ISLAM DAN GOOD GOVERNANCE: MEMAKNAI SILATURRAHMI DALAM PENGELOLAAN NEGARA KH. Maman Imanulhaq Faqieh
Pada dasarnya, negara berfungsi sebagai lembaga aspirasi rakyat yang diwujudkan melalui kebijakan yang melindungi hak dasar warga negara dan menyejahterakan kehidupan mereka. Hal tersebut dalam perspektif al-Fiqh as-siyasi didasarkan pada kaidah fikih: tashorrus al-imam 'ala ar-ra'yyah manuth bi al-mashlahah, kebijakan pemerintah kepada warga negaranya harus diorientasikan pada kesejahteraan. Abd Wahhab Khallaf merumuskan kesejahteraan dengan tiga kriteria: pertama, kesejahteraan itu harus bersifat
esensial yang secara praktis operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum (al-mashlahah al- 'ammah) dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, kesejahteraan itu ditujukan untuk kepentingan rakyat umum, bukan individu atau kelompok tertentu. Ketiga, kesejahteraan itu tidak bertentangan dengan ketentuan (dalil- dalil) umum. Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam sebuah negara, maka perlu adanya kompliansi (kerjasama) antar elemen negara. Dalam struktur masyarakat modern, terdapat tiga elemen atau sektor negara,
AL-WASATHIYYAH 1 Vol. 3, No. 14, 2008
yaitu 1.) Pemerintah (goverment) sebagai pengatur administrasi negara dan menjamin hak-hak warganegara, 2) . Organisasi profit yang mengelola kekayaan negara dan membayar pajak, 3) . Organisasi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan dan penyuluhan masyarakat, sebagai tulang punggung kekuatan masyarakat sipil (civil society). Ketiganya mempunyai ciri dan karakteristik tersendiri yang bisa menjadi pendorong tejalinnya kerjasama tersebut. Sektor pertama berhubungan dengan mekanisme birokratik yang punya prinsip teknis dan kriteria mengikuti kebijakan objektif top down. Mereka punya kekuasaan dan wewenang. Dan keduanya cenderung jadi "jimat" penyalahgunaan amanat yang melahirkan budaya korupsi. Apalagi kalau kekuasaan dan wewenangnya bersifat absolut, maka korupsi muncul dengan kuat, power tend to corrupt, absolut power corrups absolutely (Lord Acton). Agar tidak ada kekuasaan absolut yang cenderung korup, maka perlu: pertama, ada distribusi kekuasaan antar lembaga
legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara seimbang. Kedua, penguatan elemen civil soceity. Konsep "governance" berbeda dengan "goverment", dimana goverment merujuk pada institusi negara yang formal dengan ciri yang melekat padanya adalah monopoli kekuasan (dalam perbuatan kebijakan) dan memaksakan berlakunya kebijakan itu secara otoritatif dan koersif. Proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan) berjalan secara linier dengan birokrat pemerintah sebagai aktor tunggalnya. Birokrasi, yang seharusnya mengatur polarisasi sistem dan mekanisme kerja kekuasaan menjadi lebih tertib, aspiratif dan fair, hanya ditafsirkan sebagai politik birokrasi yang menjadi representasi sebuah kekuasaan yang hegemonik, merasa paling pintar dan memarjinalkan peran masyarakat serta rendahnya kepedulian serta pemihakan terhadap dhuafa (the weak, yang lemah) dan mustadh'afin (the opressed, yang tertindas). Kalaupun ada, maka yang tercium adalah aroma
2
"kepentingan politik" serta "kepura-puraan". Keseriusan, kejujuran dan keikhlasan sudah sangat sulit dipraktikkan para pemimpin, maka jangan heran bila di tengah masyarakat akan terjadi berbagai patologi sosial yang mengaburkan batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral, serta menjerumuskan mereka pada kondisi ketidakmenentuan moral (indeterminacy moral). Kala itu terjadi, maka sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Tirmidzi "al-sulthon dhillulahi fi al-ardhi yahwi ilahi kullu madzlum, Sultan (negara, birokrasi) merupakan payung Allah tempat bernaungnya orang-orang yang tertindas" akan ber-mafhum mukhalafah Birokrasi adalah payung setan, tempat bernaungnya orangorang dzalim. Governance lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli kebijakan dan melaksanakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditingalkan dan diarahkan kepada proses kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan
