telah memamerkan karya-karyanya di Wroclaw Contemporary Museum (2011) , the National Museum di Krakow (2012), Centre of Contemporary art di Torun (2011), Arsenal Gallery, Poznan (2012) dan di Kordegarda Gallery in Warsawa (2012). Filmnya masuk dalam festival “Re Wizje invasion of the Independent Art” d Warsawa. Pada Februari 2013, dia bergiat sebagai seniman residensi di Australian Newcastle John Payneter Gallery untuk pamerannya ‘Trades’. This is what happens when the findings object was regarded as a builder material for fixed artwork then it was purposed as a product of consumption with its functions can be initially purchased, assembled, then rated with art value and the last, eventually dismantled. The whole process was recorded with video format and accompanied by legal document artifacts. Economic conventions already in contact with art long before a work of art is created and had trading value as collectible products. The artist, firstly, must deal with the receipt of purchase at material store, before dealt with a certificate in commercial galleries or auction houses. In Return, the artist used several conventions such as trade regulation of consumer rights to create a form of artwork that becomes more fluid literally. At least Marek is able to deceive the trade of product consumption after Mazek returning the product when the artwork was ended. Marek Kucharski, 1982, studied at the National Film, Television and Theatre School in Lodz and at the Faculty of Multimedia Communications at the University of Art in Poznan. His work includes the area of film, photography and visual arts. He has received grants and awards from the city of Warsaw and Lodz for artistic results. He exhibited his works in the Wroclaw Contemporary Museum (2011), the National Museum in Krakow (2012), Centre of Contemporary Art in Torun (2011), Arsenal Gallery, Poznan (2012) and the Kordegarda Gallery in Warsaw (2012). His films were at the festival “Re Wizje invasion of the Independent Art” in Warsaw. In February 2013, he worked as artist-in-residence at the Australian Newcaslte John Payneter gallery on his exhibition ‘Trades’.

66


Mark Chapman (UK)

Trans 07’23� 2013 Karya ini dibangun lewat rangkaian seri foto wanita yang diambil dengan kecepatan rendah disaat sang obyek bergerak. Hasilnya, gambar yang ditangkap kamera tampak terang bahkan di ruang gelap sekalipun. Namun disaat bersamaan gambar tubuh yang ditangkap menjadi kabur karena karena obyek bergerak melampaui kecepatan rana. Pada Trans, Marc bermain-main dengan kemungkinan teknis yang mungkin dicapai dari rangkaian foto yang sekilas nampak tidak jelas. Dengan teknik transisi frame, foto-foto tersebut akhirnya dirangkai menjadi sebuah video. Ditengah kaburnya artikulasi tubuh, justru pada akhirnya video ini menyuguhkan sekuens fotografis yang sangat dinamis. Trans berhasil bertutur tentang pergerakan tubuh seorang wanita di area personalnya, kemudian perlahan bergeser ke ruang-ruang terbuka dan membaur dengan individu lain. Perbincangan wilayah tubuh akhirnya melintas ke wilayah identitas. Mark Chapman lahir pada 1980, adalah seoarang pembuat film dan juga seniman yang bermukim di Newcastle, tepatnya di Tyne, Inggris. Karya gambar bergeraknya telah terpilih pada beberapa festival film internasional. Yang terakhir adalah pemutaran TRANS yang meliputi : London Short Film Festival; Glasgow Short Film Festival; Flatpack 7, Birmingham. Pada 2010 Chapman (bersama dengan Funny Onion) terpilih untuk Berlinale Talent Campus at the Berlin Film Festival. Sebagai seorang fotografer, ia telah ikut berkontribusi bagi beberapa majalah seperti ID, Screen International, Sight & Sound dan Aesthetica. This work is built up by series of women photographs taken with slow shutter speed technique. The camera shot when the object was moving. The object shot looks bright even if it is in the dark room. In the same time, the object shot looks blurred since the object moved beyond shutter speed. In Trans, Mark plays with technical possibilities which can be acquired by series of photos which look blurred in a glance. With frame transition technique, those photographs were arranged to be a video. Amidst blurred body articulation, this video offers dynamic photographic sequences. Trans conveys a woman movement from her intimate space to public space, fusing with other persons. Dialogue in the context of body transforms into dialogue in the context of identity. Mark Chapman (born 1980) is a filmmaker and artist based in Newcastle upon Tyne, UK. His moving-image work has been selected for numerous international film festivals. Recent TRANS screenings include (2013): London Short Film Festival; Glasgow Short Film Festival; Flatpack 7, Birmingham. In 2010 he was selected (with Funny Onion) for the Berlinale Talent Campus at the Berlin Film Festival. As a photographer, he has contributed to magazines such as ID, Screen International, Sight & Sound and Aesthetica.

67


Marten Persiel (Germany)

This Ain't California 52' 2012 Negara blok timur selalu diidentikan dengan kepatuhan warga negaranya karena kontrol kekuasaan. Namun film This Ain’t California mendokumentasikan dengan apik dan kronologis kisah pembangkangan sekelompok anak muda di sebelah timur tembok Berlin lewat skateboard. Kesenangan bermain skateboard muncul sebagai penolakan hegemoni disiplin atletik yang selalu diunggulkan negara sekutu Soviet dalam bidang olah raga. Cara sekelompok remaja ini dalam membangun jaringan dan juga mengakali distribusi perangkat papan luncur yang diidentikan dengan kebebasan ala negara kapitalis, akhirnya turut membawa mereka menjadi bagian dari gerakan perubahan politik. Dokumenter karya Marten Persiel ini menjadi kontroversi di berbagai festival karena dianggap menipu lewat penggunaan rekaman-rekaman amatir yang otentisitasnya sulit dipercaya. Dirinya sadar bahwa format media rekam mampu mewakili karakter audio visual suatu masa. Terlebih untuk format amatir seperti Super 8, VHS, atau Betamax. Walaupun kebenarannya diragukan, film ini berhasil memberi kekuatan baru pada footage-footage “ilustrasi“ yang seringnya menjadi sekedar bumbu pada film dokumenter. Pembuat film, penulis, dan sutradara iklan Marten Persiel adalah seorang pengembara yang eksentrik. Setelah perjalanan panjang selama 12 tahun melalui Inggris, Spanyol, Brazil, dan Filipina, ia kembali ke tempat kelahirannya di Berlin pada 2008, membawa pulang empat dokumenter, penghargaan pemenang iklan yang tak terhitung dan jaringan kerja antar pembuat film dan produser di seluruh dunia yang sempurna. Ciri khas Persiel adalah kedekatan ikatannya dengan sifat protagonis dan estetikanya sendiri. Ia selalu mencari format narasi yang tak biasa, yang tidak terlalu ketat untuk menyampaikan kisah-kisahnya. “THIS AINT CALIFORNIA”, sebuah proyek yang amat disayanginya, akan menandai puncak pencariannya sejauh ini. Eastern bloc countries have always being related with the obedience of its citizens to the state. However, This Ain’t California successfully and chronologically documented the story of rebellion by a group of young people in the east of Berlin Wall through skateboarding. The pleasure of playing skateboard emerged as rejection to the hegemony of athletic discipline, which always be seeded by Soviet allies in the sports field. The way this group built the distribution and outsmart the distribution of skateboard was likened like a freedom concept in the capitalist state, and this leads them to be part of political movement. Documentary movie by Marten Persiel becomes controversial in several festivals because it was regarded as cheating, using amateur recording that its authenticity is questionable. He is aware that media-format-recording is capable of representing the audiovisual character of a period of time. Especially, when he used amateur format such as Super 8, VHS, or Betamax. Though apocryphal, this movie is able to give new strength to the “illustration” footage, which sometimes only becomes the sweetener of this documentary movie. Filmmaker, author and commercial director Marten Persiel is a nomad and somewhat of an oddball. After a 12 year long odyssey through England, Spain, Brazil and the Philippines, he returned to his birthplace Berlin in 2008, bringing home four documentaries, countless award-winning commercials and an excellent network of filmmakers and producers all around the world. Persiel’s trademarks are his close bonds with his protagonists and his very own, off-key aesthetics. He always searches for unusual, less restrictive narrative formats to tell his stories. THIS AIN’T CALIFORNIA, a project particularly dear to Persiel, will mark a climax in this quest thus far.

68


Michiel van Bakel (The Netherlands)

Edison Bay 03'31" 2013

Pemandangan dari Teluk Edison Rotterdam di Dermaga Yangtze, dimana kontainer-kontainer dari China sedang dibongkar-muat. Pembauran dari dua atau kurang lebih dari realitas yang berbeda: sebuah figur manusia yang melayang dan sebuah cakrawala industri. Dengan soundtrack dari suara alam dan perangkat elektronik yang direkam di tempat. Dibuat dengan teknik animasi dari 25 sudut dengan bantuan beberapa kamera. Michiel van Bakel lahir pada 1966 di Deurne, Belanda. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Art Academy Psychopolis, Den Haag (1986) dan Art Academy, H.K.A Arnhem (1992). Ia sempat mempelajari astronomi dan psikologi selama beberapa tahun sebelum ia memilih untuk berekspresi secara bebas di sekolah seni. Van Bakel telah membuat film dan video juga patung (tembaga, besi, plastic) dan juga instalasi interaktif multi-media. Dalam hal ini dia mengkombinasikan elemen-elemen dasar fotografi dan video dengan teknik animasi digital. Sementara pendekatannya sangat teknikal, karyanya focus pada orang-orang di sekitar, kadang menghasilkan sebuah kenyataan yang puitis. Karya video dan instalasinya telah ditunjukkan di berbagai festival, teater, galeri, dan museum international.

View from Rotterdam’s Edison Bay on Yangtze Harbour, where large containers from China are unloaded. The mingling of two more-or-less different realities: a floating human figure and an industrial horizon. With a soundtrack of natural and electronic sounds, recorded on the spot. Animated from 25 angles with the aid of several cameras. Michiel van Bakel was born on 1966 in Deurne, The Netherlands. He studied fine art at the Art Academy Psychopolis, Den Haag (1986) and Art Academy, H.K.A Arnhem (1992). He attended studied astronomy and psychology for several years before he chose for free expression at art school. Van Bakel has made films and videos as well as sculptures (bronze, steel, plastics) and interactive multi-media-installations. In these he combines the elementary foundations of photography and video with digital animation techniques. While his approach is technical, his work focuses on people in their surroundings, often resulting in a poetic reality. The video works and installations are shown internationally at festivals, theatres, galleries and museums.

69


Moch Hasrul & Angga Cipta (Indonesia)

Direct #2 12'52" 2013 Direct diciptakan sebagai sebuah video tutorial bagi seniman performance tingkat dasar. Panduan penggunaan properti, pemaknaan adegan, hingga sekuens performance yang ideal, dituturkan secara kronologis dan dengan bahasa yang sederhana. Bahkan bagi yang tidak ingin menjadi seniman, video ini juga bisa menjadi sarana bagi penonton untuk memahami pertunjukan performance art yang acap kali cenderung berjarak walaupun ditonton berulang kali. Tentu saja, adegan performance art yang ditampilkan dalam Direct adalah sebuah stereotipe. Pengantar yang disampaikan juga mengajarkan bahwa penggunaan properti yang merepresi fisik dan adegan monumental dapat memanipulasi pesan yang disampaikan kepada penonton. Angga Cipta menghadirkan stereotype lewat simbol-simbol diatas, yang selama ini cenderung diulang-ulang dalam berbagai pertunjukkan hingga menjadi kesepakatan. Moch Hasrul, adalah seorang seniman dari Jakarta, Indonesia. Ia masih belajar seni rupa Universitas Negeri Jakarta. Hasrul telah berpameran secara kolektif di beberapa kota seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Bandung dan Malang. Ia bergabung dengan sebuah komunitas yang fokus pada pendidikan dan seni rupa bernama Serrum. Angga Cipta, adalah seorang seniman dari Jakarta yang lahir pada 1988 dan masih berusaha lulus dari Universitas Negeri Jakarta. Ia mempunyai hobi mengamati kejadian sehari-hari. Ilustrator dan desainer grafis paruh waktu yang masih menggemari seni cetak saring. Direct is created as a tutorial video for the beginner of performance artist. Guidance to use property, sensing the scene, and sequences of ideal performance are spoken in chronological order with the use of simple language. Even for those who do not want to be an artist, this video can be a guide for people to understand performance art, which sometimes always distancing although we see it repeatedly. Of course, the scenes in Direct is stereotype. The introduction presented also shows that the use of properties that repressed the physic and monumental scenes can manipulate the message to the audience. Angga Cipta presents stereotype through symbols which tend to be repeated in various shows so it can be an agreement. Moch Hasrul is an artist from Jakarta, Indonesia. He is studying fine arts at Universitas Negeri Jakarta. Hasrul had did several collective exhibiton in Jakarta, Solo, Yogyakarta, Bandung, and Malang. He joined with a community that focus on art and education, Serrum Angga Cipta, is an artist from Jakarta, which born in 1988 and still try to graduate from Universitas Negeri Jakarta. He likes to observe daily life situation, also a part-time illustrator and graphic designer and still have interest on printmaking.

70


Mores Zhan (Taiwan)

Ritual of Cathode Ray Tube 04'45" 2013 Era televisi tabung sudah berakhir dan tergantikan oleh teknologi LCD. Hal ini menjadikannya layak dikisahkan ulang sebagai sejarah. Berbeda dengan LCD, televisi tabung melakukan proses pengiriman pixel yang berbaris menjadi garis gambar ke permukaan phosphorescent. Proses itu dilakukan dengan sangat cepat. Agar proses ini mudah dimengerti, penjelasan tentang pixel-pixel gambar tersebut disimulasikan dengan pasukan kelinci yang membentuk formasi dibawah perintah dan iringan dirigen orkestra. Ritual of Cathode Ray Tube bertutur dengan metode film animasi pendidikan tentang teknologi atau penyuluhan kesehatan di pertengahan abad 20, dimana subyek-subyeknya disimulasikan secara secara personifikasi, diberi alur cerita, dan dihadirkan dengan wujud figuratif. Perekaan seperti ini dipakai agar subyek-subyek yang kompleks, dapat lebih mudah dicerna oleh target penontonnya yang awam. Mores Zhan lahir pada 1988 di Taiwan. Seniman kontemporer dan sutradara animasi. Seni animasi kontemporernya penuh dengan fantasi mustahil gambaran sosial dan beberapa video naratif non-linear, karyanya merupakan bentuk sosial dari alam animasi untuk mengeksplorasi instalasi khayalan. Sekarang ia hidup di Taipei, belajar di Taipei National University of The Art (Magister). Tube television eras has ended and replaced by LCD technology. This fact makes it feasible to be recounted as history. Different with LCD, tube television sent lines of pixels into image line into phosphorescent surface. The process was done very quickly. To make this process easy to understand, explanation about the image pixels was simulated using rabbit troops that make a formation in order and accompanied by an orchestra. Ritual of Cathode Ray Tube speaks with an educational animated movie about technology or health education in the mid-20th century, when subjects were simulated by personification, given a plot, and presented with a figurative form. This manipulation was using to make the complex subjects can easily be understood by common public. Mores Zhan B .1988 Taiwan. Contemporary artists & anima director. His Contemporary art animation is full of fantasy absurd social images and Multiple nonlinear narrative extension video, his work is social nature of animation to explore the fantasy Installation. Now Life in Taipei ,Study in Taipei National University of the Arts (MFA).

71


Nastasha Abigail (Indonesia)

Video Model 05'08" 2013 Dalam layar video, sekilas akan tampak foto still dari seorang model. Berbagai pose akan hadir silih berganti dengan lokasi dan busana yang berbeda. Namun itu bukanlah slideshow, karena ruang dimana dirinya berpose tidaklah membeku layaknya sang model. Nastasha Abigail tidak sedang membuat dokumentasi video dari sesi pemotretan fashion. Video ini dibuat dengan komposisi layaknya lembar ilustrasi rubrik fashion di majalah. Video Model membongkar kembali kepakeman bagaimana sebuah foto model diproduksi dan diaplikasikan. Karya ini merefleksikan teknik fotografi portraiture di masa analog awal, dimana model harus diam tak bergerak untuk selama beberapa detik saat cahaya terpapar ke lembar plat tembaga, hingga ke masa digital ketika kemampuan kamera fotografi pro-sumer melampaui kemampuan kualitas teknis kamera video, dan menjadikan wilayah kerja seorang fotografer mendadak hybrid dengan videografer. Nastasha Abigail Koetin, dikenal sebagai Radio Announcer di radio Trax FM Jakarta. Ia menyelesaikan studi jurnalistik di Universitas Pelita Harapan pada 2009. Ia juga seorang manajer grup musik bernama Zeke Khaseli. Ia juga bekerja sebagai Managing Director untuk Indonesian Street Art Award (ISAA) yang dikelola oleh Indonesian Art Database (ISAD). Pada 2012, ia menjadi curator untuk pameran “In. tro. Spek. Si” di Potluck, Bandung. On the screen, a still photograph of a model appeared in a glance. Various poses with different clothing and settings came out. However, it was not a slideshow since the room where the model posed were not still as she was. Nastasha Abigail was not making a video documentation of a fashion photography session. This video was made as something like a fashion rubric in a magazine. Video Model flexes the rigidity of the way photo models are produced and applied. This work reflects portraiture photography technique in the beginning of analogue era (when the models must have not moved for several seconds while the light was exposed to the copper plat sheet) up to the digital era when the capability of a pro-sumer photography camera exceeds the quality of video camera and creates a hybrid photographer (semivideographer photographers). Nastasha Abigail Koetin, is known as a Radio Announcer for Trax FM Jakarta. She finished her journalism studies at Pelita Harapan University in 2009. She manages the band Zeke Khaseli and is also working as the managing director for Indonesian Street Art Award (ISAA), which is developed by Indonesian Street Art Databse (ISAD). In 2012, she became a curator for the exhibition “In. tro. Spek. Si” at Potluck, Bandung.

72


Nicolas Provost (Belgium)

Tokyo Giants 22'16'' 2012 Ini adalah sebuah film neo-noir yang mengambil lokasi di kota Tokyo. Di sudut tergelap dan di balik pencakar langit ibu kota Jepang, sebuah kejahatan mengintai. Walaupun fasad kota tampak hidup dan hingar bingar, namun kasus penculikan dan pembunuhan membuat kota padat populasi ini berubah mencekam dimalam hari. Sudut kamera yang sangat lebar dan berjarak, serta cenderung disembunyikannya wajah sang pelaku dan korbannya, seolah mengajak penonton terlibat dalam thriller ini. Tokyo Giant menggunakan shot-shot dokumenter observatori untuk menerjemahkan secara visual dialog yang dicupliknya dari sebuah film fiksi. Walaupun obyek yang terekam kadang terlalu dramatis untuk terjadi di dunia nyata, namun jalanan Tokyo, seperti di Akihabara atau Harajuku, memang menyimpan banyak kejutan yang teatrikal untuk ditemui. Dalam video ini Nicholas Provost memahami betul karakter sebuah kota yang mampu menipiskan batas antara kenyataan dan fiksi. Nicolas Provost lahir di Ronse, Belgia. Sekarang ia tinggal dan bekerja di New York. Film pertamanya yang telah diakui secara kritis, ‘The Invader’ telah tayang dalam kompetisi Venice Film Festival 2011. Karya-karya Nicolas Provost mencerminkan bahasa sinema, kondisi manusia dalam memori film kita bersama dan hubungan antara seni rupa dan pengalaman sinema. Film-filmnya memancing pengakuan dan pengasingan dan sukses dalam menangkap ekspekstasi kita dalam sebuah permainan membongkar misteri dan abstraksi. Dengan memanipulasi waktu, kode dan bentuk, bahasa narasi dan sinematografi dibentuk dalam sebuah cerita baru. This is a neo-noir film set in Tokyo city. In the darkest corner and behind Tokyo skyscrapers, an evil lurks. Although the city looks lively and frenzied, but case of kidnapping and killing make the city becomes eerie at night. Camera angles are very wide and distancing, and tend to hide the face of the perpetrator and the victim, as if to invite the audience involved in this thriller. Tokyo Giant used documentary-observatory shots to read the dialog quoted from fictional movie visually. Although the object sometimes too dramatist in the real situation, but Tokyo streets like Akihabara and Harajuku hold many surprise for the theatrical encounter. In this video, Nicholas Provost really understands a character of a city which can omit the borders between reality and fiction. Nicolas Provost born in Ronse, Belgium. Now he lives and works in New York. His critically acclaimed first feature film ‘The Invader’ had it’s world premiere in competition at the Venice Film Festival 2011. Nicolas Provost’s work reflects on the grammar of cinema, the human condition in our collective film memory and the relation between visual art and the cinematic experience. His films provoke both recognition and alienation and succeed in catching our expectations into an unravelling game of mystery and abstraction. With manipulations of time, codes and form, cinematographic and narrative language are sculpted into new stories.

73


Niklas Roy (Germany)

Lumenoise Instalasi 2011 Lumenoise adalah perangkat berbentuk pena yang kurang lebih berfungsi sebagai audio-visual sythesizer dengan bantuan televisi. Cukup dengan menghubungkan kabel AV yang ada pada Lumenoise ke soket input dan dekatkan ujung pena ke layar kaca, maka pola-pola gambar dan dengungan acak akan muncul pada televisi. Gambar dan suara akan berubah sesuai dengan posisi bidang layar kaca. Tapi walaupun sebagai mainan DIY Lumenoise diciptakan di era digital, perangkat ini hanya kompatibel dengan televisi tabung. Televisi tabung memang semakin tergeser dengan kehadiran teknologi LCD yang semakin terjangkau semua lapisan konsumen. Tampilan HD, aspek rasio lebar, dan bentuknya yang ringkas, adalah kenikmatan menonton yang tidak lagi bisa ditawarkan oleh perangkat televisi tabung. Namun hal tersebut tidak menghentikan Niklas Roy untuk bersenang-senang dengan perangkat lama. Aspek teknologi analog yang ada pada televisi CRT (istilah teknis untuk tabung), terutama metodenya dalam menyusun garis horisontal sinyal video, sangatlah mudah untuk diintervensi secara elektronik dan menghasilkan efek yang tidak terduga. Niklas Roy, lahir pad 1974 di Nuremberg, Jerman, tinggal dan bekerja di Berlin. Roy menggunakan seni untuk mengeksplorasi teknologi. Hasil-hasil penelitiannya berupa patung-patung mekanik, mesin elektrik, performans interaktif dan perangkat elektronik. ‘Kami membuat uang bukan seni’ dapat menggambarkannya sebagai karakter yang jenaka dalam dunia ‘seni media baru’. Sebelum berkonsetrasi membuat karya seni, ia bekerja sebagai sutradara, sebagai animator 3D dan supervise visual efek untuk beberapa produksi film internasional. Lumenoise is a pen-like devise which functions as, with the help of television, an audio-visual synthesizer. By connecting AV cable in the Lumenoise to the input socket and bring the tip of the pen to the screen, sketch patterns and random drone will appear on television. The sketch and sound will change in accordance with the screen position. Even though this DIY Lumenoise was invented in the digital era, the device is only compatible with CRT television. Indeed, CRT television was getting more eliminated by the existence of LCD technology which is affordable for all segments of consumers. HD look, wide aspect ratio, and light thin shape of LCD TV provide some enjoyment that cannot be acquired from CRT TV. This did not stop Niklas Roy to have fun with old device. Analogue technology in CRT TV, especially which is related to its method in displaying horizontal lines of video signal, were easy to be interfered electronically. Combined with Lumenoise, CRT TV offers astonishing effects. Niklas Roy, born 1974 in Nuremberg, Germany, lives and works in Berlin. Roy uses art in order to explore technology. His researches result in mechanical sculptures, electric machines, interactive performances and electronic devices. ‘We make money not art’ once described him as one of the most facetious characters of the ‘new media art’ world. Before concentrating on making art, he worked as director, as 3D animator and as visual effect supervisor for several international film productions.

