BERAGAMA DENGAN SANTUN: SPIRIT BERTUHAN DENGAN KEARIFAN Ahmad Kholil (Universitas Islam Negeri/UIN Maliki Malang)
ABSTRACT: Islam, with all dimensions inside, does not only manage human life and its’ relation to God, but also holistically administers the relationship between human to every entity in the world whether it is alive or not and whether it is seen or unseen. As religion, Islam is complete, but as cultural aspect, Islam is still demanded to dynamically work on perfection as reflected in the behaviour and tradition of Muslims. In this regard, Muslims are endorsed to do ijtihad and innovate for the Islam nobility. Considering the prophetic history, it was not the God unbeliever which made the prophet concerned, but the practice of believing God of the jahili was never on the side of the weak and was incline to oppress others. Furthermore, this religious believe had never been oriented for the society welfare. Every religion, for the follower, is God’s holly command for human kind. Therefore, religion always directs mankind to perform welfare for all human and life. The irrelevancies often appeared in the implementation is mostly caused by human intervention which is affected by human personal interest on the holy text. This misused results in the meaning reduction. This makes religion only belong to several groups of people and mostly manipulated to support their greed. This has been the beginning of the tainted interpretation which is intentionally created to weaken their opponents. Let us purify our religion as the ultimate guidance to create peace, serenity, and welfare in the society. It is believed that fore ideal concept are innate within very religion. Therefore, it becomes a great failure to ignore this holy mission due to a slight different interpretation and makes the religion to be a fearsome entity. Keywords : God, faith, action, tolerance, harmony Pendahuluan Sebagai agama samawi, Islam diturunkan bukan hanya untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, tapi mengatur secara menyeluruh hubungan manusia dengan segala entitas yang ada di alam, baik yang terlihat maupun tidak. Sebagai agama (al-Din), Islam telah sempurna sejak sebelum ditinggal Nabi Saw, tetapi sebagai produk budaya yang terus dituntut dinamis, yang tercermin dari sikap dan tradisi kaum muslimin, Islam tidak pernah
1
selesai. Oleh karena itu, umat Islam dituntut untuk terus berijtihad dan berinovasi demi kejayaan Islam di segala lini kehidupan di manapun dan sampai kapanpun. Menilik sejarah Nabi ketika Islam turun pertama kali di Makkah, bukan ketiadaan pengakuan masyarakat akan keberadaan Tuhan yang menjadikan Nabi prihatin. Juga bukan karena keyakinan masyarakat yang berbeda dengan tuntunan keimanan Alquran yang menyebabkan beliau bertentangan dengan masyarakat jahiliya. Tetapi aplikasi keyakinan ketuhanan mereka yang tidak memihak orang lemah dan kemaslahatan bersama. Terbukti pada perkembangan selanjutnya dalam kehidupan masyarakat muslim di Madinah, Nabi tetap menjamin keamanan kehidupan non-muslim (Yahudi dan Kristen) yang telah terikat dalam sebuah perjanjian untuk saling menghormati dan melindungi. Sejarah itu membuktikan bahwa untuk persoalan keyakinan, kaum muslimin tidak diperbolehkan bertindak gegabah dengan mejatuhkan klaim salah apalagi sampai bertindak kasar dan tidak santun untuk memaksakan keimanan yang sama kepada orang lain. Memaksakan kehendak untuk menjadikan agar iman sama itu sendiri merupakan tindakan tidak terpuji karena perbedaan itu memang merupakan ketentuan Tuhan.1 Berdakwah untuk mengajak orang yang belum lurus imannya kepada kebenaran Islam memang kewajiban setiap orang muslim, tetapi tidak boleh dilupakan bahwa mencari cara yang bijaksana juga merupakan suatu kewajiban. Setiap muslim adalah simbol Islam, konsekuensinya, ia harus menampilkan wajah keislaman dalam setiap gerak langkahnya. Tampilan dengan tindak tutur yang baik itu sendiri sebenarnya juga merupakan dakwah, tidak harus dengan verbal. Menyikapi cara keberagamaan beberapa gelintir orang di masyarakat saat ini, di mana mereka cenderung memakai ukuran kebenarannya sendiri yang subyektif di ruang bersama kehidupan sosial, penulis turut berpartisipasi dengan menyuguhkan tema kebhinnekaan sebagai pilar bangsa dengan perspektif sosial, budaya, dan psikologi. Tulisan diawali dengan pembahasan mengenai peran atau fungsi agama bagi manusia. Dilanjutkan kemudian dengan pemahaman agama masyarakat secara umum. Bagian kedua ini didasarkan pada pengalaman dan refleksi penulis selama bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat di tengah
2
kehidupan mereka. Di bagian akhir adalah penutup, yang berisi saran bagi kehidupan keberagamaan kita bersama.
