Wawancara dengan Romo Setyo Wibowo STF Driyarkara Senin, 14 September 2009 Terorisme Bukan Tipikal Islam Memang banyak perkara yang menjadi sebab mengapa sebuah tindakan teror dan bunuh diri itu dilakukan. Sebagian kalangan menganggap bahwa kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi adalah biang keladi berkembangnya segala tindakan destruktif itu. Untuk beberapa kasus di Indonesia tesis tersebut memang mendapatkan pembenarannya. Tapi jika melihat berbagai kasus di WTC di AS atau Inggris rasanya agak keliru karena secara umum para pelaku adalah orang-orang yang secara intelektual berasal dari kelas menengah dan mendapat pekerjaan baik, bukan mereka yang terhimpit penderitaan berkepanjangan. Demikian pandangan Romo Setyo Wibowo, pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta yang diutarakan kepada PSIK-Indonesia yang diwakili oleh Dhona El Furqon dan M. Goeswin Noer Rizal di kantornya Senin, 14 September 2009 silam. Meminjam Nietszche, Romo Setyo menuturkan bahwa persoalan ini merupakan efek dari ketidakmampuan seseorang mengendalikan dan menguasai dirinya karena krisis identitas yang dialaminya. Dalam situasi seperti ini, kepengecutan dan kenekatan akan muncul secara bersamaan yang berbuah pada tindakan teror dan bunuh diri. Bagaimana pandangan belakangan ini?
Romo
mengenai
tindakan
terorisme
yang
terjadi
Secara sepintas tentu mengagetkan. Dulu saya selalu percaya, terutama Islam Jawa, wajahnya adalah wajah lebih toleran. Secara kultural lebih liat. Tapi sekarang terbukti orang-orang Jawa Tengah orang-orang yang menjadi pelaku-pelaku. Ini justru mengagetkan. Ada apa dengan evolusi masyarakat Jawa selama 20-30 terakhir ini, katakan pengaruh-pengaruh ekstrim seperti itu mudah terjadi? Tapi kemudian saya mencari-cari kira-kira penyebabnya apa, apalgi saya cukup lama di Perancis dan ketika peristiwa WTC saya masih di sana. Cukup banyak analisis di sana entah peledakan bom di Spanyol maupun di Inggris. Kalau di Perancis tidak terjadi karena sistem intelejennya bagus. Harus diakui Perancis luar biasa. Yang menarik di sini berkembang analisis di koran-koran bahwa terorisme berkembang karena kondisi sosial-ekonomi, yakni kemiskinan. Fakta itu, bisa dibayangkan kalau orang menderita, hidupnya susah maka orang-orang seperti itu mudah untuk dicuci otaknya, mudah ditipu istilahnya. Apalagi bagi mereka yang menderita mendapat janji-janji surga, why not? Namun, yang menarik untuk pelaku-pelaku WTC maupun pelaku-pelaku bom di Inggris justru orang-orang yang secara intelektual adalah kelas menengah dan mereka imigran yang terintegrasi dengan baik dalam masyarakatnya, mendapat pekerjaan yang baik. Agak rumit menyimpulkannya, karena mereka bukan orang miskin, bukan orang yang tertindas. Mereka mengembangkan suatu psikologi tertentu sehingga kenyaman material itu menjadi second atau menjadi sesuatu yang sekunder saja. Mereka ingin memperjuangkan sesuatu entah itu lewat ideologi. Selain problem identitas apakah ada hal lain yang melatarbelakangi lahirnya teror dan kekerasan?
