TERORISME DAN BOM BUNUH DIRI “An interview with Prof. Dr. Mustofa” Selasa, 20 Oktober 2009, Fisip UI “Terorisme Bom Bunuh di Indonesia Berwatak Anomik” Di Indonesia, orang-orang yang menjadi pelaku terorisme itu nampaknya lebih cenderung masuk ke tipe anomik bukan altruistik dan juga bukan egoistik. Karena kalau diteliti latar belakangnya, mereka adalah orang-orang yang punya masalah, seperti Dani yang bertengkar dengan orang tuanya itu. Jadi lebih dilatarbelakngi oleh problem hidup (anomik) dibandingkan kesadaran untuk mengorbankan diri. Dalam konteks ini, jihad digunakan sebagai alat untuk mencuci otak – ketika orang tersebut dalam keadaan goyah, konsep jihad dipakai sebagai pintu masuk untuk mencuci otak si calon pelaku. Demikianlah penggalan wawancara dengan Prof. Dr. Muhammad Mustofa, Kriminolog UI, kepada PSIKIndonesia yang diwakili oleh Fachrurozi dan Sunaryo ketika berkunjung ke kantornya Selasa, 20 Oktober 2009 silam. Berikut wawancaranya. Bagaimana menjelaskan fenomena bom bunuh diri dilihat dari perspektif sosiologi kriminal? Pertama-tama saya akan menjelaskan fenomena bunuh diri itu secara umum. Penelitian mendasar yang sering digunakan sebagai rujukan adalah penelitian Durkheim. Secara sosial dia meneliti faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap tindakan bunuh diri. Berdasarkan penelitian tersebut, ia menemukan tiga tipe utama bunuh diri. Tipe pertama adalah apa yang ia sebut sebagai bunuh diri “anomik”. Tipe ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang putus asa menghadapi masalah sehingga stress dan kemudian bunuh diri. Tipe anomik inilah yang paling sering dipikirkan orang. Tipe kedua adalah bunuh diri “egoistik”. Ini agak berbeda dari bunuh diri anomik. Ciri dari pelakunya adalah orang yang sangat mengedepankan harga diri – baginya kehormatan harga diri itu nomor satu. Biasanya pelaku buhuh diri tipe ini adalah seorang perfeksonis. Ketika melakukan tindakan bunuh diri, biasanya orang tersebut lebih didorong oleh perasaan malu, malu karena tidak dapat meraih sesuatu yang ia harapkan, atau malu karena kegagalan yang dialaminya. Tipe ketiga adalah bunuh diri sebagai pengorbanan diri demi kepentingan yang lebih luas. Contoh klasik yang mudah dicerna misalnya pasukan Kamikaze Jepang ketika perang dunia kedua, mereka melakukan tindakan bunuh diri demi kaisar. Bunuh diri yang dijadikan sebagai modus terorisme saya kira lebih bersifat yang ketiga ini. Tipe ketiga ini disebut dengan istilah “altruisme”, pengorbanan diri untuk kepentingan yang lebih besar. Nah, kalau di Indonesia belakangan ini banyak terorisme yang menggunakan cara-cara bunuh diri, mungkin orang-orang akan mengkaitkannya dengan tipe altruisme itu. Apalagi ada istilah yang disebut dengan konsep jihâd, ini juga pengorbanan diri. Inilah yang kemudian membuat orang terlalu mudah menghubungkan bahwa jihad telah menginspirasi terorisme bom bunuh diri. Celakanya lagi, kemudian orang langsung mengaitkan bahwa Islam kondusif bagi terorisme bom bunuh diri. Saya kira analisa semacam ini terlalu melompat, karena banyak orang yang keliru ketika menafsirkan jihad. Jihad di jalan Allah yang kalau mati masuk surga itu kan tidak berarti harus bunuh diri. Karena ada riwayat yang mengatakan, dalam suatu peperangan– saya lupa perang yang mana – ada sahabat yang berperang secara membabi buta agar nanti mati syahid. Tapi ternyata ia malah di panggil dan ditegur, “hei jangan begitu, perang itu jangan sampai terbunuh.” Jadi berjihad itu bukan sengaja mencari mati. Nah, itu penafsiran-penafsiran yang terlalu sederhana, maka kemudian yang menjadi masalah adalah pemahaman jihad di dunia Islam.
