Urgensi Deradikalisasi Citra Jihad di Media dalam Upaya Mencegah Radikalisme dan Fundamentalisme Oleh : Ema Khotimah, Dra,SPd,Msi.
ABSTRAK Situasi internasional pasca tragedi pemboman WTC yang lebih dikenal dengan tragedi 11 september 2001, sangat sensitif terhadap gerakan dan kelompok yang dianggap radikal, ekstrim, apalagi yang �berbau terorisme�. Ironisnya, semua tragedi ini ditudingkan kepada kelompok Islam Garis keras sebagai pelakunya. Media massa secara simultan dari waktu ke waktu memblow-up relasi Islam dan terorisme.Bahkan, Indonesia terkena getahnya, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam inipun dikukuhkan oleh media Barat dan didukung oleh media massa nasional sebagai sarang teroris. Terlebih dengan munculnya peledakanpeledakan pasca 11 september 2001, tragedi bom Bali 12 Oktober 2002, teror bom di Kuningan Jakarta pada tahun 2003 dan 2004 yakni di Hotel JW Marriot dan Kedutaan Besar Australia. Kemudian pemboman di Mega Kuningan kembali terjadi 17 Juli tahun 2009 yang menimpa Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, teror inipun telah menjadi tragedi kemanusiaan yang tidak kalah mengenaskan dengan tragedi lainnya karena merenggut puluhan korban serta semakin mengukuhkan Indonesia sebagai sarang teroris. Dalam wacana terorisme, Islam bahkan dituduh sebagai agama yang memang menyerukan kekerasan.Islam dengan konsep Jihadnya dituduh telah mendorong lahirnya kaum radikalis yang rela mati demi agama, bahkan menghalal membunuh, membakar, merusak golongan yang dipandang tidak satu golongan dengan kelompok mereka. Kemudian, atas nama Tuhan mereka pun siap membinasakan golongan yang dianggap sebagai perusak tatanan Tuhan di muka bumi.Itulah yang kemudian melahirkan bom-bom bunuh diri di seantero dunia termasuk di Indonesia. Media pada konteks peliputan terorisme telah menciptakan ekstensi yang efektif dalam membangun ketakutan publik akibat serangan teror tersebut. Islam kemudian dicitrakan sebagai agama penuh kekerasan.Karena demikian radikalnya citra Islam dalam wacana terorisme, perlu upaya yang serius agar media dapat memfasilitasi upaya deradikalisasi citra dan makna jihad dan Islam, sehingga sosok Islam sebagai agama tidak lagi sarat bermuatan
1
kekerasan. Tetapi media mampu memblow-up perspektif jihad dalam bentuk soft power dan Islam yang bernuansa kedamaian bagi seluruh umat manusia. Kata kunci : terorisme, deradikalisasi, jihad,media I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wacana terorisme telah berlangsung dari masa ke masa, dan telah melibatkan berbagai kajian akademis setidaknya dalam pendekatan sosial, politik, Destutt
de
Tracy
sebagaimana
dan budaya.
disebutkan
Van
Namun sejak Dijk
(2003)
mengkaji ideologi dalam lapangan akademis sebagai gagasangagasan ilmiah, maka dalam berbagai lapangan ilmiah lainnya mulailah dikaji ideologi sebagai wilayah obyek penelitian yang
dapat
seperti
dianalisi
Samuel
secara
Huntington,
ideolog pendahulunya pun
empiris. Daniel
Para Pipes
ideolog dan
beberapa
mulai mendekati wacana terorisme
melalui pendekatan ideologi. Kajian Islam sebagai mulai
disejajarkan
ideologi-ideologi saat
oleh
lainnya
keberadaannya
politik , kekuasaan
Barat
mulai atau
para
ideolog
seperti
tersebut
fasisme,
dikait-kaitkan
ideologi
dan
dengan
komunisme
dengan
wacana
bahkan diskurus kekerasan dalam
gerakan terorisme. Dalam
perspektif
terorisme pun
analisis
wacana
kritis,
wacana
tidak dipandang lagi sebagai sebuah wacana
2
tunggal
(monodimensional),
berbagai
faktor
lainnya
melainkan
yang
melibatkan
membentuk
wacana
kajian
terorisme
tersebut seperti, aspek ideologi, sosial, politik, agama, yang terkait diskursus
secara langsung maupun tidak langsung dalam
itu.
Spesifik
menurut
para
pengkaji
analisis
wacana kritis berbasis kognisi sosial, bahwa wacana apapun di media massa akan melibatkan unsur-unsur yang kompleks tersebut. Tidak terkecuali tentunya dengan wacana terorisme yang
mengemuka dalam diskursus di media massa pada awal
abad
ini.
Peristiwa
fenomenal
dalam
yang
gerakan
sangat
terorisme
kontroversial adalah
gedung WTC dan Pentagon, 11 September
dan
penyerangan
2001, yang banyak
menarik minat para akademisi untuk mengkajinya tidak hanya pada
aspek
penyerangan
historis itu,
tetapi
yang
melatarbelakangi
gerakan
juga
implikasi-implikasi
sosial,
politik, ekonomi, dan budaya pasca peristiwa tersebut. Sebagai ilustrasi misalnya, September
2001,
di
media
massa
akademisi terbentuk mainstream
pasca tragedi WTC 11 dan
dalam
kajian
para
diskursus seputar gerakan
dan kelompok radikal, ekstrim, yang selalu dikaitkan dengan tokoh teroris dunia Usamah bin Laden bersama jaringan AlQaedanya, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan yang paling
menggemparkan
sepanjang
sejarah
massa kemudian secara simultan memblow-up
terorisme.
Media
relasi Islam dan
3
terorisme dari waktu ke waktu. Bahkan, 12 September 2001 , sehari setelah kejadian yang mensejarah itu, harian umum Washington Post langsung menurunkan editorial yang ditulis oleh kolumnis Charles Krauthammer dengan menyebut,”
it’s
name is radical Islam. Not Islam as practiced peacefully by millions of the faithfull around the world, but a specific fringe
political
movement,
dedicated
to
imposing
it’s
fanatical ideology on its own societies and destroying the society or its enemies, the greatest of which is the United State
(dalam
penyerangan
van
itu.