74


Niklas Roy (Germany)

PING Instalasi 2011 Terminologi Augmented Reality mendadak jadi populer ke wilayah konsumen. Teknologi yang melibatkan aspek rekam dan tayang real time ini banyak diaplikasikan ke wilayah rekreasional. Umumnya dengan bantuan perangkat dengan fitur rekam-tayang portabel seperti ponsel, pengguna dapat memberikan lapisan manipulatif ke rekaman sebuah ruang atau figur, agar tampak lebih dramatis. Dalam PING!, Niklas Roy menggabungkan teknologi augmented reality dengan permainan simulasi tenis meja di era awal video game yang cukup legendaris, Pong! Bedanya, dalam perangkat video game DIY ini, kita bisa mengontrol bola tanpa joystick ataupun dilakukan di layar monoton dengan warna pixel terbatas. Cukup menghubungkannya dengan kamera dan televisi, maka kita bisa mengontrol bola dengan tangan kita sendiri dan ruang manapun yang kita kehendaki. Niklas Roy, lahir pad 1974 di Nuremberg, Jerman, tinggal dan bekerja di Berlin. Roy menggunakan seni untuk mengeksplorasi teknologi. Hasil-hasil penelitiannya berupa patung-patung mekanik, mesin elektrik, performans interaktif dan perangkat elektronik. ‘Kami membuat uang bukan seni’ dapat menggambarkannya sebagai karakter yang jenaka dalam dunia ‘seni media baru’. Sebelum berkonsetrasi membuat karya seni, ia bekerja sebagai sutradara, sebagai animator 3D dan supervise visual efek untuk beberapa produksi film internasional. Augmented Reality terminology was suddenly popular among consumers. The technology which involves recording and real time broadcasting aspects are mostly applied in recreational sector. Aided by a portable device with recording-broadcasting feature like cell phone, the users will be able to give manipulative sphere to recorded rooms or figures so that they will look more dramatic. In PING!, Niklas Roy combines augmented reality technology with Pong!, a legendary table tennis game which was popular in the beginning of video game era. What distinguish PING! from Pong! is that the user of Ping! is able to control the ball without joystick, even in a monotonous low pixel screen. By connecting the device to a camera and television, we will be able to control the ball with our own hand, in any room we like. Niklas Roy, born 1974 in Nuremberg, Germany, lives and works in Berlin. Roy uses art in order to explore technology. His researches result in mechanical sculptures, electric machines, interactive performances and electronic devices. ‘We make money not art’ once described him as one of the most facetious characters of the ‘new media art’ world. Before concentrating on making art, he worked as director, as 3D animator and as visual effect supervisor for several international film productions.

75


Oliver Laric (Austria)

Versions 06'17'' 2012 Dalam Version, kita akan mendengar sebuah monolog tentang hierarki dari sebuah gambar, sambil disertai suguhan dua gambar serupa yang muncul secara bergantian atau seringnya sebagai jukstaposisi. Tampak bahwa Oliver ingin membicarakan bahwa hierarki gambar sangat berkaitan dengan sejarah dan gagasangasan kontemporer yang melekat dalam proses penciptaan ulang gambar tersebut. Seperti praktek apropriasi dalam seni rupa, karya baru juga bertanggung jawab untuk makna baru atas tanda visual yang dipinjamnya. Teknik reproduksi gambar yang terus berkembang dan berubah seiring jaman, juga turut memberi nilai pada hasil yang diciptakan. Tapi reproduksi citraan di era digital seperti copy, bajakan, ataupun remix, mendadak mengambil alih posisi sebagai yang “paling original”. Teknologi dengan sendirinya akhirnya memiliki kemampuan untuk memanipulasi otentisitas. Oliver Laric lahir pada 1981 di Innsbruck, Austria. Tinggal dan bekerja di Berlin. Ia belajar di Universität für angewandte Kunst Wina. Ia adalah seorang pendiri dari VVORK (http://www.vvork.com) dan juga anggota dari Neen (http://www.neen.org). Pameran terbarunya meliputi, ‘I love the Horizon’, Le Magasin-Centre National d’art Contemporain, Grenoble, ‘Montage: Unmonumental Online’, New Museum of Contemporary Art, New York, dan ‘Becks Fusions’, ICA, London. In version, we will hear a monologue about hierarchy in images accompanied by two similar images, appear separately as a frequent juxtaposition. We can see that Oliver want to talk about the hierarchy in images is closely related with history and contemporary ideas that cling into the process of images re-creation. Just like appropriation practice in art, new artwork has responsibility of a new meaning from the use of visual sign from previous artworks. Image reproduction techniques that continue to evolve and change also give a value to the created results. However, the reproduction of images in this digital age such as copy, piracy, or remix, suddenly took over the positions as “the most original” one. Technology, with its own hand, eventually have the ability to manipulate authenticity. Oliver Laric (born 1981 in Innsbruck, Austria) lives and works in Berlin. He studied at the Universität für angewandte Kunst Wien. He is one of the co-founders of the platform VVORK (http://www.vvork.com) and member of Neen (http://www.neen.org). Recent exhibitions include ‘I love the Horizon’, Le Magasin-Centre National d’art Contemporain, Grenoble, ‘Montage: Unmonumental Online’, New Museum of Contemporary Art, New York, and ‘Becks Fusions’, ICA, London.

76


Oscar Salamanca (Columbia)

Artista 02'40'' 2013 Apakah yang membedakan antara seorang seniman performance yang menggelandang di jalan dengan seorang tuna wisma sungguhan? Apakah pelabelan seorang seniman secara tertulis dalam karya ini membuat pelakunya menjadi seorang seniman? Apakah tanpa label tersebut sang seniman akan tampak menjadi gelandangan? Ataukah justru semua gelandangan dalam video ini menjadi ikut tampak seperti seniman? Oscar Salamanca berkeliling dengan busana eksentrik untuk membaur di sudut kota yang ditinggali para tuna wisma nomaden. Namun tulisan “Artista” yang dibawanya seolah sangatlah manipulatif sehingga sangat mungkin menimbulkan pertanyaan diatas. Ini adalah performance yang menipiskan batas antara kebebasan bohemian seorang seniman, (pura-pura) kritik terhadap dampak ekonomi kapitalis di negara dunia ketiga, hingga kemiskinan seniman yang memang sungguh terjadi karena kebangkrutan institusi seni akibat krisis ekonomi global. Oscar Salamanca. Mendapat gelar sarjana seni lukis, National University of Colombia PHd dokter dari Universitas Barcelona, membuat kajian-kajian khusus di AS, Meksiko dan Spanyol. Berpameran kolektif di Amerika Serikat, Bolivia, Brasil, Peru, Ekuador, Meksiko, Venezuela, Argentina, Kuba, Portugal, Andorra, Spanyol, Jerman, Yunani dan Kolombia. Dia telah bertindak sebagai juri di Salon AF Cano National University, kompetisi lukisan di Martorell Spanyol dan juri portofolio beasiswa dan magang 2006 Kementerian kebudayaan Kolombia. Karyanya telah menjadi bagian dari Museum of Modern Art, Bucaramanga, Universidad Nacional de Colombia, Universitas Barcelona, Siart Biennale di Bolivia. What is the difference between a performance artist who wandered the street with a real homeless man? Is labeling an artist in written in this work can make the actor becomes an artist? Is it, without labeling, the artist will look like a homeless man? Or is it all the homeless men in this video looks like the real artists? Oscar Salamanca was wandering with an eccentric fashion to mingle in the city that was inhabited by homeless nomad. But the words “Artista”, that is very manipulative, can lead to several questions like mentioned above. This is a performance that dilutes the line between the freedom of bohemian artist, (pretend to) critique of capitalist in the third world, up to the artist poverty, which is really happened due to the global economic crisis. Oscar Salamanca. Bachellor of Fine Arts in Painting, National University of Colombia PHd Doctor from the University of Barcelona, made specialized studies in the U.S., Mexico and Spain. Collective Exhibitions in the United States, Bolivia, Brazil, Peru, Ecuador, Mexico, Venezuela, Argentina, Cuba, Portugal, Andorra, Spain, Germany, Greece and Colombia. He has acted as a jury at the Salon AF Cano National University, Painting competitions in Martorell Spain and jury portfolio of scholarships and internships 2006 Ministry of Culture Colombia. His work is part of the Museum of Modern Art, Bucaramanga, Universidad Nacional de Colombia, University of Barcelona, Siart Biennale in Bolivia.

77


Rä di Martino (Italy)

Petite histoire des plateaux abandonnés 08'24" 2012 Short History dengan singkat mencuplik potongan-potongan ruang fisik sejarah dunia yang selama ini sering dijumpai di film-film Hollywood; SPBU bergaya area rural Americana, kota Luxor dengan julangan obelisk, ataupun tacqueria ala Mexico. Rä di Martino tidak sedang berkeliling dunia. Dia hanya merekam puing-puing yang tersebar di gurun di sebelah selatan Maroko. Puing ini adalah properti bekas yang sebelumnya dipakai sebagai set lokasi produksi film blockbuster. Industri sinema raksasa Hollywood sudah puluhan tahun melakukan mimesis ruang di kawasan Ouarzazate, Maroko. Dengan fasad rekaan, gurun Sahara bisa disulap menjadi seperti Nevada. Dan pada akhirnya ruang-ruang rekaan itu kembali hadir sebagai realitas visual yang lain dalam proyeksi sinema. Tapi dalam video ini justru sisa-sisa dari materi pembentuk realitas tipuan tersebut yang dimunculkan. Rä di Martino lahir di Roma pada tahun 1975 dan ia tinggal di London sejak 1997 dimana dia menyelesaikan dengan gelar MFA di Slade School of Art. Pada 2004, ia pindah ke New York dengan pemberian hibah penelitian di Columbia University. Short History briefly captures the physical pieces of the history of the world that can be found in Hollywood movies: rural areas Americana-style gas station, Luxor city with its obelisk tower, or Tacqueria Ala Mexico. Rä di Martino is not being around the world. He only recorded scattered debris in south Morocco desert. This debris is a property previously used as a set location of blockbuster film production. The giant industrial cinema, Hollywood, have been doing mimetic space in Quarzazate, Morocco, for decades. With custom facade, Sahara desert can be transformed like Nevada. Finally, in the end, those imaginary spaces comes again as another visual reality in cinema projection. But, the only thing that raised in this video is only remnants of the material that tricking the reality. Rä di Martino was born in Rome in 1975 and she lived in London since 1997 where she graduated with an MFA at the Slade School of Art. In 2004 she moved to New York with a research grant award at Columbia University

78


Roland Quelven (France)

La Chambre de William Seward B. 05'00" 2013 William S Burroughs adalah seorang penulis dan performer monolog yang dikenal dengan karya-karya remix literaturnya. Dalam membuat karya baru, William mengolah ulang teks-teks temuan karya penulis lain. Tapi alih-alih mengetik ulang, dia secara harafiah memotong baris-baris kalimat pada halaman buku dan menyusunnya ke atas kertas baru. Teknik cut-up ini dipijamnya dari tradisi gerakan seni rupa dada. Video ini adalah sebuah penghormatan bagi William S Burrough. Disini Quelven menggabungkan orasi William dengan potongan-potongan footage sinema temuan. Footage-footage ini awalnya direkam sebagai dokumentasi yang menguatkan sebuah versi sejarah. Namun dengan teknik potong sambung, Quelven menghilangkan sebagian aspek dan menambahkannya dengan apapun yang diinginkannya. Akhirnya sang seniman berhasil menirukan metode William dalam membuat narasi baru dan sejarah versinya sendiri. Quelven lahir pada tahun 1967. Tinggal di Brittany. Ia lulus dalam bidang matematika, seorang pelukis, seniman video dan kolase suara. Ia berkolaborasi dengan berbagai artis, terlibat dalam beberapa proyek kolaboratif, dan karya-karyanya yang diputar di banyak festival seni video internasional. Pada 2009 ia menciptakan proyek multimedia «Napolecitta or the fractals virtues of Detail»: kolase digital dan suara, animasi flash di website yang ditujukan untuk menjelaskan tentang kota kuno imajiner bernama Napolecitta (gabungan Napoli dan Cinecitta). Sejak 2010 kota kuno itu telah menjadi dunia yang ensiklopedis dan imajiner yang juga bernama Napolecitta. William S Burroughs is an author and monologue performer, who have known by his remix literary works. To make a new work, William used text from another authors. Instead of re-typing, he intentionally cuts the lines in every page and combines it in the new page. He borrowed this cut-up method from Dada tradition. Le Chambre de William S Burroughs is a tribute for William S Burroughs. Here, Quelven combines William’s orations along with pieces of footage from cinema that he found. At first the footage is recorded as a documentation to strengthen its history. But, using cut-up method, Quelven deleted some aspects and added anything he wanted. Finally, the artist successfully mimicked William’s method on making new narration with his own version. Quelven Born in 1967. Lives in Brittany. Graduated in mathematics, painter, video artists and sound collagist. He collaborates with various artists, is involved in several collaborative projects, and his works are screened in many international videoart festivals. In 2009 he created the multimedia project «Napolecitta or the fractals virtues of Detail»: digital and sound collages, flash animations in a website devoted to a description of an ancient imaginary city named Napolecitta (fusing Napoli and Cinecitta). Since 2010 the ancient city has become an encyclopedic and imaginary world also named Napolecitta.

79


Sebastian Diaz Morales (Argentina/The Netherlands)

Insight 11'31" 2012 Insight adalah usaha untuk membongkar kesakralan realitas rekaan yang diciptakan sinema. Alih-alih melakukannya secara radikal, yang kemungkinan besar justru bisa menjadikan usaha pembongkarannya sebagai bentuk realitas rekaan baru, Sebastian Diaz Morales dengan sederhana mengajak penonton melihat hal ini secara terbalik. Yaitu dengan merekam sendiri proses ini melalui cermin. Manipulasi sepele ini secara efektif juga berhasil menempatkan penonton pada posisi yang selama ini menjadi obyek yang direkam oleh kamera. Perangkat profesional seperti kamera, lampu halogen, kru produksi, dan bahkan dirinya sendiri ikut muncul dalam video ini, dan mempertegas peran fabrikasi yang dibawa oleh sinema. Sebastian Diaz Morales dilahirkan di Comodoro Rivadavia, Argentina, pada tahun 1975 dan sekarang tinggal dan bekerja di Amsterdam dan Buenos Aires. Ia masuk di Universidad del Cine de Antin di Argentina dari 1993-1999, Rijksakademie van Beeldende Kunsten di Amsterdam dari 2000-2001, dan melakukan residensi di La Fresnoy di Roubain, Perancis dari 2003-2004. Dia telah melakukan pameran tunggal di Amerika Serikat, Meksiko, dan berbagai kota di Eropa, dan karyanya telah didukung oleh sejumlah hibah dan penghargaan. Diaz Morales mengeksplorasi hubungan antara dinamika skala besar kekuatan sosial-politik dan tindakan individu dalam karya-karya yang membuat rasa tidak nyaman untuk pemirsa. Filmnya sering agak surealis, membangun ketegangan antara gambaran kehidupan sosial dan representasi dalam cara yang secara visual abstrak atau membengkokkan fantasi. Melalui karya-karyanya, berbagai bentuk ketergantungan dieksplorasi, termasuk hubungan ketergantungan antara orang-orang, lingkungan, dan struktur sosial. Insight is an attempt to destroy the sanctity of fictitious reality that created by cinema. Instead of destroying radically, which actually makes it into a new form of manipulating reality, Sebastian Dias Moralez is simply inviting audience to see in reverse: recording yourself through the looking glass. This simple manipulation is effective to put the audiences who usually became an object of the camera. Professional devices such as camera, halogen lamps, production crew, even himself appear in this video. This emphasizes the role of fabrication carried by cinema. Sebastian Diaz Morales was born in Comodoro Rivadavia, Argentina, in 1975 and now lives and works in Amsterdam and Buenos Aires. He attended the Universidad del Cine de Antin in Argentina from 1993-1999, the Rijksakademie van Beeldende Kunsten in Amsterdam from 2000-2001, and did a residency at La Fresnoy in Roubain, France from 2003-2004. He has had solo exhibitions in the USA, Mexico, and numerous cities in Europe, and his work has been supported by a number of grants and awards. Diaz Morales explores the relationship between large-scale sociopolitical power dynamics and individual action in works which create a sense of uneasiness for the viewer. His films are often somewhat surreal, establishing a tension between a depicted social reality and its representation in a visually abstract or fantasy-inflected way. Throughout his works, multiple forms of dependence are explored, including dependent relationships between people, the environment, and social structures.

80


Shahar Marcus (Israel)

The Curator 04'35" 2011 Ini adalah trailer dari film yang layak dinanti oleh para pelaku seni rupa. The Curator berkisah tentang peran monumental kurator bagi ranah seni rupa kontemporer. Kurator digambarkan menjadi poros bagi kebijakan yang diambil galeri dan museum. Posisinya tidak tersentuh. Keputusannya adalah mutlak. Hingga akhirnya ketika seorang kurator wafat, maka institusi pamer seni rupa butuh kurator baru yang lebih mumpuni. Video karya Shahar Marcus ini secara satir membongkar stereotyping praktek kuratorial. Pembongkaran bukan dilakukan pada wilayah gagasan kuratorial, tapi lebih ke pakem-pakem fisik dan bagaimana seorang kurator berperilaku. Seperti cara berbusana, gestur serta tatapan mata, hingga perlunya membuat skandal demi menaikan status. Semua ini dirangkum sebagai panduan kronologis, sehingga seorang tanpa latar belakang akademis kesenian, siapa saja juga bisa menipu institusi dan tampil sebagai kurator. Shahar Marcus (Israel 1971) adalah seorang seniman interdisipliner yang sering berkarya dengan video, performans dan instalasi. Ia secara teratur muncul dalam karya-karya videonya, memainkan peran yang berbeda, melintasi pribadi dan gambaran artistiknya dengan orang lain. Dalam performans-nya ia menghubungkan tubuhnya dengan bahan-bahan yang bersifat organik dan tidak tahan lama, seperti adonan kue, roti, jus atau es. Hubungannya dengan bahan-bahan tersebut meneliti posisi dan peran tubuhnya sebagai manusia dan pencipta. Pilihannya pada bahan yang tidak tahan lama tersebut juga menyoroti sifat seni dan kehidupan. This is a trailer from short film that is worthy to be waited by art agents. The Curator tells about the monumental role of the curators in the contemporary art field. Curator is depicted as a main axis for policies taken by galleries and museums. Their position is untouchable. Their decision is absolute. And, finally, when a curator died, the institutions need new curator who more qualified one. Shahar Marcus video opens up stereotyping of curatorial practice satirically. The dismantling is not only in the curatorial idea, but also in the code of physical stereotype and how curator should behave. In this video we can see the way the curators dress, their gestures as well as their eyes’ gaze, and the way the curators making a scandal to raise their status. All of these things were summarized as a chronological guide so people without art and academic basis can trick the institution and perform as the curator. Shahar Marcus (Israel 1971) is an interdisciplinary artist who works primarily in video, performance and installations. He regularly appears in his video works, playing different roles, crossing his personal and artistic figure with that of someone else. In his performances he relates his body to organic and perishable materials, such as dough, bread, juice or ice. His relationship to those materials examines the position and the role of his body as both human and creator. His choice of perishables likewise highlights the nature of art and life.

81


The Youngrrr (Indonesia)

Pick Up Motorz 01'07" 2013 Dalam regulasi lalu lintas indonesia, sepeda motor roda dua hanya diijinkan sebagai kendaraan transportasi manusia. Ijin fungsi niaga-angkut hanya diberikan untuk kendaraan beroda empat keatas seperti truk, pick up, dan sejenisnya. Motor pick up hadir sebagai kendaraan alternatif yang menjembatani dua hal diatas. Murahnya kepemilikan kendaraan bermotor, dan bentuknya yang ringkas untuk menerjang jalanan kota, menjadikan motor pick up solusi efisien bagi kebutuhan usaha. Cukup mengganti ruang penumpang di jok belakang dengan rak atau keranjang, maka siapa saja bisa menciptakan sendiri motor pick upnya. Konversi fungsi ini direkam oleh The Youngrrr juga sebagai video hybrid, dokumenter-musik video. Pick Up Motor menampilkan kemudahan fungsi angkut barang yang ditawarkan oleh moda transportasi ini, sekaligus dengan resiko yang harus ditanggung ketika konsumen memaksakan fungsi yang tidak seharusnya. The Youngrrr adalah sebuah proyek kolaborasi video Yovista Ahtajida dan Dyantini Adeline. Mereka mengambil pendidikan di Jurusan Komunikasi Universitas Indonesia. Mereka dikenal sebagai pembuat videografi panggung . Mereka telah membangun videozine yang bernama ‘ Rec A Gogo’. The Youngrrr juga telah membuat beberapa seni video, salah satunya telah ditayangkan di ‘Jakarta 32° 2012’ dengan video mereka, ‘ Macam-macam Pekerjaan Macam-macam’ sebagai hasil dari lokakarya dengan Anggun Priambodo. In Indonesia, under the traffic regulation, motorcycle can only be used to carry men. Commercial transportation license can only be given to four wheel vehicles such as truck, pick-up, etc. Pick-up motorcycle emerges because it is cheap, agile, and can be used as a “commercial transportation”. Pick-up motorcycle can be easily made by changing the seat with shelf or basket. This function transformation recorded by The Youngrrr was packaged in the form of hybrid video (musical documentary). Pick Up Motor shows the easiness offered by pick-up motorcycle and the risk which should be carried by the consumers where they impose to change the primary function of the motorcycle. The Youngrrr is a videomaker collaboration project of Yovista Ahtajida and Dyantini Adeline. They are taking education in Communication Major of University of Indonesia. They are known as stage videographer among the scene. They’ve build a videozine named “Rec A Gogo”. The Youngrrr also has made several video art, one of them have been screened in “Jakarta 32° 2012” with their video, “Macam-macam Pekerjaan Macam-macam” as an output from workshop with Anggun Priambodo.