partisipatif. Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive). Kebijakan publik yang paling efektif dari sudut pandang teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi. Sehingga kebijakan publik (public policy) akan bermuatan spirit moralitas yang berpihak pada kemaslahatan masyarakat, tidak hanya menuruti ego kekuasaan, kesewenangan dan asas mumpung yang melahirkan penyimpangan jabatan, korupsi, kolusi dan nepotisme yang sangat kental. Birokrasi adalah "pelayan masyarakat" (khodim alummah) yang seluruh kebijakannya akan menjadi bagian ibadah oleh para birokrat demi terciptanya pemerintahan yang bersih, adil, berwibawa dan bebas KKN. dengan sektor profit ini, menarik diperhatikan bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk selalu membasuh tangan sampai ke siku yang mengandung nilai pentingnya semangat etos kerja, berlaku adil sebagai pelaku pasar dengan tidak ada monopoli, kreatif dalam
3
menciptakan produk unggulan
dan lapangan kerja
Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk Banda Aceh mulai disalurkan melalui Kantor POS Banda Aceh, Kamis (29/5). Pada hari pertama pembagian BLT terlihat sepi dan tidak terjadi antrean. Serambi Indonesia/Bedu Saini (BDU) 29-05-2008 Sektor kedua, pasar/market, menggunakan mekanisme pasar untuk mempromosikan, sebagaimana investasi peningkatan tenaga kerja dengan menggunakan harga yang menarik. Keputusan tergantung pada individu masing-masing untuk menghitung keuntungan pribadi tanpa harus membandingkan, guna memperluas kepentingan umum pada sektor yang lebih baik. Berkaitan serta membangkitkan jiwa
kwirausahaan di tengah masyarakat. Bila kita perhatikan, di telapak tangan kiri kita ada guratan garis tangan membentuk angka arab 81, sementara di telapak tangan kanan ada guratan garis tangan yang membentuk angka arab 18. Apa artinya ini? Jika angka 81 dan 18 kita jumlahkan, maka kita akan mendapatkan angka 99. Bukan kebetulan, 99 merupakan jumlah Asma'ul Husna (nama-nama Allah yang
4
mulia). Seseorang yang membasuh tangan dalam wudhu seharusnya bisa berlaku adil, kreatif, toleran, selalu menjaga kebersamaan, dan sifatsifat baik lainnya. Semua itu merupakan dorongan fitrah (human nature) dan kesadaran yang bersumber dari Allah: "Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dialah pemilik nama- nama yang mulia (QS 17: 110). Dari tangan pulalah akan lahir semangat kerja keras yang dilandasi semangat teologis, dimana Islam mendorong manusia untuk melakukan kerja produktif dan mencari karunia Allah. Islam menghimbau manusia untuk tidak jadi pengemis dan parasit. Islam mengajak manusia untuk menguasai keahlian dan teknologi. Pelaku sektor ini harus diingatkan pada persaingan sehat di dunia usaha termasuk melakukan aksi penyuapan terhadap pelaku di sektor pertama (birokrasi). Sektor ketiga, NGO dan GRO/Civil Institution, kebanyakan tergantung pada kesukarelaan, yang meliputi proses persetujuan, diskusi, akomodasi dan persuasi. Keputusan diambil dengan