Dijk, Sejak
2003 itulah
:16),
sebagai
berita-berita
pelaku
bernuansa
Islamophobia mulai marak, baik di media massa internasional maupun di media massa nasional. Di negara-negara Barat sendiri, telah banyak dilakukan penelitian pasca penyerangan WTC, salah satunya dilakukan oleh Bashy Quraishy, Chief
Editor Media Watch dan juga
Presiden ENAR (European Network Againts Racism) bahwa pasca serangan
11
September
2001
terdapat
fakta-fakta
seperti
digambarkan berikut ini : The press and internet media material, I went trough from different countries between 12 Sept to 12 Oct 2001, I could see that the whole western media used texts, pictures and terminology which did aim at painting Islam as barbarian, fanatics and uncivilized. Recently I also made a survey of Danish media’s coverage of religions of Denmark.Over a 3 months period from 15 May to 15 August.6 National newspaper and 2 national TV channel were researched, 75% of media
4
coverage was about Islam and nearly 60% of the material was negative stories (2001 : 6). Sebenarnya, hasil riset Quraishy
ini tidak mengherankan,
mengingat
seorang Ilmuwan Amerika Serikat dari Universitas
Columbia,
Edward
kecenderungan peliputan
W.Said
bahwa
Islam
sudah
praktik dan
jauh-jauh
wacana
terorisme
di
hari
media
terdapat
menemukan
massa fakta
dalam dan
kecenderungan seperti berikut ini : Kita justru lebih sering hanya menemukan para jurnalis yang membuat pernyataan-pernyataan berlebihan, yang begitu saja dicomot dan kemudian didramatisir oleh media. Tampak dalam kerja mereka suatu konsep yang licik yang terus-menerus disinggung, yaitu “fundamentalisme�,sebuah kata yang diasosiasikan secara otomatis dengan Islam,meskipun ia juga memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat Kristen, Yahudi, dan Hindu. Asosiasi yang diciptakan dengan sengaja antara Islam dan fundamentalisme pada dasarnya adalah hal yang sama (2002 : xx). 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Faktor apa yang menyebabkan Islam selalu dikaitkan dengan terorisme? 1.2.2
Bagaimana
covering
media
terhadap
Islam
dalam
wacana terorisme? 1.2.3
Peran apa yang harus dimainkan oleh media dalam
mencegah terorisme dan radikalisme berbasis agama? II.PEMBAHASAN 2.1
Kepercayaan para pakar dan kalangan media Barat pada
konsepsi
“Clash of civilization�
5
Sebenarnya,
dari begitu banyak hasil riset terdapat
bukti, sebagaimana ditulis Bashy Quraishy dalam tulisannya tentang rasisme,
bahwa ada banyak sikap rasisme anti- Arab
dan rasisme anti-Islam yang cukup luas di Barat (Eropa dan Amerika Serikat). Begitu juga hasil riset Teun A. van Dijk, namun yang mengagetkan adalah semakin meluasnya sikap antiIslam
ini
pasca
tragedi
WTC.
Mengutip
kata-kata
Noam
Chomsky, “ini adalah semacam bentuk rasisme terakhir yang sah, sah dalam arti bahwa Anda tidak harus menyangkalnya. Namun saya tidak berpikir bahwa itu meningkat setelah 11 September” (2003 : 132), mengomentari rasisme anti-Arab dan anti-Islam
yang begitu meningkat dalam skala yang sangat
luas di kalangan masyarakat Barat. . Gambaran publik Barat tentang Islam,
banyak ditemukan
dan mulai dikonfrontatifkan dengan “Barat” sejak kenaikan harga
minyak
menurut
OPEC
Edward
di
W.
awal
Said
tahun
sebelum
1974. itu
Mengapa
“Islam
begitu?
hampir
tak
dikenal, baik dalam budaya maupun dalam media massa” (2002 :
50).
Namun
sejak
itu,
diskursus
Islam
dalam
berbagai
aspeknya mulai mewarnai media Barat. Konsep-konsep dunia Islam
mulai
terelakkan
menjadi
adalah
tema
utama,
pandangan-pandangan
namun pada
yang
tidak
diskursus
itu
didominasi oleh pemikir-pemikir kalangan liberal-kiri yang memaparkan Islam melalui
aspek kekerasan,
fanatisme, dan
6
kelalimannya selama berabad-abad seperti yang ditulis oleh Moynihan dan Tucher pada masa itu. Puncak
dari
kecenderungan
inipun
menurut
Said,
dirumuskan oleh Samuel P. Huntington, dalam sebuah artikel edisi musim semi di Foreign Affair pada tahun 1993 dengan judul “the clash of civilization?” dimana veteran pejuang ini
mengutarakan
konflik
pandangannya
pasca-Perang
tentang
Dingin
(2003
bentuk :
59).
baru
dari
Hal
ini
dinyatakannya dengan penuh keyakinan bahwa telah terjadi benturan peradaban, sembilan atau sepuluh diantaranya, dan yang
paling
Sekalipun
berbahaya
rumusan
ini
orisinal dari Huntington satu
tulisan
Bernard
bagi
dunia
menurut
Barat
Said
adalah
bukanlah
hal
Islam. yang
melainkan “perampasan” dari salah
Lewis
yang
berjudul
“The
Roots
of
Muslim Rage”, dimana Lewis mengembangkan tesis yang begitu berani, bahwa Islam (dia tidak begitu spesifik dalam hal ini). Marah terhadap modernitas itu sendiri. Uniknya, dari “omong kosong”: (meminjam kata-kata Said) Huntington yang tendensius ini sejumlah besar pembaca begitu terpengaruh oleh ide pemikiran pada artikel ini. Publik pun semakin percaya dengan argumen Huntington, terlebih
dengan
rumusan
tesisnya
saat
Huntington
mengaitkan Islam dengan konsep-konsep yang dijunjung tinggi oleh orang Barat seperti demokrasi, liberalisasi, Hak Asasi
7
Manusia.
Menurut
Huntington,
“prinsip-prinsip
demokrasi
seperti individualisme,liberlisme, konstitusionalisme, hak asasi manusia, kesetaraan,
pasar bebas dan penegakan hukum
tak bakal bisa diterima oleh selain Barat” (dalam Panuju, 2002 : 100) sehingga mudah dipahami bila sejak itu, terjadi hiper-realitas (hiper-reality) terhadap informasi Islam di media Barat banyak hal-hal positif dan potensial progresif dari dunia Islam tidak diekspose, sementara hal yang kecil ter-blow-up menjadi stigma yang besar dan mendalam. Zackary Karabell (dalam World Policy Journal, musim panas
1995)
menulis
secara
kritis
tentang
kerugian
yang
ditimbulkan oleh pemberitaan klise tentang Islam di media sebagaimana
di
kutip
Edward
Said,
Karabell
berpendapat
bahwa : Media umum katanya dengan tepat, telah dipenuhi citra-citra negatif tentang Islam, “Coba tanyakan kepada para mahasiswa dari Universitas terkemuka dari manapun apa yang mereka pikirkan ketika kata “Muslim” disebutkan. Respon mereka pastilah hal yang sama : memanggul senapan, berjenggot, teroris fanatik yang berkeras menghancurkan musuh besar, yaitu Amerika Serikat. Karabell mencatat, misalnya bahwa 20/20, sebuah program berita yang prestisius dan terkenal dari stasiun BBC, menyiarkan beberapa segmen yang membahas Islam sebagai suatu agama pembasmi yang menamai diri mereka sebagai serdadu-serdadu Tuhan; Frontline mensponsori sebuah penyelidikan untuk menegarai teroris Muslim di seluruh Dunia (dalam Said, 2002 : xxxiv).
Wacana
ini
menurut
Fatwa
telah
menempatkan
Islam
dan
khususnya “Islam politik” sebagai “kelompok fundamentalis anti
demokrasi”
(1999
:
241).