82


Toby Huddlestone (UK)

Video Apathy 07’24” 2010 Sebuah performance monolog layaknya presentasi kuliah umum, yang disertai dengan ilustrasi dokumentasi fotografi ikonik. Video Apathy menceritakan ulang sejarah gerakan-gerakan pembangkangan di awal abad 20 hingga masa kontemporer. Seiring berkembangnya peradaban, perlawanan terhadap kemapanan tatanan dan kekuasaan ditampilkan mengalami berbagai perubahan bentuk. Mulai dari yang radikal, pasifis, bahkan juga berkompromi dengan apa yang ingin ditumbangkannya. Hingga ketika semua bentuk perlawanan sudah dilakukan, gerakan-gerakan yang mulai mempertanyakan perlawanan perlahan muncul. Pemberontakan untuk apa? Melawan kekuasaan apa? Dan akhirnya ketika para pembangkang menjadi apolitis, bentuk pemberontakan mereka berubah menjadi sikap apatis. Intensi bertutur dan pernyataan sikap sang seniman membuat video performance ini menjadi bagian dari gerakan pembangkangan itu sendiri. Toby Huddlestone adalah seorang praktisi seni kontemporer yang kini bermukim di London dan Kent yang juga sedang melakukan proyek kuratorial. Ia lulus dengan gelar Magister Seni Rupa dari University of the West of England pada 2007 dan menyelesaikan pendidikan sarjananya di Swansea Institute of H.E. pada 2003. Karya baru-baru ini telah diikutsertakan dalam ‘Performative Tactics and the Reinvention of Public Space’-nya Martin Patrick juga dalam tulisan di jurnal ‘Art in the Public Sphere’ yang diterbitkan oleh IXIA, bersama dengan katalog : Again and Videonale. Karya-karyanya juga banyak dikoleksi secara pribadi.

Video Apathy is a monologue presented as a general lecture accompanied with illustrations of iconic photography documentation. This video retells the history of subversion in the beginning of 20th century to the present days. This work shows the transformation of resistance to established authority and order, along with civilization development. It started from the radical, passive, until the compromising. When all forms of resistance had been executed, the challenges to the resistance fade in. Why do we fight? What do we fight? When the protester turned to be apolitical, their resistance turned to be apathetic attitudes. The artist’s tone and stance in the monologue makes the video performance the part of dissent attitudes. Toby Huddlestone is a practicing contemporary artist currently based in London. He graduated from an MA in Fine Art from the University of the West of England in 2007 and completed his BA at Swansea Institute of H.E. in 2003. His work has recently been included in Martin Patrick’s ‘Performative Tactics and the Reinvention of Public Space’ paper for journal ‘Art in the Public Sphere’ published by IXIA, along with catalogues for Iiteration: Again and Videonale. His work is also in a number of private collections.

83


U.R.A / FILOART

I. -R.A.S.C. (Infra Red Light Against Surveillance Camera) 04’33� 2008 I.-R.A.S.C. Adalah perangkat sederhana yang dapat dirakit oleh siapa saja tanpa perlu menjadi mahir akan teknologi. Perangkat yang terdiri dari kumpulan lampu infra merah ini berfungsi sebagai penangkal fungsi kamera pengawas CCTV dalam merekam artikulasi wajah. Cukup menyematkan alat ini di kepala, maka maka area seputar kepala akan berpendar terang menyilaukan dalam hasil rekaman CCTV. Dengan demikian wajah tidak lagi mampu dikenali. Penggunaan kamera CCTV yang semakin berjejaring dan sekarang juga sudah mulai terintegrasi dengan sistem kependudukan, membuat target pengawasan terintervensi wilayah privatnya. Bahkan sampai ke wilayah yang sangat personal, tubuh dan wajah. U.R.A. /FILOART mengembangkan perangkat sebagai tindakan mereka untuk melawan kekuasaan negara dalam hal pengawasan yang masih cenderung bersifat top-down. Mencari arah baru dalam seni, dari beberapa gagasan muncul kelompok yang terbentuk pada tahun 1984, mengambil nama FILOART. Karya-karya mereka sangat interdisiplin dan tidak bernama. Kelompok ini kemudian berpisah pada tahun 1989. Beberapa kelompok lain kemudian terbentuk pada 1990an, berdasarkan konsep FILOART. Kelompok-kelompok ini juga tak bernama; mereka memiliki tema dan bentuk ekspresi yang sangat beragam. Kira-kira ada delapan kelompok dalam gerakan FILOART di akhir abad ke-20: Sammlerfamilie (1991), Psychiatriepatienten (1992), D.N.K.-Dashuria Ndaj Katrorit (1993), L.E.O. (1993), Mrs.Brainwash (1995), U.R.A. (1996), Globalodromia (1996), P.M.S. (1996). I.-R.A.S.C is a simple device which can be assembled by anyone, even by those who are not good with technology. This device consisting of a set of infrared lamps functions as a barrier to the shoots of surveillance camera, CCTV, to human face. If the device is pinned between hairs, human faces will be covered by blinding light in CCTV, and thus, are not able to be recognized. The more intense use of network CCTV plus the more integrated use of CCTV with demographic systems have made individuals’ private area intervened, even up to the very personal parts such as body and face. U.R.A./ Filoart developed the device as a mean to confront the state domination in terms of surveillance with top-down tendency. Searching for new directions in art, a group of ideas was formed in 1984, taking the name FILOART. Its work was interdisciplinary and anonymous. The group split up in 1989. Several groups were founded in the 1990s, based on the FILOART concept. These groups are also anonymous; they have a variety of themes and forms of expression. There were eight groups in the FILOART movement by the end of the 20th century: Sammlerfamilie (1991), Psychiatriepatienten (1992), D.N.K.-Dashuria Ndaj Katrorit (1993), L.E.O. (1993), Mrs.Brainwash (1995), U.R.A. (1996), Globalodromia (1996), P.M.S. (1996).

84


Young Poor Artists (Lithuania)

Marketing 02'35" 2012 Sesuai judulnya, Marketing adalah video performance yang bisa jadi juga sebuah dokumentasi dari kegiatan telemarketing pemasaran karya seni. Layaknya tipuan-tipuan ala agen pemasaran, mereka terus mengobral status yang sudah disandang oleh seniman maupun karya seninya, baik secara nilai ekonomi maupun kualitas kritikal. Kepada para kolektor, mereka mencoba meyakinkan adanya gagasan yang mendalam hingga pengakuan institusi perhelatan serupa biennale. Kolektor tidak perlu tahu siapa senimannya, dan bagaimana kualitas sebuah perhelatan, karena pada akhirnya para sales akan meyakinkan setidaknya adanya keuntungan investasi yang sangat mungkin didapat dari mengkoleksi karya seni. Young Poor Artist menjadikan gimmick yang diumbar para sales ini sebagai penanda, yang selama ini sering dipakai dalam mengukur nilai ekonomi dari sebuah karya. Kesepakatan-kesepakatan ini cenderung menjadi landasan dibanding regulasi berbasis akademis dalam pasar seni rupa global yang semakin besar. Young Poor Artists : Gedvile Tamosiunaite lahir tahun 1990 di Siauliai, Lithuania; Greta Vileikyte, lahir 1989 di Siauliai, Lithuania; Stanislovas Marmokas, lahir tahun 1988 di Panevezys, Lithuania; Vladislav Novicki, lahir tahun 1990 di Vilnius, Pendidikan: Bergen National Academy of the Arts, Norway Staatlichen Akademie der Bildenden Kuenste, Stuttgart, Germany Universidad de Castilla-La Mancha, Spain Academy of Arts in Vilnius, Lithuania. Accordance with its title, Marketing is a video performance, but can be categorized also as a documentation of telemarketing of the artworks distribution. Like tricks from marketing agent, people in this film try to continue to sell out the artists and their artworks’ status, both its economic value and its critical quality. They try to convince the curators that there is a profound idea and acknowledgment of the institutions similar with biennial. The collectors do not need to know who are the artists and the event quality because, in the end, the sales can convince the collectors that there are always investment profit may come from collecting the artworks. Young Poor Artist used the sales’ gimmick as a signifier that always be used to measure the economic value of the artwork. Instead of to be an academic-based regulation, these agreements tend to be the foundation of global art market that growing bigger. Young Poor Artists: Gedvile Tamosiunaite, born 1990 in Siauliai, Lithuania; Greta Vileikyte, born 1989 in Siauliai, Lithuania; Stanislovas Marmokas, born 1988 in Panevezys, Lithuania; Vladislav Novicki, born 1990 in Vilnius, Lithuania Education: Bergen National Academy of the Arts, Norway Staatlichen Akademie der Bildenden Kuenste, Stuttgart, Germany Universidad de Castilla-La Mancha, Spain Academy of Arts in Vilnius, Lithuania.

85


Zanny Begg (Australia)

The Focus Group 07’ 2011 Enam orang pemikir dari latar belakang etnis, sejarah, dan kesejahteraan sosial yang berbeda-beda, duduk melingkar dan berdiskusi tentang sosialisme. Sebagai sebuah focus group discussion, mereka berbagi pengalaman dan mengkaji ulang faham tersebut demi kemungkinan dapat diterimanya kembali sosialisme di tengah masyarakat modern. Berbagai ide akan kompatibilitas faham hingga simbol visual baru dicoba untuk dirumuskan. Setelah bertahun-tahun runtuhnya blok timur, adalah sebuah hal yang muluk-muluk jika ingin kembali menghidupkan sosialisme di dunia yang sudah terlanjur bergantung pada kuasa modal. Sebagai sebuah komedi satir, video karya Zanny Begg ini mencoba mematahkan premis tersebut dengan gagasan-gagasan untuk mengemas kembali bentuk faham tersebut dan mempromosikannya layaknya sebuah strategi pemasaran. Zanny Begg tinggal dan bekerja di Sydney, Australia. Zanny bekerja dalam cara yang interdisipliner sebagai seorang seniman, penulis, dan kurator. Saat ini dia adalah direktur Tin Sheds Gallery dan proyek kuratorialnya baru-baru ini meliputi The Right to the City, Tin Sheds Gallery and There Goes The Neighbourhood, Performance Space. Zanny pernah diundang ke Hong Kong untuk mengikuti Australia-China Council Residency (Mei 2007), Indonesia for an Asia-Link Residency (June 2008), Chicago for a residency with Mess Hall (2010), Indonesia untuk program Australia Indonesia Institute Residency (2011) dan ke Barcelona untuk Australia Council Residency (2012).

Six thinkers from different ethnic, history, and social welfare backgrounds are sitting and discussing socialism. As a focus group discussion, they are sharing experiences and re-examining the possibility of the ideology acceptability in modern society. Ideas on the ideology compatibility to the new visual symbols are being tried to be formulated. Years after the fall of the East Block, in the world which relies on the power of capital, the idea to revive socialism is grandiloquent. As a satire comedy, this work of Zanny Begg tries to break the premise. This video shows the process of socialism repackaging and promotion, as such as it is a marketing strategy. Zanny Begg lives and works in Sydney, Australia. Zanny works in a interdisciplinary manner as an artist, writer and curator. She is currently the director of Tin Sheds Gallery and her recent curatorial projects include The Right to the City, Tin Sheds Gallery and There Goes The Neighbourhood, Performance Space. Zanny was invited to Hong Kong for an Australia-China Council Residency (May 2007), Indonesia for an Asia-Link Residency (June 2008), Chicago for a residency with Mess Hall (2010), Indonesia for an Australia Indonesia Institute Residency (2011) and to Barcelona for an Australia Council Residency (2012).

86


Zulhiczar Arie (Indonesia)

Peeking The Personal Memory Instalasi 2013 Peeking The Personal Memories adalah instalasi yang mengkonversi secara fisik gambaran perilaku merekam, menonton, dan berbagi dokumentasi pribadi yang selama ini berlangsung di wilayah virtual. Audiens diajak untuk melihat rekaman-rekaman keseharian dari sang seniman dengan presentasi video yang secara ukuran cukup terbatas, sehingga perlu dilihat dengan cara mengintip. Aplikasi edit foto dan jejaring sosial media yang ditawarkan oleh ponsel, ikut merubah perilaku konsumen dalam melakukan praktek dokumentasi. Manipulasi foto agar tampak vintage telah mengaburkan ikatan waktu yang selama ini dibawah oleh karakter visual masing-masing medium. Teknologi digital tidak berarti selalu tampak jernih. Namun juga bisa jadi tampak seperti selulouid kadaluarsa. Kemudian keinginan untuk berbagi dokumentasi secara terbuka, juga harus siap menerima konsekwensi akan adanya akses dari pihak yang tidak dikenal. Hingga akhirnya khalayak menciptakan batasan-batasan sendiri pada wilayah personalnya. Zulhiczar Arie. Tinggal dan bekerja di Yogyakarta sebagai Videografer lepas, banyak bekerja dengan medium dokumenter dalam tema-tema budaya anak muda dan dunia seni kontemporer Jogja. Kadang-kadang mengajar di SMK dan memberi workshop dasar-dasar produksi video di beberapa tempat. Masih ingin menyempatkan merekam teman-temannya bermain skateboard. Pecking the Personal Memories is an installation that converts the physical image of the act of recording, watching, and sharing private documentation, which always happen in virtual world. The audience is invited to see the daily records of the artist by video presentation that has limited size so it needs to be seen by peeking. Photos editing application and social media which are offered by smartphone change consumer behavior in documentation practices as well. Manipulating photos so it can look more vintage has obscured the bonding time that always became a visual character of each medium. Digital technology does not mean always clear. It can look like an expired celluloid as well. Then, the will to share documentation openly should ready to accept a consequent of access from the unknown. Finally, the public will create their own personal limitation. Zulhiczar Arie. Live and work in Yogyakarta as freelance Videographer, he’s doing a lot of work with the medium of documentary in the themes of youth culture and the world of contemporary art. Sometimes teaching in High School and giving workshop about the basics of video production in some places. Still want to take the record of his friends play skateboard.

87




KONSUMEN LAWAN KEKUATAN INDUSTRI: MASYARAKAT YANG MENGKRITIK TEKNOLOGI Ini sangatlah penting untuk melihat bagaimana peranan media dan teknologi di masyarakat. Bagaimana dua hal ini mengubah hidup dan cara pandang kita dalam melihat keadaan sekitar, kenyataan, dan diri kita sendiri. Kita mengetahui perangkat TV ada dimana-mana, mulai dari kios rokok di pojokan, kafe, restoran mahal, mal, hingga TV-TV raksasa yang menghiasi ruang publik kita. Video kamera pun juga seperti itu, ditempatkan di ruang atm yang kecil hingga tempat resepsi pernikahan. Sekarang ini kita dapat melihat pelajar-pelajar SMA juga membuat film atau video pendek dengan menggunakan kamera dan video yang ada di ponsel, lalu mereka mengunggahnya ke sosial media. Hal-hal ini hanya sebagian kecil dari kenyataan dan bukti bahwa media bergerak cepat seiring perkembangan teknologi dan produsi gambat yang dihasilkan oleh banyaknya software yang ada di sekitar kita. Kehidupan kita sehari-hari tak lepas dari diri kita yang menjadi konsumen dari perkembangan teknologi atau membuatnya menjadi alat produksi. Edisi Media/Art Kitchen Jakarta akan berfokus pada sebuah perbedaan dimana seniman-seniman berbicara mengenai perkembangan teknologi yang nantinya disamakan dengan tingkah sebagian besar masyarakat kita sebagai konsumen dari teknologi itu sendiri. Ini akan menunjukkan pendekatan beragam dalam melihat penggunaan perangkat teknologi yang telah ada dan digunakan masyarakat luas, serta menunjukkan bagaimana teknologi mengubah fungsi alami. Seperti halnya dengan menggunakan media ekspresi untuk mengembangkan, mencermin, dan mengkritik penggunaan pengembangan teknologi di masyarakat. Kami akan mencoba untuk mencari pendekatan baru dalam melihat produk industri teknologi kemudian mengelaborasinya dengan wacana estetika dan filosofis, atay mengambil posisis sebagai kritikus dari dalam – melalui penggunaan teknologi itu sendiri kemudian mengkritik sifat-sifatnya. Kegiatan kami sangat terkait dengan budaya teknologi dan media di masyarakat kontemporer kita saat ini – kami akan melihat bagaimana teknologi budaya dan media bekerja sebagai praktik artistik untuk mengakali sebuah desain atau produk dengan cara subtitusi, menambah nilai guna suatu objek, reuse atau remake, spekulasi artisti, serta menantang untuk meretas suatu sistem. Pameran Media/Kitchen akan diadakan bersamaan dengan OK. Video Festival 2013 di tempat yang sama – hal ini akan sama-sama memperkaya dan melengkapi event ini. Karya-karya dari bermacam-macam pendekatan akan membuat keragaman untuk festival dan memperluas pengalaman penonton dengan karya-karya yang terdiri dari seni suara, instalasi atau objek karya berbasis pertunjukan, lokakarya dan penelituan. Kehadiran seniman Jepang dan Asia Tenggara juga akan memberikan kontribusi penting dalam konteks artistik dan kultur sosial untuk keseluruhan festival.

90


THE CONSUMER VS INDUSTRIAL POWER: THE SOCIETY THAT CRITICIZED TECHNOLOGY It is very important to look closely on how media and technology role in society. How it changes our life and how we see surroundings, reality, and ourselves. We can find Television sets everywhere from cigarette stall in the corner of the street to cafes and great restaurants, malls, until led TV wall in the city’s public spaces. It is also happen with video cameras, ranging from small space in the ATM to a wedding reception. High school students have also produced short films or videos with video camera-equipped mobile phones, and then they uploaded it via social media. It’s all just a small part reality how media is growing rapidly along with the advancement of technology and image production software distribution tools have been present all around us, in our daily lives. Our daily lives which become consumers of further technological development or make it as a production tool. Media/Art Kitchen Jakarta edition will focus in contrast on how artists addressing technology development similar to the attitude of the majority of our society as a consumer technology. It will show diverse approach in carried over the use of a particular technological device’ function that already exists and used by the general public, as well as exploration to altering the natural function. Such as use as a medium of expression to develop, reflect or criticize the use of these technologies development in the society. It will try to discover new approach in industrial technology products, collaborate with aesthetic and philosophical discourse, or take a position as a critic from within, through the use of technological developments, criticizing the nature of the technology itself. The show will be strongly related to media and technology culture in contemporary society, it will approach the media and technology culture on how artistic practice in the context of tricking the industrial design/products, such as substitution, to add /alter the function or value to objects; reuse or remake; aesthetics speculation, as well as against, challenging or hacking the system. Media/Art Kitchen exhibition will be held in the same time and space with The OK. Video festival 2013, it will enrich both sides and compliment to each other. The works from different approach and will also give diversity to the festival or expand the experiences of the audiences by showing sound art, installation/object based works, performance, the workshop and laboratory. The appearance of Japanese and South East Asian artists will also give another important contribution in artistic and socio culture contexts to the whole festival.

ARTISTS Duto Hardono Indonesia

Narpati Awangga Indonesia

Jamie Maxtone-Graham & Nguyen Trinh Thi Vietnam

Krisgatha Indonesia

Hagihara Kenichi Japan

The Propeller Group Vietnam

Lifepatch Indonesia

Mohri Yuko Japan

Jon Romero, Cris Garcimo & Erick Calilan Philippines

Muhammad Akbar Indonesia

Yagi Lyota Japan

Tad Ermitano Philippines 91


PROGRAM 1 : A HISTORICAL VIEW Curator Solange Farkas

Program kurasi Solange Farkas, A Historical View, memberikan sebuah sejarah singkat namun signifikan dalam melihat secara sekilas karya-karya video art dari seniman Brazil dalam sepuluh tahunan ini yang terbukti menentukan penggunaan medium ini. Selain eksperimentasi dari Tadeu Jungle dan Walter Silveira, aspek-aspek nyata masyarakat urban juga digarap oleh Marcelo Machado, Paulo Morelli & Renato Barbieri, dan Fernando Meirelles; sebaliknya, Eder Santos menyajikan sebuah keresahan dalam percakapan dengan latar belakang secuil dari sinema Brazil, Mário Peixoto’s Limite.

Solange Farkas’ curated program A Historical View gives a succinct, yet significant overview of seminal Brazilian video art output in a decade which has proved decisive to this language. Alongside Tadeu Jungle and Walter Silveira’s experimentation, aspects of urban reality are discussed in works by Marcelo Machado, Paulo Morelli & Renato Barbieri, and Fernando Meirelles; in turn, Eder Santos concocts a disturbing conversation with a landmark piece of Brazilian cinema, Mário Peixoto’s Limite.