Agama Bagi Manusia Manusia lahir ke dunia dalam keadaan yang sangat lemah, tidak memiliki sarana yang lengkap untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah hidupnya. Manusia memang memiliki naluri, tapi hanya dengan nalurinya manusia tidak akan bisa hidup secara wajar. Demikian juga, nalurinya itu tidak akan bisa menjawab persoalan-persoalan dasar yang menjadi kegelisahan manusia. Persoalan-persoalan dasar itu menyangkut makna keberadaan diri, keberadaan sesama, dan hal-hal yang berkaitan dengan makna hidup ini. Titik klimaks dari semua itu adalah pengakuan akan keberadaan Dzat yang mengatasi hidup manusia, di mana di antaranya ditemukan dalam agama lewat wahyu dan nabiNya. Sebelum menemukan atau mendapatkan wahyu, serangkaian upaya telah dilakukan manusia untuk menjawab persoalan di atas, baik dengan pengetahuan positif maupun spekulatif, dengan pengalaman empirik maupun sesuatu yang dipercaya dan diyakini berasal dari Tuhan. Semua kemudian bermuara pada agama dan
keyakinan atas sistem nilai dan norma kebenaran yang
mempengaruhi keputusan tindakan manusia. Secara teologis, agama diturunkan oleh Tuhan melalui manusia pilihan atau para nabi dengan tujuan membimbing manusia dalam mendapatkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas. Sampai di sini, agama sudah sangat personal dan telah menjadi sistem kepercayaan yang tidak lagi seutuhnya dapat dipahami oleh pemeluk agama lain. Oleh karena itu, keyakinan seseorang harus dijamin (dilindungi), selama tidak mengganggu dan merusak ketentraman hidup bermasyarakat. Dalam tinjauan sosiologis, agama seringkali didefinisikan sebagai perangkat nilai yang memberikan ketentuan atau aturan berkenaan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungannya. Pengertian demikian memang terkesan doktriner, sehingga keterlibatan manusia dalam mewarnai agama tidak tampak. Padahal secara historis, jelas ada keterlibatan manusia
3
sebagai subyek aktif dalam memberi warna agama.2 Supaya tidak terkesan doktriner dan mengakui keterlibatan manusia dalam mewarnai, agama seharusnya diberi pengertian sebagai suatu keyakinan yang dianut dan tatanan moral yang diimplementasikan
oleh
suatu
kelompok
atau
masyarakat
dalam
menginterpretasikan serta memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai hal yang gaib dan suci. Dalam pengertian yang demikian, agama sebagai sistem keyakinan akhirnya dapat menjadi bagian dari sistem yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, menjadi pendorong sekaligus pengendali bagi tindakan-tindakan anggota masyarakat tersebut agar tetap sesuai dengan nlai-nilai agama dan kebudayaannya. Dilihat dari sisi teologis, agama menuntun orang pada sikap percaya terhadap kehidupan abadi di hari kemudian, yang dengan kepercayaan itu orang akan rela mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan dunia. Sementara dalam terminologi ilmu sosial, agama dapat dilihat sebagai nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia. Mengacu pada pandangan ini, wilayah peran agama menjadi sangat luas, karena meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Wilayah peran dan fungsi agama itu memang konkrit-historis, dari lahir sampai mati, individual maupun sosial. Agama adalah "ruh" atau jiwa dari kewajibankewajiban mutlak yang harus ditunaikan pemeluknya serta jiwa dari sesuatu yang mengandung tujuan bagi penentuan titik orientasi hidup pemeluknya.3 Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknologi manusia sekarang ini berjalan sangat cepat dan telah malampaui batas dari yang dapat dikontrol oleh manusia sendiri. Perubahan dan perkembangan sangat cepat ini, satu sisi