Tentu
saja,
sangat
mudah
ditebak, dengan kerangka pemikiran seperti ini, masyarakat
8
Barat kemudian mengira dan menyimpulkan bahwa memang
mengandung
muatan-muatan
kekejian
agama Islam
dan
kekerasan
sebagaimana disimpulkan dan ditulis di media-media Barat. Sehingga jalan kekerasanlah yang akan ditempuh orang Islam dalam
menyelesaikan
berbagai
persoalan
yang
dihadapinya,
dan bukan jalan negosiasi, kompromi, atau jalan-jalan lain yang sesuai dengan asas demokrasi. Meskipun
demikian,
banyak
juga
bermunculan
kontraargumen baik dikalangan ahli Barat dan Muslim sendiri yang menolak validitas logika pada argumen Golongan yang kontraargumen ini melakukan,
“Sweeping
simplifications,
menuduh Huntington telah
generalizations
simplifikasi
dunia
ini
Huntington,
tidaklah
dan
berlebih-lebihan
dinamika hubungan Islam- Barat. Padahal, kedua
Huntington ini.
sesederhana
gross terhadap
hubungan diantara yang
dipersepsikan
tetapi sebaliknya sangat kompleks dan multi-
facetted di masa lalu, apalagi masa kini” (Samsul Arifin, 2001 : 138). Simplifikasi pemikiran ini juga yang banyak berkembang di kalangan Barat melalui ulasan-ulasan media pada umumnya,
saat membahas pelaku pemboman WTC dan Bali.
Dramatisasi atas “perang” yang dikobarkan oleh pihak Islam melalui gerakan “bom bunuh diri”,
yang diklaim Barat hanya
akan dilakukan orang-orang Islam. Padahal dalam terminologi agama-agama
lainpun
sebagaimana
diungkapkan
Edward
Said,
9
terdapat
isitilah-istilah
dan ekstrimisme. Bahkan,
fundamentalisme,
radikalisme,
konsep kesyahidan juga nampaknya
bukan monopoli umat Islam sekalipun tentunya dalam konteks yang berbeda, seperti gerakan dilakukan
oleh
gerakan
“bunuh diri” yang sering
separatis
Macan
Tamil
yang
berlandaskan
agama Hindu. Mengutip kata-kata Sheikh Arif
Abdul
berkenaan
Husyan
dengan
“global
Islam-phobia”,
menurutnya,”is was wrong to tarnish Islam because of the actions
of
menodai
Islam
kebetulan
individual saat
beragama
Muslims” mengaitkan
Islam
dan
(sesuatu
yang
tindakan
Islam
itu
salah
individu sendiri
dan yang
sebagai
agama (dalam Waihenya dan Kimemia, 2002 :1). 2.2 Bias Media dalam meliput terorisme Dibalik wacana yang mengaitkan Islam dan terorisme, seakan
mengingatkan
peristiwa berbagai
kita
kembali,
kepada
serangan, mulai dari
11 September 2001
ke gedung WTC dan Pentagon di Amerika, dan bali 12 Oktober 2002,
rangkaian
peledakan di
serangan bom di Hotel JW Marriot
Jakarta 5 Agustus 2003, serta yang terbaru 17 Juli 2009 bom bunuh diri di Mega Kuningan yang menghancurkan JW Marriot dan Ritz Carlton.
Rangkaian peristiwa ini, telah menjadi
momentum media dalam mem-blow-up relasi Islam dalam wacana terorisme.
Mengapa
demikian
?
Karena
kebetulan
para
tersangka, khususnya serangan bom Bali, JW Marriot adalah
10
dan bom Mega Kuningan adalah orang Islam. Kendati belum terbukti keterlibatan orang Islam dalam serangan WCT dan Pentagon, peristiwa ini pun ditimpakan tanggung jawabnya kepada kelompok Radikal Islam, Osama Bin Laden dalam hal ini. Kembali,
kejadian-kejadian ini mengingatkan kita akan
wacana-wacana
yang sudah terbangun sebelumnya dan menjadi
mainstream di media Barat
sejak peristiwa 11 September
2001. Satu
bulan
setelah
Daniel Pipes, seorang ideolog, mulai menyebut-nyebut
pemboman
11
September
2001,
kolumnis di New York Post,
istilah “Islamism is facism” dalam
menjuluki gerakan orang-orang yang diyakini melakukan bom bunuh diri (suicide bombers) ke gedung WTC dan Pentagon (dalam Justin Raimondo, 2001 : 4). Bahkan, yang
memuat
pandangan-pandangan
disamping Islamo-facism,
Daniel
pada tulisan Pipes
itupun,
Raimondo menyebutkan sebagai “The
New Bogeyman” untuk pelaku penyerangan tersebut, ini adalah istilah khas orang-orang Amerika
yang artinya
“hantu”.
“Bogeyman” (hantu) dalam artikel yang ditulis 14 November 2001
(sebulan
pasca
serangan
WTC)
adalah
Islam
Militan
(Islamist Jihad). Pada salah satu paragraph di tulisan ini, ada satu proposisi yang mengatakan bahwa “Islam is the root of all evil in the world” (2001 : 3).
11
Sebelumnya, beberapa jam setelah serangan teroris ke gedung WTC dan Pentagon, dalam pidatonya Presiden Amerika, George W.Bush yang ditujukan kepada seluruh rakyat Amerika, disiarkan
seluruh
internasional Quraishy
yang
saluran
televisi
diceritakan
Nasional
kembali
oleh
dan Bashy
sebagai berikut :
The first caption on CNN was “America under attact”. Few days later it was changed to “America is at war” and soon after Osama bin Laden was declared as the enemy no 1, the caption in CNN reporting change to “America’s New War”. The same happened in Great Britain, where Tony Blair as a true and faithful supporter of USA, declared war againts fundamentalism. He Said “ “This attack on USA is an attack on our civilization our democratic values and our way of life (2001 : 1). William Taylor, petinggi militer di Amerika bahkan ketika
diwawancarai
oleh
CNN,
16
September
2001,
secara
terang-terangan menyebut, “There is no concrete proof as to who has done this but I think there is a great possibility that limitant Muslim are involved in this”. (Quraishy, 2001 : 2). Sejak itu, pelan tapi pasti, mulai
memfokuskan
serangan
itu.
keterlibatan
Berita-berita
di
Islam
semua agenda media dalam
televisi,
mendiskusikan artikel
surat
kabar, siaran radio dan saluran internet “dibanjiri” isuisu
seputar
Islam,
fundamentalisme,
fundamentalis,
12
terorisme,
Muslim
Militan,
Osama
teroris Muslim, terorisme Islamis, Bahkan,
Bin
Laden,
kelompok
kerap bermunculan.
yang lebih ekstrim lagi, 12 September 2001,
sehari setelah serangan yang mematikan itu, Washington Post menurunkan sebuah tulisan yang ditulis kolumnis konservatif Charles
Krauthammer
Radikal”
yang
dengan
bertanggung
gamblang
jawab
atas
menyebut serangan
(dalam Van Dijk, 2003 : 14). Kendati tentu terdapat bukti saat itu,
“Islam tersebut
saja, belum
bahkan sampai saat ini bahwa Al
Qaeda lah yang melakukan serangan itu. Di masa silam pun, hal
seperti
ini
terjadi,
sehari
setelah
pemboman
gedung
federal Alfred P. Murrah di Oklahoma City 19 April 1995, media Barat langsung mengambil kesimpulan serupa, seperti yang
dilakukan
oleh
CBS
yang
serta
merta
menayangkan
anggota kongres Dave Mc.Durdy dengan pernyataannya,” very clear
evidence
of
the
involvement
of
“fundamentalist
Islamic terrorist groups” (New York Time, 20 April 1995) dalam
Deflem
bertanggung kemudian,
(1995), jawab
Amerika
untuk
atas
menyatakan
serangan
melakukan
pihak
tersebut.
serangan-serangan
yang
Sehingga represif
dengan menangkapi tokoh gerakan Islam Hammas (Harakah –alMuqawwanah terhadap kekejaman
al-Islamiyah), warga
Muslim
pemboman
itu.
juga
meningkatkan
Palestina, Meski
sebagai
kemudian,
aksi
teror
balasan
atas
pihak
Amerika
13
Serikat harus menanggung malu atas kecerobohan dan tudingan yang
tidak
berdasar
tersebut,
karena
terbukti
di
pengadilan bahwa pelaku pemboman tersebut adalah seorang mantan
marinir
Timothy
yang
pernah
ikut
Perang
Teluk,
bernama
McVeigh.