Screening Schedule: at KINEFORUM 7 September | 17.00 9 September | 14.15 11 September | 19.30 13 September | 14.15 15 September | 17.00

92


LIST OF WORKS Total: 77’02’’ DO OUTRO LADO DA SUA CASA | BRAZIL, 1985 | 19’00’’ Marcelo Machado, Paulo Morelli and Renato Barbieri Sebuah laporan berita mengenai rutinitas orang-orang yang hidup di jalanan dan hidup dari sampah kota Sao Paulo. Gilberto, seorang pengumpul kertas yang didaulat menjadi reporter karya ini, begitu mahir bercerita. Ia mewawancarai beberapa orang pengumpul kertas di bawah jembatan layang tempatnya tinggal. Karya ini merupakan pemenang keempat Videobrasil. A news report about the routine of those living inthe streets and live on São Paulo’s rubbish. Gilberto, a paper collector, is so articulate that he becomes the official reporter of the piece. Under the flyover where he lives, he interviews others like him. Prize-winner at 4th Videobrasil. MARLY NORMAL | BRAZIL, 1983 | 06’00’’ Fernando Meirelles Rutinitas seorang pegawai di kota São Paulo ditampilkan secara detail. Kesendirian karakter diredakan oleh televisi yang juga bekerja sebagai mesin impian. Tik-tok jam membahana sepanjang video, seolah-olah menekankan hinggar-bingarnya kota besar. The routine of a clerk in the city of São Paulo is shown in detail. The solitude of the character is eased by the television set, which also works as a dream machine. The ticktack of the clock, stretching over the entire video, underlines the frenetic pace of big cities. HERÓIS DA DECADÊN(S)IA | BRAZIL, 1987 | 35’19’’ Tadeu Jungle and Walter Silveira | TVTUDO Film ini memiliki kekuatan seperti bom atom yang jatuh tepat masyarakat yang sedang mengalami krisis eksistensi. Kebencian setelah sekian lama di bawah rezim militer memang masih ada dan Brasil saat ini sedang berada dalam fase afirmasi dan masyarakatnya selalu mengeluarkan opini-opini. Setelah berhasil menghirup udara demokrasi di negerinya, pembuatnya menggabungkan komedi, jurnalisme, dan protes dalam video ini. This film has the power of an atomic bomb, hitting bull’s eye of a society in existential crisis. Still resenting a long period under military dictatorship, Brazil was going through a phase of affirmation and much talking. Breathing the first democratic airs, the authors built a video that mixes comedy, journalism and protest. JANAÚBA | BRAZIL, 1983 | 16’43’’ Eder Santos Sebuah penciptaan ulang dari antologi adegan dalam film Limite karya Mário Peixoto dimana sepasang kekasih menaiki kapal mengarungi sungai, sebuah sentakan puitis dalam narasi mengenai kerasnya hidup di pinggiran Brasil. Janaúba, pemenang 10th Videobrasil, merupakan sebuah kota perbatasan yang terletak di antara dua negara bagian: Minas Gerais and Bahia. Sebuah pacuan dari tanah berdebu, dimana sungainya tertutup dari pandangan, mampu mendapatkan atmosfir epik melalui manipulasi warna dan kecepatan. Penggunaan repetisi memperkuat pesan yang ada dalam teks. A recreation of the anthological scene of the film Limite, by Mário Peixoto, where a cuple in a boat slowly floats down a river, kicking off the poetic narrative about the harsh life in the backlands of Brazil. Janaúba, prize-winner at 10th Videobrasil, is the name of the city in the border between the states of Minas Gerais and Bahia. An endless gallop on the dusty earth, where the rider is hidden from view, gains epic airs due to the manipulation of colour and of speed. The use of repetition to reinforce the message now happens in the text. 93


ARTISTS BIOGRAPHIES Eder Santos (Brazil, 1960) Hidup dan bekerja di Minas Gerais. Seniman yang menggunakan motif-motif dalam tiap karya video dan instalasinya, Santos merupakan lulusan dari Art and Communication UFMG. Pameran solonya meliputi include Suspensão e Fluidez, di ARCO Madrid (Spanyol, 2009), dan Roteiro Amarrado, di Centro Cultural Banco do Brasil, Rio de Janeiro (2010). Videonya menjadi fitur koleksi permanen di beberapa institusi seperti MoMA, New York, UST, dan Centre Georges Pompidou, Paris, Prancis. Lives and work at Minas Gerais. Author of a dense body of work in video and installation, Santos is an art and communication graduate from UFMG. He directed Enredando as pessoas, which won awards at film festivals in Havana, Cuba, and Switzerland in 2006. His solo exhibitions include Suspensão e Fluidez, at ARCO Madrid (Spain, 2009), and Roteiro Amarrado, at Centro Cultural Banco do Brasil, Rio de Janeiro (2010). His videos feature in the permanent collections of such institutions as MoMA, New York, USA, and the Centre Georges Pompidou, Paris, France. Fernando Meirelles (Brazil, 1965) Hidup dan tinggal di São Paulo. Sebelumnya mengenyam pendidikan arsiteksur, pernah menjadi pengarah tayangan TV pada tahun 1980an, iklan pada tahun 1990an, dan akhirnya di filem pada tahun 2000an. Merupakan salah satu pendiri dari Olhar Eletrônico, perusahaan produksi independen, pada tahun 1980an yang juga menjadi kreator dan sutradari dari film seri anak-anak, series Rá-Tim-Bum untuk TV Cultura, dan beberapa acara untuk beragam saluran seperti TVMix. Saat bekerja di O2 Filmes ia menyutradari beberapa filem seperti: The Nutty Boy 2 (1998), Maids (2000), City of God (2002) - pernah meraih nominasi di empat Academy Award, termasuk sebagai sutradara terbaik – The Constant Gardener (2004) pernah pula mendapatkan empat nominasi, Blindness (2008), dan 360 (2012). Lives and works in São Paulo. An architect by training, Fernando Meirelles directed independent TV shows in the 1980s, advertisements in the 1990s, and finally feature films in the 2000s. One of the founders of independent production company Olhar Eletrônico in the 1980s, he created and directed children’s series RáTim-Bum for TV Cultura, and shows for various channels, such as TVMix. A partner of O2 Filmes, he directed the feature films The Nutty Boy 2 (1998), Maids (2000), City of God (2002), nominated for 4 Academy Awards including best director, The Constant Gardener (2004), which also received 4 nominations, Blindness (2008), and 360 (2012). Marcelo Machado (Brazil, 1958) Sutradara dan produser audio-visual. Pemegang gelar dari University of São Paulo dalam bidang Arsitektur dan Urbanisme ini mendirikan Olhar Eletrônico pada tahun 1981 bersama dengan Fernando Meirelles, José Roberto Salatini dan Paulo Morelli. Karya-karyanya: Marly Norman (1983), dimana Fernando Meirelles ikut menyutradari, memenangkan banyak penghargaan video/dokumenter eksperimental; dan OppositeYour House (1985), bekerja sama dengan Paulo Morelli dan Renato Barbieri. Sebelumnya ia pernah menjadi sutradara dii agensi iklan DPZ’s Radio, Television and Cinema Department (RTVC); bagian produksi dan program MTV; dan sutradara Música Brasileira (Brazilian Music) yang diproduksi Trama Filmes. Machado baru saja menyutradarai filem dokumenter Tropicália (2012), pos-produksi oleh O2 filmes. Director and audiovisual producer. The holder of a degree in Architecture and Urbanism from the University of São Paulo, he founded production company Olhar Eletrônico in 1981 alongside Fernando Meirelles, José Roberto Salatini and Paulo Morelli. His works include the award-winning experimental videos/documentaries 94


Marly Normal (1983), co-directed by Fernando Meirelles, and Opposite Your House (1985), in partnership with Paulo Morelli and Renato Barbieri. He was formerly the director of advertising agency DPZ’s Radio, Television and Cinema Department (RTVC); the production and programming director for MTV; and the director of Multishow channel’s Música Brasileira (Brazilian Music) series, produced by Trama Filmes. He recently directed the documentary film Tropicália (2012), post-produced by O2 Filmes. Paulo Morelli (Brazil, 1956) Hidup dan tinggal di São Paulo. Seorang sutradara, produser, dan penulis naskah film dan televisi. Paulo Morelly adalah salah satu dari generasi video independen Brasil. Ia meraih gelar di bidang arsitektur dari University of São Paulo’s School of Architecture and Urbanism (FAU/USP) lalu mendirikan Olhar Eletrônico pada awal 1980an. Perusahaan tersebut bereksperimen dengan banyak cara dalam membuat video dan laporan berita. Selama periode tersebut, Morelli menyutradarai beberapa filem pendek: Tragedy – São Paulo (1986), Opposite Your House (1985), Ali Baba (1984, pemenang 2nd Videobrasil, 1984), dan banyak lainnya. Pada tahun 1991, bersama dengan Fernando Meirelles, ia mendirikan perusahaan film dan iklan, O2 filmes. Di bawah bendera perusahaan barunya ini, ia membuat Tombstone (1997) yang meraih penghargaan Best film di empat festival berbeda. Morelly menyutradarai filem (2007), Speaker Phone (2004) (Best International Film di the New York Independent Film Festival), and The Price of Peace (2003) (meraih Best Film dari Audience Juries di Gramado and Tiradentes festivals). Ia baru saja membuat software untuk menganalisa naskah, StoryTouch. Lives and works in São Paulo. A director, producer, and film and television playwright, Paulo Morelli was a part of the Brazilian independent video generation. The holder of a degree in architecture from the University of São Paulo’s School of Architecture and Urbanism (FAU/USP), Morelli founded the production company Olhar Eletrônico in the early 1980s. The company experimented with new ways of producing videos and news reports. During that period he directed the short films Tragedy - São Paulo (1986), Opposite Your House (1985), Ali Baba (1984, a prize-winner at the 2nd Videobrasil, 1984), among others. In 1991, with Fernando Meirelles, he established film and advertisement company O2 Filmes. Tombstone (1997), the first short film he directed under the new company, won Best Film prizes at 4 different festivals. Morelli directed the feature films City of Men (2007), Speaker Phone (2004) (Best International Film at the New York Independent Film Festival), and The Price of Peace (2003) (named Best Film by the Audience Juries at the Gramado and Tiradentes festivals). He recently created the script analysis software StoryTouch. Renato Barbieri (Brazil, 1958) Sebagai pembuat film, Barbieri banyak membuat karya-karya dokumenter, fiksi, show televisi, dan produk audio-visual untuk pendidikan. Ia merupakan salah satu pendiri Olhar Eletrônico, dimana ia pernah membuat filem pendek yang meraih banyak penghargaan: Opposite Your House (1985), Duvideo (1987) dan Expiation (1989). Ia juga menjadi sutradar di beberapa tayangan TV nasional seperti: program berita harian Jornal de Vanguarda, di Band; acara mingguan Vitrine and Forum, TV Cultura; dan laporan khusus untuk berita di TV Globo dan TV Educativa. Pad tahun 1992, Barbieri mendirikan Videografia dimana ia bereksplorasi dengan produksi film dokumenter dan ia membuat The Invention of Brasília (2001), Black Atlantic: the Route of the Orishas (1998), and Mozambique (1996). Ia juga membuat film-pendek-biografi tentang penulis Monteiro Lobato dan kartunis Mauricio de Sousa. Film fiksi Barbieri pertama kali yaitu Maria’s Lives (2005). Ia telah meraih lebih dari 30 penghargaan nasional maupun internasional, yakni: Best Film and Best Direction di Catarina Festival de Documentários, Santa Catarina, 2003; Prix Jeunesse International, Paris, 2001 dari the Pierre Verger Prize for Excellence dari the Brazilian Anthropology Association, 2000. Barbieri merupakan lulusan Psikologi dan Master’s in Communication and Semiotics dari PUC-SP. 95


A filmmaker, Barbieri creates documentaries, fictional works, television shows, and educational audio-visual products. He was one of the founders of Olhar Eletrônico, where he directed the award-winning short films Opposite Your House (1985), Duvideo (1987) and Expiation (1989). He has directed TV shows aired nationwide, highlighting the daily newscast Jornal de Vanguarda, on Band; weekly shows Vitrine and Forum, on TV Cultura; and special reports for newscasts on TV Globo and TV Educativa. In 1992, he founded company Videografia, where he further explored documentary production, highlighting The Invention of Brasília (2001), Black Atlantic: the Route of the Orishas (1998), and Mozambique (1996). He has also shot biopics of people such as writer Monteiro Lobato and cartoonist Mauricio de Sousa. Barbieri’s fiction debut was the feature film Maria’s Lives (2005). He has won over 30 national and international prizes, including: Best Film and Best Direction at Catarina Festival de Documentários, Santa Catarina, 2003; Prix Jeunesse International, Paris, 2001 and the Pierre Verger Prize for Excellence from the Brazilian Anthropology Association, 2000. He holds a degree in Psychology and a Master’s in Communication and Semiotics from PUC-SP. Tadeu Jungle (Brazil, 1956) Seniman multimedia. Ia bekerja sebagai video-maker, fotografer, penyair, desainer grafis, serta produser dan sutradara untuk film, TV, dan iklan. Jungle memulai eksperimentasi dengan video pada tahun 1974 dan ia menjadi bagian dari Airlando Machado yang dijuluki sebagai generasi video independen yang terdiri dari beberapa seniman lulusan universitas di awal tahun 1980an. Bersama dengan teman-temannya di University of São Paulo’s School of Communication and Arts (ECA-USP), ia mendirikan grup TVDO yang penuh dengan semangat anarkis dan bersama dengan grup ini ia berkarya dengan video instalasi dan video eksperimental yang telah memenangkan lima seri Videobrasil berturut-turut. Jungle mendirikan sekolah video pertama kali di Brasil, Academia Brasileira de Vídeo, pada tahun 1986. Pemegang gelar Master’s in Art and TV dari California’s San Francisco State University ini telah meraih beberapa penghargaan untuk video dan kompetisi acara di Amerika, Eropa dan Amerika Latin. Ia bekerja sama dengan Academia de Filmes saat ini. Ia baru saja menyutradarai filem fiksi Amanhã Nunca Mais (Tomorrow Never More, 2011) dan dokumenter Evoé, Retrato de um Antropófago (Evoé, Portrait of an Anthropophagist 2011) tentang penulis naskah Zé Celso Martinez Correa. Untuk tayangan TV, ia menyutradarai acara musikal Mocidade Independente (Bandeirantes), bersama dengan Motta, dan menjadi presenter Fábrica do Som (Cultura channel), dan masih banyak lagi. A multimedia artist, he works as a video maker, photographer, poet, graphic designer, film, TV and advertising producer and director. Jungle began experimenting with video in 1974 and was a part of what Arlindo Machado dubbed the independent video generation, comprising authors who had recently graduated from universities in the early 1980s. Alongside colleagues from the University of São Paulo’s School of Communication and Arts (ECA-USP), he established the group TVDO, marked by an anarchic spirit, with which he created video installations and experimental videos that won prizes in the first five editions of Videobrasil. In 1986, he founded the first video school in the country, Academia Brasileira de Vídeo. The holder of a Master’s in Art and TV from California’s San Francisco State University, he won several prizes for his videos in competitive shows in the United States, Europe and Latin America. Currently, he is a partner of production company Academia de Filmes. He recently directed fiction feature film Amanhã Nunca Mais (Tomorrow Never More, 2011) and the documentary Evoé, Retrato de um Antropófago (Evoé, Portrait of an Anthropophagist 2011), about the playwright Zé Celso Martinez Correa. On TV, he co-directed the musical Mocidade Independente (Bandeirantes channel) with Nelson Motta and presented Fábrica do Som (Cultura channel), among several other projects. Walter Silveira (Brazil, 1955) Seniman video, penyair visual, seniman grafis, dan profesional TV. Dengan gelar Radio dan TV dari the School of Communication and Arts of the University of São Paulo, Silveira telah berkarya di bidang penulisan, eksperimental, dan projek berbasis elektronik sejak tahun 1977. Ia menjadi asisten sutradara dari Antonio Abujamra untuk bagian drama dari TV Tupi’s pada tahun 1979. Ia juga ikut mendirikan TVDO pada ttahun 96


1980. Sebagai direktur program untuk TV Gazeta dari tahun 1987 hingga 1996, ia telah membuat dan menyutradarai beberapa acara seperti Mix News dan Clodovil Abre o Jogo. Silveira membuat dokumenter di acara Dokumenta di Kassel, Jerman, pada tahun 1997 dan disiarkan di TV Cultura. Pada tahun 1998, ia menjadi kepala dari programming board. Sejalan dengan kegiatannya di TV, ia mendirikan dan mengorganisir sekolah video pertama, Videoteca Brasileira, yang telah mengumpulkan lebih dari 150 judul video dari Brasil. Ia ikut berparstisipasi dalam the XXIII International Biennial of São Paulo (2003) dengan instalasi multimedia yang dibuat sebagai tribut untuk Oswald de Andrade. Pada tahun yang sama, ia mengembangkan pertunjukan lintas media, Poetry is Risk, bersama dengan penyair Augusto de Campos dan musisi Cid Campos yang telah diprsentasikan di beberapa kota. Video artist, visual poet, graphic artist, and television professional. With a degree in Radio and TV from the School of Communication and Arts of the University of São Paulo, Silveira has created authorial, experimental, electronic-oriented projects since 1977. In 1979, he was assistant director to Antonio Abujamra at TV Tupi’s Drama Department. He co-founded TVDO, a leading production company in Brazilian 1980s independent video. As the programming director for TV Gazeta, from 1987 to 1996, he created and directed several shows, such as Mix News and Clodovil Abre o Jogo. In 1997, he made a documentary on the Documenta show in Kassel, Germany, aired on TV Cultura. In 1998, he was hired by the channel as head of the programming board. Parallel to his television activities, he founded the first video school in the country and organized Videoteca Brasileira, comprising more than 150 national video art titles. He participated in the XXIII International Biennial of São Paulo (2003) with a multimedia installation paying tribute to Oswald de Andrade. In that same year he developed the intermedia show Poetry is Risk, with poet Augusto de Campos and musician Cid Campos, which was presented in several countries.

97


PROGRAM 2 : Improbable Journeys Curator Solange Farkas Berbagi status geopolistis yang sama, para seniman yang terpilih untuk the Trânsitos Improváveis (Unlikely Transits/ Mau tak Mau harus berpindah) ini menunjukkan kebanggaan akan vitalistas kreatifitas mereka yang unik. Pengaruh mereka diisi oleh praktek-praktek dan investagasi yang dapat memperbaharui pembacaan dan pembentukan seni, melampaui bentuk yang resmi hingga akhirnya merambah ke area lain, dan akhirnya menjadi pembaharu ekspansi ke ranah kritik dan sejarah seni rupa. Inilah karya-karya yang bertujuan untuk memetakan dan memahami apa itu yang dimaksud dengan subjektif, menciptakan kembali makna afeksi dan kenangan pribadi, bercakap dengan karya yang boleh jadi ia terkumpul dari dilema yang ada di masyarakat atau sekedar mempertanyakan sejarah sosial, misalnya seperti Unforgettable Memory karya seniman China, Liu Wei, atau Machines for Living karya dua seniman Polandia-Amerika, Marek Ranis dan Jonathan Case. Karya-karya yang lainnya yaitu Round and Roud dan Consumed by Fire, karya Bolivia’s Claudia, akan mengubah pandangan kita, membuka jalan untuk eksperimen dan risiko untuk memaksakan diri pada persepsi artistik. Narasi-narasi beragam yang pada awalnya merupakan bagian dari tayangan Southern Panorama yang diadakan oleh the 17th International Contemporary Art Festival SESC_Videobrasil ini menjadi bagian dari kesepakatan dan pembacaan baru dalam program kurasi ini. Adapun kategori di Southern Panoramas: Cartographies of Affection, Nature and Culture, Political Landscapes, and Seeing Machines, menunjukkan keadaan para seniman yang mau tak mau harus berpindah dari geopolitik belahan dunia Selatan.

Sharing a common geopolitical status, the artists shortlisted for the Trânsitos Improváveis (Unlikely Transits) show boast a unique creative vitality. Their contaminations fuel practices and investigations which can give rise to renewed readings and forms for art to circulate, transcending the official scene and feeding into other areas, and ultimately leading to the expansion of visual arts critique and history. Here, pieces which aim to chart out and comprehend the subjective, recreating meanings for affections and personal memories, conversing with artworks that either summon up dilemmas from the public sphere or question social history, such as Unforgettable Memory, by the Chinese artist Liu Wei, or Machines for Living, by the Polish-American duo Marek Ranis and Jonathan Case. Other works, such as Round and Round and Consumed by Fire, by Bolivia’s Claudia Joskowicz, change our gaze and set forth new visions, paving the way for experimentation and risk to impose themselves upon artistic perception. Originally a part of the Southern Panoramas show, held during the 17th International Contemporary Art Festival SESC_Videobrasil, these diverse narratives take on new arrangements and readings in this curated program. Covering the four different sections of Southern Panoramas – Cartographies of Affection, Nature and Culture, Political Landscapes, and Seeing Machines –, the show portrays the unlikely transits of artists from this vast geopolitical South of the world.