1
Jadi seperti yang saya bilang tadi itu tegantung orangnya. Jadi memang kita tidak bisa mengatakan semua imigran begitu atau orang miskin begitu. Tapi tipe orang tertentu, saya memakai analisisnya Nietszche yang secara psikologis bermasalah. Psikologis dalam pengertian Nietszche adalah seluruh kediriannya atau kehendaknya atau orang bermentalitas budak. Jadi orang yang tidak mampu mengendalikan diri atau menguasi diri yang salah satunya krisis identitas tadi sehingga ia kemudian menemukan dalam ideologi kemudian agama, politik atau dalam apapun, kebetulan dalam jihad semacam penyelesaian. Kalau dalam kategori Nietszche ini adalah orang-orang sakit atau orang-orang pengecut. Pengecut ini saya jelaskan dalam Nietszche, manifestasinya bisa dua, pertama kamu pengecut kalau kamu lari dunia. Kamu, takut dengan dunia, kamu bingung dengan dunia yang kamu hadapi kemudian kamu lari menyembunyikan diri dan akhirnya bunuh diri. Pengecut juga bisa berarti ketika kamu sok tahu, sok ngerti, dunia ini harus begini, harus begitu, tidak ada konsep-konsep yang keras, dunia harus tunduk terhadap pemikiran saya. Kalau dunia tidak tunduk pada pemikiran saya, maka dunia saya hancurkan. Jadi ada semacam kepengecutan dalam kenekatannya. Karena kalau orang yang wajar, ini yang kebanyakan dari kita, kita juga tidak mengerti dunia, realitas sering sulit bagi kita tapi kita tegang. Kita tidak memaksa dunia tunduk pada kita, kita juga tidak lari dari dunia, sudahlah kita hadapi. Dunia itu carut-marut tapi dari hari ke hari harus saya hadapi dan saya harus membuat dunia ini indah, sebisa mungkin bisa dihidupi oleh sebanyak orang. Jadi bukan menghancurkan. Sementara bagi Nietszche, orang yang lari, bersembunyi dari dunia lalu bunuh diri dan berteriak-teriak dan menghancurkan dunia itu sama, itu dua orang yang pengecut, dua orang budak. Sebagaian besar orang menghubungkan tindakan terorisme dengan satu agama tertentu khususnya Islam, apakah di agama-agama lain terdapat konsep yang sama? Saya kira ada, ini tidak tipikal Islam. Kita melihat fenomena di India yaitu Hindu terhadap Katolik sama kerasnya. Di Pakistan tentu saja Islam terhadap Kristiani. Lalu kalau kita melihat ke abad pertengahan, konsep-konsep yang dikembangkan oleh agama Kristiani dan katakanlah para penjelajah-penjelajah itu. Ada potensi kekerasan di situ, jadi menaklukan dunia bahwa dunia ini untuk kristus (dengan semboyan yang terkenal) Gold, Glory dan Gospel. Dalam sekte-sekte baru itu bisa kita lihat agresifitas seperti itu cuma mereka tidak sampai pada kekerasan, tapi agresifitas yang sama. Mereka berani mengetuk setiap rumah orang dengan membawa injil seperti Evangelis di Amerika untuk mempertobatkan. Agresifitas seperti itu ada di semua agama, dan bukan saja dalam agama tapi dalam ideologi. Kita sudah melihat komunisme, kita melihat fasisme. Itu saya kira dalam banyak hal termasuk sukuisme, nasionalisme di situ terdapat potensi kekerasan. Hanya masalahnya saya kira kalau untuk Katolik kita sudah banyak belajar terutama dengan Konsili Vatikan ke-II tahun 60-an, kita banyak menghaluskan doktrin-doktrin sehingga apa yang dulu bersikap membaptis orang, sekarang tidak dan relatif soft. Kita mengakui bahwa, "Ya sudahlah kalau orang hidup baik, menghayati imannya dengan baik masa Tuhan tidak tahu". Jadi semacam ada pengerjaan pada level doktrinal yang kita lakukan tentu dengan tidak gampang karena banyak resistensi juga seperti kelompokkelompok konservatif tidak setuju sampai sekarang dan perdebatannya terus. Hanya secara umum memang tidak ada lagi kelompok Katolik yang mengobar-ngobarkan jihad dan semacamnya. Saya kira itu berkat pekerjaan pada level agama oleh kaum agamawan
2
sendiri untuk secara intelektual, secara moral membuka wawasan umatnya supaya tidak tertipu. Sejauhmana, pertanyaan saya untuk rekan-rekan dari Islam? Saya tahu dari teman-teman ada yang bekerja untuk itu dan berusaha memberikan wajah manusiawi dari Islam dan juga saya sadar mayoritas orang Islam umumnya bisas-biasa saja, seperti kaya kita-kita. Hanya masalahnya adalah beranikah melangkah lebih lanjut, lebih jauh untuk, katakanlah seperti Konsili Vatikan ke-II. Jadi semacam membuat doktrin-doktrin akal yang semua ulama sepakat bahwa jihad itu tidak begitu dan harus di lawan. Tentu saja bukan hanya pekerjaan dengan menulis di koran, membuat opini itu juga penting juga penyadaran secara kongkrit di masjid-masjid. Tetapi lebih dari itu harus ada semacam pekerjaan besar dari agama Islam sendiri untuk pada level doktrinal untuk membuka itu. Bagaimana fenomena teroris yang membunuh banyak orang dan dihukum namun di masyarakat mendapat tempat seperti pahlawan? Itu karena belum ada pekerjaan doktriner dari seluruh intelektual Islam terutama yang dihargai untuk mengatakan bahwa tindakan itu