5 Wawancara dengan Muhamad Wahyuni Nafis Ketua Yayasan Nurcholish Madjid Society Kamis, 10 September 2009 “Terorisme tidak Khas Islam� Menjadi masalah tersendiri ketika Islam, akhir-akhir ini, selalu dikaitkan dengan berbagai tindakan kekerasan dan terorisme yang mendera bangsa ini. Masalah ini membawa persoalan tersendiri di mana komunitas Muslim menjadi terpinggirkan dalam hubungannya dengan komunitas lain di Indonesia dan internasional yang menyudutkan bahwa terorisme adalah khas Islam. Namun, jika diteliti lebih mendalam, meminjam John L. Esposito terorisme juga terjadi dalam tradisi manapun sebagai ekspresi perlawanan mereka atas ketimpangan yang mereka alamai. Persoalan ekonomi dan pandangan keagamaan yang literal dan parsial dianggap menjadi pemicu terjadinya tindakan agresif dalam berbagai bentuknya. Demikian intisari dari perbincangan PSIK-Indonesia yang diwakili Dhona El Furqon dan Fachrurozi dengan Ketua Yayasan Nurcholish Madjid Society di sela-sela kesibukan mengajar di Universitas Paramadina Jakarta pada Kamis, 10 September 2009 silam. Baginya, dua persoalan inilah yang segera diselesaikan oleh negara dan pemuka agama agar tercipta kehidupan yang harmonis di masa datang. Bagaimana anda memandang terorisme merupakan fenomena satu agama?
dan
kekerasan
global,
apakah
ia
Saya ingin bicara pertama bahwa tradisi terorisme itu tidak khas milik Islam. Kalau kita membaca survei terakhir yang dilakukan John L. Esposito disebutkan bahwa dalam tradisi agama apapun terjadi terorisme. Misalnya, lihat fenomena Macan Tamil, lalu berbagai gerakan di Hindu dan Buddha bahkan yang tidak beragama sekalipun, dalam atheisme, itu terdapat terorisme. Alasannya adalah mereka kecewa terhadap kebijakan politik internasional Amerika sehingga melakukan bom bunuh diri seperti yang terjadi kemarin di J.W Marriot. Tapi artinya ini bukan soal jumlah tapi soal pemicu dan soal kesempatan itu soal lain, ada juga faktor ekonomi dan sebagainya. Nah karena itu, ini yang harus kita dudukan adalah bahwa terorisme itu tidak khas milik Islam, milik semua agama bahkan menjadi persoalan kemanusiaan itu sendiri. Yang tidak beragamapun punya kecenderungan untuk menjadi teroris. Yang kedua, kenapa sebagian besar kemudian muncul di kalangan Muslim? Jelas presentasinya dalam penelitian John L. Esposito memang paling besar. Sekarang yang mengkhawatirkan adalah di Indonesia, kita itu tidak pernah punya tradisi bom bunuh diri, belum lama trend ini berlangsung. Itu dulu yang sering kita saksikan di luar negeri, sekarang di dalam negeri kita. Nah ini ada apa? Kenapa Muslim terbesar di Indonesia? Analisanya adalah pertama dari sekian banyak agama, Islam merasa lebih banyak mendapatkan penderitaan yang diakibatkan modernisasi yang berlangsung selama ini. Karena itu, mereka muncul lewat sikap-sikap yang keras, tindakan teror atau sikap fundamentalis dan lain sebagainya. Kedua, secara ekonomi kelompok Muslim adalah kelompok yang paling banyak bermasalah. Artinya persoalan-persoalan infrastruktur memang belum selesai di sebagian besar kalangan Muslim. Misalnya saudara-saudara kita yang di FPI, mungkin habib-habibnya di atas sudah tidak memiliki problem dengan persoalan ekonomi, tetapi bagaimana dengan mereka yang berada di level bawah? Orang-orang yang tidak punya pekerjaan yang pasti, tidak memiliki income (pemasukan) permanen, mereka masuk ke dalam kelompok itu.