Screening Schedule at: KINEFORUM 8 September | 19.30 10 September || 17.00 12 September || 14.15 14 September || 19.30

98


LIST OF WORKS Total: 65’46”’ MIENTRAS PASEO EN CISNE | ARGENTINA, 2010 | 8’25” Lara Arellano Duduk di kursi belakang mobil yang mengemudi di sepanjang jalan, seorang gadis muda merefleksikan apa yang ia lihat: sepatu merahnya, sapi-sapi, kolam dikajauhan yang tak kunjung tiba. Percakapan antara orangtuanya yang duduk di kursi depan melintasi refleksinya, memperdalam sensasi kantuk, mimpi, dan peresapan. Karya ini mengeksplorasi dialog antara lanskap luar dan kondisi kebatinan, ekspresi feminin dalam seni, dan ide dari perjalanan sebagai jalan emosional. Sitting in the back seat of a car driving along a road, a young girl reflects on what she sees: her own red shoes, cows, distant ponds that never arrive. The conversation between her parents sitting in the front cuts across her reflections, deepening the sensation of sleepiness, dream, and immersion. The work explores the dialogue between outer landscapes and inner states, feminine expression in art, and the idea of the journey as an emotional route. VIA REPÚBLICA | BRAZIL, 2010 | 6’18” Chico Dantas Rua da República selalu menjadi rute utama ke João Pessoa, ibukota Negara Paraíba, bagi mereka yang datang dari pedalaman. Perjalanan, antara Sungai Sanhauá dan Istana Gubernur, diambil alih oleh para politisi, seniman, intelektual, dan pekerja. Ketika kami melakukan tur di jalan ini melalui lensa subjektifnya, tokoh menceritakan perjalanan dari masa lalu keluarganya, seolah ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh bangunan-bangunan dan kenangan-kenangan di kota dengan konten sejarah alternatif. Rua da República has always been the main route into João Pessoa, the capital of Paraíba State, for those coming from inland. The journey, between the Sanhauá River and the Governor’s Palace, is taken by politicians, artists, intellectuals, and workers. As we travel the road through his subjective lens, the artist narrates (in off) journeys from his own family past, as if wanting to fill the void left by the abandoned buildings and memories of the city with alternative historical content. SUPERBLOQUES | EUA, 2010 | 5’37” Luis F. Ramirez Celis Video ini membahas proyek pembongkaran perumahan Pruitt Igoe di Saint Louis (AS), bekas ikon kebobrokan yang dahulu pernah dianggap sebagai puncak modernisme dalam arsitektur Amerika. Di sini, nama bangunan ini melesat melalui sebuah lagu yang dinyanyikan penyanyi Venezuela, Simón Díaz, menceritakan tentang seorang penduduk Caracas yang menolak untuk meninggalkan lokasi proyek perumahan yang akan segera dirobohkan. Tumpang tindih dalam cerita ini menghadirkan ironi yang mengaitkan kegagalan proyek modern dengan ketidakcukupan solusi kontemporer. The video addresses the demolition of the Pruitt Igoe housing project in Saint Louis (USA), a dilapidated former icon, once considered the pinnacle of modernism in American architecture. Here, the building implodes to the sound of a song by the Venezuelan singer Simón Díaz, which tells of a resident of Caracas who refuses to leave a housing project that is about to be torn down. The ironic overlapping of stories relates the failure of the modern project with the insufficiency of contemporary solutions. 99


ESTUDO SOBRE A ESCURIDÃO | BRAZIL, 2009 | 12’56” Marcia Vaitsman Untuk meluruskan Sungai São Francisco yang seolah-olah seperti mengedit video adalah tidak hanya untuk menggubah kontur yang tampak, tetapi juga kehidupan sehari-hari seluruh penduduk yang mata pencahariannya bergantung pada sungai itu. Dihadapkan dengan sungai yang alirannya akan dialihkan, para seniman tetap memperhatikan kegelapan yang membungkusnya pada malam hari. Kala senja bekerja dengan fisik maupun ingatan, karya ini menciptakan intervensi dalam lanskap yang berfungsi sebagai metafora untuk perubahan pada sungai dan berbagai fasenya. To straighten out the São Francisco River as if editing a video is to alter not only its visible contours, but also the everyday lives of all those whose livelihoods depend on it. Faced with a river whose course is about to be rerouted, the artist remains attentive to the darkness that envelopes it at nightfall. At the twilight of a course both physical and made of memories, the work creates interventions in the landscape that serve as metaphors for the changes to the river and its various phases.

EXPLORING | ISRAEL, 2010 | 5’07” Moran Shavit Video ini menampilkan surat-menyurat antara tokoh dengan ayahnya pergi bekerja di kapal tanker di laut. Ketika sang ayah membaca kembali beberapa surat lama atau komentar-komentar tokoh di pesan-pesan dengan perspektif orang dewasa, dimensi lain mulai ikut bermain, seperti geografis dan ruang subyektif, serta memori objektif dan afektif. Gambar kartu pos yang disertai beberapa huruf membantu menyusun peta emosional yang tak terangkum ini. The video works with the correspondence exchanged between the artist and her father while the latter was away working on ocean tankers. When the father reads back some of his old letters or the artist comments on these messages from an adult perspective, other dimensions begin to come into play, such as geographic and subjective space, and objective and affective memory. Pictures of the postcards that accompanied some of the letters help draw up this inconclusive emotional map.

MACHINES FOR LIVING | POLAND, 2010 | 4’02” Marek Ranis and Jonathan Case Dengan sentuhan fantastis, karya ini merujuk kembali ide-ide utopis arsitek Swiss dikenal sebagai Le Corbusier (1887-1965), salah satu dari yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Menggambar dengan bahan yang beragam seperti gambar gajah dan kutipan dari salah satu wawancara terakhir dengan si arsitek, video ini mempertanyakan bagaimana kita menafsirkan Le Corbusier dan ide yang lebih luas tentang cara kita tinggal dan hidup secara berdampingan. With a fantastical touch, the work revisits the utopian ideas of the Swiss architect known as Le Corbusier (1887‑1965), one of the most influential of the 20th century. Drawing from materials as diverse as pictures of elephants and excerpts from one of the architect’s last interviews, the video questions how we interpret Le Corbusier and broader ideas on our ways of dwelling and coexistence.

100


TREE OF FORGETTING | ARGENTINA, 2009 | 8’52” Dan Boord and Luis Valdovino Dipahami sebagai sebuah cerita pendek, narasi ini mengembara antar kota-kota dan kenangan-kenangan, seolah-olah waktu adalah jalan bercabang yang selalu memungkinkan untuk mengarah kembali ke tujuan yang sama: masa lalu. Dalam Tree of Forgetting ini, seseorang bisa menghilang di antara teman-teman dan keluarga, dan menontonnya sebagai hal-hal dan tempat sehari-hari dalam bentuk yang paling beragam. Conceived of as a very short story, the narrative wanders among cities and memories, as if time were a forked road of possibilities that always lead back to the same destination: the past. In this tree of forgetting, one can disappear among friends and family, and watch as everyday things and places assume the most diverse forms.

ROUND AND ROUND AND CONSUMED BY FIRE | BOLIVIA, 2009 | 9’12” Claudia Joskowicz Karya ini terinspirasi oleh sebuah adegan dari film Butch Cassidy dan Sundance Kid, direproduksi dalam adegan lambat tunggal menggabarkan sebuah momen ketika para bandit Amerika dikelilingi oleh polisi Bolivia. Adegan dekat-lembam menciptakan efek kecemasan yang menegaskan celah-celah dalam narasi dan menciptakan kembali dinamikanya. Seperti dalam karya-karya sebelumnya, Joskowicz membahas elemen dasar bahasa sinematografi klasik. The work was inspired by a scene from the film Butch Cassidy and the Sundance Kid, reproducing in a single, slow panoramic shot the moment in which the American bandits are surrounded by the Bolivian police. The near-inert scene creates an effect of anxiety that underscores the holes in the narrative and reinvents its dynamics. As in earlier works, Joskowicz addresses the basic elements of classical cinematographic language.

UNFORGETTABLE MEMORY | CHINA, 2009 | 10’17” Liu Wei Sang seniman mencoba untuk memulihkan ingatannya pada tahun 1989, ketika rakyat Cina turun ke jalan untuk memprotes pemerintah Deng Xiaoping. Wei keluar untuk mencari saksi mata, dengan membawa kamera dan foto-foto aksi protes, di mana ia hampir tewas. Menggunakan bahasa langsung, karya ini mempertanyakan kekuatan memori dalam menghadapi ketidakpedulian. The artist tries to recover his memory of 1989, when the Chinese took to the streets to protest against the Deng Xiaoping government. Wei heads out in search of witnesses, carrying with him a camera and a photo of the protests, during which he was almost killed. Using direct language, the work questions the power of memory in the face of indifference.

101


ARTISTS BIOGRAPHIES Chico Dantas (Brazil, 1950) Pelukis, juru gambar, pemahat, fotografer, dan seniman video. Dantas pernah belajar pedagogi dan pendidikan seni di Universidade Federal da Paraiba. Telah berpameran sejak 1979 dan telah berpartisipasi dalam beragam pameran dan biennial seni di Brazil dan luar negeri, termasuk 16th Bienal de Sao Paulo (1981) dan 15th Biennial of Cerveira (2009), di Portugal. A painter, draughtsman, engraver, photographer, and video artist, Dantas studied artistic pedagogy and education at the Universidade Federal da Paraíba. He has been exhibiting since 1979 and has participated in various art salons and biennials in Brazil and abroad, including the 16th Bienal de São Paulo (1981) and the 15th Biennial of Cerveira, Portugal (2009). Claudia Joskowicz (Bolivia, 1968) Pemegang gelar master seni rupa dari New York University, Amerika Serikat. Jozkowicz telah berpameran di biennal Sao Paulo, Havana (Kuba), dan Seoul (Korea Selatan), dan beragam pameran tunggal dan kelompok temasuk Thierry Goldberg Projects (New York), Museo Nacional de Arte (La Paz, Bolivia), Galeria Kiosko (Santa Cruz de la Sierra, Bolivia), Momenta Art Gallery (New York), dan McDonough Museum of Art (Ohio, Amerika Serikat). Dia menerima beasiswa Fullbright (2009) dan beasiswa Vermont Studio Center (2008). Dia mengajar di Steinhardt Art Department, New York University. Holder of a master’s degree in the visual arts from the New York University, USA, Joskowicz has exhibited at the biennials of São Paulo, Havana (Cuba), and Seoul (South Korea), and in solo and group exhibitions that include Thierry Goldberg Projects (New York), Museo Nacional de Arte (La Paz, Bolivia), Galería Kiosko (Santa Cruz de la Sierra, Bolivia), Momenta Art Gallery (New York), and McDonough Museum of Art (Ohio, USA). She has received the Fullbright (2009) and Vermont Studio Center (2008) scholarships. She lectures at New York University’s Steinhardt Art Department. Dan Boord (Argentina, 1961) Valdovina bergelar master seni rupa dari University of Illinois, Chicago, dan dosen seni di Universitas of Colorado di Boulder, Amerika Serikat. Boords mendapatkan gelar master dari University of California dan dosen program kajian senimatografis di Ohio State University, Columbus, Amerika. Banyak karya mereka yang telah dipamerkan di pameran-pameran dan institusi-institusi penting, semacam MoMA (New York, Amerika), Venice Biennale (Italia), Centre George Pompidou (Paris, Perancis), Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofia (Madrid, Spanyol), Toronto Film Festival (Canada), da Stedelijk Museum (Amsterdam, Belanda). Valdovino holds a master’s degree in the visual arts from the University of Illinois, Chicago, and lectures in art at the University of Colorado in Boulder, both in the USA. Boord holds a master’s degree from the University of California and lectures on the cinematographic study program at Ohio State University in Columbus, USA. The duo’s two dozen or so works have been seen in important exhibitions and institutions, such as MoMA (New York, USA), the Venice Biennale (Italy), Centre Georges Pompidou (Paris, France), Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía (Madrid, Spain), Toronto Film Festival (Canada), and Stedelijk Museum (Amsterdam, Holland).

102


Jonathan Case (EUA, 1972) Jonathan Case adalah seorang filmmaker dan produser televisi. Dia belajar film di program konservatori SUNY Purchase. Karya-karya naratif pendeknya telah diputar di beberapa festival film di Amerika Serika. Dia telah bekerja di televisi selama hampir sepuluh tahun dan telah memenangkan beberapa penghargaan untuk karya-tulis, editan, dan desain geraknya. Jonathan Case is a filmmaker and television producer. He studied film at the SUNY Purchase conservatory program. His short‑form narrative works have appeared in several film festivals across the USA. He has worked professionally in television for nearly ten years and won several awards for his writing, editing, and motion design. Lara Arellano (Argentina, 1976) Lulusan desain bunyi dan gambar dari Universidade de Buenos Aires, Argentina, Arellano memulai ekperimentasi artistiknya melalui pertunjukan-pertunjukan VJ, menyutradai beragam video musik, dan berkarya dengan menggunakan medium video, yang belakangan jadi tonggak penting karyanya. Mientras paseo en cisne dipilih sebagai film pendek terbaik dalam Official Selection Buenos Aires International Festival of Independent Cinema 2010. A graduate in sound and image design from the Universidade de Buenos Aires, Argentina, Arellano began her artistic experimentation through VJ performances, directing music videos and working with videos, which later became the main pillar of her work. Mientras paseo en cisne was voted best short film on the official selection at the Buenos Aires International Festival of Independent Cinema 2010. Liu Wei (China, 1965) Wei dulu belajar di China Central Academy of Drama, Beijing, China, dan lulus dengan gelar filsafat dari Universitas Beijing. Dalam praktik artistik, dia menggunakan beragam medium untuk memanggil memori dan menghubungkan pengalaman-pengalaman personalnya dengan realitas di China yang sedang berubah. Dia turut berpartisipasi dalam 8th Gwangju Biennale (Korea Selatan, 2010), 9th Sharjah Biennial (Uni Emirat Arab, 2009), WRO 2009 Media Art Biennale (Polandia), Taipei Biennial (Taiwan, 2008), International Film Festival Rotterdam (Belanda, 2010), dan Cinema du Reel (Centre Georges Pompidou, Paris, Perancis, 2006). Wei studied at the China Central Academy of Drama, Beijing, China, and graduated in philosophy from the University of Beijing. In his artistic practice, he uses various mediums to address memory and relate his own experiences to the reality of a China in transformation. He participated in the 8th Gwangju Biennale (South Korea, 2010), the 9th Sharjah Biennial (UAE, 2009), the WRO 2009 Media Art Biennale (Poland), the Taipei Biennial, Taiwan (2008), the International Film Festival Rotterdam (Holland, 2010), and Cinema du Réel (Centre Georges Pompidou, Paris, France, 2006). Luis F. Ramirez Celis (Colombia, 1969) Seniman, arsitektur, kurator, dan museologist, Celis sedang melanjutkan studi masternya di Stony Brook University, New York, Amerika Serikat. Dia berkarya dengan medium video dan instalasi. Celis pernah mendapat nominasi Luis Caballero Award dan memenangkan Grand Prize di Bienal de Artes Visuales da Fundacion Gilberto Alzate Avendano (Bogota, Kolumbia). Dia pernah residensi di Encuentro MDE07 (Medellin, Kolumbia) dan Galeria Sante Fe (Bogota). Dia mengkurasi Museo de Arte del Banco de la Republica (Bogota). 103


Artist, architect, curator, and museologist, Celis is currently pursuing a master’s degree at Stony Brook University in New York, USA. He works with video and installation. Celis was nominated for the Luis Caballero award and won the Grand Prize at the Bienal de Artes Visuales da Fundación Gilberto Alzate Avendaño (Bogotá, Colombia). He has done residencies at Encuentro MDE07 (Medellin, Colombia) and Capacete (Rio de Janeiro). His work has been exhibited at the Lawrence Alloway Gallery (New York) and Galería Santa Fe (Bogotá). He curates the Museo de Arte del Banco de la República (Bogotá). Luis Valdovino (Argentina, 1961) Valdovina bergelar master seni rupa dari University of Illinois, Chicago, dan dosen seni di University of Colorado di Boulder, Amerika Serikat. Boords mendapatkan gelar master dari University of California dan dosen program kajian senimatografis di Ohio State University, Columbus, Amerika. Banyak karya mereka yang telah dipamerkan di pameran-pameran dan institusi-institusi penting, semacam MoMA (New York, Amerika), Venice Biennale (Italia), Centre George Pompidou (Paris, Perancis), Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofia (Madrid, Spanyol), Toronto Film Festival (Canada), da Stedelijk Museum (Amsterdam, Belanda). Valdovino holds a master’s degree in the visual arts from the University of Illinois, Chicago, and lectures in art at the University of Colorado in Boulder, both in the USA. Boord holds a master’s degree from the University of California and lectures on the cinematographic study program at Ohio State University in Columbus, USA. The duo’s two dozen or so works have been seen in important exhibitions and institutions, such as MoMA (New York, USA), the Venice Biennale (Italy), Centre Georges Pompidou (Paris, France), Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía (Madrid, Spain), Toronto Film Festival (Canada), and Stedelijk Museum (Amsterdam, Holland). Marcia Vaitsman (Brazil, 1973) Lulusan Escola de Comunicacoes e Artes da Universidade de Sao Paulo (ECA-USP). Vaitsman pernah belajar di KHM (Konsthochschule fur Medien Koln) di Cologne, Jerman. Karya-karyanya bertemakan migrasi, perpindahan, dan perkawinan antar suku bangsa, dan akibatnya dalam medium-medium kontemporer. Dia telah mendapatkan penghargaan dan dana dari EMMA (European Mobile Multimedia Association, Inggris), Unesco-Ashberg (Perancis), Funarte (Brazil), SCAB (University for Creative Careers, Amerika Serikat), lamas (Institute for Advanced Media Arts dan Sciences, Jepang), Prince Claus Fund (Belanda), dan HIAP (Helsinki International Artist-in-Residence Program, Finlandia), dan sebagainya. Dia telah berpameran di Eropa, Amerika, dan Asia. A graduate of the Escola de Comunicações e Artes da Universidade de São Paulo (ECA‑USP), Vaitsman studied at KHM (Kunsthochschule für Medien Köln) in Cologne, Germany. Her work deals with issues derived from the phenomena of migration, displacement, and miscegenation, and their ramifications in contemporary mediums. She has received awards and funding from EMMA (European Mobile Multimedia Association, UK), Unesco‑Ashberg (France), Funarte (Brazil), SCAD (University for Creative Careers, USA), Iamas (Institute for Advanced Media Arts and Sciences, Japan), Prince Claus Fund (Holland), and HIAP (Helsinki International Artist‑in‑Residence Program, Finland), among others. She has exhibited in Europe, the Americas, and Asia. Marek Ranis (Poland, 1968) Lulusan dari Academy of Fine Arts di Wroclaw, Polandia. Ranis menggunakan patung, instalasi, video, fotografi, lukisan, dan seni publik dengan tema-tema sosial, politik, dan lingkungan. Dia adalah pemenang beragam penghargaan dan residensi di Amerika Serikat, Australia, Eropa, Afrika, dan Asia. Dia telah telah menghasilkan karya-karya instalasi skala besar di delapan negara dan berpartisipasi di lebih dari delapan puluh pameran. Dia mengajar seni pahat di University of North Carolina, Charlotte, Amerika Serikat. A graduate of the Academy of Fine Arts in Wroclaw, Poland, Ranis uses sculpture, installation, video, photography, painting, and public art in an oeuvre that addresses social, political, and environmental 104


themes. The winner of prizes and residencies in the USA, Australia, Europe, Africa, and Asia, he has created large‑scale installations in eight countries and participated in over eighty exhibitions. He teaches sculpture at the University of North Carolina, Charlotte, USA. Moran Shavit (Israel, 1982) Sarjana fotografi dari Wizo Haifa Academy of Design and Education di Israel, Shavit sedang melanjutkan studi masternya di program internasional Art in Public Space and New Artistic Strategies di Bauhaus University, Weimar, Jerman. Dia telah berpameran di Israel selama lima tahun dan karya-karyanya secara umum berkaitan dengan hubungan antara ruang dan waktu, utamanya menggunakan medium fotografi dan video. A photography graduate from the Wizo Haifa Academy of Design and Education in Israel, Shavit is pursuing a master’s degree on the international program Art in Public Spaces and New Artistic Strategies at the Bauhaus University, Weimar, Germany. She has been exhibiting in Israel for five years now, and her work generally addresses relations between space and time, using mainly photography and video.

105


INSIDE JOBS Teknik menyelinap, menjejal budaya, pertanyaan sanggahan dan berbahaya selama istirahat makan siang. Para seniman dalam program ini menggunakan berbagai teknik untuk mengejek otoritas atau menantang batasan antara perangkat lunak dan keras. Mereka mempertanyakan paradigma yang ada dan mengubah persepsi kita tentang seni, budaya, atau kenyataan. Kebanyakan seniman pilihan menggunakan karya mereka untuk menyusup dan menyelidiki kekuatan struktur yang lebih jelas dan tampak seperti hak cipta, sistem kamera pengintai, dan rezim perusahaan, tetapi di bagian akhir dari The Third Man, oleh Erik B端nger, lebih membawa masalah ke tingkat alam bawah sadar dan mengubah perspektif sebanyak 180 derajat. (TRT 80 menit, dikuratori oleh Arjon Dunnewind, Festival Impakt, impakt.nl) Stealth techniques, culture jamming, hacking and harmless questions during lunch break. The artists in this program use various techniques to mock authorities or challenge the limits of soft and hardware. They question existing paradigms and change our perception of art, culture or reality. Most artists in the selection use their work to infiltrate en investigate the more visible and apparent powers structures such as copyright, surveillance camera systems and corporate regimes, but the final piece The Third Man by Erik B端nger takes matters to a more subconscious level and changes the perspective 180 degrees. (TRT 80 mins, curated by Arjon Dunnewind, Impakt Festival, impakt.nl)

Screening Schedule at: KINEFORUM 7 September | 9 September |

14.15

| 11 September | 12 September

14.15

| 14 September

14.15

106

19.30 17.00


The Evil Empire - Federico Solmi (USA 2007, 4:11 menit) The Evil Empire adalah judul animasi video saya yang terbaru. Video animasi ini berlatar di jantung kota Vaticanal , pada tahun 2046. Dikelilingi oleh lukisan-lukisan dinding yang agung dan kekayaan apartemen Basilika Santo Petrus, seorang Paus fiksi akan digambarkan sebagai seorang pria muda yang berjuang dengan dengan kecanduan porno, selayaknya orang pada umumnya yang tidak mampu menghindari godaan dari masyarakat kontemporer. The Evil Empire dibuat atas kerjasama dengan Russell Lowe, seniman yang berbasis 3D New Zealand. (federicosolmi.com) The Evil Empire – Federico Solmi (USA 2007, 4:11mins) The Evil Empire is the title of my latest video animation. The video animation takes place in the heart of Vaticanal City, in the year 2046. Surrounded by the glorious frescoes and wealth of his St. Peter’s Basilica apartment, a fictional Pope will be portrayed as a young man struggling with his porn addiction, similarly to all ordinary men who cannot avoid the temptation of the contemporary society. The Evil Empire is made in collaboration with 3D New Zealand based artist Russell Lowe. (federicosolmi.com)

Peretas Video – Manuel Saiz (Spanyol / Inggris, 1998, 4:22 menit) “Halo, saya seorang peretas video. Saya melakukannya karena saya senang dengan kekacauan. Karena hak cipta membuat saya ingin muntah. Karena saya benci artis yang mencap nama mereka pada karya-karya mereka. Itu tidak ada hubungannya dengan moral: baik atau buruk tidak masalah. Itu hanyalah dorongan yang sangat primitif dan ... Saya ingin bersenang-senang. Saya akan menunjukkan cara kerjanya .... “ (manuelsaiz.com) Video Hacking - Manuel Saiz (Spain/UK 1998, 4:22 mins) “Hello, I’m a video hacker. I do it because I like chaos. Because copyrights make me throw up. Because I hate artist that stamp their names on their works. It’s nothing to do with morals: good or bad doesn’t matter. It’s just a very primitive impulse and ... I wanna have fun. I’ll show you how it works.... “ (manuelsaiz.com) 107