menjadikan peradaban manusia semakain maju, tetapi di sisi yang lain sering membawa kegelisahan. Pengaruh buruk ini muncul karena terjadi pelebaran jarak antara manusia dengan dirinya sendiri, di mana ia tidak memahami batas-batas kemanusiaan dan otonominya. Demikian juga pelebaran jarak terjadi antara dirinya dengan sesama di lingkungannya. Mungkin pelebaran ini disebabkan karena ia tidak pernah "beruzlah" untuk sekedar memahami dirinya sendiri secara holistik, tanpa dipengaruhi faktor eksternal di luar dirinya. Atau mungkin karena dari semenjak dilahirkan ia sudah merasa tidak lagi bagian dari sosial dan
4
lingkungan, bahkan bukan bagian dari semesta. Dengan ungkapan lain, sejak kecil ia mungkin sudah terbiasa dengan bermain sendirian hingga merasa berdiri sendiri dengan penuh keangkuhan. Bahkan selaku individu, ia telah diajari untuk mengatasi atau menguasai sesama dan menundukkan lingkungan. Karena kemampuan rasionalitas manusia yang dirasa telah menunjukkan kemandirian, bahkan juga dirasa telah mulai merambah pada bidang perubahan hukum alam, manusia kini membuat jarak dengan Tuhan atau bahkan merasa tidak membutuhkan lagi. Agama yang sepanjang sejarah menjadi sistem nilai dan norma manusia, akhirnya ditantang untuk menyesuaikan diri dengan ambisi-ambisi manusia, dengan keinginan-keinginannya yang hampir tiada batas. Konsepsi agama kemudian dihadapkan pada prinsip yang didasarkan atas tuntutan fungsionalitas agama untuk menyelesaikan masalah-masalah konkrit manusia. Kenyataannya, agama sebagai sistem nilai dan norma bagi manusia dalam berkebudayaan memang tidak bebas dari masalah. Fenomena aktual yang terjadi saat ini, seperti beberapa kekerasan yang mengatasnamakan agama, demikian juga upaya rekrutmen para relawan-mujahid "awam" untuk bertindak yang tidak sesuai dengan norma agama, seperti kekerasan dan klaim sesat atas keyakinan yang berbeda, menjadikan agama seolah-olah melegitimasi tindakantindakan yang tidak pada tempatnya, memaksa penganutnya untuk bertindak amoral melecehkan keberagaman pikiran dan kebudayaan. Padahal di era sekarang ini, masyarakat hidup dalam kemajemukan, baik kebudayaan, nilai maupun agama. Kemajemukan ini adalah fakta yang tidak bisa dirubah, tapi harus diterima begitu saja. Masyarakat yang berperadaban harus mengakui adanya berbagai macam tradisi moral dan filosofis, selama semuanya memiliki kontribusi untuk membentuk jalinan sosial dengan interaksi yang terbuka. Masyarakat modern memang cenderung mengurangi kendala-kendala tradisional, misalnya
dengan
menghormati
individualitas dan
perbedaan-
perbedaan pribadi. Dalam waktu bersamaan, modernitas telah mengakibatkan sistem-sistem relijius dan moral mengalami sekularisasi. Sekularisasi, yang dalam Islam sejatinya tidak ada, kemudian membuka suatu kawasan netral, di mana nilai-nilai seperti toleransi dan sobjektivitas dijunjung tinggi atas dasar kebebasan
5
untuk memilih dan menentukan sikap dan tindakannya sendiri. Di sini kemudian tidak ada penilaian, adakah itu suatu kemajuan, atau justru kemerosotan. Tekanan pada kebebasan individu ini terwujud dalam suatu liberalisasi tingkah laku dan ukuran yang menyangkut nilai tentang moralitas. Dengan melupakan esensi dan substansi dirinya, manusia modern cenderung menekankan pada efisiensi dan hasil konkrit yang bersifat empirik dan pragmatik. Dalam pandangan agama dan kosmologi tradisional, manusia dan alam ini adalah suatu kesemestaan yang diciptakan Tuhan, memiliki ruang, dan memiliki batas waktu awal dan akhir. Ilmu pengetahuan mengajarkan suatu gambaran kosmos yang berbeda bila dibandingkan dengan yang diajarkan guru tradisional, termasuk