1
Dengan dua hal itu menurut saya, seseorang akan mudah dipengaruhi. Di tambah yang ketiga, tapi ini tidak khas Muslim, soal alienasi. Inikan efek kemoderenan juga. Soal alienasi, seseorang merasa frustasi, bisa secara ekonomi, bisa secara psikologis. Misalnya tetangga saya di Telaga Kahuripan, Dani yang menjadi bombernya Marriot kemarin, dia adalah seorang marbot, tidak punya income pasti, ayahnya memiliki masalah kriminal lalu dipenjara, lalu ibunya kecewa dan pulang kampung ke Kalimantan. Dalam situasi seperti itu, ia bertemu dengan Saefuddin Jaelani yang sering menjadi imam dan memberi ceramah di masjid dekat dia tinggal. Kemudian dirayulah ia dan dijanjikan macam-macam hal, lalu ditraining di Lampung dan setelah pulang menjadi bomber. Yang ketiga, kita lihat dari sisi teologi. Sebetulnya dari sisi doktrin ada atau tidak dalam alQur'an yang mendukung tindakan ke arah terorisme itu. Kalau dari pandangan saya, membaca al-Qur'an itu memang harus memiliki wawasan-wawasan, baik itu wawasan kemanusiaan, wawasan kemasyarakatan, antropologi, sosiologi dan wawasan pengetahuan universal, kefilsafatan. Itu mutlak menurut saya dan harus disertai orang dalam membaca al-Qur'an. Kalau tanpa ini semua, al-Qur'an menjadi sangat kering yakni dengan tafsir yang sangat literal. Secara literal, karena al-Qur'an itu salah satu respon yang merekam suasana kultur pada saat itu, dalam al-Qur'an ada beberapa ayat-ayat yang keras, karena merupakan respon terhadap kultur yang sangat keras saat itu. Soal membunuh, soal perempuan yang disubordinasikan, soal orang kafir kalau ketemu itu dicincang, memang itu ada. Tapi itu semua ada konteksnya. Jadi akar-akar kekerasan teologis itu ada dalam Islam? Secara literal dalam al-Qur'an memang cukup ada. Orang kalau mau cari secara serampangan pasti akan mengatakan ada dasarnya di al-Qur'an. Padahal kalau kita mau lihat secara kontekstual, misalnya ayat "Walantardha 'anka al-yahudu wala al-nashara hatta tattabi'a millatahum". Ayat ini kalau dibaca secara terpisah menjadi, "Hati-hati engkau pada orang Yahudi dan Nasrani karena mereka tidak akan pernah rela kepadamu kalau engkau belum mengikuti ajaran mereka". Tapi kalau kita membaca sejarahnya bahwa ada sekelompok Yahudi dan Nasrani dalam dialog dia tidak bisa diajak berdamai lalu mereka membuat makar kepada nabi Muhammad, dan ternyata itu hanyalah kelompok kecil dari Yahudi dan Nasrani. Artinya ayat itu berbunyi, "Hati-hati engkau ya Muhammad kepada Yaudi dan Nasrani (yang kelompok kecil yang jahat itu tadi), bukan seluruhnya". Mengapa kita bilang seluruhnya? Padahal tidak, karena di ayat lain kita tidak boleh membunuh orang kalau bukan karena dia membunuh atau merusak bumi ini. Itukan orang-ornag baik, orang-orang yang tidak baik adalah yang membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, "man qatala nafsan bi gairi al-fasad fi al-ardh fakaannama qatala annasa jami’a". (Kalau kau membunuh satu jiwa bukan karena membunuh atau merusak di bumi ini sama engkau membunuh umat manusia). Jadi ada larangan yang sangat keras di sana. Dan kalau kamu menyelamatkan satu jiwa maka kau sama menyelamatkan semua jiwa itu. Pemicu fundamentalisme menurut saya karena orientasi keagamaan umat Muslim terlalu fiqh minded. Inilah yang memberi andil besar pada lahirnya fundamentalisme. Fiqh minded itukan berarti ritual dan ibadah formal. Anda punya wudhu kemudian anda bertengkar tapi hal itu tidak membatalkan wudhunya, membunuh juga tidak membatalkan wudhu, itu sesuatu yang luar biasa. Kita habis wudhu kemudian habis wudhu kita marah kepada sesorang itu tidak otomatis membatalkan wudhu kita. Tapi kentut itu membuat wudhu menjadi batal. Fiqh minded ini menurut saya adalah pemicu yang secara tidak langsung melahirkan sikap apa yang disebut dengan fundamentalisme.