Hello - Matthijs Vlot (Belanda 2012, 1:18 menit) Matthijs Vlot bertanggung jawab untuk salah satu hits internet terbesar tahun 2012 dengan kolase kutipan film Hollywood-nya yang diatur ke dalam bentuk epik Lionel Richie, Hello. Empat puluh empat aktor, satu lagu. (mattatjeoorlog.nl) Hello – Matthijs Vlot (The Netherlands 2012, 1:18 mins) Matthijs Vlot is responsible for one of the biggest internet hits of 2012 with his collage of Hollywood film excerpts set to Lionel Richie’s epic Hello. Forty-four actors, one song. (mattatjeoorlog.nl)

Workers Leaving the Googleplex - Andrew Norman Wilson (USA 2009-2011, 11:03 menit) Workers Leaving the Googleplex menyelidiki kelas pekerja Google Books ‘ScanOps’ yang terpinggirkan di kantor pusat perusahaan internasional Google di Silicon Valley. Wilson mendokumentasikan para pekerja ScanOps beremblem kuning, sekaligus mencatat peristiwa kompleks seputar pemecatan dirinya sendiri dari perusahaan. Merujuk pada film garapan Lumière Brother pada tahun 1895 berjudul Workers Leaving the Factory, cerita sejarah dalam video menunjukkan transformasi dan keberlanjutan sistem pengaturan tenaga kerja, modal, media dan informasi. (andrewnormanwilson.com) Workers Leaving the Googleplex - Andrew Norman Wilson (USA 2009-2011, 11:03 mins) Workers Leaving the GooglePlex investigates the marginalized class of Google Books ‘ScanOps’ workers at Google’s international corporate headquarters in Silicon Valley. Wilson documents the yellow badged ScanOps workers, while simultaneously chronicling the complex events surrounding his own dismissal from the company. The reference to the Lumière Brother’s 1895 film Workers Leaving the Factory situates the video within motion picture history, suggesting transformations and continuities in arrangements of labor, capital, media and information. (andrewnormanwilson.com) 108


Surveillance Chess – !Mediengruppe Bitnik (United Kingdom 2012, 7:00 menit) Dilengkapi dengan pemancar penyusup !Mediengruppe BITNIK meretas kamera pengintai di pra-Olimpiade London dan memainkan kontrol. Artis kolektif menggantikan gambar aktual pengintaian dengan undangan untuk bermain catur. Sedangkan, staf keamanan yang memantau dari ruang kontrol menjadi permainan konsol. (bitnik.org) Surveillance Chess – !Mediengruppe Bitnik (United Kingdom 2012, 7:00 mins) Equipped with an interfering transmitter !Mediengruppe Bitnik hacks surveillance cameras in pre-Olympic London and assumes control. The artist collective replaces real-time surveillance images with an invitation to play a game of chess. The security staff’s surveillance monitor located in the control room becomes a game console. (bitnik.org)

The Third Man - Erik Bünger (Belanda / Jerman 2010, 50:00 menit, teks dalam bahasa Indonesia) Dalam film ini Erik Bünger mencoba untuk menelusuri jejak dari suatu entitas yang sulit dipahami yang disebut sebagai ‘the Third Man’ (‘orang ketiga’-penj). Entitas ini mengambil tempat tinggal dalam tubuh dari Julie Andrews yang ceria, mengubah tujuh anak tak berdosa menjadi boneka musik, masing-masing diperkecil menjadi notasi dalam skala diatonis, dan memang ia yang memikat anak-anak Hamelen bersama dengan musiknya. Ia ada dalam suara setiap ibu hamil, dalam memandikan bayi yang tak berdaya, ia adalah yang dimaksud oleh Kylie Minogue menyanyikan: “I just can’ get you out of my head.” Bünger mengintegrasikan teori-teori ilmiah, filsafat, dan agama bersamaan dengan rekaman video dan unsur musik seperti vokal dan kotak musik inventif. Dalam jejak ‘The Third Man’ Bünger membawa kita pada pencarian bersama untuk arti music yang sebenarnya. (erikbunger.com The Third Man – Erik Bünger (The Netherlands/Germany 2010, 50:00 mins, subtitled in Indonesian) In this film Erik Bünger tries to trace the footprints of an elusive entity called ‘the Third Man’. It is this entity that takes up residence in the ecstatic body of Julie Andrews, turning seven innocent children into musical puppets, each one reduced to a note in the diatonic scale and it is him that lures the children of Hamelen along with his music. He is in the voice of every pregnant mother, bathing her defenceless foetus in song and it is him that Kylie Minogue means when she sings: “I just can’t get you out of my head.” Bünger integrates scientific theories, philosophy and religion together with video footage and musical elements like vocals and inventive music boxes. In the footsteps of ‘The Third Man’ Bünger takes us along on a quest for the true meaning of music. (erikbunger.com) 109


LALU APA? Ronny Agustinus *

Sesudah OK. Video Festival berjalan memasuki perhelatannya yang keenam dan tahunnya yang kesepuluh, lalu apa? Akankah ia berubah menjadi rutinitas formal dua tahunan1 atau masihkah ada kebaruan-kebaruan yang bisa disumbangkannya bagi “aktivisme budaya” atau apapun lainnya? Mungkin demikianlah sebagian kekhawatiran para penggagas festival jenial ini. Dan untuk itulah saya kemudian diminta menuliskan sesuatu yang mungkin bisa ikut sedikit memberi pandangan tentang “lalu apa” tersebut. Sebenarnya, buat saya, di sebuah negeri yang inisiatif-inisiatif seni, budaya, maupun politiknya lebih sering bersifat “sekali berarti, sudah itu mati” (baik karena salah urus internal, himpitan eksternal, dlsb), konsistensi selama 10 tahun itu sendiri sungguh sebuah prestasi yang tidak bisa dipandang sepele. Dan rutinitas bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti dan dicemaskan apabila kita berkaca pada “aktivisme-aktivisme budaya” seperti Oberhausen Short Film Festival yang sudah rutin berjalan hampir 60 tahun. Tapi sebelum membahasnya lebih lanjut, mari kita ulas sekilas dulu apa-apa yang telah dicapai oleh OK. Video Festival maupun perkembangan umum seni video di Indonesia selama OK. Video berlangsung. Untuk satu hal jelas, genre “karya video” atau “video art” sudah lebih umum terdengar atau dimaklumi oleh publik saat ini ketimbang saat pertama kali OK. Video dimulai. Bukan berarti sudah terbentuk konsensus umum tentang apa itu video art,2 namun setidaknya istilah ini tidak seasing kedengarannya sepuluh tahun lalu. Bagaimana keberadaan OK. Video Festival berpengaruh pada popularisasi genre ini? Statistik perkembangan kuantitatif antara OK. Video pertama (2003) dengan OK. Video kelima (2011) mungkin bisa memberi sedikit gambaran:

-

Pada 2003 jumlah entri karya sebanyak 150 dari 19 negara dan yang dipamerkan 60, sementara pada 2011 jumlah entri karya sebanyak 500 dari 50 negara dan yang dipamerkan 150.

-

Pada 2003 OK. Video mendapat 12 liputan media dan pada 2011 mendapat 59 liputan media.

-

Lompatan paling fenomenal adalah jumlah pengunjung yang tercatat, dari 1.300 orang pada 2003 menjadi 10.500 orang pada 2011.

Selain popularisasi umum tersebut, saya dengar dari beberapa seniman yang berkarya dengan medium ini bahwa sistem pasar seni di Indonesia telah mensejajarkan karya video setara dengan karya seni lainnya, meski harga dan minat untuknya jelas masih jauh dibanding karya konvensional. Sistem kontrak untuk karya video telah terbentuk antara seniman dengan kolektor, yang mencakup besaran harga dan rentang waktu “pemilikan” karya, syarat-syarat penayangan untuk umum, pemutakhiran dan penggantian format, dll. 1. OK. Video Festival bermula pada 2003, namun periode dua tahunannya menjadikan perhelatan OK. Video menjadi lebih sedikit dibanding festival-festival dunia serupa yang lahir lebih belakangan namun berjalan per tahun, seperti Athens Video/Art Festival (terselenggara 8 kali, bermula dari 2005) atau Cologne International Videoart Festival (terselenggara 9 kali, bermula dari 2006). 2. Menurut Shaun Wilson, video art sulit didefinisikan karena ia menggambarkan medium sekaligus bentuk seninya. Seorang teoretikus new media mungkin akan melihatnya dari sudut peralihan gagasan dan historisitas teoretisnya, sementara para seniman video sendiri mungkin melihatnya dari persoalan visual dan teknologi. Wilson, “The New New: Video Art in the 21st Century”, makalah pada Vital Signs Conference 2005, di Australian Centre for the Moving Image (ACMI), Melbourne, hlm. 1.

110


WHAT IS NEXT? Ronny Agustinus *

OK. Video reached its sixth edition, and it has been around for ten years already. The question that follows is: what is next? Will it turn into a biennale formal routine1 or will it keep on contributing to the “cultural activism” with its innovations? Moreover, is there any other possibility?

Perhaps, these issues are among the main concerns of the festival’s initiators, and this is probably one of the reasons why they asked me to write about some perspectives in relation to “what is next?” In a country where art, cultural, and political initiatives have been characterized for being “once meaningful, then die” (either due to internal mismanagement, or external pressures, among others), a ten-year consistency is a true achievement, and cannot be dismissed as unimportant or trivial. This is precisely why routines should not be something to be afraid of, or something to worry about. For example, we can think about other practices that are considered “cultural activism”, such as Oberhausen Short Film Festival that has been running consistently for almost 60 years. However - before I continue-, I would like to present a brief review of OK. Video’s achievements, and a general overview of the development of video art in Indonesia in these ten years. Certainly, “video art” is more popular and better accepted nowadays than when OK. Video started. This does not necessarily mean that there is a general consensus of video art is2, but this term definitely sounds more familiar now than ten years ago. How does OK. Video Festival influences the popularization of this genre? Perhaps, we can gain some insights by looking at the statistics between the first OK. Video (2003), and the fifth OK. Video (2011):

ñ In 2003, 150 entries from 19 countries, with 60 exhibited works. While in 2011, 500 entries from 50 countries, with 150 exhibited works.

ñ In 2003, OK. Video got 12 media coverage, while in 2011 there were 59 media coverage.

ñ The most impressive leap can be seen on the number of visitors, from 1.300 visitors in 2003 to 10.500 visitors in 2011. In addition to the general popularization of video art, some artists who work with this medium affirm that the art market in Indonesia is now considering video art as relevant as other artworks. Nevertheless, there is still a big gap when it comes to the price and the market’s interests. A contract system for video art has been settled between the artist and the collector, and this includes: the price, the time of the “ownership”, a public presentation guide, a format renewal, a format replacement, among others. As a medium, video has been explored in many ways, techniques, and themes. Using Chaterine Elwes’ classification3 lightly, we can find videos as performance documentation, as games and tinkering technology, as a live relay of something that takes place in a different room, as a parody, etc. We witnessed all of these possibilities during the OK. Video events. 1. OK. Video Festival started in 2003, but since it has a biennale format, the amount of events is less than any other younger international festivals that are held annually, for example: Athens Video/Art Festival (held 8 times since it started in 2005) or Cologne International Videoart Festival (held 9 times, and started in 2006). 2. According to Shaun Wilson, video art is hard to define because it represents the medium, and the art form. A new media theorist might be able to see that ideas shift angles from a theoretical perspective, while an artist might see it from the video/technological perspective. Wilson, “The New New: Video Art in the 21st Century”, paper at the Vital Signs Conference, 2005, at the Australian Centre for the Moving Image (ACMI), Melbourne, p. 1. 3. look at the explanation of the section in Chapter 1 of Chaterine Elwes, “Video Art: a Guided Tour” (London: I.B. Tauris, 2005)

111


Sebagai medium, video itu sendiri juga telah dieksplorasi dalam banyak cara, teknik, dan tema. Memakai klasifikasi Catherine Elwes meski tidak secara ketat,3 kita bisa dapati karya-karya video sebagai dokumentasi performance, video sebagai permainan dan utak-atik teknologi, video sebagai siaran langsung dari apa yang berlangsung di ruang berbeda (live relay), video sebagai parodi dlsb. Semua kemungkinan ini pernah kita saksikan selama pelaksanaan OK. Video. Bahkan ada kemungkinan-kemungkinan lain –barangkali khas Dunia Ketiga—yang tidak disebutkan Elwes yang pernah dijajal di OK. Video, yakni pelibatan sebanyak mungkin pelaku untuk memproduksi karya video (dalam OK. Video 2007 yang bertajuk “Militia”). Proyek ini –yang juga dilakukan oleh Akumassa di beberapa kota dan EngageMedia di Papua lewat Papuan Voice—memiliki makna sosial politik yang penting di Indonesia yang sangat Jawasentris atau bahkan Jakartasentris, yang mungkin berbeda dengan konsep kekaryaan video di Eropa atau AS yang sangat berpusat pada kedirian sang seniman. Satu-satunya hal yang belum maksimal digarap, saya rasa, dan mungkin bisa dipertimbangkan untuk ke depan, adalah perluasan ruang-ruang siar karya video, agar pemirsanya bukan hanya publik seni melainkan publik pada umumnya. Mengapa ini penting? Saat OK. Video dimulai, saya pernah menulis bahwa kesejarahan seni video di Indonesia absurd bila ditarik atau dikait-kaitkan dengan apa yang dilakukan Nam June Paik dkk pada 1960-1970an, karena perkembangan teknologi di Indonesia era itu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di AS. Fakta historis tersebut tentu tak tersangkal, namun kondisi yang menjadi latar sosial dan basis material kekaryaan Paik era 1970an agaknya semakin lama semakin mirip dengan situasi kontemporer kita saat ini meski berselisih sekitar 40 tahun, ketika belasan saluran teve nasional dan lokal serta jaringan teve kabel menghadirkan ratusan channel yang menghajar kita selama 24 jam. Karena itu, penting untuk mengingat lagi semboyan dan misi utama Paik dalam berkarya video: “Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back.” Publik yang harus menjadi sasaran karya-karya video adalah publik umum tersebut, yang diberondong oleh banalitas dan rendahnya kualitas teve kita sehari-harinya. Di tengah ketidakwarasan itu, karya video harus bisa menjadi penangkalnya, lewat berbagai sarana transmisinya. Apakah publik akan “waras” atau tidak oleh penangkal itu adalah urusan kedua. Yang pertama-tama penangkal harus disebarkan. Publik harus melihat ada yang tidak beres dengan tontonannya keseharian itu.4 Pada 1969 Nam June Paik sendiri (yang dikenal antitelevisi) memanfaatkan siaran WGBH Boston untuk menyebarkan pesannya, termasuk meminta pemirsa menutup mata pada waktu-waktu tertentu lalu mematikan teve.5 Paik sadar betul, mustahil memerangi teve hanya lewat galeri, karena seperti dibilang pionir video art David Hall, “some people went to galleries, but everyone looked at television.” Bagaimana caranya video art bisa masuk televisi? Memang sulit.6 Paik dkk bisa masuk televisi karena pada 1970an, penyiaran publik di Amerika –dengan prinsip demokratis dan misi pedagogiknya—memang membuka pintu pada para seniman video. Di Indonesia belum ada kesadaran itu. Teve-teve swasta dianggap milik pribadi yang bisa menyiarkan sesuka-suka keinginan pemiliknya, padahal frekuensi yang dimilikinya adalah milik publik, sehingga semestinya membuka juga peluang bagi misi-misi pendidikan publik itu. Dengan demikian satu-satunya peluang yang mungkin bisa digarap adalah TVRI.

3. Lihat pembabakan sub-bab dalam bab 1 buku Catherine Elwes, “Video Art: A Guided Tour” (London: I.B. Tauris, 2005). 4. Lihatlah parodi dubbing Fluxcup atas tayangan infotainment Arya Wiguna (http://www.youtube.com/watch?v=bCn_VcWa1hQ). Lebih dari sekadar lelucon menurut saya, video ini bisa menunjukkan absurdnya televisi kita dalam melejitkan siapa yang hendak diangkatnya menjadi “idola” dalam pembicaraan publik kita. “Ketidakjelasan” omongan Arya dalam video Fluxcup mendahului atau meramalkan “ketidakjelasan” perilaku dia sebenarnya yang baru belakangan ini makin terkuak. Bagaimana orang seperti itu bisa tiba-tiba menjadi media darling, saya tak pernah habis pikir. 5. Elwes, op.cit., hlm. 119. 6. Saya pernah mengusulkan untuk membajak frekuensi saluran teve.

112


Perhaps, there are still some possibilities that are presumably typical of third-world countries, which Elwes missed to mention. For example, on a previous edition of OK. Video, the central theme was the involvement of as many individual as possible to produce a video (OK. Video Militia in 2007). This project, -which was also done by Akumassa in several cities, and EngageMedia in Papua through Papuan Voice-, held important social, and political implications in Indonesia, as the past tendency was “Java-centrism” or even “Jakarta-centrism.” This might differ from the concept of video art in Europe or in the United States, where everything is more artist-centered. To my point of view, something that has not yet been explored, -but might be considered in the future-, is the expansion of the video art viewing channel. This way, the audience would not only be from the art scene, but also the general public could be included. But, why is this important? When OK. Video started, I wrote about how absurd it was to link the history of video art in Indonesia to what Nam June Paik and his friends did in the 1960 – 1970s, because the technological development in this country at that time was completely different to what happened in the United States. This is not to deny the historical fact, however, the social conditions that became Paik’s materials in the 1970s, are instead more similar to our contemporary situation. For example, although there is a time difference of 40 years, nowadays in Indonesia dozens of national and local TV channels, as well as TV cable networks, have hundreds of shows that are bombarding us 24 hours. Therefore, it is important to recall Paik’s reasons for start making video art: “Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back.” The target audience of this video art expansion, should be the people that is bombarded by the banality and the low quality of our contemporary TV Programs. In this midst of insanity, video art should be an antidote via its various ways of transmission. It appears to be a secondary issue whether the public could be “cured” by this antidote or not. Firstly, this antidote must be disseminated. The public should realize that there is something wrong with the daily TV programs.4 In 1969, Nam June Paik, -which was well-known for his anti-television principle-, used WGBH Boston’s broadcast to spread his messages, including sections where he asked the viewers to close their eyes at certain times, and then turn off the TV.5 Paik was really aware of the impossibility of declaring war on TV through the gallery spaces, because as David Hall, a pioneer on video art said: “some people went to galleries, but everyone looked at television.” Then, how can video art be presented on television? It is indeed difficult.6 Paik and his friends had their videos on TVs because public broadcasting in America during the 1970s, —with its democratic principles and pedagogical mission—, opened up a space for video artists. However, in Indonesia there is no such awareness. Private channels base their selections on the owner’s needs, although their transmission is public. The problem is that the private channels have not yet incorporated educational contents on their agendas, so, the only possibility for video artist to show their works is TVRI, the state channel. What is left if we dismiss the option to show video art on TV because its constraints are too problematic? The answer could be: Internet and social media.7 If adult-content videos in 3gp format are spreading rapidly through these media, why isn’t video art spread in a similar format? Why is it so easy to find forums to exchange pornographic videos, but so difficult to find video art forums?

4. Look at the parody of Fluxcup dubbing of Arya Wiguna’s speech in infotainment (http://www.youtube.com/watch?v=bCn_VcWa1hQ). In my opinion, this video is more than a joke. This video shows us the absurdity of our TV station, which puts “the unknown” under the spotlight to be the public’s new “idol”. Arya’s “speech ambiguity” in this Fluxcup video precedes or predicts his “vagueness” which is lately revealed. I cannot believe how such a person became our media darling. 5. Elwes, op.cit., P. 119. 6. I have proposed to hijack TV channel frequencies. 7. According to Indonesia Internet Service Provider Association’s report presented at Internet Outlook 2013 (Jakarta, December 12, 2012) there were 63 million internet users (24,24% of Indonesian population), and an incensement of 82 million (30% of Indonesian population) was predicted for 2013. There are no details on the level of user activity and user intensity. The research that I’ve done in 2011 shows that television is still the main source of information over the internet, including the distribution of information of amateur video cases that started precisely from the internet. Look at Ronny Agustinus, “Some Questions about the Potential of Critical and Democratic Amateur Video in Networking,” paper at the conference at the Video Vortex #7, titled “Video in Indonesia: Histories, Aesthetics, Networks,” Yogyakarta, July 21, 2011.