Wacana-wacana
serupa
pun
muncul
di
media
massa
internasional, dan nasional setelah peledakan di Bali 12 Oktober
2002.
penulis,
ahli
Hal
ini
dituturkan
tentang
oleh
Indonesia
dari
salah
seorang
University
of
Auckland, Tim Behrend, bahwa : Then come the horrific Kuta night-club bombing on 12 Oktober. With it’s 2002, mostly western and caucasion fatalities, Ba’asyir was instantly and shrilly fingered by those same govern -ments as the probable Indonesian point man for the attack. An-Al-Qaidah link was assumed and vigorously asserted. Numerous “experts” and commentators on security and terorism – few of them either Indonesian or professional Indonesianists concurred on these clams, which loudly reverberated through the mass media (2003 : 1). Bahkan peledakan pengarang
menurut
itu,
Behrend,
seorang
buku
hanya
akademisi
“Al-Qaidah’s
dua
Amerika
tentacles
hari
setelah
Zachary
Abuza,
of
terror
in
Southeast Asia” yang diwawancarai bersama dua orang dari Departemen Dalam Negeri Amerika oleh PBS program “The News Hour With Jim Lehre”, ketiganya dengan suara bulat menunjuk jamaah Islamiyah (Al-Qaidah) terlibat. Dalam penelaahannya yang
juga
banyak
dimuat
di
“The
New
Zealand
Herald”,
Behrend juga mengulas lebih jauh bahwa : 14
Outside Indonesia, the international media are as convinced now as in the days after the blast that Ba’asyir, Jemaah Islamiyah, and Al-Qaidah are linked to the Bali Bombings.The word “alleged” and “suspected” do not qualify assertions of Ba’asyir putative ties to Jl in most coverage, Expert on the international lecture circuit and televise, broadcast continue to expond on Ba’asyir politics and religion religions teaching, thought few evince efidence of having first hand acces to the sermons and writing in which Ba’asyir has widely expressed his views; fewer still have the language and cultural skill required to analyse these materials, ever should they be in available in the CNN library (2003 : 2). Puncak kebulatan opini pun terbentuk ketika Ba’asyir pada
tanggal
28
Oktober
2002
ditangkap
di
bangsal
kediamannya saat dirawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Solo. Media massa Indonesia pun dari hari ke hari mulai “semarak” seputar
dengan
Islam,
wacana
pemikiran
fundamentalisme,
yang
diwarnai
radikalisme,
isu-isu
terorisme,
bahkan secara meyakinkan menyebut Jamaah Islmiayah dan Abu Bakar
Ba’asyir
berada
dibalik
serangan
itu
sebagaimana
halnya wacana hegemonik yang diusung media Barat,
pasca
pemboman WTC dan Pentagon 11 Sepetember 2001. Namun yang pasti,
dari beberapa data yang dipaparkan
tersebut, nampak bahwa bias-bias ideologis dan prasangka agama begitu mewarnai diskursus terorisme di media massa. Bahkan, wacana tunggal pun terbangun atas radikalisme dan terorisme, lain
yang
ada
di
balik
relasi
Islam,
seakan tidak ada kemungkinan peristiwa
peledakan-peledakan
15
tersebut. Menurut Edward W. Said, dalam bukunya “Covering Islam”, dikursus yang padat bermuatan prasangka agama dan bias ideologis seperti ini, terutama di media massa Barat berlangsung cukup lama, menurutnya : Kita justru lebih sering hanya menemukan para jurnalis yang membuat pernyataan-pernyataan berlebihan yang begitu saja dicomot dan kemudian didramatisir oleh media. Tampak dalam kerja mereka suatu konsep licik yang terus-menerus disinggung, yaitu “Fundamentalisme”, sebuah kata yang diasosiasikan secara otomatis dengan Islam, meskipun ia juga memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat Kristen, Yahudi, dan Hindu. Asosiasi yang diciptakan dengan sengaja antara Islam dan fundamentalisme pada dasarnya adalah hal yang sama (2002 : xx). Zackary Karabell (dalam World Policy Journal, musim panas
1995)
menulis
secara
kritis
tentang
kerugian
yang
ditimbulkan oleh pemberitaan klise tentang Islam di media sebagaimana
di
kutip
Edward
Said,
Karabell
berpendapat
bahwa : Media umum katanya dengan tepat, telah dipenuhi citracitra negatif tentang Islam, “Coba tanyakan kepada para mahasiswa dari Universitas terkemuka dari manapun apa yang mereka pikirkan ketika kata “Muslim” disebutkan. Respon mereka pastilah hal yang sama : memanggul senapan, berjenggot, teroris fanatik yang berkeras menghancurkan musuh besar, yaitu Amerika Serikat. Karabell mencatat, misalnya bahwa 20/20, sebuah program berita yang prestisius dan terkenal dari stasiun BBC, menyiarkan beberapa segmen yang membahas Islam sebagai suatu agama pembasmi yang menamai diri mereka sebagai serdadu-serdadu Tuhan; Frontline mensponsori sebuah penyelidikan untuk menegarai teroris Muslim di seluruh Dunia (dalam Said, 2002 : xxxiv).
16
Wacana
ini
menurut
Fatwa
telah
menempatkan
Islam
dan
khususnya “Islam politik” sebagai “kelompok fundamentalis anti
demokrasi”
(1999
:
241).
Tentu
saja,
sangat
mudah
ditebak, dengan kerangka pemikiran seperti ini, masyarakat Barat kemudian mengira dan menyimpulkan bahwa memang
mengandung
muatan-muatan
kekejian
agama Islam
dan
kekerasan
sebagaimana disimpulkan dan ditulis di media-media Barat. Sehingga jalan kekerasanlah yang akan ditempuh orang Islam dalam
menyelesaikan
berbagai
persoalan
yang
dihadapinya,
dan bukan jalan negosiasi, kompromi, atau jalan-jalan lain yang sesuai dengan asas demokrasi. Kemudian, ketika kalangan perumus kebijakan nasional Amerika
di
Washington
menyimpulkan
Islam
“is
a
violent
ideology” yang lebih berbahaya daripada ideologi komunis pasca runtuhnya imperium Uni Soviet pada tahun 1989 (dalam Maulani, 2002 : 13), ini bahkan
praanggapan
model mental para jurnalis dalam membahas realitas
Islam, apalagi Bahkan,
tentu saja dijadikan
bila dikaitkan dengan fenomena terorisme.
pada konteks tertentu telah menjadi “kepercayaan
terekspresikan dan menjadi pandangan ekstrim sebagian kecil kolumnis bagian
konservatif integral
ditransformasikan
di
dari dalam
Amerika
Serikat,
ideologi kebijakan
tetapi
dominan kongkrit,
yang
menjadi akan
dimana
AS
kemudian melakukan penyerangan ke Afghanistan (Van Dijk,
17
2003
:
8).