2
Yang kedua sebagian besar, terutama dulu di Indonesia pada masa lalu orang-orang semi fundamentalis itu berharap mendapat jatah pembangunan jika mendukung Orde Baru. Tetapi ternyata tidak diberi oleh Pak Harto karena itu kuasi fundamentalisme di awal Ord Baru menjadi mutlak fundamentalis karena tidak kebagian "kue politik". Dalam konteks Indonesia, apakah masalah teror dan kekerasan yang berlangsung belakangan memiliki korelasi pemahaman keagamaan atau merupakan ekses dari persoalan global yang merundung dunia saat ini? Di Indonesia itu dua-duanya, karena sekarang perkembangan teknologi begitu terbuka jadi sisi lokal kita memang begitu mendukung lahirnya fundamentalisme. Kesenjangan ekonomi yang masih jauh, kesenjangan pendidikan, kemudian kesenjangan pemahaman keagamaan yang fikih oriented, jangankan di masyarakat umum, di pesantren-pesantren yang notabene well educated secara agama ini masih fiqh oriented, jadi terdukung betul. Betul kata para ahli fundamentalisme dan terorisme memang sangat subur. Ditambah kemudian orangorang yang habis kuliah di Yaman seperti Saefudin Jaelani, kemudian berinteraksi dengan jaringan-jaringan al-Qaida. Lalu ada internet yang bisa menampung uang dan sebagainya. Dengan adanya perkembangan teknologi ini mereka mengembangkan jaringan ke arah selatan Jakarta dan Bogor di mana mereka mengembangkan jaringan di wilayah itu karena merasa aman disebabkan wilayahnya yang masih sepi. Di situlah kemudian muncul tokohtokoh terorisme. Jadi menurut saya andil semua hal secara kultural, politik, dan juga teologis. Apa yang anda lihat sebagai persoalan terbesar dari fenomena teror dan kekerasan yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini? Menurut saya ada dua: persoalan teologis dan ekonomi. Karena begini, faktor ekonomi bisa di dalamnya politis. Satu kepentingan kalau bertemu dengan keyakinan itu berlipat kekuatannya sehingga tidak heran jika ada yang rela mati. Jadi kita punya keyakinan bahwa mati berjuang di jalan Allah, untuk keyakinan. Lalu ada uang yang mendukung operasi mereka. Yaitu dengan meyakinkan seseorang dan menjamin hidup mereka dan keluarganya. Di Indonesia gerakan terorisme sudah seperti itu sekarang. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh umat beragama untuk membendung kelompok yang melakukan tindakan teror dan kekerasan atas nama agama? Seperti saya katakan tadi, yakni dua hal, dari sisi pemahaman keagamaannya, dan di sisi lain adalah memperbaiki kehidupan ekonomi. Soal agama orang masih bisa bicara bahwa agama tidak bisa menyelesaikan hidup saya. Soal ekonomi bisa jadi mungkin bisa lebih awal, tapi setelah selesai secara ekonomi, tetapi teologinya tidak diselesaikan mereka akan kembali lagi menjadi fundamentalis. Misalnya solusi yang belakangan digalakkan adalah melibatkan mereka secara politik dan memberi mereka kesempatan untuk berekspresi itupun belum tentu menyelesaikan masalah. Karena itu teologi harus secara perlahan-lahan diubah. Saya kira, metode pendidikan agama di sekolah-sekolah itu punya andil besar terhadap sikap fundamentalis. Ini agak rumit kalau mau dikerucutkan. Kalau saya berkesimpulan secara sederhana persoalan pemahaman keagamaan dan persoalan ekonomi adalah muara dari kekerasan dan tindakan teror yang berlangsung belakangan ini. Terima kasih Kang Nafis atas kesempatan wawancara ini.
3