113


Anggaplah opsi masuk televisi kita coret karena kendala-kendalanya masih kelewat berat, maka opsi apa lagi yang ada? Internet dan media sosial, tentunya.7 Video-video mesum tersebar tak terbendung dalam format .3gp, lalu mengapa karya video tak disebar dalam format serupa? Mengapa forum-forum untuk bertukar video mesum banyak sekali di internet tapi susah sekali menemui forum-forum video art? Oke, dalam satu hal perbandingan di atas memang kurang fair, karena di manapun: sex always sells—yang tabu akan mendapat lebih banyak peminat dibanding yang tidak tabu. Tapi tentang minimnya karya video yang bisa ditonton secara online8 ini memang cukup mengherankan. Belum lama lalu situs flavorwire.com sampai harus membuat artikel kompilasi “50 Great Works of Video Art That You Can Watch Online” sambil menggarisbawahi masalah yang sama.9 Reid Singer, si penulis artikel, mencoba menengarai alasan-alasan sulitnya mendapati karya video yang bisa ditonton online, antara lain: Pertama, si seniman video khawatir karyanya dikira film, karena itu ia lebih suka menayangkannya di galeri atau ruang-ruang pamer lainnya. Kedua, mereka tidak mau sembarang orang bisa menonton karyanya, jadi mereka lebih suka menjualnya dalam kepingan DVD kepada kolektor atau museum laiknya lukisan atau patung. Alasan pertama bisa masuk akal buat saya, terutama untuk karya-karya yang membutuhkan ruang atau instalasi video dan karya-karya multi-channel. Tapi tak ada alasannya karya video single-channel tidak bisa di-online-kan. Sedangkan alasan kedua agak terasa mengada-ada. Bisa jadi memang ada beberapa seniman video yang berprinsip demikian, tapi menurut saya itu berarti mengingkari hakikat medium yang dieksplorasinya sendiri. Sama seperti penggrafis yang membuat hanya selembar cetakan karya cukilnya, misalnya, sehingga karyanya menjadi tunggal tak ubahnya karya lukis. Padahal hakikat medium grafis justru adalah kemampuannya untuk direproduksi secara massal. Demikian juga video, yang kelahirannya memang dimaksudkan untuk menjadi medium yang sangat massal bahkan melebihi film/sinema. Mengurungnya kembali dalam batas-batas elitisme museum atau galeri adalah suatu anakronisme. Mereka yang mengolah medium ini dan meyakininya sebagai estetika zaman kita harus menyimpan tekad agar karyanya dilihat oleh sebanyak mungkin orang. Tekad yang sama inilah yang diusung, misalnya, oleh Godard dkk saat mereka menggencarkan Gelombang Baru dalam sinema Perancis. Sama sekali tak ada niatan mereka berkarya hanya untuk segelintir orang yang “mengerti”. Hasrat mereka adalah menjangkau massa sebanyak-banyaknya seperti dibilang André Bazin: Ditakdirkan untuk menarik pemirsa yang sangat besar adalah beban berat sekaligus juga peluang unik bagi sinema. Bilamana keluaran bentuk-bentuk seni tradisional telah bergeser, bahkan sejak Renaisans, demi keuntungan sekelompok kecil elite terhormat, sinema –sudah menjadi hakikatnya— ditakdirkan untuk bermanfaat bagi massa di seluruh dunia. Setiap upaya untuk menciptakan suatu bentuk estetik dari perspektif pemirsa yang segelintir, sejak dari mulanya, tak tepat secara historis dan dipastikan gagal.10 7. Jumlah pengguna internet di Indonesia, menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang disampaikan pada acara Internet Outlook 2013 (Jakarta, 12 Desember 2012) adalah 63 juta orang (24,23 persen dari total penduduk) pada 2012, yang diprediksi naik menjadi 82 juta (30an persen dari total penduduk) pada 2013. Dari jumlah tersebut tidak ada perincian tentang tingkat keaktifan dan intensitas pemakaiannya. Survei yang saya lakukan pada 2011 menunjukkan bahwa televisi masih menjadi sumber informasi utama dibanding internet, termasuk dalam distribusi informasi kasus-kasus video amatir yang persebarannya justru bermula dari internet. Saya menyimpulkan bahwa untuk Indonesia, jangkauan televisi masih jauh lebih luas dibanding internet. Lihat Ronny Agustinus, “Beberapa Pertanyaan tentang Potensi Kritis dan Demokratis Video Amatir dalam Jaringan,” makalah pada konferensi Video Vortex #7 yang bertajuk “Video in Indonesia: Histories, Aesthetics, Networks,” Yogyakarta, 21 Juli 2011. 8. Ruangrupa telah mengunggah beberapa karya dari OK. Video ke YouTube. 9. Reid Singer, “50 Great Works of Video Art That You Can Watch Online,” flavorwire.com, 24 Juni 2013 (http://flavorwire.com/399191/50-great-works-of-video-art-that-youcan-watch-online/view-all) 10. André Bazin, “Défense de l’avant-garde,” L’Ecran français, 21 Desember 1948.

114


It seems that comparison is not fair because as we know: “sex always sells”, taboos are more attractive to people. Nevertheless, the lack of video art that can be streamed online is quite surprising.8 Not long ago, flavorwire.com made a compilation article of “50 Great Works of Art Videos That You Can Watch Online”9 highlighting the same problem. Reid Singer, the author of the article, draws attention to several causes for this problem. First, the video artists are worried that their works are confused with films, so they prefer to showcase their works in a gallery space. Secondly, the video artists are reluctant to let random people watch their art, so they sell their works in a DVD format to the collectors or to the museums, treating them like paintings or sculptures. I find the first argument more reasonable, especially if we are talking about artworks that require a specific place, a specific installation, and for multichannel works. However, there is no reason not to show singlechannel video art online. In my opinion, the second argument is far-fetched. Perhaps, some artists want to stick to their principles, but that only means that they are denying the nature of the medium that they are exploring. The same happens with graphic artists who make only one print for their woodcut artworks in order to make their work unique, such as paintings, because essentially, graphic as a medium, carries the ability to be reproduced. Likewise, video is also destined to be a mass-medium, which can even exceed the production of movies/cinema. To limit video to the museum or gallery contexts could be seen as anachronism. The artist that uses this medium and thinks about it as an aesthetic value of our time, should be committed to show his/her works to as many people as possible. Jean Luc Godard and his friends had the same commitment, and it was clear when they intensified the new wave in French cinema. Their intention was not only that few people understood their films, their aim was to reach the masses, like Andre Bazin said: Destined to attract a very large audience is a heavy burden as well as a unique opportunity for cinema. When the output of traditional art forms have shifted, even since the Renaissance, for the benefit of a small group of elite gentlemen, cinema—is destined—to be essentially beneficial to the masses around the world. Any attempt to create an aesthetic form of a handful of viewers’ perspective, from the beginning, is not exact from historical perspective and certainly failed.10 Expanding the viewing channel for video art, reaching the masses as much as possible, as well as educating them (“video art literacy”11 for Christos Barboutis), could be OK. Video Festival’s task for the future.

*) Ronny Agustinus is an editor, writer, and translator. Running the Marjin Kiri publisher and steeped in Latin America literature.

8. ruangrupa uploaded some video artworks from OK. Video in Youtube. 9. Reid Singer, “50 Great Works of Art Videos That You Can Watch Online,” flavorwire.com, June 24, 2013 (http://flavorwire.com/399191/50-great-works-of-video-art-thatyou -can-watch-online/view-all) 10. André Bazin, “Défense de l’avant-garde,” L’Ecran français, December 21, 1948. 11. Christos Barboutis, “The Popularization of Video Art: A Tale of Power, Technology and Media Culture,” Neme, July 2011.

115


Memperluas ruang-ruang siar karya video, menjangkau massa sebanyak-banyaknya sambil mengedukasinya –yang disebut oleh Christos Barboutis sebagai “video art literacy”11—mungkin inilah pe-er untuk OK. Video Festival ke depan.

*) Ronny Agustinus adalah editor, penulis, dan penerjemah. Ia juga merupakan salah satu pendiri ruangrupa. Kini mengelola Penerbit Marjin Kiri dan mendalami sastra Amerika Latin.

11. Christos Barboutis, “The Popularization of Video Art: A Tale of Power, Technology and Media Culture,” NeMe, Juli 2011.

116


117


The Instrument Builders Project

118


The ‘Instrument Builders Project: New Noises’ adalah kolaborasi antara seniman bunyi/pembuat instrumen asal Australia dan Indonesia untuk membuat instrumen musik eksperimental, patung bunyi, dan piranti pertunjukan baru. Proyek ini berfokus pada penggabungan keterampilan dan keahlian tradisional dengan pendekatan yang bersifat avant-garde dan kontemporer, demi menciptakan objek musikal inovatif dan orisinal, yang bukan hanya berfungsi sebagai instrumen penghasil bunyi tapi juga sebagai karya seni khas Asia Tenggara / Australia. Kegiatan utama dalam proyek ini adalah para seniman Indonesia berkolaborasi dengan seniman Australia dalam serangkaian proyek satu lawan satu maupun berkelompok, untuk dipamerkan lebih dulu di Australia dan lalu dilanjutkan di Indonesia. Empat seniman inti asal Australia adalah Rod Cooper (Melbourne), Dylan Martorell (Melbourne), Pia Van Gelder (Sydney) dan Michael Candy (Brisbane). Seniman inti asal Indonesia yang sudah dipastikan keterlibatannya adalah Wukir Suryadi, pakar pembuat instrumen berbahan bambu, pembuat gamelan dan etnomusikolog Asep Nata, perupa Indonesia Ardi Gunawan dan Andreas Siagian (Artist/Engineer) Untuk OK. Video, The Instrument Builders Project akan mempresentasikan 3 dari 8 buah instrumen yang kami ciptakan selama tiga minggu residensi di Yogya pada Juni 2013. Tiga instrumen ini adalah ‘Acar Mahoni’ oleh Wukir Suryadi, ‘String Instrument based on Wukir’s Drawing’s’ oleh Ardi Gunawan dan ‘Glass Bell’ oleh Andreas Siagian dan Asep Nata yang akan dipertunjukkan oleh Wukir Suryadi, Andreas Siagian dan kurator proyek Kristi Monfries.

The ‘Instrument Builders Project: New Noises’ is collaboration between Australian and Indonesian sound artist/instrument builders to develop new experimental musical instruments, sound sculptures and performance tools. The project focuses on blending traditional skill and craftsmanship with contemporary avant-garde approaches, to create innovative and original musical objects that act not only as sound making instruments but also as art works unique to the SE Asia/Australia region. The key activity of the project is for visiting Australian artists to spend time collaborating with Indonesian artists in a series of one-on-one and group projects, to be showcased firstly in Indonesia and subsequently in Australia. The four key Australian artists are Rod Cooper (Melbourne), Dylan Martorell (Melbourne), Pia Van Gelder (Sydney) and Michael Candy (Brisbane). The key Indonesian artists confirmed are Wukir Suryadi master bamboo instrument builder, ethno-musicologist/gamelan maker Asep Nata, Indonesian visual artist Ardi Gunawan and Andreas Siagian (Artist/Engineer) For OK. VIDEO, The Instrument Builders Project will present 3 of the 8 instruments that were created during the three week residency in Yogya during June 2013. These three instruments the ‘Acar Mahoni’ by Wukir Suryadi, ‘String Instrument based on Wukirs’ Drawings’ by Ardi Gunawan and ‘Glass Bell’ by Andreas Sigian and Asep Nata will be performed by Wukir Suryadi, Andreas Siagian and project curator Kristi Monfries.

Discussion

Performance

Tuesday, 10 September 15.00 - 16.00 Galeri Nasional Indonesia

Tuesday, 10 September 2013 17.00 - 18.00 Galeri Nasional Indonesia

119


JATIWANGI ART FACTORY (JAF) vs KINETIK in collaboration with WAFT

Sesi ini akan mengundang dua kelompok yang selalu menggunakan teknologi media video, gambar bergerak, dan bunyi, sebagai alat ekspresi seni-nya: Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi) dan Kinetik-WAFT (Surabaya) untuk berpameran bersama di RURU Gallery. Dua kelompok ini berasal dari dua wilayah Indonesia yang memiliki kultur yang sangat berbeda sehingga mendorong cara-cara kreatif dalam mengeksplorasi teknologi media sebagai eksperimentasi artistik yang sesuai dengan karakter kotanya dan juga masyarakatnya. Jatiwangi Art Factory (JAF) yang berdiri sejak tahun 2005 di Jatiwangi, Jawa Barat, selalu melibatkan warga setempat dalam setiap perhelatan ataupun proyek seni-nya. Melalui sesi ini, JAF akan mempresentasikan praktik aktivisme media yang telah mereka lakukan selama ini di salah satu desa di daerah mereka yang pada akhirnya memiliki pengaruh hingga ke wilayah perangkat desa melalui Muspika. Muslihat ini juga bisa digunakan sebagai cara untuk membocorkan batasan antara muspika dengan masyarakat agar masyarakat bisa betul-betul terlibat secara aktif dalam memikirkan desanya karena adanya upaya pembagian kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat. Kinetik yang dibentuk pada tahun 2010 oleh beberapa mahasiswa ilmu komunikasi di Surabaya, beraktifitas di wilayah jurnalisme serta penggunaan medium audio visual sebagai wilayah artistik mereka, memiliki kedekatan besar di wilayah anak muda dan budaya urban kota. Dalam sesi ini, Kinetik berkolaborasi dengan WAFT (organisasi new-media di Surabaya), akan mempresentasikan hasil amatan mereka mengenai pengalaman orang-orang terdekat mereka dalam melakukan siasat teknologi dalam kehidupan seharihari. Pengalaman tersebut berkaitan dengan bagaimana narasumber pernah mencoba untuk ‘mengakali’ teknologi yang berhubungan dengan kebutuhan mereka masing-masing. Konteks mengakali teknologi disini adalah, narasumber berusaha untuk memodifikasi, bereksperimen, serta mensiasati peralatan teknologi yang mereka punya dengan pengetahuan sederhana mereka tentang teknologi (low-tech).

120


This session will invite two groups who are constantly using video media technology, motion pictures, and sound, as a means of their artistic expression: Jatiwangi Art Factory (Jatiwangi) and Kinetic-WAFT (Surabaya) are to exhibit together in RURU Gallery. The two groups come from two areas of Indonesia which have a very different culture that encourages creative ways exploring technology as a medium of artistic experimentation in accordance with the character of its city and its people. Jatiwangi Art Factory (JAF) which was founded in 2005 in Jatiwangi, West Java, always involves the local people in any of their art event or project. Through this session, JAF will present media activism practice they have done so far in one of the villages in their area which in turn have an effect up to the region village officials through Muspika. This deception can be use as well as a way to let the restrictions between the Muspika and the community so that the community could really actively involved in thinking about their village, because of the power-sharing effort from the Government to the community. Kinetic formed in 2010 by some students of Communication Studies in Surabaya who work in the journalism field and use the audio-visual media as their artistic field, has great closeness to the youth and the urban cities culture. In this session, Kinetic, collaborating with WAFT (new-media organization in Surabaya), will present their observation results about the experience of the people closest to them in doing the technology trick in everyday life. The experience is related with the subject who ever tried to ‘outsmarting’ the technology which have a relation with their personal need. The context of outsmarting technology in this case, can be describe with the subjects who try to modify, experiment, and also anticipate the technological tools that they have with their simple knowledge about technology (low-tech).

Opening Thursday, 12 September 2013 19.00 RURU Gallery

Exhibition 13 - 25 September 2013 10.00 – 20:00 RURU Gallery

Discussion Friday, 20 September 2013 17.00 RURU Gallery

121


OK, SEKARANG MARI MELEBUR Hafiz Rancajale*

“…Tiba-tiba saja Galeri Nasional Jakarta menjadi riuh rendah. Suara ledakan, orang-orang bicara, serta kilatan cahaya yang terpantul di dinding membuat silau. Seluruh dinding seperti bergerak, hidup, dan bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. […] sesungguhnya apa yang ditampilkan dalam Jakarta International Video Art Festival 2003 adalah sebuah otokritik terhadap penyelewengan makna pemanfaatan media video termasuk televisi. Televisi kita sekarang dianggap telah memprovokasi sikapsikap konsumtif, kampanye politik, serta berbagai bualan yang membosankan.”1 Setelah 10 tahun berlalu, suara riuh rendah dari kehadiran karya gambar bergerak itu terus bergaung hingga sekarang. Bahkan bisa dikatakan, setelah kemunculan OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003, semakin banyak gelaran acara seni rupa kontemporer yang menghadirkan seni video sebagai bagian dalam karya-karya seni rupa yang dipamerkan. Seni video telah menjadi suatu hal yang tak terpisahkan dari gelarangelaran seni kontemporer di Indonesia. Dalam sejarah seni rupa Indonesia, penggunaan medium video dalam karya seni rupa telah dimulai pada awal 1990-an, ditandai oleh karya Heri Dono, “Hoping to Hear from You Soon” (1992) yang memakai video sebagai bagian dalam seni rupa instalasinya. Kemudian “12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai” (1993) milik Krisna Murti juga menggunakan video sebagai bagian dari karya instalasinya. Dalam karya tersebut, Krisna Murti membenamkan beberapa monitor yang memuat video rekaman dokumentasi tentang penari tradisi asal Bali, Agung Rai. Selain kedua nama seniman tersebut, pada waktu itu cukup sulit menemukan seniman yang menggunakan medium video; baik sebagai bagian dari instalasi ataupun yang utuh berupa karya kanal tunggal video. Menurut Jim Supangkat, munculnya fenomena penggunaan teknologi video dalam karya-karya seni rupa pada awal 1990-an disebabkan karena medium ini memberikan kemungkinan-kemungkinan eksplorasi seni yang lain. Seni rupa video —istilah yang digunakan oleh Jim— akhirnya menjadi suatu simulakrum yang memperlihatkan cara-cara yang berbeda dalam mengembangkan penggunaan alat-alat video untuk tujuantujuan kesenian.2 Video telah menghancurkan, hampir seluruh batasan atas apa yang selama ini dianggap realitas. Perilaku penghancuran batas-batas ini lalu menjadi konsep dasar dalam representasi melalui seni video.3 Dalam pandangan Hendro Wiyanto, selama sepuluh tahun terakhir ini penggunaan medium video memang cenderung menguat di kalangan sejumlah seniman kontemporer di Indonesia. Namun, apakah seni rupa video di Indonesia telah muncul dan berkembang semata untuk mengikuti tren berselancar yang dihela oleh gelombang besar yang menghempas dari seberang, ataukah berhasil memperoleh pemaknaan dari landasan sosial historisnya sendiri? […]. Yang tak kurang menarik adalah, dalam satu dekade terakhir ini takkala seni rupa video tampak kian menjadi medium andalan yang bergengsi mengembangkan layar kontemporer, nyaris tak dapat dilacak jejak-jejak ulasan yang berarti mengenai praktik seni rupa ini di Indonesia.4 Ada pendapat berbeda yang disampaikan oleh Ronny Agustinus: 1. Kompas, “Dinding Kita Penuh Gambar Video”, Sabtu 12 Juli, 2003. 2. Jim Supangkat, “Senirupa Video Krisna Murti”, Video Publik, Penerbit Kanisius, Yogya. 1999. Hlm. 02 3. Ibid,. Hlm. 6 4. Hendro Wiyanto, ‘Menyusuri Buih-Buih Kecil atau Menunggang Gelombang: Para Perupa Indonesia Berselancar dalam Medium Video’, Katalog Paska Pameran OK.Video Jakarta International Video Art Festival 2003, (ruangrupa, Jakarta, 2003), hlm. 97.

122


OK, LET'S FUSE NOW Hafiz Rancajale*

"...Suddenly Indonesia National Gallery, Jakarta, becomes clamorous. The sounds of explosions, people talk, and flashes of light reflected off the walls create glare. The entire wall looks like moving, living, and conversing with himself. [...] actually, what is displayed in Jakarta International Video Art Festival 2013 was for auto-critique for misappropriation of meaning of the usage of video including television. Our television nowadays is deemed to have been provoked consumer attitudes, political campaigns, as well as boring crap.”1 After 10 years have passed, the clamorous of those moving images continues to over-shade until now. This could even be said that after the event of OK Video Jakarta International Video Art Festival 2003, there were more contemporary art events which show video art as part of displayed artworks. Video art has become an inseparable part of contemporary art events in Indonesia. In the history of Indonesia visual art, the used of video as medium have been started in the beginning of 1990s, marked by Heri Dono's "Hoping to Hear from You Soon" (1992) that used a video as a part of the installation artwork. The next was "12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai" (1993) by Krisna Murti who used video as a part of his installation. In that artwork, Krisna Murti suppress some monitors which show documentation of Balinese dancer, Agung Rai. Besides those two names, it was hard to find artists who used video as their medium at that time - either as part of a complete installation or a single channel video works. According to Jim Supangkat, the emergence of phenomena of use video technology for artworks in the beginning of 1990s was caused by the effect of this medium that can give many possibilities on art exploration. Seni rupa video (ind.) - the term used by Jim - finally became a simulacrum which shown different methods on developing the use of video equipment for the purposes of art.2 Video has destroyed almost the entire boundaries of what considered a reality. The behavior of destroying this boundaries then became fundamental concept in the representing through video art.3 In Hendro Wiyanto's opinion, Indonesian contemporary artists who use of video as medium tend to be rising within these last three years. However, questions are rise then: whether the emergence and evolve of video art in Indonesia only following the trends to surf in the big waves whipped up and blew from the other side, or it successfully acquired social meaning of its own historical basis? [...]. Other interesting thing is, in the last decade when video art seemed becoming a mainstay yet prestigious medium to develop contemporary art discourse, it is hard to track the traces of meaningful review of its practice in Indonesia.4 There is different view from Ronny Agustinus: "...It is strange indeed if there are parties who stunned seeing this sophisticated development, especially if the come from art scene. Some of them then give comments which are not only sound very trite, but also - sorry to say - stupid: "this is not art" or even: "what the hell is video art? Glodok people just better at it." I, myself, do not fully understand (or interested) the artworks in this Festival . But the fact that ruangrupa flooded by video artworks shows how this phenomenon really exist. The questions should be: why are we surprised seeing the linkage between art and technology as if this 1. Kompas, “Dinding Kita Penuh Gambar Video,” Saturday, July 12, 2013 2. Jim Supangkat, “Senirupa Video Krisna Murti”, Video Publik, Kanisius Publisher, Yogya. 1999/ page 02 3. Ibid., page 6 4. Hendro Wiyanto, ‘Menyusuri Buih-Buih Kecil atau Menunggang Gelombang: Para Perupa Indonesia Berselancar dalam Medium Video’, OK.Video Jakarta International Video Art Festival 2003 After Event Catalog, (Ruangrupa, Jakarta, 2003), page 97.