guru agama. Agama dan orang-orang tradisional mempunyai konsep, pandangan, interpretasi tentang apa yang disebut materi, alam semesta, hidupmati, awal jaman dan kiamat. Semua itu merupakan gugusan informasi yang mereka anggap nyata, objektif, serta merupakan sumber kebijaksanaan hidup. Gugusan informasi itu meliputi nilai-nilai dan maknanya, sehingga dengan itu manusia dapat mengenal diri, menemukan tempat, situasi, status dan identitas diri sendiri serta orientasinya dalam suatu totalitas integral dengan semesta.4 Tetapi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pemahaman tentang manusia beserta seluruh tata-nilai dan tata pemaknaannya itu kini dirubah diganti dengan tatanan baru yang asing, sehingga tidak sedikit manusia mengalami keterasingan, termasuk asing dengan dirinya sendiri. Mengutip pendapat Fazlur Rahman, agama yang diturunkan lewat nabiNya merupakan bentuk kasih-sayang Tuhan kepada umat manusia di satu sisi, dan merupakan bukti ketidak-dewasaan manusia dalam persepsi dan motivasi etisnya pada sisi yang lain.5 Ada kaitan yang erat antara
agama dengan
kepengasihan Tuhan di satu pihak, dan agama dengan kelemahan manusia di pihak yang lain. Dengan ungkapan lain, menurut Abdul A'la, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan terbatas, karena itu manusia membutuhkan bimbingan dan peringatan agar tidak menyimpang dari jalan yang benar. Wujud bimbingan Allah itu adalah diutusnya para rasul yang diringi dengan pedoman berperilaku dalam kehidupannya.6
6
Kelemahan manusia, sebagaimana disebutkan Alquran, adalah kepicikan (dla'if) dan kesempitan pikirannya (qithr). Karena menusia picik, ia bersifat terburuburu, panik dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari tindakantindakannya. Karena suka terburu-buru, manusia menjadi sombong atau malah gampang berputus asa.7 Adanya kelemahan itu membuat manusia mudah keluar dari kesadaran serta tidak mampu bersikap sesuai dengan hati nuraninya. Dalam kondisi yang demikian, manusia akan mudah melupakan Tuhan, tidak memiliki pandangan yang berdimensi transendental, serta tidak mampu menangkap nilainilai kehidupan dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam sebuah Hadits disebutkan, ketika seseorang berada di tengah kebimbangan menentukan antara yang benar dan yang salah, dianjurkan untuk bertanya kepada hati nuraninya. Ini berarti setiap individu atau masyarakat harus terus-menerus mendengarkan bisikan nurani dan menjaga keseimbangan moralnya dengan jalan mengingat Tuhan. Tanpa upaya itu, manusia dengan kemampuannya yang terbatas, tidak akan mampu menangkap nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Tanpa mengingat Tuhan dan bertanya kepada nurani, manusia terjerumus dalam suatu kehidupan yang tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai yang telah digariskan oleh agama, tetapi juga oleh nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Sampai di sini, masihkah dipertanyakan urgensi agama sebagai sarana untuk mengantarkan manusia pada hakikat keberadaannya yang tidak hanya sebagai makhluk yang berdimensi fisik, tapi juga spiritual. Bertuhan dengan Kearifan Seorang tokoh filsafat analitis, Thomas Hobbes (1588-1679) memiliki pandangan yang miris terhadap sesamanya. Manusia dalam pandangan Hobbes adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Pandangan tokoh ini seakan-akan menvonis seluruh manusia sebagai rival bagi lainnya, sehingga permusuhan, persengketaan, pertumpahan darah dan sikap-sikap destruktif lainnya yang terjadi di antara manusia merupakan sebuah keniscayaan, seraya mengeliminasi kecenderungan bekerjasama sebagai perangai fitrawi manusia.