1
Memang sejak dominasi Barat kuat dan kemudian Islam menyurut, muncul kecenderungan memisahkan antara ilmu duniawi dan ilmu surgawi. Padahal kalau kita ingat sejarah ketika awal Islam berkembang, ilmu pengetahuan teknologi berkembang pesat, karena tidak ada hambatan ideologi. Semangat mencari ilmu dan mencari kebenaran duniawi – tapi yang sudah diartikan sebagai hukum Allah – berkembang pesat. Ketika ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat dan kemudian urusan dunia surut sehingga yang dipikirkan hanya persoalan-persoalan akhirat, Barat mengambil alih posisi. Demikianlah konteks globalnya, sehingga ketika dunia Islam di dominasi oleh Barat kemudian ada perasaan-perasaan kita harus jihâd fî sabîlillâh, tapi tanpa pernah melihat ada kondisi-kondisi duniawi yang selama ini memang dilupakan. Tapi di Indonesia ini berbeda dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Di Timur Tengah bom bunuh diri itu dilakukan bukan oleh orang-orang depresi dan bukan orang-orang yang egoistik, tapi alturistik murni. Malah mereka juga tidak berpikir fî sabîlillâh-nya, lebih dominan urusan memerdekakan Palestina daripada urusan fî sabîlillâh, karena konteks kongkritnya sekarang Palestina itu di jajah. Dan itu merupakan alat perjuangan yang sah. PBB pernah mengatakan bahwa terorisme semacam itu bagi negara yang ditindas adalah salah satu senjata yang sah. Karena mereka tidak bisa berhadapan dengan kekuatan militer yang jauh lebih besar. Jadi orang-orang yang mau melakukan bunuh diri itu bukan orang-orang yang depresi ataupun egoistik dan sebetulnya bukan orang-orang yang punya masalah secara psikologis, mereka adalah orang-orang intelektual yang sadar akan tindakannya. Anda bisa bayangkan betapa luar biasa ketika mereka menabrakan pesawatnya di WTC. Sebelum masuk ke Amerika mereka kan harus belajar menjadi pilot, mencari license komersial sampai bisa membawa pesawat besar, itu butuh intelektualitas yang tinggi, butuh kesabaran, bahkan mereka tidak pernah bercerita bahwa nanti akan membawa pesawat untuk ditabrakkan. Artinya mereka memang orang yang betul-betul sadar diri. Apakah ada indikasi yang menunjukkan bahwa terorisme itu merupakan hasil dari cuci otak? Kalau di Timur Tengah merupakan tindak kesadaran untuk perjuangan kemerdekaan, seperti dulu banyak orang Indonesia yang mau menjadi relawan untuk melawan penjajahan Belanda, jadi bukan hasil cuci otak. Dalam konteks membela negara dan merebut kekuasaan itu yang lebih kuat adalah kesadaran kolektif. Tapi kalau di Indonesia dalam pengamatan saya lebih karena cuci otak. Cuma ada bedanya cuci otak pada priode Nurdin M Top dan Azhari dengan cuci otak yang terakhir, di mana Juhri sebagai pelaku cuci otaknya. Perbedaanya adalah, pada priode Nurdin M Top dan Azhari, mereka tidak terlalu yakin bahwa si relawan akan melakukan bunuh diri, sehingga mereka memasang mekanisme remot control di bomnya. Maka kalau detiknya harus meledak sementara si pembom itu ragu-ragu, Nurdin M Top atau Azhari akan pencet ponselnya untuk memicu pemicunya. Buktinya ditemukan alat-alat remot control itu di semua kejadian bom yang dirancang oleh Nurdin M Top dan Azhari. Tapi yang kemarin ini tidak ditemukan, jadi lebih percaya diri, dan dominasi cuci otaknya kelihatan lebih kuat, barangkali karena ada hubungan kekeluargaan. Jadi, di Indonesia ini, orang-orang yang jadi pelaku itu nampaknya lebih cenderung masuk ke tipe anomik bukan altruistik dan juga bukan egoistik. Karena jika diteliti latar belakangnya, mereka adalah orang-orang yang punya masalah, seperti Dani yang bertengkar dengan orang tuanya itu. Jadi lebih dilatarbelakngi oleh problem hidup (anomik) dibandingkan kesadaran untuk mengorbankan diri. Dalam konteks ini, jihad digunakan sebagai alat untuk mencuci otak – ketika orang tersebut dalam keadaan goyah, konsep jihad dipakai sebagai pintu masuk untuk mencuci otak si calon pelaku.