perbandingan keduanya, baik untuk kepentingan kelompok maupun pribadi (Uphoff, 1995: 183). Sektor ini akan menjadi tulang punggung kekuatan civil society yang dapat melawan dua elemen pertama (pemerintah dan dunia usaha) bila keduanya secara sepihak menguasai negara dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Gerakan rakyat akar rumput (people power) sangat besar perannya dalam mempengaruhi kebijakan publik politik dan menjadi alat kontrol kebijakan publik terhadap kebijakan pemerintah terutama dalam masalah penggunaan anggaran belanja negara baik pusat maupun daerah. Untuk itu perlu ditegaskan bahwa budaya korupsi hanya bisa ditanggulangi dengan gerakan kebudayaan rakyat anti korupsi. Dalam konteks Indonesia bisa dipelopori ormas besar semisal NU dan Muhammadiyah dengan membangun infrastruktur yang langsung menohok jantung permasalahan, bukan sekedar gerakan moral yang retorik. Meminjam istilah Stoker (1998:2), tentang lima proposisi
5
kepemerintahan yang baik maka pemerintah tidak perlu curiga atau alergi terhadap eksistensi berbagai macam institusi dan aktor di luar institusi pemerintah, bahkan sebaiknya hal itu bisa dimanfaatkan sebagai komponen penguat untuk mencapai tujuan bersama. Apalagi terhadap keberadaan institusi lokal atau apapun namanya adalah merupakan Gress Root Organisation (GRO) yang keberadaannya melekat pada rakyat kelas bawah. Peran pemerintah, swasta dan masyarakat semestinya menyatu dan mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama tingginya untuk mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi, sebab saling ketergantungan ketiganya memiliki satu tujuan yaitu menyejahterakan masyarakat. Governance as a socio cybernetic system artinya, dampak hasil kepemerintahan (kebijakan pemerintah) bukanlah merupakan produk dari apa yang dilakukan (tindakan) pemerintah pusat, melainkan keseluruhan produk (the total effect) dari usaha intervensi dan interaksi dari
banyak aktor (pemerintah, legislatif, LSM, swasta, masyarakat dan sebagainya) dalam menangani masalahmasalah sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Peran pemerintah cukup sebagai “catalyc agent" “enabler" dan “commisioner", yang memberikan arahan (more steering) dan tidak perlu menjalankannya sendiri (less rowing) proses kebijakan tersebut. Pada tataran praktis, sebagai bentuk interaksi sosial politik dalam proses pemerintahan yang lebih demokratis, inklusif, partisipatif, transparan dan akuntabel, good governance ini semestinya dimulai dengan aktivitas saling berbagi informasi, keahlian dan sumber- sumber lain yang dibutuhkan aktor kebijakan dalam proses kebijakan (formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan). Aktor kebijakan yang dimaksud di sini adalah pemerintah, swasta, legislatif, LSM dan masyarakat madani lainnya. Akhirnya mutu produk dari proses kebijakan tersebut lebih mendekati keinginan dan
6
kepentingan bersama. Saatnya memaknai silaturrahmi di antara elemen negara, sehingga pengelolaan negara tidak terjadi tumpang tindih dan tidak berorientasi pada keuntungan sekelompok masyarakat tapi mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat sesuai amanat UUD 1945. Bukankah silaturrahmi, sesuai sabda Nabi, "akan memberi efek kemakmuran dan menghantarkan pada kejayaan, man ahabba an yubstho lahu fi rizqihi wa yunsya'a lahu fi atsari fal yashil rahimahu." Mekanisme silaturrahami yang baik akan melahirkan proses musyawarah yang efektif dan berhikmah pada proses pendewasaan bangsa yang sangat plural dan multikultur. Al- Qur'an surah
Ali Imran ayat 159, "karena rahmat Allah-lah kamu bersikap lunak kepada mereka. Sekiranya kamu keras dan kasar, niscaya mereka akan menjauhimu. Karena itu maafkanlah dan mohonlah ampun bagi mereka. Ajaklah mereka bermusyawarah tentang suatu persoalan." Ayat al-Qur'an tersebut mengajak kita untuk bermusyawarah (dan berdebat) dengan siapapun yang kita anggap "berbeda" dan "bertentangan" dengan apa yang kita yakini melalui caracara yang baik dan lemah lembut, bukan dengan cara mengintimidasi, menghujat, mencaci maki, apalagi memakai cara-cara teror dan kekerasan.*
KH. Maman Imanulhaq Faqieh Dewan Syuro Moslem Moderate Society (MMS) Jakarta dan Khodim Pesantren Al-Mizan, Majalengka
7
8