Ini
merujuk
pada
tulisan
seorang
kolumnis
konservatif Amerika, Charles Krauthammer sehari setelah 11 September
2001
Washington tepatnya
(Tragedi
Post,
WTC)
Krauthammer
organisasi
Osama
bin
dalam
tulisan
menyebut Laden
yang
Islam
yang
dimuat
Radikal,
bermarkas
di
Afganistan bertanggung jawab atas serangan itu. Pada
tulisan
tersebut,
Van
Dijk
(2003)
juga
mencermati bahwa Krauthammer menggunakan fakta-fakta yang hiperbolis
yang
digunakan
untuk
mendeskripsikan
pihak
musuh, seperti dengan menyebut, “siapa pelatih kader bunuh diri yang fanatis lainnya, yang
menyambut kematian mereka
dengan penuh suka cita?� ( 2003 : 13). Ini adalah ungkapanungkapan yang penuh prasangka agama sebagaimana keyakinan umum di Barat bahwa,� in the fantasy ideology of radical Islam, suicide is not a means to an end but an end in it self.
Seen through the distorting prism of radical Islam,
the act of suicide is transformed into that of martyrdrommartydrom in all its transcendent glory and accompanied by the that religious panoply of magical powers tradition has always
assigned
to
martyrdom
Padalah konsep kesyahidan konsep
yang
umum,
tidak
(Lee
Harris,
2003
:
14).
(martyrdom) dalam Islam adalah hanya
dianut
oleh
mereka
yang
menyebut atau disebut kelompok Islam Radikal.
18
Penggunaan
bahasa-bahasa
dalam mendeskripsikan Islam,
yang
bombatis
dan
hiperbol
seakan hal biasa dalam kamus
pers Barat, kata-kata seperti, “jiwa-jiwa binatang”,
salah
satu istilah yang muncul dalam tulisan Krauthammer , atau istilah
“Great
Satan
evildors”
dalam
tulisan
Lee
Harris
digunakan untuk menyebut kelompok Islam radikal yang selalu diasosiasikan sangat
mudah
dengan
organisasi
ditebak,
begitu
Al-Qaeda.
Ba’asyir
Tentu
sempat
saja,
dijadikan
tersangka pada kasus peledakan di Bali dan kepemimpinannya atas
jaringan
logika
yang
teroris
sama
“menyeramkan”, Islamiyah,
juga
dan
Bias-bias
Muslim
muatan-muatan Islamophobia
ini berita
sebagai
Jamaah
melalui
menggambarkan Indonesia
Islamiyah,
kata-kata
Ba’asyir, di
media
yang
Jamaah
Barat
dan
pasca peledakan bom di Bali.
ideologis
agama
Tenggara
digunakan
dalam
sebagian media Nasional
prasangka
Asia
(anti
pada
Islam
gilirannya
yang bentuk
Radikal) juga
bernada rasisme
dan
menciptakan
Islamophobia. begitu
“subur”
mengambil posisi dalam pemberitaan juga di media nasional, majalah
berita
Tempo
edisi
28
Oktober-2
November
2003
misalnya menulis : Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa Jamaah Islamiyah bukanlah kelompok yang homogen, keragamannya begitu luas dan bagian yang boleh disebut bersemangat teroris sangatlah minoritas jumlahnya. Karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya tidak mendukung dimasukkannya
19
Jamaah Islamiyah ke dalam daftar teroris dunia sesederhana seperti yang dilakukan saat ini. Sebagai negara dengan komunitas Islam terbesar di dunia, pemerintah Indonesia seharusnya menyumbangkan definisi yang terinci tentang kelompok Jamaah Islamiyah seperti apa yang patut digolongkan sebagai teroris internasional (dalam Ruhyanto, 2002 : 45). Tulisan
ini
keberadaan yang
jelas
teroris
tergolong
sekali di
begitu
Indonesia
Jamaah
“bersemangat�
dan
Islamiyah
itu
tertentu
mengakui
adalah
kelompok
yang
memiliki
semangat terorisme. Kesimpulan yang dirumuskan penulisnya setelah memaparkan sikap-sikap revolusioner sebagian Santri Pondok Pesantren Ngruki, jelas bernada Islamophobia, bahwa memang benar di antara mereka ada yang bersemangat teroris dan sehingga hanya perlu dipertegas dan dipersempit lagi, Jamaah Islamiyah yang termasuk teroris di antara mereka. Sekali
lagi,
kesimpulan,
tulisan
sementara
ini
cukup
benar
“gegabah�
tidaknya
Jamaah
mengambil Islamiyah
terlibat dalam kasus-kasus peledakan masih harus dibuktikan di pengadilan. Sebab, menurut rumusan Courtesy of Virginia Commenwealth
University
(2003)
,
tujuh
pelanggaran
atas
obyektivitas media yang menyebabkan bias itu adalah , (1) Definisi dan terminologi yang
tidak
seimbang,
yang (3)
menyesatkan, (2) Pelaporan
Opini-opini
tersembunyi
yang
dianggap sebagai berita, (4) Ketidaktepatan konteks, (5) Kelalaian
menyeleksi
,
(6)
Menggunakan
fakat-fakta
yang
20
benar untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat, (7) Distorsi fakta-fakta. Pada konteks ini, media massa secara sadar atau tidak sadar mengesankan tindakan radikal yang dilakukan beberapa orang
yang
kebetulan
beragama
Islam
sebagai
radikalisme
Islam itu sendiri sebagai agama. Gugatan bahwa muatan media massa yang terjebak dalam propaganda pers Barat yang bias ideologis Adian
dan
penuh
Husaini,
prasangka
Harian
Umum
agama Kompas
pun
diutarakan
dalam
salah
oleh satu
tajuknya, juga sudah terjebak ke dalam propaganda terorisme oleh
AS,
dengan
“mengamini”
begitu
saja
ungkapan
para
pejabat AS, bahwa tragedi 11 September 2001 adalah suatu serangan
teroris
dan
bukan
merupakan
hasil
“konspirasi”
unsur-unsur di dalam negeri AS sendiri (dalam Kompas, 11 Juli 2002 : 5). Gugatan
atas
ketimpangan
informasi
media
terhadap
Islam pun dilakukan oleh Jan Abid Ullah, dalam tulisannya berjudul,”Bias Upon Bias Upon Bias”, Jan mengemukakan bahwa : Nyaris semua halaman depan media Barat bermuatan bias anti-Islam, dan bias ini secara sederhana dibuktikan melalui kontroversi kepercayaan-kepercayaan Islam dan masyarakatnya. Para analis politik Amerika sempurna sekali secara kolektif mengabaikan fakta-fakta, saat dengan suara bulat menentang kebenaran normatif dan standar pendekatan mereka dalam membuktikan Islam sebagai musuh bagi pihak Barat. Kesempurnaan atas kebohongan mereka tampak pada fakta bahwa mereka
21
memperoleh informasi-informasi tentang Islam tanpa membaca buku atau artikel secara menyeluruh, melainkan hanya dengan membaca headlines-headlinesnya saja. Hal ini tampak juga pada pidato-pidato mereka, dimana kebohongan secara ekonomis dilakukan melalui kata-kata untuk mendiskreditkan orang Islam dan agama mereka, yang secara gemilang seperi dilakukan pada masa sekarang ini. Dan merupakan tragedy sepanjang sejarah kemanusiaan ( disarikan dari tulisan Jan Abid Ullah, 2002 :1) Semangat prasangka
agama
berlangsung ideolog anti-
Muslim,
dan
inipun
lama
yang
Interest�
anti-Islam
di
menurut menulis
ulasan-ulasan
menurut
Barat. Said
Edward
Tahun
merupakan
artikel
yang
1995 salah
dimuat
yang
penuh
Said
sudah
Daniel
Pipes,
seorang “The
yang
National
dengan judul There are No Moderates : Dealing
with Fundamentalist Islam, menulis : Meskipun Islam fundamentalis berbeda seluk beluknya dengan ideologi-ideologi utopian lainnya ia sangat mirip dengan mereka dalam hal jangkauan dan ambisi. Seperti halnya komunisme dan fasisme, Islam menawarkan ideologi baris depan ; suatu susunan rencana lengkap untuk memperbaiki kualitas manusia baru dan menciptakan suatu mayarakat baru: kendali sepenuhnya atas masyarakat tersebut; dan pembinaan kader-kader yang siap, dan bahkan sangat ingin, untuk menumpahkan darah (2002 : xxiii). Idiom-idiom bernada kekerasan pun begitu melekat di media
Barat
saat
membahas
tragedi
WTC
dengan
korban
terbesar dan tragedi bom Bali dengan korban kedua terbesar pada
abad
ini.