2
Dari sudut kriminal, bagaimana pertanggungjawaban hukum antara pelaku bom bunuh diri berdasarkan kesadaran dengan pelaku bom bunuh diri karena hasil cuci otak? Dari aspek hukum, jika pelaku tersebut sudah mati berarti selesai, tapi kalau misalnya gagal, maka sama sekali tidak ada perbedaan dari aspek hukum, apapun motivasinya. Kecuali pada level pembinaan, tentu saja penangannya akan berbeda. Karena kalau didasarkan pada semangat aturistik (murni) tidak ada cara apapun untuk membuat mereka membatalkan niat kecuali tujuan-tujuan yang lebih besar tadi sudah tercapai. Tapi kalau yang anomik masih bisa dikoreksi, yang egoistik juga mungkin masih bisa dikoreksi dengan istilah “deradikalisasi�, tapi kalau aturistik murni susah. Apakah faktor sosial ekonomi cukup menentukan dalam tindakan terorisme di Indonesia? Jika faktor sosial ekonomi itu menjadi masalah utamanya, memang tindakan bunuh diri itu cenderung ke anomik. Ketika banyak masalah yang berhubungan dengan kesulitan hidup, maka itu membuat orang cenderung kepada semangat anomik. Tapi tidak berarti semua orang yang mempunyai alasan ekonomi ada indikasi masuk kategori anomik. Kalau misalnya seseorang harus membayar uang kuliah dan sudah ditagih sekian kali namun tidak mampu membayarnya sehingga ia menjadi malu, misalnya, ini lebih ke egoistik bukan anomik. Jadi tergantung dari motivasi atau pemicu yang lebih besar, walaupun ada hubungannya dengan faktor sosial ekonomi, dia tidak masuk kategori anomik, lebih ke katagori egoistik. Ini juga ada hubungannya dengan realitas struktur sosial yang ada di masyarakat, termasuk bagaimana nilai-nilai religiusitas itu dihayati. Karena dalam penelitian Durkheim ditemukan lebih banyak di kalangan tentara yang bunuh diri daripada di kalangan sipil. Kemudian lebih banyak orang Protestan yang bunuh diri dibandingkan dengan orang Katolik pada waktu itu, karena orang Katolik lebih cenderung puritan – tunduk dengan apa yang dikatakan oleh pemimpin agama. Kalau Protestan kan lebih bebas berpendapat. Jadi ada semacam ramburambu yang lebih ketat pada orang Kathlik. Itu artinya ada nilai-nilai religiusitas yang bisa dikembangkan. Tapi kalau kemudian nilai-nilai religiusitas itu direkayasa, seperti konsep jihad misalnya, ini yang jadi masalah. Seharusnya jihad itu diartikan secara pas sehingga bom bunuh diri itu dapat dipastikan keliru. Nah, tentu saja peran pemimpin agama potensial sekali dalam rangka baik membawa orang untuk keliru atau tidak keliru untuk masyarakat Timur, paling tidak Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas Islam. Sebagaimana diketahui bahwa Islam di Indonesia itu adalah Islam apa kata pemimpin, sehingga kecenderungan terhadap otoritas masih kuat, jadi belum rasional. Celakanya kalau kita bandingkan dengan kondisi Eropa pada abad pertengahan yang diteliti oleh Durkheim, apa kata pemimpin Katolik itukan untuk tidak bunuh diri, kalau di Indonesia apa yang dikatakan pemimpin dalam urusan bunuh diri justru lebih kuat. Nah ini yang membedakan. Padahal seharusnya untuk urusan dunia dan akhirat tidak dipisah, inikan bisa membuat orang lebih rasional, termasuk dalam ajaran agama. Misalnya, buat