3 Wawancara Romo Greg 24 Juli 2009 Ini adalah fenomena pos-fundamentalisme Berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi pada hari-hari belakangan di Indonesia tidaklah secara serta merta dialamatkan pada persoalan pemahaman teologi umat yang literal atau tekstual. Terdapat berbagai problematika yang mengiringi kehidupan umat manusia yang berimbas pada pola hubungan dan kerukunan antar mereka. Salah satu yang menjadi alasan lahirnya kekerasan adalah problem ekonomi, lebih tepatnya cara berpikir masyarakat kita yang cenderung ekonomis bahwa kapitalisasi di hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Hal inilah yang berdampak langsung pola pikir masyarakat yang terus mencari identitasnya karena dipaksa berpikir ekonomis dalam segala hal. Fenomena ini bisa juga disebut sebagai fenomena pos-fundamentalisme. Demikian penuturan Romo Greg Soetomo, Pemimpin Redaksi Majalah Hidup, saat menanggapi berbagai peristiwa hubungan antar umat bergama di Indonesia kepada PSIK-Indonesia yang diwakili Dhona El Furqon dan Fachrurozi pada Jumat, 24 Juli 2009 di rumahnya di kawasan Salemba Brantas, Jakarta Pusat. Berikut wawancaranya. Bagaimana Romo melihat kondisi hubungan dan dialog antar umat beragama di Indonesia terutama pasca reformasi? Saya yakin hubungan dialog antar umat bergama itu dalam proses evolusi yang terus berlangsung dan belum selesai. Namun, sebagai salah satu upaya hal itu menjadi lebih baik. Jika sebelum reformasi formalisasi agama itu ditekan dan hampir mungkin tidak ada kelompok radikal namun pasti simbolisasi itu muncul. Perbedaannya sekarang adalah formalisasi agama menjadi semakin kuat. tetapi bagi kita sedikit menguntungkan adalah sistem pemerintahan yang semakin moderat dan demokratis. Kalau saya berpendapat, upaya itu menjadi lebih sistematis. Saya melihat topik dialog antar agama itu sebuah topik yang sangat lama. Kalau di gereja Katholik, topik ini secara formal itu sudah 40 tahun lebih sejak pertengahan tahun 1960-an. Topiknya lama, tapi nampaknya isu-isu pentingnya berubah-ubah terus. Apakah ada implikasinya terhadap hubungan antar beragama di Indonesia? Implikasi jelas ada, persoalannya sejauh mana apakah ini sungguh mendalam? Persoalannya yang namanya formalisasi itu menyentuh semua terutama di gereja Katholik. Kalau tidak dicermati itu sesuatu yang berbahaya, formalisasi agama. artinya sangat penting arti identitas. Kemudian orang-orang membangun gedung gereja, dan tempat yang nyaman sehingga orangpun menjadi ekslusif. Di satu pihak Katholik juga ada upaya dialog antar agama secara sistematis oleh sebagian orang. Harus diakui fundamentalisme di gereja Katholik juga ada. Pendapat saya memang tidak sekeras di Kristen Protestan. Kalau perkembangan di gereja Katholik topik 10 tahun pertama sejak tahun 60-an. Kalau di Srilangka topik hubungan antar agama antara kristen dengan Budha. Kalau di India bagaimana Kristen dengan Hindu, topik itu muncul. Kemudian persoalannya muncul sehingga perlu tindakan yang kongkret. Jadi dialog kehidupan bukan hanya dialog teologi. Misalnya di lingkungan umat Islam dengan Kristen membangun jala dan membangun sanitasi air bersih dan seterusnya. Setelah reformasi suasananya sangat demokratis sekali dan sangat terbuka, isu yang sangat penting adalah pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu
1