7
Secara umum dan naluriyah, dalam diri manusia selalu terdapat dua sifat yang berlawanan. Keduanya seperti dua sisi dari sekeping uang. Pertama sisi kebaikan sebagai sifat positif manusia dan kedua kejahatan sebagai sifat negatif. Keduanya senantiasa bergejolak saling berkompetisi menguasai
untuk merebut dan
diri manusia. Pertarungan di antara keduanya akan mudah
dimenangkan oleh kejahatan dibawah kendali nafsu. Kenapa kejahatan mudah menang, karena ia seringkali diliputi oleh kenikmatan. Demikian juga, kejahatan dalam berbagai modus operandinya sangat mudah dilakukan. Berbeda halnya dengan kebaikan, selain harus melewati berbagai rintangan yang sulit dilakukan dengan kendali hati nurani, ketika berhadapan dengan kejahatan ia terseok-seok, kalaupun menang hasilnya tidak selalu memuaskan. Kemenangan yang mudah kejahatan atas kebaikan dalam diri manusia lambat laun akan melahirkan kesemrawutan (chaos) dalam kehidupan. Dengan kehidupan yang semerawut, ketidak-harmonisan di antara mereka tidak terelakkan lagi. Karena itu, Tuhan Yang Mahakuasa, dengan segala kebijaksanaan-Nya membuat
peraturan-peraturan
lewat
agama
dan
menurunkannya
dengan
perantara para utusan sebagai pedoman hidup yang wajib dipatuhi, dalam arti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, agama yang merupakan titah suci Tuhan bagi umat manusia ini tidak lagi menebarkan ruh kemaslahatan demi kehidupan manusia. Ini terjadi karena faktor intervensi manusia dengan segala kekurangan dan interestpersonalnya atas teks-teks keagamaan. Seakan-akan kebenaran agama hanyalah milik kalangan tertentu saja, agama kemudian diseret ke sana ke mari sesuai seleranya sendiri, sehingga klaim-klaim kebenaran penafsiran bak pedang tajam terhunus yang siap selalu memenggal keyakinan pihak lain yang berbeda. Itulah fakta kehidupan sosial keagamaan yang ada di dunia kita saat ini, dan itu juga yang kita lihat dan dengar di sebagian kecil wilayah negara kita. Peristiwa konflik yang disebabkan oleh faktor kesalahan dalam memahami pesan vital agama sesungguhnya amatlah kecil dibanding dengan kenyataan kehidupan yang harmonis dan tentram di balik payung-payung nilai agama yang berbeda. Namun sering berita yang bernada menciderai agama tersebut menjadi lebih
8
besar dari kenyataan yang sebenarnya. Meskipun terbilang kecil, tindakan sedikit orang di wilayah yang tidak luas itu perlu terus diupayakan berkurang, bahkan sebisanya dihindari dengan cara melakukan tindakan preventif. Salah satu cara, menurut penulis, adalah menyelami pemahaman agama masyarakat untuk kemudian membentuk pemahaman tersebut sesuai dengan kaidah keagamaan yang sesuai dengan tujuannya, yaitu agama yang membawa kedamaian dan kerukunan kehidupan sosial.8 Signifikansi eksistensi agama adalah pembimbing sekaligus pengikat manusia demi terwujudnya ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidupnya. Setiap agama membawa misi suci ini, namun pada tataran implementasi ia tereduksi oleh sikap dan tindakan penganutnya sendiri. Ketidaksinkronan antara fakta normatif dan historis ini disebabkan karena pandangan dan pemahaman yang berbeda terhadap pesan agama, di samping karena kepentingan tertentu di luar agama. Hal ini terjadi pada agama apapun, tidak terkecuali Islam, seperti yang sering diberitakan media informasi. Agama bagi setiap orang (yang berkebudayaan Timur) adalah prinsip yang utama. Oleh karena itu, jangan sampai mengganggu dan mengangap remeh kehidupan keagamaan. Perbedaan keyakinan memang telah menjadi sesuatu yang harus dimaklumi karena memang demikian itulah ‘takdir’ Tuhan. Di ruang sosial, agama yang berbeda itu adalah milik bersama. Karena itu, di ruang itu harus tercipta suasana damai dan saling menghormati, tidak boleh terjadi sikap melecehkan antara satu dengan lainnya. Menyinggung perasaan dan melecehkan agama orang lain, sama halnya dengan melecehkan agamanya sendiri. Seperti di sebuah ruangan, kata-kata yang terucap akan memantul dan terdengar oleh telinga sendiri. Ekspresi keberagamaan yang ditampilkan sekelompok orang terkadang memang mencerminkan wawasan keagamaan yang kurang lengkap dengan menekankan sisi dari sifat jalaliyah atau keagungan Tuhan, sehingga hati tergiring pada perasaan takut kepada-Nya. Dengan menekankan pada sisi ini, penyebaran agama sering dilakukan dengan wajah meyeramkan, bahkan pemeluk agama itu sendiri berwajah kurang ramah bahkan tidak jarang menggunakan cara kekerasan