apa bunuh diri kalau masuk neraka, sebab tujuan yang mulia itu harus ditempuh dengan cara yajg mulia juga. Nah ini dimensi ketika Islam tidak lagi mendominasi dunia, karena itu tadi, yaitu memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Sehingga ketika kita mengatakan “oh dia seorang alim ulama,� alimnya itu berarti dalam urusan keakhiratan. Padahal seharusnya alim baik dalam ilmu surga maupun ilmu dunia, seperti pada masa keemasan Islam dulu. Nah sekarang ini dibatasi hanya ilmu agama saja.
3
Sebenarnya mana yang lebih berpengaruh, apakah faktor pemahaman yang keliru atau kondisi sosial ekonomi? Sekarang ini kondisi sosial ekonomi yang paling kuat, karena kondisi tersebut menimbulkan keadaan anomik. Dan kondisi itu kemudian bisa dimanipulasi karena pemahaman agama yang lemah. Masyarakat Timur pada dasarnya masyarakat yang relegius, tetapi ketika kondisi sosialnya ekonominya tidak memadai kerap menghasilkan kondisi yang anomik, sehingga kemudian religiusitasnya bisa digunakan untuk memanipulasi. Artinya bisa saling berhubungan. Tapi kita mesti melihat dari faktor sosial ekonominya dulu. Sebab ada sebuah hadis menyatakan, “kemiskinan itu dekat dengan kekufuran,� artinya memudahkan orang untuk tergelincir. Kondisi sosial ekonomi itu merupakan realitas kongkrit, kalau dosa itu masih abstrak. Kalau kamu kelaparan, itu merupakan pengalaman kongkrit. Dengan demikian faktor sosial ekonomi itu lebih kuat dibandingkan soal pemahaman, apalagi jika kondisi tersebut diikuti dengan pemahaman yang cenderung memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat seolah-olah sebagtai dua hal yang saling berlainan, padahal satu kesatuan. Kalau dari aspek kriminologi, apakah tindakan bunuh diri dengan tindakan kriminal lain bisa dikategorikan sama? Berbeda, karena dalam kriminologi biasa dipisahkan antara kejahatan dengan perilaku menyimpang. Kalau yang namanya kejahatan ada dimensi tindakan yang merugikan orang lain, pihak lain, dan alam semesta. Kalau perilaku menyimpang seperti bunuh diri itu hanya dirinya sendiri yang merugi. Tapi kalau bunuh diri itu dipake sebagai modus untuk terorisme, itu artinya suatu kejahatan, karena ada pihak yang dirugikan, jadi perbedaannya di situ. Jadi bunuh diri yang dipakai oleh terorisme itu masuk ke kategori kriminal, karena ada pihak yang dirugikan. Tapi kalau bunuh diri tidak merugikan orang lain, itu urusan kamu dengan Tuhan, nanti Tuhan yang menghukum – seperti mau maksiat, itu urusan kamu tidak ada orang lain yang rugi kecuali diri kamu sendiri. Itu yang memisahkan antara perilaku menyimpang dengan kejahatan. Jadi ketika ada pihak yang dirugikan, itu masuk kategori kejahatan, termasuk merugikan kelestarian lingkungan itu juga kejahatan. Saat ini banyak sekali tindakan kriminal baik teror maupun yang lainnya, dan itu merugikan masyarakat. Dalam perspektif kriminologi, upaya-upaya apa yang mesti dilakukan untuk mencegah tindakan-tindakan tersebut supaya tidak terulang kembali? Orang serinhg melupakan akar masalah. Jadi intisari dari apa yang kita bicarakan akar masalahnya adalah struktr ekonomi. Kalau struktur sosial ekonominya membuat orang nyaman, kemungkinan