Pelaku
serangan
paling
keji
sepanjang
sejarah terorisme ini semuanya ditimpakan kepada kalangan Islam.
Para jurnalis,
penulis ahli di media massa pun
22
sering mencampuradukan antara pengetahuan, fakta, dan opini ideologisnya dalam mengulas dan mendefinisikan terorisme. Hal ini menurut Deddy Mulyana tidak aneh mengingat, “lewat narasinya, tertentu siap
surat
mengenai
penjahat;
rakyat;
apa
kabar
menawarkan
kehidupan
manusia,
apa
yang
dilakukan
seorang
perjuangan
(demi
yang
layak
baik dan
apa
pemimpin, membela
dan
definisi-definisi siapa
apa
yang
tindakan
kebenaran
pahlawan
yang tidak apa
dan
dan
buruk layak
yang
bagi untuk
disebut
keadilan)
dan
pemberontakan atau terorisme (dalam Eriyanto, 2002 : x). Meskipun demikian, media berada
adalah di
hal
ruang
yang
menurut Althusser wajar
hampa.
terjadi
Menurutnya,
bias berita di
karena
media
tidak
“media
sesungguhnya
berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (dalam Sobur, 2001 : 30). Sehingga kandungan
unsur bias
dalam media merupakan hal yang tidak dapat dihindari media,
oleh
meski derajatnya berbeda-beda. Artinya ada media
dengan derajat bias yang rendah sehingga cenderung obyektif namun ada juga media dengan derajat bias yang amat tinggi, sehingga menurut Al-Zastrouw, “berita dan analisis disajikan
justru
berbeda
jauh
atau
bahkan
yang
berseberangan
dengan fakta sebenarnya (dalam Sobur, 2002 : 35).
23
Bias Ideologis (Anti-Islam radikal), bahkan anti Islam secara
keseluruhan
sudah
begitu
“kental”
saat
wacana
terorisme mengemuka di media massa. Tingginya derajat bias media inipun sudah berlangsung lama dalam agenda media pada diskursus
terorisme.
Stigmatisasi
agama bahkan sudah terjadi
terhadap
Islam
sebagai
sejak polemik kebudayaan tahun
1935-an dan terus berlanjut, baik secara sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan.
Melalui
publikasi
informasi
yang
dikuasai Barat, citra negatif agama Islam dan masyarakat penganutnya
diblow-up
terus-menerus,
“Islam
digambarkan
sebagai agama yang mendorong terorisme, Islam digambarkan sebagai
agama
digambarkan
yang
menganjurkan
sebagai
agama
cara
yang
kekerasan,
mementingkan
Islam akhirat
sehingga tidak peduli pada persoalan duniawi” (Panuju, 2002 :
100).
Sebagaimana
digambarkan
oleh
Daniel
pipes,
atau
faktor
yang
konsep kesyahidan yang dibahas versi Lee Harris. Menurut
Ahmad
Shafaat
(1986),
ada
dua
cukup unik yang menyebabkan begitu “kentalnya” muatan media yang bias terhadap Islam dan Muslim. Dua Faktor tersebut adalah : 1. Islam Timur Tengah digambarkan pihak
Kristen
Eropa
dalam
hal
sebagai tantangan bagi Sains,
Kekuasaan,
dan
Budaya. Tetapi ironisnya, sekalipun di dalam ketiga aspek tersebut
pihak Barat sudah jauh menandingi Dunia Islam,
24
faktanya masih banyak juga posisi Islam di Timur Tengah ini menimbulkan kebencian di pihak Barat. Juga kenyataan betapa kuatnya sikap prasangka agama berkembang dan itu banyak ditampilkan melalui media yang menyerang Islam dan Muslim. 2. Kenyataan
lain
adalah
konflik
berkepanjangan
antara
Israel dan Palestina, dan kenyataan bahwa tanah Palestina menjadi bagian dari Arab dan Dunia Muslim, menyebabkan berbagai
kalangan
yang
memiliki
kepentingan
atas
Palestina, menggunakan kekuatan media untuk menggambarkan citra
negatif
atas
Islam dan
kehidupan
Umat
Islam
di
Barat. (disarikan dari tulisan Shafaat Ahmad, 1986 : 2) 2.3
Urgensi Deradikalisasi citra jihad dan Islam di media Terorisme
lazimnya
dapat
terorisme
dilakukan
dilakukan
oleh
oleh
perorangan,
suatu
kelompok
tetapi secara
bersamaan.Oleh karena itu, terorisme termasuk dalam bentuk kekerasan kolektif ( Santoso, 2002 : 16). Menurut Santoso, terorisme sesungguhnya merupakan topik yang sangat sulit dikaji dari segi netralitas nilai.Istilah terorisme sendiri mengandung suatu penilaian, yang dalam riset ilmu sosial dan media massa dimaksudkan dengan segala bentuk kekerasan yang terinspirasi secara politik yang dilakukan oleh sumber tidak
resmi
tertentu.Riset
unsur
penting
terorisme,
juga yang
telah
menunjukkan
membuatnya
menjadi
bahwa suatu
25
strategi tertentu adalah efektivitasnya dalam menimbulkan ketakutan bahkan terhadap mereka yang secara tidak langsung menjadi obyek serangan teroris. lazim terjadi bahwa media berita memberikan liputan live
tentang
serangan
dieksploitasi
kelompok
teroris, teroris,
suatu karena
kebijakan perhatian
yang publik
selalu menjadi hal yang vital bagi tujuan mereka. Semakin ekstrim suatu tindak kekerasan, sakit yang terasa semakin besar, semakin besar perhatian dan semakin besar ketakutan yang dirasakan langsung, semakin efektif rasa teror yang menjadi tujuan terorisme.Namun, media massa hanya membuat terorisme
menjadi
lebih
efektif;
media
massa
tidak
menciptakan terorisme. Terorisme akan berhasil bila publik mampu mempelajari tindakan sebagai syarat suatu teror dan merasa terancam dan terteror oleh tindakan tersebut. Para peneliti akhirnya semakin sadar bahwa kemungkinan teroris telah meningkat secara signifikan melalui ekstensi media
massa,
karena
pada
dasarnya
efektivitas
terorisme
terletak pada ketakutan publik yang disebarluaskan.Liputan media
memperluas
mereka
sebagai
pandangan
potensial
publik
terorisme
yang
menganggap
sehingga
diri
meningkatkan
jumlah ancaman potensial (Santoso, 2002 : 19). Sementara adalah,�gerakan
itu, keagamaan
jika yang
radikalisme berusaha
keagamaan
merombak
secara
26
total suatu tatanan politis atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan” (Sartono dalam Fananie dkk, 2002
:
01).Maka,
terminologi
radikalisme
senantiasa
dikaitkan dengan pertentangan secara tajam antara nilainilai
yang
dengan
diperjuangkan
tatanan
radikalisme Padahal,
nilai
selalu
oleh yang
kelompok berlaku
dikonotasikan
radikalisme
dapat
saat
dengan
bersifat
agama
tertentu itu.Konsep
kekerasan
fisik.