jelas-jelas itu pembunuhan, tidak ada agama yang menyuruh kita untuk membunuh orang lain dan orang yang tidak bersalah. Jadi ada pekerjaan besar di sini pada level doktrinal membuka mata wawasan dan selalu ada pertentanganya dan itu normal, konservatif dan progresif itu selalu ada. Di Katolik pun itu ada. Bagaimana bunuh diri dan membunuh orang lain yang dilakukan oleh teroris untuk mencapai tujuan teroris itu bisa dilakukan? Itu logika orang fanatik. Jadi orang fanatik itu didefinisikan oleh Nietszche sebagai pembengkakan sudut pandang. Seperti orang pakai kaca pembesar dan melihat teks (ia menunjukan sebuah judul buku di mejanya bertuliskan 'buku pedoman') tapi dengan kaca pembesar yang terlihat hanya huruf U. Jadi BUK dan pedomannya tidak kelihatan. Jadi orang fanatik adalah orang yang melatih diri atau dengan dicekoki oleh orang lain untuk mempunyai sudut pandang sehingga ia hanya melihat sepotong dari realitas dan itu dianggap realitas semuanya. Makanya kalau dia membunuh, bagi dia tidak masalah karena itu yang realitas. Dunia ini penuh dosa, mereka semua antek Amerika, tidak peduli mereka itu manusia yang punya keluarga. Jadi yang ada di benaknya adalah antek Amerika dan kalau dibunuh legal dan halal darahnya karena pembengkakan sudut pandang tadi. Hanya orang sakit yang punya pembekakan sudut pandang itu, karena kalau orang normal tidak mungkin akan berpandangan yang sama. Saya tidak berbicara bunuh diri dan teroris sebagai kategori Islam atau orang miskin, saya agak hati-hati karena di setiap agama dan setiap bangsa ada dan hanya orang yang sakit yang melakukan ini seperti orang skizofrenia. Saya menenggarai ada krisis identitas, jadi orang-orang yang direkrut cenderung anak muda yang sedang mencari identitas dan mudah dipengaruhi. Sebetulnya yang menjengkelkan adalah aktor intelektualnya dengan dingin merencanakan itu dan menyuruh dan mempengaruhi. Dua-duanya pengecut, yang satu nekad dan satunya lari. Apa kira-kira yang harus dilakukan untuk membendung doktrin terorisme agar tidak merasuk pada masyarkat kita atau paling tidak dari perspektif filsafat kontribusinya apa?
3
Kalau kita tentu saja bekerja lewat pemikiran, misalnya dengan Nietszche untuk membuka orang bahwa ada masalah-masalah yang bisa kita gunakan sebagai basis analisis kenapa teror terjadi. Tapi lebih dari itu, menurut saya, itu pekerjaan besar dari kelompok Islam yang terbuka untuk level doktrinal itu untuk membuka wawasan. Kedua, mungkin bermain dengan massa dalam arti ketika terjadi pemboman, teman-teman Islam harus menggalang massa untuk membuat pernyataan, untuk membuat manifesto bersama, untuk anti kekerasan bahwa itu bukan Islam. Yang tidak boleh kita lupakan adalah pekerjaan intelejen yang saya kira kita sangat lemah di sini. Saya membandingkan dengan Perancis. Perancis itu negara demokratis, juga Inggris namun Inggris masih kalah. Di Perancis di tiap masjid ada intelnya, bukan hanya masjid tapi juga gereja. Makanya tidak ada pemboman di sana, karena setiap bulan (orang-orang) mereka selalu ditangkap. Intelejen mereka sangat rapih dan makanya ketika kemarin ada wacana masjid-masjid akan diawasi lalu kemudian muncul resistensi. Saya dalam hati kecil memang masalahnya apa. Kalau berkhutbah di gereja dan saya tidak ngomong yang anehaneh mengapa saya harus khawatir dan mengapa saya harus takut. Namanya pengawasan, intelejen itu tidak bertentangan dengan demokrasi un sich justru demokrasi itu memberi kebebasan, cuma kebebasan yang diberikan bisa dijalankan sejauh anda tidak menyalahi orang lain. Untuk itu perlu polisi negara supaya kebebasan kita itu tidak ngawur. Supaya kebebasan kita tidak ngawur ya harus diawasi, itu normal. Hanya nanti masalahnya kalua ada yang khotbah yang jelek-jelek lalu ditangkap, nah penangkapannya bagaimana. Apakah sesuai dengan surat tugasnya dan ada prosedurnya yang harus dihormati seperti ada penembakan misterius seperti dulu di mana ada orang khutbah tiba-tiba hilang. Kalau begitu yang terjadi kita akan protes. Tapi kalau intelejen cuma mau mengawasi itu masih normal dan demokratis. Dalam demokrasi kita harus hati-hati dengan kelompok-kelompok kecil fanatis yang menggunakan alasan demokratis, kebebasan, hak asasi untuk menyabot demokrasi, itu berbahaya sekali. Anda berdalih atas kebebasan berpendapat, beropini tapi dengan anda mengatakan mari kita bunuh orang yang tidak Islam, atau mari kita habisi orang yang berbeda dengan kita. Itu tidak bisa karena negara kita adalah negara hukum. Dalam demokrasi kedaulatan hukum itu nomor satu. Jadi kita harus waspada dengan kelompok ekstrim atau orang-orang sakit kalau istilah saya. Dalam terminologi Nietszche orang-orang sakit ini menggunakan prosedur demokrasi untuk kepentingan yang anti demokratis. Terima kasih Romo atas kesempatan wawancara ini.
4