terjadinya perilaku kejahatan dan perilaku menyimpang itu bisa sedikit menciut. Maka tadi kalau dikaitkan dengan hadis “kemiskinan dekat dengan kekufuran,� jadi bagaimana cara menciptakan kondisi agar tidak terjadi kemiskinan sehingga orang terjauh dari kekufuran? Itu dulu yang harus diutamakan. Kalau kita kembali kepada konteks Indonesia, dalam UUD dikatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sekarang masalahnya sudah dipelihara belum? Di Jakarta malah orang yang memberi nafkah pada pengimis dipidana, itukan malah terbalik. Padahal di dalam konstitusi dikatakan bahwa meraka itu harus dipelihara oleh negara. Nah, ketika negara tidak berbuat apa-apa tetapi ada orang yang berbuat itu malah dipidana, ini kan keliru cara pendidikannya. Terlepas dari itu, persoalan kemalasan itu masalah nanti. Kita teliti akar masalahnya dulu, kok ada yang malas ada yang tidak malas? Itukan harus
4
dikategorisasi, tidak bisa dibikin sama rata. Dengan demikian, memelihara fakir miskin tidak hanya dalam arti terus-menerus dikasih makan, tapi termasuk juga memberdayakan mereka. Kalau bisa mencari makan sendiri kenapa tidak? Belakangan ini sempat ada ide untuk mengontrol atau memperhatikan khutbahkhutbah Jum’at dari pihak aparat, dan itu itu dianggap sebagai langkah pencegahan awal – mungkin semacam cara-cara pada masa Orde Baru, bagaimana menurut Anda? Itu artinya tidak mempersoalkan akar masalahnya. Misalnya, kenapa ada khutbah-khutbah yang kemudian terlalu ekstrim. Dalam penelitian mengenai terorisme sebagai gejala transnasional disebutkan bahwa gejala terorisme itu akan muncul ketika suatu kelompok merasa didiskriminasi di dalam pergaulan. Diskriminasi itu bukan hanya dalam ucapan, karena ada juga diskrimanasi dalam kesempatan dan seterusnya, sehingga ekspresi dan aspirasinya itu tidak tersalurkan. Apalagi kalau itu mayoritas, dia mempunyai jalur-jalur komunikasi sendiri, seperti khotbah yang akan dipakai dalam menyampaikan gagasangagasan. Kalau cuma mengawasi bahwa ini berbahaya, tapi faktor penyebabnya tidak diatasi, tetap saja percuma, hanya menjadi pekerjaan rutin, tidak menyelesaikan masalah. Seperti menangkapi fakir miskin itu, kalau yang menyebabkan mereka miskin tidak diselesaikan ya tidak menyelesaikan masalah. Dan memang kita harus melakukan reorganisasi, bagaimana menyampaikan ajaran agama, spakah semua orang boleh, kan harus ada kriteria walaupun di Islam tidak ada pemimpin tertinggi agama, tapi kita harus menyadari bahwa tidak semua orang paham. Kalau pahamnya keliru lalu disampaikan secara keliru itu kan bahaya. Makanya harus ada mekanisme atau syarat-syarat orang menjadi khotib. Kalau imam kan hanya memimpin sholat saja, kalau khotib harus lebih. Apalagi tadi selama masih dipisahkan urusan dunia dan akhirat khutbah agama itu tidak akan memberikan pencerahan, tidak menyelesaikan masalah sosial, dan mesjid hanya dijadikan sebagai tempat belajar agama. Ini juga kan keliru, padahal mesjid juga dapat dijadikan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah sosial. Dengan demikian, komunitas-komonitas lokal yang berpusat di masjid sebagai balai desa itu harus dikembangkan. Kalau