sosial. Jadi pertama-tama pendekatannya ilmu-ilmu agama atau teologi dan kemudian ada pendekatannya yang sifatnya praktis, jangan-jangan sekarang yang dibutuhkan pendekatan ilmu sosial, khususnya adalah kekerasan hukum. Dan saya tidak tahu yang minoritas itu dihabisin benar-benar. Setelah era reformasi kekerasan menunjukan eskalasi yang begitu tinggi dan bahkan menyebar hampir di seluruh level masyarakat yang paling bawah, menurut romo apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Kalau saya percaya masyarakat cara berfikirnya adalah ekonomi. Maksud saya manusia itu homo economics. Kalau homo economicus itu hanya pada bidang pasar dan jual beli itu tidak masalah, tapi persolannya kalau homo economic sekarang itu masuk pada bidangbidang non ekonomi, bidang kesehatan dan pendidikan. Jadi memang terdengar ironis seperti kalau kita miskin, jangan sakit. Kalau kamu miskin, jangan sekolah. Ini mindset yang membuat orang bingung dalam menghadapi problem kapitalisasi hampir di semua bidang. Ini mindset dan ideologi yang alien (asing) dan hampir semua orang merasakan alien dengan ideologi ini, terutama orang-orang yang kita sebut masyarakat beragama. Jadi ada semacam oksigen yang masuk pada diri kita dan ini fenomena yang kita tidak tahu apa itu, tapi kita rasakan. Misalnya ada anak kecil yang tidak boleh datang ke ulang tahun temannya kemudian dia bunuh diri. Kemudian ada seorang ibu membunuh tiga anakanya. Jadi ini fenomena apa sebenarnya? Menurut saya ini memang sebuah masyarakat di mana eksistensi dalam arti daya tahannya terhadap rasa frustasi itu lemah, ada putus asa. Jadi ini sumber yang bersasal dari kultur yang besar yang membentuk manusia. Tentu ada yang bagus sebelum indikasi kekerasan dari suasana kompetisi ini. Seperti yang malas itu dihukum dan yang rajin diberi hadiah. Tapi persoalannya dalam kultur seperti ini (homo economicus), yang malas itu berarti adalah yang cacat, yang cacat juga dihukum seperti yang buta dan yang tidak cantik. Mungkin saya agak melebih-lebihkan, perempuan adalah mahluk yang paling menderita terutama yang tidak cantik. Ini adalah pencarian identitas, ketika kita bingung dan harus mempunyai identitas akhirnya masuk pada pilihan yang hitam-putih. Itu yang laku besar. Dalam sekte-sekte Kristen yang fundamentalis itu memberian tawaran-tawaran hitam-putih dan jangan rumit seperti “kalau seperti ini betul, kalau seperti itu salah�. Hal semacam itu laku karena itu membangun identitas. Jadi masalahnya lebih pada ekonomi? Kalau saya memandangnya begitu, tetapi sedikit klarifikasi bahwa karena homo economicus, akhirnya cara berfikir kita itu terpaksa harus berfikir ekonomis dalam hal apapun. Dengan demikian ekonomi mempunyai dampak pada semua bidang, jadi mindset yang komprehensif, dan kita bingung menhadapi semuanya ini. Jika dilihat dari polanya, saat ini kekerasan terjadi justru antar umat beragama. Dengan peristiwa ini apakah peristiwa ini terjadi kerena negara tidak lagi mempunyai peran yang kuat seperti pada masa lalu? Kalau homo ecomicus itu terjdi di semua bidang, tentu saja negara seperti cangkang yang kosong. Ada rumaha dan bentuknya tapi kekuatannya jauh menjadi lemah sekali. Jadi negara sedemikian rapuh sehingga tidak bisa mengatur sedemikian banyak masyarakat. Akibatnya keterbukaan-keterbukaan tadi mengakibatkan konflik horizontal baik itu antar
2
agama maupun antar etnis. Tapi kekerasan yang sekarang ini saya percaya sebuah kekerasan tumbuh mungkin bisa disebut pos-fundamentalisme. Kalau andaikata Islam kembali ke al-Qur’an literal atau Kristen kembali ke Injil yang dikatakan oleh Bibel itu menarik. Seorang fundamentalis Yahudi ketika ingin mengebom Mesjid al-Aqsa di Yerussalem, sebelum mengebom makan makanan yang menurut paham mereka haram dan bukan Yahudi yang kita bayangkan yang saleh terhadap agamanya. Kalau kita bicara para teroris yang menabrakan pesawat ke WTC, siapa mereka? Mereka juga bukan orang yang saleh secara agama dan bisa dipastikan data-datanya bahwa sering ke night-club. Demikian dengan fundamentalis-fundamentalis Kristen di Amerika. Paling sederhana ini bisa dikatakan pos-fundamentalis. Jika dibedakan dengan fundamentalis di Mesir seperti Sayyid Qutub, dia sangat konsisten dengan kebenaran dan konsisten dengan apa yang ia yakini kemudian dipraktekan. Saya tidak banyak mengenal radikalis-radikalis di Indonesia. Bagaimana Romo melihat