123


“…Aneh sebenarnya, bila masih ada pihak yang terperangah melihat perkembangan mutakhir macam ini, terutama bila mereka berasal dari kalangan seni rupa sendiri. Beberapa di antaranya lantas mengeluarkan komentar yang bukan cuma basi, tapi—maaf—bodoh: ‘ini bukan seni’ atau bahkan: ‘Apaan video art? Orang-orang Glodok saja lebih jago.’ Saya sendiri tidak sepenuhnya bisa memahami (atau menyukai) karya-karya video seperti yang terangkum dalam Festival (OK. Video). Tapi membludaknya karya yang masuk ke ruangrupa menunjukkan bahwa fenomena ini jelas ada, tidak bisa kita pungkiri. Yang mestinya jadi pertanyaan justru: mengapa kita terkejut melihat pertautan antara seni dan teknologi, seakan-akan hal itu baru berlangsung setahun dua tahun saja? Bukankah keduanya sepanjang berabad-abad sejarahnya di Eropa, memang berkembang bersama secara dialektis?”5 Dalam seni media, penggunaan medium video secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga pengertian, yaitu: Pertama, melakukan percobaan-percobaan terhadap medium dan teknologi yang secara radikal menyasar televisi dan melakukan perlawan terhadap alienasi yang terjadi akibat institusionalisasi lembaga penyiaran; Kedua, melihat video sebagai seni yang berusaha masuk ke ruang galeri dan museum; Ketiga adalah bermain di wilayah politik media dengan eksperimentasi yang cenderung konseptual dan berusaha untuk mencari altenatif bahasa dan konten terhadap media massa (televisi) yang membedakan mereka secara politis (Spielmann, 2008). Menururut Agung Hujatnika, berbeda dengan konteks perkembangan di Barat, dalam kekaryaan seniman media Indonesia generasi awal yang menggunakan medium video, prinsip kolaborasi antara seni dan teknologi tidak terlalu dieksplorasi dengan semangat penemuan ilmiah.6 Gambaran Singkat OK.Video dalam 10 Tahun. OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 merupakan penanda penting bagi ruangrupa dalam memandang perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Kehadiran festival dua tahunan berskala internasional ini merupakan salah satu cara ruangrupa untuk merasuk ke dalam medan seni rupa untuk mewacanakan penggunaan teknologi media dalam karya seni rupa. Festival video ini merupakan usaha untuk membaca perkembangan fenomena ini, karena toh teknologi media sudah menjadi bagian kehidupan seharihari masyarakat Indonesia terutama di perkotaan. Saya masih ingat saat gagasan memulai pameran besar seni video ini muncul, Pertanyaan pertama yang ada di kepala kami waktu itu adalah siapa yang akan menjadi kurator? Siapa yang akan menulis? Tentu tak mudah untuk mengundang seorang kurator atau penulis yang belum memiliki pengalaman melihat karyakarya gambar bergerak, lalu memintanya menjadi kurator atau menulis tentang karya seni video. Lewat proses diskusi, kami memutuskan untuk menjadi kurator festival pertama seni video berskala internasional ini secara bersama-sama. Kurator gelaran pertama OK. Video saat itu adalah: Ade Darmawan, Farah Wardani (yang saat itu masih aktif di ruangrupa), dan saya sendiri. Proses kuratorial sendiri dilakukan dengan metode sharing pengalaman audio visual dan karya seni gambar bergerak dari masing-masing kurator. Lalu, kami juga mengundang Agung Hujatnika, salah satu kurator muda berbakat dari Bandung —juga pengajar di Fakultas Seni Rupa Intitut Teknologi Bandung— untuk masuk dalam tim kurator sebagai unsur luar ruangrupa dan menjadi penyeimbang dalam melihat lebih kritis fenomena seni video dengan pendekatan teoritis-akademis. Festival OK. Video sendiri merupakan kelanjutan proyek seni yang sebelumnya diadakan ruangrupa pada tahun 2001, yaitu: Silent Forces—proyek seni video dalam membaca Jakarta. Proyek ini mendedah fenomena budaya visual urban dengan membingkai persoalan-persoalan sosial-budaya kota Jakarta lewat penggunaan medium video. Dua orang seniman muda dari Indonesia dan dua seniman video dari Argentina dan Belgia diundang untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Lalu, untuk keperluan data yang dibutuhkan dalam proyek seni ini, ruangrupa melakukan penelitian tentang fenomena seni video di Indonesia. Saat itu, saya bersama Ugeng T. Moetidjo ditunjuk sebagai periset dan melakukan penelusuran karya-karya seni video yang pernah ada di Indonesia. Referensi buku yang kami punya tentang seni video di Indonesia hanya Video Publik, Krisna Murti terbitan Kanisius Yogyakarta tahun 1999. Saat itu, ruangrupa menganggap pentingnya memasukkan unsur teknologi media dalam proyek-proyek seninya. Hal ini terjadi dengan melihat fenomena teknologi video (media) yang sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Medium video telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya visual masyarakat urban yang menjadi perhatian utama ruangrupa. Proyek 5. Ronny Agustinus, “Video: Not All Correct…’, Katalog Paska Pameran OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 (Ruangrupa, Jakarta, 2003). hlm. 109. 6. Agung Hujatnika, “Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan”, Buku Apresiasi Seni Media Baru (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Seni dan Film, Depbudpar, 2006), hlm. 22.

124


happened two years ago? Aren't they throughout centuries in European history developing together dialectically?"5 In the media art, using video as medium can be categoried into three parts, such as: the first, doing experimentations into medium and technology radically and specially addressed to televion and doing a resistance toward alienation due to the institutionalization of our broadcasting system; the second one, seeing video as art that trying to be part of gallery and museum; third, playing around in the political area of media through experimentation which is conceptual and trying to search other alternative language and content toward mass media (television) (Spielman, 2008). According to Agung Hujatnika, the development and art process for artists in the West and Indonesia is different. The first generation of video artists were not considered the principal of collaboration between art and technology with spirit of scientific discovery. 6 OK. Video Overview in 10 Years. OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 is an important signifier for ruangrupa to see the development of contemporary art in Indonesia. The presence of this international-scale biennal is one of ruangrupa’s way to obsess in the art field to contribute a discourse on technology and artworks. This video festival is an effort to follow the flowering of this phenomenon because, as we know, technology has been being the part of Indonesian people everyday life, especially in the city. I still remember the idea when this big video festival appeared - the first question in our mind was who will be the curators? Who wants to write? We knew that it is hard to ask a curator or a writer who never had an experience to see moving image artworks then ask them to curate or write about video art. Through discussion, we decided to be the first curator of this festival. The curators of the first OK. Video Festival were: Ade Darmawan, Farah Wardani (still active in ruangrupa for that time), and me. The curatorial process itself was done by sharing method of each curator’s visual experiment on audio visual and moving image artworks. We invited Agung Hujatnika then, one of young talented curator from Bandung to join the curator team as the one outside ruangrupa and the balancing, the one who will see this phenomenon more critically through theoretic-academics approach. OK. Video Festival itself was a continuation of ruangrupa previous art project in 2001, namely: Silent Forces - a video art project to look at Jakarta. This project uncovered an urban visual culture phenomenon with framing socio-cultural aspect of Jakarta through the use of video as medium. Two young artists from Indonesia and two video artists from Argentina and Belgium were invited to participate this event. For data collection that will be used in this event, ruangrupa had done research about video art phenomenon in Indonesia. At that time, me with Ugeng T. Moetidjo were designated to be researcher and we investigated video artworks that had been existed in Indonesia. As reference, we had a book about video art Video Publik (Public Video) written by Krisna Murti and published by Kanisius Yogyakarta in 1999. At that time, ruangrupa considered the importance to put technology elements in its art projects. This happened because we saw that technology video (media) had been pervasive in people’s lives. Video medium had been being a part that cannot be separated from visual culture of urban communities which became ruangrupa main interest. Video art project Silent Forces and the result of the research then were summarized in the second edition of Karbon journal with Video Art as its theme. OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003 became a valuable lesson for ruangrupa, especially on how to put video art in the visual art field in Indonesia. In the beginning of 2000, video art had not been considered important phenomenon in our art field. It was only looked as ‘small wave’ of young artists movement who carried away by use technology in the word of contemporary art field. Ruangrupa decided to omit ‘art’ in OK. Video as one of the way to spread the discourse on using video for the artworks. In our view, at that time, art terminology often build a distance between audience and the artwork. Public in Indonesia still considered art as something special, odd, and hard to understand. Whereas, the language of this audio visual medium had appeared for along time. There was a significant increase on the displayed artworks and a number of participants in 2005, in the OK. Video Sub/Version—2nd Jakarta International Video Festival 2005. Comparing with the event in 2003 when there were 150 entries of video arts, in 2005 there were 200 entries. The big leap happened when there were 350 entries for OK. Video Militia—3rd Jakarta International Video Festival 2007. In this third event, OK Video 5. Ronny Agustinus, ‘Video: Not All Correct…’, OK.Video Jakarta International Video Art Festival 2003 After Event Catalog(Ruangrupa, Jakarta, 2003). page. 109. 6. Agung Hujatnika, “Tentang Seni Media Baru: Catatan Perkembangan”, Buku Apresiasi Seni Media Baru (Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Seni dan Film, Depbudpar, 2006), page 22.

125


seni video Silent Forces dan hasil penelitian tentang seni video di Indonesia kemudian terangkum dalam jurnal Karbon edisi kedua dengan tema Video Art. OK. Video Jakarta International Video Art Festival 2003, telah memberi pelajaran berharga bagi ruangrupa, terutama bagaimana meletakan seni video dalam medan seni rupa Indonesia. Pada awal tahun 2000-an, seni video belum dianggap sebagai sebuah fenomena penting dalam medan seni rupa kita. Ia hanya dilihat sebagai ‘riak kecil’ gerakan seniman muda yang terpesona oleh penggunaan teknologi dalam medan seni rupa kontemporer dunia. Ruangrupa memutuskan untuk menghilangkan kata ‘art’ dalam OK. Video sebagai salah satu cara untuk memperluas bacaan terhadap penggunaan medium video dalam karya seni. Dalam pandangan kami waktu itu, terminologi art atau seni sering membangun jarak antara audiens dan karyanya. Khalayak di Indonesia masih menganggap seni sebagai sesuatu hal yang bersifat spesial, asing dan sulit untuk dimengerti. Padahal, kehadiran bahasa medium audio visual ini telah lama hadir di tengah-tengah masyarakat. Peningkatan yang cukup signifikan apabila dilihat dari jumlah karya yang ditampilkan dan partisipasi seniman terjadi pada tahun 2005, dalam gelaran OK. Video Sub/Version—2nd Jakarta International Video Festival 2005. Dibandingkan dengan 2003, di mana jumlah karya yang masuk 150 video, pada tahun 2005 karya yang masuk berjumlah 200 karya video. Lompatan besar terjadi pada saat OK. Video Militia—3rd Jakarta International Video Festival 2007, di mana jumlah karya yang masuk ke panitia berjumlah 350 karya video. Pada gelaran ketiga ini, OK.Video melakukan program workshop ke 12 daerah di Indonesia. Program workshop tersebut menghasilkan 120 karya seni video yang kemudian dipresentasikan di Galeri Nasional Indonesia. Pada pameran bertajuk ‘MILITIA’ itu juga 239 karya seni video ditampilkan di ruang-ruang publik seperti; stasiun kereta api, kafe, toko buku, perkantoran dan halte busway. Pada OK. Video Comedy—4th Jakarta Intenational Video Festival 2009, jumlah karya yang masuk mengalami penurunan yaitu berjumlah 242 karya. Namun, yang menarik dari festival ini adalah karya seniman Indonesia yang dipilih mengalami peningkatan secara mutu dalam hal ini ekperimentasi kekaryaan. OK. Video FLESH—5th Jakarta Intenational Video Festival 2011, merupakan magnet terbesar sepanjang diadakannya OK. Video, dengan jumlah karya yang masuk ke ruangrupa 500 karya seni video. Fesival kelima ini juga menyedot lebih dari 6500 pengunjung. Dari gambaran singkat tentang perkembangan OK. Video selama 10 tahun terakhir, secara pribadi saya tentu merasa bangga pada apa yang telah dicapai oleh festival ini. Beberapa indikator yang dapat dilihat adalah: 1) munculnya seniman-seniman yang secara total menjadikan medium video sebagai pilihan bahasanya, 2) munculnya kelopok-kelompok seniman dan komunitas berbasis teknologi media yang memproduksi karyakarya video, meskipun karya video tersebut tidak diniatkan sebagai karya seni, 3) hadirnya berbagai gelaran serupa yang menjadikan penggunaan teknologi media sebagai fokusnya, dan 4) ada banyak seniman-seniman muda yang karyanya mendapat pengakuan secara nasional dan internasional, baik dalam konteks wacana maupun pasar seni rupa. Namun, kebanggaan yang saya rasakan memunculkan berbagai pertanyaan, salah satunya sejauh mana OK.Video mampu memberikan kontribusi pada perkembangan estetika seni, baik dalam konteks seni video itu sendiri maupun seni rupa kontemporer Indonesia dan international secara umum? Karena dalam sejarah, seni secara ideologis selalu memisahkan antara kesenian dan media. Kita dapat melihat bagaimana tidak diakuinya filem sebagai salah satu bentuk seni. Pentingnya kehadiran seni video adalah menghapus pemisahan ideoligis tersebut. Seni video secara retrospektif dianggap berhasil berkontribusi untuk memperluas genre-genre seni ke media.7 Dalam posisi yang cukup politis inilah OK. Video Festival dapat mengambil peran selanjutnya. Saya mengharapkan ia dapat meleburkan berbagai kemungkinan dalam penggunaan teknologi media dalam seni. Karena bagi saya, seni saat ini bukan hanya melulu persoalan medium, namun bagaimana menyuarakan pesoalan sosial, politik dan kebudayaan dengan keniscayaan ruang informasi yang sudah membanjiri kita. *) Hafiz lahir pada 1971. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa,Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah salah satu pendiri ruangrupa (2000) dan Forum Lenteng (2003). Disamping menjadi periset dan curator untuk sejumlah pameran seni rupa, Ia juga aktif berkarya dalam medium video. Sekarang, ia menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta.

7. Yvonne Spielmann, “Video Cultures”, Video: Reflexive Medium”, (The MIT Press, London, England, 2008), h. 113.

126


had done workshop program in 12 areas in Indonesia. The result of this workshop was 120 artworks that later were presented in Indonesia National Gallery. At the exhibition entitled ‘MILITIA’, there were 239 artworks displayed in several public spaces, such as: train station, cafe, bookshop, workplace and bus stops. At the OK. Video Comedy—4th Jakarta Intenational Video Festival 2009, there was an increasing number of entries, only 242 artworks. However, there was a quality improvement on the experimentation of the artworks from selected video artist, which became the interesting point of this festival. Then, OK. Video FLESH—5th Jakarta Intenational Video Festival 2009 was a magnificent magnet for OK. Video - there were 500 entries. This fifth festival was able to bring more than 6500 visitors. From the brief overview of OK. Video development during this last 10 years, personally, I would be proud of what has been achieved by this festival. Some indicators that can be seen are: 1) the emerging of the artists who used video as their language, 2) the emerging of group of artists or communities which used media technology to produce video art, although at first they did not mean it to make it as artworks, 3) the presence of similar events which focus on use media technology, and 4) there are so many young artists who have been acknowledged in national and international for their artworks, both in context of discourse or art market. However, this pride leads me to several questions, one of them is how far OK. Video will be able to contribute to the progress of art aesthetic both in the video art context or in the contemporary art in Indonesia and international generally? As we can see from history, art, through ideological perspective, always separated art and media. As for example, we can see how cinema never be acknowledged as one of art forms. The important of video art, then, is to wipe out this ideological separation. Video art, is considered good contribution to expand the genres of art in media.7 In this political position, OK. Video Festival can make the next turn. I hope OK. Video can fuse all the possibilities in the using of media technology in art. Well, for me, art nowadays is not only about medium, but also about rose up the issue of social, political and cultural within inevitability information space that has flooded us. *) Hafiz b. 1971. He studied at Faculty of Fine Art, Jakarta Arts Institute. He is well known as one of the founders of ruangrupa (2000) and Forum Lenteng (2003), a community that focuses on research and development in video art. Apart from being researcher and curator for amount of exhibitions and projects, he also vigorously creates video art. Now he served as Chairman of the Fine Arts Committee of the Jakarta Art Council.

7. Yvonne Spielmann, ‘Video Cultures’, Video: Reflexive Medium, (The MIT Press, London, England, 2008), page 113

127


Divisi Pengembangan Seni Video ruangrupa

Merupakan salah satu divisi dari ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah, dan jurnal. Selain menyelenggarakan festival video dua tahunan OK. Video – Jakarta International Video Festival, divisi ini juga mengadakan lokakarya, produksi, pendataan, pendokumentasian, dan distribusi karya video Indonesia. Video Art Development Division ruangrupa It is one of the division of ruangrupa, a contemporary art organization founded in 2000 by a group of artists in Jakarta which encourages the progress of the idea of art in the urban context and the broad scope of culture through exhibitions, festivals, art laboratories, workshops, research, and the publication of books, magazines, and journals. In addition to organizing the biennial video festival OK. Video – Jakarta International Video Festival, the division also conducts workshops, production, collection, documentation, and distribution of video art in Indonesia. ruangrupa adalah sebuah artist initiative yang didirikan pada 2000 oleh sekelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, dan penerbitan jurnal. ruangrupa is an artist initiative established in 2000 by a group of the artist in Jakarta. It is a not-for-profit organization that strives to support the progress of art ideas within the urban context and the larger scope of the culture, by means of exhibitions, festival, art labs, workshops, research, and journal publication. ruangrupa Director Ade Darmawan Manager Ajeng Nurul Aini Finance Laurentius Daniel Art Lab Reza Afisina Support and Promote Indra Ameng, M. Sigit Budi S Video Art Development Mahardika Yudha, Deasy Elsara Research and Development Hafiz, Mirwan Andan, Samuel Bagas RURU Corps Julia Sarisetiati, Maya S. Karbonjournal.org Ardi Yunanto, Farid Rakun, Leonhard Bartolomeus, Robin Hartanto IT & Website oomleo General Affairs Zacky, Sam Suga Jalan Tebet TImur Dalam Raya No. 6 Jakarta Selatan 12820 INDONESIA +62 21 8304220 info@okvideofestival.org | okvideofestival.org info@ruangrupa.org | ruangrupa.org

128


Festival Director: Mahardika Yudha Administration: Lisna Atmadiardjo Finance: Laurentius Daniel

Artistic Curators: Ade Darmawan, Irma Chantily, Julia Sarisetiati, M. Sigit Budi Santoso, Rizki Lazuardi Assistant: Aditya Adinegoro Production: MG Pringgotono Research & Database: Aditya Adinegoro, Mohammad Fauzi Documentation: Keke Tumbuan, Rendy Herdiyan, Haritsah, Rian Fitrianto, Binyo, Aru

Management Director: Deasy Elsara Public Program Coordinator: Riksa Afiaty, Leonhard Bartolomeus Sponsorship & Partner Relation: Ajeng Nurul Aini, Rishma Riyasa Communication & Media Relation: Maya Production: Angga Cipta Distribution: Kampung Segart Volunteer & LO Coordinator: Syahrul Amami, Akbar, Bernard, Bonita, Dallu, Dinda, Effrin, Fitri, Gunawan,Hanif Januar, Maria, Nadia, Padang, Resty, Suci, Uni, Yantito Opening Coordinator: Amir Syaeffudin

Artwork Designer & TVC: Henry Foundation Website: Andang Kelana

Catalogue Editor: Leonhard Bartolomeus Translator: Umi Lestari, Sabina Thipani, Sita Magfira, Jonathan Irene Sartika Dewi Proofreader: Deasy Elsara Designer: Rio Farabi

129


Acknowledgements Partners Japan Foundation Headquarter (Yasuko Furuichi, Keiko Suzuki) Japan Foundation Jakarta (Ayumi Hashimoto, Diana Sahidi Nugroho, Nurul Komari Moefti), Hivos (Jan Jaap Kleinrensink, Aquino Hayunta), Arts Collaboratory/ Stichting Doen (Gertrude Flentge), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktur Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Galeri Nasional Indonesia (Tubagus “Andre� Sukmana, Zamrud Setya Negara, Tunggul Setiawan), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Watie Moerany S., Yusuf Hartanto), Kingdom of The Netherlands Embassy (Shaula Supit, Daphne Vernooij), LIMA (Theus Zwakhals), Videobrasil (Carolina Camara, Solange Farkas), IMPAKT Festival (Arjon Dunnewind, Jeroen Andriessen), iCan (Antariksa), The Instrument Builders Project (Kristi Monfries), NHK, MediaCorp (Jesslyn Wong, Peggy Tan Siew Sin, Sharon Loh, Shialey Tan), KBS, The Asian Pitch, Forum Lenteng (Andang Kelana, Otty Widasari, Ugeng T. Moetidjo), Kineforum (Amalia Sekarjati, Sugar Nadia Azier), Goethe Institut (Franz Xaver Augustin, Katrin Sohns, Lanny Tanulihardja), Jatiwangi Art Factory (Alghorie Intifada, Beben Nurberi), Kinetik (Juventius Sandy Setiawan), WAFT (Benny Wicaksono), Lisson Gallery (Kim Klehmet), Jankowski Studio (Christine Ruhfus, Matthias Schwelm), LUX Gallery (Gil Leung, Mike Sperlinger), Serrum (Arief Rachman, JJ Adibrata) FOYA FOYA foundation Sponsors MOSKAV (Ade Muir), Emax (Ugi Abdul Rakhmat), The Goods Dept (Christel Natalia, Akli Djumadie), That Hangover House (Dede), Flash Communication (Miftakul Arif), Oktagon (Nathassya, Rindu, Grace Wiradjaja) Stark Beer (Edwin Sumitra, Zahra Awaliya, Cristy) Media Partners MRA Radio - Trax FM, Hardrock FM (Dhini, Riza Dewi), Berita Media Satu Holdings - Jakarta Globe, Suara Pembaruan, Berita Satu.com (Budiman Mulyadi, Luthfan Danaswara, Reancy Triashari), Media Indonesia (Armansyah, Euis, Shanty Nurpatria), FREE Magazine (Ajeng, Amien, Sabtia Ningtyas), JAX Magazine (Andrey Pradana), iCreate Magazine (Fadly, Bunga Sirait), Provoke! Magazine (Andriansyah), Culture360 (Sali Sasaki, Valentina Ricardi), Art in Asia (Karen), Info Jakarta (Maha Zulkarnain), Cinema Poetica (Adrian), 130


Jurnal Footage, akumassa, Muvila (Gayatri Nadya, Angga), Majalah Cobra (Anggun Priambodo, Harlan Boer), Film Indonesia (Lintang Gitomartoyo, Sekar), Jakarta Beat (Pry S), Antara Foto (Hermanus Prihatna, Lavanda Wirianata) Aliefta Ana Bilbao Andreas Siagian Angganggok Ardi Yunanto Aryo Danusiri Asep Topan Budi Prakosa Clarissa Chikiamco Deden Hendan Durahman Fauzan Hafiz Rancajale Irfan Krisgatha Achmad Lazuar Lilia Nursita Manshur Zikri Marwan Maria Josephina Michael Sunggiardi Miki Salman Mirna Adzania Rachmadi Renal Rhinoza Kasturi Ronny Agustinus Roy Thaniago Saleh Husein Wahyu Yule Veronika Kusumaryati

131





NONTON (FILM-FILM) SELURUH DUNIA

Taman Ismail Marzuki (belakang Galeri Cipta 3) Jl Cikini Raya 73, Jakarta Pusat 10330, Iandonesia [T] 021-3162780 [E] kineforumdkj@yahoo.co.id [W] www.kineforum.org / www.dkj.or.id [TW] @kineforum [FB] www.facebook.com/kineforum









Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.