9
n dengan alasan berdakwah. Ekspresi dan cara demikian melupakan substansi agama itu sendiri yang semestinya mengajak pada kebaikan dengan keramahan dan menampilkan wajah Tuhan dari sisi sifat jamaliyah-Nya. Dengan menekankan pada sisi jamaliyah itu, Tuhan ditampilkan dengan cara mempesona, indah dan mengundang kerinduan. Berdakawah dengan cara kekerasan, baik fisik maupun verbal, sangat berlawanan dengan ajaran agama yang misinya suci. Secara teks, seperti yang termuat dalam ayat-ayat Alquran, Agama (Islam) senantiasa menghormati keragaman. Keragaman itu sendiri, dari persoalan keyakinan yang berada di hati sampai pada masalah ukuran nilai baik dan buruk adalah kehendak Tuhan. 9
Penyangkalan terhadap fakta keragaman itu membuat pribadi pemeluk agama
tertentu menjadi eksklusif. Kehadiran agama dalam ruang sosial kemudian sering dicurigai, karena sikap yang tidak santun, tidak toleran, merasa benar sendiri, dan suka menampilkan sikap berlawanan terhadap cita-cita sosial. Penyebaran informasi tentang ajaran agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menciptakan pola pemahaman dan citra keagamaan di tengah masyarakat. Karena sesungguhnya informasi inilah yang lebih banyak dijadikan titik awal dari kesadaran dan pemahaman keagamaan masyarakat. Maka strategi penyebaran informasi tentang ajaran agama dan bentuk kesadaran dari pemuka agama memiliki keterkaitan yang erat dalam menghiasi wajah agama di masyarakat. Keras-lunak dan moderat-radikalnya masyarakat dalam beragama sebenarnya sangat ditentukan oleh strategi penyebaran informasi tentang ajaran agama dan pemahaman keagamaan yang diyakini oleh para pemuka agama. Oleh karena itu, elemen ini perlu memberi contoh bagi model keberagamaan yang benar. Elemen ini juga perlu menjalin kerjasama dengan pihak terkait, yaitu pemerintah dan tokoh organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan suasana kehidupam keberagamaan yang ramah dan penuh kesantunan. Upaya ini tidak lain adalah untuk menjadikan agama yang ada di tengah masyarakat sebagai ruh atau spirit perdamaian dan pembebasan rohani dari godaan kepentingan duniawi yang sesaat. Di samping itu, agama saat ini juga harus mampu memberi jawaban bagi problem kemanusiaan, seperti ketidak-
10
adilan, penindasan, kesewenang-wenangan, korupsi, dan kemiskinan struktural yang terjadi di masyarakat. Agama harus mampu eksis dengan mempertahankan orientasi horisontalnya dalam menjaga hubungan dengan sesama manusia. Dengan demikian, korupsi dan buruknya sistem birokrasi dalam pemerintahan juga menjadi tanggungjawab bersama umat beragama. Agama yang mempunyai orientasi vertikal dan horisontal seperti ini merupakan karakter yang inklusif, sehingga tidak akan lekang oleh segala bentuk perubahan. Sejarah tersebarnya agama-agama di dunia telah membuktikan bahwa agama yang memiliki orientasi kemanusiaan yang kuat untuk terciptanya tatanan sosial yang kondusif akan bisa bertahan. Agama memang hanya ajaran moral, namun jika ajaran itu mampu diimplimentasikan nilainya secara optimal akan berdampak pada kehidupan umat manusia. Dengan pola aktualisasi yang demikian, agama akan berperan membawa peradaban pada tatanan yang lebih baik. Ini sebenarnya adalah soal internalisasi ajaran agama, bukan sekedar simbol, pendeklarasian ataupun formalisasi ajarannya, tetapi melampaui batas simbol-simbol formal. Agama adalah nasihat yang akan mengarahkan ke jalan mana kaki kehidupan manusia dilangkahkan. Agama adalah kekuatan spiritual yang diyakini para pemeluknya dapat memenuhi kebutuhan rohani. Agama, bila diyakini dan dihayati sepenuh hati, dengan mengedepankan kepasrahan kepada Tuhan sebagai inti keberagamaan tanpa harus terpaku pada bentuk formalnya, akan membuat selamat pemeluknya dan menyelamatkan orang lain. Agama dalam hal ini spirit, di mana dengannya akan membuat orang lebih kuat bertahan hidup, kuat menghadapi berbagai cobaan. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa orientasi keagamaan orang itu beragam, ada yang untuk tujuan di luar agama dan ada yang beragama dengan berusaha hidup berdasarkan nilai-nilai agama. Yang pertama beragama untuk melindungi diri dari tuduhan sosial yang stigmatik atas tindak- tanduknya yang tidak agamis, sedangkan yang kedua aturan dan tata-norma keagamaan dipatuhi sepenuhnya demi Tuhan yang kepada-Nya segala sesuatu akan kembali. Yang pertama untuk menundukkan agama demi kehidupannya sendiri, sedangkan yang
11
kedua beragama untuk kehidupan yang lebih luas, universal dan abadi. Yang pertama adalah jalan sunyi yang ditempuh para wali. Sedangkan yang kedua adalah jalan yang penuh hiruk pikuk dan strategi untuk mempertahankan kepentingan hidupnya sendiri. Betapapun canggihnya pemerian manusia tentang Tuhan pada suatu ajaran agama,
tetap saja ia bersandar pada konsep yang subyektif dan
pengalaman empiris yang personal. Oleh karena itu, manusia mesti meyakini bahwa hanya wahyu atau ayat-ayat Tuhan saja yang bersifat mutlak dan abadi, sedangkan hasil pemikiran tentangnya tetap harus dipandang sebagai tafsir yang nisbi (relatif-temporal). Bagi kaum sufi, Tuhan sangat memiliki perhatian terhadap kelangsungan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Sangat akrab dan dekat hingga senantiasa mendengar setiap saat keluhan hamba-Nya. Meskipun demikian, kedekatan
itu
tidak
membawa
sang
sufi
pada
sikap
jumawa
dengan
memaklumkan kedekatan tersebut kepada khalayak ramai, lalu lahir sikap takabur secara teologis, di mana yang tidak sepaham dengannya dianggap keliru atau sesat. Dalam hal
ini
tirulah
kaum sufi
yang
berprinsip
“Bertuhan
tapi
menyembunyikan-Nya dalam kesadaran beragama yang iknklusif. Mereka berkata : “Bagiku ada Kekasih yang sangat Agung, tidak akan kupamerkan kepada siapapun. (kalau kupamerkan) Aku khawatir Dia membuka aibku saat bertemu dengan-Nya�.10 Tuhan sangat mengasihi makhluk-makhluk-Nya. Wujud kasih sayang itu tampak pada nikmat-Nya yang tiada terhingga dan tiada pernah mampu dibilang oleh manusia. Salah satu kenikmatan itu adalah hidup yang dimiliki manusia ini sendiri. Udara yang dibutuhkan oleh sistem pernapasan tubuh maupun sirkulasi darah, panas matahari untuk menghangatkan tubuh dan untuk pertumbuhan makhluk-makhluk lain, air dan api untuk berbagai keperluan dan juga berbagai jenis makanan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan adalah sekian deret kenikmatan yang teramat vital bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, gugusan
12
kenikmatan yang berlimpah tersebut cukuplah sebagai bukti tak terbantah akan kebijaksanaan dan kasih sayang Tuhan kepada makhluk-Nya, terutama manusia. Dengan
menyadari
kemahaagungan
dan
kasih
sayang
Tuhan,
melaksanakan kewajiban berupa amal perbuatan yang baik dan bermanfaat dan menjauhi yang dilarang karena mendatangkan kerusakan dan kesengsaraan adalah satu-satunya jalan keselamatan yang mesti dilakukan untuk mencapai kebahagiaan bersama. Lalu kenapa ketika kita mengenalkan Tuhan yang memiliki sifat Pengasih dan Penyayang kepada orang yang belum mengenal-Nya justru menampilkan wajah garang dan menakutkan. Dalam keyakinan teologi muslim, sebelum Tuhan menvonis seorang hamba bersalah dengan memasukkannya ke neraka, Ia masih membukakan lembaran catatan amal hamba tersebut di dunia. Tidak sampai di situ, orang tersebut juga masih ditanya mengenai segala perbuatannya di dunia. Artinya apa ? Allah masih membuka pintu dialog untuk pertanggungjawaban tindakan hamba tersebut di dunia. Allah Maha Adil, meskipun berkuasa