ideologis,perilaku,
atau tujuan-tujuan tertentu yang diperjuangkan. Agak senada dengan radikalis adalah kaum fundamentalis yang oleh Henry Manson
dikategorikan
keduniaan
bahwa
memperjuangkan
sebagai,”orang-orang
mereka
kebaikan
memilik secara
pihak
yang
bervisi
Tuhan
terus-menerus
dan
dalam tanpa
henti melawan keburukan (syetan)”(dalam Antoun, 2003 : 24). Ada
tiga
tipe
fundamentalisme,
(1)
tradisionalistik
(2)
utama (mainstream), (3)ideologis radikal. Islam pengertian
yang
ditarik
ekstremisme,
kaum
fundamentalis
radikalisme,
terorisme
ke
dalam
jelas
tak
memiliki pijakan yang kuat dari sumber-sumber suci ajaran Islam
(Nu’ad,
terorisme suatu
2009
terhadap
kesimpulan
:
4).Mengartikan
Barat’ yang
berarti
tidak
dapat
Jihad
’melakukan
aksi
misalnya,
jelas
dipertanggungjawabkan
karena hal itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang mencintai persahabatan, perdamaian dan jalan dialog.
27
Menurut dijelaskan
Fananie secara
dkk
(2002),
ilmiah
meskipun
fenomena
belum
merebaknya
dapat
kelompok
radikal keagamaan di Indonesia, terutama dalam tubuh umat Islam,
namun
dapat
diprediksi
bahwa
munculnya
berbagai
kelompok tersebut tidak terlepas dari transparansi politik, percepatan
informasi,demoralisasi
ketakberdayaan
hukum
reformasi.Selama
ini
melibatkan
Islam
umat
dan
pranata
dalam
elit sosial,
hubungan
telah
terjadi
sosial
politik, dan
euforia
budaya
pemasungan
yang
terhadap
potensi, aspirasi dan keberdayaannya. Jika dalam covering terorisme di media, Islam telah digambarkan sebagai agama yang identik dengan kekerasan, agama
yang
mendorong
terorisme,dan
digambarkan
sebagai
agama yang mementingkan akhirat sehingga tidak peduli pada persoalan
duniawi.
Kemudian
orang
kader bunuh diri yang fanatis,
Islam
yang
dituduh
sebagai
menyambut kematian
dengan penuh suka cita.Maka perlu upaya yang serius dari kalangan
Islam
untuk
mengkosntruk
dengan tampilan yang berbeda
citra
Islam
dan
Jihad
dengan yang selama ini di
blow-up oleh media. Pada Marriot pelaku
tanggal
dan
Ritz
peledakan
18
Juli
Carlton, tersebut.
2009,
pasca
ulama Tak
di
peledakan Indonesia
kurang,KH
Ma’ruf
bom
JW
mengecam Amin,KH
Hasyim Muzadi,Hj. Tuti Alawiyah,KH.Amidan. KH, Shalahuddin
28
Wahid,Hidayat Syamsuddin
Nur
Wahid,
sebagaimana
Muslimin
dikitup
Nasution,
harian
umum
dan
Din
Republika
sepakat menyebut ”terorisme bukan Jihad”. Bahkan, semuanya sepakat bahwa agama Islam tida ajarkan kekerasan seperti yang dilakukan oleh pelaku bom bunuh diri di Mega Kuningan tersebut. Selama
ini
memang
terminologi
Jihad
selalu
diinterpretasikan sebagai perang suci. Implikasinya adalah bahwa tindakan membunuh, menyiksa, merusak, membakar dan menjarah yang dimiliki oleh orang yang tidak satu golongan atau di luar kelompok agamanya sebagai perbuatan di jalan Tuhan. Persoalan radikalisme keagamaan akan mencakup persoalan yang cukup kompleks karena hal tersebut mencakup berbagai dimensi kehidupan seperti keyakinan,interpretasi ajaran,hubungan personal, dan kemasyarakatan.Hal tersebut juga akan berkait dengan pendidikan umat, lingkungan sosial,tradisi budaya, keimanan, dan pemahaman terhadap setiap perubahan. Dengan kata lain, persoalan radikalisme keagamaan akan berdimensi vertikal dan horizontal. Kenyataan ini barangkali yang kemudian melahirkan berbagai macam kelompok radikal keagamaan seperti Laskar Jihad, Jundullah, Majlis Ta’lim Al-Ishlah, dan sebagainya ( Fananie dkk, 2002 : 03). Sesungguhnya dalam agama Islam menurut Nasaruddin Umar salah
seorang
Guru
Besar
UIN,
Rektor
Institut
PTIQ
Jakarta,”Jihad adalah sesuatu yang mulia dan luhur”. (dalam Republika, 18 juli,2009 : 7). Jihad berasal bahasa Arab
29
dari akar kata jahada, yang artinya bersungguh-sungguh. Ada tiga kata kunci dalam akar kata tersebut yakni: Jihad (perjuangan dengan fisik),ijtihad(perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani),Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad maupun mujahadah. Jihad Rasululah lebih mengedepankan pendekatan soft power.Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi.Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir.Kalau terpaksa harus melalui perang terbuka,Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak membunuh anak-anak dan perempuan,tidak merusak tanaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh. (Umar dalam Republika 18 Juli 2009 : 7) Kemuliaan Rasul
pernah
Jihad
tidak
menyatakan
perlu
diragukan
bahwa,�Goresan
lagi.