hanya tempat ibadah cuma dipakai berapa kali sehari sehingga tidak efesien. Tapi kalau dipakai untuk memecahkan masalah sosial, itu kan bisa 24 jam, di situ harus jadi community center. Ambil contoh misalnya, di Bali setiap desa (banjar) itu mempunyai balai banjar, tempat orang berkumpul membicarakan semua masalah, termasuk masalah agama. Fungsi pertama memanhg untuk masalah banjar atau desa, tapi juga karena mereka semua orang Hindu masalah agama juga diselesaikan di situ. Tapi mesjid sekarang seolah-olah hanya urusan kalau kamu mau masuk surga. Dan ini yang lebih langka lagi, sekolah-sekolah terutama sekolah negeri – bikin musholla sendiri dan ekslusif. Seharusnya sholat di mesjid setempat, kan di situ ada komunitas, jangan bikin sendiri. Malah saya lihat di Pulo Mas di sini SMA di sana SMP, di sini mesjid di sana mesjid, masing-masing punya mesjid sendiri. Sebenarnya agama itu bagian dari masyarakat atau sesuatu yang ekslusif? itu yang harus dipikirkan. Agama bukan sesuatu yang ekslusif, tapi bagian dari keseharian, seperti halnya orang Bali menyatukan antara urusan agama dan masyarakat, itu model yang bisa dicontoh. Seharusnya Islam seperti itu, dan dulu sebenarnya juga seperti itu; merancang perang di mesjid, memecahkan semua persoalan di mesjid. Ketika mesjid hanya dijadikan institusi agama, kemudian agama hanya berpikir soal akhirat, nah ini yang membuat kehilangan akar ke masyarakat.
5
Yang terakhir mungkin soal regulasi. Mengenai ketentuan hukum para pelaku teror di Indonesia, apakah Anda melihat sejauh ini ketentuan itu sudah memadai atau tidak? Kalau peraturan itu relatif ya. Dia terlaksana atau tidak tergantung dari apakah aparatnya itu betul-betul melaksanakan fungsinya dengan baik atau tidak. Karena orang menjadi takut melakukan pelanggaran saya kira bukan karena berat ringannya ancaman, tetapi kepastian bahwa yang bersalah pasti terdeteksi dan dihukum. Jadi kepastiannya, bukan berat ringannya, itu yang harus dilihat. Nah, kalau yang altrustik diancam hukuman mati berapa kali juga tidak takut, karena mati saja mereka berani, jadi berat ringannya tidak berpengaruh. Di samping itu, yang perlu juga dikomunikasikan adalah informasi-informasi mengenai orang-orang yang menyuruh bunuh diri, sebab pelakiu bom bunuh diri itu sendiri kan bukan altruistik, karena ia disuruh. Kalau itu altruistik, kenapa tidak Imam Samudera atau Amrozi sendiri yang melakukannya. Nah ini yang menjadi persoalan, ternyata bukan altruistik. Orang-orang ini (baca: Imam Samudera dan Amrozi) ketika dieksekusi mati ternyata ketakutan. Sayangnya informasi ini tidak digali oleh wartawan kepada pejabat yang kompeten. Pemberitaannya memberi kesan bahwa mereka ini adalah pahlawan – di media itu kan pemberitaan Amrozi dan kawan-kawan itu seperti pahlawan. Sisi manusiawinya adalah bahwa slogan berani mati demi kepentingan agama yang mereka gembor-gemborkan ternyata menjelang ekskusi mati itu mereka ketakutan. Kalau dia memang siap mati tidak ada kata takut. Nah, itu seharusnya di tunjukan sehingga bisa memberikan informasi yang lebih lengkap tentang tokoh-tokoh ini. Terima kasih Pak Mustofa atas kesempatan wawancara ini.
6