penuh atas manusia, sebelum mengeksekusi atas perbuatan dosanya masih diberi ruang untuk memberikan penjelasan. Penutup Sebagai inti yang mendasari segala sikap dan tindakan manusia, agama mencakup aspek yang amat luas. Begitu luasnya cakupan agama hingga ia hanya bisa dijabarkan pada bidang yang dapat diamati saja. Pada titik ini, agama bisa berwujud sebagai pengalaman personal yang terkadang sulit dibahasakan. Pada tingkat personal tersebut, agama berkaitan dengan apa yang diimani secara pribadi oleh seseorang dan bagaimana kemudian ia berpengaruh pada apa yang dipikirkan, yang dirasakan, dan yang dilakukan. Intinya, agama berfungsi dalam kehidupan nyata si pelaku. Mengajak kepada jalan yang benar, sesuai dengan keyakinan agama tertentu adalah tugas pokok setiap pemeluknya. Dan ini merupakan aplikasi kesetiaan pada risalah yang dibawa agama. Namun kesetiaan itu tidak boleh sampai melahirkan klaim bahwa satu-satunya kebenaran adalah ajaran yang ia
13
anut, karena agama memang berwarna-warni, tidak terkecuali Islam. Seumpama rumah, agama memiliki banyak pintu. Karena itu, untuk masuk ke dalamnya ada banyak pilihan. Cara yang tepat untuk mengajak orang masuk ke dalam rumah keimanan itu adalah dengan kearifan atau bijaksana. Sehingga kesadaran keberagamaan yang beragam, bahkan yang ingkar sekalipun bisa berdialog. Bagi Islam, semua konsep, kaidah dan rumusan yang mengarah pada penanaman nilai moral bagi umatnya selalu merujuk kepada Alquran dan Sunah Nabi, meskipun demikian, masing-masing memiliki kekhasan yang membedakan antara satu dengan lainnya. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa semua dasar-dasar keyakinan keagamaan itu berada dalam lintasan garis kebenaran yang sama, selama etika dan tata moral menjadi landasan dalam bertindak.
1
Alquran, al-Nahl : 93 Lihat Karen Amstrong, Sejarah Tuhan. Terj. Zaimul Am. (Bandung. Mizan, 2002) 3 Zubair, Achmad Charris, tt . “Agama dan Kekerasan� Menemukan Kembali Makna Spiritualitas Manusia (Makalah Refleksi) 4 Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 959 5 Fazlur Rahman,. Major Themes (Chicago : Chicago University Press, 1989), 82. 6 Al-Dzahabi. Tt. Al-Tafsir wa al-Mufassirin. Vol. 1. Maktabah Syamilah 7 (QS al-Ma'arij ; 19-21). 8 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta : Noura Books, 2012), 27. 9 (QS, al-Maidah ; 48). 10 Al-Husna, Ahmad b. Muhammad b. Ujaibah. Iqadh al-Himam fi Syarh al-Hikam ( Jiddah, alHaramain, 1266 H ), 49 2
DAFTAR PUSTAKA Abdul A'la. 2009. Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal. Dian Rakyat. Jakarta. Al-Dzahabi. Tt. Al-Tafsir wa al-Mufassirin. Vol. 1. Maktabah Syamilah Al-Husna, Ahmad b. Muhammad b. Ujaibah. 1266 H. Iqadh al-Himam fi Syarh alHikam. Jiddah, al-Haramain. Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi. Jakarta. Paramadina.
14
Al-Sya'roni, Syaikh Abd Wahhab. 2006. Terapi Spiritual. Terj E. Kusdian. Pustaka Hidayah. Bandung. Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Tuhan. Terj. Zaimul Am. Bandung. Mizan, 2002. Bertens, Kees. 2002. Etika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Esposito, John. dkk. 2002. Dialetika Peradaban : Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20. Terj. Ahmad Syahidah. Qalam. Yogyakarta. Hidayat, Komaruddin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta. Noura Books. Imam al-Nawawi, Arbain Nawawi. E-Book by Alhukuum Fillah Majdi al-Hilali. 2009. Hancurkan Egomu. Terj. Mahfud Hidayat. Pustaka al-Kautsar. Jakarta. Russel, Betrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Rahman, Fazlur. 1989.
Major Themes. Chicago University Press.Chicago.
Shubhi, Ahmad Mahmud Tt. Falsafah Akhlaqiyah fi al-Fikri al-Islami. Daar alMa'arif. Kairo. Sayyid Quthub. 2002. Manhaj Islam Keselarasan Agama dengan Fitrah Manusia. Terj. Ahmad Wajih Fiddaraini. Madani Pustaka Hikmah. Yogyakarta. Zubair, Achmad Charrir. Tt. “Agama dan Kekerasan� Menemukan Kembali Makna Spiritualitas Manusia (Makalah Refleksi)
15