Islam Indonesia? Apakah Islam menjadi ancaman bagi minoritas? Secara sosiologis nampaknya tidak, tentu saja ada nuansa diantara ya dan tidak, yaitu ancaman, kalau itu disebut sebagai ancaman. Sedangkan di Indonesia ada Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang hampir 70% dari seluruh umat Islam di Indonesia. Secara kuantitas mereka adalah kelompok moderat lalu apa yang menjadi ancaman bagi minoritas? Lalu merasa terancam apa jika teologi mereka mementingkan rahmat untuk semua. Umatumat Islam yang saya temui sangat sopan dan ramah serta terbuka, dan beberapa diantara mereka sangat liberal. Saya pribadi tidak merasa ada ancaman apapun. Diantara ya dan tidak tentu saja kita ketemu dengan orang-orang yang sangat kecil (minoritas). Persoalannya adalah yang sangat kecil ini kerap kali membangun image. Jadi imbas ledakan bom, dan ini tidak banyak berimbas pada kehidupan beragama di kita. Indonesia dikenal dengan negara yang multikultur, bagaimana seharus negara menyikapi keberagaman warganya? Solusinya sangat tegas adalah kejelasan dan ketegasan. Kejelasan di sini adalah kejelasan hukum. Jadi negara harus campur tangan dalam persoalan-persoalan di mana hubungan masyarakat satu dengan yang lainnya tidak mampu (terganggu). Seperti peristiwa Ahmadiyah atau peristiwa lainya yang berakhir chaos (terjadi bentrok). Pada saat itu negara harus menjelaskan bagaimana seharusnya bersikap, dan tentu saja dengan begitu tidak langsung yang minoritas otomatis terlindungi, tapi minimal ada kejelasan di mana ketika terjadi chaos, dimana masyarakat tidak mampu mengatur dirinya sendiri. Tentu saja dalam bidang ekonomi yang terlihat membiarkan masyarkat mengatur dirinya sendiri. Begitu banyak hal yang oleh pemerintah dibiarkan. Munculnya fenomena perda syariah di beberapa tempat, apakah betul-betul menjadi ancaman bagi non-muslim? Kalau menurut saya, karena bukan pengamat yang intens terhadap perda syariah terutama melihat pasal demi pasal, punya konsep bahwa mulai dengan filsafat manusia. Manusia pada dasarnya punya keinginan baik dan bukan keinginan buruk. Terus keinginan baik itu dituangkan di sana-sini. Pada dasarnya orang yang punya keinginan yang baik bisa keliru juga. Mungkin saya minta koreksi, di Aceh katanya lebih manusiawi dibandingkan apa yang dibayangkan oleh orang-orang kebanyakan. Tapi saya percaya bahwa pada dasarnya manusia punya keinginan yang baik bahwa perda-perda dibuat bagi yang bergama Islam untuk menjalankan hukum Islam. Saya kira hukum Islam juga harus memberikan warna
3
pada hukum-hukum positif dengan perkembangan cara berpikir mereka dan itu tidak mencemaskan. Hal apa sajakah yang harus kita lakukan untuk membangun kehidupan antar-umat beragama di Indonesia menjadi semakin baik? Pasti level yang kita dalami dan yang kita alami sekarang ini bukan level ideologi dalam arti ide-ide atau ideologi Islam dengan ideologi Katholik itu berkonflik, itu bukan. Pada level kehidupan sehari-hari itu tidak ada konflik dan kita senantiasa hidup berdampingan. Karena hidup bersama. Kalau kita bicara pada teori paling dasar, bukalah sebuah sistem masyarkat yang adil. Akhirnya kita menjadi masyarkat yang adil yang terbuka dan toleran, mungkin di sini sisi keadilannya. Barangkali kita memang benar-benar tidak adil dan sebagain besar masyarakat kita tidak diberikan kesempatan untuk berkembang, tidak mendapatkan cukup fasilitas yang memungkinkan mereka merasakan kebaikan dalam masyarakat. Mereka menjadi asing dengan lingkungannya. Misalnya ada mal-mal, sementara ada orang hanya bisa membawa bakso satu gerobak. Jadi terlalu timpang jaraknya. Jika bayangkan masuk mall, harga satu celana sama dengan modal tukang bakso. Saya kira, hal inilah yang mesti diperbaiki ke depan dengan begitu kita akan hidup berdampingan secara sehat dan damai. Baik, terima kasih Romo atas kesempatan wawancara ini.
4