tinta
pena
Bahkan ulama
lebih mulia daripada pecikan darah ulama�. Menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain menurut Nasaruddin Umar termasuk cabang dari jihad. Inilah yang bukti bahwa jihad dalam konteks Islam bersifat soft power,
bukan
sebagaimana
dituduhkan
media
terhadap
keyakinan jihad pada umat Islam, dan bukan sebagaimana yang dipraktekan oleh teroris yang melakukan aksi terorisme atas nama agama Islam. Oleh karena itu, jika covering makna jihad di media selama
ini
cenderung
diidentikkan
dengan
kekerasan,
radikalisme dan fundamentalisme, maka media perlu melakukan deradikalisasi
(meminjam
istilah
dari
Nasaruddin
Umar)
makna jihad dan Islam melalui informasi jihad yang lebih kepada muatan-muatan soft power dari umat Islam. Sebab, �
30
jihad tidak identik dengan darah dan kematian.Jihad lebih dekat
kepada
kehidupan
daripada
kematian.
Persepsi
masyarakat internasional yang mengkonotasikan jihad dengan aksi-aksi
kekerasan,
keliru.Disinilah
perlu
teror
dan
bunuh-bunuhan
deradikalisasi
pemahaman
jelas
jihad
di
dalam masyarakat� (Umar dalam Republika,18 Juli 2009 : 7). Peran media dalam upaya deradikalisasi makna Jihad dan Islam
sangat
strategis.
Jika
dalam
memblow-up
terorisme
media melakukan ekstensi yang menguntungkan bagi aksi-aksi teror
mereka.
memerangi
Dengan
terorisme
logika
media
yang
justru
sama,
harus
dalam
rangka
dijadikan
sarana
bagi umat Islam untuk memberikan advokasi dalam mengubah citra jihad dan Islam berwajah penuh kekerasan kepada Islam yang
menjadi
rahmat
bagi
semua
manusia
dan
penuh
perdamaian. III.KESIMPULAN 3.1
Faktor
dengan
yang
terorisme,
menyebabkan salah
Islam
satunya
senantiasa
adalah
dikaitkan
kepercayaan
pakar dan kalangan media Barat pada konsepsi
para
“Clash of
civilization� . Islam dipandang sebagai sama berbahayanya bagi dunia Barat sebagaimana hal nya fasisme. 3.2
Media
terorisme.
kerap Para
melakukan Jurnalis
bias sering
Islam
dalam
melakukan
peliputan
generalisasi
31
dalam
membuat
kesimpulan-kesimpulan
tentang
siapa
pelaku
teror bom. 3.3
Diperlukan
mempresentasikan
upaya
mendekontruksi
jihad
dan
Islam
muatan
dalam
media
wajah
yang
yang penuh
muatan kekerasan. Umat Islam melalui media perlu melakukan counter informasi untuk meluruskan makna jihad dan Islam yang
penuh
dengan
muatan
soft
power
dan
penuh
nuansa
perdamaian.
DAFTAR PUSTAKA
ABC
News
Antoun Arifin
Orline, Jl. a prime terror suspect, edisi 14 Oktober 2002. Richard, 2003, Memahami Fundamentalisme: Gerakan Islam, Kristen, Yahudi, Pustaka Eureka, Surabaya Samsul,
2001.
Teroris
Serang
Islam:
Babak
Baru
Benturan Barat Islam, Bandung, Pustaka Hidayah. BBC
News,
Indonesia’s Muslim Militants, edisi 8 Agustus 2002.http//www.bbc.net.au/file??D.BBC%20NEWS29%em e.htm
Behrend Tim, 2003, Reading Past The Myth : Public Teaching of Abu Bakar Ba’asyir, New Zaeland Herald, 11 February 2003. Courtesy of Virginia Commenwealth University, 2003, What is Bias ?, http:// www. Courtesy of aish.com Deflem Mathieu, 1995, The Globalization of Heartland Terror: International Dimensions of the Oklahoma City Bombing. http: // www.cla.cs.edu /socy /faculty /deflem /zokla.htm.
32
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKIS. Eriyanto, 2002, Analisis Framing : konstruksi Ideologi dan Politik Media, Yogyakarta, LKIS. Fafanie Zainuddin dkk, 2002, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, Surakarta, Muhammadiyah University Press. Fatwa AM, dkk, 1999, Politik Demi Tuhan : Nasionalisme Religius di Indonesia , Bandung Pustaka Hidayah Harris Lee, 2003, Al-Qaeda’s Fantasy Ideology,http:// www. policy review.org/AUG02/Harrisprint.html. Husaini Adian, 2002, Doktrin Ofensif AS, Gejala Paranoid, Kompas, 11 Juli 2002, hal 15.
Kompas, Edisi 27 September 2003, Penahanan Empat Tersangka Aksi Teror Ditangguhkan : Dubes Australia ; Islam bukan Teroris Maulani, Sihbudi, Djaelani, Akaha, dkk, 2002, Terorisme dan konspirasi Anti-Islam, Jakarta, Pustaka AlKautsar. Noam Chomsky, 2003, Power and Terror : Perbincangan Pasca Tragedi WTC 11 September 2001 : Menguak Terorisme Amerika Serikat di Dunia, Yogyakarta, IKON. Nu’ad Ismatillah,2009, Bom dan Isu Terorisme, dalam harian Umum Republika, edisi 18 Juli 2009 halaman 4. Panuju Redi, 2002 , Relasi kuasa : Pertarungan Memenangkan Opini Publik dan Peran dalam Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Quraishy Bashy, 2001, Islam in the Western Media ; Lecture given at the European Multicultural Media Conference, Turku, Finland, 11-14 Oktober 2001. Raimondo Justin, 2001, “Islamo-facism” the new Bogeyman : Daniel Pipes and the new inquisition, http://www.Antiwar.com/behind the headline
33
Ruhyanto Arie, 2002, Abu Bakar Ba’asyir Melawan Amerika : Buku Pertama yang mengupas sosok dan Sepak Terjang “Sang Imam” Yogyakarta, Galah. Said Edward W., 2002, Covering Islam : Bagaimana Media dan Pakar Menetukan cara pandang kita terhadap dunia, Yogyakarta, Jendela. Santoso Thomas, 2002, Teori-teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta Shafaat Ahmad, 1986, Western Media’s Bias : We are not helpless against it, http:// www.themodern religion. com/assault/media bias.html Sobur Alex, 2001, Analisis Teks Media ; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung, Remaja Rosda Karya. Umar Nasaruddin, 2009, Terorisme dan Mainstream Muslim, Harian Umum Republika edisi 17 18 Juli 2009. Van Dijk, Teun A, 2003, ideology and Discourse : A Multidiciplinary Introduction, internet course for Oberta de Catalunya (VOC), ariel, Barcelona. Van Dijk Teun A, 2003, Wacana Pengetahuan dan Ideologi : Reformulasi Persoalan klasik, dalam jurnal Mediator, volume 4 nomor 1, 2003. Waihenya Kariuki and Kimemia Maguta, 2002, Muslims angered by media bias, http://africa online.com/site/articles/1,3,47429.jsp
34